You are on page 1of 107

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

DIKTAT KULIAH TL-3204

PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3)

DISIAPKAN OLEH : PROF. ENRI DAMANHURI

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
EDISI SEMESTER II 2009/2010
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 1

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 2 KATA PENGANTAR 3 BAGIAN I : PENDAHULUAN 1 Umum 4 2 Kasus kucing menari di Minamata 7 3 Kasus love canal (Amerika Serikat) 8 4 Kasus kabut dioxin si Seveso (Italia) 10 5 Kasus Kepone di Hopewell (Amerika Serikat) 11 6 Kasus laha Stringfellow di Kalifornia 12 BAGIAN II : PERATURAN DALAM PENGELOLAAN B3 1 Umum 13 2 Pengelolaan B3 dalam PP 74/2001 14 3 Karakterisasi B3 menurut PP74/2001 18 BAGIAN III : PERATURAN DALAM PENGELOLAAN LIMBAH B3 1 Umum 21 2 Pengelolaan limbah B3 dalam PP18/99 jo PP85/99 22 3 Konsep cradle-to-grave Amerika Serikat 30 BAGIAN IV : PELABELAN, PENYIMPANAN DAN PENGANGKUTAN 1 Umum 35 2 Dokumen 35 3 Simbol dan label 36 4 Pengemasan dan pewadahan 40 5 Penyimpanan dan pengumpulan 44 6 Pengangkutan 48 BAGIAN V : SIFAT DAN KARAKTERISTIK BAHAN KIMIA BERBAHAYA 1 Umum 50 2 Kelas kebakaran 51 3 Informasi tingkat bahaya 52 4 Dokumen material safety data sheets (MSDS) 5 Bahan kimia korosif 56 6 Bahan kimia yang reaktif pada air 60 7 Bahan kimia toksik 64 8 Senyawa pengoksidasi 71 9 Beberapa senyawa organik berbahaya 75 BAGIAN VI : LIMBAH RADIOAKTIF 1 Umum 81 2 Sifta-sifat radioaktivitas 81 3 Pengelolaan limbah radioaktif 85 BAGIAN VII LIMBAH MEDIS DAN RUMAH TANGGA 1 Limbah medis 94 2 Limbah berbahaya dari rumah tangga 99

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 2

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

KATA PENGANTAR

Diktat ini disusun untuk membantu mahasiswa yang mengambil mata kuliah TL3204 Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Kurikulum-2008 pada Program Sarjana Teknik Lingkungan FTSL ITB. Bahan kuliah ini merupakan penyesuaian dari Diktat Kuliah TL-352 Pengelolaan Limbah B3, yang mulai diperkenalkan pada Program Sarjana Teknik Lingkungan ITB Kurikulum 1993. Pada kurikulum-kurikulum sebelum 1993, materi ajar tentang limbah B3 secara terpisah tercakup dalam beberapa mata kuliah yang membahas masalah penanganan limbah. Sejak Kurikulum 2008, materi kuliah Pengelolaan Limbah B3 berganti nama menjadi Pengelolaan B3, yaitu mempertegas bahwa materi kuliah ini bukan hanya membahas limbah, tetapi juga bahan yang berbahaya. Diktat ini disusun dengan acuan 14 sesi pertemuan tatap muka dalam semester II di ITB, termasuk 3 sesi diskusi tugas di kelas. Beberapa bagian dari diktat ini membahas materi yang akan dibahas lebih rinci lagi dalam mata kuliah yang berada pada semester yang lebih tinggi, sehingga materi yang ada dalam diktat ini dapat dikatakan bersifat umum untuk memberikan gambaran secara utuh tentang Pengelolaan B3. Untuk penyusunan diktat ini digunakan beberapa rujukan literatur dari negara industri seperti tercantum dalam Daftar Pustaka. Beberapa rujukan yang sangat dominan dalam penyusunan diktat ini dicantumkan secara khusus pada setiap akhir Bagian. Walaupun diktat ini bertujuan untuk membantu mahasiswa yang mengambil mata kuliah TL-3204 pada Program Sarjana, namun bahan yang diberikan pada Diktat ini relevan untuk digunakan pula pada Program Magister, serta tidak tertutup kemungkinan bahwa diktat ini bisa bermanfaat pula bagi mereka yang berminat dengan masalah bahan dan limbah B-3, sebab sangat jarang sekali bahan ajar ini ditulis secara utuh dalam Bahasa Indonesia. Semoga bermanfat bagi kita semua. Bandung, Februari 2010 Prof. Enri Damanhuri Program Sarjana Teknik Lingkungan FTSP ITB

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 3

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

BAGIAN I PENDAHULUAN
1 UMUM Penggunaan kimia dalam kebudayaan manusia sudah dimulai sejak zaman dahulu. Kimia merupakan salah satu ilmu pengetahuan alam, yang berkaitan dengan komposisi materi, termasuk juga perubahan yang terjadi di dalamnya, baik secara alamiah maupun sintetis. Senyawa-senyawa kimia sintetis inilah yang banyak dihasilkan oleh peradaban modern, namun materi ini pulalah yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan yang berbahaya. Dengan mengetahui komposisi dan memahami bagaimana perubahan terjadi, manusia dapat mengontrol dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan manusia. Pelepasan bahan berbahaya pada tahun 1990-an di Indonesia, Filipina, dan Thailand diprakirakan telah meningkat menjadi sekitar empat, delapan, dan sepuluh kali lipat. Intensitas atau perbandingan antara limbah bahan berbahaya yang ditimbulkan dengan unit hasil industri secara mencolok juga meningkat, terutama di daerah industrialisasi yang berkembang dengan cepat seperti di negara-negara ASEAN dan China. Pada permulaan tahun 1970-an, lebih dari 85% hasil industri Indonesia berasal dari kegiatan industri yang berlokasi di Pulau Jawa. Sekitar 55% dari pusat-pusat industri di Pulau Jawa berlokasi di daerah perkotaan, yang kemudian naik menjadi 60% pada tahun 1990. Di empat kota saja (Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang) terdapat sekitar 36% dari total industri di Pulau Jawa, yang setara dengan sekitar 27% dari seluruh hasil industri Indonesia. Perkembangan industri disamping berdampak positif pada perkembangan ekonomi, juga menimbulkan dampak negatif tidak hanya pada pusatpusat industri dan daerah sekitarnya tetapi juga pada tingkat nasional, regional dan lingkungan secara global. Menurut World Bank ada 3 pola pertumbuhan industri yang perlu diperhatikan, yaitu : - Kecepatan pertumbuhan sektor industri - Distribusi spasial yang belum merata - Pergeseran jenis industri Sektor lain yang berpotensi dampak negatif pada lingkungan adalah kegiatan pertambangan - perminyakan, kegiatan medis dan kegiatan pertanian Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (menggantikan UU No. 4/1982), menempatkan masalah bahan dan limbah berbahaya sebagai salah satu perhatian utama, akibat dampaknya terhadap manusia dan lingkungan bila tidak dikelola secara baik, dengan definisi sebagai bahan berbaya dan beracun. Pasal 58 sampai Pasal 61 UU-32/2009 mengatur larangan membuang dan mengatur pengelolaan limbah dan B3. Selanjutnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 74/2001 mengatur lebih lanjut tentang pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3), dan PP 18/99 juncto 85/99 mengatur lebih lanjut tentang pengelolaan limbah B3. Masalah limbah menjadi perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah Indonesia, khusunya sejak dekade terakhir ini, terutama akibat perkembangan industri yang merupakan tulang punggung peningkatan perekonomian Indonesia. Peraturanperaturan tentang masalah ini telah banyak dikeluarkan oleh Pemerintah, tetapi di
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 4

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

lapangan banyak mengalami hambatan. Penanganan limbah merupakan suatu keharusan guna terjaganya kesehatan manusia serta lingkungan pada umumnya. Namun pengadaan dan pengoperasian sarana pengolah limbah ternyata masih dianggap memberatkan bagi sebagian industri. Keaneka ragaman jenis limbah akan tergantung pada aktivitas industri serta penghasil limbah lainnya. Mulai dari penggunaan bahan baku, pemilihan proses produksi, pemilihan jenis mesin dan sebagainya, akan mempengaruhi karakter limbah yang tidak terlepas dari proses industri itu sendiri. Sebagian dari limbah industri tersebut berkatagori hazardous waste. Tetapi jenis limbah ini berasal pula dari kegiatan lain, seperti dari aktivitas pertanian (misalnya penggunaan pestisida), kegiatan enersi (seperti limbah radioaktif PLTN), kegiatan kesehatan (seperti limbah infectious dari rumah sakit) atau dari kegiatan rumah tangga (misalnya penggunaan batere merkuri). Namun sebagian besar jenis limbah yang dihasikan, biasanya berasal dari kegiatan industri. Limbah berkatagori non-hazardous tidak perlu ditangani seketat limbah hazardous, walaupun limbah tersebut berasal dari industri. Sesuai dengan PP 18/99 juncto 85/99, padanan kata untuk Hazardous Waste yang digunakan di Indonesia adalah Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan disingkat menjadi Limbah B3. Revolusi industri dan penggunaan bahan kimia organik yang terus meningkat setelah perang dunia ke 2, bukan saja mengakibatkan kenaikan timbulan limbah secara dramatis, namun pula menimbulkan masalah toksisitas dari limbah tersebut. Penemuan minyak (petroleum) pada pertengahan tahun 1880 menyebabkan meningkatnya produk kimia organik disertai limbahnya. Masyarakat industri menghasilkan produk mulai dari gasoline, naphta ke kerosene. Manusia membutuhkan lebih banyak jenis produk baru yang akhirnya menghasilkan limbah yang spesifik. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, industri memfokuskan dirinya pada produksi plastik dan pestisida. Di Amerika Serikat misalnya, timbulan limbah berbahaya pada tahun 1984 diprakirakan sekitar 300 juta ton. Dampak negatif akibat limbah tersebut adalah kontaminasi sumber-sumber air, terganggunya kesehataan masyarakat serta penurunan kualitas ekologi lingkungan. Masalah penanganan limbah berbahaya ini juga merupakan obyek dagang yang tidak terpuji, misalnya pembuangan limbah berbahaya negara maju ke negara yang sedang berkembang, sehingga biaya pengolahannya dapat ditekan. Sebelum krisis ekonomi 1997, negara-negara di wilayah Asia and Pasifik secara keseluruhan memperlihatkan pertumbuhan industri yang kuat bila dibandingkan dengan tempat-tempat lain di dunia, bahkan pertumbuhan industri negara-negara sedang berkembang di wilayah ini lebih menonjol. Industrialisasi yang cepat telah menciptakan sebuah peluang baru untuk mendistribusikan hasil-hasil pembangunan dengan lebih efektif di negara-negara tersebut, sehingga dapat mengurangi kemiskinan. Walaupun demikian, industrialisasi juga menimbulkan dampak secara langsung, tidak hanya pada pusat-pusat industri dan daerah sekitarnya, tetapi juga pada tingkat nasional, regional dan lingkungan secara global. Tingginya jumlah limbah industri yang dihasilkan per unit hasil industri merupakan salah satu dari masalahmasalah utama yang ada. Beberapa negara di wilayah ini malah menghasilkan limbah dalam jumlah yang tinggi. Secara keseluruhan, sektor industri telah mengakibatkan beban pencemaran : Melalui peningkatan kuantitas cemaran dalam jangka waktu pendek dan menengah; dalam jangka waktu panjang kuantitas cemaran mungkin menurun jika terjadi perubahan yang drastis dengan adanya industri yang lebih bersih lingkungan, atau jika kontribusi sektor industri itu sendiri menurun; Melalui perubahan intensitas pencemaran terhadap hasil industri, yaitu berubahnya jumlah pencemaran yang ditimbulkan per unit hasil industri.
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 5

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Pengelolaan limbah berbahaya telah menjadi perhatian Pemerintah Amerika Serikat semenjak penemuan tempat pengurugan limbah yang tidak memenuhi syarat di Love Canal, New York. Pada waktu itu juga ditemukan sejumlah besar tempat-tempat yang terkontaminasi oleh limbah berbahaya di seluruh dunia. The US Office of Technology and Assessment memprakirakan bahwa biaya pemulihan semua tempat yang telah diidentifikasi di Amerika Serikat adalah sekitar US $ 500 milyard. Biaya implementasi sebuah program pengontrolan dan penyediaan sarana sebetulnya akan lebih kecil dibandingkan dengan upaya pemulihan lahan yang tidak dikelola secara baik. Bahan pencemar berbahaya dan beracun yang dihasilkan oleh industri adalah seperti logam berat, sianida, pestisida, cat dan zat warna, minyak, pelarut, dan zat kimia berbahaya lainnya. Timbulan logam-logam berat dari industri di wilayah Asia dan Pasifik telah dinilai melebihi nilai batas ambang yang aman. Sampai tahun 1994, pelepasan bahan berbahaya ini di Indonesia, Filipina, dan Thailand diprakirakan telah meningkat masing-masing menjadi sekitar empat, delapan, dan sepuluh kali lipat. Intensitas atau perbandingan antara limbah berbahaya yang ditimbulkan dengan unit hasil industri secara mencolok juga meningkat, terutama di daerah industrialisasi yang berkembang dengan cepat seperti di negara-negara ASEAN dan China. Pada daerah perkotaan di Indonesia seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang, dari tahun 1970 sampai 1990 limbah penduduk dan industri telah menurunkan kualitas air sungai di bagian hilir seperti Cisadane, Ciliwung, Kali Surabaya, Kali Berantas dan Citarum. Di pulau Jawa khususnya, 70 % industri berlokasi di kawasan-kawasan perkotaan dan sekitarnya. Kegiatan industri juga sangat berpotensi menghasilkan limbah berbahaya, yang diprakirakan akan meningkat kurang dari 200.000 ton pada tahun 1990 menjadi sekitar 1 juta ton pada tahun 2010. Bila industri yang terlibat dalam komoditi proses terus meningkat di masa datang, akan menambah beban bagi sumber daya alam, termasuk bertambahnya biaya dan resiko akibat pencemaran lingkungan. Menurut analisa Bank Dunia (1994), di Indonesia akan terjadi pergeseran komposisi industri secara sektoral, yaitu industri proses akan tumbuh lebih lambat dibanding industri perakitan. Dalam hal ini, industri proses dinilai lebih intensif terhadap pencemaran. Dilaporkan pula oleh Bank Dunia bahwa intensitas pencemaran dari limbah berbahaya ternyata cenderung meningkat sejak tahun 1970, yang ditandai dengan meningkatnya cemaran-cemaran toksik dan logam-logam bioakumulatif. Bila strategi pengembangan industri tidak berubah seperti periode tersebut, kontribusi pulau Jawa terhadap cemaran-cemaran toksik akan cenderung stabil, yaitu sekitar 2/3 dari total cemaran di Indonesia. Lebih dari 75 % diantaranya merupakan cemaran-cemaran logam yang bioakumulatif, dan 85 % diantaranya akan terkonsentrasi di daerah perkotaan. Secara keseluruhan, kontribusi industri terhadap pencemaran akan menurun, yaitu dari 70 % pada saat ini menjadi 60 % pada tahun 2020, namun beban cemarannya secara absolut akan meningkat sekitar 10 kali. Mengacu pada pengalaman negara industri seperti Amerika Serikat, peranan sektor industri akan berkontribusi besar dalam produksi limbah berbahaya. Namun kontribusi sektor-sektor lain juga perlu pula mendapat perhatian terutama dari : Kegiatan medikal dan laboratorium, yang berpotensi menghasilkan limbah toksik dan infectious Kegiatan pertanian dan agro-wisata, yang berpotensi menghasilkan limbah biosida. Tingkat pencemaran pestisida dan pengaruhnya terhadap kesehatan di Indonesia sulit untuk diprakirakan. Selama periode 1984-89, Departemen Kesehatan melaporkan sebanyak 1614 kasus keracunan, diantaranya terdapat 161 kasus (10%) yang menyebabkan kematian. Menurut WHO telah terjadi 3 juta kasus keracunan pestisida
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 6

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

akut dan 220.000 kematian setiap tahunnya di seluruh dunia. Hampir semua kasus tadi (90-99%) terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Dengan asumsi rata-rata kasus kematian karena pestisida seluruh dunia sebesar 0,00005 maka diprakirakan kasus kematian karena pestisida di Indonesia adalah sekitar 9000 per tahun. Pengalaman negara industri dengan masalah limbah B3 nya hendaknya memberikan masukan bagi pengambil keputusan atau fihak-fihak terkait di Indonesia untuk tidak menyebabkan kasus-kasus yang terjadi di negara industri tersebut terulang lagi di negara Indonesia. Dalam diktat ini, contoh- contoh tentang masalah limbah B3 dan pengelolaannya diambil dari pengalaman negara industri, khususnya Amerika Serikat guna memberikan gambaran kepada mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini pada khususnya, atau fihak-fihak lain pada umumnya akan pentingnya pengelolaan limbah B3 terutama bagi negara Indonesia yang diharapkan akan menjadi negara industri dalam masa mendatang. Berikut ini akan diberikan illustrasi berbagai kasus yang menyangkut bahan atau limbah B3 dari negara industri, yang secara kenyataan telah lebih maju dari Indonesia baik dari segi keberadaan industrinya, keberadaan peraturan perundang-undangannya ataupun kesiapan masyarakatnya. 2 KASUS PENYAKIT "KUCING MENARI" DI MINAMATA Pada tahun 1932, Chisso Chemical Corporation membuka pabrik pupuk kimia di Minamata (terletak di pulau Kyushu, Jepang Selatan). Penduduk di sekitarnya adalah nelayan atau petani. Chisso mempekerjakan penduduk setempat (sekitar 1/3 tenaga pekerjanya), sehingga tidak menimbulkan masalah sosial pada awal pendiriannya. Kasus Minamata ini terkenal di dunia bila membicarakan masalah industri, limbah dan kesehatan masyarakat, yang terungkap setelah sekitar 600 ton merkuri, yang digunakan sebagai katalis dalam prosesnya, dibuang secara bertahap sekitar 45 tahun. Merkuri didapat di alam, merupakan logam warna putih-perak, termasuk logam berat, dan berada fasa cair pada suhu biasa, dan biasanya digunakan sebagai katalis. Pada tahun 1714 Gabriel Fahrenheit menggunakan merkuri ini untuk termometer. Mikroorganisme dalam air mengkonversi logam ini menjadi methylmercure, dengan prakiraan 70 - 100 tahun akan persistan di alam. Merkuri alamiah dapat dievakuasi oleh tubuh manusia secepatnya melalui urin, sedang mercuri organik bersifat biokumulasi, yang dapat menyerang syaraf dan otak. Sinyal pertama kasus ini datang pada tahun 1950, yaitu sejumlah ikan mati tanpa diketahui sebabnya. Tahun 1952 timbul penyakit aneh pada kucing yang kadangkala berakhir dengan kematian. Antara tahun 1953 - 1956 gejala yang dikenal sebagai "kucing menari" ditemui pula pada manusia. Beberapa diantaranya meninggal dunia. Tetapi Chisso paada awalnya belum dicurigai sebagai penyebab, hanya diketahui bahwa korban mengalami keracunan akibat memakan ikan yang berasal dari laut sekitar pabrik itu. Chisso kemudian mengeluarkan daftar bahan yang digunakan dalam pabriknya, tetapi tidak tercantum merkuri dalam daftar tersebut, walaupun diketahui bahwa merkuri digunakan sebagai katalis proses dari pabrik tersebut. Penelitian penyebab penyakit tersebut secara intensif dilakukan oleh pemerintah. Asosiasi industri kimia Jepang juga membantu Chisso dalam melacak masalah ini dengan melakukan penelitian-penelitian, tetapi tidak mendapatkan hasil memuaskan. Pencemaran mercuri tetap berlanjut. Kasus penyakit ini juga terus berlanjut, dan terutama menyerang anak-anak. Tahun 1956 masyarakat sekitarnya mengadakan aksi menentang keberadaan Chisso. Chisso memberikan santunan pada korban dan yang meninggal, tanpa mengetahui penyebab masalah ini. Kasus ini lama kelamaan terungkap, karena korban umumnya mengandung merkuri yang berlebihan pada
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 7

