You are on page 1of 22

DISKUSI BEBERAPA TEOLOG DENGAN TURGEN HABERMAS TENTANG AKAL BUD1 D& AGAMA DI JAMAN POSTMETAFISIKA

Abstract: Dialogue between theology and philosophy in Christianity has a long tradition. The fact that this dialogue stiU takes place and how it takes place in our time, in this post-metaphysical era, can be seen, among others, in a discussion that takes place betweenJoseph Ratzinger (now Pope Benedict XVI) and Magnus Smet-both are theologians-and Jiirgen Habermas, a philosopher. To critically accompany the development of a modern society and to show the relevance of faith for this society, philosophy and theology, modern thought and Christian religious tradition, must learn from one another. While philosophy and theology need to develop their own potentialities in a maximum way, they also need to be aware of their own limitations. Keywords: Iman, aka1 budi modern, kebebasan, metafisika, posrmetafisika

PENGANTAR
Tulisan ini mengacu pada beberapa peristiwa dialog sejumlah teolog dan fdosof agama dengan Jiirgen Habermas yang terjadi beberapa tahun terakhir ini. Pertama, seminar yang diadakan oleh Akademi Katolik di Miinchen pada 19 Januari 2004. Dua pembicara utama dalam seminar tersebut adalab Jiirgen Habermas danJoseph Ratzinger yang waktu itu adalah Ketua Kongregasi Ajaran Iman Gereja Roma katolik. Makalah keduanya kemudian diterbitkan dalam buku dengan judul yang mencerminkan tema diskusi: Dialektika Sekularisasi. Tentang Akal budi dan Agama.' Kedua, sebuah seminar yang diadakan di Wina pada 4-6 Maret 2004 dalam rangka memperingati dua ratus tahun wafatnya salah seorang filosof hesar Jerman, Immanuel Kant. Jiirgen Habermas menjadi pembicara utama pada seminar tersebut. Ia menyampaikan makalah yang men-

A. Ssnarko, Program S t d i Ilnm Teologi, Sekolab Tinggi Fiirujot Dr+arkoro, Cetnpokn Putih Ijidob 100 A, Rawamn, Jakarta 10520. E-nroil: norko&@yaboo.de.

159

160

Dirkmi Beberapa Teoiog dengoti Jiirgen Habermor (A. Ssnarko)

jadi bahan diskusi hangat dan kemudian diterbitkan dengan judul: Die Grenxe xwischen Glauben and Wissen. Z n r Wirkungsgeschichte und aktuellen Bedeutnng von Kants Religionsphilosophie (Batas antara Iman dan Pengetah u m . Tentang pengaruh historis dan Makna aktual dari Filsafat Agama Kant).'Ketiga, ceramah Habermas tersebut mendapat tanggapan antusias dari berbagai kalangan yang menaruh perhatian pada agama dan kedudukan serta perannya dalam masyarakat demokratis-sekular. Atas dasar itu kemudian diadakan sebuah seminar berikut gum membahas pandangan Habermas tentang agama. Seminar tersebut dmdakan lagi di Wina, Austria pada 23-24 September 2005. Dalam seminar itu Habermas tidak menjadi pembicara, melainkan diundang hadir untuk mendengarkan tiga belas pembicara lain yang menyarnpaikan pandangan mereka tentang pemikiran Habermas, khususnya berkaitan dengan problem agama dalarn masyarakat post-sekular. Dalam publikasi ketigabelas makalah tersebut disertakan pula tanggapan dari Jiirgen Habermas3 Dari ketigabelas pembicara tersebut, paling tidak ada empat orang yang berprofesi sebagai profesor teologi. Salah seorang di antaranya adalah Magnus Striet (professor untuk bidang teologi fundamental di Universitas Albert Ludwig, Freiburg,Jerman), seorang teolog muda yang banyak berdiskusi dengan filsafat kontemporer. Keeqat, diskusi Ratzinger dengan Habermas ternyata tidak berhenti pada pertemuan di Miinchen. Ceramah Benediktus XVI di Universitas Regensburg pada 12 September 2006 mendapat tanggapan dari Habermas dalam artikelnya yang berjudul ' E i n Bewusstsein von dem, wasjhlt Berkaitan dengan itu para pro(Kesadaran akan apa yang k~ran~hilang)."~ fesor di SekolahTinggi Filsafat para Jesuit di Miinchen (Norbert Brieskorn SJ, Michael Reder, Friedo Ricken SJ, dan Josef Schmidt SJ) mengundang Habermas untuk berdiskusi bersama pada Februari 2007.' Dalam tulisan berikut, saya akan menyampaikan kembali sejumlah pemikiran dari rangkaian diskusi dan seminar tersebut di atas, sejauh itu penting ,dm relevan, khususnya untuk teologi. Secara khusus saya akan memberi perhatian pada diskusi antara Joseph Ratzinger, Magnus Smet danliirgen Habermas.

1 . M~~NCHEN: HABERMAS DAN RATZINGER


Jiirgen Habermas berangkat dari pertanyaan termasyur yang dikemukakan Ernst Wolfgang Bockenforde pada pertengahan tahun 1960-an: "Does the free, secularized state exist on the basis of normative presuppositions that

DISKURSUS,Vd 7, No.2,

Qktoler 2008: 159-180

161

itself cannot guaranteeYb Atau kalau dipertajam lagi, pertanyaannya menjadi: Apakah sistem negara demokratis-sekular mampu dari kekuatannya sendiri terus memperbarui pengandaian-pengandaian normatif yang diperlukan untuk bertahan? Tidakkab untukitu ia tergantung pada kekayaan tradisi-tradisi kolektif eti~-reli~ius?~ Konsep negara demokratis-sekular yang dimaksud di sini mengacu pada bentuk khusus dari liberalisme, yaitu paham republikanisme kantian. Paham ini meletakkan dasar-dasar normatif bagi negara demokratis tidak dengan mengacu pada tradisi religius tertentu dan tidakpula berdasarkan paham metafisika tertentu. Justifikasi yang diberikan dilandasi pandangan filosofis yang bersifat post-metafisika. "This theory is in the tradition of a rational law that renounces the strong cosmological or salvation-historical assumptions of the classical and religious theories of the natural lawn8Peran sejarah teologi Kristiani Abad Pertengahan, khususnya skolastisme Spanyol, bagi lahirnya paham tentang hak asasi manusia tentu saja tidak disangkal. Tetapi basis sesungguhnya bagi legitimasi negara hukum demokratis modern diambil dari pernikiran f i b sofis (profan) dari abad ke-I7 dan ke-18. Pendasaran kogn~tif bagi legitimasi yang dimaksud itu paling tidak meliputi dua hal berikut. Pertama, proses demokratis bagi penentuan hukum harus bersifat "inclusive" dan "discursive."' Kalau demikian, dapat diandaikan bahwa hasilnya secara rasional akan dapat diterima. Kedua, proses demokratis itu sekaligus berjalan bersamaan dengan prinsip pengakuan atas hak asasi manusia. Artinya, dalam proses penentuan hukum secara demokratis itu dituntut, bahwa "the basic liberal and political rights"10 setiap orang sungguh terjamin. Kalau itu terlaksana, maka dapat diandaikan bahwa "the constitution of the liberal state can satisfy its own need for legitimacy in a self-sufficient manner .. .."" Persoalan menjadi sedikit berbeda kalau kita beralih dari tataran kognitif ke tataran motivasi. Yang dimaksudkan adalab bahwa ada sejumlah hal yang diperlukan bagi berfungsinya sebuah negara hukum-demokratis, tetapi tidak dapat dipaksakan oleh hukum. Memberikan suara dalam pemilihan umum serta solidaritas dengan satu sama lain adalah hal-hal yang perlu, tetapi tidak dapat dipaksakan oleh hukum. Kesediaan untuk menolong dan membela warga yang asing dan anonim, kesediaan untuk berkorban bagi kepentingan banyak orang adalah perlu, tetapi hanya dapat disarankan, dianjurkan, tidak dapat dipaksakan. "This is why politicalvirtues ... are essential if a democracy is to e~ist."'~

