You are on page 1of 31

LI. 1. Memahami dan menjelaskan Anatomi Saluran Pernapasan Bagian Bawah 1.1 Makroskopik a.

Trachea Trachea adalah tabung yang dapat bergerak dengan panjang kurang lebih 13 cm dan berdiameter 2,5 cm. Trachea mempunyai dinding fibroelastis yang tertanam di dalam balok-balok cartilago hialin yang berbentuk huruf C yang mempertahankan lumen trachea tetap terbuka. Trachea berpangkal di leher, di bawah cartilago cricoidea larynx setinggi corpus vertebrae cervicalis VI. Ujung bawah trachea terdapat di dalam thorax setinggi angulus sterni (pinggir bawah vertebra thoracica IV) membelah menjadi bronchus principalis dexter dan bronchus principales sinister. Bifurcatio tracheae ini disebut carina. Pada inspirasi dalam, carina turun sampai setinggi vertebra thoracica VI. Persarafan trachea Saraf-sarafnya adalah cabang-cabang nervus vagus, nervus laryngeus recurrens, dan truncus symphaticus. Saraf-saraf ini mengurus otot trachea dan membrana mucosa yang melapisi trachea.

Gambar 1-1. Larynx, trachea, bronchi; tampak anterior (kiri) dan posterior (kanan)

b. Bronchi Principalis Bronchus principalis (primer) dexter lebih lebar, lebih pendek, dan lebih vertikal dibandingkan dengan bronchus principalis sinister (Gambar 1-1). Panjangnya + 2,5 cm. Sebelum masuk ke dalam hilum pulmonis dexter, bronchus principalis dexter mempercabangkan bronchus lobaris superior dexter. Saat masuk ke hilum, bronchus principalis dexter membelah menjadi bronchus lobaris medius dan bronchus lobaris inferior dexter. Bronchus principalis sinister berjalan ke kiri di bawah arcus aorta dan di depan oesophagus. Pada masuk ke hilum pulmonis sinister, bronchus principalis sinister bercabang menjadi bronchus lobaris superior sinister dan bronchus lobaris inferior sinister. c. Pulmo

Gambar 1-2. Pulmo dextra dan sinistra dilihat dari anterior Paru (pulmo) berbentuk kerucut dan diliputi oleh pleura visceralis, dan terdapat bebas di dalam cavitas pleuralisnya; hanya diletakkan pada mediastinum oleh radix pulmonis. Masing-masing paru mempunyai apex pulmonis yang tumpul, yang menonjol ke atas ke dalam leher sekitar 2,5 cm di atas clavicula. Basis pulmonis yang konkaf merupakan tempat yang terdapat diaphragma. Facies costalis yang konveks disebabkan oleh dinding thorax yang konkaf. Facies mediastinalis yang konkaf merupakan cetakan pericardium dan struktur mediastinum lainnya. Di sekitar pertengahan facies

mediastinalis ini, terdapat hilum pulmonis, yaitu suatu cekungan tempat masuknya bronchus, pembuluh darah, dan saraf yang membentuk radix pulmonis masuk dan keluar dari paru. Margo anterior paru tipis dan meliputi jantung. Pada margo anterior pulmo sinister, terdapat incisura cardiaca pulmonis sinistri. Pinggir posterior lebih tebal dan terletak di samping columna vertebralis. Pulmo dexter sedikit lebih besar dari pulmo sinister dan dibagi oleh fissura obliqua dan fissura horizontalis pulmonis dextri menjadi tiga lobus: lobus superior, lobus medius, dan lobus inferior (Gambar 1-2). Fissura obliqua berjalan dari pinggir inferior ke atas dan ke belakang menyilang permukaan medial dan costalis sampai memotong pinggir posterior sekitar 6,25 cm di bawah apex pulmonis. Fissura horizontalis berjalan menyilang permukaan costalis setinggi cartilago costalis IV dan bertemu dengan fissura obliqua pada linea axillaris media. Lobus medius merupakan lobus kecil berbentuk segitiga yang dibatasi oleh fissura horizontalis dan fissura obliqua. Pulmo sinister dibagi oleh fissura obliqua dengan cara yang sama menjadi dua lobus: lobus superior dan lobus inferior (Gambar 1-2). Pada pulmo sinister, tidak terdapat fissura horizontalis.

Gambar 1-3. Pulmo dextra dan sinistra dilihat dari posterior

Pendarahan Paru Bronchi, jaringan ikat paru, dan pleura visceralis menerima darah dari arteriae bronchiales yang merupakan cabang aorta ascendens. Venae bronchiales (yang berhubungan dengan venae pulmonales) mengalirkan darahnya ke vena azygos dan vena hemiazygos. Alveoli menerima darah terdeoksigenasi dari cabang-cabang terminal arteriae pulmonales. Darah yang teroksigenasi meninggalkan kapiler-kapiler alveoli masuk ke cabang-cabang venae pulmonales yang mengikuti jaringan ikat septa intersegmentalis ke radix pulmonis. Dua venae pulmonales meninggalkan setiap radix pulmonis untuk bermuara ke dalam atrium sinistrum cor. Persarafan Paru Pada radix setiap paru terdapat plexus pulmonalis yang terdiri atas serabut eferen dan aferen saraf otonom. Plexus ini dibentuk dari cabang-cabang truncus symphaticus dan menerima serabut-serabut parasimpatis dari nervus vagus. Serabut-serabut eferen simpatis mengakibatkan bronchodilatasi dan vasokonstriksi. Serabut-serabut eferen parasimpatis mengakibatkan bronchokonstrinksi, vasodilatasi, dan peningkatan sekresi kelenjar. Impuls aferen yang berasal dari mucosa bronchus dan dari reseptor regang pada dinding alveoli berjalan ke susunan saraf pusat dalam saraf simpatis dan parasimpatis. 1.2. Mikroskopik a. Trachea Trachea mempunyai dinding yang relatif tipis, lentur, dan berkemampuan untuk memanjang saat bernapas dan gerakan badan. Tetap terbukanya trachea disebabkan oleh tunjangan serangkaian cartilago berbentuk huruf C yang berjumlah kira-kira 20, yang tak beraturan, tersusun dari atas ke bawah dengan bagian terbuka mengarah ke belakang. Trachea dilapisi oleh suatu membran mucosa yang terdiri dari epitel bertingkat silindris bercilia dan bersel goblet, yang terletak pada lamina basal dan ditunjang oleh lamina propria. Yang paling banyak adalah sel silindris tinggi yang bercilia di mana cilianya meyapu ke atas ke arah pharynx, dan sel goblet (mucus). Terdapat pula sel silindris tanpa cilia; di antaranya merupakan sel sikat (kaveola), mirip dengan sel yang terdapat di dalam epitel usus dengan mikrovili panjang-lurus dan memperlihatkan sinaps dendrit di permukaan basalnya.

