You are on page 1of 34

REHABILITASI KOGNITIF

S.F. Cappa,a T. Benke,b S. Clarke,c B. Rossi,d B. Stemmer,e C.M. van Heughtenf


a

Departemen Psikologi, Neurologi dan Neuroscience, Universitas Vita Salute San Division de Neuropsychologie, Lausanne, Switzerland;
d

Raffaele S. Raffaele, Milano, Italia; bKlinik fuer Neurologie Innsbruck, Austria;


c

Seksi Neurologi,

Departemen Neuroscience, Universitas Pisa, Pisa, Italia; eCentre de Recherce, Institute de Geriatrie de Montreal, dan Department de Linguistique et Traduction, Universite de Montreal, Montreal Canada; fNetherlands Institute of Primary Helath Care NIVEL, Utrecht, Belanda.

Abstrak
Gangguan berbahasa, persepsi parsial, perhatian, memori, kalkulasi dan praktek merupakan hal yang sering terjadi akibat kerusakan otak didapat (dlm beberapa kasus, stroke dan cedera otak akibat trauma) dan merupakan faktor yang menentukan ketidakmampuan seseorang. Rehabilitasi terhadap afasia akhir-akhir ini merupakan bidang rehabilitasi yang penting dibandingkan gangguan kognitif lain. Disini kami melaporkan peninjauan bukti yang ada mengenai keefektifan dari rehabilitasi kognitif. Mengingat jumlah dan kualitas yang terbatas pada kontrol percobaan secara random di area intervensi terapi ini, Panduan yang ada perlu diperhitungkan, disamping tinjauan Cohrane yang tersedia, bukti dari kelas bawah yang telah dianalisis secara kritis sampai ditelitinya konsesnsus. Pada beberapa hal, kami mempertimbangkan bukti dari sekelompok kecil atau studi kasus tunggal yang meliputi evaluasi statistik yang sesuai pada ukuran efek. Kesimpulan umum yang diambil adalah yang terbukti pada tingkat A, B atau C merupakan rekomendasi untuk beberapa bentuk rehabilitasi kognitif pada pasien dengan defisit neurologis pada tahap post-akut setelah lesi otak local (stroke, TBI). Hal ini meliputi terapi afasia, rehabilitasi unilateral spatial neglect (ULN), melatih perhatian pada tahap post-akut setelah trauma cedera otak (TBI),

penggunaan memori elektronik dapat membantu pada gangguan memori dan pengobatan apraksia dengan strategi kompensasi. Disini benar-benar dibutuhkan pembelajaran yang dirancang cukup untuk area ini, yang harus mempertimbangkan masalah-masalah khusus seperti heterogenitas pasien dan standart pengobatan.

Objektif
Rehabilitasi gangguan pada fungsi kognitif (bahasa, persepsi parsial, perhatian, memori, kalkulasi, praktek) yang menyertai kerusakan otak yang didapat dari etiologi berbeda-beda (diantaranya: stroke dan trauma akibat cedera otak) merupakan pengembangan area rehabilitasi neurologis dan merupakan fokus penelitian besar yang diminati saat ini. Pada tahun 1999, panduan rehabilitasi kognisi telah diatur dibawah perlindungan European Federation of Neurological Societies (EFNS). Tujuannya adalah mengevaluasi bukti yang ada untuk efektivitas klinis rehabilitasi kognitif pada stroke dan cedera otak, dan menyediakan rekomendasi untuk penerapan neurologis. Pedoman ini merupakan perbaruan dan perbaikan dari kerja sebelumnya, yang dipublikasi pada tahun 2003 dalam European Journal of Neurology (Cappa et al., 2003)

Latar Belakang
Pada pedoman ini, kami membatasi diri kami untuk meninjau studi yang berhubungan dengan rehabilitasi gangguan neuropsikologi non-progresif yang disebabkan oleh stroke dan cedera otak (TBI). Sebagai konsekuensinya beberapa area penting pada rehabilitasi kognitif tidak disertakan, seperti rehabilitasi pada demensia, psikiatrik dan gangguan perkembangan. Lagipula, kami tidak mempertimbangkan pengobatan dan rehabilitasi farmasi.

Prevalensi dan hubungan rehabilitasi kognitif pada pasien stroke dan cedera otak (TBI) memerlukan pembentukan rekomendasi untuk praktek rehabilitasi kognitif, dan harus diakui secara formal oleh panitia kecil dari Kelompok Minat Khusus Penderita Interdisipliner-Cedera Otak ( Brain InjuryInterdisciplinary Special Interest Group) dari the American Congress of Rehabilitation Medicine. Rekomendasi awal dari panita ini telah dipublikasikan pada tahun 1992 sebagai Panduan Rehabilitasi Kognitif (the Guidelines for Cognitive Rehabilitation) (Harley et al., 1992) dan didasarkan pada pendapat para ahli yang tidak mempertimbangkan bukti empiris mengenai efektivitas rehabilitasi kognitif. Baru-baru ini, tinjauan literatur ilmiah untuk rehabilitasi kognitif pada pasien cedera otak (TBI) telah dipublikasi dari Januari 1988 sampai Agustus 1998 (termasuk 11 uji klinis secara acak) tercatat data efektivitas program rehabilitasi kognitif yang terbatas pada heterogenitas dari subjek, intervensi dan studi hasil (NIH Consensus Development Panel, 1999) Sebagai pertimbangan awal, kami ingin menggarisbawahi bahwa status penelitian sekarang tentang efektivitas rehabilitasi kognitif tidak memuaskan. Kita benar-benar yakin bahwa standar yang dibutuhkan untuk evaluasi intervensi farmakologis dan bedah juga berlaku untuk rehabilitasi. Khususnya penting untuk menunjukkan bahwa rehabilitasi ini efektif tidak hanya dalam memodifikasi kecacatan tetapi juga memiliki efek berkelanjutan pada tingkat ketidakmampuan. Sayangnya, kebanyakan uji klinis acak di daerah ini memiliki kualitas metodologis yang rendah, memiliki ukuran sampel cukup dan gagal untuk menilai hasilnya pada tingkat kecacatan. Banyak studi lain gagal membandingkan intervensi dengan placebo atau pengobatan palsu.

Strategi Penelitian
Setiap anggota panduan ditetapkan dalam area rehabilitasi kognitif (SFC-aphasia; SC-unilateral neglect; BR-attention; BS-memory; CvH-apraxia; TB-acalculia) dan diteliti secara sistematis dengan tinjauan EBM Cochrane Central Register dari

sampel terkontrol, info database dari Medline and Psych menggunakan kata kunci yang sesuai, dan pencarian textbook dan pedoman yang ada. Consensus umum hanya terdiri dari artikel berisi data yang dapat digolongkan menurut nilai rekomendasi penyelenggara, dikelompokkan dalam tingkatan bukti sesuai laporan bimbingan untuk pedoman penatalaksanaan neurologis dari EFNS yang telah direvisi (Brainin et al., 2004)

Metode Pencapaian Konsensus


Pengumpulan data dan analisis bukti ditampilkan secara bebas oleh masingmasing peserta sesuai dengan tugas tersebut diatas. Berdasarkan laporan tunggal, SFC menghasilkan konsep pedoman pertama yang telah beredar beberapa kali diantara anggota Satuan Tugas hingga perbedaan tiap-tiap topik teratasi dan consensus tercapai.

Hasil
Rehabilitasi Afasia Rehabilitasi untuk gangguan bicara dan bahasa yang mengikuti kerusakan otak adalah termasuk defisit kognitif yang didapat, dengan manggunakan tradisi lama, kembali ke abad sembilan belas (Howard and Hatfield, 1978). Berbagai pendekatan telah diterapkan dalam rehabilitasi pada afasia, dari pendekatan stimulasi sampai dengan upaya terakhir untuk mendirikan program pengobatan yang disesuaikan dengan teori berdasarkan pada prinsip-prinsip kognitif neuropsikologi (Basso, 2003). Kebutuhan untuk menetapkan efektivitas rehabilitasi aphasia telah mendorong sejumlah penyelidikan, kembali ke periode setelah perang dunia kedua, dan telah didasarkan pada metodologi yang berbedabeda. Pembelajaran meta-analisis berhubungan dengan efektivitas rehabilitasi bahasa, terbatas hanya pada aphasia yang diakibatkan oleh stroke, telah disediakan oleh kolaborasi Cochrane. Tinjauan tersebut mencakup artikel tentang