Tetapi untuk itupun-demikian Habermas-negara hukum-demokratis modern tidak perlu berpaling pada sumber lain. Icalau berjalan dengan baik dan ideal, praksis demokrasi dapat mengembangkan dinamika politisnya sendiri yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Akan tetapi masalah yang dihadapi jauh lebih serius. Modernisasi secara keseluruhan nampaknya berjalan salah arah. Dalam proses itu solidaritas yang diperlukan bagi berjalannya negara demokratis (tetapi tidak dapat &paksakan oleh hukum) nampak makin tipis, bahkan lenyap. Warga masyarakat berubah menjadi monade-monade yang terisolasi satu sama lain, yang bertindak hanya demi kepentingan sendiri. Hak masing-masing dipakai sebagai senjata untuk s a h g melawan satu sama lain.'3 Pada tataran yang lebih luas dan global hal itu nampak dalam tidak adanya kontrol politis atas dinamika ekonomi global. Habermas menunjuk khususnya pada kepentingan pasar bang belum mengalami demokratisasi sebagaimana halnya negara) dan karena itu mendominasi wdayah kehidupan lain. Proses demokrasi tidak berjalan. Dan kalau pun masih dapat berfungsi pada tingkat nasional, seringkali tidak berdaya berhadapan dengan korporasi yang bergerak internasional, supra-nasional. "The dwindling of any genuine hope that the global community would be a creative political force encourages the tendency to depolitize the citizen^."'^ Ditambah dengan makin akutnya problem ketidakaddan sosial, jelaslah bahwa proyek modernisasi sedang ada dalam bahaya, berjalan pada re1 yang keliru. Pemecahan yang ditawarkan teori-teori postmodern ditolak Habermas, karena kritik mereka terhadap paham aka1budi modem terlalu radikal. Mereka memandang masalah yang dihadapi sebagai "logical outcome of the program of a self-destructive intellectual and societal rati~nalization."'~ Juga ditolak Habermas munculnya kembali sikap skeptis radikal dari kalangan Kristiani atas akal budi modern yang menawarkan pemecahan mudah berbau fideistis, dengan mengatakan bahwa obat yang mujarab terletak pada orientasi religius pada yang transenden. Sebagaimana jelas juga dari berbagai tulisan lain, Habermas tetap yakin berpegang pada sikap untuk meneruskan proses modernisasi, tetapi tentu saja dengan koreksi. Kritiknya terhadap akal budi modern tidak total. Di sini kiranya Habermas melihat perlunya memberi perhatian pada agama; bukan semata-mata sebagai fakta yang secara sosial ternyata mash ada. "Philosophy must take this phenomenon ser~ously from within ... as a cognttive challenge."I6

DISKURSUJ, Vd 7, No 2, O&aktoler 2008: 159-180

163

Dalam IGtab Suci dan tradisi-tradisi religius yang sudah berabad-abad umurnya-demikian Habermas-kita temukan intuisi mengenai pengalaman dasariah manusia berkaitan dengan kegagalan dan penyelamatan. Lebih persis lagi: dalam kehidupan jemaat-jemaat religius konkret tetap terpelihara apa yang di tempat lain hilang: Adequately differentiated possibilities of expression and . .. sensitivities with regard to lives that have gone astray, with regard to societal pathologies, with regard to the failure of individual plans for their lives, and with regard to the deformation and disfigurement of the lives that people share with one another." Karena itu perlulah filsafat mengembangkan sikap mau belajar dari agama "not only for functional reasons, but also ... for substantial reason^."'^ Dan itu sebenarnya bukan hal yang baru. Sejarah panjang perjumpaan kekristenan dengan Filsafat Yunani, menurut Habermas, tidak hanya menghasilkan teologi dogmatik dan helenisasi kekristenan. Sebaliknya, perjumpaan itu juga menyebabkan bahwa gagasan-gagasan Kristiani diterima dalam sistem-sistem pemikiran filosofis. Hal itu tampak dalam konsep-konsep normatif seperti: tanggungjawab, otono'mi dan pembenaran, sejarah dan memoria, emansipasi dan pemenuhan, individualitas dan sosialitas, dll. Memiliki asal-usulnya dalam dunia religius, konsep-konsep itu ditransformasikan, tanpa mengosongkan maknanya sama sekali. One such translation that salvages the substance of a term is the translation of the concept of man in the image of God into that of the identical dignity of all men that deserves unconditional respect. This goes beyond the borders of one particular religious fellowship and makes the substance of biblical concepts accessible to a general public that also includes those who have other faiths and those who have none." Mengingat terancarnnya nilai solidaritas oleh karena dominasi kepentingan pasar, perlulah berdialog dengan segala macam sumber kultural yang memiliki pptensi untuk membangkitkan solidaritas. Seperti kemudian sering dikatakannya, Habermas menegaskan bahwa berkaitan dengan itu agama memiliki potensi semantik yang mash harus digali. 'Tradisi-tradisi religius adalah sumber, dari padanya akal budi.. . dapat menimba kekayaan, dan akal budi sekular memiliki kemampuan dan tugas untuk menerjemahkan isi dari tradisi religius ke dalam sistem bahasanya ~ e n d i r i . ' ' ~ ~

164

Dirkusi Bebempn T d o g detrgon Jiirgen Hnbermm (A. Smorko)

Baik dari pihak agama maupun dari pihak akal budi sekular dituntut sikap yang tepat. Di satu pihak, dari pihak agama dituntut untuk menepati normanorma proses demokratis serta memenuhi tuntutan refleksi akal b u d modern. Berhadapan dengan kenyataan perkembangan pengetahuan, posisi netral negara serta prinsip kebebasan beragama, agama dituntut melepaskan klaim sebagai satu-satunya pemilik otoritas untuk menafsirkan dan menentukan cara hidup yang legitim. Ini tidak berarti, bahwa agama lpaksa dikurung dalam ruang privat saja. Kemungkinan untuk meinberi pengaruh bagi masyarakat tetap terbuka. Tetapi hal itu hanya dapat dilakukan dengan mengikuti proses yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. D i situ akal budi dapat memainkan peran yang penting.
Di lain pihak, akal budi sekular perlu berefleksi dm untuk makin menyadari pula keterbatasan-keterbatasannya. Keyaktnan-keyakinan religius perlu diakui sebagai yang me& status epistemis yang sah dan tidak semata-mata dipandang sebagai yang irasional. 'When secularized citizens act in their role as citizens of the state, they must not deny in principle that religious images of the world have the potential to express truth."21 Kardinal (waktu itu) Joseph Ratzinger menegaskan di satu pihak bukan hanya tentang keterbatasan akal b u d dan pengetahuan, melainkan juga bahwa akal budi memiliki aspek yang bersifat patologis. Keterbatasan pengetahuan nampak misalnya kalau dhadapkan dengan problematik aktual yang dihadapi masyarakat kontemporer, di mana interaksi antara politik, ekonomi dan budaya menjadi sangat intens. Sementara itu kemampuan manusia untuk mencipta/ membuat sesuatu meningkat dengan sangat pesat; tetapi seiring dengan itu juga kemampuan untuk menghancurkan. Tidak terhindarkanlah pertanyaan etis tentang apa atau siapa yang dapat melakukan kontrol atas perkembangan dan penggunaan kemampuan manusia itu. Apalagi-demikian diagnosis Ratzinger-dalam kenyataannya evidensi dan kepastian etis dalam masyarakat stidah hancur. Pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai apa itu baik, mengapa hams berbuat baik, juga kalau itu merugikan kita, tidak dapat dijawab. Dan memang menurut Ratzinger ilmu pengetahuan (science) tidak dapat memherikan jawahan atas pertanyaan-pertanyaan seperti itu. "It seems to me obvious that science as such cannot give birth to such an ethos."22 Celakanya, perkembangan pesat ilmu pengetahuan yang menghasilkan transformasi fundamental atas paham kita tentang dunia memainkan peran yang tidak kecil bagi hancurnya

