You are on page 1of 15

Jurnal Hukum Respublica, Vol. 7 No.

1 Tahun 2007: 33 46

KAJIAN YURIDIS TERHADAP CYBERPORN DAN UPAYA PENCEGAHAN SERTA PENANGGULANGAN PENYEBARANNYA DI INTERNET
Oleh: Agus Raharjo
Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Alamat Rumah: Perumaham Berkoh Indah Blok H/1 No. 369 JI. H.M. Bachroen, Berkoh Purwokerto, Jawa Tengah Telp. 0281.633207 HP 081327226556 Email: guyon bawor@yahoo.com Alamat Kantor: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Kampus Unsoed Grendeng JL H.R. Boenyamin Purwokerto Telp. & Fax (0281) - 638339

Abstract
The development of information technology and ensuing emergence of the internet world has both negative and positive impacts on human life. One of the negative impacts from the Internet is cyberporn, in particular child pornography. In dealing with this problem, the criminal code (KUHP) has criminalized cyber porn, although child-cyber pornography is yet to be covered by law. This means that the best defense against child pornography is for to block access at an individual level. The Government and police can further be assisted by internet service providers who cam block porn sites from their service. Kata kunci : cyberporn, cyber-childpornography, cyberspace, internet Perkembangan teknologi telekomunikasi dan teknologi komputer yang begitu pesat telah menghasilkan 1 internet yang multifungsi. Perkembangan ini membawa ke ambang revo lusi keempat dalam sejarah pemikiran manusia bila ditinjau dari konstruksi pengetahuan manusia yang dicirikan dengan cara berfikir yang tanpa batas 2 (borderless way of thinking).

'Samaun Samadikun, Pengaruh Perpaduan Teknologi Komputer, Telekomunikasi dan Informasi, Kompas, 28 Juni 2000, him. 52. Steven Harnad, Post-Gutenberg Galaxy: The Fourth Revolution in the Means of Production of Knowledge, Public-Access Computer System Review 2 (1): 39-53,
2

versi elektronik dapat dibaca pada http://cogprints.org/1580/00/harnad91. postqutenberq.html, akses tanggal 25 Maret 2005. Lihat juga Dimitri Mahayana,
Menjemput Masa Depan, Futuristik dan Rekayasa Masyarakat Menuju Era Global,

(Bandung: Rosda, 200), hlm. 24 25.

33

Kajian Yuridis Terhadap Cyberporn dan Upaya....... (Agus Raharjo)

Percepatan teknologi semakin lama semakin supra yang menjadi sebab material perubahan yang terus menerus dalam semua interaksi dan aktivitas masyarakat informasi. Internet merupakan big bang kedua setelah big bang pertama, yaitu material big bang menurut versi Stephen Hawking merupakan knowledge big bang dan ditandai dengan komunikasi elektromagentoopis via satelit maupun kabel, didukung oleh eksistensi jaringan telepon yang telah ada dan akan segera didukung oleh ratusan satelit yang sedang dan akan diluncurkan.3 Internet merupakan simbol material embrio masyarakat global. Internet membuat globe dunia, seolah-olah menjadi seperti hanya selebar daun kelor. Era informasi ditandai dengan aksesibilitas informasi yang amat tinggi. Dalam era ini, informasi merupakan komoditi utama yang diperjualbelikan, sehingga akan muncul berbagai network & information company yang akan memperjual-

belikan berbagai fasilitas bermacam jaringan dan berbagai basis data informasi tentang berbagai hal yang dapat diakses oleh pengguna dan pelanggan.4 Semua itu membawa masyarakat ke dalam suasana yang disebut oleh John Naisbitt, Nana Naisbitt dan Douglas Philips seba5 gai zona mabuk teknologi. Internet menghadirkan cyberspace sebagai ruang yang muncul ketika mengarungi dunia informasi global interaktif.6 lstilah ini pertama kali digunakan oleh William Gibson dalam novel fiksi ilmiahnya yang berjudul Neuromancer. Gibson mengartikan cyberspace sebagai A consensual hallucination experienced daily billions of legitimate operators, in every nation... A graphic representation of data abstracted from the banks of every computer in the human system. Unthinkable complexity. Lines of light ranged in the non space of the mind, clusters and constellations of data. Like city lights, receding!