rehabilitasi bicara dan bahasa setelah serangan stroke sampai dengan Januari 1999 (Greener et al., 2000). Kesimpulan dari peninjauan ini adalah bahwa terapi bicara dan bahasa serta pengobatan untuk orang dengan afasia setelah serangan stroke belum terbukti apakah benar-benar efektif atau benar-benar tidak efektif dengan RCT. Keputusan mengenai penanganan pasien harus didasarkan bentuk bukti lainnya. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah terapi bicara dan bahasa terhadap pasien afasia tersebut efektif. Jika para peneliti memilih untuk melakukan percobaan, dan harus cukup besar untuk memiliki kekuatan statistik yang memadai, dan benar-benar dilaporkan. Kesimpulan ini didasarkan pada sejumlah terbatas RCT (12), dimana semuanya dianggap berkualitas rendah. Tinjauan lain oleh Ciceron, et al. (2000) mencapai kesimpulan yang berbeda. Kesimpulannya adalah terapi kognitif-bahasa dapat dianggap sebagai Latihan Standart untuk afasia pasca stroke; hal serupa, kesimpulan positif untuk TBI didasarkan pada bukti yang kurang konsisten. Alasan dari perbedaan ini dapat ditemukan pada criteria berbeda yang digunakan dalam dua tunjauan. Beberapa studi telah disertakan oleh Ciceron, et al. (2000) tidak dianggap dalam tinjauan Cohrane untuk alas an berikutnya. Dibandingkan dengan kelompok control yang tidak mendapat perlakuan, salah satu studi oleh Hagen (1973) tersebut dikeluarkan karena kurangnya pengacakan (randomisasi) yang benar (pasienpasien yang ditugaskan secara berurutan untuk diberi perlakuan atau tidak diberi perlakuan). Studi lain (Katz dan Wertz, 1997), mungkin telah disertakan karena hanya ditangani oleh rehabilitasi membaca yang dibantu oleh computer. Dua RCT kecil (Helffenstein dan Wechsler, 1982; Thomas-Stonell et al., 1994), yang telah melaporkan efek positif pengobatan, dikeluarkan dari tinjauan Cohrane karena disediakan untuk gangguan komunikasi setelah TBI (cedera otak). Beberapa terapi membandingkan dengan rangsangan tidak terstruktur yang didasarkan pada jumlah sesi pengobatan yang sangat terbatas. Meta-analisis oleh Bhogal et al. (2003) menunjukkan bahwa hasil studi melaporkan pengaruh perlakuan yang signifikan diberikan terapi 8.8 jam per minggu selama 11.2 minggu, sementara studi negative hanya ditunjukkan kira-kira 2 jam per minggu

selama 22.9 minggu. Total lamanya terapi secara signifikan berbanding terbalik terhadap perubahan yang berarti dalam indeks Porch dari skor Kemampuan Komunikasi (PICA). Jumlah jam terapi yang ditunjukkan dalam seminggu berhubungan secara signifikan dengan perbaikan yang lebih besar pada PICA dan Tes Token. Hasil ini menunjukkan bahwa program terapi intensif yang diberikan dalam waktu singkat dapat meningkatkan hasil terapi bicara dan bahasa bagi penderita stroke dengan afasia. Menurut definisi, semua bukti kelas II dan III tidak termasuk dalam tinjauan Cohrane. Hal ini mengakibatkan pengecualian dati tiga penelitian besar oleh Basso et al., (1979), Shewan dan Ketesz (1985) dan Poeck et al., (1989), semuanya menunjukkan keuntungan pengobatan yang signifikan. Sebuah kelas kecil tambahan II dilakukan oleh Carlomagno et al., (2001) mendukung kegunaan dari rehabilitasi menulis terhadap pasien stroke pada stadium post akut. Bukti tmabahan untuk hasil terapi dating dari beberapa penyelidikan acak baru-baru ini pada sampel kecil pasien (kelas II). Sebuah kelompok studi membandingkan pengobatan komunikasi kelompok dengan pengobatan yang berbeda, menunjukkan efek positif pada tindakan linguistic dan komunikasi (Elman dan Bernstein-Ellis, 1999). Studi lain didasarkan pada sampel kecil dibandingkan dengan terapi konvensional dan menunjukkan keunggulan yang signifikan terhadap campur tangan kumpulan (Pulvermueller et al., 2000). Studi acak baru-baru ini membandingkan dengan pengobatan pholologi terhadap anomia. Kedua pengobatan tersebut menghasilkan perbaikan yang signifikan terhadap komunikasi fungsional (Doesborg et al., 2004) Demikian juga, studi kasus tunggal tidak dipertimbangkan dalam tinjauan Cohrane. Hal ini sebagian relevan karena kebanyakan studi pengobatan baru-baru ini didasarkan pada pendekatan neuropsikologi kognitif menggunakan metodologi kasus tunggal. Tinjauan ini ditulis oleh Robey et al. (1999) secara kritis membahas pendekatan ini dan menyimpulkan bahwa secara umum efek pengobatan yang besar telah ditemukan terhadap pasien afasia.

Rekomendasi : Kesimpulan dari tinjauan Cohrane tentang rehabilitasi afasia pasca stroke tidak sesuai dengan terapi Afasia Level A. Walaupun demikian, terdapat bukti bahwa dari penelitian kelas II dan kelas III, dan juga dari penelitian tunggal, menunjukkan kemungkinan keefektifannya (Level B). dipercederan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini. Khsusnya untuk membuktikan keefektifan terapi pragmatis-percakapan setelah TBI yang penelitiannya masih sedikit dengan sampel yang sedikit.

Rehabilitasi ULN Adanya hemineglect saat fase akut dihubungkan dengan hasil yang jelek terkait dengan kemandirian (Denes et al, 1982; Stone et al, 1992) dan usaha yang lebih diperlukan untuk rehabilitasinya. Tinjauan kami berikut memaparkan penelitian tentang tidak dihiraukannya rehabilitasi dan juga tentang tinjauan terbaru yang dipublikasikan (Robertson dan Hawkin, 1999; Robertson, 1999; Diamond, 2001; Pierce dan Buxbaum, 2002; Kerkhoff, 2003; Paton et al 2004), termasuk tinjauan Cohrane (Bowen et al, 2002). Tinjauan Cohrane menganalisis 15 penelitian dan menemukan bahwa rehabilitasi kognitif bermanfaat pada perbaikan dalam penilaian tingkat kelemahan. Namun, terdapat bukti yang tidak cukup untuk mendukung atau menolak efek rehabilitasi kognitif pada tingkat disabilitas atau pada saat pulang dari rumah sakit. Pendekatan yang berbeda-beda dipergunakan sekarang untuk tidak menghiraukan rehabilitasi; tinjauan kami berikut ini tentang pembuktian terhadap pendekatan yang berbeda-beda tersebut. Pelatihan kombinasi dari pengamatan visual, pembacaan, pengkopian, dan deskripsi badan secara statistik menunjukkan hasil signifikan terhadap perbaikan dalam gejala yang tidak dihiraukan pada satu penelitian kelas II (Antonucci et al, 1995) dan dua penelitian kelas III (Pizzamiglio et al, 1992; Valtar et al, 1997). Pelatihan Pengamatan visual sendiri menunjukkan perbaikan kelalaian secara signifikan pada penelitian kelas I (Weinberg et al, 1997). Spasiomotor atau Visuospasiomotor menunjukkan perbaikan kelalaian secara signifikan pada penelitian kelas I (Kalra et al, 1997) dan dua penelitian kelas III (Lin et al, 1996;

Frassinetti et al 2001). Isyarat visual dengan stimulus kinetik menunjukkan perbaikan signifikan, walaupun sementara, pada tiga penelitian kelas III (Butter et al, 1990; Pizzamiglio et al, 1990; Butter dan Kirsch, 1995). Namun, penggunaan stimulasi optokinetik, tidak menunjukkan perbaikan dalam neglect pada penelitian kelas I terbaru (Pizzamiglio et al, 2004). Video feedback (Tham dan Tegner, 1997) dan Visuomotor feedback (Harvey et al, 2003) menunjukkan keadaan umum yang lebih baik pada pelatihan pada penelitian kelas III dan II. Pelatihan perhatian terpusat, peningkatan kewaspadaan atau isyarat perhatian spasial menunjukkan perbaikan kelalaian signifikan pada penelitian kelas III (Hommel et al, 1990, ladavas et al, 1994; Robertson et al, 1995; Kerkhoff, 1998) Beberapa penelitian mempelajari tentang efek representasi multisensoris berpengaruh. Penelitian ini secara umum memperlihatkan efek sementara, yang bertahan sedikit lebih lama daripada akhir stimulasi yang sesuai. Stimulasi vestibular dengan infus air dingin pada liang telinga luar sebelah kiri menunjukkan efek signifikan pada beberapa aspek kelalaian unilateral pada dua penelitian kelas III (Rode dan Perenin, 1994; Rode et al, 1998). Stimulasi vestibular Galvanic secara signifikan memperbaiki gejala kelalaian pada satu penelitian kelas III (Rorsman et al, 1999). Stimulasi transkutaneus elektrik pada otot leher sebelah kiri menunjukkan efek signifikan pada tiga penelitian kelas III (Vallar et al, 1995; Guariglia et al, 1998; Perennou et al, 2001) dan vibrasi otot leher pada satu penelitian kelas II (Schindler et al, 2002). Yang terakhir merupakan satu-satunya penelitian pada kelompok ini yang menunjukkan efek tetap setelah 2 bulan. Perubahan pada orientasi batang tubuh secara signifikan memiliki efek positif pada satu penelitian kelas II (Wiart et al, 1997). Penggunaan goggle prisma dengan deviasi 10 derajat ke kanan, yang diperkenalkan baru-baru ini, memperlihatkan perbaikan signifikan, pada pola yang sementara terhadap gejala kelalaian pada dua pasien kelas II (Rossetti et al, 1998; Angeli et al, 2004) dan satu penelitian kelas III (Farne et al, 2002). Sebuah penelitian kelas II mempergunakan terapi goggle prisma selama 2 minggu dan memperoleh hasil yang signifikan untuk perbaikan jangka panjang (Frassinetti et al, 2002). Penggunaan lapang pandang kiri atau mata kiri secara paksa

menunjukkan manfaat relatif pada neglect pada satu penelitian kelkas II (Beis et al, 1999) dan dua penelitian kelas III (Butter dan Kirsch, 1992; Walker et al, 1996). Pelatihan computer mempelrihatkan hasil yang beragam. Satu penelitian kelas I (Robertson et al, 1990) dan satu penelitian keals III (Bergego et al, 1997) melaporkan tidak adanya efek positif signifikan, sementara penelitian kelas II yang lebih baru menunjukkan perbaikan signifikan secara statistik pada mobilitas kursi roda (Webster et al, 2001). Rekomendasi : Beberapa metode rehabilitasi neglect diteliti pada penelitian tingkat I dan II. Bukti yang diperlihatkan dihubungkan dengan rekomendasi Level A untuk pelatihan pemantauan dan pelatihan visuo-spasio-motor, dan rekomendasi level B untuk pelatihan kombinasi antara pemantauan visual, pembacaan, pengkopian, dan deskripsi bentuk; sampai orientasi batang tubuh; sampai vibrasi leher; dan sampai penggunaan mata kiri secara paksa. Penggunaan goggle prisma memiliki tingkat rekomendasi yang sama untuk efek sementara dan untuk Level C untuk efek jangka panjang jika digunakan dalam periode yang lebih lama. Rekomendasi level B untuk video feedback; dan Level B-C untuk pelatihan perhatian terpusat serta pelatihan kewaspadaan. Rekomendasi Level C valid untuk efek sementara yang disebabkan stimulasi vestibuler galvanic atau kalorik, serta stimulai listrik transkutaneus pada otot leher. Isyarat visual dengan stimulus kinetic dan penggunaan computer pada rehabilitasi kelalaian masih controversial.