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

tubuhnya. Tahun 1976 sekitar 120 penduduk Minamata meninggal karena keracunan merkuri dan 800 orang menderita sakit. Tahun 1978, 8100 penduduk mengklaim hal ini, dan 1500 diantaranya yang diperiksa diketahui keracunan merkuri. Akhirnya pembuangan merkuri dihentikan dengan ditutupnya pabrik tersebut, dan pemerintah menyatakan bahwa Chisso adalah penanggung jawab penyakit yang berjangkit di Minamata. 22 Maret 1979 dua pemimpin Chisso , yang pada saat itu telah berumur 77 tahun dan 68 tahun, dihukum masing-masing 2 tahun dan 3 tahun penjara. Disamping itu, korban kasus ini menerima santunan yang dibebankan pada Chisso. 3 KASUS LOVE CANAL (AMERIKA SERIKAT) Dengan dibangunnya pembangkit listrik tenaga air di Niagara Falls pada tahun 1890, maka industri menjadi berkembang pesat di daerah tersebut. William T. Love pada tahun 1892 merencanakan membuat sebuah kanal yang akan dapat menghubungkan bagian hulu dan hilir sungai Niagara, sepanjang sekitar 7 mil. Direncanakan bahwa di sekitar kanal tersebut akan dibangun kawasan industri dan pemukiman untuk memanfaatkan tenaga listrik yang ada. Pembangunan dimulai tahun 1893. Namun pembangunan kanal tersebut tidak dilanjutkan, dan menyisakan dua bagian yang tidak terhubungkan, masing-masing sepanjang seperempat mil. Niagara Falls menjadi pusat industri, khususnya industri kimia. Produk kimia yang dihasilkan antara lain adalah natrium hidroksida, yang merupakan produk elektrolisa natrium khlorida. Elektrolisa ini juga menghasilkan produk samping (by-product) yang tidak diinginkan yaitu khlor, yang terproduksi dalam jumlah besar. Pengembangan penelitian menghasilkan alternatif pemanfaatan produk samping ini menjadi bahan organik berkhlor seperti plastik, pestisida dan hasil industri antara lainnya. Pada saat itu fihak pemerintah dan industri belum mengetahui akibat samping dari produk ini. Belum seorangpun yang menyadari bahwa keuntungan dari pestisida seperti DDT, endrin atau dari bahan organik berklor lainnya seperti pelarut berkhlor akan mendatangkan masalah bagi lingkungan di kemudian hari. Pada tahun 1930-an, Hooker Chemical and Plastic Corporation yang memproduksi bahan kimia di daerah tersebut mulai mengurug limbahnya pada bagian utara Love Canal yang belum terselesaikan. Sampai tahun 1947 dapat dikatakan daerah tersebut menjadi lahan pengurugan beragam jenis limbah terutama dari industri, termasuk pula abu sisa pembakaran dari kota. Bahkan Angkatan Darat Amerika Serikat juga mengurug sejumlah besar residu senjata biologis walaupun secara resmi fihak Pentagon menolak tuduhan tersebut. Tahun 1952 kanal tersebut ditutup oleh Hooker Chemical. Tahun 1953 fihak kotamadya meminta Hooker Chemical untuk menjual sebagian lahan kanal tersebut untuk pembangunan sekolah baru. Fihak Hooker menjual sebagian kanal tersebut ke pengelola kota hanya seharga US $ 1. Sekolah kemudian dibangun berdampingan dengan daerah yang sebelumnya adalah pengurug limbah industri. Sebagian dari lahan tersebut dijadikan taman bermain. Sering dijumpai anak-anak bergembira menemukan residu fosfor yang dapat menimbulkan bunga api bila dilemparkan ke permukaan yang berbatu. Pada tahun 1958 tiga anakanak mengalami luka bakar akibat terpapar dengan residu yang muncul ke permukaan. Seorang keluarga di dekat Love Canal melahirkan anak dengan cacat fisik dan mental, tetapi hal ini dianggap alamiah. Pada suatu pagi di tahun 1974, satu keluarga mendapatkan kolam renang mereka menjadi lebih tinggi sekitar 60 cm. Ketika kolam ini dibongkar, maka galiannya langsung terisi air tanah berwarna kuning, biru dan ungu, dengan sifat yang sangat tajam, yang dapat menghanguskan akar pohon sekitarnya. Tahun 1959 sebuah keluarga lain mendapat masalah di lantai bawahnya (basement) dengan adanya lumpur hitam yang masuk ke dalamnya. Segala upaya dicoba untuk
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 8

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

menghentikannya. Akhirnya mereka membuat lobang untuk mengetahui apa yang terdapat di balik tembok. Sejumlah besar cairan hitam masuk memenuhi ruangan. Sejak saat itu, masalah Love Canal mulai diketahui dan diperhatikan. Delapan bulan setelah kejadian kolam renang di atas, dilakukan pengambilan sampel udara di beberapa basement rumah di daerah tersebut. Hasilnya adalah bahwa udara di daerah tersebut mengandung bahan-bahan toksik yang berada di atas ambang threshold-limit value (TLV). Survai kesehatan juga dimulai dan dijumpai bahwa keguguran spontan ternyata 250 kali lebih tinggi dibandingkan kondisi normal. Sampel darah yang diambil juga menunjukkan indikasi adanya kerusakan hati yang meningkat. Kelahiran cacat fisik dan mental juga sering dijumpai. Disamping itu, senyawa-senyawa toksik berhalogen terdeteksi pada sistem penyaluran air buangan kota. Analisa lebih lanjut menemukan bahwa cemaran kimia dalam konsentrasi tinggi telah mencemari air tanah, termasuk diantaranya 11 jenis cemaran penyebab kanker seperti benzene, chloform dan trichloroethylene. Hooker Chemical akhirnya mengeluarkan pernyataan bahwa sekitar 22.000 ton limbah kimia, diantaranya 200 ton trichlorophenol, telah diurug di lahan-urug tersebut. Mulai tahun 1976, sejumlah limbah kimia mulai muncul di halaman beberapa rumah. Keluhan mereka pada fihak pemerintah kota tidak ditanggapi, agaknya mereka tidak ingin mengganggu kegiatan Hooker yang telah mempekerjakan sekitar 3000 penduduk setempat, dan yang sedang merencanakan membangun pusat kegiatan senilai US $ 17 juta. Akhirnya pada tahun 1977 fihak pemerintah kota mengakui adanya masalah ini, namun tetap tidak ingin menentukan yang bertanggungjawab. Mereka menganggap bahwa masalah ini bukanlah suatu krisis yang besar. Pendapat ini tetap berlangsung sampai pemerintah negara bagian mulai ikut campur. Pemerintah negara bagian memerintahkan komisi kesehatan melakukan penelitian, dan memerintahkan memagari sekeliling lahan serta memberikan ventilasi pada basement yang tercemar. Berdasarkan pertemuan dengan penduduk setempat, maka diputuskan penutupan sekolah dan pengungsian anak-anak dan wanita yang sedang hamil yang tinggal berdekatan dengan kanal. Namun dibutuhkan dana untuk melaksanakan kegiatan ini. Dengan bantuan USEPA, 237 keluarga akhirnya diungsikan. Sebagian besar dari anggota keluarga ini secara rutin mengalami gangguan fisik seperti iritasi, sakit kepala, cepat lelah, susah tidur dan diantaranya juga cacat mental. Peraturan pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah negara bagian adalah menghentikan sama sekali pelindian yang tidak terkendali, mencegah kemungkinan pelindian di masa datang dan menutup kanal. Suatu recana perbaikan dan penyembuhan (remedial) mulai dirancang, diantaranya pembuatan drainase untuk mengalirkan lindi dan memompanya ke suatu tangki pengumpul untuk kemudian diolah sebelum dialirkan kembali pada sistem penyaluran air buangan kota. Kanal tersebut juga ditutup setebal 2,5 meter tanah kedap untuk menghindari masuknya air dari luar. Kegiatan remediasi tersebut dianggap terlalu lambat oleh penduduk sekitarnya, walaupun pemerintah negara bagian mengajukan tuntutan denda pada Hooker Chemical sebesar US$ 635 juta. Mereka menginginkan kompensasi yang lebih dari itu. Studi pada tahun 1980 mengemukakan adanya bukti kerusakan khromosom pada penduduk, sehingga Pemerintahan Carter pada saat itu memerintahkan evakuasi sekitar 700 keluarga lagi, tetapi pemerintah negara bagian menolak sampai adanya kejelasan kompensasi bagi penduduk. Dari sudut teknik, Hooker mengemukakan bahwa teknologi yang mereka gunakan adalah sesuai dengan peraturan yang berlaku, yang tetap digunakan oleh Pemerintahan Carter. Namun akhirnya dicapai kesepakatan di pengadilan antara 1345 penduduk dengan Occidental Petroleum, induk perusahaan Hooker Chemical.
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 9

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Kasus Love Canal menyebabkan adanya perbaikan dan pengetatan peraturanperaturan yang berlaku di Amerika Serikat dalam menangani limbah B3, karena ternyata bukan hanya lahan ini saja yang secara peraturan sebetulnya telah sesuai dengan yang berlaku. Kegiatan remediasi lahan yang terkontaminasi akhirnya menjadi salah satu program yang digalakkan di Amerika Serikat bagi lahan yang tercemar. 4 KASUS KABUT DIOXIN DI SEVESO (ITALIA) Salah satu kasus limbah berbahaya yang terkenal adalah peristiwa kabut dioxin di Seveso (Italia). Dioxin adalah nama umum untuk grup polychlorinated dibenzodioxins (PCDD). Atom chlor pada senyawa PCDD menghasilkan sampai 75 isomer dengan toksisitas yang sangat bervariasi. Isomer yang sangat aktif dan mempunyai potensi toksisitas tinggi adalah yang mempunyai 4 sampai 6 atom chlor, terutama dalam posisi lateral (2,3,7,8) seperti 2,3,7,8-Tetrachlorodibenzo-p-dioxin (2,3,7,8-TCDD) dengan toksisitas akut. Efek 2,3,7,8-TCDD ini terhadap spesies binatang ternyata berbeda, namun semuanya sebagai penimbul agen kanker (carcinogen). Agaknya dioxin ini menimbulkan tumor yang berbeda untuk organ yang berbeda, dan para peneliti baru sampai pada tahap awal dalam memahami efek toksisitas dioksin ini pada manusia. Seveso terletak di Italia Utara. Akhir 1960-an, industri farmasi Swiss, Hoffman-La Roche memilih Seveso sebagai lokasi pabriknya di Italia. Pabrik tersebut dibangun dan dioperasikan oleh Industrie Chemiche Meda Societe Aromia (ICMESA), didirikan di kota kecil Meda (dekat Seveso), guna memproduksi 2,4,5- trichlorophenol untuk disinfektan, kosmetik dan herbisida. Pabrik ini menghasilkan asap yang berbau, tetapi penduduknya rupanyanya sudah terbiasa. Kecelakaan terjadi pada tanggal 10 Juli 1976, ketika reaktor akan dipanaskan dan terjadi retak pada katup pengamannya. Pada temperatur yang sesuai, reaksi kimiawi yang terjadi menghasilkan 2,3,7,8-TCDD. Sekitar 1 Kg dioxin terbuang ke udara membentuk kabut melewati ribuan hektar sekitar bencana. Penduduk di sekitarnya dievakuasi. Daerah sekitarnya dibagi menjadi 2 area bahaya. Area A penduduknya dievakuasi, dan dilarang menggunakan barang-barangnya. Ibuibu yang hamil dianjurkan untuk menggugurkan kandungannya, dan prianya dihawatirkan mengalami kerusakan pada fungsi genetiknya. Daun-daun pohon di sekitarnya menjadi rontok, binatang- binatang seperti terpanggang. Anak-anak dengan langsung menunjukkan gejala chloracne pada mukanya dan bagian lain di tubuhnya. Pembersihan daerah terkontaminasi merupakan usaha besar-besaran yang dilakukan, terutama pada pabrik itu sendiri yang tercemar berat. Pemerintah Italia akhirnya memutuskan penggunaan teknik insinerasi dan landfilling bagi komponen-komponen pabrik tersebut. Landfilling dalam tanah dilakukan dalam 2 lubang dengan proteksi kuat, yaitu dilapis bentonit dan lembaran polyethylene. Pohon-pohon terkontaminasi ditebang. Tanah terkontaminasi dikupas sedalam rata-rata 5 cm. Daerah tersebut kemudian dijadikan taman. Pekerjaan ini membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun. Kasus tersebut ternyata tidak berhenti di sana, dengan timbulnya suatu kasus yang cukup meggegerkan daratan Eropa Barat pada tahun 1981, yaitu kasus transportasi dioxin antar negara. Ternyata penanggung jawab upaya pembersihan daerah Seveso tersebut mengirimkan 41 drum limbahnya untuk ditimbun di luar Italia. Drum tersebut diangkut oleh dua perusahaan swasta ke tempat yang tidak dispesifikasi secara jelas. Drum tersebut berlabel 'bahan hidrokarbon aromatis', dan tidak ditulis sebagai 'Dioxin', sedang asalnya ditulis dari Meda, bukan dari Seveso (tempat yang dikenal untuk kasus ini). Pengiriman ini bersifat rahasia, namun akhirnya beritanya tersebar di daratan Eropa dan menjadi pemberitaan hangat selama 9 bulan. Informasi yang didapat menyatakan bahwa drum tersebut akan diangkut ke Inggeris untuk diinsinerasi, ke Jerman Timur
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 10

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

untuk ditimbun di lahan-urug industri dan ke Jerman Barat untuk dikubur dalam bekas tambang. Tetapi tidak satupun yang sampai. Sembilan bulan kemudian setelah dilakukan pencarian yang melibatkan semua fihak di negara terkait, ternyata drum tersebut tersembunyi di suatu area pejagalan hewan di Perancis. Pihak Hoffman-La Roche harus bertanggung jawab untuk itu, dan harus mengeluarkannya dari Perancis, dan dibawa ke Swiss, sebagai negara asal industri tersebut. Kemudian dioxin tersebut baru diinsinerasi setelah 2,5 tahun dikeluarkan dari Seveso, yaitu pada November 1985. Berangkat dari pengalaman tersebut, masyarakat Eropa sadar akan pentingnya peraturan yang ketat tentang pengelolaan limbah berbahaya. Masyarakat Ekonomi Eropa mencanangkan program kontrol bagaimana menangani dan mentransportasi limbah kimiawi yang berbahaya diantara anggotanya. 5 KASUS KEPONE DI HOPEWELL (AMERIKA SERIKAT) Hopewell (Virginia - USA) memprolamirkan dirinya sebagai chemical capital of the south, dan disanalah dimulainya bencana kimiawi di USA. Pada tahun 1973 Allied Chemical mensubkontrakkan pembuatan pestisida pada Life Sciences Product (LSP) yang dikenal dengan nama kepone. Beberapa saat kemudian, dijumpai masalah kesehatan diantara karyawannya. Penelitian selanjutnya mengungkapkan bahwa LSP melanggar aturan-aturan kesehatan dan keselamatan kerja yang berlaku. Disamping itu, baik Allied maupun LSP secara illegal membuang kepone ke sungai James yang bermuara di Chesapeake Bay. Kepone dikembangkan oleh Allied sekitar tahun 1950-an. Produksinya dikontrakkan pada Hooker Chemical antara 1950 - 1960. Namun karena pasaran meningkat, Allied juga memproduksi sendiri. Produksi tahunan meningkat dari 36.000 pound pada tahun 1965 menjadi 400.000 pound pada tahun 1972. Allied memproduksi kepone di Hopewell. Tahun 1973 pembuatan kepone disubkontrakkan pada LSP sementara Allied tetap menangani polimer. Maret 1974, 2 minggu setelah produksi penuh, secara periodik limbah dari LSP masuk ke sistem penyaluran air buangan dan pengolahan limbah kota. Dalam 2 bulan, limbah ini membunuh bakteri di sistem digester pengolah limbah. Lumpur dari pengolah limbah yang belum terolah secara baik langsung dibuang secara illegal ke lahan-urug. Dinas kesehatan setempat kemudian menginvestigasi industri kepone tersebut setelah salah seorang pekerja dinyatakan keracunan kepone. Darah yang diambil dari pekerja tersebut menunjukkan kandungan kepone antara 2 - 72 ppm, sedangkan konsentrasi tertinggi yang pernah diamati adalah 5 ppm. Kemudian 31 pekerja yang dirawat di Rumah Sakit, sedang pabrik kepone pada tahun 1975 ditutup. Yang dijumpai pada pabrik kepone tersebut ternyata lebih buruk dari yang diperkirakan sebelumnya. Debu kepone menutup lantai sampai beberapa inch dan memenuhi udara dalam pabrik. Sebetulnya buruh di sana sudah mengeluh terhadap kondisi ini tetapi manajemen LSP tidak memperhatikan hal ini. Pencemaran udara juga telah meluas ke sekitar pabrik itu. Agustus 1975 LSP didenda US$ 16500. Tindakan berikutnya melibatkan US EPA (US Environmental Protection Agency); ternyata LSP telah mengeluarkan efluen kepone sebesar 500 - 600 ppb, sedangkan standar yang berlaku adalah 100 ppb. EPA kemudian melakukan sampling air minum, udara, tanaman dan limbah kota Hopewell serta sungai. Lumpur dari pengolah limbah mengandung kepone 200 - 600 ppm. Ikan di dekat sungai James mengandung kepone 0,1 - 20 ppm, sedang sungai James sendiri mengandung kepone 0,1 - 4 ppb. Di beberapa tempat, ternyata 40 % dari total partikulat adalah kepone. Pemerintah akhirnya memutuskan bahwa pabrik
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 11

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

itu untuk 'dilucuti', tetapi LSP tidak sanggup untuk operasi tersebut. Allied diminta untuk bertanggung jawab operasi detoksifikasi tersebut dengan rencana biaya sebesar US $ 175000. Namun biaya yang ditanggung Allied untuk operasi tersebut akhirnya menjadi US $ 394000, dan biaya yang ditanggung akhirnya membengkak berlipat ganda dengan adanya tuntutan dari orang yang merasa dirugikan, misalnya 120 pedagang ikan yang merasa dirugikan karena mereka memperoleh ikannya dari sungai James yang tercemar. 6 KASUS LAHAN STRINGFELLOW DI KALIFORNIA (USA) Lahan Stringfellow di Glen Avon (Kalifornia-USA) telah digunakan untuk menimbun limbah cair B3 dari tahun 1956 sampai 1972. Selama itu sekitar 30 juta galon (113.550 M3) limbah cair B3 telah ditimbun. Studi geologi sebelumnya menyimpulkan bahwa lahan tersebut berada di atas bedrock yang kedap, dan dengan membuat penghalang beton di hilirnya, maka diprakirakan tidak akan terjadi pencemaran air tanah. Ternyata evaluasi berikutnya menyatakan bahwa lahan itu sebetulnya tidak cocok untuk limbah cair B3 dan terjadilah pencemaran air tanah. Lahan ini juga berlokasi di atas akuifer Chino Basin yang merupakan sumber air minum bagi sekitar 500.000 penduduk. Interpretasi hasil analisis air tanah pada tahun 1972 ternyata juga salah, dengan menganggap bahwa pencemaran air tanah yang terjadi berasal dari limpasan air permukaan bukan dari lahan tersebut. Hasil interpretasi yang salah juga dilakukan oleh sebuah konsultan lain pada tahun 1977. Prakiraan biaya untuk menyingkirkan dan mengolah seluruh cairan dan tanah yang terkontaminasi pada tahun 1977 sekitar 3,4 juta US$. Estimasi biaya pada tahun 1974 meningkat 4 kali lipat dengan cara tersebut. Akhirnya Pemerintah memilih cara yang lebih murah, yaitu : Meyingkirkan cairan terkontaminasi ke lahan yang lain, Menetralisir tanah terkontaminasi dengan abu semen kiln, Menempatkan lapisan clay untuk mengisolasi, Membangun sumur-sumur pemantauan. Sekitar 800.000 gallon (3028 m3) air tercemar dialirkan ke area di hilirnya, dan 4 juta gallon (15140 m3) air tercemar dialirkan ke lahan-urug West Covina, namun ternyata lahan ini juga bocor dan akhirnya ditutup. Lahan-urug lain, Casmalia Resources, juga menerima sekitar 70.000 gal/hari (265 m3) dari Stringfellow, tetapi dianggap belum dimonitor secara benar. Sekitar 15 juta US $ telah dihabiskan untuk program tersebut, dan masih dibutuhkan sekitar 65 juta US $ untuk mentuntaskan permasalahan, dengan program pengolahan in-situ terhadap air tanah yang tercemar. Referensi Utama:
o Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia UNDP: Agenda 21 Indonesia, Maret 1997 o LaGrega, M.D. : Hazardous waste management, McGraw-Hill Book Co, 1994 o Wentz, C.A. : Hazardous waste management, McGraw-Hill Book, 1989