Dimitri Mahayana,Op.Cit., hlm. 11 dan 17. Ibid.,h1m. 57. John Nasibitt, Nana Naisbitt dan Douglas Philips, High Tech, High Touch, Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 23-24. Armahedi Mazhar, Mencari Kesadaran Semesta di Mayantara,pengantar dalam buku Jeff Zaleski, Spiritualistas Cyberspace, Bagaimana Teknologi Komputer Mempengaruhi Kehidupan Keberagamaan Manusia, (Bandung: Mizan, 1999), hlm.9. ' William Gibson, Neuromancer, (New York: Ace, 1984), hlm. 51. Istilah serupa kembali muncul dalam tulisannya yang berjudul Virtual Light, London: Viking, 1993. Lihat pula Ian Lloyd, Information Technology Law, 3rd Ed, (London: Butterworths, 2000), hlm. 7. Bandingkan dengan definisi yang dikemukakan oleh Bruce Sterling yang mengatakan Cyberspace is the "place" where a telephone conversation appears to
4 5

34

Jurnal Hukum Respublica, Vol. 7, No. 1 Tahun 2007: 33 - 46 Cyberspace menampilkan rea- rakat dalam berbagai sisi realitas baru

litas, tetapi bukan realitas yang nyata sebagaimana bisa dilihat, melainkan realitas virtual (virtual reality), dunia maya, dunia yang tanpa batas. lnilah sebenarnya yang dimaksud dengan borderless world, karena memang dalam cyberspace tidak mengenal batas negara, hilangnya batas dimensi rang, waktu, dan tempat,8 sehingga penghuni-penghuninya bisa berhubungan dengan siapa saja dan di mana saja.9
Cyberspace menawarkan manusia untuk "Hidup" dalam dunia alternatif. Sebuah dunia yang dapat mengambil alih dan menggantikan realitas yang ada, yang lebih menyenangkan dari kesenangan yang ada, yang lebih fantastis dari fantasi yang ada, yang lebih menggairahkan dari kegairahan yang ada. Jagat raya cyberspace telah membawa masya-

yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, yang penuh dengan harapan, kesenangan, kemudahan dan pengembaraan seperti teleshoping, teleconference, teledildonic, virtual caf, virtual architecture, vitual museum, cybersex, cyberparty dan cyberorgasm.'

Proses cybernation yang menimbulkan harapan akan kemudahan, kesenangan dan kesempatan itu ternyata tidak selamanya demikian karena dalam cyberspace juga terdapat sisi gelap yang perlu kita perhatikan sebagaimana yang dikatakan oleh Neill Barrett, "The internet,
however, also has a darker side - in particular, it is widely considered to provide access almost exclusively to pornography. A recent, well-publicized survey suggested that over 80 % of the picture on the Internet were

occur. Not your desk. Not inside the other person's phone, in some other city. The place between the phone. The indefinite place out there, where the two of you, two human beings, actually meet and communication. Bruce Sterling, The Hacker Crackdown, Law and Disorder on the Electronic Frontier, Massmarket Paperback,

versi elektronik dapat dijumpai di http://www.lysator.liu.se/etexts/hacker/ akses tanggal 10 Oktober 2001.


8 Onno Purbo, Perkembangan Teknologi Informasi dan Internet di Indonesia, Kompas, 28 Juni 2000, hlm. 50. Kenyataan ini dipertegas dengan ungkapan yang dikemukakakan oleh Bruce Sterling, "Although it is not exactly "real", "cyberspace" is a genuine place. Things
9

happen there that have very genuine consequences. This "place" is not "real" but it is serious, it is earnest. Tens of thousands of people have dedicated their lives to it, the public service of public communication by wire and electronic. Bruce Sterling, Loc. Cit.

Yasraf Amir Piliang, Sebuah Jagat Raya Maya: lmperialisme Fantasi dan Matinya Realitas dalam kata pengantar buku Mark Slouka, Ruang yang Hilang, Pandangan Humanis tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan, (Bandung:
10

Mizan, 1999), hlm. 14-15. 35

Kaftan Yuridis Terhadap Cyberporn dan Upaya........ (Agus Raharjo)

pornographic. While the survey result itself was found to be entirely erroneous, the observation that the Internet can and does contain illicit, objectionable or downright illegal material is perfectly valid. As we shall see, the Internet support fraudulent traders, terrorist information exchanges, pedophiles, etc software pirates, computer hackers and many more."" Ungkapan senada di kemukakan oleh Mark D. Rasch. la mengungkap sisi gelap cyberspace dengan kata-kata sebagai berikut: "Rather, computer criminals, organized crime figures, drug cartels, international money lounderers, hackers and "cyberpunks" are all roaming the Internetseeking money, information or simply an opportunity to wreak havoc and destruction. ... Computer and computer bulletin boards have been used to facilitate child pornography and child abduction rings, software piracy, theft of cable services, theft of telephone services, computerized stalking, terrorist rings, narcotics dealing, as well as other forms of criminal activities including plain theft ."12 Dan sekian banyak sisi gelap yang ada dalam cyberspace, yang menjadi fokus perhatian dalam penulisan ini adalah persoalan pornografi