Rehablitasi Kelainan Perhatian Defisit perhatian merupakan lanjutan beberapa tipe kerusakan otak, termasuk stroke dan TBI (Bruhn dan Parsons, 1971; Van Zomeren dan Van DenBurg, 1985). Penelitian rintisan oleh Ben-Yishay et al (1978) mempelajari tentang penanganan defisit pada pemusatan dan mempertahankan perhatian pada 40 orag dewasa dengan kerusakan otak. Tidak hanya terdapat perbaikan pada tugas pelatihan-perhatian, namun juga secara umum terlihat pada penilaian psikometrik yang lain yang dipantau selama 6 bulan. Dengan multiple-baseline design,

dengan pasien 4-6 tahun setelah cedera kepala, Wood (1986) menumukan bahwa penguatan terpadu efektif untuk meniningkatkan kemampuan pasien untuk mempertahankan perhatian pada suatu tugas. Beberapa penelitian (Ponsford dan Kinsella, 1988; Nieman et al, 1990; Novack et al, 1996) secara explisit memasukkan dan mengevaluasi intervensi terapi seperti pengaruh balik, penguatan kembali, dan pengajaran strategi ke dalam program rehabilitasi perhatian. Tinjauan Cochrane oleh Lincoln et al (2000), yang mencari control percobaan dari pelatihan perhatian pada stroke, menggambarkan bahwa hanya penelitian oleh Schottke (1997) yang memperlihatkan keefektifan pelatihan perhatian untuk meningkatkan perbaikan perhatian. Tiga belas penelitian telah ditinjau oleh Cicerone et al (2000) termasuk tiga RCT prospektif (Nieman et al, 1990; Gray et al, 1992; Novack et al, 1996), empat penelitin control kelas II (Sohlberg dan Mateer, 1987; Strache, 1987; Ponsford dan Kinsella, 1988; Sturm dan Wilmes, 1991); dan enam penelitian kelas III (Wood, 1986; Ethier et al, 1989; Gray dan Robertson, 1989; Gansler dan McCaffrey, 1991; Wilson dan Robertson, 1992; Sturm et al, 1997). Kebanyakan penelitian kontrol memperbandingkan pelatihan perhatian dengan penanganan alternatif yang lain, tanpa memasukkan kondisi tanpa penanganan; perbedaan yang sangat penting adalah antara penelitian yang dilakukan pada fase akut dan post-akut. Cicerone et al (2000) menyimpulkan bahwa bukti dari dua RCT (niemann et al, 1990; Gray et al, 1992) dengan subjek total sebanyak 57 dan dua penelitian kontol (Sohlberg dan Mateer, 1987; Strache, 1987) dengan total 49 subjek mendukung keefektifan pelatihan perhatian pada efek stimulasi kognitif non-spesifik untuk subjek dengan TBI atau stroke selama fase post akut pada pemulihan dan rehabilitasi. Cicerone et al (2000) merekomendasikan suatu bentuk intervensi sebagai suatu pedoman praktek untuk orang-orang ini. Intervensi sebaiknya tidak hanya berisi tentang pelatihan dengan modalitas dan kompeksitas stimulus yang berbeda-beda, namun juga aktivitas terapis seperti memantau keadaan umum subjek, menyediakan pengaruh balik dan strategi pengajaran. Pelatihan perhatian tampak lebih efektif ketika ditujukan untuk perbaikan keadaan

10

umum subjek untuk tugas tugas yang lebih kompleks dan fungsional. Namun, efek dari penanganan itu bisa sedikit atau spesifik untuk tugas tertentu, dan suatu kebutuhan tambahan muncul untuk memeriksa dampak penanganan perhatian pada aktivitas sehari hari (ADL) atau hasil yang fungsional. Penelitian fase Akut Satu penelitian kelas I dan penelitian kelas II mengevaluasi keefektifan penatalaksanaan perhatian selama fase akut saat rehabilitasi. Penelitian kelas I oleh Novack (1996) membandingkan keefektifan penatalaksanaan terpusat yang terdiri dari intgervensi runtut dan urut yang ditujukan pada mekanisme perhatian spesifik dengan intervensi yang tidak terstruktur yang terdiri dari aktivitas tidak teratur dan tidak runtut yang membutuhkan kemampuan mengingat. Kedua kelompok itu memperlihatkan perbaikan, namun tidak ada perbedaan antarkelompok: perbaikan yang diamati mungkin karena pemulihan spontan. Satu penelitian kelas II (Ponsford dan Kinsella, 1988) menggunakan multiple baseline design pada subjek dan mengevaluasi program untuk remediasi defisit proses kecepatan pada 10 pasien dengan TBI parah (6 hingga 8 minggu setelah cedera). Penuilis tersebut melaporkan tidak adanya manfaat atau generalisasi efek dari pelatihan perhatian. Namun, perbaikan muncul pada beberapa pasien ketika melakukan tugas-tugas pelatihan perhatian dikombinasikan respon ahli terapi dan pujian-pujian. Pada penelitian kelas II yang lain (Sturm dan Wilmes, 1991), 35 subjek dengan stroke lateralisasi memperlihatkan efek manfaat dari pelatihan perhatian dengan 5 dari 14 ukuran hasil, khususnya ukuran terhadap kecepatan perceptual dan perhatian selektif pada lesi hemisfer kiri. Pasca Akut Dua penelitian kelas I dan dua penelitian kelas II menganalisis keefektifan penanganan perhatian selama rehabilitasi pasca akut. Gray et al (1992) memberikan tatalaksana 31 pasien dengan dissfungsi perhatian, yang secara acak menerima pelatihan perhatian terkomputerisasi atau jumlah ekuivalet penggunaan computer. Segera setelah pelatihan, kelompok penelitian tersebut menunjukkan

11

perbaikan yang nyata pada dua ukuran perhatian (namun, ketika intelegensi dan waktu saat cedera dimasukkan sebagai kovarian, efek tatalaksana tersebut tidak lagi menjadi signifikan; Pada pemantauan 6-bulan, kelompok perlakuan terus menunjukkan perbaikan dan keadaan umum yang sangat baik dibandingkan dengan kelompok control pada tes yang melibatkan ingatan kerja auditory-verbal. Penulis tersebut menyimpulkan bahwa perbaikan setelah periode pemantauan, seiring dengan model pelatihan strategi yang otomatisasinya meningkat dan terintegrasi dalam perilaku yang beraneka ragam (Gray et al, 1992). Pada penelitian kelas I pasca akut kedua (Niemann et al, 1990) pasien yang tinggal di lingkungan masyarakat dengan cedera otak sedang hingga berat diamati orientasinya, pandangannya, dan kelainan afasia dan psikiatri. Terdapat perbaiakan pada kelompok penelitian pelatihan perhatian dibandingkan dengan kelompok pelatihan alternative (ingatan) diukur dari empat ukuran perhatian selama periode perawatan, walaupun efeknya tidak tergeneralisir sampai perangkat kedua dari ukuran neuropsikologis. Sohlberg dan Mateer (1987) menerapkan multiple baseline design pada empat pasien untuk melihat keefektifan program pelatihan perhatian yang spesifik dan runtut. Semua subjek menunjukkan perbaikan pada ukuran hasil perhatian setelah pelatihan perhatian dimulai tetapi tidak setelah pelatihan proses visuospasial: perbaikan ini juga tergeneralisir untuk masalah kognitif dan masalah sehari-hari. Strache (1987) melakukan penelitian prospektif kelas II pada pasien dengan etiologi trauma dan vaskuler serta membandingkan dua intervensi yang berhubungan dekat pada kelompok control tanpa perlakuan yang mendapatkan rehabilitasi umum. Setelah 20 sesi penatalaksanaan, kedua penatalaksaan perhaitan tersebut menunjukkan hasil perbaikan signifikan pada ukuran perhatian hubungannya dengan kelompok subjek, dengan beberapa generalisasi pada ukuran ingatan dan intelegensi. Rath et al (2004) pada tiga penelitian control kelas II yang saling berhubungan menguji gagasan penyelesaian masalah karena hubungannya dengan penilaian defisit pada pasien dengan TBD. Perbedaan antarkelompok itu signifikan pertama untuk tugas perhatian yang dihitung waktunya, kemudian untuk catatan penyelesaian masalah dan catatan psikososial, lalu untuk penyelesaian masalah pasien sendiri dan juga