kepastian sistem moral selama h i .Dalam hal ini Ratzinger menunjuk pada peran dan tangpmgjawab filsafat untuk mendampingi berbagai cabang disiplin keilmuan. "Philosophy must sift the non-scientific element out of the scientific results with which it is often entangled, thus keeping open our awareness of the totality and of the broader dimensions of the reality of human existence -for science can never show us more than partial aspects of this e ~ i s t e n c e . " ~ ~ Juga pada tataran sosial kemasyarakatan, sistem demokrasi modern memiliki keterbatasannya. Prinsip delegasi dan suara mayoritas tidak dapat menjamin tercapainya kebenaran serta keadilan, dan tidak dapat mencegah kemungkinan terjadmya diktatur mayoritas. "Majorities, too, can be blind or unjust, as history teaches us very plainly."24Kita kembali dihadapkan pada pertanyaan sangat fundamental akan apa yang seharusnya tidak pernah boleh menjadi hukum; serta juga akan apa yang harus menjadi hukum, mendahului dan mengatasi segala keputusan mayoritas. Deklarasi tentang hak asasi manusia mungkin dapat menjadi jawabnya. Tetapi itu pun tidak begitu saja eviden dan diterima oleh semua budaya di dunia. Islam, misalnya, memiliki katalognya sendiri tentang hak asasi r n a n u ~ i a . ~ ~ Tidak hanya menunjukkan keterbatasan aka1 budi, Ratzinger juga mengingatkan bahwa akal budi dapat menjadi patologis. Hasil penemuan ilmu pengetahuan berupa bom atom telah terbukti memiliki kekuatan yang sangat destruktif. Demikian pula ciri patologis perkembangan akal budi dan ilmu pengetahuan tampak dalam kemampuannya untuk bereksperimen dengan manusia, menjadikan manusia sebagai produknya sendiri. Tetapi, di lain pihak, agama juga dapat menjadi patologis. Berkaitan dengan ha1 itu Ratzinger menunjuk pada fakta terorisme. Selain berbagai faktor penyebab yanglain adalah memprihatinkan bahwa tindakan teror ternyata diberi legitimasi moral. "Bin Laden's messages portray terror as the response of the powerless and oppressed peoples to the arrogance of the mighty and as the righteous punishment for their arrogance."26Lebih dari itu, terorisme ternyata juga memiliki motif religius. Kalau demikian, Apakah agama itu sebuah kuasa yang menyembuhkan dan menyelamatkan? Atau lebih merupakan kuasa yang berasal dari jaman kuno dan berbahaya? Yang me& klaim yang keliru atas universalitas dan karena itu menyebabkan intoleransi dan teror? Tidakkah agama harus dituntun oleh akal budi dan dibatasi wewenangnya?Tetapi siapa dan bagaimana dapat melaku-

166

'

Dirkrri Bebernpo Teolq d e n p i jiirgen Haberrrtar (A. S~tnorko)

kannya? ...Tidakkah diatasinya agama secara bertahap hams dilihat sebagai langkah maju kemanusiaan yang perlu, agar ia sampai pada jdan kebebasan dan toleransi yang univers&7 Mengingat semua itu Ratzinger sependapat dengan Habermas, bahwa aka1 budi modern dan agama &istiani harus saling belajar satu sama lain. Masingmasing h a u s makin tahu akan batas-batasnya. Agama dan akal budi s m a sama "dipanggd untuk s h g memurnikan dan menolong satu sama lain. Keduanya s h g rnembut&kan."28 M e n d , bahwa Ratzinger mengmgatkan ten-

positif o k h Striet karena sepadan-meski dari arah yang berbeda-dengan spa yangia mengerti sebagai tugas teologi. Tugas itu terletak dalam menemukan, di sam pihak, cara berpikir filsafat) tertentu (aristotelianisme, nee-platonisme, thornisme, dan sebagainya) yang hidup d i peradaban tertentu, tetapi

kategori yang memadai untuk itu, Tetapi tidak boleh pula dilupakan bahwa harus tetap jelas ciri anugerah-gratis dari wahyudan iman yang mau direfleksikan oleh teologi.

DISKURSUS, Vol 7 , No. 2, 06iolcr 2008: 159-180

167

Demi menunjukkan aktualitas dan relevansi pesan iman, tingkat refleksi teologi tidak boleh berada di bawah tingkat yang telah dicapai refleksi rasio modern, khususnya berkaitan dengan kemungkinan dan baras-batas jangkauan akal b~di."~I<onkret itu berarti, bahwa setelah kritik Kant atas metafisika tradisional, teologi tidak lagi dapat begitu saja memakai kategori-kategori dari metafisika seperti sebelumnya. Juga Ratzinger mengakui bahwa setelah kritik radikal Kant atas metafisika tradisional, teologi IQistiani berada dalam ketidakpastian. "Setelah akhir dari metafisika, dasar filosofis bagi kekristenan menjadi pr~blematis."~~ Masing-masing pihak hams menghormad batas-batas antara iman dan akal budi (pengetahuan) sebagaimana ditunjukkan Kant. Karena itu, Smet setuju pada kritik Habermas terhadap Kierkegaard yangpada momen yang menentukan, dalam refleksi filosofisnya tentang eksistensi historis manusia, melampaui batas tersebut, sehingga filsafat di situ sudah beralih menjadi teologi. Dalam diskusi dengan pemikiran spekulatif Hegel tentang hidup yang benar, Kierkegaard memberi jawaban yang "memang bersifat postmetafisik, tetapi sekaligus sangat religius dan t e ~ l o g i s . " Dengan ~~ dernikian Kierkegaard melampaui batas kemungkinan yang dimiliki oleh akal budi. Atas alasan serupa, Striet juga setuju pada kritik Habermas terhadap isi ceramah Benediktus XVI di Regensburg berkaitan dengan hubungan antara akal budi modern d m i~nan.~~ Filsafat Habermas sendiri bagi Striet adalah contoh filsafat yang terbuka untuk berdialog dengan teologi. Secara khusus Striet menunjuk pada ceramah Habermas pada salah satu kesempatan penghargaan yang diberikan kepadanya oleh perkumpulan penerbit-penerbitJerman.36Berkaitan dengan problem yang lahir dari perkembangan pesat di bidang bioteknologi, Habermas menentukan sikap dengan menunjukpada teks Icejadian 1:27 yang ternyata mash berbicara juga bagi orang seperti dia yang tidak musikalis berkaitan dengan segala sesuatu yangreligius. Ayat itu berbunyi: "MakaiUah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia ..." Teks ini memuat dua hal:" Manusia itu adalah ciptaan Allah dan sekaligus ia adalah citra Allah. Bahwa ia adalah &a Allah, diterjemahkan oleh Habermas ke dalam bahasa filsafat menjadi: manusia adalah pribadi yangmemiliki kebebasan. Karena setiap manusia adalah citraaAllah,maka semua manusia sama-sama (setara) memiliki kebebasan. Sebagai ciptaan Allah, manusia mengerti bahwa asal-usuhya tidaklah dari sesama manusia, melainkan dari sesuatu yang lain (Allah). Barang-

