You are on page 1of 6

BAB II Penyakit Bulai Jagung (Peronosclerospora maydis)

A. Pengertian Penyakit Bulai Jagung Penyakit bulai jagung atau downy mildew disebabkan oleh cendawan Peronosclerospora maydis. Kehilangan hasil jagung akibat penularan penyakit ini dapat mencapai 100% pada varietas rentan. Klasifikasi Peronosclerospora maydis adalah sebagai berikut Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Chromista : Heterokontophyta : Oomycetes : Sclerosporales : Peronosporaceae : Peronosclerospora : Peronosclerospora maydis

Gejala penyakit bulai Gejala serangan penyakit ini secara umum menurut Maspary (2010) adalah: 1. Ada bercak berwarna klorotik memanjang searah tulang daun dengan batas yang jelas. 2. Adanya tepung berwarna putih pada bercak tersebut (terlihat lebih jelas saat pagi hari). 3. Daun yang terkena bercak menjadi sempit dan kaku. 4. Tanaman menjadi terhambat petumbuhannya bahkan bisa tak bertongkol. 5. Tanaman muda yang terserang biasanya akan mati (umur tanaman dibawah satu bulan). 6. Kadang-kadang terbentuk anakan yang banyak, daun menggulung dan terpuntir.

Gambar 1. Kenampakan gejala penyakit bulai

Gambar 2. Daun jagung yang terserang penyakit bulai

Mekanisme Penularan Pada waktu permukaan daun berembun, miselium membentuk konidiofor yang keluar melalui mulut kulit. Dari satu mulut kulit dapat keluar satu konidiofor atau lebih. Mula-mula konidiofor berbentuk batang, dan segera membentuk cabang-cabang dikotom, yang maing-masing membentuk cabang lagi (Semangun, 2004). Penyakit bulai dapat menimbulkan gejala sistemik yang meluas keseluruh badan tanaman dan dapat menimbulkan gejala lokal (setempat). Ini tergantung dari meluasnya cendawan penyebab penyakit di dalam tanaman yang terinfeksi. Gejala sistemik hanya terjadi bila cendawan dari daun yang terinfeksi dapat mencapai titik tumbuh sehingga dapat menginfeksi semua daun yang dibentuk oleh titik tumbuh itu. Pada tanaman yang masih muda, daun-daun yang baru saja membuka mempunyai bercak klorotis kecil-kecil. Bercak ini akan berkembang menjadi jalur yang sejajar dengan tulang induk, sehingga cendawan penyebab penyakit berkembang menuju kepangkal daun. Pada umumnya daun di atas daun yang berbecak itu tidak bergejala. Daun-daun yang berkembang sesudah itu mempunyai daun klorotis merata atau bergaris-garis. Di waktu pagi haripada sisi bawah daun terdapat lapisan beledu putih yang terdiri dari konidiofordan konidium. Konidium yang masih muda berbentuk bulat, dan yang sudah masak dapat menjadi jorong, dengan ukuran 12 19 x 10 23 m dengan rata-rata 19,2 x 17,0 m untuk P. maydid sedangkan untuk P. philippinensis ukuran konidiofornya 260 580 m, konidiumnya berukuran 14 55 x 8 20 m dengan rata-rata 33,0 x 13,3 m. Adanya benang-benang cendawan dalam ruang antarselnya maka daun-daun tampak kaku, agak menutup, dan lebih tegak (Semangun, 2004). Tanaman waktu terinfeksi masih sangat muda, biasanya tanaman tidak membentuk buah, tetapi bila terjadi pada tanaman yang lebih tua tanaman dapat tumbuh terus dan membentuk buah. Buah yang terbentuk sering mempunyai tangkai yang panjang, dengan kelobot yang tidak menutup pada ujungnya, dan hanya membentuk sedikit biji. Bila cendawan didaun terinfeksi pertama kali tidak

dapat mencapai titik tumbuh, gejala hanya terdapat pada daun-daun sebagai garis-garis klorotik, yang disebut juga sebagai gejala lokal (Semangun, 2004).

Gambar 4. Konidia Peronosclerospora maydis Siklus hidup Cendawan tidak dapat bertahan hidup secara saprofitik, tidak terdapat tanda-tanda bahwa cendawan bertahan dalam tanah.Pertanaman dibekas pertanaman yang terserang berat oleh bulai dapat sehat sama sekali. Oleh karena itu cendawan harus bertahan dari musim ke musim pada tanaman hidup.

Epidemiologi Pembentukan konidia jamur ini menghendaki air bebas, gelap, dan suhu tertentu, P. maydis di bawah suhu 24oC, P. philippinensis 21-26 oC. Ada beberapa faktor yang mendorong percepatan perkembangan penyakit bulai yaitu, suhu udara yang relatif tinggi yang disertai kelembaban tinggi.