12

catatan laporan sendiri. Hal ini berarti dipercederan pendekatan berbeda-beda yang banyak pada gagasan penyelesaian masalah (pendekatan multidimensi) untuk mencapai rehabilitasi yang baik. Beberapa usaha Dilakukan untuk menggambarkan peran diferensial keefektifan pelatihan dari komponen perhatian yang spesifik. Rios et al (2004) pada penelitian control kelas II terhadap cedera otak traumatic berpendapat bahwa perhataian adalah fungsi kognitif dasar, suatu prasyarat untuk proses kognitif yang lain. Terdapat empat sub proses tersebut yang perlu diperhatikan: flexibilitas kognitif, kecepatan pemprosesan, campur tangan, dan ingatan kerja. Hasil penelitiannya mendukung pendapat bahwa subproses pengatur perhatian yang berbeda-beda ini dapat dibedakan menjadi proses tingkat tinggi dan rendah dan dapat berimbas pada penilaian neuropsikologi dan rehabilitasi. Perbaikan dalam kecepatan prsoes tampak kurang berarti dibandingkan dengan perbaikan apda tugas yang tidak berkaitan dengan kecepatan (Ponsford dan Kinsella, 1988; Ethier et al, 1989; Sturm et al, 1997). Lebih jauh lagi, beberapa penelitian juga menyimpulkan manfaat yang lebih besar dari pelatihan perhatian pada pekerjaan yang lebih kompleks yang membutuhkan perhatian selektif atau terbagi dibandingkan pekerjaan dasar (Sturms dan Wilmes, 1991; Gray et al, 1992; Sturm et al, 1997). Wilson dan Robertson (1992), yang menerapkan rangkaian intervensi pribadi bertujuan untuk memfasilitasi control volunteer terhadap perhatian selama aktivitas fungsional, secara efektif menurunkan penurunan perhatian yang dirasakan oleh subjek ketika membaca novel dan bacaan. Rekomendasi : Selama periode akut pemulihan dan rehabilitasi, terdapat sedikit bukti yang dapat membedakan efek pelatihan perhatian spesifik dengan pemulihan spontan atau intervensi kognitif umum yang lain pada pasien dengan TBI atau Stroke sedang sampai berat. Oleh sebab itu, intervensi perhatian spesifik selama periode akut pemulihan tidak direkomendasikan. Pada sisi lain, terdapatnya bukti kelas I tentang pelatihan perhatian pada fase pasca akut setelah TBI sesuai dengan rekomendasi Level A.

13

Rehabilitasi memori Gangguan memori telah dikenal sebagai suatu sekuel yang mengikuti trauma cedera kepala dan juga pernah dilaporkan mengikuti stroke. Beberapa penelitian yang meneliti tentang rehabilitasi memori diorientasikan untuk mengurangi beberapa gangguan memori general (umum) seperti gangguan belajar dan mengulang kembali maupun gangguan-gangguan fungsi setiap hari. Penelitian lain memusatkan pada isi yang spesifik seperti orientasi, hari-hari, nama-nama, wajah-wajah, kebiasaan sehari-hari serta appointment (janji). Sedangkan yang lain lagi diorientasikan pada gangguan modalitas spesifik seperti gangguan memori visual dibandingkan dengan memori verbal. Oleh karena memori bukan merupakan satu konsep saja, beberapa penelitian juga meneliti tentang berbagai aspek memori yang berbeda seperti memori kerja maupun memori prospektif. Penelitian-penelitian yang ditinjau ini secara kasar digolongkan menjadi 3 (tiga) kategori: penelitian mengenai teknik-teknik sasaran tanpa alat bantu memori eksternal, penelitian mengenai tekinik-teknik sasaran dengan alat bantu memori eksternal non-elektronik, serta penelitian yang memusatkan pada kegunaan alat bantu teknologi lektronik (sebagai tinjauan mengenai aplikasi alat bantu memori eksternal serta prosedur berbasis komputer terhadap peningkatan fungsi memori pada pasien-pasien neurologi dengan defisit memori) (lihat Kapur, dkk., 2004).

Penelitian-penelitian teknik-teknik sasaran tanpa alat bantu memori eksternal Keefektifan strategi latihan memori tanpa alat bantu memori eksternal terhadap rehabilitasi memori diteliti oleh 3 (tiga) penelitian kelas III. Doomhein dan de Haan (1998) (kelas III) meneliti gangguan memori pada 12 pasien stroke. Latihan strategi memori diperlakukan pada kelompok target selama 4 (empat) minggu dengan 2 (dua) sesi perminggu. Program latihan terdiri dari 6 (enam) strategi memori bagi kelompok target serta latihan non-spesifik yang melibatkan
14

praktik tugas memori berulang-ulang terhadap kelompok kontrol. Pada akhir perlakuan, ditemukan suatu perbedaan yang signifikan antara kelompokkelompok pada tes yang berhubungan dengan nama-wajah. Meskipun demikian, perbedaan besar rerata memperlihatkan bahwa latihan strategi memori tidak memiliki efek signifikan pada gangguan memori maupun keluhan memori subjektif. Berg, Koning-Haanstra, dan Deelman (1991) (penelitian kelas III) meneliti tentang latihan strategi memori versus latihan dan praktik berulang-ulang versus tanpa perlakuan pada 39 pasien trauma cedera kepala (traumatic brain injury/TBI). Hanya kelompok latihan strategi memori yang memperlihatkan peningkatan fungsi memori dan efek terbesarnya diamati 4 (empat) bulan setelah terapi. Ryan dan Ruff (1988) (penelitian kelas III) meneliti 20 pasien TBI menguunakan strategi latihan dan gambar visual pada tugas mengumpulkan dan merangkai versus beberapa alternative terapi. Setelah 6 (enam) minggu latihan, kedua kelompok sama-sama menunjukkan peningkatan fungsi memori. Latihan adalah yang paling bermanfaat bagi subjek dengan gangguan memori ringan sebelum terapi dilakukan. Pada beberapa penelitian lainnya, sebuah penelitian kelas III tidak menemukan efek positif pada gangguan memori yang menggunakan strategi kompensasi, sedangkan penelitian kelas III yang lain melaporkan adanya efek positif dan penelitian kelas III lainnya hanya menemukan suatu efek terapi latihan terhadap gangguan memori ringan. Beberapa penelitian kelas III telah meneliti perbandingan antara errorless learning (subjek dicegah untuk tidak membuat kesalahan) dan errorfull learning (misalnya trial-and-error) pada subjek dengan gangguan memori dan memperlihatkan bahwa para peserta (pasien stroke dan TBI dengan berbagai macam etiologi) mendapatkan manfaat terbanyak saat dianjurkan untuk belajar tanpa error/kesalahan (errorless learning) (Baddeley dan Wilson, 1994; Squires, dkk., 1997; Hunkin, dkk., 1998). Sebuah penelitian meta-analisis kuantitatif pada pembelajaran lengkap (implicit) serta rehabilitasi memori pada pasien TBI, stroke, dan Alzheimer dilakukan oleh Kessels dan de Haan (2003) (penelitian kelas IV).

15

Para peneliti membandingkan antara errorless learning dengan metode menghilangkan isyarat sama sekali. Mereka menemukan bahwa teknik errorless learning memiliki keuntungan lebih banyak daripada trial-and-error learning. Mereka juga memperhatikan bahwa keuntungan dari suatu teknik belajar seperti errorless learning bisa tergantung pada tepatnya tugas yang digunakan dan cara yang mana memori diujikan. Hal ini dicontohkan oleh Riley, dkk. (2004) (penelitian kelas III) yang membandingkan efisasi/kemanjuran dari errorless learning tanpa pemudaran (errorless learning without fading (ELWF)) dengan metode menghilangkan isyarat (method of vanishing cues (WVC)), mendiskusikan apakah ELWF atau WVC yang menghasilkan performa memori implicit atau eksplisit yang lebih baik. MVC memperlihatkan performa yang lebih baik daripada ELWF ketika dilakukan study-trial recall yang penuh kerja keras tapi berhasil menunjukkan efek positif MVC pada memori eksplisit. Berkenaan dengan memori implicit, MVC lebih efektif dibandingkan dengan ELWF saat digunakan tugas menyelesaikan akar kata, akan tetapi bukan saat digunakan tugas tanpa hubungan ataupun tugas identifikasi perceptual. Para penulis menyimpulkan bahwa keefektifan relative dari kedua metode bergantung pada cara yang mana memori itu diujikan. Dalam penelitian kelas III yang lain, para peneliti membandingkan antara errorless learning dan errorful learning dengan atau tanpa pre-eksposing peserta (pasien TBI dan stroke) pada target stimuli (Kalla dkk., 2001). Penulis melaporkan suatu manfaat signifikan pada errorless learning dibandingkan dengan errorful learning. Pre-eksposing target stimuli sangat meningkatkan manfaat errorless learning. Dalam berbagai pusat penelitian, Wilson dkk. (2001) memperlihatkan 9 (sembilan) penelitian dalam 3 (tiga) tahap penelitian yang membandingkan errorless dan trial-and-error (errorful) learning pada pasien dengan berbagai macam etiologi termasuk pasien TBI dan stroke. Penulis menemukan bahwa mencegah pasien dengan gangguan memori untuk tidak membuat kesalahan (errorless learning) dalam situasi yang memfasilitasi memori implicit dan memori pengulangan kembali (retrieval memory) terhadap materi yang diajarkan (tapi bukan dalam situasi yang membutuhkan recall eksplisit dari asosiasi yang baru) memiliki efek positif terhadap belajar. Hasil