168

Dirknri Beiierqga Teolog dengan Jirgerr Habermor (A. Ssnarko)

siapa, berkat kemungkinan yang disediakan oleh bioteknologi, menempatkan diri pada posisi Allah (turut campur secara genetis dalam mencipta manusia), maka ia-dalam bahasa biblis-melanggar batas antara ciptaan dan Pencipta. Diterjemahkan dalam bahasa filsafat: manusia seperti itu merusak tatanan relasi antar manusia yang berdasarkan pada kebebasan yang setara. Dengan turut berperan dalam penciptaan manusia baru, maka manusia tidak lagi berada dalam posisi yang sama-sama bebas. Striet sendiri, sebagai teolog, berusaha secara konsisten mengembangkan teologi dengan berdasarkan pada paradigma k e b e b a ~ a nIfiususnya .~~ dalam refleksi transendental (berangkat dari Scotus, Kant dan perkembangannya hingga juga Habermas) tentang kebebasan kita temukandemikian Striet-sistem berpikir (flsafat) yang memiliki potensi untuk mengungkapkan inti peristiwa wahyu Kristiani: Bahwa Allah sen&, karena hakekat-Nya adalah Kasih, telah memilih untuk-dalam mewahyukan diri-Nya sebagai kasih pada manusia-"mengikatkan" d i r i pada kebebasan manusia, memberikan kebebasan itu pada manusia dan menghormatinya. Bahkan ketika manusia-dengan kebebasan itu-menolakDia dan menyalibkan Yesus JSristus, Allah tetap setia pada keputusan-Nya untuk tidak memakai alat atau jalan lain, selain jalan kasih itu sendiri; kasih yang tidak memaksa, tetapi membebaskan. Sejarah lalu dilihat sebagai proses yang terbuka, bukan hanya bagi manusia, tetapi juga bagi Allah. Mengikuti uraian Striet secara keseluruhan, khususnya mengenai pendasaran teologis tentang kebebasan manusia sebagai ciptaan Allah, Habermas memberi komentar demikian: "Saya tidak tahu persis apa sebabnya, tetapi saya sebagai seorang agnostis dapat menyetujui gagasan-gagasan dalam uraian teologis yang diberikan Magnus S t r i e ~ Bersama "~~ Striet, Habermas juga menolak pandangan fdosofis Hegel mengenai sejarah, karena tidak memberi ternpat yang wajar bagi kebebasan. Juga paham Hegel tidak dapat didarnaikan dengan pandangan Kristiani mengenai sejarah keselamatan. Paham Hegel tentang sejarah-demikian Habermas-mengorbankan dimensi masa depan dari sejarah keselamatan demi proses sejarah yang tertutup mengitari dcrinya Uraian teologis Striet mengenai kebebasan, menurut Habermas, memenuhi standard pemikiran postmetafisika, karena didasarkan pada premis bahwa proses dialog dalam masyarakat sekular modern hams berjalan atas prinsip etsi dew non duretttr; etri metaphysics non daretttr.

DISKURSUS. Vd 7. No. 2. Oktalrr 2008: 159-180

169

Tetapi Habermas juga menunjuk adanya perbedaan dengan Striet. Dari situ kelihatan pula perbedaan antara teologi dan fdsafat. Seperti dalam dialog dengan Ratzinger, diskusi akhirnya sampai pula pada persoalan fundamen etis yanggoyah dalam masyarakat kontemporer. Persoalan sudah sampai pada titik kritis. Karenapertanyaannya bukan lagi "Tindakan apa yang hams saya lakukan supaya sesuai dengan tuntutan moral?," melainkan "Mengapa saya harm bertindak sesuai dengan tuntutan moral?'Jawab Striet sebagai teolog: "Supaya tuntutan etis tetap mengikat, kursi kosong Allah akan kembali did~duki."~' Tetapi itu--demikian Habermas-bukan satu-satunya jawaban yang mungkin. Dalam kasus konkret berkaitan dengan masalah sikap terhadap penelitian embrio, misalnya, "jawaban yang berinspirasi pada Kant tidak akan jauh berbeda dari pada jawaban yang bermotif t e o l o g i ~ . " ~ ~

3. MELANJUTKAN DISKUSI
Diskusi Habermas dengan Ratzinger tidak selesai dalam seminar di Miinchen. Cerarnah Benediktus XVI di Universitas Regensburg ditanggapi oleh Habermas dalam salah satu artikelnya. Dari dua publikasi tersebut serta beberapa yang lain, kiia makin dapat melihat persamaan dan perbedaan pandangan kedua pemikir hi.

Persamaanperiama antar keduanya (demikian pula dengan Magnus Striet) ada pada sikap kritis tetapi sekaligus prihatin atas perkembangan paham modern tentang akal budi. Menurut Benediktus XVI, dalam perkembangan selanjutnya konsep modern tentang akal budi itu sendiri terus merosot dan mengalami penyempitan. Paham tentang akal budi kehilangan dimensi metafisisnya dan dibatasi hanya pada akal budi praktis serta apa yang secara teknis dapat diperhitungkan. "Apa yang ilmiah semata-mata diukur dari kepastian berdasarkan sintesis pengetahuan dari matematika dan ilmu-ilmu empiris ... Dengan demikian kita sebenarnya sedang berada dalam proses penyempitan radius atau jangkauan dari pengetahuan dan akal budi. Hal tersebut harus dikritik dan diper~oalkan."~~ Demikian pula ditegaskan dalam ceramah tersebut: "Yang dominan dalam dunia barat kini adalah, pandangan bahwa yang universal itu adalah rasio positivistis serta fdsafat berkaitan dengannya."44IGitik atas penyempitan jangkauan akal budi tersebut tidak baru. Sudah sebelum menjadi Paus, Ratzinger melontarkan kritik yang ~ a m a . ~ ~

170

Dirkwi Beberopa Teolog dengon Jiirgen Habern~or (A. Ssnarkql

Gejala lain dari merosotnya paham modern tentang akal budi nampak dalam sikap pesirnis bahkan skeptis terhadap upaya mencari kebenaran. Itulah pula yang-menurut Ratzinger-menjadi keprihadnan pendahulunya, Yohanes Paulus 11,sebagaimana terungkap dalam ensikliknya "Fides et Ratio." Ensiklik tersebut bermaksud "di tengah dunk yang ditandai dengan relativisme, menghidupkan kembali pertanyaan/pencarian akan kebenaran . . . . " 4 6 Dalam dunia literer sikap skeptis tersebut nampak dalam salah satu karya terkenal dari Umberto Eco "The Name of the Rose": "Satu-satunya kebenaran adalah belajar membebaskan diri dari dorongan tidak sehat untuk mencari kebenaran."47Tetapi paling tegas mungkin (hemat saya, agak berlebihan) h i & Ratzinger kita temukan dalam salah satu pidatonya berikut. Gejala akal budi yang sedang sakit nampak dalam ha1 i n i ,bahwa segala upaya u m k menegaskan kembali kemampuan akal budi untuk mencari kebenaran dipandang sebagai iundamentalisme yang akan melahirkan orang-orang fanatik. Yang perlu dilakukan kemudian adalah "dekonstruksi sebagaimana ditunjukkan oleh Jacques Derrida: Ia telah mendekonstruksi prinsip ramah kepada tamu, demokrasi, negara dan akhirnya konsep terorisme, tetapi tokh kemudian terkejut oleh peristiwa 11 September."48 Habermas m e d k i sikap kritis dan keprihatinan serupa.
Di satu pihak saya mengritik aufklarnng yang belum dicerahkan yang menyangkal segala kebenaran yang ada dalam agama. Tetapi juga saya tidak sependapat dengan Hegel yang baginya agama adalah penvujudan dari Roh yang berada dalam bentuk pemikiran sebelum filsafat ....Motifdari rejleksi saya tentang maralab iman dan pengetahwan adalab keinginan wntuk memobilisasi akal bndi modern melawan kemerosotannya ~ e n d i r i . ~ ~

Masalah kemerosotan aka1 budi itu tampak dalam apa yang oleh Habermas disebut sebagai "radikalisasi postmodern atas dialektika pencerahan serta naturali~me."~~ Kritik Habermas atas posisi para pemikir postmodern sudah kita kenal. Secara umum dapat dikatakan bahwa teori-teori postmodern memandang krisis yang terjadi dengan modernisasi secara radikal, sebagai akibat logis dari program rasionalisasi modern yang menghancurkan diri sendiri. Habermas melihat krisis modern sebagai akibat dari dominasi paham selektif tertentu dari aka1 budi, sehmgga sebenarnya pada akal budi itu sendiri masih terdapat potensi untuk keluar dari krisis. IGitik para pemikir postmodern adalah total