di internet atau cyberporn. Tulisan ini berusaha mengungkapkan tentang relevansi hukum pidana yang ada sekarang dengan cyberporn dan upaya apa yang dapat dilakukan untuk mencegah serta menanggulangi penyebaran pornografi di Internet. Pencegahan dan Penanggulangan Cyberporn dan Cyber-childpor-

nography
Berdasarkan pengkategorian kejahatan yang berkaitan dengan Internet atau cybercrime sebagaimana tersebut, cyberporn atau cyberchildpornography, masuk dalam kategori the computer as the tool of a conventional crime. Minya, komputer atau Internet hanya sebagai alat, sedangkan kejahatannya berkaitan dengan isi atau content yang disajikan oleh komputer atau internet. Tidak hanya David L. Carter yang mengkategorikan cyberpornography sebagai persoalan penggunaan internethcomputer sebagai aiat. Hal senada juga diungkapkan oleh Neill Barrett. la mengatakan bahwa internet adalah medium baru atau medium yang relatif baru dan sebagaimana layaknya semua media, media ini juga menjadi media yang tumbuh cepat untuk pornografi seperti halnya film dan video.13 Pornografi tradisional

11 Neill Barrett, Digital Crime, Policing the Cybernation, (London: Kogan Page Ltd., 1997), him. 21. Mark D. Rasch dalam The Internet and Business: A Lawyer Guide to the Emerging Legal Issues, pada bab kesebelas yang berjudul Criminal Law and the Internet, Corn puter Law Association, 1996, http://cla.org/RuhBook/chp11.htm Neill Barrett, Op.Cit, hlm. 69-70.
12 13

36

Jurnal Hukum Respublica, Vol. 7 No. 1 Tahun 2007: 33 - 46

biasanya dilakukan melalui media lama seperti buku, majalah, film dan videotape. Pornografi di internet berkaitan dengan possessing, creating, importing, displaying, publishing and/or 14 distributing pornography. Pornografi di internet berkaitan dengan isi atau content dari situs yang disajikan kepada pengaksesnya, sehingga Convention on Cybercrime dari Uni Eropa mengkategorikan pornografi ini dalam kategori Content-related offences yang terdapat dalam Title 3, article 9. Secara lengkap ketentuan tersebut menyatakan: a. Each Party shall adopt such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offen ces u nder its domestic law when committed without right and intentionally the following conduct: 1) Offering, distributing, transmitting or (otherwise) making available child pornography through a computer system; 2) Producing child pornography for the purpose of its distribution through a computer system 3) Possessing child pornography in a computer system or on a data carrier b. For the purpose of paragraph a above "child pornography" shall
14

include pornographic material that visual depicts: 1) A minor engaged in a sexually explicit conduct 2) A person appearing to be a minor engaged in a sexually conduct 3) Realistic images representing a minor engaged in a sexually explicit conduct. c. For the purpose of paragraph b above, the term "minor" is to be defined by each Party, but shall include in any case all persons under 18 year of age. Jaringan komunikasi global interaktif melalui fasilitas internet relay chat dapat digunakan untuk menyebarluaskan informasi tentang cerita ataupun gambar pornografi (baik untuk sisi gelap maupun sisi terang dari pornografi). Ruang-ruang dalam sekat-sekat (seperti yang terdapat di warung internet) ataupun di rumah-rumah pribadi bagi yang memiliki dan memasang Internet pada komputernya kelihatannya tenang dan sunyi tetapi sesungguhnya terjadi keramaian dengan lontaran kata-kata jorok dan gemuruh dalam dada karena nafsu yang memuncak. Jika keadaan sudah demikian maka akan terjadi apa yang dinamakan cyberorgasm. Cybersex dalam ruang chatting menurut Robin Hamman, dibedakan

Susan W. Brenner, What is the Model State Computer Crimes Code? University of Dayton School of Law, 2000, versi elektronik dapat dijumpai di http:// www.cybercrimes.net/shelldraft.html, akses tanggal 25 Maret 2004.

