You are on page 1of 16

AT THE END OF GLOBALISATION, WE ARE ALL DEAD

Oleh: Bonnie Setiawan*

A. EKONOMI POLITIK GLOBALISASI Sejak krisis 1997, maka semua orang menyadari betapa terkaitnya masalah-masalah ekonomi dengan masalah-masalah politik. Bagaimana kejatuhan Suharto sangat terkait erat dengan kejatuhan ekonomi Indonesia; dengan pertumbuhan ekonomi bahkan menjadi minus dan utang meroket 2,5 kali lipat hanya dalam 2 tahun. Dan situasi ekonominya tidak juga membaik-baik, terutama karena situasi politiknya yang serba tidak pasti. Secara awam, orang kini mengerti hubungan antara ekonomi dengan politik. Bahkan kini para ekonom ortodoks, mulai menyadari keterbatasan ilmu ekonominya dan mulai memasukkan faktor politik ke dalamnya. Tidak bisa lagi hanya mengutak-atik instrumen ekonomi makro, moneter dan fiskal; tetapi juga harus mengutakatik masalah demokrasi, penegakan HAM atau proses pelembagaan politik. Akan tetapi sesungguhnya pendekatan ekonomi-politik jauh lebih dalam daripada hanya hubungan antara ekonomi dan politik maupun penataan kelembagaan dan isu good-governance dari Bank Dunia. Ekonomipolitik adalah pendekatan yang mengupas/ menganalisis pola hubungan dan pola kepentingan berbagai golongan dan kelas yang terkandung dalam berbagai proses perubahan ekonomi modern, khususnya ekonomi modal (ekonomi kapitalisme). Masalah perubahan dan transformasi sosial dari berbagai kelas dan golongan sepanjang sejarah terkait erat dengan bagaimana berlangsungnya proses pemupukan modal dan akumulasi kekayaan di masyarakat. Hal ini yang semakin lama semakin menciptakan kesenjangan di antara berbagai golongan/kelas di masyarakat, yaitu : kaum kaya dan kaum miskin; kaum tani dan kelompok industrialis; kelompok pekerja dan kelompok majikan; kelas pengusaha dan kelas buruh. Ini adalah analisis ekonomi politik, yaitu keterkaitan mendalam antara hubungan-hubungan sosial-ekonomi dengan kekuasaan (politik). Analisis ekonomi-politik sangat cocok dalam menjelaskan situasi di Indonesia setelah krisis. Dan sebenarnya juga mampu menjelaskan situasi Indonesia sebelum krisis, maupun prediksi Indonesia pasca-krisis. Akan tetapi pendekatan ini bertabrakan dengan ilmu ekonomi ortodoks (economics). Ilmu ekonomi ortodoks bersifat sangat positivis, tidak menjelaskan kepentingan-kepentingan golongan/kelas, mengabaikan hubungan-hubungan sosial-ekonomi, dan hanya bicara secara agregat saja (besaran umum). Karena itu juga bersifat doktriner, yaitu melalui konsep pertumbuhan ekonomi, yang dianggap merupakan resep pokok berjalannya sistem ekonomi. Doktrin ekonomi ortodoks adalah pertumbuhan ekonomi dalam mekanisme pasar bebas. Tidak dipermasalahkan siapa yang tumbuh dan siapa yang dirugikan, karena mekanisme pasar bebas yang akan mengatur dengan sendirinya. Doktrin ini semakin besifat fundamentalis dengan menguatnya Neo-liberalisme. Mereka adalah segolongan ekonom yang sangat percaya bahwa ekonomi pasar harus bersifat sebebas-bebasnya; sebuah free-fight liberalism (liberalisme pertarungan bebas). Liberalisme ekonomi memang akan melahirkan korban-korban dan pemenang-pemenang. Hal itu tidak menjadi soal. Ini adalah kembali ke masa awal pertumbuhan kapitalisme, yang tidak diregulasi dan dibatasi. Dan seperti pada masa
Direktur Eksekutif di Institute for Global Justice (IGJ) di Jakarta (www.globaljust.org, igj@globaljust.org ), sebuah NGO yang melakukan advokasi isu-isu WTO dan Globalisasi.
*

itu, tumbuh pula ekonomi-politik sebagai penentangnya. Jadi masa kini juga memperlihatkan bahwa ekonomi neo-liberal akan mendapat tentangan dari pendekatan ekonomi-politik. Karena itu para aktivis sosial yang menentang neo-liberalisme, selayaknya mempelajari kembali ekonomi-politik. Doktrin Neo-Liberalisme adalah kembali kepada prinsip Laissez-Faire (kompetisi bebas) yang ekstrim, yang menyerahkan sepenuhnya sistem perekonomian kepada kehendak dan mekanisme pasar bebas, tanpa mengindahkan konteks dan keberagaman situasi ekonomi berbagai negara, yang lebih banyak tidak siap atau tidak cocok melakukannya. Pasar bebas menjadi hukum universal pengaturan ekonomi. Bahkan kalau demokrasi menghalanginya, maka lebih baik menyingkirkan demokrasi. Paham ini sekarang juga dipeluk oleh para ekonom mainstream di setiap negara, sehingga ekonom-ekonom ini justru ikut serta menggerogoti negaranya sendiri, dan menjadi corong saja dari kepentingan badan-badan multilateral. B. GLOBALISASI NEO-LIBERAL Masalah-masalah dunia sekarang ini mau tidak mau harus dikaitkan dengan isu-isu globalisasi. Terutama perhatian harus tertuju kepada masalah gap (kesenjangan) yang semakin melebar antara negara-negara berkembang dan miskin dengan negara-negara maju maupun dengan transnational corporation (TNC). Upaya penghapusan kemiskinan (poverty alleviation), sebagaimana banyak dinyatakan secara retorik oleh Bank Dunia dan IMF, kenyataannya hanyalah sikap mengelabui publik (kebohongan publik) secara terang-terangan. Mengapa demikian? Karena nyatanya arah dan tujuan globalisasi dengan arah dan tujuan penghapusan kemiskinan telah bertolak belakang. Bukan saja bertolak belakang, tapi juga berlawanan secara mendasar. Globalisasi adalah mengenai pembukaan pasar seluas-luasnya di seluruh dunia melalui berbagai instrumen. Dan PASAR tidak pernah memikirkan mengenai aspek sosial atau agenda penghapusan kemiskinan. Pasar adalah mengenai bagaimana menghasilkan profit dan profit. Bukti paling jelas adalah liberalisasi sektor keuangan yang diperjuangkan oleh World Bank dan IMF sejak tahun 1980-an, yang kini menjadi sebab utama krisis ekonomi, pelarian modal keluar, beban utang yang meningkat tajam, dan volatilitas keuangan yang tidak berkesudahan yang membangkrutkan bangsa-bangsa negara berkembang dan miskin hanya dalam hitungan jam dan hari. Globalisasi adalah pasar yang meng-global, atau kapitalisme global. Pasar bukanlah konsep netral, tetapi nama lain dari kapitalisme. Kalau dulu bernama kapitalisme internasional, sekarang berubah nama menjadi kapitalisme global, karena secara kuantitatif telah membesar secara luar biasa. Kalau dulu sekitar tahun 1980-an, transaksi keuangan dunia hanya sekitar 300 juta dollar sehari, sekarang di tahun 1990-an meningkat tajam menjadi 1 trilyun dollar sehari! Kalau dulu transaksi memerlukan waktu berhari-hari, sekarang cukup dalam hitungan per-detik, maka milyaran dollar bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain, berkat electronic mail. Jadi arti kata global mengandung arti lingkupnya yang kompak, terintegrasi dan menyatu; menggantikan ekonomi nasional dan regional. PASAR dengan sendirinya berlawanan dengan agenda penghapusan kemiskinan yang hendak dilakukan oleh siapapun, baik pemerintah nasional, badan-badan PBB, organisasi-organisasi nonpemerintah, organisasi-organisasi charity, badan-badan keagamaan, dan lain-lainnya. Upaya penghapusan kemiskinan akan mirip menabur garam di laut, selama globalisasi didefinisikan seperti sekarang ini, yaitu globalisasi versi neo-liberal. Globalisasi seperti ini mengandung dua ciri utama, yaitu : (1) Multilateralisme, yaitu kekuasaan badan-badan antar pemerintah yang telah menjadi kepanjangan tangan ekspansi global kapitalisme, yaitu tiga bersaudara (triumvirat) Bank Dunia-

