You are on page 1of 12

KATA PENGHANTAR

Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Alloh SWT, yang atas rahmat dan karunia-Nya lah, maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Hak Atas Pendidikan Sebagai Hak Asasi Manusia. Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun pada ketercukupan materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Dalam penulisan makalah ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada : 1. Dr. Suhaimi, SH. M.Hum , selaku Dosen Pembimbing Mata Kuliah Pendidikan kewarganegaraan yang telah memberikan kami tugas makalah ini. 2. Rekan/teman sejawat semua dalam prodi Pendidikan Dokter Unsyiah. Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal Alamiin.

Banda Aceh, 10 Juni 2012

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hak asasi manusia ( HAM ) adalah hak pokok atau hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir yang secara kodrat melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat karena merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia berdasarkan pasal 1 butir 1 UU No 39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hak asasi merupakan hak-hak pokok yang bersifat universal. Buktinya adalah bahwa hak dasar ini dimiliki oleh setiap orang dan tidak dapat dipisahkan dari pribadi siapapun, dari mana dan kapanpun manusia itu berada. ( Abubakar : 2007 ) Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada diri setiap warga dari suatu negara. Cita-cita luhur para pendiri republik ini, 60 tahun yang lalu, yang dipaterikan di dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, merupakan amanat bangsa yang harus ditunaikan. Hanya saja, karena masalah hak sipil dan politik sangat menonjol pada masa orde baru, maka sampai tumbangnya rezim orde baru orang mengenal isu hak-hak asasi itu sebatas pada masalah hak sipil dan politik (Sipol) saja, sedangkan hak akan pendidikan, lapangan kerja, dan budaya yang terangkum dalam hak Ecosob (Ekonomi, Sosial, dan Budaya) tidak dianggap sebagai masalah hak asasi manusia. ( M. Habib Chirzin : 2005 ) Tapi paska reformasi, ketika persoalan hak sipil dan politik sudah berkurang, maka perhatian orang mulai melihat masalah pendidikan sebagai bagian dari persoalan HAM yang harus diselesaikan. Rumusan pendidikan sebagai bagian dari HAM itu terlihat jelas pada Pasal 26 Deklarasi HAM yang menyatakan: Setiap orang berhak atas pendidikan.

Pendidikan harus bebas biaya, setidaknya pada tingkat dasar dan tingkat rendah. Pendidikan dasar harus bersifat wajib. Pendidikan teknik dan profesi harus tersedia secara umum dan pendidikan yang lebih tinggi harus sama-sama dapat dimasuki semua orang berdasarkan kemampuan. Bunyi Pasal 26 Konvensi HAM tersebut sejalan dengan tujuan penyelenggaraan negara, yaitu salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945 alinia IV). Tujuan tersebut secara rinci dirumuskan dalam Pasal 31 UUD 1945 yang telah diamandemen, yang menyatakan: 1. 2. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. 3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. 4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. 5. Pendidikan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinnggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Bunyi Pasal 31 UUD 1945 tersebut kemudian diperjelas lagi dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Pasal 5 UU Sisdiknas tersebut menyatakan: 1. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. 2. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. 3. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.

4. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. 5. Setiap warga Negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatan pendidikan sepanjang hayat. Sedangkan ayat 1 pasal 6 UU No.20/2003 menyatakan bahwa: Setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar . (Darmaningtyas : 2008)

1.2. Rumusan Masalah Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada diri setiap warga dari suatu negara. Pada masa orde baru pendidikan sebagai hak asasi manusia masih belum terpenuhi kebutuhannya karena kepemimpinan pemerintah pada saat itu, namun sekarang pasca reformasi hak atas pendidikan sebagai hak asasi manusia mulai diperhitungkan konsistensinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia. Karena kita tahu bahwasannya pendidikan merupakan cita-cita luhur para pendiri Negara ini yang dipaterikan dalam Pembukaan UUD 1945 dan merupakan amanah yang harus ditunaikan. Berdasarkan pernyataan diatas maka penulis menyimpulkan rumusan masalah yang dikemukan dalam makalah ini adalah Hak Atas Pendidikan Sebagai Hak Asasi Manusia.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan mengenai hak individu atas pendidikan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan HAM di Indonesia.