DISKURSUS, Vd 7 , No. 2, Okfolw 2008: 159-180

171

dan tenvujud dalam meluasnya sikap skeptis terhadap kemampuan akal budi untuk mencari kebenaran. Adapun naturalisme yang dicemaskan Habermas adalah naturalisme yang scientistik yang sebagai pandangan hidup mereduksikan "segala yang dapat dimengerti dan dialami pada apa yang dapat diamati (dengan indera)."jl Tentu saja seturut kritik Kant atas Metafisika tradisional dan sebagai pemikir yang postmetafisik, Habermas setuju dengan pandangan bahwa kita tidak dapat lagi membuat pernyataan ontologis yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah tentang "ada secara keselur~han."~~Tetapi hal itu tidak berarti bahwa pengetahuan kita direduksi hanya pada apa yang secara empiris dapat dibuktikan. Dengan demikian status serta jasa ilmu-ilmu empiris (ilmu-ilmu dam) sama sekali tidak disangkal dan dikritik, melainkan godaan scientisme yang ada di baliknya. Dengan kata lain, naturalisme dikritik Habermas karma di situ orang memberi status metafisika pada apa yang merupakan h a d ilmu pengetahuan empiris. "Ontologisasi atas h a d dari ilmu pengetahuan alam sehingga menjadisuatu pandangan n&uralistis tentang dunia ...bukanlah ilmu pengetahuan, melainkan metafisika yang b u r ~ k . Atau " ~ ~ dalam versi yang lain: "Kepercayaan scikntistis terhadap ilmu pengetahuan ...bukanlah ilmu pengetahuan lagi, melainkan fdsafat yang b u r ~ k . " ~ ~

Persamaan kedzia yang mereka miliki adalah bahwa keduanya melihat tradisi-tradisi religius sebagai sumber bagi rasio untuk menimba inspirasi. Benediktus XVI mengatakan: "Bagi fdsafat ... mendengarkan pengalaman-pengalaman... dan pandangan-pandangan dari tradisi religius umat manusia, khususnya iman IQistiani, merupakan sumber pengetahuan. Kalau itu kita tolak, maka akan berakibat pada menjadi sempitnya jangkauan pendengaran dan jawaban kita."j5 Habermas menegaskan bahwa akal budi sekular" tidak boleh menyangkal bahwa pandangan religius tentang dunia merniliki potensi untuk mengungkapkan keber~aran."~~

Adapun perbedak antar keduanya ada pada beberapa pokok berik~t.~' Perbedaan pertama berkaitan dengan pengertian helenisasi. Habermas mengertinya sebagai "sintesis yangdibangun-sejak Agustinus hinggaTbomas-antara metafisika Yunani dan iman biblis."j8 Sedangkan Benediktus XVI memahami helenisasi sebagai proses yang sudah terjadi dalam Kitab Suci, yang mencapai

172

Diskuri Bebaropa Teoiog detigoti Jiirgen Hober~mzr(A. Sunorko)

puncaknya dalam prolog Injil Yohanes. "Perjumpaan antara Athena dan Yerusalem sudah terjadi di dalam IGtab Suci. Karena itu dehelenisasi tidak dapat dimengerti sebagai langkah kembali menuju Kitab Suci; dehelenisasi kalau demikian lalu berarti menghancurkan kesatuan Kitab S ~ c i . " ~ '

Perbedaan kedua berkaitan dengan pandangan mereka mengenai konsep modern tentang rasio, khususnya pandangan Kant tentang hal tersebut. Dalam ceramah di Regensburg, Benedktus XVI melontarkan kritikpada I<ant sebagai yang mendasarkan iman melulu pada rasio praktis sehingga bagi iman "tertutuplah jalan untuk mencapai realitas sebagai keselur~han."~' Demiluan pula Benediktus XVI menyatakan bahwa penyempitan jangkauan rasio modern yang menjadi cikal bakal bagi positivisme "menemukan rumusan klasiknya dalam kritik Kant."61 Kritik Paus pada Kant ini pada hemat saya tidak tepat6' Icarena itu, dapat dirnengerti kalau Habermas mengingatkan bahwa "pembalikan transendental Kant tidak hanya mengantar kita pada kritik atas pembuktian eksistensi Allah; melainkan juga pada konsep tentang otonomi yang memungkinkan ... lahirnys paham modern kita mengenai hukum dan demokrasinG3 Mengmgat,sikap lebih positif yang ditunjukkan Benediktus XVI dalam tulisan-tulisan lain baik terhadap modernitas maupun I<ant pada khususnya, kita tidak perlu sampai pada kesimpulan bahwa dengan ceramah di Regensburg, Paus ingin kembali lagi ke Abad Pertengahan dan jaman kuno. Bene&tus XVI sendiri juga menegaskan bahwa kita tidak perlu "kembali ke jaman sebelum Pencerahan dan meninggalkan sama sekali pandangan-pandangan modern."64 Mungkin kita dapat berbicara tentang inkonsistensi. IOitik Benediktus XVI terhadap penyempitan makna rasio sebagaimana menjelma dalam positivisme adalah sah. Tetapi kadang timbul kesan, batas jangkauan akal bud1 kembali diletakkan terlalu jauh. Bagi teologi, godaan untuk kembali ke metafisika tradisional ternyata memang tetap nyata. Striet dalam hal ini lebih konsisten berpikir postmetafisik dan mewakili kelompok teolog yang optimis menemukan dalam fdsafat modern (tertentu) cara berpikir yang, di satu pihak, berada pada tingkat refleksi rasio kontemporer, tetapi sekaligus, di lain pihak, memiliki kategori-kategori yang memadai untuk mengungkapkan kekhasan iman IOistiani. Godaan untuk jatuh kembali ke metafisika tradisional (dalam bentuk pembuktian eksistensi Allah-menurut StrietGS -dapat dicegah dengan banman refleksi Immanuel I<ant yang memang menunjukkan bahwa realitas objektif Allah tidak dapat dibuktikan dengan akal budi. Tetapi sebaliknya pula

benar, yaitu-dan ini sering dilupakan-bahwa ketidakadaan Allah juga tidak dapat kita buktikan. "Ada tertinggi tetaplah bagi spekulasi akal budi hanyalah sebuah Ideal, akan tetapi sebuah Ideal yang tidak dapat keliru; sebuah konsep yang menutup dan menjadi mahkota dati seluruh pengetahuan manusia. Realitas objek&ya memang ... tidak dapat dibuktikan tetapi jugatidak dapat disangkal..."66 Karena itu, teologi tidak perlu merasa dibebani dengan tugas untuk dengan akal budi membuktikan eksistensi Allah. Seandainya ada orang yang mengklaim berhasil melakukannya, sebenarnya itu justru mencurigakan (karena kalau eksistensi Allah dapat dibuktikan, maka kemahakuasaan dan kebesaran Allah patut diragukan; demikian pula ha1 itu bertentangan dengan ciri gratis/anugerah wahyu dan iman Kristiani). Hal itu tidak berarti bahwa refleksi akal budi tidak berguna. Tugasnya ialah menunjukkan bahwa manusia sebenarnya makWuk yang terbuka pada sesuatu yang lebih dari dunia ini, yang kiranya memiliki potensi untuk menjadi pendengar bagi sabda pewahyuan @ila itu terjadi). Habermas sendiri sebagai pemikir postmetafisik menunjukkan konsistensi pernikiran yang mengesankan. Habermas mengakui bahwa ketika paham dosa disekularkan menjadi kesalahan antar manusia semata, ada sesuatu yang hilang. "Hilangnya harapan akan kebangkitan meninggalkan jejak yang nyaKhususnya Habermas ingat pada diskusinya dengan Helmut Peukert berhadapan dengan kenyataan penderitaan dan kematian mereka yang merupakan korban sejarah, korban ketidakadilan. Teologi di situ dapat berbicara tentang Allah dan kebangkitan dan dengan demikian memelihara harapan (tetapi tidak atas dasar pengetahuan) bahwa ketidakadilan bukanlah yang terakhir. Filsafat dapat pula tergoda untuk kembali ke metafsika dan memainkan peran sebagai penghibur. Tetapi kalau konsekuen berpikir postmetafisik, filsafat tidak boleh kalah oleh godaan tersebut: Berhadapan dengan masalah penderitaan yang tak terhindarkan, ketidakadilan ..., kontingensi yang dialami dalam penderitaan, kesepian, sakit dan kematian, filsafat postmetafisik tidak dapat menyediakan penghiburan sebagaimana dapat dilakukan oleh agama dengan mengajarkan, bagaimana dapat menanggung semua itu dalam terang yang lain.@ Mash ada perbedaan kecil berkaitan dengan Duns Scotus. Menempatkan Duns Scotus pada posisi voluntarisme seperti dilakukan Benediktus XVI