16

penelitian mereka juga memperlihatkan bahwa dalam keadaan tertentu errorless learning mungkin lebih bermanfaat bagi pasien yang mnderita gangguan memori lebih berat. Pada beberapa penelitian yang lainnya: Suatu serial penelitian kelas III melaporkan suatu manfaat teknik errorless learning daripada teknik errorful learning. Terdapat beberapa indikasi bahwa setiap manfaat dari errorless learning bisa tergantung pada tipe tugas yang digunakan, cara yang mana memori diujikan serta pada tingkat keparahan gangguan memori. Pre-eksposisi terhadap target stimuli tampaknya dapat meningkatkan manfaat dari errorless learning. Sebuah teknik belajar yang lain diteliti oleh Hillary dkk. (2003) (penelitian kelas III). Penulis meneliti apakah pembelajaran pada pasien TBI sedang dan berat ditingkatkan dengan suatu prosedur pembelajaran spacing-of-repetitions menggunakan pembelajaran uji coba berurutan sebagai suatu kondisi kontrol. Prosedur spacing-of-repetitions berdasarkan efek spacing yang telah diperlihatkan dapat meningkatkan memori dan belajar ketika uji coba yang diulang-ulang didistribusikan sepanjang waktu (spaced repetitions). Penulis menemukan bahwa peserta secara signifikan mampu me-recall dan mengenal lebih banyak kata-kata yang dispasi daripada kata-kata yang dikumpulkan selama tugas belajar mendaftar kata. Secara statistic, menjumlah perbedaan status neuropsikologi pasien, terdapat suatu pengaruh signifikan dari efek menspasi pada performa recall dan pengenalan. Hasil penelitian ini mendukung penemuan penelitian kelas III sebelumnya (Schacter dkk., 1985), yang mana teknik spaced retrieval dilakukan pada 4 (empat) pasien dengan gangguan memori ringan sampai berat. Performa untuk belajar informasi yang lebih baik pernah dilaporkan. Dalam beberapa penelitian lainnya: penelitian-penelitian kelas III melaporkan suatu efek yang menguntungkan dari teknik spaced retrieval pada performa memori spesifik.

17

Penelitian-penelitian teknik-teknik sasaran dengan alat bantu memori eksternal non-elektronik Kegunaan dari alat-alat bantu eksternal seperti buku catatan atau sebuah diari telah diteliti dalam 2 (dua) penelitian kelas II dan sebuah serial penelitian suatu kasus tertentu (penelitian kelas III). Schmitter-Edgecombe dkk. (1995) (penelitian kelas III) meneliti tentang terapi latihan dengan buku catatan pada pasien TBI dan melaporkan adanya kegagalan memori yang secara signifikan lebih kecil setiap hari pada kelompok buku catatan dibandingkan dengan kelompok terapi dukungan. Ownsworth dan McFarland (1999) (kelas III) meneliti kemanjuran dari pendekatan latihan hanya dengan diari (diary only/DO) versus latihan dengan pendekatan diari ditambah dengan instruksional sendiri (diary plus self-instructional training/DSIT) pada pasien dengan berbagai macam etiologi termasuk pasien TBI dan stroke. Dibandingkan dengan kelompok DO, kelompok DSIT mampu mempertahankan sebuah manfaat strategi diari sepanjang waktu yang lebih konsisten, dilaporkan suatu tingkat kesulitan memori yang lebih rendah dan menilai strategi yang digunakan sebagai suatu strategi yang lebih membantu. Pada beberapa penelitian: Dua penelitian kelas III mendukung manfaat dari alat bantu memori eksternal non-elektronik seperti buku catatan ataupun diari. Tampaknya bahwa suatu terapi yang dikombinasikan dari suatu alat bantu memori eksternal (diari) dan latihan strategi internal meningkatkan keberhasilan terapi rehabilitasi memori. Keefektifan alat bantu memori eksternal non-elektronik juga telah diperlihatkan oleh beberapa studi kasus maupun penelitian-penelitian tidak terkontrol (penelitian kelas IV) (Sohlberg dan Mateer, 1989; Zencius dkk., 1990; Burke dkk., 1994; Squires dkk., 1996). Ada satu penelitian kelas IV yang tampaknya menyatakan bahwa tidak semua alat bantu maupun stategi bermanfaat. Evans dkk. (2003) meneliti manfaat alat-alat bantu maupun strategi-strategi terhadap peserta dengan kerusakan otak oleh karena berbagai etiologi yang berbeda dalam jumlah besar. Alat bantu yang paling sering digunakan adalah alat-

18

alat bantu eksternal seperti kalender, daftar, buku catatan, dan diari. Meskipun demikian, dari tingkat keberhasilan yang diperoleh dari individu relative/perseorangan, alat bantu/strategi yang paling luas digunakan bukanlah yang paling efektif.

Manfaat teknologi elektronik bantu Meningkatnya ketersediaan computer, internet, sambungan tanpa kabel, dan alat-alat elektronik yang lain membuka kemungkinan yang luas untuk memasukkan teknologi-teknologi ini ke dalam rehabilitasi (sebagai suatu tinjauan pada teknologi bantu untuk alat-alat kognisi (assistive technology for cognition/ATC) lihat LoPresti dkk., 2004). Cukup mencengangkan bahwa walaupun secara relative biayanya rendah dan meningkat ketersediaannya, secara relative, masih sedikit penelitiaan-penelitian terkontrol baik. Sebuah penelitian kelas III awal oleh Kerner dan Acker (1985) (penelitian kelas III) memperlihatkan performa memori yang meningkat pada pasien TBI dengan gangguan memori ringan sampai sedang setelag menggunakan software latihan memori berbasis computer. Dukungan untuk keberhasilan latihan memori dengan bantuan computer juga datang dari beberapa penelitian kelas IV (Glisky dan Glisky, 2002; Kapur dkk., 2004). Penelitian kelas III yang lainnya menguji keefektivan 4 (empat) strategi latihan memori dengan bantuan computer yang berbeda (melangkah sendiri/self-pacing, timbale balik/feedback, diurutkan/personalized, penyajian visual/visual presentation) pada pasien China dengan trauma kepala tertutup (Tam dan Man, 2004). Membandingkan outcome pretes dan posttes memori (nilai kuis computer) dari pasien dan kelompok studi memperlihatkan peningkatan yang signifikan dari keempat uji memori tetapi tidak berlaku pada sebuah ukuran outcome memori independen. Di samping computer, system paging portabel telah digunakan untuk meningkatkan performa memori. Wilson dkk. (2001) (kelas III) meneliti keefektivan system paging portabel (NeuroPage) pada sejumlah besar pasien TBI, stroke, dan pasien-pasien yang lain dengan

19

gangguan memori dan gangguan kemampuan merencana/organisasi. Lebih dari 80% pasien yang telah menyelesaikan 16 minggu masa percobaan menunjukkan suatu peningkatan signifikan menjalani aktivitas sehari-hari (seperti perawatan diri sendiri, pengobatan diri sendiri, menepati janji) saat menggunakan system pager. Cukup baik mengatakan bahwa penelitian ini diperluas oleh Inglis dkk. (2002) yang mengembangkan sebuah alat bantu memori interaktif menggunakan asisten digital (PDA) dengan transmisi data melalui jaringan telepon seluler. Jadi, NeuroPage juga dapat berkomunikasi dengan perawat system computer sehingga bisa sedikit memonitor kegunaan dan kemampuan PDA. Tidak ada keberhasilan penelitian terkontrol yang pernah dipublikasikan. Keberhasilan manfaat dari suatu system paging alfanumerik juga telah ditunjukkan dalam suatu studi kasus TBI tunggal kelas IV (Kirsch dkk., 2004). Sebuah alat bantu memori elektronik yang lain adalah pengatur suara potable (VO/portable voice organizer). Alat ini dapat diarahkan untuk mengenali pola bicara individu pasien, menyimpan berbagai pesan yang diurutkan oleh pengguna serta mengulang berbagai pesan pada waktu yang tidak ditentukan. Hart dkk. (2002) meneliti keberhasilan dari suatu system tertentu pada pasien-pasien TBI dengan gangguan memori yang ditujukan dalam memfasilitasi pengulangan kembali rencana dan tujuan terapi dalam sebuah desain penelitian subjek terkontrol (penelitian kelas III). Hasilnya menunjukkan bahwa tujuan-tujuan yang direkam mampu diulang kembali yang secara signifikan hasilnya lebih baik daripada tujuan-tujuan yang tidak direkam pada kondisi bebas maupun mengulang isyarat. Para penulis menjelaskan bahwa perhatian perlu untuk diterapkan untuk menyamaratakan hasil dikarenakan sedikitnya jumlah subjek, waktu latihan yang pendek, dan kurangnya pengukuran kemampuan memori independen. Manfaat VO juga telah diperlihatkan pada sebuah penelitian kelas IV yang terkontrol baik pada pasien-pasien dengan berbagai macam etiologi termasuk pasien TBI (van den Broek dkk., 2000). Teknologi reality virtual telah digunakan dalam penilaian memori untuk menyediakan evaluasi yang lebih terkontrol dan valid secara ekologi daripada mungkin dalam sasaran rehabilitasi. Manfaatnya dalam rehabilitasi memori telah diteliti dalam 2 (dua) penelitian kelas III (sebagai tinjauan kembali manfaat serta kemungkinan-kemungkinan reality