Manfaat Penulisan : 1. Dapat mengatasi permasalahan seputar pelaksanaan pendidikan sebagai salah satu dari butir hak asasi manusia.

2. Menjadi sebuah dorongan dan pemicu bagi penerus bangsa dalam menempuh pendidikan bahwa pendidikan itu dijamin hak nya atas setiap manusia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Hak atas pendidikan adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan undangundang. Bahkan ia merupakan salah satu amanat utama dari pembentukan dan pendirian negara Republik Indonesia yang merdeka, sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.
Amanat luhur kebangsaan Indonesia tentang hak atas pendidikan, secara jelas dinyatakan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hasil amandemen, ayat (1-) bahwa, Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan di dalam ayat (2) dinyatakan , Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Amanat ini ditegaskan lagi dalam pasal UUD 1945, pasal 28 C yang berbunyi : Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. ( M. Habib Chirzin : 2005 ) Hak atas pendidikan sebagai bagian dari hak asasi manusia di Indonesia tidak sekadar hak moral melainkan juga hak konstitusional. Ini sesuai dengan ketentuan UUD 1945 (pascaperubahan), khususnya Pasal 28 C Ayat (1) yang menyatakan, Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak memperoleh pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Selain ketentuan di atas, Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 (pasca perubahan) juga merumuskan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar, sedangkan pemerintah wajib membiayainya. Pasal 31 ayat (3) dan (4) menegaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk mengusahakan penyelenggaraan pengajaran nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memprioritaskan anggaran sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Demikian pula ketentuan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan jaminan hak atas pendidikan. Pasal 60

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memperkuat dan memberikan perhatian khusus pada hak anak untuk memperoleh pendidikan sesuai minat, bakat dan tingkat kecerdasannya. Penegasan serupa tentang hak warga negara atas pendidikan juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam konteks pemenuhan hak atas pendidikan, negara menjadi pihak utama yang bertanggung jawab untuk menjaminnya. Pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat penegasan bahwa negara dalam hal ini pemerintah memiliki tanggung jawab memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cumacuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil. (Nono Sumarsono : 1999 ) Hak atas pendidikan juga merupakan hak sipil dan politik yang harus dilindungi, dipenuhi, dan dihormati oleh negara, antara lain termuat di dalam pasal 18 ayat 4, Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan politik, yang menyatakan : Negara-negara pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan, jika ada, wali yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Selain dari Kovenan tersebut di atas, hak atas pendidikan ini juga dijamin di dalam Konvensi Hak-hak Anak 1989, dalam pasal 28, ayat 1 dan 3 yang antara lain menyatakan (Ayat 1) State Parties recognize the right of the child to education, and with the view to achieving this right progressively and on the basis of equal opportunity, they shall, in particular : (a) Make primary education compulsary and available free to all Sedangkan di dalam ayat 3, disebutkan : State Parties shall promote and encourage international cooperation in matters relating to education, in particular with a view to contributing to the elimination of ignorance and illeteracy through out the world and facilitating access to scientific and technical knowledge and modern teaching methods. In this regard, particular account shall be taken of the nds of developing countries. ( M. Habib Chirzin : 2005 ) Di tingkat Internasional, Kovenan Internasional Hak ECOSOB yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005, tentang hak atas pendidikan Negara memiliki kewajiban untuk : 1. Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang.

2. Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan tingkat menengah, harus tersedia secara umum dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak dan khususnya dengan menerapkan pendidikan cumacuma secara bertahap. 3. Pendidikan tingkat tinggi harus dapat dicapai oleh siapa pun juga, berdasarkan kapasitas, dengan cara-cara yang layak, dan khususnya dengan menerapkan pendidikan cuma-cuma secara bertahap. 4. Pendidikan dasar harus sedapat mungkin didorong atau diintensifkan bagi orang-orang yang belum pernah menerima atau menyelesaikan keseluruhan periode pendidikan dasar mereka. 5. Pengembangan suatu sistem sekolah pada semua tingkat harus diupayakan secara aktif, suatu sistem beasiswa yang memadai harus dibentuk, dan kondisi-kondisi material staf pengajar harus ditingkatkan secara berkelanjutan.