Gambar 1-5. Potongan memanjang trachea dengan pembesaran menggunakan mikroskop elektron 6480x. Dapat terlihat sel bercilia (CC), aparatus Golgi (GA), sel goblet (GC), dan retikulum endoplasma bergranula (rER). b. Bronchus Susunan bronchi ekstrapulmonar sangat mirip trachea dan hanya berbeda dalam garis tengahnya yang lebih kecil. Pada bronchi principalis, cincin tulang rawan juga tidak sempurna, celah pada bagian posterior ditempati oleh otot polos. Bronchus intrapulmonar berbeda dari bronchus ekstrapulmonar dalam beberapa gambaran dasar. Bronchus intrapulmonar tampak bulat dan tidak memperlihatkan bagian posterior yang rata seperti yang terlihat pada trachea atau bronchus ekstrapulmonar. Hal ini disebabkan oleh tidak terdapatnya cincin cartilago yang berbentuk huruf C, melainkan terdiri dari lempeng-lempeng cartilago hyaline yang bentuknya tidak beraturan dan sebagian melingkari lumen secara lengkap. Lempeng cartilago hyaline dikitari oleh jaringan ikat padat fibrosa yang banyak mengandung serat elastin. Pada perbatasan antara submucosa dengan mucosa, pemadatan jaringan elastin seperti pada trachea dan bronchi ekstrapulmonar, diperkuat oleh suatu selubung luar yang terdiri dari serat-serat otot polos. Serat-serat ini tidak menyusun lapisan-lapisan yang nyata seperti misalnya pada saluran pencernaan, tetapi membentuk berkas serat-serat yang terputus-putus yang tersusun sebagai spiral terbuka mengelilingi bronchus; beberapa membelit ke kiri, lainnya membelit ke kanan. Bronchus menjadi lebih kecil dengan percabangannya, namun susunan dasarnya tetap tidak berubah seperti yang telah diuraikan. Sekalipun demikian, bronchus yang terkecil mengandung lebih sedikit tulang rawan dan tidak lagi membentuk cincin yang sempurna. Epitel yang membatasinya adalah epitel silindris bercilia, bersel goblet, dan kurang tebal bila dibandingkan dengan epitel bertingkat silindris bercilia yang melapisi bronchus besar. c. Bronchiolus Bronchiolus mempunyai ciri tidak mengandung tulang rawan, kelenjar, dan kelenjar limfe; hanya terdapat adventisia tipis yang terdiri dari jaringan ikat. Lamina propria terutama tersusun oleh berkas otot polos yang cukup mencolok serta serat-serat elastis. Epitel yang membatasi bronchiolus besar merupakan epitel silindris bercilia dengan sedikit sel goblet; dan pada bronchiolus kecil (kira-kira 0,3 mm), sel goblet hilang dan sel bersilia merupakan sel kubis atau silindris rendah. Di antara sel-sel itu,

tersebar sejumlah sel silindris berbentuk kubah, tak bercilia, bagian puncaknya menonjol ke dalam lumen. Sel-sel ini disebut sel bronchiolar atau sel Clara. Sel ini bersifat sebagai sel sekresi dengan retikulum bergranula di basal, aparatus Golgi di atas inti dan di dalam sitoplasma apikal terdapat granula-granula sekret serta retikulum agranula yang mencolok. Fungsi sel ini tidak diketahui, tetapi diduga ikut berperan terhadap pembentukan cairan bronchiolar, yang mengandung protein, glikoprotein, dan kolesterol. Sel-sel ini juga mengeluarkan sejumlah kecil surfaktan yang terdapat di dalam sekret bronchiolar. Di bronchiolus terminalis, epitelnya juga memiliki sejumlah sel sensorik (berbentuk sikat) dan sel neuroendokrin bergranula kecil.

Gambar 1-6. Kiri: Potongan melintang bronchus dengan lumen (L), lamina propria (LP), cel Clara (CC), otot polos (Sm), dan jaringan parunya (LT). Kanan: Bronchiolus, potongan melintang. Tampak bronchiolus terminalis (TB) beserta epitelnya (E) dan cel Clara (CC), juga peralihannya menjadi bronchiolus respiratorius (RB). d. Bronchiolus Respiratorius Bronchiolus respiratorius merupakan saluran pendek, bercabang-cabang, panjangnya 1-4 mm, biasanya bergaris tengah <0,5 mm, berasal dari bronchiolus terminalis. Perbedaan dari bronchiolus terminalis adalah bahwa dinding bronchiolus respiratorius diselingi oleh kantung-kantung (alveoli) tempat terjadinya pertukaran gas. Bronchiolus respiratorius yang lebih besar dilapisi oleh epitel kubis bercilia yang akan menjadi epitel selapis kubis pada saluran yang lebih kecil dan dilanjutkan dengan epitel selapis gepeng yang membatasi alveolus pada muara alveolus. Di luar lamina epitel, dindingnya disusun oleh anyaman berkas otot polos dan jaringan ikat fibro-elastis. Bronchiolus respiratorius melanjutkan diri ke ductus alveolaris. e. Ductus Alveolaris Ductus alveolaris adalah saluran berdinding tipis, berbentuk kerucut, dilapisi oleh epitel selapis gepeng. Lapisan ini sangat tipis sehingga dengan mikroskop cahaya sulit ditentukan. Di luar epitel, dindingnya dibentuk oleh jaringan fibroelastis. Di sekeliling

muara ductus alveolaris terdapat banyak alveolari tunggal dan saccus alveolaris (sekelompok alveoli). Serat-serat otot polos tampak mencolok, terutama pada muara alveoli dan saccus alveolaris. Sesungguhnya, muara alveoli pada ductus alveolaris sedemikian banyaknya sehingga sulit untuk dapat melihat dinding ductus alveolaris; walaupun ada potongan tebal, hal ini lebih jelas dan dapat dilihat berkas-berkas serat elastis, kolagen, dan serat otot berselang-seling di antara muara alveoli di sepanjang dinding ductus alveolaris. f. Atria, Saccus Alveolaris, dan Alveoli Ductus alveolaris bermuara ke dalam atria, yaitu suatu ruang tak teratur atau gelembung tempat alveoli dan saccus alveolaris bermuara. Biasanya dua atau lebih saccus alveolaris muncul dari tiap atria. Saccus alveolaris adalah multikular, yaitu sekelompok alveoli yang bermuara ke dalam suatu ruangan pusat sedikit lebih besar.

Gambar 1-7. Kiri: Bagian lanjutan dari bronchus terminalis dan merupakan suatu tafsiran dari potngan, dengan ductus alveolaris (AD), saccus alveolaris (AS), dan alveoli (A). E = epitel; Kanan: Potongan melintang septum interalveolaris (IS) yang memisahkan dua alveoli (A). Septum ini disusun oleh kapiler (Ca). Keterangan lain Sm = otot polos, BV = pembuluh darah, DC = sel debu, RBC = sel darah merah, P1 = pneumosit tipe I, P2 = pneumosit tipe II. Masing-masing alveolus dilapisi oleh epitel gepeng yang sangat halus tapi sempurna. Pada potongan tipis, dapat dilihat adanya celah pada septum interalveolaris sehingga memungkinkan hubungan antara dua alveoli yang saling berdampingan. Celah ini disebut porus alveolaris. Septum interalveolaris dibungkus pada masing-masing permukaannya oleh epitel tipis yang membatasi alveoli serta mengandung banyak kapiler di dalam kerangka jaringan ikat penyokongnya.

LI. 2. Memahami dan Menjelaskan Mycobacterium tuberculosis 2.1 Morfologi

Pada jaringan, basil tuberkulosis adalah bakteri batang tipis lurus berukuran sekitar 0,4 x 3 m. Pada medium artificial, bentuk kokoid dan filamen terlihat dengan bentuk morfologi yang bervariasi dari satu spesies ke spesies lainnya. Mikobakterium tidak dapat diklasifikasikan menjadi gram positif atau gram negatif. Jika sudah diwarnai dengan bahan celup dasar, organisme ini tidak dapat diwarnai dengan alkohol, tanpa menghiraukan pengobatan iodin. Basil tuberkulosis sejati ditandai dengan tahan asam yaitu, 95% etil alkohol mengandung 3% asam hidroklorat (asam-alkohol) dengan cepat menghilangkan warna semua bakteri kecuali mikrobakterium. Sifat tahan asam ini tergantung pada integritas selubung yang terbuat dari lilin. Dalam jaringan, basil tuberkel adalah basil berbentuk batang lurus dengan ukuran sekitar 0,43 m. Pada media buatan, bentuk kokoid dan filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies lain. Mikrobakteria tidak dapat dikelompokkan dalam gram positif. Segera setelah diwarnai dengan pencelup dasar, mereka tidak dapat didekolorisasi oleh alkohol; tanpa memperhatikan pengobatan denga iodine. Basil tuberkel yang benar ditandai dengan pencepat asammisalnya 95% etil alkohol yang berisi 3% asam hidroklorat (asam alkohol) mendekolorisasi semua bakteri dengan cepat kecuali mikobakteria. Pencepat asam tergantung pada integritas lilin pembungkus.