20

virtual dalam rehabilitasi memori lihat Brooks dan Rose, 2003). Dua penelitian kelas III meneliti performa dari para pasien saat tugas-tugas memori disajikan dalam bentuk lingkungan yang nyata (virtual). Efek dari partisipasi pasif dan aktif dalam sebuah lingkungan virtual non-imersif pada memori spasial pasien-pasien stroke diteliti oleh Rose dkk. (1999) (penelitian kelas III). Performa para partisipan dalam tes-tes memori spasial dan pengenalan objek dievaluasi setelah eksplorasi aktif lingkungan virtual maupun observasi pasif mengenai rancangan lingkungan virtual. Para pasien stroke sebagaimana dengan kontrol memperlihatkan performa yang lebih baik dalam tugas pengenalan aktif daripada pengenalan spasial pasif. Bagaimanapun, meskipun kontrol pasif memperlihatkan performa yang lebih baik pada tugas pengenalan objek daripada kontrol aktif, para pasien tidak menunjukkan perbedaanpun pada tugas pengenalan objek aktif dibandingkan pasif. Grealy dkk. (1999) (penelitian kelas III) meneliti pengaruh lingkungan latihan stimulasi virtual non-imersif terhadap perhatian, proses informasi, pembelajaran serta memori pada pasien-pasien TBI. Sebuah perbandingan nilai-nilai pre dan post intervensi memperlihatkan kemajuan signifikan dalam tes-tes perhatian, proses informasi, pembelajaran verbal dan visual. Tidak ada kemajuan dalam fungsi memori yang diteskan dengan tes memori global dan tes gambar kompleks. Dua penelitian kelas III mengindikasikan bahwa para pasien dapat meningkatkan kemampuan performa memori spasial ataupun pembelajaran verbal dan visual dalam suatu lingkungan virtual. Cicerone dkk. (2000) (menggunakan sebuah system penilaian berbeda dari salah satu yang digunakan di sini) merekomendasikan latihan memori pengganti bagi subjek-subjek dengan gangguan memori sedang sebagai standar praktis. Para peneliti ini menyampaikan bahwa kemandirian dalam fungsi sehari-hari, berperan aktif dalam mengidentifikasi masalah memori yang diobati serta kecakapan dan motivasi untuk melanjutkan penggunaan strategi aktif dan mandiri berperan besar dalam kesembuhan memori efektif.

21

Meskipun telah banyak penelitian tentang rehabilitasi memori, akan tetapi beberapa masalah muncul pada beberapa laporan penelitian sebelumnya mengenai heterogenitas populasi yang diteliti (dalam hal umur, etiologi dan tipe kerusakan otak, tingkat keparahan kerusakan otak, waktu post onset) dan selanjutnya mengenai kesulitan dalam menginterpretasikan apakah hasil penelitian tersebut masih valid. Hal ini dapat dipahami bahwa tipe dan intensitas latihan memiliki berbagai efek yang berbeda tergantung pada sirkuit neuron yang rusak, riwayat gangguan fungsi, umur dan jenis kelamin pasien, waktu post-trauma, tingkat pendidikan pasien, serta faktor-faktor eksternal lainnya (misalnya situasi sosial dan pekerjaan). Jumlah variable yang terlibat yang membuat generalisasi di antara program-program latihan yang disukai dan sulit bagi individu disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tidak ada rekomendasi spesifik yang dibuat untuk perbedaan diagnosis kelompok atau tingkat keparahan. Masih kurangnya penelitianpenelitian yang membandingkan pasien dengan berbagai etiologi secara langsung (misalnya antara stroke dengan TBI), tipe dan tingkat keparahan kerusakan otak, umur, jenis kelamin, atau tingkat kesembuhan. Rekomendasi-Rekomendasi Berdasarkan bukti-bukti yang telah ada saat ini, kami menilai manfaat strategistrategi memori tanpa bantuan alat elektronik mungkin efektif (possibly effective) (tingkat C) meskipun masih menyisakan ketidakjelasan sampai seberapa besar manfaatnya tergantung pada keparahan gangguan memori. Strategi-strategi pembelajaran spesifik seperti errorless learning didukung oleh berbagai penelitian kelas III dan oleh karena itu dinilai mungkin efektif (probably effective) (tingkat B). Namun demikian, beberapa penelitian menjelaskan keberhasilan suatu teknik pembelajaran spesifik mungkin tergantung pada tugas yang digunakan, apakah memori implicit atau eksplisit yang dilibatkan, serta keparahan gangguan memori. Dua penelitian kelas III didukung oleh beberapa penelitian kelas IV telah memperlihatkan kemungkinan keberhasilan (possible efficacy) (tingkat C) dari bantuan memori eksternal non-elektronik seperti penggunaan diari ataupun buku

22

catatan. Alat-alat memori eksternal elektronik seperti computer, system pager, maupun pengatur suara portabel telah memperlihatkan manfaat pada beberapa penelitian kelas III dan oleh karena itu direkomendasikan sebagai probably effective (tingkat B) yang membantu meningkatkan aktivitas-aktivitas sehari-hari para pasien stroke dan TBI. Manfaat dari lingkungan-lingkungan nyata (virtual) telah memperlihatkan efek-efek positif pada pembelajaran verbal, visual dan spasial pada pasien-pasien stroke dan TBI dalam 2 (dua) penelitian kelas III. Perbandingan langsung antara pertunjukkan pembelajaran dan latihan memori dalam lingkungan nyata dengan lingkungan tidak nyata masih belum cukup serta tidak ada rekomendasi yang dapat dibuat mengenai spesifitas teknik. Saat ini, latihan memori dalam lingkungan nyata dinilai sebagai possibly effective (tingkat C).

Rehabilitasi Apraksia Meskipun insidensi apraksia setelah kerusakan otak didapat cukup banyak, akan tetapi literature mengenai terapi dan kesembuhan masih sangat minimal. Beberapa alasan mengenai kurangnya bukti yang ada dapat diidentifikasi (Maher dan Ochipa, 1997). Pertama, pasien-pasien dengan apraksia seringnya tidak sadar mengenai defisit yang mereka alami dan sangat jarang mengeluh; kedua, sebagian besar peneliti percaya bahwa kesembuhan apraksia bersifat spontan dan tidak memerlukan terapi; ketiga, beberapa penulis percaya bahwa apraksia hanya terjadi saat pasien diminta menunjukkan performa dalam situasi tes, serta bahwa perilaku yang benar ditampilkan juga, dalam keadaan sebenarnya. bahwa Mulai sekarang, bagaimanapun terdapat kesepakatan apraksia mengganggu

kemandirian ADL. Goldenberg dkk., (2001) menaksir aktivitas-aktivitas kompleks dalam kehidupan sehari-hari pada pasien dengan apraksia dan kontrol. Mereka menemukan bahwa pasien-pasien apraksia memiliki kesulitan lebih daripada pasien-pasien dengan kerusakan otak kiri tanpa apraksia dan pasien kontrol yang sehat. Dalam dua penelitian lain yang dibandingkan hasilnya

23

ditemukan: Hanna-Paddy dkk., (2003) menemukan suatu hubungan signifikan antara keparahan apraksia dan ketergantungan pada fungsi-fungsi fisik. Walker dkk., (2004) meneliti pengaruh gangguan kognitif pada kesulitan memakai baju tubuh bagian atas setelah stroke menggunakan analisis video; pasien-pasien tersebut yang gagal dalam memakai kemeja menunjukkan neglect (kealpaan) dan apraksia saat follow-up. Hasil-hasil ini menjelaskan bahwa terapi apraksia seharusnya merupakan bagian dari keseluruhan program rehabilitasi neuro setelah kerusakan otak. Dalam ringkasan yang singkat ini, akan ditinjau ulang beberapa penelitian menguji keefektivan terapi apraksia. Penelitian-penelitian tersebut ditandai baik observasional maupun eksperimen serta diuraikan kualitas penelitian-penelitian tersebut. Terdapat 2 (dua) RCT terbaru mengenai rehabilitasi apraksia. Smania dkk., (2000) menaksir pada sebuah RCT tentang keefektivan program latihan rehabilitasi bagi pasien-pasien dengan apraksia limb. Tiga belas pasien dengan trauma otak didapat dan apraksia limb (yang bertahan hingga lebih dari 2 (dua) bulan) sebagai akibat dari lesi pada hemisfer otak kiri diikutsertakan dalam penelitian. Kelompok penelitian menjalani suatu latihan eksperimen untuk apraksia limb yang terdiri dari program latihan perilaku dengan latihan-latihan pembentukan gestur (langkah). Kelompok kontrol menerima terapi konvensional untuk afasia. Penilaian-penilaian melibatkan tes-tes neuropsikologi afasia, komprehensi verbal, kecerdasan umum, apraksia oral, apraksia konstruksional dan 3 (tiga) tes mengenai fungsi praksik limb (apraksia ide dan ideomotor serta pengenalan gesture). Aktivitas-aktivitas sehari-hari yang berkaitan dengan setiap tes digunakan untuk menilai outcome. Pasien-pasien dalam kelompok penelitian mencapai suatu kemajuan performa yang signifikan pada kedua tes apraksia ide dan ideomotor. Mereka juga memperlihatkan suatu penurunan error dalam tes apraksia ide dan ideomotor yang signifikan. Perubahan dalam performa tidak signifikan pada kelompok kontrol. Hasil-hasil penelitian tersebut memperlihatkan keefektivan yang mungkin dari sebuah program latihan spesifik untuk terapi apraksia limb. Donkervoort dkk., (2002) menetapkan dalam sebuah penelitian