Ada perbedaan antara human-rights dengan

human-capital approaches dalam

pembangunan. Human Development Report 2000 mengakui bahwa meskipun terdapat persamaan ciri-ciri antara indikator pembangunan manusia dan indikator hak asasi manusia, kedua indikator ini juga memiliki beberapa perbedaan yang signifikan. Secara ringkas, indikator pembangunan mengukur kemajuan menuju perkembangan serta pertumbuhan dan bukan hak. Sebuah indikator hak-hak asasi manusia adalah sebuah alat untuk menentukan hingga sejauh mana suatu pemerintah memenuhi kewajiban-kewajibannya berdasarkan undang-undang hak asasi manusia. ( Candra Gautama : 2001 ) Anak menjadi prioritas utama dalam pendidikan, karena anak merupakan salah satu kelompok yang rentan terhadap pelanggaran HAM memerlukan bantuan orang dewasa dalam melindungi hak-haknya. Perlindungan anak di sini tidak hanya sampai pada pemenuhan hak hidup, namun mencakup pula segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi hak-haknya agar dapat tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam konteks penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak anak, doktrin hukum HAM internasional menegaskan kewenangan atributif negara untuk mengambil tindakan khusus sementara (affirmative action) bagi sekelompok masyarakat yang dikategorikan sebagai

kelompok rentan (vulnerable groups). Anak-anak termasuk ke dalam kelompok ini, Menurut Human Rights Reference, kelompok masyarakat yang tergolong rentan adalah : pengungsi (refugees), pengungsi dalam negeri (internally displaced persons/IDPs), kelompok minoritas (national minorities), pekerja migrant (migrant workers), penduduk asli pedalaman (indigenous peoples), anak-anak (children), dan perempuan (women). Artinya negara seharusnya melakukan intervensi secara aktif untuk menjamin hak-hak anak melalui upaya-upaya yang secara khusus ditujukan kepada kelompok ini sebagai penerima manfaat. Dalam titik ini merubah anutan paradigma pembangunan yang tidak berorientasi kepada kepentingan anak menjadi pembangunan berparadigma kepentingan terbaik untuk anak menjadi langkah fundamental. Children mainstreaming policy merupakan kebijakan yang menempatkan isu anak ke dalam isu pembangunan dan mengkaitkan semua analisis pembangunan berdasarkan prinsip kepentingan yang terbaik untuk anak. (Nono Sumarsono : 1999 ) Dalam ketentuan substansi KHA, Komite Hak Anak mengkategorikan anak-anak berikut sebagai kelompok khusus anak-anak yang membutuhkan upaya perlindungan secara khusus : 1. Anak-anak dalam situasi darurat (children in situation of emergency), yakni pengungsi anak (children refugee) baik pengungsi lintas negara maupun pengungsi dalam negeri (internally displaced people) (Lihat pasal 22 KHA) dan anak yang berada dalam situasi konflik bersenjata (children in situation of armed conflict) (Lihat pasal 38 KHA). 2. Anak dalam situasi eksploitasi, meliputi eksplotasi ekonomi (Lihat pasal 32 KHA), penyalahgunaan obat (drug abuse) (Lihat pasal 33 KHA), eksplotasi seksual (Lihat pasal 34 KHA), perdagangan anak (trafficking) (Lihat pasal 35 KHA), dan ekploitasi bentuk lainnya (Lihat pasal 36 KHA). 3. Anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the Law) (Lihat pasal 37, 39, 40 KHA). 4. Anak yang berasal dari masyarakat adat dan kelompok minoritas (children from indigenous people and minorities) (Lihat pasal 30 KHA).

Selanjutnya, Vivit Muntarbhorn mengidentifikasi kelompok-kelompok anak yang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan sebagai berikut : 1. Anak-anak pedesaan 2. Anak-anak jalanan dan daerah kumuh perkotaan

3. Anak perempuan 4. Pekerja anak 5. Pelacuran anak 6. Anak-anak cacat 7. Anak-anak pengungsi dan tidakberkewarganegaraan 8. Anak-anak dalam penjara 9. Anak-anak korban kekerasan dan terlantar

