You are on page 1of 3

Anak Luar Nikah dan Fatwa MUI1 Oleh: Sang Muallif2 Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menganulir Pasal

43 Ayat 1 UU No.1/1974 tentang Perkawinan menuai badai, khususnya dari tokoh-tokoh Islam. Keputusan MK memberikan hak bagi anak yang lahir di luar nikih, baik karena nikah sirri maupun karena zina, untuk mendapatkan pengakuan nasab dari bapak biologisnya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bereaksi cepat dengan mengeluarkan fatwa penyanggah yang ingin mengukuhkan klausul nasab anak di luar nikah hanya kepada ibunya. Menurut salah seorang ketua MUI, K.H. Maruf Amin, MK bertindak berlebihan MK itu seperti Tuhan selain Allah, berbuat seenaknya.3 Maruf Amin tidak sendiri, Ketua Majelis Syariah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Nur Muhammad Iskandar, juga menyatakan hal senada.4 Menurut kelompok ini, putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan hak nasab kepada bapak bagi anak yang lahir di luar nikah bertentangan dengan syariat Islam dan al-Quran. Benarkah demikian dan apa sebenarnya status nasab anak luar nikah? Makalah ini akan mencoba melihat kontroversi tersebut dengan terfokus pada fatwa MUI ditinjau dari sudut pandang Fiqih dan Ushul Fiqih. Menurut penulis, Fatwa MUI salah dalam memahami dalil-dalil yang berbicara tentang al-walad li al-firasy ketika istilah ini mereka artikan sebagai anak ibunya. Padahal, kata itu lebih tepat diartikan sebagai suami atau tuan ibu kandungnya. Sebelum argumen ini diuraikan lebih lanjut, penulis akan memulai dengan menjelaskan sifat masalah Fiqih ini agar tuduhan-tuduhan melawan syariah bisa diklarifikasi. Anak Zina dalam Fiqih Pihak-pihak yang mengecam MK telah mengaburkan batas antara Fiqih (literatur hukum Islam) dan Allah. Fiqih adalah pikiran manusia yang mencoba menangkap maksud Allah. Fiqih bukan Allah dan menganulir hukum Fiqih tidak dapat disamakan dengan menentang Allah, tergantung perkaranya. Kalau menyangkut hal yang tidak qathi (tidak pasti), berbeda pendapat adalah hal yang biasa saja. Hukum anak di luar nikah, dalam literatur Fiqih, termasuk masalah yang tidak qathi. Tidak ada dalil al-Quran atau Hadits yang mutawatir. Kalau kita menengok literatur Fiqih, para ahli Fiqih sejak abad pertama Islam sudah berbeda pendapat mengenai hubungan nasab anak di luar nikah dengan bapak biologisnya. Mayoritas ulama memang berpendapat bahwa anak zina (walad al-zina), hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu biologisnya. MUI dan UU No. 1/1974 mengikuti pendapat ini.
1 2 3

Comment [A1]: Latar belakang

Comment [A2]: Perhatikan catatan kaki di bawah sebagai contoh penulisan referensi online.

Comment [A3]: Rumusan masalah

Comment [A4]: Fokus persoalan Comment [A5]: Perspektif, cara menjawab Comment [A6]: Argumen utama

Bukan makalah sesungguhnya. Sekedar contoh untuk mata kuliah fiqih. Mahasiswa Prodi IKS, NIM 00000000, Kelas A. JPNN, MK Sudah seperti Tuhan Kedua, di http://www.jpnn.com/read/2012/03/21/121342/MUI-:-MK-Sudah-SepertiTuhan-Kedua- (diakses 23 Maret 2012). 4 JPNN, PPP Khawatir MK Lebih Hebat dari Tuhan, di http://www.jpnn.com/read/2012/03/21/121465/PPP-KhawatirMK-Lebih-Hebat-Dari-Tuhan- (diakses 23 Maret 2012).

Tetapi, ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa anak zina bisa saja disahkan memiliki hubungan nasab dengan pria yang mengaku sebagai bapak biologisnya. Salah satunya adalah Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi. Menurut Abu Hanifah, dalam kasus laki-laki yang berzina hingga si perempuan hamil dan laki-laki itu mau menikahinya, maka anak yang dilahirkan memiliki nasab dengan lelaki tersebut.5 Abu Hanifah mengatakan:

, , .
Menurutku tidak apa-apa jika orang berzina dengan seorang perempuan hingga hamil karenanya untuk menikahinya saat mengandung dan melindunginya. Anak yang 6 [dilahirkan nanti] adalah anaknya.