24

terkontrol mengenai keberhasilan dari latihan strategi pada pasien stroke hemisfer kiri dengan apraksia. Sejumlah 113 pasien stroke hemisfer kiri dengan apraksia ditetapkan menjadi 2 (dua) kelompok terapi secara acak: (1) latihan strategi yang digabungkan ke dalam terapi okupasi biasa dan (2) hanya terapi okupasi biasa. Pengukuran outcome primer adalah sebuah observasi ADL yang terstandarisasi oleh seorang asisten peneliti yang diambil secara blinded. Pengukuranpengukuran ADL tambahan digunakan sebagai pengukuran-pengukuran sekunder (Barthel ADL index, ADL judgement oleh terapi okupasi dan oleh pasien). Sdetelah 8 (delapan) minggu terapi, pasien-pasien yang menadapatkan latihan strategi (n=43) menunjukkan kemajuan secara signifikan lebih baik daripada pasien-pasien dalam kelompok terapi biasa (n=39) pada observasi ADL. Hal ini menggambarkan efek kecil sampai medium (besar efek 0,37) dari latihan strategi pada fungsi ADL. Di lain pihak, pengukuran outcome sekunder menunjukkan suatu efek medium (besar efek 0,47) ditemukan pada Barthel ADL index. Tidak ada efek penting yang ditemukan dari latihan strategi setelah 5 (lima) bulan (pada follow up). Saat ini, kami menyelenggarakan analisis-analisis sekunder pada data dari penelitian Donkervoort dkk., (2002) untuk menguji transfer dari efek-efek latihan strategi kognitif bagi pasien-pasien stroke dengan apraksia dari tugas-tugas terlatih menjadi tugas-tugas tak terlatih. Analisis-analisis memperlihatkan bahwa dalam kedua kelompok terapi, skor dalam observasi ADL bagi tugas-tugas tidak terlatih meningkat secara signifikan setelah 8 (delapan) minggu latihan sebagaimana dibandingkan dengan skor dasar. Perubahan-perubahan skor dari aktivitas-aktivitas tidak terlatih lebih besar pada kelompok latihan strategi dibandingkan dengan kelompok terapi biasa. Hasil ini menjelaskan bahwa transfer latihan mungkin dilakukan, meskipun penelitian-penelitian selanjutkan sebaiknya menegaskan penemuan-penemuan eksplorasi (Geusgens dkk., dalam pers). Beberapa penelitian kelas II juga mendukung keberhasilan rehabilitasi apraksia. Goldenberg dan Hagman (1998) meneliti suatu kelompok yang terdiri dari 15 pasien dengan apraksia, yang membuat kesalahan yang fatal dalam
25

aktivitas-aktivitas kehidupan sehari-hari: sebuah kesalahan dinilai fatal jika pasien tidak mampu untuk meneruskan tanpa bantuan atau jika kesalahan menghalangi pasien dalam menyelesaikan tugas dengan berhasil. Rancangan penelitian tersebut seperti disebutkan berikut: sebuah tes ADL diselenggarakan setiap minggu; di antara tes tersebut, pasien dilatih 1 (satu) di antara 3 (tiga) aktivitas, sedangkan dukungan, akan tetapi bukan suatu saran terapi, diberikan untuk 2 (dua) aktivitas yang lain. Setiap minggu pasien dilatih aktivitas lain, sedangkan aktivitasaktivitas yang lain dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Latihan minggu berikutnya dilakukan dalam bentuk aktivitas yang lainnya dan pada minggu ketiga dilakukan aktivitas-aktivitas yang tersisa. Meskipun demikian, kesalahankesalahan fatal masih terlihat selama pelaksanaan aktivitas dimana siklus terapi yang lain sedang berlangsung. Di akhir terapi, 10 (sepuluh) pasien mampu melakukan ketiga aktivitas tanpa kesalahan yang fatal tiga pasien hanya membuat 1 (satu) kesalahan fatal. Tidak ditemukan adanya generalisasi efek-efek latihan baik dari aktivitas-aktivitas terlatih maupun tidak terlatih. Tujuh pasien diuji kembali setelah 6 (enam) bulan: hanya pasien-pasien yang tetap mempraktikkan aktivitas-aktivitas dalam kehidupan sehari-hari mereka, yang masih menunjukkan hasil positif dari latihan tersebut. Van Heugten dkk., (1998) melakukan suatu penelitian yang mengevaluasi sebuah program terapi untuk mengajari pasien-pasien beberapa strategi untuk mengimbangi adanya apraksia. Outcome diteliti dengan rancangan pre-post tes; pengukuran dilaksanakan saat awal (basis) dan setelah 12 minggu terapi. Tiga puluh tiga pasien dengan apraksia diterapi di bagian terapi okupasi rumah sakit umum, pusat-pusat rehabilitasi dan rumah-rumah perawatan. Pasien-pasien tersebut menunjukkan kecenderungan kemajuan pada fungsi ADL dalam semua pengukuran serta sedikit kemajuan dalam tes apraksia dan tes fungsi motorik. Besarnya efek untuk disabilitas (kecacatan), antara 0,92 sampai 1,06, lebih besar dibandingkan dengan besarnya efek untuk apraksia (0,34) dan fungsi motorik (0,19). Efek signifikan terapi juga tampak saat dipertimbangkan mengenai kemajuan individu dan kemajuan subjektif. Hasil-hasil ini menjelaskan bahwa

26

program tersebut nampaknya sukses dalam mengajari pasien strategi-strategi kompensatori yang membuat mereka mampu melakukan fungsi-fungsi secara mandiri, meskipun masih mengalami apraksia. Poole (1998) menerbitkan sebuah penelitian yang menguji kemampuan para partisipan dengan stroke hemisfer kiri untuk belajar menali sepatu dengan satu tangan. Para partisipan dengan stroke hemisfer kiri baik dengan atau tanpa apraksia dan para partisipan kontrol diajari mengenai cara menali sepatu mereka dengan satu tangan. Retensi (ingatan) dinilai setelah sebuah interval 5 (lima) menit selama para partisipan melakukan tugastugas yang lain. Semua kelompok berbeda secara signifikan berkenaan dengan jumlah percobaan untuk mempelajari tugas tersebut. Bagaimanapun, pada tugas mengingat, orang dewasa kontrol dan pasien-pasien stroke tanpa apraksia memerlukan jumlah percobaan yang sama sedangkan para partisipan dengan apraksia secara signifikan memerlukan percobaan lebih daripada dua kelompok lainnya. Semua kelompok memerlukan percobaan yang lebih sedikit dalam tugas mengingat daripada memperlajari tugas. Bukti yang lebih lanjut diberikan oleh sebuah penelitian 1 (satu) kasus. Wilson (1988) meneliti seorang wanita dewasa dengan kerusakan otak luas akibat suatu kecelakaan anestesi. Salah satu dari akibat kecacatan paling berat dari kerusakan tersebut adalah apraksia, yang membuat dia hampir sepenuhnya bergantung dalam kehidupan sehari-hari. Wilson menyimpulkan bahwa program satu per satu (step-by-step) berhasil dalam mengajari pasien bebrapa tugas, akan tetapi tidak ditemukan generalisasi terhadap tugas yang baru saat follow up. Maher dkk., (1991) meneliti efek-efek terapi pada seorang laki-laki umur 55 tahun dengan apraksia ideomotor dan pengelana gesture yang menetap. Sesi terapi 1 (satu) jam diberikan setiap hari selama periode 2 (dua) minggu. banyak isyaratyang diberikan selama sesi-sesi terapi yang diambil secara sistematik sebagaimana diberikan juga umpan balik dan pembenaran dari kesalahan-kesalahan yang terjadi. Hasil dari gestur meningkat secara kualitatif. Setelah itu, Ochipa dkk., (1995) mengembangkan sebuah program terapi yang ditujukan untuk tipe-tipe kesalahan tertentu. Performa-performa praksis diteliti pada 2 (dua) pasien stroke.

27

Nampaknya bahwa kedua pasien mencapai kecenderungan kemajuan dalam performa tetapi efek-efek yang diobservasi dalah terapi spesifik: terapi dari suatu tipe kesalahan spesifik tidak meningkatkan hasil di antara gesture-gestur yang tidak diterapi. Jantra dkk. (1992) meneliti seorang laki-laki umur 60 tahun dengan stroke sisi kanan dan mengalami gaya berjalan apraksia. Setelah 3 (tiga) minggu latihan gaya berjalan yang dilengkapi dengan isyarat-isyarat visual, pasien mulai mandiri berjalan yang aman. Pilgrim dan Humphreys (1994) menyajikan sebuah kasus dari seorang pasien dengan trauma kepala sebelah kiri dengan apraksia ideomotor pada anggota gerak atas kirinya. Performa pasien pada 10 (sepuluh) objek dinilai sebelum dan setelah latihan dalam 3 (tiga) modalitas latihan yang berbeda. Dilakukan suatu rancangan analisis variasi campuran (ANOVA) menunjukkan suatu efek positif terapi, akan tetapi sangat sedikit dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Bulter (1997) mempersembahkan sebuah penelitian kasus yang menguji keefektivan stimulasi taktil dan kinestetik sebagai suatu strategi intervensi, sebagai tambahan dalam mediasi verbal dan visual, dalam rehabilitasi seorang laki-laki dengan apraksia ide dan ideomotor akibat sebuah trauma kepala. Hasil dari pemelitian tersebut mengindikasikan beberapa kemajuan setelah suatu periode latihan dan terbatasnya bukti keefektivan dari input sensorik tambahan. Goldenberg dkk. (2001) melakukan suatu penelitian terapi pada 6 (enam) pasien dengan apraksia yang mana dibandingkan 2 (dua) metode terapi: latihan aktivitas langsung berdasarkan petunjuk performa dari keseluruhan aktivitas dan latihan eksplorasi yang bertujuan untuk mengajari pasien hubungan strukturfungsi yang mendasari performa yang benar tetapi tidak terlibat dalam penyelesaian nyata dari aktivitas tersebut. Latihan eksplorasi tidak memiliki efek terhadap performa, sedangkan latihan aktivitas langsung menurunkan kesalahan dan kebutuhan akan bantuan. Sebagian besar efek latihan dipertahankan saat follow up, akan tetapi rata-rata kesalahan meningkat saat aktivitas-aktivitas terlatih diujikan dengan objek yang berbeda secara parsial. Performa meningkat dengan tes aktivitas-aktivitas tidak terlatih yang diulang-ulang selama latihan

28

aktivitas-aktivitas lain. Karena hasil terapi dibatasi untuk aktivitas-aktivitas terlatih dan beberapa derajat objek-objek terlatih, penulis menyimpulkan bahwa terapi sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan spesifik pasien dan keluarga mereka serta sebaiknya dikaitkan erat dengan kehidupan rutin sehari-hari. Rekomendasi-Rekomendasi Terdapat bukti tingkat A untuk kefektivan terapi apraksia dengan strategi-strategi kompensasi. Terapi sebaiknya terpusat pada aktivitas-aktivitas fungsional yang disusun dan sipraktikkan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan errorless learning. Karena transfer latihan sulit diterapkan, maka latihan sebaiknya terpusat pada aktivitas-aktivitas spesifik dalam suasana tertentu yang mendekati aktivitas rutin normal pasien. Diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai intervensi-intervensi terapi , yang juga menunjukkan apakah efek-efek terapi mampu menyamaratakan aktivitas dan situasi tidak terlatih.