Kean Yuridis Terhadap Cyberpom dan Upaya........ (Agus Raharjo)

menjadi dua, yaitu: Computer mediated interactive masturbation in real time. In this form of cybersex, users type instructions and descriptions of what they are "doing" to each other and to themselves while mastrubation. They often using one hand while masturbation with the other dan Compu ter mediated tellin g of interactive sexual stories (in real time) with the intent of arousal. Users who take part in this form of cybersex tell each other sexual stories online with the intent of arousing themselves and other user.
15

semuia maka kita semua mesti harus waspada agar tidak menjadi korban selanjutnya. Peringatan dari Neill Barret di bawah ini periu untuk direnungkan. la mengatakan bahwa "The Internet has been described by many as a Bad Neighborhood, or as being a haven for pornography. This is certainly true: the Internet provides very many niches within which such immoral activity can be performed. It also supports criminal activity which 17 is wholly amoral in nature." Dalam konteks Indonesia, untuk persoalan pornografi memang sudah memiliki peraturannya, yaitu Pasal 282 KUHP, Pasal 283 KUHP, dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Namun, untuk persoalan pornografi anak beium memiliki aturan yang jeias. Pasal 282 dan Pasal 283 KUHP hanya mengatur tindak pidana kesusilaan. Kedua pasal dalam KUHP itulah yang selama ini menjadi andalan untuk menjerat pelaku cyberporn maupun cyber-childpornography, khususnya untuk gambar, tulisan atau benda yang mengandung unsur pornografi dan disebarivaskan di Internet. Akan tetapi seiring dengan

Internet pada dasarnya diciptakan untuk kebaikan berupa keinginan untuk menyelamatkan data penting jika meletus perang besar sebagai akibat terjadinya perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyetwaktu itu. Seiring berjalannya waktu internet menjadi alat yang memper-mudah kejahatan. Setidak-tidaknya hal itu tercermin dari apa yang dikatakan Jonathan Blumen bahwa "The Internet is "dangerous" because it is a medium for the instantaneous and 16 uncontrolled transmission of ideas." Melihat pemanfaatan internet yang semakin bergeser dari tujuan
15

Robin Hamman, Cyberorgasm, Cybersex Amongst Multiple-Selves and Cyborgs in the Narrow-Bandwidth Space of America Online Chat Rooms, 30 Sepetember 1996, versi elektronik dapat dijumpai di http://www.cybersoc.com/ Cyberorgasm.html, akses tanggal 31 Maret 2003. Jonathan Blumen, Is Pornography Bad?1995, versi elektronik dapat dijumpai di http://www.spectacle.org/Is Pornography Bad.html, akses tanggal 20 Oktober 2000. Neill Barrett, Op.Cit, hlm. 76.
16 17

38

Jurnal Hukum Respubka, Vol. 7, No. 1 Tahun 2007: 33 - 46

perkembangan teknologi dan kemudahan-kemudahan yang didapat dalam mengabadikan peristiwaperistiwa romantis, maka cyberporn dan cyber-childpornography dapat dilakukan dengan menggunakan gambar bergerak. Jika menggunakan penafsiran Pasal 283 maupun Pasal 283 KUHP, maka tidak ada kata-kata yang mencakup gambar bergerak atau film sehingga penggunaan undang-undang perfilman merupakan lex specialis derogate lege generali, seperti yang terjadi pada kasus Bandung Lautan Asmara. Beberapa peristiwa yang dapat diungkap setelah kasus Bandung Lautan Asmara juga menggunakan undang-undang perfilman sebagai dasar hukumnya.

(cyberspace) berarti telah masuk ke ruang publik dan berhak untuk diakses oleh siapa saja, sehingga penafsiran kata-kata tersebut di atas harus sampai kepada pengertian ruang publik itu. Pencegahan yang perlu dilakukan agar cyberporn maupun cyberchildpomography tidak menimbulkan efek buruk bagi generasi mendatang. Langkah yang pertama adalah melalui kebijakan kriminalisasi. Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana). Jadi pada hakikatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari "kebijakan hukum pidana" (penal policy), khususnya kebijakan formula18 sinya.

Persoalan selanjutnya adalah mengenai makna kata-kata "...dipertunjukkan atau ditempatkan di muka umum,...". Pertanyaannya adalah apakah layar komputer dapat dikatakan di muka umum. Jika ditafsirkan secara kaku, maka layar komputer yang ada warnet-warnet merupakan ruang pribadi sehingga tak dapat dikatakan di muka umum. Akan tetapi jika kita berfikir bahwa informasi (baik berupa gambar, tulisan, film atau apapun) yang telah masuk ke ruang maya

Berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan yang masuk dalam kategori cyberporn dan cyber-childpornography sebagai tindak pidana, dapat dikemukakan persoalan kriminalisasi timbul karena dihadapan kita terdapat perbuatan

w.

" Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, (Bandung: Citra Aditya, 2005), hlm.126. Lihat juga dalam Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian Cybercrime di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 90. Lihat juga pengertian kriminalisasi dari Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 32 dan 151.

fl

39

Kajian Yuridis Terhadap Cyberporn dan Upaya.......(Agus Raharjo)

yang berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap 19 perbuatan tersebut. Sebenarnya, dalam persoalan itu, tidak ada kekosongan hukum. lni terjadi jika digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini yang mestinya dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi perbuatanperbuatan yang berdimensi baru yang secara khusus belum diatur dalam 2 undang-undang. Dilihat dari pengertian kriminalisasi, sesungguhnya kriminalisasi tidak harus berupa membuat undangundang khusus di luar KUHP, dapat pula dilakukan tetap dalam koridor KUHP melalui amandemen. Akan tetapi proses antara membuat amandemen KUHP dengan membuat undang-undang khusus hampir sama, baik dari segi waktu maupun biaya, ditambah dengan ketidaktegasan

si stem hu ku m kita yang tidak menganut sistem kodifikasi secara mutiak, menyebabkan munculnya bermacam-macam undang-undang khusus. Kriminalisasi juga terkait dengan persoalan harmonisasi, yaitu harmonisasi materi/substansi dan harmonisasi eksternal (internasional/global). Harmonisasi eksternal berupa penyesuaian perumusan pasal-pasal cybercrime (khususnya cyberporn dan cyber-childpornography) dengan ketentuan serupa dari negara lain, terutama dengan Draft Convention on Cyber Crime dan pengaturan cybercrime dari negara lain. Judge Stenin Schjolberg dan Amanda M. Hubbard mengemukakan bahwa dalam persoalan cybercrime diperlukan standarisasi dan harmonisasi dalam tiga area, yaitu legislation, criminal enforcement, dan 21 judicial review. lni menunjukkan bahwa persoalan harmonisasi merupakan persoalan yang tidak berhenti dengan diundangkannya undang-

19

ini muncul ketika kita membaca tulisan Tb. Ronny R. Nitibaskara,

Problem Yuridis Cybercrime, Makalah pada Seminar tentang Cyber Law,

diselenggarakan oleh Yayasan Cipta Bangsa, Bandung, 29 Juli 2000, hlm. 2 dan 5. Upaya menafsirkan cybercrime ke dalam perundang-undangan khususnya KUHP telah dilakukan balk oleh institusi maupun individual. Lihat Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995/1996, Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional tentang Hukum Teknologi dan lnformasi, BPHN Departemen Kehakiman RI, hlm. 32-34.
20

Judge Stenin Schjolberg dan Amanda M. Hubbard, Harmonizing National Legal Approaches on Cybercrime, WSIS Thematic Meeting on Cybersecurity, ITU,
21

Geneva, 28 June-1 July 2005, Document: CYB/04, 10 June 2005, dapat dijumpai di http://www.itu.int/osg/cybersecurity//doc/Background Paper Harmonizing National and Legal Approaches on Cybercrime.pdf

40

Jurnal Hukum Respubka, Vol. 7, No. 1 Tahun 2007: 33 - 46

undang yang mengatur cybercrime, lebih dari itu adalah kerja sama dan harmonisasi dalam penegakan hukum dan peradilannya. Berkaitan dengan harmonisasi substansi, perlu adanya kecermatan. Untuk pornografi anak atau eksploitasi anak untuk pornografi (cyber-childpornography maupun paedophilia), sepertinya sudah ada kesepakatan bahwa hal tersebut dilarang. Akan tetapi, untuk pornografi pada umumnya terdapat perbedaan pandangan yang disebabkan latar sosial dan budaya yang berbeda. Banyak negara yang tidak melarang tindakan yang di negara kita dianggap sebagai pornografi, terbukti di sana majalah dan filmfilm porno beredar luas. Melihat kondisi yang seperti ini, apakah harmonisasi dapat dilakukan. Jika harmonisasi dapat dilakukan, maka langkah yang selanjutnya adalah melakukan perjanjian ekstradisi dengan berbagai negara. Cyberporn dan cyber-childpornography dapat dilakukan lintas negara sehingga perjanjian ekstradisi dan kerja sama dengan negara lain perlu dilakukan te-rutama untuk menentukan yurisdiksi kriminal mana yang hendak dipakai. Selain itu, kedua tindak pidana itu bukan kejahatan yang luar biasa atau crimes against humanity, sehingga terbatas yurisdiksi kriminalnya.

elektronik yang memiliki muatan pornografi, pornoaksi, perjudian, dan atau tindak kekerasan melalui komputer atau sistem elektronik. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) (Pasal 42). Dari ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa yang diatur adalah larangan menyebarkan pornografi secara umum, sedangkan cyberchildpornography tidak diatur sama sekali. Persoalannya adalah apakah cukup aturan umum itu mampu mengatasi cyberchildpornography yang mulai marak di Indonesia. Ini agak mengherankan karena persoalan eksploitasi sex anak dan pornografi anak telah menjadi perhatian internasional, seperti The First World Cong ress Ag ain st Commercial Sexual Exploitation of Children, Stockholm, 27-31 August 1996; International Conference on "Combatting Child Pornography on the Internet, Vienna, Hofburg, 29 September 1 October 1999; selain Konvensi Dewan Eropa mengenai Cybercrime.