Pewarnaan teknik Ziehl-Neelsen digunakan untuk bakteri tahan asam. Dengan pemulasan sputum atau jaringan, mikobakteria dapat ditunjukkan dengan flourescen kuning-oranye setelah pewarnaan dengan flourokrom (yaitu auramin, fodamine). 2.2 Klasifikasi 2.3 Sifat Karakteristik Pertumbuhan Mikobakteria merupakan aerobik obligat yang memperoleh oksidasi dari beberapa senyawa karbon sederhana. Penambahan CO2 akan meningkatkan pertumbuhan. Tidak ada aktivitas biokimia yang memadai. Dan kecepatan lebih rendah daripada sebagian besar bakteri. Waktu untuk menggandakan tuberkel sekitar 18 jam, bentuk saprofit cendrung tumbuh lebih cepat, proliferasi cendrung pada temperatur 22230 C untuk menghasilkan pigmen yang lebih banyak dan mengurangi bentuk tahan asam daripada bentuk patogenik. Reaksi terhadap Agen Fisik dan Kimia Mikobakteria cendrung lebih resisten terhadap agen kimia terhadap bakteri lain karena sifat hidrofobik permukaan sel dan pertumbuhannya. Air daging (yaitu malsit hijau) atau agen antibakteri (yaitu penisilin) sebagai bakteriostatik untuk bakteri lain dapat digabungkan ke dalam media tanpa menghambat pertumbuhan basil tuberkel. Asam dan alkali mendukung ketahanan hidup beberapa basil tuberkel yang terpapar dan digunakan untuk mengeliminasi organisme kontaminan dan untuk menghimpun spesimen klinik. Basil tuberkel resisten terhadap kekeringan dan bertahan hidup selama periode waktu yang lama dalam sputum kering. Variasi Variasi dapat terjadi dalam koloni, pigmentasi, virulensi, temperatur pertumbuhan yang optimal dan beberap pertumbuhan atau seluler lain. Patogenisitas Mikobakteria Ada perbedaan kemampuan bakteria untuk menyebabkan lesi dalam spesies inang. Manusia dan babi guinea rentan terhadap infeksi M. tuberculosis, dimana unggas dan lembu resisiten. Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis samasama patogen terhadap manusia. Pada negara berkembang, M. bovis telah jarang. Beberapa mikobakteria atipikal (yaitu Mycobacterium kansasii) telah menyebabkan suatu penyakit pada manusia yang sulit dibedakan dari tuberkulosis, yang lainnya (yaitu Mycobacterium fortuitum) menyebabkan lesi permukaan sebagai opportunis. LI. 3. Memahami dan Menjelaskan Tuberculosis Paru 3.1 Definisi

Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (TBC). Meskipun dapat menyerang hampir semua organ tubuh, namun bakteri TBC lebih sering menyerang organ paru (80-85%) (Depkes,2008). Tubekulosis yang menyerang paru disebut tuberculosis paru dan yang menyerang selain paru disebut tuberculosis ekstra paru. Tuberculosis paru dengan pemeriksaan dahak menunjukkan BTA (Basil Tahan Asam) positif, dikategorikan sebagai tuberculosis paru menular (Depkes, 2005). Penyakit TB paru merupakan penyakit menahun, bahkan dapat seumur hidup. Setelah seseorang terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis, hampir 90% penderita secara klinis tidak sakit, hanya didapatkan test tuberkulin positif dan 10% akan sakit. Penderita yang sakit bila tanpa pengobatan, setelah 5 tahun, 50% penderita TB paru akan mati, 25% sehat dengan pertahanan tubuh yang baik dan 25% menjadi kronik dan infeksius (Jusuf, 2010). Namun ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dengan TB paru aktif yang tidak diobati lebih mungkin meninggal dalam waktu yang lebih singkat (Green, 2006). 3.2 Etiologi Sumber penularan penyakit TB paru adalah penderita yang pemeriksaan dahaknya di bawah mikroskop ditemukan adanya bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang di sebut dengan BTA (basil tahan asam). Makin tinggi derajat hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Namun tidak semua penderita TB paru akan ditemukan bakteri Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan, tergantung dari jumlah bakteri yang ada (Aditama, 2006). Penderita dapat menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk percikan dahak, yang dalam istilah kedokteran disebut droplet nuclei. Sekali batuk dapat menghasilkan 3000 percikan dahak. Melalui udara yang tercemar oleh Mycobacterium tuberculosis yang dilepaskan/ dikeluarkan oleh penderita TB paru saat batuk. Bakteri akan masuk ke dalam paru-paru dan berkumpul hingga berkembang menjadi banyak terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah. Sementara, bagi yang mempunyai daya tahan tubuh baik, maka penyakit TB paru tidak akan terjadi. Tetapi bakteri akan tetap ada di dalam paru dalam keadaan tidur, namun jika setelah bertahun-tahun daya tahan tubuh menurun maka bakteri yang tidur akan bangun dan menimbulkan penyakit. Salah satu contoh ekstrim keadaan ini adalah infeksi HIV yang akan menurunkan daya tahan tubuh secara drastis sehingga TB paru muncul. Seseorang dengan HIV positif 30 kali lebih mudah menderita TB paru dibandingkan orang normal (Aditama, 2006). Pada umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana droplet (percikan dahak) ada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah droplet, sementara cahaya dan sinar matahari langsung dapat membunuh bakteri. Droplet dapat bertahan beberapa jam dalam kondisi gelap dan lembab. Orang dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Jadi penularan TB paru tidak terjadi

melalui perlengkapan makan, baju, dan perlengkapan tidur (Depkes, 2005). Daya penularan dari seseorang penderita TB paru ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya. Faktor yang memungkinkan seseorang terpapar bakteri TB paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lama menghirup udara tersebut. Risiko tertular tergantung dari tingkat terpapar dengan droplet dan kerentanan terhadap penularan (Depkes, 2008). Bakteri Mycobacterium tuberculosis sangat sensitif terhadap cahaya matahari. Cahaya matahari berperan besar dalam membunuh bakteri di lingkungan, dan kemungkinan penularan di bawah terik matahari sangat kecil karena bahaya penularan terbesar terdapat pada perumahan-perumahan yang padat penghuni dengan ventilasi yang kurang baik serta cahaya matahari tidak dapat masuk kedalam rumah (Achmadi, 2008). 3.3 Klasifikasi 3.4 Patofisiologi Infeksi terjadi biasanya melalui debu atau titik cairan (droplet) yang mengandung kuman tuberkulosis dan masuk ke jalan pernapasan. Penyakit timbul setelah kuman menetap dan berkembang biak dalam paru-paru atau kelenjar getah bening (KGB) regional. Perkembangan penyakit tergantung pada: a. Dosis/jumlah kuman yang masuk Virulensi kuman Daya tahan dan hipersensitivitas hospes

Tuberkulosis Primer

Penularan TB paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada-tidaknya sinar ultraviolet, baik-buruknya ventilasi, dan tingkat kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap, kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran pernapasan atau jaringan paru. Partikel dapat masuk alveolar bila ukuran partikel < 5 m. Kuman pertama kali akan dihadapi oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan tracheobronchial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Kuman menetap di jaringan paru dan berkembang biak dalam sitoplasma di makrofag. Kuman dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer/efek primer/sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian paru. Bila menjalar ke pleura, maka terjadi efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran

pencernaan, jaringan limfe, oropharynx, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh bagian paru menjadi TB milier. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran KGB hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal + limfadenitis regional = kompleks primer (Ranke). Proses ini memakan waktu 3-8 minggu, kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi: Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat (ini banyak terjadi). Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, klasifikasi hilus, + 10% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant. Berkomplikasi dan menyebar secara: - Per kontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya - Secara bronchogen pada paru yang bersangkutan maupun paru disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus - Secara limfogen ke organ tubuh lainnya, - Secara hematogen ke organ tubuh lainnya.

b.