174

Dlrkwsi Babernpa Teolog dengan Jurgen Habermzr (A. Sanorko)

menurut saya kurang tepat, atau pantas didiskusikan. Paling tidak "metafisika-kebebasanJohames Duns Scotus harus dibedakan dari nominalisme ketat dari Wilhelm von O ~ k h a m . " ~ ~ M e n u Ockham rut pemberian nama (nomina) yang kita lakukan atas sesuatu semata-mata bersifat konvensional, tidak menunjuk pada hakekat sesuatu, apalagi pada gagasan tentang Sang Pencipta. Sementara dalam sistem pemikiran Scotus, "fakta masih mencerminkan maksud dari Sang Penyebab."70Berbeda dari Benediktus XVI, Habermas mengingatkan bahwa "Langkah dari Duns Scotus menuju Nominalisme tidak hanya menghantar kita sampai pada paham Protestan tentang Allah, melainkan juga membuka jalan bagi ilmu pengetahuan dam m~dern."~'Dalam hal ini Striet lebih dekat pada Habermas.

PENUTUP
Saya ingm menutup tulisan ini dengan memberi catatan akhk dari sudut pandang teologi. (Tidak hanya) dalam dunia kekristenan dialog antara filsafat dengan teologi memiliki sejarah yang sudah sangat tua. Untuk waktu yang lama metafisika (Yunani) menjadi rekan dialog yang dapat diandalkan, meskipun bukan tanpa keterbatasan. Dapat dimengerti bahwa dari sudut teologi dialog itu dilakukan dengan sikap kritis. Dalam merumuskan dan mengaktualkan apa yang diimani sebagai wahyu, neoplatonisme (misalnya oleh Agustinus dan Bonaventura) dan aristotelianisme (misalnya oleh Thomas Aquinas) diterirna, tetapi tidak tanpa modifikasi dan kritik. Yang jenius dari karya-karya klasik teologi dahulu itu adalah bahwa filsafat (Yunani) dimaksimalkan perannya, tetapi tanpa "mengganti kedudukan warta Injil itu sendiri. Instrumen filsafat Yunani digunakan guna memperjelas warta Injil serta mencegah terjadinya pengartian yang k e l i r ~ . Bahwa " ~ ~ upaya itu tidak selalu berhasil; bahwa selalu ada jarak antara cara pikir (filsafat, metafisika) yang digunakan dan inti peristiwa wahyu, juga sebenarnya sudah disadari. Sebaliknya perlu ditegaskan pula: Sejarah menunjukkan, bahwa refleksi akal budi (modern) dapat membantu dan defacto turut "memaksa" Gereja dan teologi untuk memurnikan unsur-unsur patologis yang ada padanya. Karena itu, agama, Gereja dan teologi harus terbuka pada kritik akal budi. Teologi perlu selalu mencari kemungkinan baru untuk melanjutkan dialog d ~ n g a n cara berpikir yang hidup dalam masyarakat. D i jaman postrnetafisika ini, rupanya teologi harus menemukan jalan di antara "Metafisika dan Post~nodernisme."~~

DISKURTUS, Vd 7, No.2, Oktalrr 2008: 159.980

175

Catatan-Catatan:
1 Jiirgen Habermas/Joseph Ratzinger, The Diale&s ofSecula+tion. On Reason and &/&ion Qhnslated by Brian McNeil, C.R.V) (San Francisco: Ignatius Press, 2006). 2 Jiirgen Habermas, "Die Grenze nvischen Glauben und Wissen. Zur Wirkungsgeschichte und aktuellen Bedeumng von Kants Religionsphilosophie" in Jiirgen Habermas, Zwirchen Naturalismus und Religion. Philosophische Aulfiaetze ((Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 2005), SS. 216-257. 3 Rudolf Langthaler/Herta Nagl-Docekal (Hrsg.), Glauben und Wissen. Ein Symposium mit Jurgen Habermas (Wien: Oldenbourg-Akademie Verlag, 2007). 4 Jiirgen Habermas, "Ein Bewusstsein von dem, was fehlt. Ueber Glauben und Wissen und den Defaetismus der modernen Vernunft" in Knut Wenzel (Hrsg.), Die Religon und die Vernunjt. Die Debatte um die Regensburger Vorlesung des Papste (Freiburg/Basel/Wien: Herder Verlag, 2007, SS. 47-56. 5 Tulisan-tnlisan daci Jiirgen Habermas serta para peserta diskusi tersebut, setelah dilengkapi dengan komentar dari Habermas kemudian diterbitkan: M. Reder/J. Schmidt (Hrsg), Ein Bewusstsein won dem, was fehlt. Eine Diskussion mit Jiirger: Habermas (Frankfurt am Main: Subxkamp Verlag, 2008). 6 Dikutip oleh Habermas dalam utikelnya "Pre-political Foundations of the Democratic Constimtion~ State?" in Jiirgen HabermasJJosepb Ratzinger, Dialectics of Secularisation, pp. 21-52, khususnya p. 21. 7 Jurgen Habermas, Pre-political Foundations, p. 21. 8 Jiirgen Habermas, Pre-political Foundationr, p. 24. 9 Jiirgen Habermas, Pre-political Foundation4 p. 26. 10 Jiirgen Haberma's, Pre-political Foundationr, p. 26. 11 Jiirgen Habermas, Pre-political Foundations, p. 27. 12 Jiirgen Habermas, Pre-political Foundations, p. 30. 13 Bdk. Jiirgen Habermas, Pre-political Foundations, p. 35. 14 Jiirgen Habermas, Pre-political Foundations, p. 36. 15 Jurgen Habermas, Pre-political Foirndafions, p. 37. 16 Jiirgen Habermas, Pre-poliiicnl Foundations, p. 38. 17 Jiirgen Habermas, Pre-politicul Foundations, pp. 43-44. 18 Jiirgen Habermas, Pre-political Foundations, p. 44. 19 Jiirgen Habermas, Pre-politiculFoundations, p. 45. Habermas menunjuk Walter Benjamin sebagai salah seorang fdosof yang sukses melakukan ha1 seperti itu. Bdk. Jiirgen Habermas, Nachmetaphyrisrhes Denken. Philosophische Aufaetze (Frankfurt am Main: Subrkamp Verlag, 1989), SS. 22-23. 20 Frieda Ricken, "Nachmetaphysische Vernunft und ReligionX'in M. Reder/J. Schmidt (Hrsg), Ein Bewusstsein won den,, wasjhlt, SS. 69-78, khususnya SS. 69-70. 21 Jiirgen Habermas, Pre-political Foundations, p. 51. 22 Joseph Ratzinger, "That Which Holds the World Together. The Pre-political Moral Foundations of a Free State" in Jiirgen Habermas/Joseph Ratzinger, Dialectics of Seculariration, p. 56. 23 Joseph Ratzinger, That Which Holds the World Together, p. 57. 24 Joseph Ratzinger, That Which Holds the World Together, p. 60. 25 Bdk. Joseph Ratzinger, That Which Holds the World Together, p. 61. 26 Joscph Ratzinger, That Which Holds the World Together, p. 64.