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 12

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

BAGIAN II PERATURAN DALAM PENGELOLAAN B3

1 UMUM Pada dasarnya pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) di Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip dan pedoman pembangunan berkelanjutan yang telah dituangkan dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 sebagai pengganti UU-23/1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 1 (21) UU-32/2009 mendefinisikan bahan berbahaya dan beracun (disingkat B3) adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lain. Selanjutnya UU-32/2009 menggariskan dalam Ps 58 (1) bahwa setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3. Secara spesifik pengelolaan B3 ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, yang akan diuraikan lebih lanjut dalam Bagian ini. Terkait dengan penggunaan bahan kimia organik berbahaya, maka Indonesia telah merativikasi konvensi Stockholm melalui Undang-undang No. 19 tahun 2009 tentang Pengesahan Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten atau Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (POPs). Konvensi ini bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari bahan POPs dengan cara melarang, mengurangi, membatasi produksi dan penggunaan, serta mengelola timbunan bahan POPs yang berwawasan lingkungan. Bahan POPs ini akan dibahas lebih lanjut dalam Bagian 5 Diktat ini. Beberapa peraturan yang secara langsung akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas limbah B3 yang dihasilkan adalah peraturan-peraturan yang mengatur masalah bahan berbahaya, yaitu : Peraturan Pemerintah No.7/1973 tentang pengawasan atas peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida Peraturan Menteri Kesehatan No.453/Menkes/Per/XI/1983 tentang bahan berbahaya Keputusan Menteri Perindustrian RI No.148/M/SK/4/1985 tentang pengamanan bahan beracun dan berbahaya di lingkungan industri Keputusan Menteri Pertanian No.724/Kpts/TP.270/9/1984 tentang larangan penggunaan pestisida EDB Keputusan Menteri Pertanian No.536/Kpts/TP.270/7/1985 tentang pengawasan pestisida Limbah radioaktif di Indonesia dikelola oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 1985 tentang Dewan Tenaga Atom dan Badan Tenaga Atom Nasional dan Keputusan Presiden No. 82 Tahun 1985 tentang Badan Tenaga Atom Nasional. Semua yang berkaitan dengan ketenaga atoman pada dasarnya diatur oleh Undang-undang No. 31 Tahun 1964 tentang
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 13

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Ketentuan-ketentuan pokok tenaga atom. Selanjutnya beberapa peraturan lain di bawahnya antara lain: Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1975 tentang keselamatan kerja terhadap radiasi Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1975 tentang izin pemakaian zat radioaktif dan atau sumber radiasi Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1975 tentang pengangkutan zat radioaktif 2 PENGELOLAAN B3 DALAM PP 74/2001 PP74/2001 tentang pengelolaan berbahaya dan beracun terdiri dari 15 bab yang dibagi lagi menjadi 43 pasal. Kelima belas bab tersebut adalah : Bab I (pasal 1 sampai 4) : Ketentuan Umum, Bab II (pasal 5) : Klasifikasi B3, Bab III (pasal 6 sampai 20) : Tata Laksana dan Pengelolaan B3, Bab IV (pasal 21) : Komisi B3, Bab V (pasal 22 dan 23) : Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Bab VI (pasal 24 sampai 27) : Penanggulangan Kecelakaan dan Keadaan Darurat, Bab VII (pasal 28 sampai 31) : Pengawasan dan Pelaporan, Bab VIII (pasal 32 sampai 34): Peningkatan Kesadaran Masyarakat, Bab IX (pasal 35 dan 36) : Keterbukaan Informasi dan Peran Masyarakat, Bab X (pasal 37) : Pembiayaan, Bab XI (pasal 38) : Sanksi Administrasi, Bab XII (pasal 39) : Ganti Kerugian, Bab XIII (pasal 40) : Ketentuan Pidana, Bab XIV (pasal 41 dan 42) : Ketentuan Peralihan, Bab XV (pasal 43) : Ketentuan Penutup. Menurut PP 74/2001: bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat dengan B3 adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya (pasal 1 angka 1). Sedangkan sasaran pengelolaan B3 adalah 'untuk mencegah dan atau mengurangi resiko dampak B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan mahluk hidup lainnya (pasal 2). Pengertian pengelolaan B3 adalah 'kegiatan yang menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan atau membuang B3 (pasal 1 angka 2). Dalam kegiatan tersebut, terkait berbagai fihak yang merupakan mata rantai dalam pengelolaan B3. Setiap mata rantai tersebut memerlukan pengawasan dan pengaturan. Oleh karenanya, pasal-pasal berikutnya mengatur masalah kewajiban dan perizinan bagi mereka yang akan memproduksi (menghasilkan), mengimpor, mengeksport, mendistribusikan, menyimpan, menggunakan dan membuang bahan tersebut bilamana tidak dapat digunakan kembali. Disamping aspek yang terkait dengan pencegahan terjadinya pencemaran lingkungan dan atau kerusakan lingkungan yang menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap fihak yang terkait, maka aspek keselamatan dan kesehatan kerja serta penanggulangan kecelakaan dan keadaan darurat diatur dalam PP tersebut. Tidak semua pengelolaan bahan yang berbahaya diatur oleh PP tersebut, antara lain karena telah diatur dalam PP lain, atau telah diatur oleh instansi lain berdasarkan konvesi internasional seperti bahan radioaktif. Bahan berbahaya yang tidak termasuk yang diatur adalah (pasal 3):
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 14

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

o o o o o o o o

Bahan radioaktif Bahan peledak Hasil produksi tambang serta minyak gas dan gas bumi dan hasil olahannya Makanan dan minuman serta bahan tambahan makanan lainnya Perbekalan kesehatan rumah tangga dan kosmetika Bahan sediaan farmasi, narkotika, psikotropika dan prekursor lainnya Bahan aditif lainnya Senjata kimia dan senjata biologi

Untuk menentukan apakah sebuah bahan termasuk dalam kelompok B3, maka PP tersebut mengklasifikasikan B3 dalam 8 kelompok, yaitu (pasal 5): o Mudak meledak (explosisive) o Pengoksidasi (oxidizing) o Menyala: o sangat mudah sekali menyala (extremely flammable) o sangat mudah menyala (highly flammable) o mudah menyala (flammable) o Beracun: o amat sangat beracun (extremely toxic) o sangat beracun (highly toxic) o beracun (moderately toxic) o Bebahaya (harmful) o Korosif (coorosive) o Bersifat iritasi (irritant) o Berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment) o Toksik yang bersifat kronis: o karsinogenik (carcinogenic) o teratogenik (teratogenic) o mutagenik (metagenic) Penjelasan lebih lanjut tentang kriteria kapan sebuah bahan dikelompokkan sebagai B3 akan dijelaskan dalam Butir 3. Untuk mempermudah menentukan B3 yang diatur dalam PP ini, maka berdasarkan penggunaannya di lapangan, B3 dibagi menjadi 3 bagian, yaitu (pasal 5): o B3 yang dapat atau boleh dipergunakan di Indonesia (Lampiran I PP 74/2001) o B3 yang dilarang dipergunakan di Indonesia (Lampiran II Tabel 1, PP 74/2001) o B3 yang terbatas dipergunakan (Lampiran II Tabel 2, PP 74/2001) Dengan demikian, bilamana sebuah bahan sudah terdapat dalam lampiran tersebut, maka bahan tersebut termasuk B3, dan penggunaannya di Indonesia disesuaikan dengan kelompok tabel yang berlaku, apakah diperbolehkan dipergunakan, atau terbatas penggunaannya, atau sama sekali dilarang dipergunakan. Lampiran I PP 74/2001 mencantumkan 209 buah bahan kimia yang tergolong B3 yang dapat digunakan di Indonesia, 74 diantaranya dibatasi penggunaannya sampai tahun 2040, semuanya organik-berhalogen. Lampiran II - Tabel 1 mencantumkan 10 bahan B3 yang dilarang pengunaannya, dan Lampiran II - Tabel 2 mencantumkan 45 bahan B3 yang dibatasi pengunaannya di Indonesia. Setiap bahan kimia dalam daftar tersebut, disertai keterangan: o No. Reg. Chemical Abstract Sevice yang bersifat universal o Nama bahan kimia o Sinonim/nama dagang o Rumus molekul Berikut ini adalah beberapa contoh bahan kimia B3, yang terdapat dalam daftar Lampiran I dan Lampiran II PP 74/2001 tersebut (Tabel 1 sampai Tabel 3).
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 15

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Setiap produsen yang menghasilkan B3 baru yang termasuk diatur dalam PP ini, maka sebelum dipergunakan secara luas produsen tersebut harus mendaftarkan terlebih dahulu kepada yang berwenang, dalam hal ini Kementrian Lingkungan Hidup (pasal 6). Sedang bahan berbahaya lain yang tidak diatur dalam PP ini, maka registrasinya harus diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab, misalnya Badan Tenaga Atom Nasional untuk bahan radioaktif. Demikian juga halnya unutk B3 yang diimport dari luar negeri, maka bahan tersebut terlebih dahulu harus didaftarkan oleh importirnya untuk diregistrasi sebelum secara rutin diimport. Bahan tersebut kemudian akan mendapat nomor registrasi sebagai alat kontrol terhadap peredaran B3 di Indonesia, sehingga dengan mudah dilakukan pengawasan dan pencegahan terjadinya dampak B3 terhadap lingkungan. Bila bahan yang akan dimpor adalah termasuk dalam daftar B3 yang terbatas dipergunakan, maka fihak otorita negara yang akan memasukkan bahan tersebut ke Indonesia terlebih dahulu harus menyampaikan notifikasi kepada fihak yang bertanggung jawab di Indonesia (pasal 8). Tabel 2.1: Contoh B3 (dapat digunakan) dalam Lampiran I PP 74/2001
No 7 14 16 17 23 24 31 52 54 58 76 78 79 80 81 85 87 98 No Reg Chemical Abstract Service 7664-41-7 64-19-7 7664-38-2 7647-01-0 74-90-8 7664-93-9 71-43-2 108-95-2 50-00-0 7783-06-4 124-38-9 7440-44-0 630-08-0 7782-50-5 67-66-3 7487-97 74-82-8 1310-73-2 Nama Bahan Kimia Amoniak Asam Asetat Asam Posfat Asam Klorida Asam Sianida Asam Sulfat Benzena Fenol Formalin (larutan) Hidrogen Sulfida Karbon dioxide Karbon hitam Karbonmonoksida Klor Kloform Merkuri klorida Methane Natrium Hidroksida Sinonim/Nama Dagang Ammonia Acetic acid; Aci-jel Phosphoric acid; Orthophosphoric acid Hydrochloric acid; Hydrogen chloride; Anhidrous hydrochloric acid Hydrogen cyanide; Hydrocyanic acid; Blausaure; Prussic acid Sulfuric Acid; Oil of Vitriol Benzene; Benzol; Cyclo hexatriene Phenol; Carbolic acid; Phenic acid; Phenilic acid; Phenyl hydroxide; Hidroxybenzene; Oxybenzene Formadehyde solution; Formalin; Formol; Morbicid; Veracur Hydrogen sulphide; Sulfurated hydrogen; Hydrosulfuric acid Carbonic acid gas Amorphous Carbon monoxide Chlorine Chloroform; Trichlorometthane Mercuric chloride; Mercury bichloride; Corrosive sublimate; Mercury perchloride; Corrosive mercury chloride Sodium hydroxide; Caustic soda; Soda lye; Sodium hydrate Nitrogen Nitrogen dioxide Ozone; Triatomic oxygen Penta; PCP; Penchloraol; Santhophene 20 Zinc chloride; Butter zinc Lead Bromochloroethane Rumus Molekul NH3 CH3COOH H3PO4 HCl HCN H2SO4 C 6H 6 C6H5OH CH2O H 2S CO2 C CO Cl2 CHCl3 HgCl2 CH4 NaOH N2 NO2 O3 C6HCl5O AgNO3 ZnCl2 Pb -

105 7727-37-9 Nitrogen 106 10102-44-0 Nitrogen Dioksida 110 10028-15-6 Ozon 112 87-86-5 Pentaklorofenol 114 7761-88-8 Perak nitrat 122 7646-85-7 Seng Klorida 127 7439-92-1 Timbal (timah hitam) 209 CH2BrCl *) Muncul juga pada Lampiran II Tabel 2 (no. 11)

Tabel 2.2: B3 yang dilarang dalam Lampiran II Tabel 1 PP 74/2001


No 1 2 No Reg Chemical Abstract Service 309-00-2 57-74-9 Nama Bahan Kimia Aldrin Chlordane Sinonim/Nama Dagang HHDN CD68; Velsicol 1068; Toxichlor; Niran; Rumus Molekul C12H8Cl6 C10H6Cl8

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 16

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

50-29-3

DDT

4 5 6 7 8

60-57-1 72-20-8 76-44-8 2385-85-5 8001-35-2

Dieldrin Endrin Heptachlor Mirex Toxaphene

9 10

118-74-1 1336-36-3

Hexachlorobenzene PCBs

Octachlor; Orthochlor; Synclor; Belt; Corodane Dichlorodiphenyltrichloroethane; D-58; Chlorophenothane; Clofenotane; Dicophane; p,p-DDT; Agritan; Gesapon; Gesarex; Gesarol; Guesapon; Necide Compound 497; ENT 16225; HEOD; Insecticide No.497; Octalox Compound 268; ENT 17251; Mendrin; Nendrin; Hexadrin E3314; Velsicol 104; Drinox; Heptamul C6-1283; ENT 25719; Dechlorane; Hexachloropentadienedimer Hercules 3956: Polycholorcamphene; Chlorinatedcamphene; Campeclor; Altox; Geniphene; Motox; Penphene; Phenacide; Phenatox; Strobane-T; Toxakil Polychlorobenzene; Anticarie; Bunt-cure; Bunt-no-more; Julins carbon chloride Polychlorinated Biphenyls; Chlorobiphenyls; Arocloc; Clophen; Fenclor; Kenachlor; Phenochlor; Pyralene; Santotherm

C14H9Cl5

C12H8Cl6OH C12H8Cl6OH C10H5Cl7 C10Cl12 C10H10Cl8

C6Cl6 C12X X=H or Cl

Tabel 2.3: Contoh B3 (dibatasi) dalam Lampiran II Tabel 2 PP 74/2001


No 1 2 4 6 9 10 No Reg Chemical Abstract Service 93-76-5 2425-98-3 510-15-6 106-93-4 58-89-9 Nama Bahan Kimia 2,4,5-T Chlordimeform (CDM) Chlorobenzilate Ethylene Dibromida (EDB) Lindane Senayawa merkuri, termasuk: - Anorganik merkuri - Alkyl merkuri - Alkyloxyalkyl merkuri - Aryl merkuri Pentaklorofenol* Mercury/Air raksa CFC-11 CFC-12 CFC-114 Halon-2402 Metil bromida Sinonim/Nama Dagang Esterone 245; Trioxone; Weedone CDM; Ciba-8514; Schering 36,268: Spanon; Fundal; Gulecton; Chlorophenamidine Compound 338; G23922; Acarabene; Akar; Folbex; Ethyl 4,4-dichlorobenzilate; Ethyl 4,4-hydroxy-2,2bis(4-chlorophenil)acetate EDB; Dowfume WW85; 1,2-dibromoethane; Ethylenebromide; Sym-dibromoethane Rumus Molekul C8H5Cl3O3 C10H13ClN2 C16H14Cl2O3 C12H4Br2 C6H6Cl6 -

11 21 26 27 29 43 45

87-86-5 7439-97-6 75-69-4 75-71-12 74-83-9

Penta; PCP; Penchloraol; Santhophene 20 Liquid silver; Hydragyrum; Quicksilver Trichloromonofluoromethane; Fluorotrichloromethane; Freo 11; Frigen 11; Areton 11 Dichlorodifluoromethane; Areton 12; Freon 12; Frigen 12; Genetron 12; Halon; Isotron 2 Dichlorotetrafluoroethane; Cryfluorane; Freon 114; Frigen 114; Areton 114 Dibromotetrafluoroethane Bromomethane; Monobromomethane; Embafume

C6HCl5O Hg CCl3 CCl2F2 C2Cl2F2 C2Rbr2F4 CH3Br

*) Muncul juga pada Lampiran I (no. 112)

Jawaban boleh tidaknya barang tersebut masuk ke Indonesia harus diterima oleh otorita negara pengekspor dalam waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal diterimanya notifikasi tersebut. Prosedur ini adalah sesuai dengan Konvensi Basel yang mengatur lintas batas bahan dan limbah B3 antar negara. Prosedur yang sama diberlakukan bagi B3 yang akan dieksport ke luar negeri (pasal 7). PP ini mewajibkan eksportir B3 tersebut untuk menyampaikan notivikasi ke otoritas negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan instansi yang bertanggung jawab di Indonesia terlebih dahulu. Sebelum ada persetujuan dari otoritas negara tujuan ekspor dan otoritas negara transit, serta dari instansi yang berwenang, maka ekspor B3 tersebut belum boleh dilaksanakan.
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 17

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Salah satu informasi penting yang selalu harus disertakan dalam produksi B3 adalah Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet - MSDS). Informasi MSDS disamping harus tercantum pada produksi B3 (pasal 11), juga harus muncul pada dokumen pengangkutan, penyimpanan, dan pengedaran B3 (pasal 12), dan juga pada kemasan bahan tersebut (pasal 14). Lembar MSDS paling tidak berisi: o Merek dagang o Rumus kimia B3 o Jenis B3 o Klasifikasi B3 o Teknik penyimpanan, dan o Tata-cara penanganan bila terjadi kecelakaan PP 74/2001 mengatur juga secara umum pengangkutan B3 (pasal 13), pengemasan B3 (pasal 15), pemberian label dan simbol (pasal 17), penyimpanna B3 (pasal 18). Lokasi dan konstruksi tempat penyimpanan B3 membutuhkan pengaturan tersendiri, agar tidak terjadi kecelakaan akibat kesalahan dalam penyimpanan tersebut. Salah satu persyaratan kelengkapan pada tempat penyimpanan tersebut adalah sistem tanggap darurat dan prosedur penanganan B3 (pasal 19). B3 yang dianggap kadaluwarsa, atau tidak memenuhi spesifikasi, atau bekas kemasan, yang tidak dapat digunakan tidak boleh dibuang sembarangan, tetapi harus dikelola sebagai limbah B3 (pasal 20). B3 kadaluwarsa adalah bahan yang karena kesalahan dalam penanganannya menyebabkan terjadinya perubahan komposisi dan atau karakteristik sehingga bahan tersebut tidak sesuai lagi dengan spesifikasinya. Sedang B3 yang tidak memenuhi spesifikasi adalah bahan yang dalam proses produksinya tidak sesuai dengan yang ditentukan. PP 74/2001 mengatur juga masalah kesehatan dan keselamatan kerja bagi orang yang bekerja di bidang ini, yang menjadi tanggung jawab bagi pengusaha. Salah satu langkah yang wajib dilakukan adalah kewajiban uji kesehatan secara berkala bagi pekerja, sekurang-kurangnya 1 kali dalam 1 tahun, denganmaksud untuk mengetahui sedini mungkin terjadinya kontaminasi oleh zat/senyawa kimia B3 terhadap pekerja atau pengawas lokasi tersebut (pasal 23). Salah satu kehawatiran utama dalam penanganan B3 adalah kemungkinan terjadinya kecelakaan baik pada saat masih dalam penyimpanan maupun kecelakaan pada saat dalam pengangkutannya. Kecelakaan B3 adalah lepasnya atau tumpahnya B3 ke lingkungan, yang memerlukan penanggulangan cepat dan tepat (pasal 24). Bila terjadi kecelakaan, maka kondisi awalnya adalah berstatus keadaan darurat (emergency). Langkah darurat yang harus dilakukan adalah (pasal 25): o Mengamankan (mengisolasi) tempat terjadinya kecelakaan o Menanggulangi kecelakaan sesuai dengan prosedur standar penanggulangan kecelakaan o Melaporkan kecelakaan atau keadaan darurat tersebut kepada aparat Kota/Kabupaten setempat o Memberikan informasi, bantuan dan melakukan evakuasi masyarakat sekitar lokasi kejadian. 3 KARAKTERISASI B3 MENURUT PP 74/2001 Penjelasan PP 74/2001 menguraikan secara singkat klasifikasi B3 sebagai berikut: a. Explosive (mudah meledak): adalah bahan yang pada suhu dan tekanan standar (25oC, 760 mmHg) dapat meledak atau melalui reaksi kimia dan atau fisika dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 18