Tuberkulosis Pasca-primer (Tuberkulosis Sekunder)

Kuman yang dormant (tidur) pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi TB dewasa (tuberkulosis post-primer/TB pasca-primer/TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alcohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal. TB pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru. Invasinya adalah daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini ini mula-mula berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel, yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel Datia-Langhans yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda menjadi TB usia tua. Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya, dan imunitas pasien, secara keseluruhan akan terdapat 3 jenis sarang, yakni: Sarang yang dapat sembuh. Jika sudah sembuh tidak perlu pengobatan lagi. Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan sempurna.

Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh spontan, tetapi mengingat kembali kemungkinan terjadinya eksaserbasi kembali, sebaiknya diberi pengobatan yang sempurna juga.

3.5 Manifestasi Klinis Menurut Crofton (2002), gejala yang dirasakan oleh penderita TB paru dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Permulaan Sakit Pertumbuhan TB paru sangat menahun sifatnya, tidak berangsur-angsur memburuk secara teratur, tetapi terjadi secara melompat-lompat. Serangan pertama menyerupai influenzae akan segera mereda dan keadaan akan pulih kembali. Berbulan-bulan kemudian akan timbul kembali serangan influenzae. Tergantung dari daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil, serangan kedua bisa terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan dan seterusnya. Dikatakan sebagai multiplikasi 3 bulan. Serangan kedua akan bertahan lebih lama dari yang pertama sebelum orang sakit sembuh kembali. Pada serangan ketiga serangan sakit akan lebih lama dibandingkan serangan kedua. Sebaliknya masa tidak sakit menjadi lebih pendek dari masa antara serangan pertama dan kedua. Seterusnya masa aktif influenzae makin lama makin panjang, sedangkan masa bebas influenzae makin pendek. Salah satu keluhan pertama penderita TB paru adalah sering mendapatkan serangan influenzae. Setiap kali mendapat serangan dengan suhu bisa mencapai 40C-41C. 2. Malaise Peradangan ini bersifat sangat kronik akan di ikuti tanda-tanda malaise: anoreksia, badan makin kurus, sakit kepala, badan terasa pegal-pegal, demam subfebril yang diikuti oleh berkeringat malam dan sebagainya. 3. Batuk Mycobacterium tuberculosis mulai berkembang biak dalam jaringan paru. Selama bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, orang sakit tidak akan batuk. Batuk pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang produk-produk ekskresi dari peradangan keluar. 4. Batuk Darah (hemoptoe) Batuk darah akan terjadi bila ada pembuluh darah yang terkena dan kemudian pecah. Tergantung dari besarnya pembuluh darah yang pecah maka akan terjadi Universitas Sumatera Utara batuk darah ringan, sedang, atau berat tergantung dari berbagai faktor. Satu hal yang harus diingat adalah tidak semua batuk darah dengan disertai gambaran lesi di paru secara radiologis adalah TB paru. Batuk darah juga terjadi pada berbagai penyakit paru lain seperti penyakit yang namanya bronkiektesi, kanker paru dan lain-lain.

5. Sakit/ Nyeri Dada 6. Keringat Malam 7. Demam 8. Sesak Nafas, dll. Tidak semua penderita TB paru punya semua gejala diatas, kadang-kadang hanya satu atau 2 gejala saja. Berat ringannya masing-masing gejala juga sangat bervariasi (Aditama, 2006). Gejala-gejala tersebut diatas di jumpai pula pada penyakit paru selain TB paru. Oleh karena itu setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut diatas, harus di anggap suspek tuberculosis atau tersangka penderita TB paru dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Aditama, 2002). 3.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding Diagnosis tuberkulosis paru masih banyak ditegakkan berdasarkan kelainan klinis dan radiologis saja. Kesalahan diagnosis dengan cara ini masih banyak sehingga memberikan efek pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan. Oleh sebab itu, dalam diagnosis tuberkulosis paru, sebaiknya dicantumkan status klinis, status bakteriologis, status radiologis, dan status kemoterapi. WHO tahun 1991 memberikan kriteria pasien tuberkulosis paru. Pasien dengan BTA positif: a. pasien pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopik ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada 2x pemeriksaan, atau b. satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang mengambarkan tuberkulosis aktif, atau c. satu sediaan sputum positif disertai biakan yang positif. Pasien dengan biakan sputum BTA negatif: a. pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopik tidak ditemukan BTA sedikitnya pada 2x pemeriksaan tetapi gambaran radiologis sesuai dengan gambaran TB aktif, atau b. pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopik tidak ditemukan BTA sama sekali tetapi biakannya positif. Disamping TB paru, didapatkan juga TB ekstra paru, yakni pasien dengan kelainan histologis atau dengan gambaran klinis sesuai dengan TB aktif atau pasien dengan satu sediaan dari organ ekstra parunya menunjukkan hasil bakteri Mycobacterium tuberculosae.

Di luar pembagian tersebut di atas pasien digolongkan lagi berdasarkan riwayat penyakitnya, yakni : Kasus baru, yakni pasien yang tidak mendapatkan obat anti TB lebih dari 1 bulan. Kasus kambuh, yakni pasien yang oernah dinyatakan sembuh dari TB, tetapi timbul lagi TB aktifnya. Kasus gagal (smear positive failure), yakni: - Pasien yang sputum BTA nya tetap positif setelah mendapat obat anti TB lebih dari 5 bulan, atau - Pasien yang menghentikan pengobatannya setelah mendapat obat anti TB 1-5 bulan dan sputum BTAnya masih positif. Kasus kronik, yakni pasien yang sputum BTAnya tetap positif setelah mendapat pengobatan ulang lengkap yang disupervisi dengan baik Pemeriksaan Fisis Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa. Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimptomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif. Pemeriksaan Radiologis Pada saat ini, pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi TB. Namun, pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal pemeriksaan ini memberikan keuntungan seperti pada TB anak dan TB milier. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apeks paru, tetapi dapat juga mengenai lobus inferior atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada TB endobronchial). Pada satu foto dada, sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus (pada TB lanjut) seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, cavitas (sklerotik/nonsklerotik), maupun atelektasis dan emfisema. TB sering memberikan gambaran yang aneh-aneh, terutama gambaran radiologis, sehingga dikatakan tuberculosis is the greatest imitator. Gambaran cavitas sering diartikan sebagai abses paru. Di samping itu, perlu diingat juga faktor kesalahan dalam membaca foto. Faktor kesalahan ini dapat mencapai 25%. Oleh sebab itu, untuk diagnostik radiologi, sering dilakukan juga foto lateral, top lordotik, oblik, tomografi, dan foto dengan proyeksi densitas keras.

Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT Scan). Pemeriksaan ini lebih superior dibanding radiologis biasa. Perbedaan densitas jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat transversal. Pemeriksaan Darah Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang-kadang meragukan, tidak sensitif, dan juga tidak spesifik. Pada TB baru dimulai, leukosit sedikit meninggi dengan hitung jenis shift to the left. Jumlah limfosit masih di bawah normal. LED meningkat. Hasil pemeriksaan darah lain juga didapatkan anemia ringan normositik normokrom, peningkatan kadar -globulin, dan kadar natrium darah yang menurun. Pemeriksaan tersebut juga dianggap tidak spesifik. Pemeriksaan Sputum Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis TB sudah dapat dipastikan. Di samping itu, pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan (Puskesmas). Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman baru dapat ditemukan bila bronchus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah keluar. Diperkirakan di Indonesia terdapat 50% pasien dengan BTA positif tetapi kuman tersebut tidak ditemukan dalam sputum mereka. Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain, diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mL sputum. Untuk pewarnaan sediaan, dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok yang merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet. Cara pemeriksaan sputum yang dilakukan adalah: Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan khusus) Pemeriksaan dengan biakan (kultur) Pemeriksaan terhadap resistensi obat.

Saat ini sudah dikembangkan pemeriksaan biakan sputum BTA dengan cara Bactec (Bactec 400 Radiometric System), di mana kuman sudah dapat dideteksi dalam 7-10 hari. Di samping itu, dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR), dapat dideteksi DNA kuman TB dalam waktu yang lebih cepat atau mendeteksi M.

tuberculosis yang tidak tumbuh pada sediaan biakan. Dari hasil biakan, biasanya dilakukan juga pemeriksaan terhadap resistensi obat dan identifikasi kuman. Kadang-kadang, dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa, terdapat kuman BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada fenomena dead bacilli atau non-culturable bacilli yang disebabkan keampuhan panduan obat antituberkulosis (OAT) jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA dalam waktu yang singkat. Tes Tuberkulin Pemeriksaan ini masih banyak digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis TB, terutama pada anak-anak/balita. Biasanya dipakai tes Mantoux, yakni dengan menyutikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D (Purified Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5 T.U (intermediate strength). Bila ditakutkan reaksi hebat dengan 5 T.U, dapat dberikan dulu 1 atau 2 T.U (first strength). Kadang-kadang, bila dengan 5 T.U masih memberikan hasil negatif, dapat diulangi dengan 250 T.U (second strength). Bila dengan 250 T.U masih memberikan hasil negatif, berarti TB dapat disingkirkan. Umumnya, tes Mantoux dengan 5 T.U saja sudah cukup berarti. Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang sedang atau pernah mengalami infeksi M. tuberculosis, M. bovis, vaksinasi BCG, dan Mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit, yakni reaksi persenyawaan antara antibodi selular dengan antigen tuberkulin. Banyak-sedikitnya persenyawaan antibodi selular dengan antigen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi humoral: makin besar pengaruh antibodi humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, hasil tes Mantoux ini dibagi dalam: Indurasi dengan diameter 0-5 mm Mantoux negatif = golongan no sensitivity. Di sini peran antibodi humoral paling menonjol. Untuk pasien dengan HIV positif, tes Mantoux + 5 mm, dinilai positif. Indurasi berdiameter 6-9 mm hasil meragukan = golongan low grade sensitivity. Di sini peran antibodi humoral masih menonjol. Indurasi berdiameter 10-15 mm Mantoux positif = golongan normal sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang. Indurasi dengan diameter >15 mm Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini peran antibodi selular paling menonjol.

Biasanya hampir seluruh pasien TB memberikan reaksi Montoux yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu, yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemui daripada positif palsu.

Hal-hal yang memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu) antara lain sebagai berikut: Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan TB Anergi, penyakit sistemik berat (Sarkoidosis, LE) Penyakit eksantematous dengan panas yang akut: morbili, cacar air, poliomielitis Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikular (Hodgkins disease) Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat-obat imunosupresi lainnya Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan.

Pembuatan Ziehl Neelsen Pada dasarnya prinsip pewarnaan Mycobacterium yang dinding selnya tahan asam karena mempunyai lapisan lemah atau lilin sehingga sukar ditembus cat. Oleh pengaruh phenol dan pemanasan maka lapisan lemak dapat ditembus cat basic fuchsin. Pada pengecatan Ziehl Neelsen setelah BTA mengambil warna dari basic fuchshin kemudian dicuci dengan air mengalir, lapisan lilin yang terbuka pada waktu dipanaskan akan merapat kembali karena terjadi pendinginan pada waktu dicuci. Sewaktu dituang dengan asam sulfat dan alkohol 70% atau HCI alkohol, warna merah dari basic fuchsin pada BTA tidak akan dilepas/ luntur. Bakteri yang tidak tahan asam akan melepaskan warna merah, sehingga menjadi pucat atau tidak bewarna. Akhirnya pada waktu dicat dengan Methylien Blue BTA tidak mengambil warna biru dan tetap merah, sedangkan bakteri yang tidak tahan asam akan mengambil warna biru dari Methylien Blue. Cara Pengecatan Basil Tahan Asam Letakkan sediaan diatas rak pewarna, kemudian tuang larutan Carbol Fuchsin sampai menutupi seluruh sediaan. Panasi sediaan secara hati-hati diatas api selama 3 menit sampai keluar uap, tetapi jangan sampai mendidih. Biarkan selama 5 menit (dengan memakai pinset). Cuci dengan air mengalir, tuang HCL alkohol 3% (alcohol asam) sampai warna merah dari fuchsin hilang. Tunggu 2 menit. Cuci dengan air mengalir, tuangkan larutan Methylen Blue 0,1% tunggu 10-20 detik. Cuci dengan air mengalir, keringkan di rak pengering. Cara Melakukan Pemeriksaan dengan Mikroskop Setelah preparat terwarnai dan kering, dilap bagian bawahnya dengan kertas tissue, kemudian sediaan ditetesi minyak imersi dengan 1 tetes diatas sediaan. Sediaan dibaca mikroskop dengan perbesaran kuat. Pemeriksaan dimulai dari ujung kiri dan digeser ke kanan kemudian digeser kembali ke kiri (pemeriksaan system benteng). Diperiksa 100 lapang pandang (kurang lebih 10 menit). Pembacaan dilakukan secara sistematika, dan setiap lapang pandang dilihat, bakteri Mycobacterium tuberculosis

berwarna merah berbentuk batang lurus atau bengkok, terpisah, berpasangan atau berkelompok dengan latar belakang biru. Pelaporan Hasil Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan dahak dilakukan dengan menggunakan skala International Union Against Tuberculosis (IUAT) yaitu dalam 100 lapang pandang tidak ditemukan BTA disebut negatif, namun jika ditemukan : 1. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif 2. 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah bakteri yang ditemukan 3. 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + atau (1+) 4. 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ atau (2+) 5. > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ atau (3+) Penulisan gradasi hasil bacaan penting, untuk menunjuk keparahan penyakit dan tingkat penularan penderita (Depkes, 2001 dalam Supriyadi, 2003). 3.7 Tatalaksana Tujuan pengobatan pada TB Paru selain untuk mengobati juga mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata rantai penularan. Pengobatan Tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sbb: OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat. Tidak OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif (2-3 bulan) dan lanjutan (4-7 bulan) - Tahap intensif: obat diberikan setiap hari,dan diawasi langsung untuk mencegah resistensi obat. Jika diberikan secara tepat, yang awalnya menular bisa men jadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan - Tahap lanjutan: diberikan obat lebih sedikit dengan jangka waktu yang lama. Tahap ini penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah kekambuha

Jenis OAT

Sifat

Dosis yang Direkomendasikan (mg/kg) Harian 5 (4-6) 10 (8-12) 25 (20-30) 15 (12-18) 15 (15-20) 3x seminggu 10 (8-12) 10 (8-12) 35 (30-40) 15 (12-18) 30 (20-35)

bat Bakterisid yang Isoniazid (H) Rifampicin (R) Bakterisid digu Pyrazinamid (Z) Bakterisid naka Streptomycin (S) Bakterisid n Ethambutol (E) Bakteriostatik untu k TBC digolongkan atas dua kelompok, yaitu:

Obat primer / Lini pertama: Isoniazid (INH), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar dapat dipisahkan dengan obat-obatan ini. Obat sekunder / Lini kedua: Etionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin, Kanamisin.