IMF-WTO. Lembaga-lembaga Bretton Woods semula dimaksudkan untuk menstabilkan perekonomian setelah perang dunia ke-II guna membangun kesejahteraan negara-negara anggotanya. Paham dasarnya adalah Keynesian. Akan tetapi semenjak 1980-an bersamaan dengan dominannya paham neo-liberal, maka multilateralisme telah bertukar paham ikut memeluk neo-liberal. Dan bersamaan dengan kapitalisme global, multilateralisme telah menempatkan dirinya menjadi supra-negara. Operasi badan-badan ini telah melabrak kedaulatan nasional negara, mengintervensi kebijakan domestik, dan memfasilitasi masuknya TNC untuk menguasai ekonomi suatu negara bersangkutan. Multilateralisme juga berarti koherensi atau kerjasama erat di antara Bank Dunia-IMF-WTO dalam operasi-operasinya, khususnya dengan menggunakan crossconditionalities (prasyarat bersilang) kepada negara-negara Dunia Ketiga. Akan tetapi perlu diingat bahwa di balik badan-badan ini, dikuasai sepenuhnya oleh kepentingan negara-negara maju, khususnya hegemoni AS dan negara-negara G-7 (AS, Kanada, Inggeris, Perancis, Jerman, Jepang, Italia). (2) Transnasionalisasi, yaitu menguatnya monopoli dan konsentrasi modal serta kekuasaan ekonomi kepada korporasi-korporasi besar dunia. Semua mekanisme kapitalisme global berujung pada keuntungan di pihak TNC (Trans-National Corporation). Globalisme dan multilateralisme adalah sistem dan mekanisme guna menempatkan TNC pada kedudukan utama. Ini memudahkan TNC untuk melakukan eksansi ke berbagai negara dengan mendapat berbagai kemudahan, seperti tarif bea masuk yang rendah atau malahan nol persen; kemudahan investasi lewat penanaman modal asing 100%; penguasaan dan monopoli HAKI sehingga teknologi terus menerus dikuasai mereka; kemudahan untuk menguasai dan memonopoli berbagai sektor usaha di berbagai negara, bahkan yang bersifat barang publik (public goods). Hal ini semua yang diatur oleh WTO, IMF dan Bank Dunia. Semua kemudahan tersebut dan penghapusan atas berbagai hambatan usaha di suatu negara, akan semakin memperbesar TNC dan membuatnya sebagai penguasa dunia yang sebenarnya. C. INDONESIA SEBAGAI KORBAN GLOBALISASI Sejak memasuki dasawarsa tahun 1980-an, mulai nampak kecenderungan ekonomi Indonesia semakin terintegrasi kepada ekonomi global. Setidaknya berbagai kebijakan deregulasi perbankan dan keuangan di awal tahun 1980-an adalah awal dari liberalisme ekonomi dan dominasi paham neo-liberal di antara para ekonom. Sejak itu berbagai kebijakan, peraturan, dan tindakan pemerintah adalah untuk melayani kepentingan korporasi, yang pada masa itu adalah para konglomerat Orde Baru, keluarga Suharto dan TNC yang digandengnya. Dengan liberalisme itu, mereka menjarah berbagai asset dan sumberdaya nasional untuk memenuhi kepentingan keserakahan modal dan kehidupan serba mewah mereka. Globalisasi melestarikan kompradorisme (kaki tangan dan kepanjangan tangan kapitalisme internasional), tetapi sekaligus juga hendak menancapkan kukunya lebih dalam lagi guna menguasai secara total perekonomian nasional suatu negara. Pada intinya adalah menghancurkan kedaulatan nasional. Kaum komprador yang terlalu berkuasa secara nasional juga tidak mereka sukai, seperti kerajaan bisnis Suharto serta kroni-kroni konglomeratnya, karena seringkali mampu menghalang-halangi kepentingan kapital global untuk kepentingan mereka sendiri yang mengganggu mekanisme pasar. Yang mereka inginkan sekarang adalah dominasi sepenuhnya, mekanisme pasar sepenuhnya, dan kontrol hukum sepenuhnya. Kita bisa mencatat banyak kejadian kasus globalisasi yang kemudiannya telah menghancurkan dan mengorbankan Indonesia, baik dari segi kedaulatan nasional, kedaulatan hukum, dan korban berjuta-juta rakyat Indonesia memasuki masa depan yang gelap. Krisis yang terus berlanjut hingga kini adalah gambaran bahwa Indonesia merupakan korban terparah globalisasi. Ini yang tidak mau diakui oleh IMF, Bank Dunia dan para ekonom neo-liberal, yang selalu menyalahkannya kepada

pemerintah dan negara bersangkutan, baik dari segi KKN, korupsi, bad-governance dan lainnya; karena hendak menutupi kepentingan mereka yang sebenarnya. Seharusnya selain kita harus mendukung adanya sebuah pemerintahan yang bersih, akan tetapi kita juga harus menyalahkan sebuah sistem liberalisme ekonomi dan kapitalisme global. Baru itu seimbang namanya. Contoh kasus-kasus dampak globalisasi yang bisa kita catat adalah sebagai berikut: 1. Perampokan besar-besaran Bank Sentral Ini sesungguhnya adalah skandal keuangan Bank Sentral terbesar di dunia. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, adalah skema program bail-out (penalangan) utang perbankan (swasta dan pemerintah) untuk dialihkan menjadi beban pemerintah lewat penerbitan obligasi. Ini adalah bagian dari program pemulihan krisis ekonomi Indonesia yang dipaksakan oleh IMF lewat LoI, bersama-sama dengan Bank Dunia dan ADB sejak bulan Oktober 1997. Semula BLBI bernama KLBI yang bersifat Kredit; kini diganti menjadi bersifat Bantuan, sehingga tidak jelas lagi aspek pertanggungjawabannya. BLBI secara jelasnya adalah bantuan dana yang diberikan oleh BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas, jadi merupakan utang bank-bank penerima kepada BI. Akan tetapi melalui program penjaminan pemerintah, hak tagih BI dialihkan kepada pemerintah. Untuk membayar hak tagih tersebut, pemerintah menerbitkan Surat Utang (Obligasi) senilai Rp 164,53 trilyun dan juga menerbitkan Surat Utang untuk penyediaan dana dalam rangka program penjaminan senlai Rp 53,77 trilyun. Meskipun hakekatnya adalah pinjaman dengan persyaratan suku bunga, jangka waktu dan jaminan tertentu, pada akhirnya menjadi pengurasan uang negara yang diduga dilakukan baik oleh bank penerima maupun oleh pejabat-pejabat BI sendiri. Pengurasan tersebut diperkirakan telah mencapai Rp 144,53 trilyun (per-29 Januari 2000). Laporan audit investigasi BPK tanggal 31 Juli 2000 mengungkapkan dugaan penyimpangan tersebut. Potensi kerugian negara yang ditimbulkannya adalah Rp 138,44 trilyun (95,78%) dari dana penyaluran BLBI. Sementara penyimpangan dari bank penerima dana BLBI berupa berbagai pelanggaran yang mencapai nilai Rp 84,84 trilyun (59,7%) dari dana BLBI, dilakukan oleh 48 bank penerima. Sementara itu kerugian dan dampaknya terhadap APBN juga luar biasa. Pemerintah dengan ini mempunyai kewajiban untuk membayar angsuran dan bunga obligasi tersebut, yang dibayar dari dana APBN. Di tahun 2001 diperkirakan angsuran dan bunga obligasi tersebut mencapai Rp 55,7 trilyun, artinya sekitar 18,9% dari APBN hanya akan dipakai untuk membayar beban utang BLBI. Sementara bila kita tengok pengeluaran APBN untuk keperluan subsidi masyarakat hanya mencapai 16,4% (Rp 48,2 trilyun) dan untuk keperluan pembangunan hanya 11,3% (Rp 33,3 trilyun). Dengan skandal keuangan BLBI ini, yang disarankan oleh IMF, maka telah mengorbankan berbagai subsidi yang seharusnya diterima oleh rakyat lewat APBN.1 2. Tambal sulam kemiskinan lewat utang Program pinjaman dari Bank Dunia dan ADB dengan nama SSNAL (Social Safety Net Adjustment Loan) atau pinjaman untuk Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dilaksanakan sejak terjadinya krisis. Besarnya US$ 600 juta yang tahap pertamanya telah dikucurkan sebesar US$ 300 juta pada Januari 2000. Merupakan politik etis dari Bank Dunia agar krisis yang terjadi tidak menyebabkan kerusakan yang tidak diinginkan yang bisa merugikan kepentingan Bank Dunia sendiri. Sejak awal telah ditentang oleh para aktivis, karena hanya menambah beban utang dan bersifat tambal sulam. Skema program JPS ini dibagi ke dalam 12 program, diantaranya OPK (Operasi Pasar Khusus), PDM-DKE (Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak
BLBI: Bantuan atau Bencana, Pernyataan Bersama LSM Tentang Penyelesaian Kasus BLBI; LoI dan MEFP 31 Oktober 1997, di www.imf.org
1