Indonesia sedang melakukan upaya kriminalisasi terhadap cybercrime melalui RUU ITE yang saat ini sedang dibahas di DPR. Dalam RUU ITE Pasal 26 diatu r mengenai larangan penyebarluasan informasi

Selain itu ada usulan untuk memperluas makna delik ini, yaitu memasukkan cyberporn, atau cybersex sebagai delik perzinahan. Alasan yang mengemuka adalah bahwa cyberporn dan cybersex pada hakikatnya sama dengan delik kesusilaan yang sesungguhnya (zina atau pelanggaran kesusilaan), sehingga

41

Kajian Yuridis Terhadap Cyberporn dan Upaya.......(Agus Raharjo)

keduanya dapat dimasukkan dalam bentuk zina dalam pengertian Pasal 22 284 KUHP. Persoalan pencegahan dan penanggulangannya tidaklah cukup hanya dengan melakukan kriminalisasi yang terumus dalam bunyi pasal. Diperlukan upaya lain agar pencegaha nnya dapat dilakukan secara efektif. Pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa kerja sama antara pemerintah, aparat penegak hukum, LSM/NGO dan masyarakat dapat mengurangi angka krimina23 litas. Di Swedia, perusahaan keamanan internet, NetClean Technology berkerja sama dengan Swedish National Criminal Police Department dan NGO ECPAT, mengembangkan program software untuk memudahkan pelaporan tentang pornografi anak. Setiap orang dapat mendownload dan menginstalnya ke computer. Ketika seseora ng meragukan apakah material yang ada di internet itu legal atau tidak, orang tersebut dapat menggunakan software itu dan secara
22

langsung akan segera mendapat jawaban dari ECPAT Swedia. Kepolisian Nasional Swedia dan Norwegia juga bekerja sama dalam memutakhirkan daftar situs child pornography dengan bantuan ISP di Swedia. Situssitus tersebut dapat diakses jika mendapat persetujuan dari polisi. Mengikuti langkah Norwegia dan Swedia, ISP di Denmark mulai memblok situs child pornography sejak Oktober 2005. ISP di sana berkerja sama dengan Departemen Kepolisian Nasional yang menyediakan daftar situs untuk diblok. ISP itu juga berkerja sama dengan NGO Save the Children Denmark. Selama bulan pertama, ISP itu telah memblok 1.200 pengakses setiap hari. Di lnggris, British Telecom mengembangkan program yang dinamakan Cleanfeed untuk memblok situs pornografi anak sejak Juni 2004. Untuk memblok situs itu, British Telecom menggunakan daftar hitam dari lnterent Watch Foundation (IWF). Saat ini British Telecom memblok kirakira 35.000 akses illegal ke situs

Lihat usulan ini dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Menghadapi Perkembangan Cyber Crime Di Bidang Kesusilaan (Cybersex/ Cyberporn), Makalah dalam Seminar Nasional Cybercrime dan Cybersex/Cyberporn Dalam Perspektif Hukum Teknologi dan Hukum Pidana, Kerja samaBPHN Depkumham & S2 Hukum Undip Semarang, 6-7 Juni 2007. Dapat pula dibaca pada Barda Nawawi Arief, Delik Kesusilaan, Pornografi, Pornoaksi & Cyberporn, Cybersex, (Semarang: Pustaka Magister,2007),h1m. 79-88. "The Cybercrime Convention Committee (T-CY), Strengthening Co Operation Between Law Enforcement and the Private Sector, Examples of How the Private Sector has Blocked Child Pornographic Sites, Strasbourg, 20 February 2006, dapat
-

dijumpai di http://www.coe.int/t/e/legal affairs/legal co-operation/combating economic crime/6 cybercrime/t-cy/T-CY 2006 04-e-child.pdf