Anak-anak dalam kondisi tersebut seharusnya diprioritaskan dalam mendapatkan pendidikan, namun Komite Hak Anak masih menemukan fakta bahwa pendidikan tidak gratis seperti yang selalu dikampanyekan para calon legislative maupun calon pemimpin di negeri ini, bahkan tingkat dasar serta pendidikan lanjutan tidak terjangkau oleh banyak keluarga. Komite juga memprihatinkan masih tingginya tingkat putus sekolah dan anak yang mengulang kelas. Pada saat yang sama, komite juga menunjukkan keprihatinan bahwa anak-anak yang dinikahkan dan remaja-remaja yang mengandung umumnya tidak diijinkan melanjutkan pendidikan mereka. Uraian di atas menunjukkan masih adanya kontradiksi antara peraturan yang ada dengan pelaksanaannya. Komnas HAM sebagai pelaksana mandat UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia untuk menjamin berjalannya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia merasa penting untuk melakukan diseminasi tentang hak asasi manusia khususnya hak pendidikan dalam rangka membangun kepedulian dan komitmen bersama terhadap berjalannya pemenuhan hak pendidikan bagi masyarakat rentan khususnya anak-anak. ( Candra Gautama : 2001 ) Dengan demikian pendidikan adalah sebuah hak asasi sekaligus sebuah sarana untuk merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan memainkan sebuah peranan penting untuk memberdayakan perempuan, melindungi anak-anak dari eksploitasi kerja dan seksual yang berbahaya. Demikian pula banyak problem sosial, ekonomi, budaya dan politik yang tidak dapat dipecahkan, kecuali dengan menyelesaikan persoalan hak atas pendidikan ini, sebagai kunci untuk membuka pemenuhan hak-hak asasi manusia di bidang ekonomi, sosial dan budaya lainnya; termasuk hak sipil dan politik. Terpenuhinya hak atas pendidikan merupakan prasyarat bagi terpenuhinya hak-hak asasi manusia lainnya, baik itu hak ekonomi, sosial dan budaya; maupun hak sipil dan politik. (Katarina Tomasevski, 2003, hal 32-33)

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan Dengan demikian pendidikan adalah sebuah hak asasi sekaligus sebuah sarana untuk merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Hak atas pendidikan adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Bahkan ia merupakan salah satu amanat utama dari pembentukan dan pendirian negara Republik Indonesia yang merdeka, sebagaimana yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945. Dan pada akhirnya terpenuhinya hak atas pendidikan merupakan prasyarat bagi terpenuhinya hak-hak asasi manusia lainnya, baik itu hak ekonomi, sosial dan budaya; maupun hak sipil dan politik.

3.2. Saran Mungkin inilah yang diwacanakan pada penulisan makalah ini, meskipun penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kesalahan dari penulisan makalah kelompok kami, karna kami manusia yang adalah tempat salah dan dosa: dalam hadits al insanu minal khotto wannisa. Dan kami juga butuh saran/ kritikan dari rekan/teman sejawat serta dosen pembimbing agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik daripada masa sebelumnya. Kami juga mengucapkan terima kasih atas dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan ( PKN ) Bapak Dr. Suhaimi, SH. M.Hum yang telah memberikan kami tugas kelompok demi kebaikan diri kita sendiri dan untuk negara dan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, Suardi. 2007. Kewarganegaraan 1 : Menuju Masyarakat Madani. Jakarta : Yudhistira. Chirzin, M. Habib. 2005. Pendidikan Untuk Semua : Hak Atas Pendidikan Sebagai Hak Asasi Manusia. Dilihat 13 juni 2012, http://habibch.wordpress.com/2008/02/17/pendidikan-untuk-semua-hak-ataspendidikan-sebagai-hak-asasi-manusia/ Darmaningtyas. 2008. Pemenuhan Hak-Hak Atas Pendidikan. Dilihat 12 Juni 2012, http://geramtolakbhp.wordpress.com/2008/01/07/pemenuhan-hak-hak-ataspendidikan1oleh-darmaningtyas21-pengantarpendidikan-merupakan-salahsatu-hak-asasi-manusia-yang-melekat-pada-diri-setiap-wargadari-suatunegara-hanya-saja-k/ Gautama, Candra. 2001. Konvensi Hak Anak : Panduan Bagi Jurnalis. Jakarta : LSPP. Hal : 6 10 Sumarsono, Nono. 1999. Children Mainstreaming, Suatu Peluang dan Tantangan, dalam Jurnalisme Anak Pinggiran.Jakarta. Hal 36. Tomasevski, Katarina. 2003. Education Denied, Costs and Remedies. London : Zed Books

You might also like