Ekonomi), DBO (Dana Bantuan Operasional), dan PKP (Padat Karya Perkotaan). Sampai tahun anggaran 1999/2000 program JPS telah menghabiskan dana Rp 15 trilyun. Dalam kenyataannya, terbukti terjadi banyak penyimpangan. Salah satu bukti yang jelas adalah sebesar Rp 8 trilyun dari Rp 17,9 trilyun dana JPS di tahun anggaran 1998/1999 malah digunakan untuk kampanye otonomi luas Timor Timur dan Kampanye Pemilu 1998. Demikian pula, dugaan penyelewengan dana JPS tahun 1999/2000 hampir sebanyak Rp 4,5 milyar dana OPK dan Rp 500 juta dana PDM-DKE untuk 15 propinsi di Indonesia, di mana sebagian besar penyelewengan (49%) terjadi di tingkat kecamatan. Demikian pula dari hasil audit BPK, ditemukan bahwa dana JPS bidang pendidikan tahun 1998/1999 dan 1999/2000 terdapat pengeluaran sebesar Rp 5,4 milyar yang diragukan kebenarannya, dan terdapat dana untuk Beasiswa dan Dana Bantuan Operasional (DPO) sebesar Rp 12,3 milyar yang tidak disalurkan ke siswa dan sekolah. Juga ditemukan 21 kasus yang merugikan negara sebesar Rp 1,5 milyar, kekurangan penerimaan negara sebesar Rp 75,6 juta, dan uang yang tidak bisa dipertanggungjawabkan (6 temuan) sebesar Rp 227,9 juta. Meskipun jelas ada banyak penyimpangan, Bank Dunia dan pemerintah terus melanjutkan program ini. Baru kemudian setelah terlihat bahwa program ini dapat menghancurkan kredibilitas Bank Dunia sendiri, akhirnya pada Juli 2001 oleh Bank Dunia program ini dibatalkan sama sekali. 3. Penghancuran ketahanan pangan Lewat LoI Oktober 1997 dan MEFP 11 September 1998, IMF menuntut diberlakukannya tariff impor beras sebesar 0%. Ini juga berlaku bagi jagung, kedele, tepung terigu dan gula. Selain itu LoI juga mengatur agar BULOG tidak lagi mengurus kestabilan harga pangan dan agar melepaskannya ke mekanisme pasar. BULOG dibatasi menjadi sebatas perdagangan beras, itupun harus bersaing dengan pedagang swasta. Demikian pula BULOG harus mengambil pinjaman dari bank komersial, tidak lagi dari dana BLBI yang sangat ringan. Liberalisasi juga telah diberlakukan dalam hal harga pupuk dan sarana produksi padi lainnya yang tidak lagi disubsidi pemerintah, melainkan diserahkan pada mekanisme pasar. Sementara itu subsidi petani lewat KUT (kredit usaha tani) hanya sebesar Rp 1,8 trilyun (bandingkan dengan dana BLBI). Dengan demikian kini petani menghadapi harga produksi yang mahal, sementara harga jual padi hancur. Liberalisasi pertanian sebenarnya juga bagian dari ratifikasi Indonesia atas Agreement on Agriculture (AOA) dari WTO, yang mengatur penghapusan dan pengurangan tarif serta pengurangan subsidi. Sejak itu masuklah secara besar-besaran impor beras dari luar dengan harga lebih murah dari beras hasil petani lokal. BULOG dan pihak swasta kini berlomba untuk mendatangkan beras dari mancanegara. HKTI mencatat bahwa hingga akhir Maret 2000, beras impor yang masuk ke Indonesia mencapai 9,8 juta ton, 6 juta ton diantaranya sudah masuk pasar. Padahal produksi beras dalam negeri sekitar 30 juta ton, sementara kebutuhan nasional diperkirakan mencapai 32 juta ton; sehingga sebenarnya Indonesia hanya membutuhkan impor 2 juta ton. Karena jeritan para petani dan kritik yang berdatangan, akhirnya bea masuk impor dinaikkan menjadi 30%, itupun semula IMF berkeberatan. Akan tetapi ternyata hal ini tetap bukan penghalang bagi importir untuk mengimpor beras dari Thailand, Vietnam dan Australia dengan tetap meraih untung. Harga beras impor dari Thailand misalnya, setelah keluar dari Tanjung Priok dijual Rp 1.600/kg, dan beras dari Australia dijual Rp 1.400/kg; dan tetap masih meraih laba sekitar Rp 600. Meskipun kemudian pemerintah menghentikan impor beras pada Maret 2000, ternyata belum dapat mengangkat harga gabah di tingkat petani. Beras impor terus saja masuk dengan deras. Akibatnya yang parah, adalah harga padi lokal terus merosot tajam, sehingga kini hanya mencapai sekitar Rp 600/kg. Padahal harga pupuk sudah sekitar Rp 700/kg. Inilah awal dimulainya tragedi kehancuran ketahanan pangan Indonesia, bila tidak ada langkah-langkah

protektif dengan segera. Petani pedesaan mengalami kebangkrutan dan akan menyebabkan kerawanan ekonomi masyarakat pedesaan yang tak terkira. Dengan liberalisasi pertanian ini, maka akan habislah petani Indonesia dilibas oleh TNC dan importir besar.2 4. Penciptaan pasar tanah Pemerintah (dan BPN) bersama dengan Bank Dunia dan AusAid sedang menjalankan suatu mega-proyek yang disebut sebagai Land Administration Project (LAP). Ini adalah suatu proyek ambisius mengenai deregulasi pertanahan dengan istilah Land Resource and Management Planning yang akan berlangsung selama 25 tahun (1995-2020) yang hendak merancang suatu desain perubahan manajemen dan administrasi pertanahan yang tujuan akhirnya adalah terciptanya pasar tanah (land market). Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap setiap lima tahun. LAP I (1995-2000) menelan biaya sebesar US$ 140,1 juta, didanai dari anggaran nasional sebesar US$44,9 juta (32%), pinjaman dari Bank Dunia US$ 80 juta (57%) dan sisanya US$ 15,2 juta (11%) adalah grant dari AusAid. Meskipun program ini telah ditentang oleh aktivis, akan tetapi mereka tetap jalan terus. Terakhir LAP II akan kembali dilaksanakan, dan akan mulai memasukkan obyek tanah masyarakat adat, karena sudah adanya pilot proyek sebelumnya yang dijalankan di Sumatera Barat. Rencananya LAP II akan bernilai sebesar US$ 110 juta, yaitu US$ 20 juta dari pemerintah Indonesia dan US$ 90 juta dari pinjaman Bank Dunia. Pelaksanaan LAP I, sebagaimana sudah diduga, telah menimbulkan banyak masalah. Registrasi tanah LAP I yang katanya menggunakan prinsip transparansi, partisipasi dan kontrol masyarakat, ternyata tidak terjadi. Penemuan di lapangan oleh KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) memperlihatkan adanya peluang bagi petugas untuk korupsi dan menipu warga. Warga juga tidak mengetahui keberadaan LAP sampai petugas BPN datang mengukur tanah mereka. Juga tidak ada standard biaya registrasi. Sebuah kasus di Depok, warga dikenakan biaya Rp 50.000, sementara kwitansi dari BPN hanya tertera Rp 11.500. Bahkan hasil analisis dari Bank Dunia sendiri berjudul The Social Assessment of the Land Certification Program: The Indonesia Land Administration Project, LAP I mempunyai banyak masalah, diantaranya adalah: proyek tersebut tidak sustainable, karena 62% dari Tim Ajudikasi Tanah telah bubar sesudah proyek selesai. Selain itu di Jawa ada jutaan hektar tanah yang merupakan residual claims, yaitu tanah yang diambil secara paksa dari rakyat pada zaman Orde Baru. Masalah residual claims ini seharusnya diselesaikan terlebih dahulu, sebelum ada proses sertifikasi. LAP I juga mempunyai dampak negatif terhadap kaum perempuan, karena nama-nama perempuan tidak dimasukkan di dalam sertifikat tanah. Sementara itu BPN berkilah mengenai beban hutang. Menurutnya pembayaran utang akibat program LAP ini akan diambil dari pemasukan UU PHTB (Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), di mana ditentukan setiap transaksi tanah atau bangunan senilai di atas Rp 30 juta sejak Januari 1998 akan dikenai pajak 5%. Dengan demikian, rakyat kembali yang akan dibebankan pembayaran utang. Secara keseluruhan, LAP akan meliberalisasi pertanahan di Indonesia, karena tanah kini dijadikan obyek komoditas (barang dagangan). Dampaknya, tanah akan dijadikan obyek penguasaan pemodal besar dan TNC, dengan legalitas yang dijamin.3 5. Penguasaan air minum

MEFP, 11 September 1998; Bisnis Indonesia, 13 April 2000, 2 Oktober 2000; Suara Pembaruan, 18 Maret 2000 3 KPAs First, Second and Third Memorandum on Land Administration Project in Indonesia; Hentikan LAP II dan Tinjau LAP I, Background Paper INFID untuk Lobby CGI, Oktober 2000