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

merusak lingkungan di sekitarnya. Pengujiannya dapat dilakukan dengan menggunakan Diffrential Scanning Calorimetry (DSC) atau Differential Thermal Analysis (DTA), sedang 2,4-dinitrotoluena atau Dibenzoil-peroksida digunakan sebagai senyawa acuan. Dari hasil pengujian tersebut, akan diperoleh nilai temperatur pemanasan. Apabila nilai temperatur pemanasan suatu bahan lebih tinggi dari senyawa acuan, maka bahan tersebut diklasifikasikan mudah meledak. b. Oxidizing (pengoksidasi): pengujian bahan padat dilakukan denganemtode uji pembakaan menggunakan ammonium persulfat sebagai senyawa standar. Sedang untuk bahan cair, senyawa standar yang digunakan adalah larutan asam nitrat. Suatu bahan dinyatakan sebagai pengoksidasi apabila waktu pembakaran bahan tersebut sama atau lebih pendek dari waktu pembakaran senyawa standar. c. Flammable (mudah menyala): o Extremely flammable: padatan atau cairan yang memiliki titik nyala (flash point)di bawah 0oC dan titik didih lebih rendah atau sama dengan 35oC. o Hghly flammable: padatan atau cairan yang memiliki titik nyala 0oC - 21oC. o Flammable: o Bila cairan: bahan yang mengandung alkohol kurang dari 24%-volume, dan atau mempunyai titik nyala 60oC (140oF), akan menyala apabila terjadi kontak dengan api, percikan api, atau sumber nyala lainnya, pada tekanan 760 mmHg. Pengujiannya dapat dilakukan dengan metode Closed-up test. o Bila padatan: bahan bukan cairan, pada temperatur dan tekanan standar dengan mudah menyebabkan terjadinya kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap air atau perubahan kimia secara spontan, dan apabila terbakar dapat menyebabkan kebakaran terus menerus dalam 10 detik. Pengujian dapat pula dilakukan dengan Seta Closed-cup Flash Point Test, dengan titik nyala di bawah 40oC. d. Toxic (beracun): akan menyebabkan kematian atau sakit yang serius apabila masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit atau mulut. Tingkatan racun dikelompokkan seperti tabel berikut. Tabel 2.4: Tingkat racun menurut PP 74/2001
Urutan 1 2 3 4 5 6 Kelompok Extremely toxic (amat sangat beracun) Highli toxic (sangat beracun) Moderately toxic (beracun) Slighly toxic (agak beracun) Practically non-toxic (praktis tidak beacun) Relatively harmless (realtif tidak berbahaya) LD50 (mg/kg) 1 1 50 51 500 501 5.000 5001 15.000 > 15.000

e. Harmful (berbahaya): padatan maupun cairan ataupun gas yang jika kontak atau melalui inhalasi (pernafasan) atau melalui oral dapat menyebabkan bahaya terhadap kesehatan sampai tingkat tertentu. f. Corrosive (korosif): mempunyai sifat o Menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit o Menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja standar SAE-1020 dengan laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun dengan temperatur pengujian 55oC. o Mempunyai pH 2 untuk B3 bersifat asam, dan atau pH 12,5 untuk B3 bersifat basa. g. Irritant (bersifat iritasi): padatan maupun cairan yang bila terjadi kontak secara langsung, dan apabila terus menerus kontak dengan kulit atau selaput lendir dapat menyebabkan peradangan h. Dangerous to the Environment (berbahaya bagi lingkungan): seperti merusak lapisan ozon (misalnya CFC), persisten di lingkungan (misalnya PCBs), atau bahan tersebut dapat merusak lingkungan.
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 19

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

i.

Chronic toxic (toksik kronis): o Carcinogenic (karsinogen): sifat bahan penyebab sel kanker, yaitu sel liar yang dapat merusak jaringan tubuh o Teratogenic: sifat bahan yang dapat mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan embrio o Mutagenic: sifat bahan yang dapat menyebabkan perubahan kromosom yang dapat merubah genetika.

Referensi Utama: o o o Undang-Undang No. 32 tahun 2009: Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Peraturan Pemerintah Nomor 74/2001: Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, 26 November 2001 Undang-undang No. 19 tahun 2009: Pengesahan Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 20

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

BAGIAN III PERATURAN DALAM PENGELOLAAN LIMBAH B3

1 UMUM Survai di Amerika Serikat pada tahun 1981 mengungkapkan bahwa hampir 90 % dari limbah B3 yang dikelola berasal dari kegiatan industri dan 70 % diantaranya berasal dari industri kimia dan petroleum. Lebih dari 90 % limbah yang berkatagori berbahaya, terutama karena sifat korosifitasnya, merupakan limbah cair atau aquous liquid waste. Walaupun limbah itu berasal dari kegiatan industri, namun tidak semua berkatagori Limbah B3. Studi yang dilakukan oleh Dames & Moore untuk mengkaji kelayakan pusat pengolah limbah B3 di Cileungsi menghasilkan proyeksi total limbah berbahaya di daerah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) pada tahun 1990 sebesar 1.984.626 ton (padat, cair dan gas). Selain itu, survai limbah B3 yang berasal dari industri-industri di Otorita Batam menyimpulkan bahwa : Karakteristik limbah cair industri adalah : mudah terbakar (11,52 %), beracun (2,50 %), korosif (8,44 %) dan non B3 (77,54 %) Karakteristik limbah padat industri adalah : mudah terbakar (0 %), beracun (0,90 %), korosif (1,52 %) dan non B3 (97,58 %) Limbah B3 (cair dan padat) dari industri rata-rata di bawah 5 % dari total limbah industri yang dihasilkan. Sebagaimana dibahas pada Bagian I, pada dasarnya pengelolaan limbah B3 di Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip dan pedoman pembangunan berkelanjutan yang telah dituangkan dalam peraturan perudang-undangan, khususnya Undangundang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 59 UU tersebut menggariskan bahwa: 1. Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. 2. Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3. 3. Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain. 4. Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya. 5. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin. 6. Keputusan pemberian izin wajib diumumkan. Secara spesifik pengelolaan limbah B3 telah diatur lebih lanjut dalam: Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (PP18/1999) Peraturan Pemerintah No 85 tahun 1999 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999 (PP85/1999) PP 18/99 jo PP 85/99 merupakan pengganti PP 19/94 jo PP12/95. Peraturan-peraturan lain yang mengatur masalah limbah B3 adalah Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dari No. 01/Bapedal/09/1995 sampai No. 05/Bapedal/09/1995 yang merupakan pengaturan lebih lanjut PP19/1994 dan PP12/1995, dan tetap masih berlaku sebagai pengaturan lebih lanjut dari PP 18/99 jo PP 85/99.
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 21

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Dalam hal masalah lintas batas limbah ini, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Basel, yang berupaya mengatur ekspor dan impor serta pembuangan limbah B3 secara tidak syah. Sebagai negara kepulauan dengan perairannya yang terbuka, Indonesia sangat potensial sebagai tempat pembuangan limbah berbahaya, baik antar pula di Indonesia, maupun limbah yang datang dari luar negeri. Peraturan-peraturan yang langsung menangani lintas batas limbah adalah: Keputusan Presiden RI No.61/1993 tentang Pengesahan Convension on The Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal, Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 349/Kp/XI/92 tentang pelarangan impor limbah B3 dan plastik Keputusan Menteri Perdagangan RI No.155/Kp/VII/95 tentang barang yang diatur tata niaga impornya Keputusan Menteri Perdagangan RI No.156/Kp/VII/95 tentang prosedur impor limbah Disamping itu, PP 18/1999 jo PP 85/1995 melarang impor limbah B3 kecuali dibutuhkan untuk penambahan kekurangan bahan baku sebagai bagian pelaksanaan daur-ulang limbah. Dengan SK Menteri Perdagangan No. 156/KP/VII/95, limbah B3 yang dapat diimpor adalah skrap timah hitam (aki bekas), sampai jangka waktu terbatas. Sebagai negara industri yang dapat dikatakan relatif paling maju, maka tidaklah berlebihan bila dalam diktat ini dibahas juga pengertian dan pengembangan peraturanperaturan yang berkaitan dengan limbah B3 di Amerika Serikat, khususnya konsep cradle-to-grave yang menjadi rujukan dalam peraturan tentang limbah berbahaya di Indonesia. Dapat dikatakan, sampai tahun 1960-an pengelolaan limbah industri di Amerika Serikat masih belum memadai, misalnya hanya dibuang ke lahan landfill yang belum dilapis secara kedap. Timbulnya gerakan lingkungan tahun 1960-an, memaksa Kongres Amerika untuk memperhatikan masalah limbah industri ini lebih serius. 2 PENGELOLAAN LIMBAH B3 DALAM PP 18/1999 JUNCTO PP 85/1999 Hal yang Diatur: PP 18/1999 tentang pengelolaan limbah berbahaya dan beracun terdiri dari 8 bab yang dibagi lagi menjadi 42 pasal. Kedelapan bab tersebut adalah : Bab I (pasal 1 sampai 5): Ketentuan umum, Bab II (pasal 6 sampai 8): Identifikasi limbah B3 Bab III (pasal 9 sampai 26): Pelaku pengelolaan, Bab IV (pasal 27 sampai 39): Kegiatan pengelolaan , Bab V (pasal 40 sampai 61): Tata laksana, Bab VI (pasal 62 sampai 63): Sanksi, Bab VII (pasal 64 sampai 65): Ketentuan peralihan, Bab VIII (pasal 66): Ketentuan penutup. Sedang PP 85/1999 yang merupakan perubahan dari PP 18/1999 hanya terdiri dari 2 (dua) pasal. Pasal I berisi pasal-pasal dalam PP 18/1999 yang mengalami perubahan, dan pasal II (Penutup). Dalam pasal I dijelaskan pasal-pasal dalam PP18/1999 yang mengalami perubahan, yaitu sebanyak 3 pasal, yaitu: pasal 6, pasal 7, dan pasal 8. Sumber, Karakteristk dan Proses Penentuan Limbah B3: Pengertian pengelolaan limbah B3 adalah '..... rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan limbah dan penimbunan limbah B3' (pasal 1 angka 3). Sedangkan tujuan pengelolaan tersebut
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 22

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

adalah : '...... untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai fungsinya kembali ' (pasal 2). Sebelumnya PP 19/1994 mendefinisikan bahwa penghasil limbah B3 tidak hanya mereka yang bergerak dalam kegiatan yang bersifat komersial tetapi termasuk juga perorangan yang menyimpan limbahnya dalam lokasi kegiatannya sebelum limbah tersebut ditangani lebih lanjut sesuai dengan peraturan yang ada. Kemudian PP 12/1995 membatasi, bahwa yang terkena definisi tersebut adalah badan usaha yang menghasilkan limbah B3. PP18/99 mendefisikan bahwa penghasil limbah B3 adalah orang yang usaha dan atau kegiatannya menghasilkan limbah B3 seperti di tegaskan dalam Ps1(5). Pengertian orang yang sering muncul dalam PP18/99 seperti dijelaskan dalam Ps1(18) adalah orang perorangan, dan atau kelompok orang dan atau badan hukum. Limbah B3 yang dihasilkan oleh kegiatan rumah tangga, seperti batere bekas, serta kegiatan skala kecil tidak terkena peraturan ini, karena pengaturannya akan ditetapkan kemudian oleh instansi yang bertanggungan jawab, seperti ditegaskan dalam Ps9(6). Bila batasan penghasil limbah B3 diterapkan juga pada kelompok tersebut, akan menimbulkan permasalahan, karena izin pengelolaan limbah B3 membutuhkan prosedur administrasi yang tidak sederhana, yang hanya bisa dilaksanakan oleh sebuah usaha komersial. Pasal 1 angka 2 mendefinisikan limbah berbahaya dan beracun (disingkat B3) adalah sebagai sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya yang dapat diidentifikasikan menurut sumber dan/atau uji karakteristik dan atau uji toksikologi (PP85/99 Ps 6). Sebuah limbah dinyatakan sebagai limbah B3, melalui beberapa langkah, yaitu: Langkah 1: mengidentifikasi limbah yang dihasilkan, dengan daftar limbah (Lampiran 1 Tabel 1 dan 3) atau daftar kegiatan (Lampiran 1 Tabel 2) yang tercantum dalam PP85/99, seperti diatur dalam Ps 7(1). Bila terdapat dalam daftar, maka secara formal limbah tersebut adalah limbah B3. Bila tidak terdapat dalam daftar tersebut, maka identifikasi harus dilanjutkan dengan Langkah berikutnya Langkah 2: melakukan uji karakteristik sebagaimana tercantum dalam Ps 7(3) PP85/99 seperti diuraikan berikut ini. Ps 7 (1) PP85/99 menyebutkan bahwa jenis limbah B3 menurut sumbernya meliputi: a. Limbah B3 dari sumber tidak spesifik (Lampiran I Tabel 1) b. Limbah B3 dari sumber spesifik (Lampiran I Tabel 2) c. Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi (Lampiran I Tabel 3) Rincian dari masing-masing jenis kelompok tersebut terdapat pada Lampiran I PP85/99, yaitu Tabel 1 (Sumber tidak spesifik), Tabel 2 (Sumber spesifik) dan Tabel 3 (limbah kimia kadaluarsa). Ps 7(3) PP85/99 selanjutnya mendefinisikan uji karakteristik limbah B3 sebagai berikut: a. Mudah meledak b. Mudah terbakar c. Bersiafat reaktif d. Beracun e. Menyebabkan infeksi f. Bersifat korosif g. Pengujian toksikologi untuk menentukan sifat akut dan atau kronik.

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 23

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Sumber limbah tidak spesifik adalah sumber limbah yang menghasilkan limbah yang pada umumnya bukan berasal dari proses utamanya, tetapi berasal dari kegiatan pemeliharaan alat, pencucian, pencegahan korosi, pelarutan kerak, pengemasan. Terdapat 43 jenis limbah yang termasuk kelompok ini. Limbah B3 dari sumber spesifik adalah limbah sisa proses suatu industri atau kegiatan yang secara spesifik dapat ditentukan berdasarkan kajian ilmiah. Sumber limbah ini terbagi dalam 51 jenis kegiatan yang termasuk kelompok penghasil limbah B3. Jenis kegiatan yang termasuk kelompok sumber spesifik adalah industri atau kegiatan: pupuk, pestisida, proses kloro-alkali, resin adesif, polimer, petrokimia, pengawetan kayu, peleburan-pengolahan besi dan baja, operasi penyempurnaan baja, peleburan timah hitan (Pb), peleburan-pemurnian tembaga, tinta, tekstil, manufaktur dan perakitan kendaraan-mesin, electroplating dan galvanis, cat, batere sel kering, batere sel basah, komponen elektronik-peralatan elektronik, eksplorasi dan produksi minyak-gas-panas bumi, kilang minyak dan gas bumi, pertambangan, PLTU yang mengunakan bahan bakar batu-bara, penyamakan kulit, zat warna dan pigmen, farmasi, rumah sakit, laboratorium riset dan komersial, fotografi, pengolahan batu-bara dengan pirolisis, daurulang minyak pelumas bekas, sabun deterjen-produk pembersih desinfektan-kosmetik, pengolahan lemak hewan/nabati dan derivatnya, allumunium thermal metallurgyallumunium chemical conversion coating, peleburan dan penyempurnaan seng, prosers logam non-ferro, metal hardening, metal-plastic shaping, laundry dan dry cleaning, IPAL industri, pengoperasian insinerator limbah, daur-ulang pelarut bekas, gas industri, gelas keramik/enamel, seal-gasket-packing, produk kertas, chemical-industrial cleaning, fotokopi, semua jenis industri yang menghasilkan dan menggunakan listrik (untuk limbah PCB), semua jenis industri konstruksi (untuk limbah asbestos), bengkel pemeliharaan kendaraan. Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan, dan buanagn produk yang tidak memenuhi spesifikasi yang ditentukan atau tidak dapat dimanfaatkan lagi. Terdapat 178 jenis bahan kimia yang termasuk kelompok limbah B3. Limbah mudah meledak adalah limbah yang pada suhu dan tekanan standar (25oC, 760 mmHg) dapat meledak atau melalui reaksi kimia dan atau fisika dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan di sekitarnya (bandingkan dengan uraian pada PP74/2001) Limbah mudah terbakar adalah limbah-limbah yang memunyai salah satu sifat: Berupa cairan yang mengandung alkohol kurang dari 24%-volume, dan atau pada titik nyala 60oC (140oF), akan menyala apabila terjadi kontak dengan api, percikan api, atau sumber nyala lainnya, pada tekanan 760 mmHg. Bukan berupa cairan yang pada temperatur dan tekanan standar dengan mudah menyebabkan terjadinya kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap air atau perubahan kimia secara spontan, dan apabila terbakar dapat menyebabkan kebakaran terus menerus. Merupakan limbah yang bertekanan yang mudah terbakar Merupakan limbah pengoksidasi Limbah yang bersifat reaktif pada air adalah limbah-limbah dengan salah satu sifat: Limbah yang pada keadaan normal tidak stabil dan dapat menyebabkan perubahan tanpa peledakan Limbah yang dapat bereaksi hebat dengan air

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 24

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Limbah yang bila bercampur dengan air (termasuk uap air) menimbulkan ledakan, menghasilkan gas, uap atau asap beracun dalam jumlah yang membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan Limbah sianida, sulfida atau amoniak yang pada pH antara 2 dan 12,5 dapat menghasilkan gas, uap, atau asap beracun dalam jumlah yang membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan Limbah yang dengan mudah dapat meledak atau bereaksi pada suhu dan tekanan standar Limbah yang menyebabkan kebakaran karena melepas atau menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi

Limbah yang beracun adalah limbah yang mengandung pencemar yang bersifat racun bagi manusia dan lignkungan yang dapat menyebabkan kematian atau sakit yang serius apabila masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit dan mulut. Indikator sifat racun yang digunakan adalah TCLP (Toxicity Characteristics Leaching Procedure), seperti tercantum dalam lampiran II PP85/99, yang merupakan batas ambang yang digunakan untuk indikasi B3. Pada dasarnya sebetulnya, uji TCLP adalah uji yang dikembangkan oleh US-EPA, yang merupakan simulasi terburuk kondisi landfill, yang menyebabkan terjadinya pencemaran pada air tanah, yang airnya digunakan secara rutin. Simulasi transportasi pencemar ini, menghasilkan batas aman yang memperhitungkan probabilitas terjadinya toksisitas kronik non-kanker maupun kanker. Namun dalam versi Indonesia, bila ambang batas TCLP tidak terlampaui, penghasil limbah masih tetap diharuskan melakukan uji toksisitas akut maupun kronis Limbah yang menyebabkan infeksi yaitu bagian tubuh manusia yang diamputasi dan cairan dari tubuh manusia yang terkena infeksi, limbah dari laboratorium atau limbah lainnya yang terinfeksi kuman penyakit yang dapat menular. Limbah ini berbahaya karena mengandung kuman penyakit seperti hepatitis dan kolera, yang ditularkan pada pekerja, pembersih jalan dan masyarakat lain di sekitar lokasi pembuangan limbah. Limbah bersifat korosif adalah limbah yang mempunyai salah satu sifat o Menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit o Menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja standar SAE-1020 dengan laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun dengan temperatur pengujian 55oC. o Mempunyai pH 2 untuk B3 bersifat asam, dan atau pH 12,5 untuk B3 bersifat basa. Pengelolaan limbah radioaktif tidak termasuk dalam peraturan ini (Ps 5 PP18/99), dan kewenangan pengelolaannya dilakukan oleh Badan Tenaga Atom Nasional sesuai dengan UU no. 31 tahun 1994 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom. Limbah yang Dapat Dikeluarkan dari Daftar Lampiran I: Menurut PP85/99, daftar limbah yang dapat dikecualikan adalah seperti terdapat pada Lampiran I Tabel 2, dengan kode: D220: limbah dari kegiatan eksplorasi dan produksi minyak, gas dan panas bumi. Asal limbahnya adalah slop minyak, drilling mud bekas, sludge minyak, karbon aktif dan absorban bekas, sludge dari IPAL, cutting pemboran, residu dasar tanki. D221: limbah dari kegiatan kilang minyak dan gas bumi. Asal limbahnya adalah sludge minyak, katalis bekas, karbon aktif bekas, sludge dari IPAL, filter bekas, residu dasar tanki, limbah laboratorium, limbah PCB D223: PLTU yang menggunakan bahan bakar batubara. Asal limbahnya adalah fly ash, bottom ash, limbah PCB
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 25

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Limbah tersebut di atas dapat dinyatakan sebagai limbah B3 setelah dilakukan uji karakteristik dan atau uji toksikologi. Namun pada kenyataannya di lapangan, semua jenis limbah tersebut oleh yang berwenang dinyatakan sebagai limbah B3, tanpa menunggu pembuktian terlebih dahulu. Selanjutnya Ps 8 mengatur bahwa limbah B3 yang tercantum dalam Lampiran I Tabel 2 PP85/99 dapat dikeluarkan dari daftar setelah dapat dibuktikan bukan limbah B3 berdasarkan prosedur pembuktian secara ilmiah, yaitu: Uji karakteristik limbah B3 Uji toksikologi Hasil studi yang menyimpulkan bahwa limbah yang dihasilkan tidak menimbulkan pencemaran dan gangguan kesehatan terhadap manusia dan mahluk hidup lainnya. Kegiatan dan Pelaku Pengelolaan: Berbeda dengan PP19/94 jo PP12/95, maka PP 18/99 jo PP85/99 mengarahkan penanganan limbah B3 yang lebih berbasiskan pada cleaner production, artinya mengutamakan upaya reduksi di sumber. Ps 9 (1) PP18/99 menegaskan bahwa setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan yang menggunakan B3 atau menghasilkan limbah B3 wajib melakukan reduksi baik bahan maupun limbahnya, dan melakukan pengolahan, dan/atau penimbunan bagi limbahnya. Bila kegiatan reduksi tersebut masih menghasilkan limbah, dan masih limbahnya dapat dimanfaatkan, maka limbah B3 tersebut dapat dimanfaatkan, baik dilakukan sendiri atau menggunakan jasa fihak lain. Ps 27 (1) PP tersebut mengarahkan bahwa reduksi limbah B3 dapat dilakukan melalui upaya: o Penyempurnaan penyimpanan bahan baku dalam proses house keeping, o Substitusi bahan o Modivikasi proses o Serta upaya reduksi lainnya Secara teknis operasional, maka pengelolaan limbah B3 menurut PP 18/99 jo PP85/99 merupakan suatu rangkaian kegiatan (Ps 1.3) dari terbentuknya limbah oleh penghasil, kemudian upaya reduksi limbah (sebelum terbentuk) seperti diuraikan di atas. Rangkaian mata rantai berikutnya adalah: Pemanfaatan limbah oleh pemanfaat, Pengumpulan limbah oleh pengumpul, Pengangkutan limbah oleh pengangkut, dan Pengolahan dan penimbunan limbah oleh pengolah Dalam kegiatan tersebut, terkait berbagai fihak yang merupakan mata rantai dalam pengelolaan limbah B3. Setiap mata rantai tersebut memerlukan pengawasan dan pengaturan. Oleh karenanya, PP tersebut mengatur masalah perizinan bagi mereka yang akan terlibat dalam bisnis kegiatan operasional tersebut. Aspek pengawasan dan sanksi juga diatur dalam kedua PP tersebut. Badan yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi pengelolaan limbah B3 tersebut di Indonesia adalah sebuah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan. Sebelum dibubarkan beberapa tahun lalu, maka Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, yang dikenal sebagai BAPEDAL, bertanggung jawab akan hal itu. Dengan penyatuan institusi Bapedal dalam Kementerian Lingkungan Hidup, maka instansi yang bertanggung sepertinya berada pada Kementerian ini. Dengan adanya kedua PP tersebut, maka setiap penghasil limbah B3, tanpa kecuali, dilarang membuang limbahnya secara langsung ke dalam media lingkungan hidup,
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 26

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

tanpa pengolahan terlebih dahulu (Ps3). Disamping itu, penanganan limbah B3 dengan jalan pengenceran sehingga konsentrasinya menjadi turun tidak diperbolehkan dilakukan (Ps4), karena kegiatan ini tidak akan menurunkan beban limbah yang dihasilkan. Setiap kegiatan yang menghasilkan limbah B3, wajib mengolah limbahnya sesuai dengan teknologi yang ada, dan bila tidak mampu diolah di dalam negeri dapat diekspor ke negara yang mempunyai teknologi pengolahan yang sesuai (Ps9-3). Pengaturan lintas batas limbah B3 dari dan keluar Indonesia diatur dalam Ps53. Bagi mereka yang tidak mampu untuk menangani limbahnya sesuai peraturan yang ada, maka penghasil limbah tersebut diperbolehkan menyerahkan penanganan limbahnya kepada pemanfaat limbah (Ps9-2) atau pengolah atau penimbun limbah B3 (Ps9-4) yang mempunyai kewenangan untuk itu. Namun penghasil limbah B3 tetap bertanggung jawab atas limbah yang diolah tersebut, walaupun telah diserahkan penanganannya pada fihak lain. Demikian juga upaya kegiatan pengumpulan dan pengangkutan limbah B3 menuju lokasi pemerosesan berikutnya, dapat diserahkan kepada fihak lain, sebagaimana diatur dalam Ps12 dan Ps15 PP18/99. Batas waktu bagi penghasil limbah, atau pemanfaat limbah atau pengolah/penimbun limbah untuk menyimpan limbahnya sebelum dikelola lebih lanjut tidak lebih dari 90 hari (Ps10, Ps18 dan Ps23). Dengan demikian, penghasil limbah tidak harus menyerahkan limbahnya setiap saat kepada pengumpul atau pengangkut atau pengolah limbah. PP ini juga mengatur penghasil limbah yang dikatagorikan sedikit menghasilkan limbah B3, yang dikenal sebagai Small Quantity Generator (SQG). Bila limbah B3 yang dihasilkan kurang dari 50 kg/hari, maka penghasil limbah tersebut dapat menyimpan limbahnya lebih dari 90 hari, dengan syarat mendapat persetujuan instansi yang bertanggung jawab (Ps10). Selama penyimpanan tersebut, maka penghasil limbah dikenai kewajiban untuk mematuhi tata cara penyimpanan bagi limbah B3 (Ps29), pemberian symbol dan label untuk setiap kemasan yang digunakan yang menunjukkan karakteristik dan jenis limbah B3 tersebut (Ps28). Kewajiban penghasil limbah adalah mendata limbahnya secara baik, yang mencakup (Ps11-1): o Jenis, karakteristik, jumlah dan waktu, baik pada saat limbah dihasilkan, maupun pada saat limbah tersebut diserahkan kepada pengelola berikutnya o Nama pengangkut limbah B3 yang melaksanakan pengiriman kepada pengumpul, pemanfaat atau pengolah/penimbun limbah B3 Catatan tersebut wajib dilaporkan sekurang-kurangya sekali dalam enam bulan kepada instansi yang bertanggung jawab, dengan tembusan kepada instansi lain terkait, serta Bupati/Walikota yang bersangkutan. Informasi data tersebut akan digunakan untuk bahan inventarisasi serta bahan evaluasi guna pengembangan kebijakan pengelolaan limbah B3. Rantai berikutnya dalam pengelolaan ini adalah pengumpulan limbah (Ps12, Ps13 dan Ps14). Pengumpulan ini bersifat sementara, dan limbah tersebut selanjutnya harus diserahkan kepada pemanfaat, atau pengolah-penimbun limbah yang diakui oleh yang berwenang. Sebagaimana pada penghasil limbah, maka limbah boleh disimpan paling lama 90 hari sebelum diserahkan kepada rantai pengelola berikutnya. Demikian pula pengolah limbah B3 dapat menyimpan limbah yang diterimanya maksimum 90 hari sebelum dilakukan pengolahan. Kewajiban untuk mendata limbah B3 yang dikelola, serta melaporkan setiap 6 bulan sekali kepada instansi yang berwenang, merupakan hal yang harus dilaksanakan. Setiap pengangkutan limbah B3 oleh pengangkut, wajib disertai dokumen limbah B3 (Ps16). Pengangkut limbah B3 wajib menyerahkan limbah B3 dan dokumennya kepada
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 27

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

pengumpul atau pemanfaat atau pengola atau penimbun yang ditunjuk oleh penghasil limbah B3 (Ps17). Sektor pengangkutan merupakan aktivitas yang beresiko tinggi, dengan kemungkinan terjadinya kecelakaan di jalan serta hal-hal lain yang tidak diinginkan. Usaha ini membutuhkan izin terlebih dahulu dari Menteri yang mempunyai kewenangan di bidang perhubungan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Lingkungan Hidup. Disamping itu, alat angkut yang digunakan harus sesuai dengan peraturan tentang angkutan yang ada, yaitu : perkereta-apian (UU 13/1992), angkutan darat (UU 14/1992), penerbangan (UU 15/1992) dan pelayaran (UU 21/1992). Penghasil limbahpun dapat bertindak sebagai pengangkut limbah, dengan aturanaturan yang berlaku bagi pengangkut limbah B3. Selama dalam perjalanannya, limbah tersebut harus dilengkapi dokumen-dokumen yang berasal dari penghasil limbah maupun dari pengumpul limbah yang menjelaskan tentang limbah tersebut, dan menyerahkan dokumen tersebut kepada pengolah limbah bila limbah tersebut telah sampai di tujuan. Rantai akhir dari sistem ini adalah pengolahan dan penyingkiran (disposal) limbah. Pada dasarnya, pengolahan limbah bersasaran untuk merubah karakteristik dan komposisi limbah tersebut agar menjadi tidak berbahaya lagi. Disamping itu, pengolahan limbah bersasaran agar limbah tersebut dapat terdaur-ulang atau terdaurpakai. Proses tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi yang sesuai, seperti secara termal, stabilisasi dan solidifikas, pengolahan secara fisika, kimia dan biologi (Ps34). Bila teknologi tersebut tidak dapat diterapkan, maka dibutuhkan teknologi lain yang terbaik dan tersedia. Rantai pengeolaan yang paling akhir adalah penimbunan imbah B3 dalam sebuah landfill limbah B3 dengan system pelapis dasar. Mekanisme Cradle-to-Grave: Dokumen limbah akan memegang peranan penting dalam pemantauan perjalanan limbah B3 dari penghasil sampai ke pengolah limbah. Dokumen tersebut antara lain berisi: o Nama dan alamat penghasil limbah atau pengumpul yang menyerahkan limbah o Tanggal peneyerahan limbah o Nama dan alamat pengangkut limbah o Tujuan pengangkutan o Jenis, jumlah, komposisi, dan karakteristik limbah yang diserahkan. Dokumen tersebut dibuat dalam rangkap 7 apabila pengangkutan hanya satu kali. Apabila pengengkutan lebih dari satu kali (antar moda), maka dibutuhkan dokumen 11 rangkap, yang akan merupakan sarana permantauan yang serupa dengan konsep cradle-to-grave yang diterapkan di Amerika Serikat. Berdasarkan uraian dalam Penjelasan atas PP 18/99, rincian distribusi dokumen limbah tersebut adalah sebagai berikut: Lembar ke 1 (asli): disimpan pengangkut setelah ditandatangani oleh pengirim limbah Lembar ke 2: setelah ditandatangai oleh pengangkut limbah, kemudian dikirimkan kepada instansi yang bertanggung jawab oleh pengirim limbah. Lembar ke 3: disimpan oleh penghasil setelah ditandatangani oleh pengangkut Lembar ke 4: setelah ditanda tangani oleh pengirim limbah, kemudian oleh pengangkut diserahkan kepada penerima limbah Lembar ke 5: dikirimkan oleh penerima kepada instansi yang bertanggung jawab setelah diterima oleh penerima limbah B3 Lembar ke 6: dikirimkan oleh pengangkut kepada Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan pengirim, setelah ditandatangani pleh penerima limbah
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 28

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Lembar ke 7: setelah ditandatangani oleh penerima, maka oleh pengangkut dikirimkan kepada pengirim limbah. Lembar ke 8 sampai ke 11 dikirim oleh pengangkut kepada pengirim limbah setelah ditandatangani oleh pengangkut terdahulu dan diserahkan kepada pengangkut berikutnya (antar moda). Dalam bentuk skema, mata rantai perjalanan limbah beserta dokumennya adalah seperti tercantum dalam Skema 3.1.

Skema 3.1 : Mata rantai perjalanan limbah beserta dokumennya Pengelolaan limbah B3 memungkin badan swasta untuk terlibat di dalamnya, baik sebagai penyimpan, pemanfaat, pengumpul, pengangkut maupun sebagai pengolah limbah tersebut. Untuk itu dibutuhkan izin operasi (Ps40), yaitu : dari Kepala instansi yang bertanggung jawab untuk kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pemanfataan, dan pengolahan-penimbunan, dari Menteri Perhubungan untuk kegiatan pengangkutan limbah B3, setelah mendapat rekomendasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab, Disamping mempunyai legalitas badan usaha, persyaratan lain untuk memperoleh izin tersebut adalah adanya informasi yang menyangkut tentang: nama dan alamat yang jelas dari badan usaha tersebut, nama dan alamat penanggung jawab, lokasi tempat kegiatan, bentuk kegiatan yang akan dilakukan, bahan baku dan proses yang akan digunakan, spesifikasi alat pengolah limbah, jumlah dan karakteristik limbah yang akan ditangani, tata letak sarana dan prasarana, alat pencegahan pencemaran yang digunakan Yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan izin lokasi pengolahan adalah kepala kantor pertanahan kabupaten/kota (pasal 42) sesuai dengan rencana tata ruang berdasarkan rekomendasi Kepala instansi yang bertanggung jawab. Disamping itu, untuk melengkapi perizinan kegiatan pengolahan limbah tersebut, dibutuhkan analisis dampak lingkungan terlebih dahulu, disertai dokumen-dokumen yang biasa menyertainya. Dalam hal penghasil limbah bertindak pula sebagai pengolah limbah dan kegiatan tersebut dilakukan pada lokasi yang sama, maka analisis dampak lingkungannya dibuat teritegrasi dengan kegiatan utamanya dengan persyaratan yang berlaku. Untuk itu, hanya rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan yang telah disetujui oleh instansi berwenang yang diajukan kepada Instansi yang bertanggung jawab bersama persyaratan lainnya.
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 29

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

PP18/99 tersebut juga mengatur perpindahan lintas batas limbah B3 dari dan ke luar Indonesia (Ps53). Guna mencegah dijadikannya wilayah Indonesia sebagai tempat pembuangan limbah B3, maka limbah B3 dilarang masuk ke wilayah Indonesia. Dalam hal pengangkutan limbah B3 antara negara yang melalui wilayah Indonesia, maka dibutuhkan pemberitahuan tertulis terlebih dahulu kepada pemerintah Republik Indonesia. Pengiriman limbah B3 ke luar Indonesia membutuhkan persetujuan tertulis dari pemerintah negara penerima dan izin tertulis dari pemerintah Indonesia. Pengawasan pengelolaan limbah B3 yang dilakukan oleh Instansi yang bertanggung jawab meliputi pematauan penaatan persyaratan serta ketentuan teknis dan administratif oleh fihak-fihak yang mengelola limbah B3. Pengawasan tersebut mempunyai kewenangan untuk: memasuki area lokasi kegiatan, mengambil contoh limbah untuk dianalisa di laboratorium, meminta keterangan tentang pelaksanaan pengelolaan limbah, melakukan pemotretan untuk kelengkapan pengawan tersebut. Kewajiban penghasil, pengumpul, pengangkut dan atau pengolah limbah adalah membantu sepenuhnya aktivitas pengawasan yang dilakukan di daerah tanggung jawabnya. Hal lain yang mendapat perhatian dalam kedua PP tersebut adalah kesehatan dan keselamatan pekerja yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan ini serta tanggung jawab pengelola bila terjadi kecelakaan serta pencemaran. Pemeriksaan kesehatan pekerja oleh instansi yang berwenang di bidang kesehatan tenaga kerja dilakukan secara berkala agar sejak dini dapat diketahui terjadinya kontaminasi oleh zat-zat berbahaya. Upaya ini merupakan kewajiban fihak pengelola untuk melaksanakannya. Bila terjadi kecelakaan atau pencemaran atau kerusakan lingkungan akibat kegiatan tersebut, maka fihak pengelola bertanggung jawab atas hal ini, dan fihak pengelola diwajibkan untuk segera menaggulanginya. Bila fihak pengelola tidak dapat menanggulanginya secara baik, maka Instansi yang bertanggung jawab akan melakukan upaya penanggulangan, dan biaya kegiatan tersebut dibebankan pada fihak pengelola. 3 KONSEP CRADLE-TO-GRAVE AMERIKA SERIKAT Sebagai negara industri, Amerika Serikat relatif banyak mengalami banyak masalah dengan limbah, khususnya limbah industri. Kontrol yang aktif dari masyarakatnya banyak menelorkan peraturan-peraturan guna mengatur masalah ini. Beberapa peraturan-peraturan Federal yang berkaitan dengan masalah lingkungan, khususnya yang berkaitan dengan masalah pengelolaan limbah B3 antara lain adalah : Atomic Energy Act (1954) : merupakan revisi Atomic Energy Act tahun 1946, yang mengatur permasalahan penggunaan energi nuklir. Federal Insecticide, Fungicide and Rodenticide Act (FIFRA-1972) : mengatur penyimpanan dan disposal pestisida. Solid Waste Disposal Act (1965) dan Resource Recovery Act (1970) : pengaturan tentang pengolahan dan pendaur-ulangan buangan padat. Toxic Substances Control Act (TSCA - 1976) : pengaturan penggunaan bahan kimia berbahaya yang baru dihasilkan. Resource Conservation and Recovery Act (RCRA - 1976) : pengaturan pengelolaan limbah berbahaya Hazardous and Solid Waste Amandements Act (HSWA - 1984) : tentang perlindungan terhadap air tanah dari limbah berbahaya Comprehensive Environmental Response, Compensation and Liabilities Act (CERCLA - 1980) dan Superfund Amendement and Reautorization Act (SARA Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 30