Rehabilitasi Akalkulia Gangguan proses dan kalkulasi angka (DNPC) dapat terjadi setelah berbagai macam kerusakan otak. Bergantung pada penyakit yang mendasari serta pada lokasi lesi, frekuensi gangguan kalkulasi pada pasien-pasien dengan gangguan neurologi diperkirakan antara 10% sampai 90% (Jackson dan Warrington, 1986). Dua tipe dasar pemikiran utama telah diterapkan dalam DNPC. Pertama, pendekatan rekonstitusi (mengatur kembali) atau mengajar kembali terdiri dari luasnya kemampuan yang rusak atau hilang melalui praktik yang luas. Kedua, pendekatan tidak langsung yang mendukung penggunaan strategi-strategi cadangan berdasarkan sumber daya pasien yang tersisa (Girelli dkk., dalam pers). Dalam kasus ini, terapi tidak hanya bertujuan untuk memulihkan kemampuan dari komponen yang cacat akan tetapi juga ditujukan untuk memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang masih ada untuk mengimbangi defisit yang ada.

29

Kedua tipe remediasi menggunakan latihan satu per satu (step-by-step) yang terdiri dari presentasi masalah-masalah kesulitan-kesulitan yang meningkat, isyarat fasilitasi serta tipe-tipe bantuan lain yang pada akhirnya tidak diperlukan seiring dengan pemulihan yang progresif; untuk semua kasus disediakan timbalbalik langsung untuk pasien akan kesalahan-kesalahan atau ketelitiannya. Pengukuran outcome secara khas terkandung dalam perbandingan performa tiap individu pre dan post terapi dalam transkoding tugas-tugas serta kalkulasi sederhana dan kompleks. Sebagian besar rancangan penelitian dan prosedur evaluasi statistic diambil dari bidang penelitian subjek tunggal (Kratochwill dan Levin, 1992; Randal dkk., 1999). Besarnya kecacatan fungsi/kemampuan dalam kehidupan sehari-hari jarang dinilai atau ditaksir pada kumpulan penelitian-penelitian ini. Oleh karena tinjauan pustaka yang dicari berdasarkan bank-bank data menghasilkan suatu ketidakpuasan, maka dari itu para penulis telah meninjau kembali tinjauan-tinjauan pustaka mereka sendiri yang telah ada dan mereka juga telah menggunakan suatu tinjauan pre-existing yang berhubungan dengan topic (Girelli dan Seron, 2001). Kebanyakan penelitian adalah penelitian eksperimen-quasi yang menggunakan suatu kasus tunggal atau pendekatan kelompok kecil yang dipedomani oleh prinsip-prinsip meuropsikologi kognitif (Shallice, 1979; Caramazza, 1989; Seron, 1997; Riddoch dan Humphreys, 1994) serta penelitian subjek tunggal (Kratochwill dan Levin, 1992; Randal dkk., 1999) (bukti penelitian kelas II, III dan IV). Penelitian-penelitian kelompok yang menggunakan kelompok-kelompok kontrol dianggap tidak cukup oleh sebagian besar penulis karena alasan-alasan yang diketahui (masalah-masalah mengenai seleksi pasien, homogenitas kelompok, serta heterogenitas dari defisit yang mendasari dan level fungsi sebelum sakit). Penelitian kelompok terbaru dari Gauggell dan Billino (2002) setuju dengan efek-efek motivasi daripada terapi spesifik.

30

Rehabilitasi DNPC mungkin dikelompokkan ke dalam beberapa bidang intervensi (Girelli dan Delazer, 2001). Rehabilitasi kemampuan transkoding (kemampuan untuk menerjemahkan stimulus angka di antara format-format yang berbeda) telah ditampilkan dengan sukses dalam beberapa penelitian (Deloche dkk., 1989; 1992; Jacquemin dkk., 1991; Sullivan dkk., 1996), kebanyakan dengan mengajari kemnbali pasien kumpulan aturan-aturan yang diperlukan. Perburukan fakta-fakta aritmatika (perkalian sederhana, penambahan, pengurangan atau pembagian diselesaikan secara langsung dari memori) adalah sasaran dari beberapa penelitian rehabilitasi (Miceli dan Capasso, 1991; HitmairDelazer dkk., 1994; Girelli dan Delazer, 1996; Whetstone, 1998; Girelli dkk., 2002; Domahs dkk., 2003, 2004). Dalam keseluruhan penelitian, praktik yang luas dengan defektif bidang ilmu, yaitu, tabel-tabel perkalian menentukan kemajuan yang signifikan. Sebuah outcome positif juga dicapai melalui suatu program rehabilitasi yang didasarkan pada penggunaan strategis dari pengetahuan aritmatik pasien yang tersisa (Girelli dkk., 2002). Kasus spesifik ini menjelaskan bahwa integrasi pengetahuan deklaratif, procedural dan konseptual secara kritis memerantarai proses re-akuisisi. Miceli dan Capasso (1991) telah dengan sukses merehebalititasi seorang pasien dengan defisiensi prosedur aritmatik (pengetahuan yang diperlukan untuk menyelesaikan kalkulasi multi digit). Defisiensi suatu penyelesaian aritmatik (kemampuan untuk menyediakan jawaban untuk soal-soal teks aritmatik kompleks dan multi-step) juga telah diterapi dalam sebuah penelitian (Delazer dkk., 1998). Penelitian dinilai sukses sebagian oleh para penulis, karena para pasien diuntungkan dari pengisyaratan prosedur yang berhubungan dan menghasilkan peningkatan jumlah langkah solusi yang benar, akan tetapi tidak menunjukkan suatu efek yang menetap pada proses penyelesaian yang sebenarnya.

31

Rekomendasi-Rekomendasi Umum
Dalam pendapat kami, keseluruhan bukti cukup untuk memberi rekomendasi nilai A, B atau C untuk beberapa bentuk rehabilitasi kognitif pada pasien-pasien dengan defisit neuropsikologi tingkat post akut setelah suatu lesi fokal otak (stroke, TBI). Kesimpulan umum ini didasarkan pada terbatasnya jumlah RCTs, serta didukung oleh bukti-bukti yang sangat besar yang datang dari penelitianpenelitian kelas II, III dan IV. Terutama, penggunaan metodologi kasus tunggal yang tepat telah dipertimbangkan oleh para peninjau resensi buku sekarang sebagai suatu sumber bukti yang dapat diterima dalam bidang spesifik ini, yang mana aplikasi dari metodologi RCT sulit untuk beberapa alasan, berkenaan dengan kurangnya consensus pada sasaran terapi, metodologi intervensi serta penilaian-penilaian outcome.

Perkembangan-Perkembangan Selanjutnya
Jelas sekali kebutuhan akan skala besar RCT, yang mengevaluasi metodologimetodologi intervensi yang dimengerti dengan baik pada kondisi-kondisi klinis umum (misalnya penilaian keberhasilan dari sebuah intervensi untuk ULN setelah stroke RH pada kecacatan motorik jangka lama). Kesulitan utama dari pendekatan ini terletak pada tingginya heterogenitas sifat defisit kognitif. Sebagai contoh, sulit dipercaya bahwa terapi afasia yang terstandarisasi sama dapat efektif pada pasien dengan bahasa neologistik yang lancar dan pasien lain dengan produksi agramatik yang tidak lancar. Penelitian pada meuropsikologi telah difokuskan pada penilaian spesifik, secara teori terapi rangsangan pada area yang diketahui dengan baik mengalami kerusakan, biasanya dengan rata-rata metodologi kasus tunggal (misalnya efek dari suatu intervensi rangsangan secara linguistik dibandingkan dengan rangsangan sederhana pada kemampuan untuk mengulang kembali hal-hal leksikal ynag termasuk dalam kelas tertentu). Bagi panel sekarang ini, kedua

32

pendekatan menggambarkan kesempatan-kesempatan yang secara potensial berhasil untuk penelitian dalam bidang ini. Penelitian-penelitian yang akan datang sebaiknya juga bertujuan pada suatu definisi pasien secara klinis dan patologis yang lebih baik termasuk dalam percobaan. Perbedaan yang mencolok antara stroke dan TBD yang digunakan pada tinjauan sekarang jelas tidak cukup: suatu pemisahan di antara kategorikategori utama dari patologi serebrovaskuler, dan bagian dalam dasar patologi dari pasien-pasien TBD yang selamat dapat diharapkan mampu meningkatkan kualitas penelitian-penlelitian rehabilitasi.

33

TUGAS UJIAN

REHABILITASI KOGNITIF (COGNITIVE REHABILITATION)

Disusun Oleh: 1. Punita Surya Luri 2. Ridha Rahmawati Ayu Pradita Pembimbing: FX. Soetedjo Widjojo, dr., Sp. S (K) G0005156 G0005168

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET/RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI SURAKARTA 2011

34

You might also like