Air minum telah dijadikan incaran banyak TNC dunia. Sektor Air disebut juga sebagai emas biru (blue gold), merupakan sektor yang strategis sekaligus bisnis besar. Liberalisasi air didorong pula oleh Bank Dunia. Dalam laporannya tentang kerangka kebijakan untuk sektor air di perkotaan (Urban Water Supply Sector Policy Framework), Bank Dunia merekomendasikan agar Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya milik Pemda DKI diswastakan. Tujuannya untuk meringankan beban utang pemerintah. Dengan itu, Bank Dunia lalu memberikan pinjaman sebesar Rp 2,4 trilyun untuk pengembangan Jakarta, termasuk di dalamnya untuk pembiayaan pengelolaan air minum. Hasilnya tanggal 12 Juni 1994, dikeluarkan instruksi presiden (Suharto) untuk mengalihkan pengelolaan usaha air minum di Jakarta dan sekitarnya kepada swasta (privatisasi). Proses privatisasi ini melalui proses KKN, di mana akhirnya dikuasai oleh PT Kekarpola Airindo milik Sigit Harjojudanto dan Bambang Trihatmojo yang menggandeng perusahaan air Inggeris, Thames Water International (TWI); dan oleh PT Garuda Dipta Semesta milik Anthony Salim yang menggandeng perusahaan air dari Perancis, Lyonnaise des Eaux (LDE). Padahal privatisasi ini jelas-jelas melanggar Konstitusi UUD 45 pasal 33 dan UU No. 1 tahun 1961 yang melarang swastanisasi bisnis air minum. Setelah Suharto turun tahta, akhirnya diambil alih oleh Pemda Jakarta lewat instruksi Gubernur Sutiyoso No. 131 tanggal 22 Mei 1998, tetapi dua perusahaan asing tersebut semakin dikukuhkan sebagai pengelola. Dua perusahaan asing tersebut kemudian berganti nama menjadi PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Thames PAM Jaya (TPJ). Pemda DKI mengambil alih dengan saham 10 persen, sementara Thames dan Lyonnaise sebagai pemilik saham mayoritas yaitu 90%. Mereka juga mendapatkan hak eksklusif untuk mengelola seluruh asset PAM Jaya selama 25 tahun, tanpa perlu membangun jaringan infrastruktur dan pelanggan, sehingga bisa langsung menangguk keuntungan. Bayangkan saja captive market (pasar yang sudah pasti) dari PAM Jaya, yaitu 2,3 juta pelanggan. Akan tetapi dalam penetapan harga air untuk semester I tahun 1999, PT TPJ menetapkan harga Rp 2.400 per-meter kubik, dan Palyja Rp 2.900 pe-meter kubik. Padahal harga jual air PAM Jaya ke konsumen jauh di bawah itu, yakni Rp 2.130 per-meter kubik. Hasilnya, kekurangan tersebut harus ditutupi oleh perusahaan daerah ini. Sampai Oktober 2000, defisit yang harus ditanggung pemerintah adalah sebesar Rp 86,4 milyar dengan beban utang Rp 394,6 milyar. Jadi alhasil sebenarnya pemerintah mensubsidi rakyat atau mensubsidi TNC? Dan siapa yang membayar semua itu? Sampai kini pun layanan dan harga air tetap tidak memuaskan. Akan tetapi PAM kini tidak bisa berbuat apa-apa, karena sudah terikat kontrak selama 25 tahun. Serikat Pekerja PAM yang juga telah berjuang untuk menentang proses ini, justru 20 aktivisnya ditahan dan terus-menerus ditekan. Meskipun sudah berjuang lebih dari dua tahun, nampaknya TNC dan pemerintah jalan terus. Nampaknya proses privatisasi ini akan menjadi contoh bagi privatisasi air minum berikutnya di daerah-daerah lain.4 6. Mafia Utang lewat Kredit Ekspor Fasilitas kredit ekspor disediakan oleh ECA (Export Credit Agencies and Investment Insurance Agencies), yang merupakan badan milik pemerintah di negara-negara maju. Perannya adalah merealisasikan berbagai proyek investasi dan infrastruktur berskala besar di negara-negara berkembang. Badan ini memberikan asuransi risiko politik apabila ada jaminan balik (counter guarantee) dari pemerintah Indonesia. Pemerintah diwajibkan untuk menjamin keamanan politik dan membayar kembali investasi yang sudah dikeluarkan apabila proyek gagal akibat situasi politik. Meskipun merupakan proyek antar swasta, tetapi karena dijamin oleh pemerintah, maka risiko hutang swasta bisa menjadi hutang pemerintah. Cara kerja ECA ini mirip mafia, karena di negara asalnya tidak dapat dikontrol parlemen, tidak transparan, dan tidak membuka informasi
4

TEMPO, 27 November-3 Desember 2000

kepada publik mengenai proyek-proyeknya. Sementara di Indonesia, mega proyek yang didanainya, adalah proyek-proyek berbiaya tinggi yang penuh dengan KKN. Di Indonesia proyek-proyek yang dibiayainya sebanyak 33 buah, yang biasanya merupakan mega-proyek milik konglomerat, kroni dan anak-anak Suharto. Diantaranya adalah berbagai pabrik pulp and paper, yaitu PT Tanjung Enim Lestari, PT Indah Kiat Pulp and Paper di Sumatera Selatan, dan PT Riau Andalan Permai di Riau; tambang tembaga dan emas PT Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa; proyek PLTGU Paiton I di Jawa Timur; serta berbagai proyek semen, teknologi satelit, serta teknologi dan transport militer. Dalam kenyataannya, semua mega-proyek ini bermasalah karena mark-up proyek dan korupsi besar-besaran; serta membawa bencana, karena merusak lingkungan, menggusur rakyat dan menambah beban hutang. Pada masa Suharto, dari tahun 1992-1996, hutang dari ECA sebanyak US$ 28,2 milyar, atau 24% dari stok hutang Indonesia.Tiga besar ECA yang aktif di Indonesia adalah Bank Exim Jepang (JEXIM, sekarang merger dengan OECF menjadi JBIC), Bank Exim AS, dan Hermes dari Jerman. JBIC (Japan Bank for International Cooperation) kini adalah ECA terbesar di dunia, yang juga mengelola proyek-proyek pinjaman bilateral pemerintah Jepang. JBIC mendanai 10 proyek besar di Indonesia, yaitu PLTGU Paiton, Tambang Batu Hijau, LNG Pertamina, Semen Indo-Kodeco, penyulingan minyak Pertamina, Indocement, proyek listrik Jawa dan Jawa Barat, listrik Tambak Lorok, Tanjung Enim Lestari pulp and paper, dan tambang INCO. ECA kini cenderung semakin menggantikan mekanisme ODA (Overseas Development Assistance), karena besarnya kepentingan TNC-TNC di negara maju untuk mengerjakan berbagai mega-proyek infrastruktur lewat pembiayaan bilateral maupun multilateral. ECA juga aman bagi TNC, karena akan digaransi oleh pemerintah. Artinya rakyat juga yang harus membayar hutangnya.5 7. Penjarahan kekayaan intelektual masyarakat/komunitas Perjanjian TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights), salah satu perjanjian di dalam WTO, telah diratifikasi oleh pemerintah. Ini adalah perjanjian HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) terkait perdagangan, yang memberikan hak istimewa bagi individu atau perusahaan atas karya ciptanya, dalam bentuk Paten, Merk, dan Hak Cipta; juga untuk Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, dan Indikasi Geografis. Indonesia telah membuat 5 UU HAKI sebagaimana di atas, karena harus bersesuaian dengan TRIPs. Dengan UU Paten, maka berbagai barang temuan dapat dikuasai siapa saja yang mendaftarkannya terlebih dahulu. Syaratnya adalah merupakan temuan baru, mengandung langkah inovatif, dan dapat diterapkan dalam industri (produksi massal). Paten atas makhluk hidup, yaitu mikro-organisme dan jasad renik juga dapat dipatenkan. Ini adalah kepentingan TNC bioteknologi yang telah memantenkan berbagai benih dan tanaman hasil rekayasa genetik. Dengan TRIPs ini maka akan terjadi bahaya besar lewat pematenan atas kekayaan intelektual milik publik /komunitas. HAKI komunitas dapat saja dirampok oleh perusahaan-perusahaan asing maupun para peneliti/individu, dengan sekedar merubah proses dan produknya. Ini disebut sebagai bio-piracy (pembajakan hayati). Hal ini telah terjadi dengan rempah-rempah Indonesia. Perusahaan kosmetik besar Jepang, Shiseido, telah mematenkan kosmetiknya yang berasal dari berbagai bahan rempah di Indonesia, seperti kayu rapet, kemukus, lempuyang, pelantas, pulowaras, diluwih, cabe jawa, brotowali, kayu legi, dan bunga cangkok. Sementara itu Tempe, makanan tradisional Jawa, juga telah dipatenkan. Tercatat ada 19 paten tentang tempe, di mana 13 buah paten adalah milik AS, yaitu: 8 paten dimiliki oleh Z-L Limited Partnership; 2 paten oleh Gyorgy mengenai minyak
ECA NEWS, edisi I, Januari 2000; Stephanie Fried dan Titi Soentoro, Export Credit Agency Finance in Indonesia, Jakarta, April 2000
5