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

1986) yaitu tentang pengaturan dan pendanaan bagi pembersihan site disposal berbahaya yang sudah tidak beroperasi. Pollution Prevention Act (1990) : strategi penanganan pencemaran limbah dengan memberikan priporitas pada minimasi limbah Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan tersebut di atas, maka yang sangat berkaitan erat dengan masalah limbah berbahaya adalah TSCA (1976), RCRA (1976), HSWA (1980), CERCLA (1980) dan SARA (1986). Toxic Substances Control Act (TSCA) memberi kewenangan pada USEPA untuk mengidentifikasi dan memantau bahan-bahan kimia berbahaya di lingkungan ; disamping itu USEPA mempunyai kewenangan untuk mendapatkan informasi tentang bahan berbahaya ini di sumbernya (pabrik). Efek toksik dari bahan yang baru dihasilkan, harus diuji dulu sebelum bahan tersebut diproduksi untuk dipasarkan. Bahan-bahan kimia yang diproduksi sebelum TSCA juga terkena peraturan ini. Katagori produk yang tidak termasuk dalam kontrol TSCA adalah tembakau, pestisida, bahan nuklir, senjata api/amunisi, makanan, aditif untuk makanan, obat-obatan dan kosmetika. Produk ini telah diatur oleh peraturan-peraturan sebelumnya. Dengan adanya peraturan tersebut maka tidak satupun bahan kimia yang boleh diimport atau dieksport tanpa kontrol dan persetujuan USEPA. Salah satu kasus yang dapat dijadikan contoh adalah penggunaan polychlorinated biphenyl (PCB). PCB telah diproduksi di Amerika Serikat sejak tahun 1929, dan merupakan bahan cair dengan sifat-sifat yang menguntungkan yaitu mempunyai stabilitas panas serta sifat-sifat transfer panas yang ideal, sehingga digunakan sebagai media transfer panas pada transformator dan kapasitor. Namun uji coba pada hewan akhirnya menunjukkan bahwa PCB dapat menyebabkan kanker dan sebagainya, serta terkonsentrasi pada jaringan lemak. Melalui TSCA, produk PCB di Amerika Serikat telah dihentikan (1977), namun sejumlah besar alat listrik masih menggunakan bahan ini. Diperkirakan sekitar 77.000 transformator dengan PCB telah diproduksi. Direncanakan, transformator tersebut akan ditarik dari peredaran oleh USEPA. Proses pemusnahan yang paling cocok adalah dengan insinerasi pada temperatur 1200 100C selama 2 detik dengan 3% kelebihan oksigen di cerobong, atau 1600 100C selama 1,5 detik dengan 2 % kelebihan oksigen. DRE (Destruction and Removal Efficiency) yang dipersyaratkan paling tidak adalah sebesar 99,9999 %. Solid Waste Disposal Act pada dasarnya mengatur tata cara disposal (penyingkiran) limbah kota dan industri, agar tidak mengganggu terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, serta bagaimana mengurangi timbulan limbah tersebut. Perkembangan lebih lanjut ternyata dibutuhkan aturan-aturan lebih jauh agar limbah tersebut, khususnya limbah B3, dikelola dengan baik. Berdasarkan hal ini keluarlah RCRA, yang terdiri dari berbagai Subtitle. RCRA dianggap merupakan produk legislatif yang paling penting dalam pengaturan limbah B3, dan telah mengalami beberapa kali amandemen sejak dikeluarkannya pada tahun 1976. Dalam pengelolaan limbah berbahaya, versi RCRA yang paling penting adalah aturan-aturan yang termasuk dalam Subtitle-C dengan program utamanya adalah Cradle-to-grave , yaitu dari mulai identifikasi limbah berbahaya, persyaratanpersyaratan mulai dari sumber (timbulan), transportasi, pengolahan, penyimpanan, sampai penyingkiran/pemusnahan (disposal) limbah berbahaya. RCRA dalam hal ini menugaskan USEPA untuk melaksanakan aturan-aturan yang ada. Dalam peraturan tersebut, dicantumkan aturan-aturan administratif dan tehnis untuk tiga katagori pelaku utama, yaitu : Penghasil (generator), Pengangkut (transporter), dan
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 31

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Pemilik/operator fasilitas pengolah(treatment), penyimpan (storage) dan pemusnah/penyingkir (disposal) atau TSD. Aturan RCRA selanjutnya dikodifikasi dalam Code of Federal Regulation (CFR) dengan sebutan Title 40 CFR, antara lain berisi : Identifikasi limbah B3 Penghasil limbah B3 Pengangkut limbah B3 Pemilik/operator fasilitas pengolah, penyimpan, pembuang limbah B3 Daur ulang limbah B3 Land disposal limbah B3 Izin fasilitas TSD Generator adalah penghasil (creator) limbah berbahaya yang harus menganalisis limbah padatnya sesuai aturan RCRA Subtitle-C. Bila Generator skala kecil diharuskan mengikuti aturan tersebut, USEPA menyadari akan sulit menerapkannya. Perusahaan kecil dibatasi kemampuan finansial dan kapasitasnya untuk melaksanakan aturan RCRA secara ketat. Oleh karenanya, EPA pada tahun 1980 lebih lanjut mendefinisikan Small Quantity Generator (SQG) sebagai penghasil limbah berbahaya kurang dari 1000 kg per bulan, dan pada tahun 1984 plafon SQG ini diturunkan lagi menjadi 100 kg limbah B3 per bulan. Dengan pengecualian ini, sebagian besar jenis limbah dari SQG dikeluarkan dari Subtitle-C, walaupun pengusaha tetap diwajibkan untuk menganalisis limbahnya. Generator limbah B3 harus mendapatkan nomor identifikasi dari USEPA, yang memungkinkan untuk pemanfaatkan dan pelacakan limbah berbahaya tersebut dalam mata rantai pengelolaan. USEPA juga mengadopsi aturan-aturan yang telah lama digunakan oleh US Departement of Transportation (DOT), yaitu aturan-aturan pengangkutan bahan berbahaya dan beracun mulai dari pengemasan, selama pengangkutan sampai di tujuan. Guna memungkinkan pelacakan dan pengelolaan sesuai dengan konsep Cradle-tograve, maka diciptakan mekanisme seperti Skema 3.2 :

Skema 3.2 : Konsep cradle-to-grave Amerika Serikat Setiap generator mengisi format standar dalam 6 kopi. Generator menyimpan kopi-6 dan mengirim kopi-5 ke USEPA serta memberikan copy yang lain ke transporter Transporter selanjutnya menyimpan kopi-4, dan menyerahkan copy yang lain pada perusahaan TSD (Treatment, Storage & Disposal)
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 32

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

TSD kemudian mengirimkan kopi-1 kembali ke generator, kopi-2 ke USEPA dan TSD menyimpan kopi-3. Dengan demikian, EPA dan generator dapat melacak perjalanan limbah B3 tersebut dari penimbul atau generator (cradle) ke titik penyingkiran/pemusnahan final (grave). Setiap manifes isian tersebut berisi antara lain : Pernyataan bahwa generator telah menggunakan cara-cara terbaik guna mengurangi volume dan toksisitas limbah B3 nya, Pernyataan bahwa sarana TSD yang dipilih oleh generator adalah yang terbaik dalam meminimkan resiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Generator harus sudah menerima kopi-1 dalam kurun waktu 35 hari sejak limbah tersebut diterima oleh perusahaan pengangkut (transporter); kalau tidak, generator harus menghubungi transporter atau TSD untuk menentukan status dari limbah tersebut. Disamping itu generator harus melaporkan pada USEPA dengan menunjukkan tempat (lokasi) dimana limbah itu berada. Transporter merupakan masa rantai yang sangat penting dalam sistem ini. Karena DOT sudah lama menangani transportasi bahan berbahaya, maka USEPA bekerja erat dengan DOT. Transporter harus memiliki nomor-identifikasi USEPA, dan tidak menerima limbah dari generator yang tanpa nomor tersebut. Transporter harus mengangkut limbah tersebut sesuai dengan jumlah yang tercantum dalam manifes. Transporter harus menyimpan kopi-4 dari manifes selama 3 tahun setelah limbah tersebut diterima oleh TSD. Rantai akhir dari sistem ini adalah TSD, yang melibatkan 3 kegiatan fungsional, yaitu : Treatment (pengolahan) : setiap proses yang merubah karakteristik atau komposisi limbah berbahaya sehingga menjadi tidak berbahaya atau sedikit berbahaya, atau setiap proses yang mampu melakukan pengurangan volume atau mampu memanfaatkan kembali limbah tersebut. Storage (penyimpanan) : penyimpanan sementara limbah berbahaya sebelum diolah atau dimusnahkan atau didaur-ulang. Disposal (pemusnahan/penyingkiran) : penyimpanan limbah berbahaya dengan cara yang dianggap aman dengan penimbunan dalam tanah. Pengusaha yang ingin berkecimpung dalam usaha ini harus memasukkan permohonan yang mencakup rancangan sarananya, termasuk juga cara analisis limbah B3 dan sebagainya. Bila usulan tersebut disetujui (bisa memakan waktu sampai 3 tahun), maka aktifitas tersebut dikomunikasikan pada masyarakat selama 45 hari. Sebelum adanya Comprehensive Enviromental Respons, Compensation and Liabilites Act (CERCLA), maka EPA hanya mampu mengatur pengelolaan limbah berbahaya yang masih aktif dan baru ditutup. Sarana yang sudah ditutup sebelum peraturan ini keluar, tidak terjangkau oleh EPA. Oleh karenanya, CERCLA adalah berfungsi menangani "dosa masa lalu", terutama pada landfill limbah B3 yang tidak terkontrol. CERCLA diperkuat oleh SARA yang mengatur pengumpulan dana melalui pajak khusus untuk menjamin terlaksananya pembersihan lingkungan. Dengan CERCLA, maka USEPA mempunyai kewenangan untuk bertindak terutama bila berkaitan dengan pengaruh limbah B3 terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, misalnya karena terjadinya kebocoran, ledakan, kontaminasi terhadap rantai makanan atau pencemaran terhadap sumber-sumber air minum. Salah satu isu penting terhadap lahan pengurugan (landfilling) yang tidak terkontrol secara baik adalah bagaimana mengidentifikasikan dan mengkuantifikasi resiko
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 33

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Terdapat dua jenis tindakan dari USEPA, yaitu : a) Penyingkiran (pengangkutan kembali) substansi berbahaya dan pembersihan segera bagian-bagian lahan, atau kegiatan-kegiatan stabilisasi sementara lainnya, sampai pemecahan final yang permanen diterapkan pada lahan tersebut ; kegiatan ini bersifat program jangka pendek. b) Kegiatan yang bersifat penyembuhan (remedial), yang merupakan pemecahan yang permanen dari masalah yang timbul. Dalam kegiatan yang bersifat jangka panjang ini, termasuk pula penentuan kontribusi penanggung jawab atas masalah ini, serta proporsi beban dana yang dipikulkan pada masing-masing pelaku, yaitu generator, transporter, pemilik/pengoperasi sarana TSD. Referensi Utama: Peraturan Pemerintah Nomor 18/1999: Pengelolaan Limbah B3 Peraturan Pemerintah Nomor 85/1999: Amandemen PP18/99 Wagner,T.P.: Hazardous waste identification and classification manual, Van Nostrand Reinhold, 1990 Wentz, C.A.: Hazardous waste management, McGraw-Hill Book, 1989

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 34

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

BAGIAN IV PELABELAN, PENYIMPANAN DAN PENGANGKUTAN

1 UMUM
Untuk memberikan gambaran tentang aspek penyimpanan sampai pengangkutan bahan berbahaya, maka aturan-aturan yang diberlakukan di USA, khususnya dalam mengatur transportasi bahan berbahaya yang diatur dalam Hazardous Materials Transportation Act, dapat digunakan. Menurut US Department of Transportation (USDOT), bahan berbahaya adalah setiap bahan yang dapat menimbulkan resiko terhadap kesehatan, keselamatan dan harta benda bila diangkut. Pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang berarti dalam menyimpan dan mengangkut B3 atau limbah B3. Namun terlihat bahwa pengaturan limbah B3 terkesan lebih ketat dibandingkan pengaturan B3, karena pengaturan B3 sudah dilaksanakan sejak lama, dan menjadi standar baku secara universal, khususnya dalam menangani bahan kimia dan bahan bakar. Dalam Diktat ini juga diuraikan tata-cara yang berlaku di Indonesia dalam menanangani limbah B3 yang berasal dari beberapa regulasi yang dikeluarkan sebelum PP 74/2001 dikeluarkan. Penyimpanan, pengumpulan dan pengangkutan merupakan komponen-komponen teknik operasional pengelolaan limbah B3 seperti diatur dalam PP 19/1994 dan PP12/1995, yang kemudian diganti menjadi PP 18/99 dan PP 85/1999. Pengaturan teknis tentang aspek ini sejak tahun 1995 diatur dalam: a) Kep.Kepala Bapedal No.01/Bapedal/09/1995: tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah B3 b) Kep.Kepala Bapedal No.02/Bapedal/09/1995: tentang Dokumen Limbah B3 c) Kep.Kepala Bapedal No.05/Bapedal/09/1995: tentang Simbol dan Label Limbah B3

2 DOKUMEN
Bahan-bahan berbahaya tersebut bila akan diangkut ke tempat lain, harus dilengkapi dengan dokumen resmi, yang merupakan legalitas kegiatan pengelolaan sehingga dokumen ini akan merupakan sarana/alat pengawasan dalam konsep cradle-to-grave. Dokumen ini dikenal pula sebagai shipping papers, dengan format yang telah dibakukan dengan Keputusan Kepala Bapedal No.02/Bapedal/09/1995, yang antara lain terdiri dari: a) Bagian yang harus diisi oleh penghasil atau pengumpul limbah B3, antara lain berisi: Nama dan alamat penghasil atau pengumpul limbah B3 yang menyerahkan limbah B3 Nomor identifikasi (identification number) UN/NA Kelompok kemasan (packing group), Kuantitas (berat, volume dan sebagainya) Kelas 'bahaya' dari bahan itu (hazard class), Tanggal penyerahan limbah Tanda tangan pejabat penghasil atau pengumpul, dilengkapi tanggal, untuk menyatakan bahwa limbahnya telah sesuai dengan keterangan yang ditulis serta telah dikemas sesuai peraturan yang berlaku Bila pengisi dokumen adalah pengumpul yang berbeda dengan penghasil, maka dokumen tersebut dilengkapi dengan salinan penyerahan limbah tersebut dari penghasil limbah. b) Bagian yang harus diisi oleh pengangkut limbah B3, antara lain berisi : Nama dan alamat pengangkut limbah B3 Tanggal pengangkutan limbah Tanda tangan pejabat pengangkut limbah c) Bagian yang harus diisi oleh pengolah atau pengumpul atau pemanfaat limbah B3, antara lain berisi: Nama dan alamat pengolah atau pengumpul atau pemanfaat limbah B3

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 35

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Tanda tangan pejabat pengolah, pengumpul atau pemanfaaat, dilengkapi tanggal, untuk menyatakan bahwa limbah yang diterima sesuai dengan keterangan dari penghasil dan akan diproses sesuai peraturan yang berlaku d. Apabila limbah yang diterima ternyata tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat, maka limbah tersebut dikembalikan lagi kepada penghasil, disertai keterangan: Jenis limbah dan jumlahnya Alasan penolakan Tanda tangan pejabat pengolah atau pemanfaat dan tanggal pengembalian Surat-surat dokumentasi pengangkutan tersebut ditempatkan di kendaraan angkut sedemikian rupa sehingga cepat didapat dan tidak tercampur dengan surat-surat lain. Penghasil limbah B3 akan menerima kembali dokumen limbah B3 tersebut dari pengumpul atau pengolah selambatlambatnya 120 hari sejak limbah tersebut diangkut untuk dibawa ke pengumpul atau pengolah atau pemanfaat. Nomor identifikasi mempunyai kode UN (United Nation) atau NA (North America) diikuti oleh 4 digit angka, yang secara cepat akan dapat memberikan informasi bila terjadi kecelakaan. Diharapkan Tim yang bertanggungjawab dalam menangani kecelakaan, secara cepat dapat mengidentifikasi sifat bahan berbahaya itu serta cara penanggulangannya.

2 SIMBOL DAN LABEL


Label Versi US-DOT: Guna keamanan dan memudahkan pengenalan secara cepat bahan berbahaya tersebut, maka United States - Department of Transportation (US-DOT) digunakan tanda-tanda dalam bentuk simbul dan label. Simbol berbentuk bujur sangkar diputar 45 derajat sehingga membentuk belah ketupat. Pada keempat sisi belah ketupat tersebut dibuat garis sejajar yang menyambung sehingga membentuk bidang belah ketupat dalam ukuran 95 persen dari ukuran belah ketupat bahan. Warna garis yang membentuk belah ketupat dalam sama dengan warna simbol. pada bagian bawah simbol terdapat blok segilima dengan bagian atas mendatar dari sudut terlancip terhimpit dengan garis sudut bawah belah ketupat bagian dalam. Simbol yang dipasang pada kemasan minimal berukuran 10 cm x 10 cm, sedangkan simbol pada kendaraan pengangkut tempat penyimpanan minimal 25 cm x 25 cm. Sedang label merupakan penandaan pelengkap yang berfungsi memberikan informasi dasar mengenai kondisi kualitatif dan kuantitatif dari suatu bahan yang dikemas. Simbol atau label tersebut pada dasarnya dibagi berdasarkan kelas bahaya dari limbah yang akan diangkut. Terdapat 9 klasifikasi bahan berbahaya menurut versi USDOT yaitu: a) Kelas-1: bahan yang mudah meledak (explosive), terbagi lagi menjadi 5 divisi dengan nomor 1.1 sampai 1.5 sesuai dengan jenis akibat yang dapat ditimbulkan oleh eksplosif tersebut. Definisi eksplosif menurut USDOT adalah setiap senyawa kimia, campuran atau peralatan, yang penggunaannya adalah dengan memfungsikan ledakannya. b) Kelas-2: gas, terbagi menjadi 3 divisi dengan nomor 2.1 sampai 2.3 sesuai dengan sifatsifatnya, yaitu: Divisi 2.1: flammable gas (gas mudah terbakar) yaitu bahan berupa gas yang pada temperatur -20 C dan tekanan 1 atmosfir akan terbakar bila bercampur dengan udara sekitar 13 % volume atau kurang Divisi 2.2: nonflammable compressed gas yaitu setiap bahan atau campuran yang dikemas pada tabung gas dengan tekanan dan tidak termasuk ke dalam divisi 2.1 dan 2. Divisi 2.3: poisonous gas (gas beracun) yaitu bahan berupa gas yang pada temperatur 20 C dengan tekanan 1 atmosfir akan merupakan bahan toksik pada manusia, atau dianggap toksik pada manusia dengan adanya pengujian pada binatang di laboratorium dengan harga LC50< 5000 ppm. c) Kelas-3: cairan mudah terbakar (flammable). Kriteria cairan yang mudah terbakar adalah setiap cairan dengan titik nyala (flash point) tidak lebih dari 60,5 C. d) Kelas-4: padatan mudah terbakar atau berbahaya bila lembab, terbagi menjadi 3 divisi dengan nomor 4.1 sampai 4.3 sesuai dengan sifat-sifatnya, yaitu :
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 36