Tanaman Inang Beberapa jenis serealia yang dilaporkan sebagai inang lain dari patogen penyebab bulai jagung adalah Avena sativa (oat), Digitaria spp. (jampang merah), Euchlaena spp. (jagung liar), Heteropogon contartus, Panicum spp.(millet, jewawut), Setaria spp.(pokem/seperti gandum), Saccharum spp.(tebu), Sorghum spp., Pennisetum spp. (rumput gajah), dan Zea mays (jagung) (Wasmo danBurhanuddin, 2007: Azis, 2010).

Pengendalian Penyakit Bulai Jagung Menurut Wakman, dkk., (2008) aada lima komponen pengendalian penyakit bulai pada jagung yang harus diperhatikan sebelum melakukan langkah-langkah pengendalian, yaitu : 1. Perlakuan fungisida metalaksil pada benih jagung 2. Menanam varietas jagung tahan penyakit bulai 3. Eradikasi tanaman jagung terserang penyakit bulai

4. Penanaman jagung secara serempak, dan 5. Periode bebas tanaman jagung Untuk menanggulangi OPT jagung telah dilakukan pencarian gen-gen yang tahan terhadap hama dan penyakit. Karakterisasi molekuler berbasis marka SSR (Single Sequence Repeats) dan SNP (Single Nucleotide Polymorphisms) untuk perakitan varietas jagung toleran cekaman abiotik telah dilakukan melalui sejumlah proses genotyping dan sequencing. Sejak 3 tahun terakhir skrining ketahanan hama penyakit telah mengidentifikasi sejumlah galur dengan ketahanan spesifik terhadap penyakit dan hama jagung seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Varitas dan galur toleran OPT jagung Toleran hama/penyakit Bulai Bulai 10 7,5 8-9

No 1 2 3

Varietas/Galur Bima 3 Bantimurung (Hibrida) Lagaligo (Komposit)

Hasil (t/ha)

G10104428, G101044-46, Mal 01- Bulai 2, Mal 04-1, dan G-193-1

Gambar 5. Fingerprint untuk mencari gen tahan bulai dan proses skrining bulai di lapangan Cara Pengendalian Yang Efektif I. Langkah Pertama 1) Siapkan alat dan bahan yaitu hand preyer dan air biasa. 2) Hand speyer yang telah berisi air biasa di semprotkan pada tanaman dan lahannya pada jam 04.00 s/d 05.30 pagi, mulai tanaman berumur 7 s/d 21 hari setelah tanam 3) Dengan melakukan hal tersebut maka dapat menekan perkembangan spora bulai, sehingga tanaman tidak terseranga oleh penyakit bulai.

II. Langkah Kedua 1) Siapkan alat dan bahan yaitu hand preyer dan air biasa dan fungisida. 2) Hand speyer yang telah berisi air biasa dan fungisida di semprotkan pada tanaman dan lahannya pada jam 04.00 s/d 05.30 pagi, mulai tanaman berumur 7 s/d 21 hari setelah tanam. 3) Dengan melakukan hal tersebut maka dapat menekan perkembangan spora bulai, sehingga tanaman tidak terseranga oleh penyakit bulai. Dibawah ini sejumlah upaya yang dapat dilakukan untuk mengendalikan penyakit bulai di lapangan: 1. Penggunaan varietas tahan seperti jagung hibrida varietas Bima-1, Bima-3, Bima-9, Bima-14 dan Bima-15 serta jagung komposit varietas Lagaligo dan Lamuru. 2. Periode bebas tanaman jagung hal ini dikhususkan kepada daerah-daerah endemik bulai dimana jagung ditanam tidak serempak, sehingga terjadi variasi umur yang menyebabkan keberadaan bulai dilapangan selalu ada, sehingga menjadi sumber inokulum untuk pertanaman jagung berikutnya. 3. Sanitasi lingkungan pertanaman jagung sangat perlu dilakukan oleh karena berbagai jenis rumput-rumputan dapat menjadi inang bulai sehingga menjadi sumber inokulum pertanaman berikutnya. 4. Rotasi tanaman dengan tujuan untuk memutus ketersediaan inokulum bulai dengan menanam tanaman dari bukan sereal. 5. Eradikasi tanaman yang terserang bulai. 6. Penggunaan fungisida (b.a. Metalaksil) sebagai perlakuan benih (seed treatment) untuk mencegah terjadinya infeksi bulai lebih awal dengan dosis 2,5 -5,0 g/kg benih.

Azis, R. 2010. Penyakit bulai pada tanaman jagung.http://azisrifianto.blogspot.com/2010/ 08/penyakitbulai-downey-mildew-pada.html. Diakses Januari 2011. Rahamma, S., Pakki,S dan Wakman,W. 1998. Identifikasi Ras Penyakit Bulai (Peronossclerospora maydis) Pada Tanaman Jagung. Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain , vol.2. Hal. 45 48.

Semangun,H. 2004. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gajah Mada University Press. 449 hal.

You might also like