tempe; 2 paten oleh Pfaff mengenai alat inkubator dan cara membuat bahan makanan; dan 1 paten oleh Yueh mengenai pembuatan makanan ringan dengan campuran tempe. Sedangkan 6 buah milik Jepang adalah 4 paten mengenai pembuatan tempe; 1 paten mengenai antioksidan; dan 1 paten mengenai kosmetik menggunakan bahan tempe yang diisolasi. Paten lain untuk Jepang, disebut Tempeh, temuan Nishi dan Inoue (Riken Vitamin Co. Ltd) diberikan pada 10 Juli 1986. Tempe tersebut terbuat dari limbah susu kedelai dicampur tepung kedele, tepung terigu, tepung beras, tepung jagung, dekstrin, Na-kaseinat dan putih telur. Demikian pula kasus pematenan disain kerajinan perak hasil kerja Suwarti di Bali, oleh pengusaha asal AS. Justru kemudian Suwarti yang dituntut oleh pengusaha tersebut, ketika dia masuk ke pasar Amerika. Suwarti tidak bisa berbuat apa-apa, karena biaya peradilan HAKI sangat mahal untuk pengrajin seperti dirinya. Ini adalah kasus nyata pembajakan HAKI komunitas Indonesia oleh pemodal besar. Kecenderungan ini akan semakin meningkat. Padahal bagi orang Indonesia, berbagai kekayaan budaya itu tidak mungkin dipatenkan, karena merupakan milik publik. Dalam kasus lain, paten atas benih dan tanaman transgenik oleh TNC, akan mengancam keberlangsungan benih tradisional dan kelestarian tanaman. Petani akan semakin tergantung kepada benih-benih milik TNC. Di lain pihak, TNC tersebut akan masuk langsung untuk menanamnya di negara bersangkutan, sebagaimana yang terjadi dengan kasus Monsanto yang menanam kapas Bt di Sulawesi Selatan. Pertanian lama-kelamaan akan menjadi lahan bisnis dan monopoli (paten) teknologi oleh TNC-TNC. D. GLOBALISASI UTANG Mekanisme globalisasi yang juga merupakan bentuk kolonialisme baru adalah utang. Utang pada dasarnya bukanlah sebuah kedermawanan atau bantuan negara maju kepada negara berkembang. Kebalikannya, utang merupakan bagian utama dari kolonialisme baru. Semenjak 1950-an, sudah disadari bahwa utang merupakan instrumen bagi pendiktean kepentingan negara-negara Barat kepada negara kiskin peminjamnya. Meskipun dalihnya adalah bunga lunak yang meringankan, kenyataannya nilai politisnya jauh lebih besar. Jadi nilai dominasi negara maju untuk mendikte apa yang boleh dan apa yang tidak, atau kebijakan apa yang baik dan apa yang buruk bagi mereka, merupakan dasar dari strategi pembangunanisme yang salah kaprah. Utang merupakan alat ampuh hegemoni negara Barat atas klien-kliennya, sehingga posisi negara-negara miskin tersebut ada di bawah (disubordinasi). Utang telah memainkan peran yang luar biasa dalam menjaga suatu negara tunduk pada orbit kapitalisme Barat. Utang juga menguntungkan, karena tingkat pengembaliannya lebih pasti ketimbang utang komersial, karena dijamin negara. Negara pasti membayar. Utang adalah bisnis yang stabil. Dan makin lama jangka waktu peminjamannya, maka semakin menguntungkan, karena berarti pokok dan bunganya akan berlipat-lipat dalam jangka waktu lama. Dalih bahwa bunga utang dari Bank Dunia dan IMF sangat ringan, juga menyesatkan. Saat ini bunga utang komersial di tingkat domestik negara-negara Barat juga kecil, berkisar antara 2-5%; bahkan di Jepang pernah bunga utang bank komersial sampai minus. Jadi dengan memberikan utang kepada negara-negara berkembang, mereka sebenarnya diuntungkan. Mereka memang harus mencari pasar di luar, karena pasar domestik mereka stagnan. Apalagi dana pensiun dan dana-dana yang parkir dari orang-orang kaya negara berkembang tidak bisa diserap oleh mereka, sehingga mereka harus mencari peminjam di luar negeri mereka. Utang juga menghidupkan perekonomian mereka sendiri, karena berarti terbuka luas order untuk perusahaan-perusahaan di negara maju. Ini karena utang tidak berbentuk tunai dan juga tidak bebas digunakan. Utang adalah in-natura (barang) dan mengikat (tied-aid) dalam arti penggunaannya harus sesuai dengan kepentingan si pemberi pinjaman. Ini berarti supplier-nya harus dari negara pemberi utang, barang-barangnya juga sama, harus dibeli dari negeri si pemberi utang. Begitu pula dengan konsultan-konsultannya, harus dari

mereka juga. Jadi utang pada dasarnya memberi penghidupan kepada mereka sendiri. Yang disebut sebagai bantuan atau grant jumlahnya sangat kecil, dan hanya dipakai sebagai pancingan atau gula-gula pemikat untuk proyek utang yang lebih besar. Grant juga dipakai untuk memastikan bahwa si penghutang betul-betul akan membayar utangnya. Utang juga tutup mata mengenai korupsi, yang penting business must go on. Jadi pada dasarnya korupsi direstui, karena mereka terus saja mengucurkan utang, meskipun tahu bahwa setiap tahun uang pinjaman tersebut bocor. Utang dengan demikian adalah sebuah bisnis kotor, dan juga kepanjangan bagi kolonialisme baru. Contohnya adalah mengenai dana pinjaman yang diorganisir IMF sebesar US$ 43 milyar, disebutkan sebagian besar akan digunakan untuk membiayai defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran. Ini artinya, menurut Sritua Arief, sebagian besar akan digunakan untuk membiayai kepentingan asing dalam impor, repatriasi keuntungan investasi asing, bunga hutang luar negeri, dan jasa-jasa asing lainnya. Jadi utang ini kembali dinikmati oleh pihak asing dan bebannya ditanggung rakyat Indonesia. Ini sama dengan penggunaan pinjaman dari ADB untuk Indonesia sebesar US$ 1,5 milyar, di mana sebesar US$ 1,4 milyar harus digunakan untuk impor. Kata Sritua, Sungguh ketololan luar biasa jikalau pemerintah Indonesia mengucapkan matur nuwun atau hatur nuhun kepada IMF. Demikian pula keadaan yang sama berlaku untuk pinjaman CGI. Adalah naif pernyataan yang menyatakan bahwa seluruh pinjaman akan masuk menjadi penerimaan dalam APBN dan akan dikonversikan ke Rupiah sehingga Rupiah membanjir. Sebagaimana diketahui ada tiga komponen pokok dalam pinjaman CGI, yaitu pinjaman program, technical assistance dan pinjaman untuk memperkuat cadangan devisa. Pinjaman program terdiri dari nilai barang-barang keperluan proyek yang diimpor dari negara kreditor, di mana nilai sebenarnya kita tidak tahu. Technical assistance adalah nilai jasa-jasa asing, yaitu para konsultan asing yang bergentayangan di Indonesia dan pembayaran atas jasa-jasa para birokrat asing yang mengelola pinjaman. Sedangkan pinjaman untuk memperkuat cadangan devisa masuk menjadi cadangan pinjaman (borrowed reserve) di Bank Indonesia dan terbenam di sana. Arti ini semua, katanya, adalah Indonesia kembali di bawah kekuasaan asing! Contoh lain adalah program bail-out (penalangan) utang swasta yang diambil-alih oleh pemerintah, seperti dengan obligasi rekap hasil dari BLBI kepada para konglomerat Indonesia, yang akhirnya berbuah pada utang domestik Indonesia yang menggelembung hingga mencapai Rp 600 trilyun sekarang ini. Bayangkan dahsyatnya utang ini. Pada tahun 2038, menurut scenario yang telah diteliti BPPN, maka utang Indonesia akan membengkak menjadi Rp 13.000 trilyun! Ini angka fantastis luar biasa, yang bukan pendapatan, tetapi utang. Jadi Indonesia sudah pasti nanti suatu waktu akan bangkrut karena tidak mampu bayar utang dalam negerinya sendiri. Tetapi siapa yang bertanggungjawab? Tidak lain adalah IMF. Mengapa? Karena IMF-lah yang memaksakan diadakannya kebijakan bail-out tersebut. Kebijakan bail-out ini adalah resep generic yang dipaksakan IMF dimana-mana, mulai dari Mexico dan Argentina, sampai Korea dan Thailand. Untuk apa? Untuk membayar utang ke kreditor, yaitu para perbankan asing, lembaga-lembaga keuangan internasional dan negara-negara kreditor. Sedangkan ini berarti beban dialihkan ke rakyat, mereka tidak mau tahu. Pokoknya piutang mereka selamat. Bisnis mereka tidak terganggu. Inilah inti dari krisis ekonomi sekarang. Bukan problem insolvency (ketidakmampuan membayar), tetapi problem likuiditas (keuangan). Utang membengkak karena anarkisme pasar, yaitu volatilitas pasar uang. Utang jangka pendek tiba-tiba membengkak sehingga tidak mampu dibayar, karena kurs uang mudah digoyang dan dijadikan ajang spekulasi mengeruk keuntungan. Hal ini didiamkan saja oleh otoritas keuangan dunia, yaitu IMF, bahkan dijaga ketat agar para pemodal tetap bisa mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, dengan korban perekonomian kecil-kecil di negara berkembang. IMF memaksakan 0bligasi rekap, memaksakan BLBI, memaksakan adanya BPPN; yang kesemuanya untuk melayani dipastikannya membayar utang saja. Sungguh ironis! Privatisasi dilakukan agar mampu membayar utang, bukan untuk menciptakan kesejahteraan. Semua hal dilakukan untuk bayar utang luar negeri dan dalam negeri, tidak lagi untuk pembangunan. Dan