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Divisi 4.1: flammable solid yaitu bahan padat, bukan peledak, yang bila pada kondisi normal terjadi kecelakaan akan menyebabkan terbentuknya api akibat gesekan dan sebagainya, atau bila dibakar akan menyala segera dan cepat. Divisi 4.2: spontaneously combustible materials yaitu bahan yang bila pada kondisi normal terjadi kecelakaan secara spontan akan menjadi panas akibat berkontak dengan udara misalnya bahan yang termasuk pyrophoric. Divisi 4.3: dangerous when wet materials yaitu bahan yang secara spontan menyala atau memberikan gas bila berkontak dengan air. e) Kelas-5: pengoksidasi dan peroksida organik, terbagi menjadi 2 divisi. Oksidator adalah bahan kimia seperti khlorat, permanganat, peroksida organik, nitrat dan sebagainya yang dapat mengoksidasi materi organik, sedang peroksida organik adalah senyawa yang mengandung struktur - O - O - . f) Kelas-6: bahan racun dan menular, terbagi menjadi 2 divisi. Kelompok berikutnya adalah bahan beracun (di luar gas) yang diketahui toksik pada manusia, dan bahan menular baik berupa mikroorganisme atau toxin yang dapat mendatangkan penyakit pada manusia. g) Kelas-7: bahan radioaktif. Bahan radioaktif (termasuk kelas-7) menurut versi USDOT adalah setiap materi atau kombinasi materi yang secara spontan mengionisasi radiasi dengan aktivitas spesifik lebih besar dari 0,002 microcurie per-gram. Plakat yang digunakan berlabelkan Radioactive white-I, Radioactive yellow-II dan Radioactive yellow-III. Radioactive white-I dengan bahaya minimum, dengan plakat warna putih dan simbol hitam. Radioactive Yellow-III adalah dengan bahaya maksimum. Plakat Radioactive yellow-II dan Radioactive yellow-III berwarna kuning di atas, dan putih di bawah dengan simbol hitam, sedang tulisan I, II atau III dengan warna merah. h) Kelas-8: bahan korosif. Bahan korosif (kelas-8), baik cair atau padat, menurut versi USDOT didefinisikan sebagai bahan yang dapat menyebabkan kerusakan visibel ke materi yang kontak dengannya. i) Kelas-9: lain-lain. Kelompok lain-lain (kelas-9) adalah bahan yang yang dapat menyebabkan bahaya, tetapi belum termasuk dalam katagori kelas sebelumnya, seperti obat bius dan sebagainya. Disamping itu, terdapat bahan yang tidak termasuk dalam kelas tersebut (tertulis 'none'), yaitu: Bahan-bahan terlarang Bahan-bahan eksplosif terlarang Bahan-bahan dengan aturan lain, dengan kode ORM (other regulated materials) ORM-D: komuditas konsumer seperti hair spray ORM-E: lain-lain yang diatur oleh USDOT Label Versi NFPA: Disamping US-DOT, maka di Amerika Serikat the National Fire Protection Association (NFPA) mengembangkan pula label berwarna dengan kode, untuk mengindikasikan bahaya bahan kimia terhadap kesehatan, flammabilitas, dan reaktivitas. Label dibutuhkan dipasang pada seluruh bahan kimia yang ada di sebuah laboratorium, bila belum mencantumkan label yang sesuai, maka label NFPA ini merupakan label yang perlu dipasang. Bentuk belah ketupat yang dibagi empat, dengan warna masing-masing kotak berbeda. Untuk menujukkan derajad bahaya maka digunakan angka: o Setiap kotak diberi warna: biru (bahaya terhadap kesehatan), merah (fbahaya terhadap kebakaran), kuning (bahaya terhadap reaktivitas), dan putih (bahaya khsusus) o Angka dan notasi yang terdapat pada masing-masing kotak adalah: a. Bahaya terhadap kesehatan: o 0 = minimal, artinya tidak terdapat bahaya toksisitas o 1 = ringan, artinya mempunyai karakter dapat menyebabkan iritasi, tetapi hanya berakibat minor bahkan tanpa perawatan, dan/atau tidak berbahaya bila digunakan secara hati-hati dan bertanggung jawab o 2 = moderat, artinya artinya mempunyai karakter yang dapat menyebabkan bahaya bila paparan berlanjut, dan mungkin menyebabkan luka atau kerusakan kecuali dilakukan pengobatan o 3 = serius, artinya mempunyai karakter yang dapat menyebabkan luka atau kerusakan pada paparan yang singkat walau dilakukan pengobatan, dan/atau diketahui mempunyai efek karsinogen, mutagen atau teratogen pada binatang
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 37

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

4 = ekstrim, merupakan bahan yang sangat toksik, yang dapat menyebabkan kematian atau kerusakan dalam paparan yang sangat singkat, dan dilakukan pengobatan b. Bahaya terhadap timbulnya kebakaran: o 0 = minimal, artinya tidak terbakar, tidak menyebabkan flash point, tidak terbakar di o udara bila terpapar pada 815,5 C selama 5 menit. o 1 = ringan, artinya baru dapat terbakar bila dipanaskan terlebih dahulu, dan/atau o akan terbakar di udara terbuka bila terpapar pada 815,5 C selama 5 menit, dan/atau o mempunyai flash point di bawah 93,4 C o 2 = moderat, artinya bahan tidak mudah terbakar yang mempunyai karakter dapat terbakar bila terpapar panas terlebih dahulu, atau perlu terpapar pada temperatur tinggi agar kebakaran terjadi, dan/atau bahan padat yang menghasilkan uap mudah o o terbakar, dan/atau mempunyai flash point di atas 37,8 C tetapi lebih kecil dari 93,4 C o 3 = serius, artinya bahan mudah terbakar yang mempunyai karakter menghasilkan uap yang mudah terbakar dalam kondisi biasa, dan/atau dapat membentuk ledakan yang terbakar dengan cepat di udara, dan/atau siap terbakar dengan sendirinya akibat kandungan oksigen di dalamnya, dan/atau mempunyai flash point di atas o o 22,8 C, tetapi di bawah 37,8 C o 4 = ekstrim, merupakan bahan yang mudah terbakar dengan flash point di bawah o 22,8 C c. Bahaya terhadap adanya air (reaktif terhadap air): o 0 = minimal, artinya bahan yang stabil, dan tidak reaktif terhadap air. o 1 = ringan, artinya bahan yang stabil yang menjadi tidak stabil bila terpapar pada temperatur tekanan tinggi. o 2 = moderat, artinya bahan yang tidak stabil dan akan cepat berubah tetapi tidak menimbulkan ledakan, dan/atau bahan yang akan berobah kompisisi kimianya dengan melepaskan enersi yang dikandungnya pada temperatur dan tekanan normal, dan/atau akan bereaksi dengan keras bila terdapat air, dan/atau akan menghasilkan ledakan bila bercampur dengan air. o 3 = serius, artinya bahan yang dapat meledak namun membutuhkan penyulut yang kuat agar eterjadi, atau dapat menyimpan panas sebelum terjadi kebakaran, dan/atau bahan yang sensitive terhadap panas, atau terhadap kejutan mekanis pada temperatur tin gi, dan/atau bahan yang bereaksi dengan sendirinya dengan air tanpa membutuhkan panas terlebih dahulu. o 4 = ekstrim, bahan yang dapat meledak dan terdekomposisi secara keras pada temperatur dan tekanan normal, dan atau bahan yang dapat menghasilkan reaksi eksotermis dengan sendirinya bila berkontak dengan bahan tanpa atau adanya biasa biasa, dan/atau bahan yang sensitive terhadap perubahan kejutan mekanis atau panas pada temperatur dan tekanan normal. d. Bahaya spesial, yaitu: o Reaktif terahadap air (dengan kode: W) o Bahan oksidator (dengan kode: Ox) o Bahan radioaktif (dengan kode tanda radioaktif) o Bahan racun (dengan kode tanda racun) o Contoh: No. 4: jenis bahaya flammabilitas = extreme

4: jenis bahaya terhadap kesehatan = ekstrim

4: jenis bahaya terhadap reaktivitas = ekstrim

W: jenis bahaya yang spesifik = reaktif terhadap air


Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 38

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Label Versi KepBapedal 05/09/1995: Di Indonesia, berdasarkan keputusan Kepala Bapedal No.05/Bapedal/09/1995 terdapat delapan jenis simbol, yaitu (Gambar 1): o Simbol klasifikasi limbah B3 mudah meledak : warna dasar oranye. Simbol berupa gambar berwarna hitam suatu materi limbah yang menunjukkan meledak, yang terdapat ditepi antara sudut atas dan sudut kiri belah ketupat bagian dalam. Pada bagian tengah terdapat tulisan MUDAH MELEDAK berwarna hitam yang diapit oleh 2 garis sejajar berwarna hitam sehingga membentuk 2 buah bangun segitiga sama kaki pada bagian dalam belah ketupat. o Simbol klasifikasi limbah B3 yang mudah terbakar : terdapat 2 (dua) macam simbol untuk klasifikasi limbah yang mudah terbakar, yaitu simbol untuk cairan mudah terbakar dan padatan mudah terbakar: simbol cairan mudah terbakar: bahan dasar merah. gambar simbol berupa lidah api berwarna putih yang menyala pada suatu permukaan berwarna putih. Gambar terletak di bawah sudut atas garis ketupat bagian dalam. Pada bagian tengah terdapat tulisan CAIRAN.. dan dibawahnya terdapat tulisan MUDAH TERBAKAR berwarna putih. Blok segilima berwarna putih. simbol padatan mudah terbakar: dasar simbol terdiri dari warna merah dan putih yang berjajar vertikal berselingan. Gambar simbol berupa lidah apai berwarna hitam yang menyala pada satu bidang berwarna hitam. Pada bagian tengah terdapat tulisan PADATAN dan dibawahnya terdapat tulisan MUDAH TERBAKAR berwarna hitam. Blok segilima berwarna kebalikan dari warna dasar simbol. o Simbol klasifikasi limbah B3 reaktif: bahan dasar berwarna kuning dengan blok segilima berwarna merah. Simbol berupa lingkaran hitam dengan asap berwarna hitam mengarah ke atas yang terletak pada suatu permukaan garis berwarna hitam. Di sebelah bawah gambar simbol terdapt tulisan REAKTIF berwarna hitam. o Simbol klasifikasi limbah B3 beracun: bahan dasar putih dengan blok segilima berwarna merah. Simbol berupa tengkorak manusia dengan tulang bersilang berwarna hitam. Garis tepi simbol berwarna hitam. Pada sebelah bawah gambar terdapt tulisan BERACUN berwarna hitam. o Simbol klasifikasi limbah B3 korosif: belah ketupat terbagi pada garis horizontal menjadi dua bidang segitiga. Pada bagian atas yang berwarna putih terdapat 2 gambar, yaitu disebelah kiri adalah gambar tetesan limbah korosif yang merusak pelat bahan berwarna hitam, dan disebelah kanan adalah gambar lengan yang terkena tetesan limbah korosif. pada bagian bawah, bidang segitiga berwarna hitam, terdapat tulisan KOROSIF berwarna putih, serta blok segilima berwarna merah. o Simbol klasifikasi limbah B3 menimbulkan infeksi: warna dasar bahan adalah putih dengan garis pembentuk belah ketupat bagian dalam berwarna hitam. Simbol infeksi berwarna hitam terletak di sebelah bawah sustu atas garis belah ketupat bagian dalam. pada bagian tengah terdapat tulisan INFEKSI berwarna hitam, dan dibawahnya terdapat blok segilima berwarna merah. o Simbol limbah B3 klasifikasi campuran: warna dasar bahan adalah putih dengan garis pembentuk belah ketupat bagian dalam berwarna hitam. gambar simbol berupa tanda seru berwarna hitam terletak di sebelah bawah sudut atas garis belah ketupat bagian dalam. Pada bagian tengah bawah terdapat tuliasan CAMPURAN berwarna hitam serta blok segilima berwarna merah. Menurut peraturan yang digunakan di Indonesia, terdapat 3 jenis label yang berkaitan dengan sistem pengemasan limbah B3, yaitu: o Label identitas limbah: berfungsi untuk memberikan informasi tentang asal usul limbah, identitas limbah serta kuantifikasi limbah dalam suatu kemasan limbah B3. Label identitas limbah berukuran minimum 15 cm x 20 cm atau lebih besar, dengan warna dasar kuning dan tulisan serta garis tepi berwarna hitam, dan tulisan PERINGATAN ! dengan huruf yang lebih besar berwarna merahdiisi dengan huruf cetak dengan jelas terbaca dan tidak mudah terhapus serta dipasang pada setiap kemasan limbah B3 yang disimpan di tempat penyimpanan, dengan mencantumkan antara lain: nama dan alamat penghasil, jumlah dan
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 39

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

jenis limbah serta tanggal pengisian. Label identitas dipasang pada kemasan di sebelah atas simbol dan harus terlihat dengan jelas. Label untuk penandaan kemasan kosong : bentuk dasar label sama dengan bentuk dasar simbol dengan ukuran sisi minimal 10 x 10 cm2 dan tulisan KOSONG berwarna hitam ditengahnya. Label harus dipasang pada kemasan bekas pengemasan limbah B3 yang telah dikosongkan dan atau akan digunakan untuk mengemas limbah B3. Label penunjuk tutup kemasan: berukuran minimal 7 x 15 cm2 dengan warna dasar putih dan warna gambar hitam. Gambar terdapat dalam frame hitam, terdiri dari 2 (dua) buah anak panah mengarah ke atas yang berdiri sejajar di atas balok hitam. Label terbuat dari bahan yang tidak mudah rusak karena goresan atau akibat terkena limbah dan bahan kimia lainnya. Label dipasang dekat tutup kemasan dengan arah panah menunjukkan posisi penutup kemasan. Label harus terpasang kuat pada setiap kemasan limbah B3, baik yang telah diisi limbah B3, maupun kemasan yang akan digunakan untuk mengemas limbah B3.

Gambar 4.1: Simbol Limbah B3 versi KepBapedal 05/09/1995

3 PENGEMASAN DAN PEWADAHAN


Pengemas B3: Pengemasan (packaging) juga diatur dan perlu dicantumkan dalam surat pengangkutan. Alat pengemas dapat berupa: drum baja, kotak kayu, drum fiber, botol gelas dan sebagainya. Pengemasan yang baik mempunyai kriteria: Bahan tersebut selama pengangkutan tidak terlepas ke luar Keefektifannya tidak berkurang Tidak terdapat kemungkinan pencampuran gas dan uap Terdapat 3 jenis kelompok pengemasan, yaitu: Kelompok I: derajat bahaya besar Kelompok II: derajat bahaya sedang Kelompok III: derajat bahaya kecil. Menjamin keselamatan transportasi bahan berbahaya merupakan aktivitas yang kompleks. Kecelakaan akibat bahan berbahaya ini akan menimbulkan masalah serius bagi manusia, hak milik dan lingkungan. Dengan demikian, aturan tata cara serta konstruksi dan penggunaan kontainer untuk bahan berbahaya harus ketat. Kecelakaan limpahan bahan berbahaya yang sering terjadi adalah karena kecelakaan lalu-lintas yang umumnya akibat kesalahan manusia dan atau alat/perlengkapan yang kurang sempurna.

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 40

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

USDOT menggariskan bahwa kontainer yang digunakan untuk mengangkut bahan berbahaya dirancang dan dibuat sedemikian rupa sehingga bila terjadi kecelakaan pada kondisi transportasi yang normal, maka: Tidak menimbulkan penyebaran bahan tersebut ke lingkungan sekitarnya Keefektifan pengemasan tidak berkurang selama perjalanan Tidak terjadi pencampuran gas atau uap dalam kemasan, yang dapat menimbulkan reaksi spontan (kenaikan panas atau ledakan) sehingga mengurangi keefektifan pengemasan; pengemasan tersebut harus menjamin tidak terjadi reaksi kimiawi di dalamnya. Kadangkala bahan berbahaya disimpan (diakumulasi) dalam drum atau kontainer. Drum yang biasa, biasanya korosif dan dapat menimbulkan masalah pada kesehatan manusia dan lingkungan. Oleh karenanya bahan berbahaya harus ditempatkan dalam drum dan kontainer yang kompatibel atau sesuai. Dibutuhkan inspeksi secara berkala. Banyak terjadi bahwa drum yang digunakan adalah drum bekas (walaupun kompatibel) untuk itu perlu diperhatikan efek jangka panjang dari drum tersebut. Ditinjau dari tonase, maka kemasan kecil di USA hanya merupakan sebagian kecil yang digunakan untuk menangani bahan berbahaya yang diangkut. Hampir setengah bahan berbahaya kemasan kecil ini diangkut melalui jalan darat serta sebagian lagi melalui udara. Bahan pengemasan yang digunakan adalah: fiberboard, plastik, kayu, kaca, fiberglass dan logam. Kombinasi container sering digunakan, misalnya botol- botol gelas dimasukkan dalam peti-peti fiberboard. Kemasan komposit seperti drum-drum dari plastik berlapis baja kadang digunakan. Kemasan dari satu jenis bahan juga banyak digunakan, seperti drum baja atau silinder untuk gas terkompres. Rancangan kontainer yang digunakan harus terkait dengan sistem transportasi terutama dimensi dan beratnya. Produk yang diproduksi dengan kuantitas kecil biasanya dikemas dalam kuantitas tersebut. Oleh karenanya kontainer yang digunakan dirancang untuk memudahkan loading, unloading, dan bagaimana menggunakan ruang transportasi yang efisien. Drum baja 55 gallon (208 liter) merupakan kapasitas terbesar yang biasa digunakan. Faktor kesalahan manusia pada pengemasan bahan berbahaya yang dikemas dalam kuantitas kecil relatif akan lebih tinggi, misalnya pengemasan yang tidak betul dan sebagainya. Beberapa temuan yang terdapat di USA adalah: Ketidak tepatan dalam menayangkan label Ketidak tepatan dalam mengelompokkan kontainer berbahaya Kebocoran pada valve Tidak tepat dalam mendeskripsikan bahan yang diangkut Tidak tepat dalam pengisian shiping paper Radiasi berlebihan di kabin truk. Pengemas dan Pewadah Limbah B3 Versi Kep No.01/Bapedal/09/1995: Di Indonesia, ketentuan tentang pengemasan dan pewadahan limbah B3 diatur dalam Kep. No.01/Bapedal/09/1995. Ketentuan dalam bagian ini berlaku bagi kegiatan pengemasan dan pewadahan limbah B3 di fasilitas: a. Penghasil, untuk disimpan sementara di dalam lokasi penghasil; b. Penghasil, untuk disimpan sementara di luar lokasi penghasil tetapi tidak sebagai pengumpul; c. Pengumpul, untuk disimpan sebelum dikirim ke pengolah; d. Pengolah, sebelum dilakukan pengolahan dan atau penimbunan; Setiap penghasil/pengumpul limbah B3 harus dengan pasti mengetahui karakteristik bahaya dari setiap limbah B3 yang dihasilkan/dikumpulkan. Apabila ada keragu-raguan dengan karakteristik limbahnya, maka harus dilakukan pengujian. Bagi penghasil yang menghasilkan limbah B3 yang sama secara terus menerus, maka pengujian dapat dilakukan sekurang-kurangnya satu kali. Apabila dalam perkembangannya terjadi perubahan kegiatan yang diperkirakan mengakibatkan berubahnya karakteristik limbah yang dihasilkan, maka terhadap masing-masing limbah B3 hasil kegiatan perubahan tersebut harus dilakukan pengujian kembali terhadap karakteristiknya.
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 41

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Bentuk, ukuran dan bahan kemasan limbah B3 disesuaikan dengan karakteristik limbah B3 yang akan dikemasnya dengan mempertimbangkan segi kemanan dan kemudahan dalam penanganannya. Kemasan dapat terbuat dari bahan plastik (HPDE, PP atau PVC) atau bahan logam (teflon, baja karbon, SS304, SS316, atau SS440) dengan syarat bahan kemasan yang dipergunakan tersebut tidak bereaksi dengan limbah B3 yang disimpannya. Kemasan yang telah diisi atau terisi penuh dengan limbah B3 harus ditandai dengan simbol dan label yang sesuai dengan ketentuan mengenai penandaan pada kemasan limbah B3. Kemasan tersebut selalu dalam keadaan tertutup rapat dan hanya dapat dibuka jika akan dilakukan penambahan atau pengambilan limbah dari dalamnya, kemudian disimpan di tempat yang memenuhi persyaratan untuk penyimpanan limbah B3 serta mematuhi tata cara penyimpanannya. Gambar 2 berikut adalah contoh drum pengemas limbah B3. Kemasan yang digunakan untuk pengemasan limbah dapat berupa drum/tong dengan volume 50 liter, 100 liter atau 200 liter, atau dapat pula berupa bak kontainer berpenutup dengan 3 3 3 kapasitas 2 M , 4 M atau 8 M . Limbah yang disimpan dalam satu kemasan adalah limbah yang sama, atau dapat pula disimpan bersama-sama dengan limbah lain yang memiliki karakteristik yang sama atau saling cocok. Untuk mempermudah pengisian limbah ke dalam kemasan, serta agar lebih aman, limbah dapat terlebih dahulu dikemas dalam kantong kemasan yang tahan terhadap sifat limbah sebelum kemudian dikemas dalam kemasan tersebut. Pengisian limbah dalam satu kemasan harus mempertimbangkan karakteristik dan jenis limbah, pengaruh pemuaian, pembentukan gas dan kenaikan tekanan selama penyimpanan. Untuk limbah yang bereaksi sendiri sebaiknya tidak menyisakan ruang kosong dalam kemasan. Untuk limbah yang mudah meledak, kemasan dirancang tahan akan kenaikan tekanan.