176

Di~kusiBeberopa Toolog dmgm Jiirgen Habemar (A. Snnorko)

27 Joseph Ratzinger, That Which Holds the World Together, pp. 64-65. 28 Joseph Ratzinger, That Which Holds the World Together, p. 78. 29 Magnus Striet, "Grenzen der Uebersetzbarkeit. Theologische Annaeherungan an Jiirgen Habermas" in R. Langthaler und H. Nagl-Docekal (Hrsg.), Glaben und Wissen, SS. 259282. Bdk. Magnus Striet, "Denken der Differenz. Im Gesprich mit Jiirgen Habermas" in P. Neuner (Hg.), Theologie im Dialog (Miinster: Aschendorff Verlag, 2004), SS. 127-142; Magnus Striet, "Verteidiger der Religion. Zu einem neuen Buch von Jiirgen Habermas" Herder Korrepndeny 59 (2005): 508-512. 30 Jiirgen Habermas, "Exkurs: Transzendenz voninnen, Transzendenz ins Diesseits3'inJiirgen Habermas, Texte uud Kontexte (Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1992), SS. 127156: 131. 31 Bdk. Jiirgen Habermas, Nachmetaphyrisches Denken, S. 23. 32 Bdk. Magnus Striet, Grenyen der Uebersekbarkeit, S. 263. 33 Joseph Ratzinger, Glnube - Wahrheit - Toleran? Das Chn'stentutn und die Weltreligionen (Freiburg/Basel/Wien: Herder Verlag, 2003), S. 132. 34 Jiirgen Habermas, Die Zukunft der menschlichen Natur. Auf dem Weg zu einer liberalen Eugenik? (Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 2005), SS. 17-18. 35 Bdk. Magnus Striet, Benedikt XVI., "die Moderne und der Glaube. Anmerkungen zur Regensburger Vorlesung des Papstes" in Knut Wenzel (Hrsg.), Die Rehgionen und die Vernunft. Die Debatte um die Regensburger Vorlerung der Pazstes (Freiburg/Basel/Wien: Herder Verlag, 2007), SS. 85-98. 36 Jiirgen Habermas, "Glauben und Wissen. Dankesrede des Friedenspreistraegers" in http:/ /www.glasnost.de/docs01/011014 habermas.hdm1. Diakses pada 3 Februari 2007, pukul 12.35. 37 Saya mengikuti uraian dari Freido Ricken, Nuchmetaphy~ischeVernunft und Religion, S. 70. 38 Lihat dux publikasi utamanya: Magnus Suiet, Das Ich im Sturz der Realitat. Philosophischtheologische Studien zu einer Theorie des Subjekts in Auseinandersetzung mit der Spatphilosophie Nietzsches (Regensburg: Pustet Verlag, 1998);Magnus Striet, Offenbares Geheimnis. Zur Kritik der negativen Theologie (Regensburg: Pustet Verlag, 2003). 39 Jiirgen Habermas, "Replik auf Eiwaende, Reakuon auf Anregungen" in R. Langthaler und H. Nagl-Docekal (Hrsg.), Glauben und Wissen, SS. 366-414, khususnya SS. 400-401. 40 Bdk. Magnus Striet, Grenzen der Uebersetxbbarkeit, S. 264. 41 Magnus Striet, Grenzen der Uebersetzbarkeit, S. 272. 42 Jiirgen Habermas, Replik auf Einwaende, Reaktion auf Anregungen, S. 402. 43 Benediktus XVI, "Glaube, Vernunft und Universitaet. Erinnerungen und Reflexionen" in hq://mzenit.org/artide-10336. Diakses pada hari Senin, 18 Juni 2007, puku111.35

m.
44 Benediktus XVI, "Glaube, Vernunft und Universitaet. Erinnerungen und Reflexionen" in http://www.zenit.org/ardcle-10336. Diakses pada had Senin, 18 Juni 2007, pukul 11.35 WIB. 45 Bdk. "Kalau dahulu misalnya mash dibedakan antara rasio dan intelektus; antara akal budi dalam kaitan dengan yang empiris ... dan akal budi yang berkaitan dengan lapisan lebih mendalam dari Ada, sekarang yang berlaku hanyalah rasio dalam ard sempit. Hanya yang dapat diverifikasi, atau lebih tepat: difalsifikasi yang dianggap selaras dengan akal budi. Aka1 budi direduksi pada yang secara empiris dapat diuji. Seluruh wilayah moral dan agarna mas& hanya dalam wilayah yang subjektif," Joseph Ratzinger, Werte in Zeiten der

Umbruchs. Die Herauforderungen der ZukunJt bestehen (Freiburg/Basel/Wien: Herder Verlag, 2005), S. 132. 46 Joseph Ratzinger, Glaube-Wahrheit-Tolerant S. 149. 47 Dikutip dalam Joseph Ratzinger, "Glaube-Wahrheit-Toleran? S. 151. Penegasan seperti im tidaklah kebetulan tejadi. Di baliknya kita mengenal arus pemikiran Bosofis, &ran Elsafat bahasa tertentu. Tesis dasarnya berbunyi: "Kita tidak melangkah lebih jauh sampai pada apa yang ada di balk bahasa dan gambaran/simbol." floseph Ratzinger, Glaube-Wahrheit-tole ran.^ S. 151). Sebaliknya, Ratzinger menegaskan hahwa kata-kata dalam Kitab Suci tidak hanya d i n g menunjuk Sam sama lain, melainkan juga menunjuk pada suatu realitas, peristiwa historis tertentu. 48 Joseph Ratzinger, Werte, SS. 132-133. Bdk. Joseph Ratzinger, Glaube-Wahrheit-Toleranz. S. 187. 49 Jiirgen Habermas, Ein Bewusstsein yon dem, wa~fehlf, S. 51. 50 Jiirgen Habermas, Ein Bervmtrein won dem, wosfehlt, S. 51. 51 Jiirgen Habermas, ZiuischenNatura~smus und Reiiion. PhilosgPhischeAufsaetze (Frankfurt am Main: Subrkamp Verlag, 2005), S. 7. 52 Jiirgen Habermas, "Religion in der Oeffentlichkeit"in Jiirgen Habermas, ZiuischenNatural~mus undReligion, SS. 119-154: 147. 53 Jiirgen Habermas, "Ich selber bin ja ein StueckNamr- Adorno neber die Namverflochtenheit der Vernunft" in Jiirgen Habermas, Zwirchen Naturalismus and ReLp'on, SS. 187215: 215. 54 Jiirgen Habermas, Glauben und Wissen, S. 3. 55 Benediktus XVI, "Glaube, Vernunft und Universitaet. Erinnerungen nnd Reflexionen" in http://mzenit.org/ardde-10336. Diakses pada had Senin, 18 Juni 2007, pukul 11.35 WIB. 56 Jiirgen Habermas, Pre$oliticaf Foundations, p. 51. 57 Saya mengikuti uraian dari Friedo Ricken, Nachmefapbysirche Vernunft und Rel:gion, SS. 73-75. 58 Jiirgen Habermas, Ein Bewusstrein uon dent, iuosfehft, S. 56. 59 Demikian Friedo Ricken merangkum pandangan Benediktus XVI. Lihat Friedo Ricken, Nachmetaphysische Vernunft und Religion, SS. 73-74. 60 Benediktus XVI, Glaube, "Vernunft und Universitaet. Erinnerungen und Reflexionen" in http://m.zenit.org/arricle-10336. Diakses pada hari Senin, 18 Juni 2007, pukul 11.35 WIB. 61 Benediktus XVI, "Glaube, Vernunft und Universitaet. Erinnerungen und Reflexionen" in http://m.zenit.org/article-10336. Diakses pada hari Senin, 18 Juni 2007, pukul 11.35 WIB. 62 Benediktus XVI rupanya salah mengutip (?) pernyataan Kant "Ich musste das Wissen auiheben, um zum Glauben Platz zu bekommen" menjadi "Ich muQtedas Deden beiseite schaffen, um zum Glauben Platz zu bekommen." Bdk. Kurt Flasch, "Von Kirchenvaetern und anderen Fundamentalisten. Wie tolerant war das Christentum, wie dialogbereitist der Papst?" in K. Wenzel (Hrsg.), Die Reiigonen und die Vernunft, SS. 41-46: 43. 63 Jiirgen Habermas, Ein Beiuu.rstsein uon den, ivarfehlt, S. 56. 64 Benedikms XVI, "Glaube, Vernunft und Universitaet. Erinnerungen und Reflexionen" in http://www.zenit.org/article-10336. Diakses pada hari Senin, 18 Juni 2007, pukul 11.35 WIB. 65 Magnus Striet, Grenxm der Uebersetxbarkeit, SS. 278-282.