10

pemerintah kita tetap seperti budak hamba sahaya, yang sudah babak belur, masih setia pada tuannya dan tetap menganggap harus terus dengan tuannya itu karena merasa hidupnya bisa selamat. Kezaliman luar biasa bila skenario utang Rp 13.000 trilyun itu didiamkan saja, dan masih saja mau ikut dengan skema IMF itu. Jangan heran, bila tidak lama lagi Indonesia akan default, akan bangkrut, karena tidak mampu membayar, persis sama seperti Mexico atau Argentina; dan setelah itu kita akan menggadaikan negeri ini pada ekonomi asing. E. GLOBALISASI PRIVATISASI Bentuk nyata Globalisasi adalah privatisasi. Privatisasi atau swastanisasi secara umum berarti pengalihan BUMN kepada perusahaan swasta. Akan tetapi kini arti privatisasi lebih luas dari sekedar penjualan asset publik lewat lelang publik atau penjualan langsung, yaitu termasuk juga berbagai cara lain, seperti pemberian sub-kontrak dan konsesi dari jasa pemerintah; perjanjian lisensi; kontrak manajemen; perjanjian penyewaan usaha, peralatan atau asset; penjanjian usaha patungan (joint-venture); serta skema BOT (Build-Operate-Transfer). Privatisasi baru berkembang pesat dalam 15 tahun terakhir ini, khususnya setelah Bank Dunia menjalankan program penyesuaian sruktural (structural adjustment) dan setelah IMF menjalankan program poverty reduction and growth facility (PRGF) di tahun 1980-an. Kedua lembaga ini menekankan kepada liberalisasi perdagangan, pengurangan defisit anggaran, dan memperbaiki kemampuan pemerintah dalam membayar utang-utangnya. Dari sinilah privatisasi dijadikan sebagai pilihan strategi global; dan sejak itu dijalankan oleh berbagai negara berkembang, khususnya yang menderita ketidakseimbangan ekonomi makro dan terlilit hutang. IMF secara instrumental menerapkannya melalui Letter of Intent, sementara Bank Dunia menyediakan pinjaman khusus untuk proyek-proyek privatisasi lewat asistensi teknis dan finansial. Privatisasi dalam kenyataannya bukan sekedar mengatasi masalah fiskal, tetapi adalah komponen utama dari sebuah paradigma governance baru, yang disebut neo-liberal: yaitu tuntutan akan efisiensi dan efektivitas pemerintahan yang saat ini dianggap berada di bawah standard dan mengalami tekanan anggaran. Privatisasi adalah paradigma korporatis, berorientasi ke pasar, mencari keuntungan, dan meminimalkan peran negara dalam perekonomian. Dalam prakteknya, privatisasi adalah penjualan asset-asset pemerintah secara murah kepada pihak swasta, bahkan asset yang termasuk hajat hidup publik, seperti air, listrik, jalan raya dan lain-lain. Dalam periode antara tahun1988-1995 penerimaan pemerintah negara berkembang dari penjualan perusahaanperusahaan negara berjumlah US$ 132 milyar, yang berasal dari pengalihan kontrol atas 3.800 perusahaan dari tangan pemerintah kepada swasta. Pada periode yang sama pula terjadi kenaikan jumlah negara yang menjalankan privatisasi, dari 14 negara menjadi 60 negara. Laporan Bank Dunia menyebutkan bahwa pada awal 1990-an saja sudah ada 80 negara yang disebut launched ambitious efforts to privatise their state owned companies, dengan nilai penjualan mencapai US$ 185 milyar pada tahun 1990. Di Amerika Latin, privatisasi sektor infrastruktur didominasi oleh perusahaan penyedia jasa telekomunikasi, energi, transportasi dan pengairan. Sedangkan di Asia Tengah dan Eropa Timur, pelepasan kontrol pemerintah banyak terjadi di sektor industri manufaktur, seperti baja dan kimia. Hal lainnya yang terkait, adalah privatisasi mendorong perusahaan-perusahan tersebut untuk merampingkan strukturnya melalui pengurangan staf dan pekerja secara tajam. Bagi Indonesia privatisasi sudah dijalankan sejak jaman Suharto, yaitu dengan alasan bagi pengikutsertaan pihak swasta di berbagai bidang usaha dalam pengembangan infrastruktur untuk kepentingan umum. Dalam kenyataannya privatisasi tersebut dimaksud untuk memfasilitasi penguasaan ekonomi kepada para Konglomerat kroni-kroni Suharto dan kepada perusahaanperusahaan milik Cendana (keluarga Suharto). Di tahun 1980-an dimulai penerbitan beberapa UU,

11

PP dan Keppres, yaitu: UU No. 15 tahun 1985 tentang ketenagalistrikan; Keppres No. 15 tahun 1987 tentang Jalan Tol; UU No. 3 tahun 1989 tentang Telekomunikasi; UU No. 13 tahun 1992 tentang Perkeretaapian; UU No. 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan; dan UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Intinya peraturanperaturan tersebut memungkinkan perusahaan-perusahaan swasta ikut serta dalam penyelenggaraan jasa di berbagai bidang usaha. Selanjutnya peran swasta asing didorong lebih lanjut lewat PP No. 20 tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan Dalam Rangka PMA. Dengan berbagai peraturan yang memudahkan privatisasi tersebut, maka sejak itu berbagai BUMN strategis mulai dikuasai perusahaan asing, seperti dalam kasus Paiton dengan PLN, Palyja dan Thames Jaya dengan PDAM, Cemex dengan Semen Gresik, dan Grosbeak dengan JICT. Ternyata privatisasi tersebut menyebabkan banyak kasus sengketa/ perselisihan antara pihak pemerintah atau Serikat Pekerja di BUMN dengan pihak asing. Demikian pula sejak adanya reformasi, terkuak banyaknya praktek KKN dalam privatisasi tersebut. Oleh karenanya di tahun 1998 dikeluarkan Keppres No. 72 tahun 1998 tentang Tim Evaluasi Privatisasi BUMN dengan mencabut Keppres No. 55 tahun 1996 tentang Tim Privatisasi BUMN. Akan tetapi hasil kerja Tim Evaluasi tersebut tidak pernah terdengar. Akibat krisis ekonomi 1997 yang terus berlanjut, maka Indonesia sudah terjebak hutang dan mengalami krisis utang. Kini berdasarkan conditionalities yang diterapkan oleh Bank Dunia, ADB dan IMF, maka pemerintah diminta untuk menjual 144 BUMN-nya. Privatisasi BUMN masuk di dalam persyaratan pinjaman yang dituntut oleh IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Letter of Intent. Privatisasi di sini diartikan sebagai proses swastanisasi BUMN, di mana pemilikan sahamnya sebagian besar dikuasai oleh swasta atau pengelolaan operasionalnya dilakukan dengan cara kerjasama antara pemerintah dengan investor swasta. Dalam LoI IMF tanggal 15 Januari 1998 butir no. 5 disebutkan bahwa the 49 percent limit on foreign holdings of listed shares was abolished. Menyangkut privatisasi perbankan, dalam butir no. 26 disebutkan: With technical assistance from the World Bank, the government has also taken steps to resolve the problems of the state banks and ensure their safety and soundness. The aim of this program is to improve their efficiency and subsequently privatise themThe state banks will not be recapitalised except in conjunction with privatisation. Sementara poin no. 27 dituntut: In support of the ultimate goal of full privatisation of all state banks, the government will introduce legislation by the end-June 1998 to amend the Banking law in order to remove the limit on private ownership. Dalam hal sektor listrik, LoI IMF tanggal 14 Mei 1999 butir 37 disebutkan: the government is overseeing PLNs restructuring effort. A working group of senior government and PLN officials is defining the framework of principles within which PLN conducts the renegotiations of contracts with independent power producers (IPPs) and to ensure that fair, well-structured, and transparent procedures are followed. However, all negotiations with the IPPs are being conducted by PLN on a commercial basis, without direct government involvement. Tuntutan dari IMF, Bank Dunia dan ADB tersebut pada akhirnya melahirkan Keppres No. 96 tahun 2000. Dalam Keppres tersebut ditetapkan daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan patungan antara modal asing dan modal dalam negeri, di mana dibagi ke dalam dua kelompok: (a) kepemilikan saham warga negara / Badan Hukum Asing maksimal sebesar 95%; dan (b) kepemilikan saham warga negara / Badan Hukum Asing maksimal sebesar 45%. Dari daftar itu, hanya tinggal dua bidang usaha yang masih terlindungi dalam arti saham asing dibatasi maksimal 45%, yaitu bidang usaha telekomunikasi dan angkutan udara niaga berjadwal/tidak berjadwal. Bidang-bidang lain sudah terbuka untuk dikuasai badan asing, meskipun itu menyangkut bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak sekalipun. Keppres no. 96 tahun 2000 ini adalah dasar dari dijalankannya privatisasi BUMN di Indonesia saat ini.