Isoniazid (INH) Efek antibakteri: Bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid. Efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif. Isoniazid dapat menembus ke dalam sel dengan mudah. Menghambat biosintesis asam mikolat (mycolic acid) yang merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium. Mudah diabsorbsi pada pemberian oral maupun parenteral. Mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Antar 75-95% diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam dan hampir seluruhnya dalam bentuk metabolit. Reaksi hipersensitivitas menyebabkan demam, berbagai kelainan kulit. Neuritis perifer paling banyak terjadi. Mulut terasa kering, rasa tertekan pada ulu hati, methemoglobinemia, tinnitus, dan retensi urin.

Mekanisme kerja:

Farmakokinetik:

Efek samping:

Sediaan dan posologi: Terdapat dalam bentuk tablet 50, 100, 300, dan 400 mg serta sirup 10 mg/mL. Dalam tablet kadang-kadang telah ditambahkan B6. biasanya diberikan dalam dosis tunggal per orang tiap hari. Dosis biasa 5 mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari. Untuk TB berat dapat diberikan 10mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari, tetapi tidak ada bukti bahwa dosis demikian besar lbih efektif. Anak < 4 tahun dosisnya 10mg/kgBB/hari. Isoniazid juga dapat diberikan secara intermiten 2 kali seminggu dengan dosis 15 mg/kgBB/hari. Rifampisin

Aktivitas antibakteri:

Menghambat pertumbuhan berbagai kuman gram-positif dan gram-negatif. Terutama aktif terhadap sel yang sedang tumbuh. Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari mikrobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mula terbentuknya (bukan pemanjangan) rantai dalam sintesis RNA. Pemberian per oral menghasilakn kadar puncak dalam plasma setelah 2-4 jam. Setelah diserap dari saluran cerna, obat ini cepat diekskresi melalui empedu dan kemudian mengalami sirkulasi enterohepatik. Penyerapannya dihambat oleh makanan. Didistribusi ke seluruh tubuh. Kadar efektif dicapai dalam berbagai organ dan cairan tubuh, termasuk cairan otak, yang tercermin dengan warna merah jingga pada urin, tinja, ludah, sputum, air mata, dan keringat. Jarang menimbulkan efek yang tidak diingini. Yang paling sering ialah ruam kulit, demam, mual, dan muntah.

Mekanisme kerja:

Farmakokinetik:

Efek samping:

Sediaan dan posologi: Tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg dan 300 mg. Terdapat pula tablet 450 mg dan 600 mg serta suspensi yang mengandung 100 mg/5mL rifampisin. Beberapa sediaan telah dikombinasi dengan isoniazid. Biasanya diberikan sehari sekali sebaiknya 1 jam sebelum makan atau dua jam setelah makan. Dosis untuk orang dewasa dengan berat badan kurang dari 50 kg ialah 450 mg/hari dan untuk berat badan lebih dari 50 kg ialah 60 mg/hari. Untuk anak-anak dosisnya 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 600 mg/hari. Etambutol Aktivitas antibakteri: Menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati. Hanya aktif terhadap sel yang tumbuh dengan khasiat tuberkulostatik. Pada pemberian oral sekitar 75-80% diserap dari saluran cerna. Tidak dapat ditembus sawar darah otak, tetapi pada meningitis tuberkulosa dapat ditemukan kadar terapi dalam cairan otak. Jarang. Efek samping yang paling penting ialah gangguan penglihatan, biasanya bilateral, yang merupakan neuritis retrobulbar yaitu berupa turunnya ketajaman penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna, mengecilnya lapangan pandang, dan skotom sentral maupun lateral. Menyebabkan peningkatan kadar asam urat darah pada 50% pasien.

Farmakokinetik:

Efek samping:

Sediaan dan posologi: Tablet 250 mg dan 500 mg. Ada pula sediaan yang telah dicampur dengan isoniazid dalam bentuk kombinasi tetap. Dosis biasanya 15 mg/kgBB, diberikan sekali sehari, ada pula yang menggunakan dosis 25 mg/kgBB selama 60 hari pertama, kemudian turun menjadi 15 mg/kgBB. Pirazinamid Aktivitas antibakteri: Farmakokinetik: Mekanisme kerja belum diketahui. Mudah diserap usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomerulus. Yang paling umum dan serius adalah kelainan hati. Menghambat ekskresi asam urat. Efek samping lainnya ialah artralgia, anoreksia, mual, dan muntah, juga disuria, malaise, dan demam.

Efek samping:

Sediaan dan posologi: Bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis oral 20-35 mg/kgBB sehari (maksimum 3 g), diberikan dalam satu atau beberapa kali sehari. Streptomisin Aktivitas antibakteri: Bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman TB. Mudah masuk kavitas, tetapi relatif sukar berdifusi ke cairan intrasel. Setelah diserap dari tempat suntikan, hampir semua streptomisin berada dalam plasma. Hanya sedikit sekali yang masuk ke dalam eritrosit. Kemudian menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Diekskresi melalui filtrasi glomerulus. Umumnya dapat diterima dengan baik. Kadang-kadang terjadi sakit kepala sebentar atau malaise. Bersifat nefrotoksik. Ototoksisitas lebih sering terjadi pada pasien yang fungsi ginjalnya terganggu.

Farmakokinetik:

Efek samping:

Sediaan dan posologi: Bubuk injeksi dalam vial 1 dan 5 gram. Dosisnya 20 mg/kgBB secara IM, maksimum 1 gr/hari selama 2 sampai 3 minggu. Kemudian frekuensi berkurang menjadi 2-3 kali seminggu.

Etionamid Aktivitas antibakteri: In vitro, menghambat pertumbuhan M. tuberculosis jenis human pada kadar 0.9-2.5 g/mL.

Farmakokinetik:

Pemberian per oral mudah di absorpsi. Kadar puncak 3 jam dan kadar terapi bertahan 12 jam. Distribusi cepat, luas, dan merata ke cairan dan jaringan. Ekskresi cepat dalam bentuk utama metabolit 1% aktif. Paling sering anoreksia, mual da muntah. Sering terjadi hipotensi postural, depresi mental, mengantuk dan asthenia.

Efek samping:

Sediaan dan posologi: Dalam bentuk tablet 250 mg. Dosis awaln 250 mg sehari, lalu dinaikan setiap 5 hari dengan dosis 125 mg 1 g/hr. Dikonsumsi waktu makan untuk mengurangi iritasi lambung.

Paraaminosalisilat Aktivitas bakteri: In vitro, sebagian besar strain M. tuberculosis sensitif dengan kadar 1 g/mL. Mudah diserap melalui saluran cerna. Masa paruh 1 jam. Diekskresi 80% di ginjal dan 50% dalam bentuk asetilasi. Gejala yang menonjol mual dan gangguan saluran cerna. Dan kelianan darah antara lain leukopenia, agranulositopenia, eosinofilia, limfositosis, sindrom mononukleosis atipik, trombositopenia.

Farmakokinetik:

Efek samping:

Sediaan dan posologi: Dalam bentuk tablet 500 mg dengan dosis oral 8-12 g sehari. Sikloserin Aktifitas bakteri: In vitro, menghambat M.TB pada kadar 5-20 g/mL dengan menghambat sintesis dinding sel. Baik dalam pemberian oral. Kadar puncak setelah pemberian obat 4-8 jam. Ditribusi dan difusi ke seluruh cairan dan jaringan baik. Ekskresi maksimal dalam 2-6 jam, 50% melalui urin dalam bentuk utuh. SSP biasanya dalam 2 minggu pertama, dengan gejala somnolen, sakit kepala, tremor, vertigo, konvulsi, dll.