66 Immanuel Kant, "Ktitik der reinen Vernunft" in Werke in ~ehrrBanden Bd I V (Hrsg. W Weischedel) (Darmstadt: Wissenschafd. Buchgesellschaft, 1983), S. 563 (A642; B670). 67 Jurgen Habermas, Glnuben und Wirsen, S. 4. 68 Jiirgen Habermas, Zu Max Horkheimers Satz: "Eien unbedingten Sinn zu retten ohne G o 5 ist eitel", in J. Habermas, Texte und Kontexte, Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1992), SS. 110-126, khususnya S. 125. 69 Karl-Heinz Menke, Jesus is Goft der Sohn. DenkjJrmen und Brennpunkte der Chn'stologie (Regensburg: Pustet Vedag, ZOOS), S. 286. 70 Karl-Heinz Menke, Jesus is Gotf der John, S. 286. o n dem warjhlt, S. 56. 71 Jiirgen Habermas, Ein Beluusitrein w 72 Friedo Ricken, Nachmetaphysische Vernunft und Religion, S. 78. 73 Markus Knapp, VeranfruorfeterChristrein heute. Theologie ~luischenMetaphysik und Portmoderne (Freiburg/Basel/Wien: Herder Verlag, 2006).

DAFTAR RUJUKAN
Benediktus XVI. "Glaube, Vernunft und Universitaet. Erinnerungen und Reflexionen." In http://mzenit.org/article-10336. Diakses pada hari Senin, 18 Juni 2007, pukul11.35 WIB. Flasch, Kurt. "Von Kirchenvaetern und anderen Fundamentalisten. Wie tolerant war das Christentum, wie dialogbereit ist der Papst?" In I h u t Wenzel (Hrsg.), Die Religionen nnd die Vernunft. Die Debatte um die Regensburger Vorlerung der Papsfes. Freib&g/Basel/Wien: Herder Verlag, 2007, SS. 41-46. Habermas, Jiirgen. "Die Grenze zwischen Glauben und Wissen. Zur Wirkungsgeschichte und aktuellen Bedeutung von I<ants Religionsphilosophie." In Jiirgen Habermas, Zwirchen Naturalirmus und Religion. Philosophische Anfraetxe. Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 2005, SS. 216-257.
, Die Zukunit der menschlichen Natur. Auf dem Wegzu einer liberalen Eugenik? Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 2005.

. "Em Bewusstsein von dem, was fehlt. Ueber Glauben und Wissen und den Defaetismus der modernen Vernunft." In I h u t Wenzel (Hrsg.), Die Religion und die Vernunft. Die Debatte urn die Regensburger Vorlesung des Papstes. Freiburg/Basel/Wien: Herder Verlag, 2007, SS. 47-56.
, "Exkurs: Transzendenz von innen, Transzendenz ins Diesseits." In Jurgen Habermas, Texte nnd Koutexte. Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1992, SS. 127.156. , "Glaubenund Wissen. Dankesrede des Friedenspreistraegers."In h q : / /www.glasnost.de/docs01/011014habermas.htm1; diakses pada 3 Februari 2007,

pukul 12.35.

. "Ich selber bin ja ein Stueck Natur - Adorno ueber die Naturverflochtenheit der Vernunft." I n Jiirgen Habermas, Zwischen Naturalismus und Religion. Philosophische Aqsaetxe. Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 2005, SS. 187-215.

DISKUWUS, Vd 7, No. 2, Oktobrr 2008: 159-180

179

. Nachmetapbysisches Denken. Philosophische Aufsaetxe. Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1989.

. "Pre-political Foundations of the Democratic Constitutional State?" I n Jiirgen Habermas/Joseph Ratzinger, Dialectics of Seculariration. On Reason and Religon (Translated by Brian McNeil, C.R.V.). San Francisco: Ignatius Press, 2006, pp. 21-52. . "Religion in der Oeffentlichkeit." In Jiirgen Habermas, Zmichen Naturalismus und Religion. Philosophische Aufsaetxe. Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 2005, SS. 119.154.
. "Replik auf Einwaende, Reaktion auf Anregungen." In Rudolf Langthaler und Herta Nagl-Docekal (Hrsg.), Glauben und Wissen. Ein Symposium mit Jurgen H a b e r m Wien: Oldenbourg-Akademie Verlag, 2007, SS. 366-414. Sinn 2u retten ohne e r t e und Kontexte, Frankfurt am Main: Gott, ist eitel." In Jiirgen Habermas, T Suhrkamp Verlag, 1992, SS. 110.126. Kant, Immanuel. "Kritik der reinen Vernunft." In Werke in xehn Banden Bd. I V (Hrsg. Wihelm Weischedel). Darmstadt: Wissenschaftl. Buchgesellschaft, 1983. Knapp, Markus. Verantwortetes Christsein heute. Theologie xwischen Metapbysik und Postmoderne. Freiburg/Basel/Wien: Herder Verlag, 2006. Langthaler, Rudolf/Herta Nagl-Docekal (Hrsg.). Glauben und Wissen. Ein Symposium mit Jurgen Habermas. Wien: Oldenbourg-Akadernie Verlag, 2007. Menke, Karl-Heinz. Jesus is Gott der John. Denkformen und Brennpunkte der Christologie. Regensburg: Pustet Verlag, 2008. Ratzinger, Joseph. Glaube - Wahrheit - Toleranx. Das Christenturn und die Weltreligionen. Freiburg/Basel/Wien: Herder Verlag, 2003.

. "Zu Max Horkheimers Satz: Einen unbedingten

. Werte in Zeiten des Umbruchs. Die Herausjorderungen der Zuknnft bestehen. Freiburg/Basel/Wien: Herder Verlag, 2005. ."That Which Holds the World Together. The Pre-politicalMoral Foundations of a Free State." In Jiirgen Habermas/Joseph Ratzinger, Dialectics o j Secularisation, On Reason and ReLgion (Translated by Brian McNeil, C.R.V). San Francisco: Ignatius Press, 2006, pp. 53-80.
Reder, Michael/Josef Schmidt (Hrsg.). Ein Bewusstsein won d m , was)hlt. Eine Diskussion mit Jirgen Habermas. Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 2008. Ricken, Friedo. "Nachmetaphysische Vernunft und Religion." In Michael Reder/ Josef Schmidt (Hrsg.), E i n Bewsstsein won den], was fehlt. Eine Disknssion mit Jurgen Habermas, Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 2008, SS. 69-78.

der Realitit. Philosophisch-theologische Studien xu Striet, Magnus. Das ich im S t u r ~ einer Theorie des Subjekts in Auseinondersetxung mit der Spaphilosophie Regensburg: Pustet Verlag, 1998. Niet~~ches.

180

Dirhrui BeberqPo Teolog d q n n Jirgen Habemar (A. Ssnorkqi


, "Denken der Differenz. Im Gesprach mit Jurgen Habermas." In Peter Neuner (Hg.), Theologie im Dialog. Munster: Aschendorff Verlag, 2004, SS. 127-142.

. "Grenzen der Uebersetzbarkeit.Theologische Annaeherungan an Jurgen Habermas." In Rudolf Langthaler und Herta Nagl-Docekal (Hrsg.), Glauben und Wissen. Ein Symposium mit Jirgen Habermas. Wien: Oldenbourg-Akademie Verlag, 2007, SS. 259-282. . Oflenbares Geheimnis. Zur Kritik der negatiuen Theologie, Regensburg: Pustet Verlag, 2003.
, "Verteidiger der Religion. Zu einem neuen Buch von Jurgen Habermas." Herder Korrerpondenp 59 (2005): 508-512.

Striet, Magnus, Benedikt XVI. "die Moderne und der Glaube. Anmerkungen zur Regensburger Vorlesung des Papstes." In Knut Wenzel (Hrsg.), Die Reltgionen und die Vernunjt. Die Debatte um die Regensburger Vorlesung des Papstes. Freiburg/Basel/Wien: Herder Verlag, 2007, SS. 85-98.

You might also like