12

Peraturan terakhir ini dengan sendirinya telah menabrak UUD 1945 pasal 33 yang dalam penjelasannya menyebutkan: Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang. Demikian pula dalam UU no. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) tetap jelas dinyatakan bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara penguasaan penuh, yaitu bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Menurut pasal 6 UU PMA tersebut adalah sebagai berikut: (1) pelabuhan-pelabuhan; (2) produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum; (3) telekomunikasi; (4) pelayaran; (5) penerbangan; (6) air minum; (7) kereta api umum; (8) pembangkit tenaga atom; (9) media massa; (10) dan bidang-bidang yang meduduki peranan penting dalam pertahanan negara antara lain produksi senjata, mesiu, alat-alat peledak dan peralatan perang dilarang sama sekali bagi modal asing. Dalam perkembangannya, pemerintahan Megawati kembali membentuk Kementerian Pendayagunaan BUMN, dengan target-target sebagaimana yang dikehendaki di dalam LoI IMF tanggal 27 Agustus 2001 pada butir 6, yaitu Pemerintah berupaya melaksanakan program privatisasi yang telah disusun dengan persetujuan DPR. Program privatisasi tahun 2001 telah dipublikasikan 6 Agustus 2001 dan diharapkan menghasilkan Rp 6,5 trilyun. Pemerintah akan memusatkan privatisasi pada perusahaan di bidang telekomunikasi, industri, transportasi, dan pertanian. Nyatanya program privatisasi tahun 2001 kembali nihil. Ini tidak lepas dari adanya tentangan di masyarakat, baik itu yang berasal dari kalangan status-quo yang merasa terancam posisinya, kalangan pekerja yang terancam dengan PHK, kalangan masyarakat daerah yang merasa asset BUMN-nya bisa hilang, kalangan ornop yang selalu menyuarakan penentangannya terhadap ide privatisasi dan berbagai kalangan lain di masyarakat. Ini merupakan kekuatan beragam di masyarakat yang tidak menghendaki adanya privatisasi. F. GLOBALISASI PERDAGANGAN Isu-isu perdagangan global akhir-akhir ini semakin menonjol, terutama setelah Konferensi WTO keIII di Seattle tahun 1999. Kenyataannya, perdagangan yang diatur oleh GATT (General Agreement on Trade and Tariffs) dengan yang sekarang diatur oleh WTO (World Trade Organization) mengalami perubahan luar biasa. Perdagangan yang diatur oleh WTO sejak berdirinya, 1994, merambah ke bidang-bidang non-perdagangan. Ini dapat dilihat dari adanya TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Propertys Rights), TRIMS (Trade Related Investment Measures), AOA (Agreement on Agriculture) maupun New Issues yang sejak Konferensi WTO I di Singapura, terus menerus coba dipaksakan oleh negara maju, yaitu Government Procurement (Belanja Pemerintah), Investasi, Competition Policy (Kebijakan Persaingan), Lingkungan Hidup dan Perburuhan. Dengan melebarnya lingkup kerja WTO, ditambah dengan kekuatan legal binding dari agreements yang dihasilkannya, membuat WTO menjadi lembaga dunia yang sangat berkuasa. Para anggota WTO kini harus tunduk sepenuhnya pada agreements tersebut yang intinya membuat mereka harus meliberalisasikan perekonomiannya secara terjadual, disiplin, mengikat, progresif dan total. Ini membuat ekonomi negara berkembang harus menyerahkan sepenuhnya kegiatan ekonominya kepada mekanisme pasar bebas dan liberalisme ekonomi. Tidak ada lagi kebebasan dan kemandirian untuk merancang dan menyusun sendiri model perekonomiannya yang cocok dengan situasi dan kondisi negaranya masing-masing. Di lain pihak, berbagai implementasi agreements tersebut kenyataannya lebih banyak merugikan negara berkembang dan sementara itu sangat sulit untuk diterapkan. Ini akan memposisikan mereka dalam keadaan kalah dan lemah dalam menghadapi perekonomian negara maju. Hal ini nampak dari ketidakpuasan para delegasi negara berkembang di dalam Konferensi WTO III di Seattle tahun 1999 dan Konferensi WTO IV di Doha, Qatar tahun 2001 yang lalu.

13

Perundingan-perundingan yang terus berlangsung hingga kini, nampaknya tidak membawa banyak kemajuan. Apa yang terjadi di WTO telah membawa kepada dimensi internasional baru, yaitu kesadaran akan ketimpangan dan ketidakadilan di WTO. Kekritisan orang terhadap WTO kini mulai terbuka, berkat perlawanan terus menerus masyarakat sipil internasional terhadap WTO dan terhadap agen-agen globalisasi lainnya. WTO adalah bukan sekedar masalah perdagangan global, melainkan masalah power dan dominasi negara maju ke negara berkembang. Implementasi WTO menggambarkan adanya ketidak-adilan dan ketimpangan yang semakin lebar antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang dan miskin (LDC). Negara berkembang meminta adanya tinjauan atas implementasi yang ada, sehingga di dapat kesimpulan bagi pembenahan-pembenahan. Akan tetapi hal tersebut selalu ditolak oleh negara-negara maju. Implementasi yang terjadi bahkan menunjukkan kecurangan-kecurangan dari negara maju. Hal ini nampak dalam berbagai negosiasi, klausul dan aturan-aturan yang pada kenyataannya hanya menguntungkan negara maju dan memberi jalan bagi kepentingan bisnis dan korporasi-korporasi raksasa di negara maju. Berbagai manuver dan move terus menerus diupayakan negara maju yang semakin mengarah pada ketidak-seimbangan luar biasa dan gap disparitas yang semakin melebar. Disamping mendesakkan usulan New Round, negara maju dalam kenyataannya telah mengambil keuntungan lebih banyak dari implementasi yang ada. Ini dapat ditunjukkan dari adanya Special and Differential Treatment (S&D) yang seolah-olah merupakan keuntungan utama yang diberikan oleh negara maju dan WTO kepada negara berkembang. Seperti terlihat dalam nominal pengurangan yang lebih kecil atau periode implementasi yang lebih panjang. Akan tetapi realitasnya adalah kebalikannya. Meskipun schedules dianggap sebagai S&D, namun kenyataannya hanya bernilai tidak seberapa bagi negara berkembang, terutama dalam dukungan domestik dan subsidi ekspor, karena pilihan pembiayaan pemerintah sangatlah terbatas. Karenanya S&D pada dasarnya bekerja untuk keuntungan negara maju. Contohnya bisa dilihat di dalam AOA, di mana negara maju memberikan subsidi ekspor sebesar lebih dari 90% dan subsidi domestik juga sebesar 90% (di Box yang manapun). Rata-rata applied tariff negara maju untuk produk pertanian pokok (cereal, daging, produk ternak) setidaknya dua kali dari tarif yang ditetapkan negara berkembang (sekitar 40% dibanding 20%).6 Sampai sekarang negara-negara maju tetap saja menikmati subsidi secara terbuka, berkat pengecualian dalam Blue Box dan Green Box. Dalam prakteknya, maka hampir tidak ada batasan sampai seberapa besar tingkat dukungan domestik diberikan, meskipun ada komitmen pengurangan AOA. Contohnya subsidi ke produsen pertanian di negara-negara OECD berkisar 40% dari pendapatan pertanian tahun 1999, ini sama dengan persentase di pertengahan tahun 1980an. Bahkan di Jepang, Korea Selatan, Norwegia dan Swiss, angkanya sekitar 2/3. Total dukungan OECD ke pertanian di tahun 1999 adalah US$ 360 milyar, di mana 90%nya terjadi di UE, AS dan Jepang. Bandingkan dengan seluruh ekspor pertanian dari negara berkembang yang sekitar US$ 170 milyar. Bandingkan pula dengan perkiraan FAO, bahwa untuk memenuhi sasaran World Food Summit tahun 1996 bagi separuh penduduk yang kelaparan di dunia sampai tahun 2015, maka diperlukan investasi pertanian tahunan total sebesar US$ 180 milyar!7

Lengkapnya lihat Jacques Berthelot, Some Theoretical and Factual Clarifications in Order to Get to a Fair Agreement on Agriculture at the WTO, Solidarite, July 2001, hlm 4. Juga Duncan Greed dan Shishir Priyadarshi, Proposal for a Development Box in the WTO Agreement on Agriculture, CAFOD-South Centre, June 2001, hlm. 6 7 Data dari The Uruguay Round Agreement on Agriculture: The Policy Concerns of Emerging and Transition Economies, OECD 2000; Trade and Development Report 1999, UNCTAD; Mobilising Resources to Fight Hunger, FAO, April 2001; dalam Greed dan Priyadarshi, Op.cit., hlm. 3