Farmakokinetik:

Efek samping:

Sediaan dan posologi: Bentuk kapsul 250 mg, diberikan 2 kali sehari. Hasil terapi paling baik dalam plasma 25-30 g/mL. Kanamisin dan Amikasin Aktivitas Bakteri: Menghambat sintesis protein bakteri. Efek pada M. tb hanya bersifat supresif.

Farmakokinetik:

Melalui suntikan intramuskular dosis 500 mg/12 jam (15mg/kgBB/hr, atau dengan intravena selama 5 hr/mgg selama 2 bulan,dan dilanjutkan dengan 1-1.5 mg 2 atau 3 kali/mgg selama 4 bulan.

Kapreomisin Efek samping: Nefrotoksisitas dengan tanda nnaiknya BUN, menurunnya klirens kreatinin dan albuminuria. Selain itu bisa terjadi hipokalemia, uji fungsi hati buruk, eosinogilia, leukositosis, leukopenia, dan trombositopenia.

Efek samping ringan OAT


Efek Samping Tidak nafsu makan, mual, sakit perut Nyeri sendi Kesemutan s/d rasa terbakar pada kaki Kemerahan pada air seni Penyebab Rifampisin Pirasinamid INH Rifampisin Penatalaksanaan Semua OAT diminum malam sebelum tidur Beri Aspirin Beri Vitamin B6 (Piridoxin) 100mg/hr Perlu penjelasan ke pasien

Efek samping berat OAT


Efek Samping Gatal dan Kemerahan Tuli Gangguan Keseimbangan Ikterus tanpa sebab lain Bingung dan muntahmuntah Gangguan Penglihatan Purpura dan renjatan (syok) Penyebab Semua jenis OAT streptomisin streptomisin Hampir semua OAT Hampir semua OAT Etambutol Rifampisin Penatalaksanaan Ikuti petunjuk pelaksanaan Hentikan,ganti dengan Etambutol Hentikan,ganti dengan Etambutol Hentikan,sampai menghilang Hentikan,segera tes fungsi hati Hentikan Hentikan

3.8 Komplikasi Komplikasi Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi seperti: pleuritis, efusi pleura, empisema, laringitis,TB usus. Menurut Dep.Kes (2003) komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB Paru stadium lanjut: 1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas. 2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial. 3) Bronkiectasis dan fribosis pada Paru. 4) Pneumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan Paru. 5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya. 6) Insufisiensi Kardio Pulmoner

3.9 Prognosis 3.10 Pencegahan Penderita, Kontak dan Lingkungan. 1. Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan membuang dahak tidak disembarangan tempat. 2. Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harus harus diberikan vaksinasi BCG. 3. Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya. 4. Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan khusus TBC. Pengobatan mondok dirumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang memerlukan pengembangan program pengobatannya yang karena alasan-alasan sosial ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan. 5. Des-Infeksi, Cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang ketat, perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, hundry, tempat tidur, pakaian), ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup. 6. Imunisasi orang-orang kontak. Tindakan pencegahan bagi orang-orang sangat dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain) dan lainnya yang terindikasi dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular. 7. Penyelidikan orang-orang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh anggota keluarga dengan foto rontgen yang bereaksi positif, apabila cara-cara ini negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, perlu penyelidikan intensif. 8. Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat. Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun dan teratur, waktu yang lama ( 6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter. Tindakan Pencegahan. 1. Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan. 2. Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect gambas, sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect, perawatan. 3. Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan. 4. BCG, vaksinasi, diberikan pertama-tama kepada bayi dengan perlindungan bagi ibunya dan keluarhanya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat tersebut berupa tempat pencegahan. 5. Memberantas penyakti TBC pada pemerah air susu dan tukang potong sapi, dan pasteurisasi air susu sapi.

6. Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karean menghirup udara yang tercemar debu para pekerja tambang, pekerja semen dan sebagainya. 7. Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala tbc paru. 9. Pemeriksaan screening dengan tubercullin test pada kelompok beresiko tinggi, seperti para emigrant, orang-orang kontak dengan penderita, petugas dirumah sakit, petugas/guru disekolah, petugas foto rontgen. 10. Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil pemeriksaan tuberculin test. LI. 4. Memahami dan Menjelaskan Program Pemerintah Tentang Tuberculosis Paru Directly Observed Treatment, Short course (DOTS) Pada tahun 1992 1993 Global Tuberculosis Program (GTB) WHO menetapkan tuberkulosis sebagai global emergency, kemudian GTB mulai memperkenalkan strategi yang dipakai Dr. Karel Styblo dari InternationalUnion Against Tuberculosis & Lung Diseases (IUATLD) dalam suatu paket manajemen dan teknik yang kemudian dikenal dengan nama DOTS. Dibuat pula berbagai perangkat manajemen yang diperlukan, seperti buku pedoman teknik, bahan pelatihan dan modul-modul untuk memesyarakatkan dan mengimplementasikan DOTS. Dan GTB WHO juga memberikan bantuan teknik pada lebih dari 60 negara di tahun 1990 dan menjadi 102 negara ditahun 1997. Persentase pasien tuberkulosis yang tercakup dalam DOTS juga meningkat yang mana kurang dari 1% di tahun 1990 menjadi 16 % ditahun 1997. Di Nepal, sebuah kerajaan di Himalaya, DOTS diperkenalkan tahun 1996 dengan bantuan JICA Project yang pada saat itu dipimpin oleh Dr. Katsurani Osuga, seorang kebangsaan Jepang. Setelah berjalan 3 tahun 8 bulan, mencapai angka kesembuhan rata-rata 85%. Kesulitan yang dialami oleh Dr Otsuga adalah bagaimana memberikan pelayanan kesehatan yang cukup bagi penduduk yang tinggal di wilayah pegunungan dan perbukitan dimana fasilitas kesehatan terdekat berkilo-kilo meter jauhnya. Namun dengan bantuan sukarelawan yang berasal dari masyarakat, sebagai pengawas pengobatan DOTS akhirnya pada bulan Juli 2000, penduduk yang tercakup oleh DOTS mejadi 70% di Nepal. Di Philipina, menurut laporan Dr Maxxilanda Z. Paulin yang menjabat sebagai Direktur Regional I di Mindanao yang membawahi 2 Rumah Sakit Paru dan 6 pusat laboratorium yang menerapkan DOTS telah mencapai 85% rata-rata penyembuan pada tahun 2000. Untuk mengefektifkan penerapan DOTS, beliau membentuk 4 tim monitor, yaitu (8): 1. Tim montior fungsi
o

Kunjungan dilakukan tiap minggu pada fase intensif bulan pertama dan dua kali pada bulan kedua. Memonitor pasien akan efek samping obat. Mengunjung sukarelawan untuk memonitor masalah yang dihadapi.

o o

o o

Memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien dan keluarganya. Memberikan penyuluhan tuberkulosis.

2. Memberikan pelatihan pekerja tuberkulosis. 3. Membentuk komite diagnostik tuberkulosis untuk membantu petugas kesehatan propinsi. 4. Mewawancarai pasien dan dokter. Di Rusia program DOTS tidak begitu dapat diterima, karena negara tersebut telah mempunyai sistem pemberantasan tuberkulosis tersendiri yang ditemukan oleh Prof. Alexander Rabhun, seorang ilmuwan, guru besar, dan kepala Departemen Penanggulangan TB di Rusia, yang menerapkan:
o o o

Setiap pasien dengan tuberkulosis aktif harus dirawat di RS dalam wakktu 6-8 bulan. Diterapi dengan obat-obat yang telah ada . Dilakukan pengawasan menelan (termasuk injeksi streptomisin) yang dilakukan oleh perawat. Memasukkan seluruh catatan pengobatan pasien ke dalam rekam medik.