Pendapat MK yang memberikan hak nasab ayah bagi anak yang lahir di luar nikah sejalan dengan Mazhab Hanafi. Beranikah ulama Indonesia mengecam Abu Hanifah sebagai ulama yang mau menjadi Tuhan hanya karena pendapatnya berbeda denlgan fatwa MUI? Ibnu Taymiyah, ulama yang pendapatnya juga dikutip dalam fatwa MUI, jelasjelas mengatakan bahwa ulama terpecah dalam dua pendapat (ikhatalafa ala alqawlain),7 bukan hanya satu pendapat. Makna al-walad li al-firasy Dalil yang digunakan MUI adalah hadits yang menceritakan kasus seorang budak yang hamil lalu punya anak dan ada orang lain, yang bukan pemilik budak, mengklaim anak budak itu sebagai anak hasil perzinaannya. Kata kunci dalam hadits ini dan hadits-hadits semisal adalah al-wald li al-firasy. Kalau diperhatikan dalail-dalil, al-wald lil-firasy selalu terkait dengan perempuan yang sudah punya hubungan dengan pria lain, baik karena menikah atau karena perbudakan. Keputusan Nabi untuk menolak pengakuan laki-laki yang di luar hubungan legal pernikahan dan perbudakan, dan memberikan hak nasab kepada ayah pernikahan (suami sah ibu kandungnya) dan ayah perbudakan (tuan sah ibu kandungnya) semata-mata didasarkan pada kaidah istishb. Menurut kaidah istishb, hukum asal suatu perkara lebih kuat daripada keraguan-raguan yang muncul sesudahnya.8 Sebagai contoh, apabila kita ragu apakah wudlu kita sudah batal atau belum, maka yang ditetapkan adalah kesucian kita. Demikian pula sebaliknya, kalau kita ragu apakah kita sudah wudlu atau belum, maka yang tetap adalah hukum belum wudunya.

Comment [A7]: Contoh kutipan langsung, yaitu kutipan yang sama persis dengan sumbernya . masuk satu tab, font berbeda atau lebih kecil dari teks lainnya.

Comment [A8]: Perhatikan cara menulis referensi dari buku

Islmaweb.net, Fatwa Ramadn, Fatwa 6045, Wala Zina Wa Liman Yunsab, http://www.islamweb.net/ramadan/index.php?page=ShowFatwa&lang=A&Option=FatwaId&Id=6045 (diakses 23 Maret 2012) 6 Islamfeh.com, Fatwa Raqm 3, http://www.islamfeqh.com/Kshaf/List/ViewDecisionDetails.aspx?DecisionID=1713 (diakses 23 Maret 2012) 7 MUI, Fatwa No 11 tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya, h. 8. 8 Abd al-Wahhab Khalaf, Ilm Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Qalam, 1978, h. 91.

Dalam hadit-hadits al-walad li al-firasy, pengakuan pria di luar nikah dan perbudakan tidak mempunyai bukti yang kuat: pengakuan satu orang tanpa saksi; atau kemiripan wajah. Dua bukti ini bersifat zan, meragukan, dan tidak bisa mengalahkan hukum asal: pernikahan bapak dan status perbudakan. Penolakan nasab oleh sebab itu bukan untuk menghilangkan hubungan kebapakan si anak; melainkan menetapkan bahwa bapak anak itu adalah suami sah atau tuan sah wanita itu. Sejauh bunyi hadit-hadits ini, tidak ada kalimat yang menyatakan anak hanya bernasab li ummi (ke ibu) li firasy i (ke suami atau tuan sah ibunya). Kesimpulan MUI sebenarnya bukan yang pertama menerjemahkan konsep al-walad li al-firasy sebagai anak ibunya. Kebanyakan Kitab-kitab Fiqih, seperti yang dipilih untuk menjadi rujukan MUI, juga mengartikan semisal. Tetapi, walaupun pendapat MUI itu adalah sama dengan pendapat-pendapat dalam sebagian literatur Fiqih, bukan berarti pendapat ini yang benar. Penafsiran itu lahir dari Fiqih yang bias gender, yang lebih mengorbankan perempuan dan anak daripada melindungi hak anak luar nikah yang tidak berdosa.

Comment [A9]: Elemen utama kesimpulan berisi: akibat, implikasi, atau kaitan pokok pikiran dengan hal relevan yang belum dibahas di makalah.

You might also like