14

Di lain pihak posisi negara berkembang semakin tersudutkan dan berada di pihak yang dirugikan. Misalnya dalam hal implementasi perjanjian tekstil dan pakaian (ATC), sangat mengecewakan. Hanya sedikit sekali tekstil yang diekspor oleh negara berkembang dikeluarkan dari daftar kuota. Menurut Textiles and Clothing Bureau pada Juni 2000, hanya sejumlah kecil restriksi kuota yang dihapus, yaitu di AS 13 dari 750 item, di UE 14 dari 219 item, dan di Kanada 29 dari 295 item.8 Selain itu mandat yang seharusnya dilaksanakan dalam Agreement on Textiles and Clothing berjalan sangat lamban, dan negara maju terus menerus mencoba menunda pelaksanaannya. Sementara itu pelaksanaan TRIPs telah banyak membawa bencana dan ancaman terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat negara berkembang. TRIPs nampaknya dibuat hanya untuk kepentingan monopoli teknologi dan HAKI perusahaan-perusahaan transnasional raksasa, dan sebenarnya mendistorsi perdagangan. Dengan berlakunya TRIPs sejak 1 Januari 2000, dan dengan itu harmonisasi regulasi yang dipaksakan, maka TRIPs menjadi ancaman nyata bagi perlindungan keanekaragaman hayati, akses obat bagi masyarakat, akses teknologi, akses bibit pertanian, dan lain-lainnya yang berjangkauan luas. Demikian pula pelaksanaan TRIMS dengan sendirinya telah membatasi pilihan-pilihan pembangunan dan industrialisasi yang mungkin bagi negara berkembang. TRIMS mematikan industri kecil dan menengah karena pembatasan local content, mematikan tumbuhnya infant industry, dan mematikan kesempatan akan fair trade dan keberpihakan kepada pengusaha kecil dan lemah. Dalam hal pertanian yang merupakan sektor strategis, negara-negara berkembang hanya punya sedikit atau tidak sama sekali memberikan dukungannya kepada petani. Bahkan seringkali sektor pertanian dikorbankan (atau ditarik pajak) ketimbang mendapat subsidi. Bahkan harga pangan ditekan rendah untuk mensubsidi sektor industri dan penduduk kota. Data menunjukkan 61 dari 71 negara berkembang di tahun 1996 telah menotifikasi untuk tidak menyediakan dukungan domestik, sebagaimana tercantum di dalam Amber Box. Hanya 13 dari 71 negara berkembang yang menotifikasi adanya penyediaan dukungan investasi dan input sebagaimana pasal 6.2 AOA. Dan di 13 negara ini, tingkat dukungannya hanya antara 0-5 persen dari produksi pertanian mereka.9 Demikian pula negara berkembang, hanya terseret-seret saja di dalam upaya meliberalisasikan pertaniannya. Indonesia yang menjadi anggota Cairns Group nyatanya bukanlah negara eksportir pertanian. Hal ini bisa menjadi fatal akibatnya bagi Indonesia bila harus menjalankan liberalisasi pertanian, sebagaimana tuntutan Cairns Group. Dengan ada di dalam Cairns Group, maka Indonesia sebenarnya diperalat saja oleh negara-negara eksportir pertanian besar, terutama Australia sebagai pemimpin Cairns Group. Banyaknya protes petani ke Istana dan Depperindag, dikarenakan derasnya import komoditas pertanian dari luar, seperti pada kasus petani beras dan petani gula. Ini sebenarnya memperlihatkan kecenderungan dari terus menurunnya kemampuan pertanian Indonesia menghadapi globalisasi. Hal ini ditunjukkan juga oleh posisi neraca perdagangan sektor pertanian yang terus menerus negatif sejak bergabungnya Indonesia di WTO. Data sejak 1996 hingga sekarang menunjukkan bahwa untuk tanaman pangan seperti beras, jagung, gandum, kacang tanah, nilai impornya lebih besar daripada ekspor. Hal ini juga terjadi di sektor peternakan, di mana terjadi neraca negatif atas daging segar dan beku, ternak hidup, serta susu dan produk susu. Di lain pihak kebijakan pertanian Indonesia tidak pernah mengantisipasi dampak buruk yang akan terjadi. Pemerintah masih pro kepada kebijakan agribisnis (yang berarti tidak berpihak kepada petani kecil yang mayoritas) dan tetap menjalankan liberalisasi pertanian, yaitu menyerahkan pertanian kepada mekanisme pasar. Semua-muanya diserahkan kepada pasar bebas, termasuk pengerdilan BULOG sebagai badan pengendali harga dan munculnya dominasi pelaku-pelaku pasar bebas, seperti pedagang dan importir sebagai pengambil keuntungan utama. Dewan
8 9

UNCTAD 1999 Trade and Development Report, dalam Aileen Kwa, June 2001, hlm. 2 Ibid., hlm. 4

15

Ketahanan Pangan yang dibentuk, juga bersifat pro-pasar dan hanya memperlakukan ketahanan pangan sebagai proyek tambal sulam. Ini nampak dari Kredit Ketahanan Pangan yang juga mengikuti ketentuan bunga komersial. Sementara itu petani Indonesia terus terpuruk dan akan bangkrut karena menghadapi impor pertanian dari luar yang serba murah dan lebih berkualitas. Globalisasi pertanian nyatanya hanya memberikan kehidupan kepada TNC pertanian yang menguasai perdagangan global, para importir, spekulan komoditas, dan pengusaha agribisnis. Kaum petani kecil/menengah dan buruh tani yang mayoritas akan kembali disingkirkan dan dipinggirkan, dan menjalani hidup serba nestapa-miskin. Dengan melihat ketimpangan-ketimpangan di atas, maka semakin nyata bahwa sistem WTO dan hasil-hasilnya yang dibawakan oleh konferensi Doha, tidak mengarah kepada suatu sistem yang berkeadilan dan berkelanjutan. Negara-negara berkembang telah dipaksa untuk masuk ke pilihan yang pahit dan merugikan. Di lain pihak, berbagai keuntungan yang didapat negara maju juga tidak menciptakan keadilan dan keberlanjutan yang sebenarnya, karena hanya berorientasi kepada bagaimana modal dan keuntungan bisa tetap bertahan dan bahkan terus berekspansi. Business as Usual. Hal ini tidaklah sesuai dengan pembangunan berkelanjutan yang diidamkan, karena semakin cepat dan semakin tinggi pertumbuhan, maka semakin mengarah kepada penghancuran alam dan lingkungan. Juga semakin mengarah kepada ketidakadilan dan pemiskinan sebagian besar manusia. Apalagi hasil Doha telah menyetujui diadakannya negosiasi baru di bidang lingkungan hidup, yang arahnya kepada pengabaian terhadap standar-standar lingkungan demi tidak mendistorsi atau menghambat arus perdagangan. Jadi hasil-hasil Doha dan berbagai implementasi WTO selama ini bertolak belakang dengan keinginan umat manusia ke arah keadilan dan keberlanjutan sistem kehidupan dan planet; malahan bergerak sebaliknya ke arah penghancuran bumi, alam dan lingkungan semakin cepat. Sistem WTO telah bertolak belakang dengan sistem PBB dalam banyak hal, karena mengancam dijalankannya berbagai protokol dan konvensi yang telah dihasilkannya, seperti konvensi keanekaragaman hayati, konvensi Kyoto, dan lainnya. Apakah hasil Doha akan bertabrakan dengan berbagai MEAs (Multilateral Environtment Agreements). Nampaknya sulit untuk dihindari, selama WTO hanya telah menjadi alat kepentingan negara maju saja, dan khususnya kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional. Dengan demikian sistem pembangunan berkeadilan dan berkelanjutan yang hendak dirancang akan berakhir gagal bila permasalahan ketidakadilan dan ketimpangan di WTO masih tetap ada dan dipertahankan. G. PENUTUP Banyak sekali kasus-kasus globalisasi yang terjadi di Indonesia yang kemudiannya telah menghancurkan dan mengorbankan Indonesia, baik dari segi kedaulatan nasional, kedaulatan hukum, dan korban berjuta-juta rakyat Indonesia yang semakin miskin memasuki masa depan yang gelap. Krisis yang terus berlanjut hingga kini adalah gambaran bahwa Indonesia merupakan korban terparah globalisasi. Ini yang tidak mau diakui oleh IMF, Bank Dunia dan para ekonom neo-liberal, yang selalu menyalahkannya kepada pemerintah dan negara bersangkutan, baik dari segi KKN, tidak transparan, bad-governance dan lainnya; karena hendak menutupi kepentingan mereka yang sebenarnya. Jadi jangan mengharap ada upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat, pemerataan dan keadilan selama globalisasi neo-liberal berlangsung. Sebaliknya yang terjadi adalah proses pemiskinan dan marjinalisasi luar biasa disertai dengan semakin lebarnya kesenjangan kaum miskin dengan sekelompok kecil kaum kaya yang merupakan komprador Bank Dunia, IMF, WTO dan TNC.***

16

You might also like