42

Jurnal Hukum Respubka, Vol. 7, No. 1 Tahun 2007: 33 - 46

tersebut. Dalam memutuskan apakah suatu situs hendak diblok atau tidak, IWF bekerja sama dengan Kepolisian Inggris. Daftar situs itu disebarluaskan kepada setiap ISP, penyedia layanan isi internet, perusahaan filter/software dan operator mobile phone. Norwegia mengikuti langkah Inggris dengan bekerja sama antara Telenor dan Kepolisian Nasional Norwegia, Kripos. Kripos menyediakan daftar situs child pornography dan Telenor memblok setiap orang yang mengakses situ situ. Telenor setiap hari memblok sekitar 10.000 sampai 12.000 orang yang mencoba mengunjungi situs itu. Langkah yang ditempuh beberapa negara tersebut di atas belum diikuti oleh negara kita. Mabes Polri secara informal pernah menghimbau para penyelenggara jasa Internet (ISP) untuk memperhatikan masalah ini, akan tetapi dalam kenyataannya, situs-situs porno masih bertebaran dan siap diakses oleh siapa saja. Hanya beberapa service provider yang membatasi pelayanan pada mesin search engine agar tidak merespon pencarian data yang mengandung kata-kata yang berbau porno. Berdasarkan data tersebut di atas, maka sudah sewajarnyalah jika kita bercermin diri untuk belajar pada bangsa lain dalam mencegah dan menanggulangi cyberporn dan cyberchildpornography. Jika undangundang yang lama (KUHP) tak cukup memberi solusi, dan undang-undang yang baru tak kunjung muncul, maka

self-defense kita adalah dengan menjaga diri kita sendiri dan keluarga (isteri dan anak-anak) agar tidak mengakses situs yang mengandung muatan informasi yang berbahaya bagi perkembangan dan pertumbuhan anak. Kesimpulan

43

Internet menciptakan ruang baru yang dinamakan cyberspace. Internet dapat membawa dampak balk dan dampak buruk. Cyberporn dan cyberchildpornography merupakan salah satu sisi gelap yang ada dalam cyberspace. Kehadiran Internet semakin mempermudah penyebaran gambar, tulisan, barang ataupun film, sehingga siapapun yang menggunakan internet dan memasuki cyberspace berpotensi untuk menjadi korban dari tindak pidana ini.

Upaya yang dilakukan bagi para penyebar cyberporn maupun cyber-

childpornography masih menggunakan aturan lama sehingga tidak dapat memuaskan, sedangkan aturan baru yang sedang dibuat tidak mencakup cyber-childpornography sehingga dikhawatirkan terjadi eksploitasi seks anak yang berlebihan karena perangkat hukumnya tidak lengkap. Sarana yang paling tepat saat ini adalah dengan melakukan self-defense, yaitu menjaga din sendiri dan keluarga agar tidak membuat dan menyebarkan gambar, tulisan atau benda yang mengandung pornografi dan tidak mengakses situs porno di Internet. Langkah ini dapat dilakukan dengan memasang software dalam komputer-

nya maupun meminta kepada service provider agar memblok situs-situs yang mengandung unsur pornografi.

Dimitri Mahayana. 2000. Menjemput


Masa Depan, Futuristik dan Rekayasa Masyarakat Menuju Era Global. Bandung: Rosda.

Daftar Pustaka Draft 27 of Convention on Cyber-crime and Explantory Memorandum. Anna Grant, et.al. 1997. Child 2001. May25. http://conventions. Pornography in the Digital Age, c oe .in t/trea ty/en /p roje c ts / Transnational Organized Crime. cybercrime27.doc. Vol. 3 No. 4, http://www.aic. Fred H. Cate. 1999. Global Inforgov.au/. m a t i o n P o l i c y ma k in g a n d Badan Pembinaan Hukum Nasional. Domestic Law, Global Legal 1995/1996. Perkembangan Studies Journal, Last update 11 Pembangunan Hukum Nasional May. htp://www.law.indiana.edu/ tentang Hukum Teknologi dan glsj/vol1/cate.html. Informasi. BPHN Departemen Kehakiman RI. Ian Lloyd. 2000. Information TechBarda Nawawi Arief. 1996. Bunga
nology Law, 3'd Ed. London: Butterworths. R ampai K ebij akan Hu kum Pidana. Bandung: Citra Aditya Jeff Zaleski. 1999. Spiritualitas Bakti. Cyberspace, Bagaimana Teknologi Komputer Mempenga__ .2005 Pembaharuhi Kehidupan Keberagamaan ruan Hukum Pidana Dalam Manusia. Mizan: Bandung. Perspektif Kajian Perbandingan. Bandung: Citra

___________ .2007.Delik Kesusilaan, Pornografi, Pornoaksi dan Cyberporn, Cybersex.

Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian Cybercrime di Indonesia. Jakarta:

Semarang: Pustaka Magister. ___________ .2007. Kebijakan


Hukum Pidana Menghadapi Perkembangan Cyber Crime Di Bidang Kesusilaan (Cybersex/ Cyberporn). Makalah dalam

RajaGrafindo Persada. Jessica Lipnack & Jeffrey Stamps. 1994. The Age of The Network,
Organizing Principles for the 21st Century, John Wiley & Sons,

Inc. Jonathan Blumen. 1995. Is Pornography Bad? http://www.specta cl e .o rg /Is Po rno gra ph y Bad.html. Nasibitt, John; Nana Naisbitt dan Douglas Philips, 2001, High
Tech, High Touch, Pencarian

Seminar Nasional Cybercrime dan Cybersex/Cyberporn Dalam Perspektif Hukum Teknologi dan Hukum Pidana, Kerja sama BPHN Depk umham dan S2 Hukum Undip Semarang, 6-7 Juni.