Selain itu departemennya melakukan pelatihan-pelatihan tuberkulosis bagi dokterdokter di seluruh penjuru negeri dan mewajibkan bagi selurruh fakultas kedokteran untuk memasukkan materi kuliah tenteng tuberkulosis sebanyak 85 95 jam tatap muka dan 10 20 jam di laboratorium. Sistem tersebut sebenarnya tidak berbeda dengan DOTS yang direkomendasikan WHO. Yang menjadi pertentangan sebagai mana yang dikutip dari makalah Tuberkulosis di Rusia oleh M.I Peleman adalah:
o

Bagaimanapun, mustahil bagi Rusia untuk menerima secara keseluruhan cara pengobatan rawat inap menjadi rawat jalan bagi seluruh pasien. Para ahli barat kelihatannya tidak menyadari bahwa pasien-pasien dalam kondisi eksaserbasi tidak cocok untuk dirawat di rumah termasuk penderita tuberkulosis kronik dan atau resisten obat. Bagian lain yang menimbulkan kekurang setujuan adalah dalam hal cara mendiagnosa tuberkulosis dengan pemeriksaan laboratorium. Rusia menganggap foto toraks lebih sensitif dibanding pemeriksaan sputum.

Pada bulan Mei 2000 di RIT dilakukan pertemuan yang diikuti oleh Korea, Jepang, Taiwan, Hongkong, Singapura, Macau, Malaisya dan Brunai dengan tamu dari WHO dan IUATLD untuk membicarakan analisa dan strategi dari pengurangan insiden tuberkulosis di tahun-tahun belakangan ini dan mendiskusikan penerapan DOTS dan pembangunan sistem informasi tuberkulosis di Asia seperti yang ada di Eropa. Bagaimana dengan Indonesia?.

Di Indonesia DOTS belum dilaksanakan secara menyeluruh. Berdasar hasil pengalaman penanganan tuberkulosis dengan strategi DOTS yang dilakukan oleh dr. Sri Ani pada Puskesmas Sibela Kotamadya Surakarta sejak bulan Januari 2000 didapatkan angka konversi 100% dan drop out 0%. DOTS Plus DOTS Plus merupakan sistem strategi penanggulangan tuberculosis yang resisten terhadap berbagai macam obat/MDR (Multi Drug Resistant). Mengapa tuberkulosis yang sebelumnya dapat diobati menjadi tuberkulosis yang resisten terhadap pengobatan? Resistensi terhadap pengobatan muncul sebagai akibat penggunaan antibiotika yang tidak tepat, termasuk di dalamnya pengaturan pemberian obat yang kurang baik oleh petugas kesehatan dan lemahnya sistem kontrol terhadap penderita. Di daerah yang memiliki resistensi yang minimal atau tidak ada resistensi, DOTS memiliki tingkat keberhasilan penyembuhan lebih dari 95%; merupakan tingkat keberhasilan yang cukup mengagumkan dalam mengurangi permasalahan tuberkulosis disamping mencegah resistensi tuberkulosis terhadap pengobatan. Menurut data yang dikumpulkan WHO dari 28 negara menunjukan angka MDR di berbagai negara tersebut berkisar 0 22,1% dengan median 2,2%. Di Indonesia sendiri, pada beberapa kota berdasarkan data PDPI tahun 1998 berkisar 0 8% untuk tuberkulosis primer dan 42% untuk tuberkulosis sekunder . Adanya resistensi ini dapat membuat hasil pengobatan DOTS tidak berhasil maksimal. Karena itu ada ide untuk melaksanakan apa yang kemudian dikenal dengan DOTS Plus. Pada tahun 1998, WHO dan beberapa organisasi lain di seluruh dunia meluncurkan DOTS Plus, suatu strategi yang terus dikembangkan dan diuji dalam menangani MDR-TB. Pada strategi DOTS Plus upaya pengobatan untuk menyembuhkan tuberkulosis dengan resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (MDR-TB) adalah dengan menggunakan anti tuberkulosis second-line. Namun beberapa pakar di beberapa negara berpendapat bahwa DOTS Plus masih perlu ditelaah terlebih dulu, baik dari sudut epidemiologi maupun segi ekonomis. Dari sudut epidemiologis perlu dipertimbangkan angka keberhasilan yang dicapai regimen pengobatan jangka pendek terhadap mereka yang sensitif dan mereka yang resisten terhadap OAT. Sebab berdasarkan laporan dari beberapa negara dengan menggunakan pengobatan jangka pendek saja angka keberhasilan pengobatan terhadap mereka yang sensitif tidaklah terlalu berbeda dengan mereka yang resisten terhadap satu OAT. Dari sudut ekonomis, mereka masih mempersoalkan tentang diperlukannya pemeriksaan resistensi pada semua penderita tuberkulosis untuk mengetahui ada tidaknya resisten ganda/MDR bila DOTS Plus ini akan diberlakukan. Untuk ini tentu diperlukan managemen yang cukup rumit dan juga biaya yang tinggi untuk pelaksanaannya. LI. 5. Memahami dan Menjelaskan Etika Batuk dalam Islam

Bila sakit batuknya berlangsung secara terus-menerus hingga tidak terdapati waktu yang cukup dia gunakan untuk shalat tanpa batuk didalamnya maka dimafu Bila batuknya tidak terus-menerus kemudian dalam shalatnya ia mengalami batuk yang berulang-ulang maka menurut Imam Ali Syibra Malisy (Ulama dari Madzhab Syafiiyyah) maka batal shalatnya.

Bila seseorang diuji mengalami semacam batuk secara terus-menerus sekira tidak terdapati waktu sedikitpun yang cukup ia gunakan untuk menjalani shalat tanpa batuk yang membatalkan maka dzahirnya batuk tersebut dimafu (diampuni) dan tidak ada qadha baginya bila ia telah sembuh dari batuknya. Kaasyifah as-Sajaa I/187 ________________________


Bila seseorang diuji mengalami semacam batuk secara terus-menerus sekira tidak terdapati waktu sedikitpun yang cukup ia gunakan untuk menjalani shalat tanpa batuk yang membatalkan maka dzahirnya batuk tersebut dimafu (diampuni) dan tidak ada qadha baginya bila ia telah sembuh dari batuknya. (Keterangan sekira tidak terdapati waktu sedikitpun yang cukup ia gunakan untuk menjalani shalat tanpa batuk) Berkata Ali Syibra Malisy Bila terdapati waktu yang sekiranya cukup digunakan shalat tanpa batuk maka batallah shalatnya bila terjadi batuk yang banyak dalam shalatnya. Iaanah at-Thoolibiin I/219 Wallaahu Alamu Bis Showaab

Daftar Pustaka Dorland, W. A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29. Jakarta: EGC Ganong, William F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 20. Jakarta: EGC Gartner, Leslie P. & James L. Hiatt. 2007. Color Atlas of Histology, Fourth Edition. Baltimore, Maryland: Lippincott Williams & Wilkins Idrus, Alwi dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI Jawetz, Melnick, & Adelbergs. 2007. Mikrobiologi Kedokteran, Edisi XXIII. Jakarta: Salemba Medika. Leeson, C. Roland. 1996. Buku Ajar Histologi, Edisi V. jakarta: EGC Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman penatalaksanaan TB paru. 1998. Robbins, Stanley L. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins, Volume 2 Edisi 7. Jakarta: EGC Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC Staf Pengajar FKUI. 1993. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran, Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah. 2012. Hukum Batuk Dalam Shalat. (from: http://www.pissktb.com/2012/06/1609-hukum-batuk-dalam-sholat.html accessed at: February 27th, 2013 19.34 WIB)

PAPARAN KAJIAN ILMIAH Blok Respirasi Batuk Darah

Oleh: Nuraga Wishnu Putra 1102011199

Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi Jakarta Tahun Ajaran 2012/2013

You might also like