44

_Alma/ Hukum Respublica, Vol. 7, No. 1 Tahun 2007: 33 - 46 Makna di Tengah Perkem- Samadikun, Samaun, 2000, Pengaruh Perpaduan Teknologi bangan Pesat Teknologi, Komputer, Telekomunikasi Bandung: Mizan. dan Informasi, Kompas, 28 Neill Barrett. 1997. Digital Crime, Policing the Cybernation.

London: Kogan Page Ltd. Nitibaskara, Tb. Ronny R. 2000,


Problem Yuridis Cybercrime,

Juni. Santoso, Topo, 1996, Pornografi

Dalam Hukum Pidana Indonesia , Majalah Huk um dan

Makalah pada Seminar tentang Cyber Law, diselenggarakan oleh Yayasan Cipta Bangsa, Bandung, 29 Juli. Patrick Galley. 1999. Computer Terrorism: What areh the Risk? Swiss Federal Institute of Technology. http://www. span.ch/welcome. Prodjodikoro, Worjono, 1986, Tindaktindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Eresco, Bandung. Purbo, Onno W ., 2000, Perkembangan Teknologi Informasi dan Internet di Indonesia,

Pembangunan, No. 6 Tahun XXVI, Desember. Schjolberg, Judge Stenin dan Amanda M. Hubbard, 2005,
Harmonizing National Legal Approaches on Cybercrime,

WSIS Thematic Meeting on Cybersecurity, ITU, Geneva, 28 June-1July 2005, Document: CYB/04, 10 June, dapat dijumpai di http://www.itu.int/ o sg / c y b er s ec ur i t y/ / d o c/ ches on Cybercrime.pdf. Sita Aripurnami. 1994. Pornografi
Dalam Perspektif Perempuan.

Kompas, 28 Juni. Rasch, Mark D., 1996, The Internet


and Business: A Lawyer's Guide to the Emerging Legal Issues, Computer Law

Makalah dalam Seminar Pornografi Dalam Perilaku Kriminal. UI Depok. Slouka, Mark, 1999, Ruang yang
Hilang, Pandangan Humanis tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan, Mizan,

Association; versi elektronik dapat dijumpai di http://cla.org/ RuhBook/chp11.htm. Robin B. Hamman. 1996. Cyberorgasm, Cybersex Amongst Multiple-Selves and Cyborgs in the Narrow-Bandwidth Space of America Online Chat Rooms, 30 September. Versi

Bandung. Sterling, Bruce, 1990, The Hacker


Crackdown, Law and Disorder on the Electronic Frontier,

Massmarket Paperback, 1990 http://www.lysator. Liu.se/ etexts/hacker/. Steven Harnad. Post Gutenberg
-

elektronik dapat dijumpai di http://www.cybersoc.corn/ Cyberorgasm.html.

Galaxy: The Fourth Revolution in the Means of Produc-

tion of Knowledge, PublicAccess Computer System Review 2 (1 ): 39-53, versi elektronik dapat dibaca pada

http://cogprints.org/1580/00/ hamad91.postgutenberg.html,
akses tanggal 25 Maret 2005. Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni. Susan Brenner. 2000. What is the Model State Computer Crimes Code? University of ayton School of Law. Versi elektronik dapat dijumpai di http://

Sector, Examples of How the Private Sector has Blocked Child Pornographic Sites, Strasbourg, 20 February 2006, dapat dijumpai di http://

www.coe.int/t/e/ legal affairs/ legal co-operation/ combating economic crime/ 6 cybercrime/t-cy/TCY 2006 04-e-child.pdf.
Wahjadi Darmabrata. 1994. Pengaruh Pornografi Terhadap Sikap dan Perilaku Masyarakat. Makalah dalam Seminar Pornografi dalam Perilaku Kriminal. Universitas Indonesia Depok. William Gibson. 1984. Neuromancer. New York: Ace. . 1993. Virtual Light. London: Viking.

www.cybercrimes.net/ shelldraft.html.
The Cybercrime Convention Committee (T-CY), Strengthening Co-Operation Between Law Enforcement and the Private

You might also like