Gambar 4.2: Penyimpan limbah B3 cair (A) dan limbah sludge (B) Drum/tong atau bak kontainer yang telah berisi limbah B3 dan disimpan di tempat penyimpanan harus dilakukan pemeriksaan kondisi kemasan sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu satu kali. Apabila diketahui ada kemasan yang mengalami kerusakan (karat atau bocor), maka isi limbah B3 tersebut harus segera dipindahkan ke dalam drum/tong yang baru, dan tumpahan limbah tersebut harus segera diangkat dan dibersihkan, kemudian disimpan dalam kemasan limbah B3 terpisah. Kemasan bekas mengemas limbah B3 dapat digunakan kembali untuk mengemas limbah B3 yang mempunyai karakteristik sama (kompatibel) dengan limbah B3 sebelumnya. Jika akan digunakan untuk mengemas limbah B3 yang tidak saling cocok, maka kemasan tersebut harus dicuci bersih terlebih dahulu sebelum dapat digunakan sebagai kemasan limbah B3 dengan memenuhi ketentuan butir 1 di atas. Kemasan yang akan dikosongkan apabila akan digunakan kembali untuk mengemas limbah B3 lain dengan karakteristik yang sama, harus disimpan di tempat penyimpanan limbah B3. Jika akan digunakan untuk menyimpan limbah B3
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 42

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

dengan karakteristik yang tidak saling sesuai dengan sebelumnya, maka kemasan tersebut harus dicuci bersih terlebih dahulu dan disimpan dengan memasang label KOSONG sesuai dengan ketentuan penandaan kemasan limbah B3. Bentuk wadah berupa tangki biasa digunakan dalam pengemasan limbah B3. Sebelum melakukan pemasangan tangki penyimpanan limbah B3, pemilik atau operator harus mengajukan permohonan rekomendasi kepada Kepala Bapedal dengan melampirkan laporan hasil evaluasi terhadap rancang bangun dan sistem tangki yang akan dipasang untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Laporan tersebut sekurang-kurangnya meliputi: Rancang bangun dan peralatan penunjang sistem tangki yang akan dipasang; Karakteristik limbah B3 yang akan disimpan; Jika sistem tangki dan atau peralatan penunjangnya terbuat dari logam dan kemungkinan dapat terkontak dengan air dan atau tanah, logam dan kemungkinan harus mencakup pengukuran potensi korosi yang disebabkan oleh faktor lingkungan serta daya tahan bahan tangki terhadap korosi tersebut Perhitungan umur operasional tangki; Rencana penutupan sistem tangki setelah masa operasionalnya berakhir; Jika tangki dirancang untuk dibangun di dalam tanah, maka harus dengan memperhitungkan dampak kegiatan di atasnya serta menerapkan rancang bangun atau kegiatan yang dapat melindungi sistem tangki terhadap potensi kerusakan. Selama masa konstruksi berlangsung, maka harus dipastikan agar selama pemasangan tangki dan sistem penunjangnya telah diterapkan prosedur penanganan yang tepat untuk mencegah terjadinya kerusakan selama tahap konstruksi. Sistem tangki harus ditunjang kekuatan rangka yang memadai, terbuat dari bahan yang cocok dengan karakteristik limbah yang akan disimpan atau diolah, dan aman terhadap korosi sehingga tangki tidak mudah rusak. Tangki dan sistem penunjangnya harus terbuat dari bahan yang saling cocok dengan karakteristik dan jenis limbah B3 yang dikemas/disimpannya. Limbah-limbah yang tidak saling cocok tidak ditempatkan secara bersama-sama di dalam tangki. Apabila tangki akan digunakan untuk menyimpan limbah sebelumnya, maka tangki harus terlebih dahulu dicuci bersih. Tidak digunakan untuk menyimpan limbah mudah menyala atau reaktif kecuali : Limbah tersebut telah diolah atau dicampur terlebih dahulu sebelum/segera setelah ditempatkan di dalam tangki, sehingga olahan atau campuran limbah yang terbentuk tidak lagi berkarakteristik mudah menyala atau reaktif; atau Limbah disimpan atau diolah dengan suatu cara sehingga tercegah dari kondisi atau bahan yang menyebabkan munculnya sifat mudah menyala atau reaktif. Untuk mencegah terlepasnya limbah B3 ke lingkungan, tangki wajib dilengkapi dengan penampung sekunder. Penampung sekunder dapat berupa pelapisan di bagian luar tangki, tanggul atau berdinding ganda. Persyaratan penampungan sekunder tersebut adalah: Dibuat atau dilapisi dengan bahan yang saling cocok dengan limbah yang disimpan serta memiliki ketebalan dan kekuatan memadai untuk mencegah kerusakan akibat pengaruh tekanan; Ditempatkan pada pondasi yang dapat mendukung ketahanan tangki terhadap tekanan dari atas dan bawah dan mampu mencegah kerusakan yang diakibatkan karena pengisian, tekanan atau uplift; Dilengkapi dengan sistem deteksi kebocoran yang dioperasikan 24 jam sehingga mampu mendeteksi kerusakan pada struktur tangki primer dan sekunder, dan lepasnya limbah B3 dari sistem penampungan sekunder. Penampungan sekunder, dirancang untuk dapat menampung dan mengangkat cairan-cairan yang berasal dari kebocoran, ceceran dan presipitasi. Pemeriksaan rutin dilakukan sekurang-kurangnya 1 kali selama sistem tangki dioperasikan, khususnya terhadap peralatan pengendalian luapan/tumpahan, deteksi korosi atau lepasnya limbah dari tangki. Disamping itu, monitoring dilakukan terhadap bahan konstruksi dan areal seputar sistem tangki termasuk struktur pengumpul sekunder untuk mendeteksi pengikisan atau tanda-tanda terlepasnya limbah misalnya bintik lembab, kematian vegetasi.
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 43

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Bila sistem tangki atau sistem tangki pengumpul sekunder mengalami kebocoran atau gangguan yang menyebabkan limbah terlepas, maka harus segera melakukan: Penghentian operasional sistem tangki dan mencegah aliran limbah; Memindahkan limbah B3 dari sistem tangki atau sistem penampungan sekunder Mewadahi limbah yang terlepas ke lingkungan, mencegah terjadinya perpindahan tumpahan ke tanah atau air permukaan, serta mengangkat tumpahan yang terlanjur masuk ke tanah atau air permukaan. Membuat catatan dan laporan mengenai kecelakaan dan penanggulangan yang telah dilakukan.

4 PENYIMPANAN DAN PENGUMPULAN


Penyimpanan kemasan menurut Keputusan Bapedal No.01/Bapedal/09/1995 dibuat dengan sistem blok. Setiap blok terdiri atas 2 (dua) x 2 (dua) kemasan (Gambar 3), sehingga dapat dilakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap setiap kemasan. Dengan demikian jika terdapat kerusakan kecelakaan dapat segera ditangani. Lebar gang antar blok minimal 60 cm untuk memudahkan petugas melaluinya, sedang lebar gang untuk lalu lintas kendaraan pengangkut (forklift) disesuaikan dengan kelayakan pengoperasiannya. Penumpukan kemasan harus mempertimbangkan kestabilan tumpukan kemasan. Jika kemasan berupa drum logam (isi 200 liter), maka tumpukan maksimum adalah 3 lapis dengan tiap lapis dialasi palet, dan setiap palet mengalasi 4 drum. Jika tumpukan lebih dan 3 lapis atau kemasan terbuat dari plastik, maka harus dipergunakan rak (Gambar 4). Jarak tumpukan kemasan tertinggi dan jarak blok kemasan terluar terhadap atap dan dinding bangunan penyimpanan tidak boleh kurang dari 1 m. Kemasan-kemasan berisi limbah B3 yang tidak saling cocok harus disimpan secara terpisah, tidak dalam satu blok, dan tidak dalam bagian penyimpanan yang sama. Penempatan kemasan diatur agar tidak ada kemungkinan bagi limbah-limbah tersebut jika terguling/tumpah akan tercampur/masuk ke dalam bak penampungan bagian penyimpanan lain. Penyimpanan limbah cair dalam jumlah besar disarankan menggunakan tangki (Gambar 5) dengan ketentuan sebagai berikut: o Disekitar tangki harus dibuat tanggul dengan dilengkapi saluran pembuangan yang menuju bak penampung. o Bak penampung harus kedap air dan mampu menampung cairan minimal 110% dan kapasitas maksimum volume tangki o Tangki harus diatur sedemikian rupa sehingga bila terguling akan terjadi di daerah tanggul dan tidak akan menimpa tangki lain. o Tangki harus terlindung dari penyinaran matahari dan masuknya air hujan secara langsung. Persyaratan bangunan penyimpanan kemasan limbah B3 adalah (Gambar 6): o Memiliki rancang bangun dan luas ruang penyimpanan yang sesuai dengan jenis, karakteristik dan jumlah limbah B3 yang dihasilkan/akan disimpan; o Terlindung dari masuknya air hujan baik secara langsung maupun tidak langsung; o Dibuat tanpa plafon dan memiliki sistem ventilasi udara yang memadai untuk mencegah terjadinya akumulasi gas di dalam ruang penyimpanan, serta memasang kasa atau bahan lain untuk mencegah masuknya burung atau binatang kecil lainnya ke dalam ruang penyimpanan; o Memiliki sistem penerangan (lampu/cahaya matahari) yang memadai untuk operasional atau inspeksi rutin. Jika menggunakan lampu, maka lampu penerangan harus dipasang minimal 1 meter di atas kemasan, sakelar harus terpasang di sisi luar bangunan; o Dilengkapi dengan sistem penangkal petir; o Pada bagian luar tempat penyimpanan diberi penandaan (simbol) sesuai dengan tata cara yang berlaku. o Lantai bangunan penyimpanan harus kedap air, tidak bergelombang, kuat dan tidak retak. Lantai bagian dalam dibuat melandai kearah bak penampungan dengan kemiringan maksimum 1%. Pada bagian luar bangunan, kemiringan lantai diatur sedemikian rupa sehingga air hujan dapat mengalir menjauhi bangunan penyimpanan.
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 44

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Gambar 4.3: Pola penyimpanan kemasan drum

Gambar 4.4: Pola penyimpanan kemasan drum dalam rak

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 45

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Gambar 4.5: Tangki penyimpanan limbah B3 jumlah besar

Gambar 4.6: Contoh tata letak penyimpanan limbah B3 Tempat penyimpanan yang digunakan untuk menyimpan lebih dari 1 karakteristik limbah B3, mempunyai beberapa persyaratan: o Terdiri dari beberapa bagian penyimpanan, dengan ketentuan bahwa setiap bagian penyimpanan hanya diperuntukkan menyimpan 1 karakteristik limbah B3, atau limbahlimbah B3 yang saling cocok. o Antara bagian penyimpanan satu dengan lainnya dibuat tanggul atau tembok pemisah untuk menghindarkan tercampurnya atau masuknya tumpahan limbah ke bagian lainnya. o Setiap bagian penyimpanan harus mempunyai bak penampung tumpahan limbah dengan kapasitas yang memadai. o Sistem dan ukuran saluran yang ada dibuat sebanding dengan kapasitas maksimum limbah B3 yang tersimpan sehingga cairan yang masuk ke dalamnya dapat mengalir dengan lancar ke tempat penampungan yang telah disediakan. o Sarana lain yang harus tersedia adalah: peralatan dan sistem pemadam kebakaran, pagar pengaman, pembangkit listrik cadangan, fasilitas pertolongan pertama, peralatan komunikasi, gudang tempat penyimpanan peralatan dan perlengkapan, pintu darurat, dan alarm. Enri Damanhuri - FTSL ITB Halaman 46

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Persyaratan bangunan penyimpanan limbah B3 mudah terbakar: o Jika bangunan berdampingan dengan gudang lain maka harus dibuat tembok pemisah tahan api, berupa tembok beton bertulang (tebal minimum 15 cm) atau tembok bata merah (tebal minimum 23 cm) atau blok-blok (tidak berongga) tak bertulang (tebal minimum 30 cm). o Pintu darurat dibuat tidak pada tembok tahan api. o Jika bangunan dibuat terpisah dengan bangunan lain, maka jarak minimum dengan bangunan lain adalah 20 meter. o Untuk kestabilan struktur pada tembok penahan api dianjurkan digunakan tiang-tiang beton bertulang yang tidak ditembusi oleh kabel listrik. o Struktur pendukung atap terdiri dari bahan yang tidak mudah menyala. Konstruksi atap dibuat ringan, dan mudah hancur bila ada kebakaran, sehingga asap dan panas akan mudah keluar. o Menggunakan instalasi yang tidak menyebabkan ledakan/percikan listrik o Dilengkapi dengan: sistem pendeteksi dan pemadam kebakaran, persediaan air untuk pemadam api, hidran pemadam api dan perlindungan terhadap hidran. Rancang bangun untuk penyimpanan limbah B3 mudah meledak: o Konstruksi bangunan dibuat tahan ledakan dan kedap air. Konstruksi lantai dan dinding dibuat lebih kuat dari konstruksi atap, sehingga bila terjadi ledakan yang sangat kuat akan mengarah ke atas dan tidak ke samping. o Suhu dalam ruangan harus tetap dalam kondisi normal. Desain bangunan sedemikian rupa sehingga cahaya matahari tidak langsung masuk ke ruang gudang. Rancang bangun khusus untuk penyimpan limbah B3 reaktif, korosif dan beracun: o Konstruksi dinding dibuat mudah dilepas guna memudahkan pengamanan limbah dalam keadaan darurat. o Konstruksi atap, dinding dan lantai harus tahan terhadap korosi dan api. Persyaratan bangunan untuk penempatan tangki: o Tangki penyimpanan limbah B3 harus terletak di luar bangunan tempat penyimpanan limbah o Merupakan konstruksi tanpa dinding, memiliki atap pelindung dengan lantai yang kedap air o Tangki dan daerah tanggul serta bak penampungannya terlindung dari penyinaran matahari secara langsung serta terhindar dari masuknya air hujan langsung maupun tidak langsung Lokasi bangunan tempat penyimpanan kemasan drum/tong, bangunan tempat penyimpanan bak kontainer dan bangunan tempat penyimpanan tangki: o Merupakan daerah bebas banjir, atau diupayakan aman dari kemungkinan terkena banjir; o Jarak minimum antara lokasi dengan fasilitas umum adalah 50 meter. Dalam hal limbah B3 dikumpulkan terlebih dahulu di sebuah tempat di luar lokasi penghasil limbah B3, maka beberapa persyaratan adalah: o Luas tanah termasuk untuk bangunan penyimpanan dan fasilitas lainnya sekurangkurangnya 1 (satu) hektar; o Area secara geologis merupakan daerah bebas banjir tahunan; o Lokasi harus cukup jauh dari fasilitas umum dan ekosistem tertentu. o Jarak terdekat yang diperkenankan adalah (a) 150 meter dari jalan utama atau jalan tol, (b) 50 meter dari jalan lainnya, (c) 300 meter dari fasilitas umum seperti daerah pemukiman, perdagangan, rumah sakit, pelayanan kesehatan atau kegiatan sosial, (d) 300 meter dari perairan, garis pasang tertinggi laut, sumber air , (e) 300 meter dari daerah yang dilindungi seperti cagar alam, hutan lindung, kawasan suaka o Seperti halnya fasilitas penyimpanan yang telah diuraikan di atas, maka fasilitas pengumpulan merupakan fasilitas khusus yang harus dilengkapi dengan berbagai sarana untuk penunjang dan tata ruang yang tepat sehingga kegiatan pengumpulan dapat berlangsung dengan baik dan aman bagi lingkungan (gambar 7). o Beberapa fasilitas tambahan yang diperlukan adalah laboratorium analisa, fasilitas pencucian peralatan, fasilitas bongkar muat dan fasilitas lain seperti diuraikan di atas.

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 47

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Gambar 4.7: Contoh tata ruang pengumpulan limbah B3

6 PENGANGKUTAN
Di Amerika Serikat, aturan-aturan yang dikeluarkan oleh DOT telah meliputi lebih dari 30.000 jenis bahan berbahaya. Bahan-bahan ini diangkut melalui udara, laut, darat (termasuk kereta api). Produk-produk berbahaya tersebut diangkut dengan berbagai container seperti : vessel, tank car, tank truck, intermodal portable tank, cylinder, drum, barrel, can, box, botle dan cask. Dalam hal ini Research and Special Programs Administration (RSPA) dari USDOT mengeluarkan dan bertanggungjawab untuk mengembangkan aturan-aturan, acuan-acuan teknik yang standar serta pengujian untuk itu. Transportasi bahan berbahaya yang bervolume besar (bulky) dapat dilakukan melalui segala jenis angkutan, seperti melalui darat, kereta api atau laut. Cargo tank merupakan sarana yang biasa digunakan di darat, dan biasanya terbuat dari baja atau campuran alumunium atau dapat pula dari bahan lain seperti titanium, nikel atau stainless steel. Kapasitas yang digunakan di USA adalah antara 4000 sampai 12000 gallon (15 sampai 50 m3). Beban kendaraan biasanya dibatasi sampai 80.000 pound (36 ton). Sekitar 80 % dari pengangkutan bahan berkapasitas besar menggunakan tank car yang mempunyai masa layan 30 - 40 tahun. Kapasitas tank car ini dibatasi 34.500 gallon (130 m3) dengan berat kotor 236.000 pound (107 ton). Perbedaan utama dari rail tank car ini adalah ada Enri Damanhuri - FTSL ITB Halaman 48

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

yang menggunkan tekanan (untuk gas) dan tanpa tekanan (untuk cair). Hampir 90 % dari tank car ini terbuat dari baja, bahan berikutnya yang sering digunakan adalah alumunium. Sekitar 66 % (berat) bahan yang diangkut di USA adalah bahan kimia (sebagian korosif) sedang 23 % merupakan produk minyak (bahan bakar). Container bulky melalui air yang terbesar adalah dengan tanker dan tank-barges, yang mencakup sekitar 91 %. Tank-barges berkapasitas antara 300.000-600.000 gallon (1135-2270 3 m ) sedang tanker berkapasitas sampai 10 kali lebih besar. Lebih dari 90 % (berat) dalam transport laut ini terdiri dari produk petroleum dan minyak mentah. Sisanya adalah bahan kimia semacam asam sulfat, pupuk, NaOH, alkohol, benzene, toluene dan sebagainya. Cara ini relatif memungkinkan pengangkutan dengan kapasitas yang besar. Secara statistik, cara ini adalah yang teraman, baik dari jumlah kecelakaan maupun banyaknya limpahan dalam satuan ton-mile, walaupun bila terjadi kecelakaan maka limpahannya akan menyebar secara luas. Aturan-aturan yang ada menyangkut kegiatan selama loading serta pelatihan bagi awak kapalnya. Kemungkinan kecelakaan yang mungkin terjadi di sektor transportasi ini perlu mendapat perhatian, karena dapat mencelakakan manusia atau lingkungan yang tidak terlibat langsung dengan kecelakaan. Peraturan-peraturan yang digunakan dalam transportasi hendaknya mengantisifasi kemungkinan timbulnya masalah ini. Bila terjadi kecelakaan lalu-lintas, maka respon aparat terkait (polisi, pemadam kebakaran dan sebagainya) akan tergantung pada apakah aparat tersebut terlatih untuk jenis kecelakaan itu, demikian juga kegiatan penanganan korban akibat terpapar dengan bahan berbahaya akan tergantung apakah paramedis terkait telah mendapat pelatihan menangani korban semacam itu. Sebagai contoh adalah kecelakaan lalu-lintas yang terjadi di USA pada bulan Desember 1981 yang menimpa sebuah truk pembawa 40.000 pound toluene diisocyanate (TDI) yang tergelincir dan menumpahkan sebagian isinya. Penanganannya adalah truk tetap dipanaskan dan diisolasi agar TDI ini tetap dalam kondisi cair. Pada saat truk dibalikkan, limpahan TDI ternyata terpapar pada tanah yang dingin, mengkontaminasi daerah sekitarnya serta baju 2 orang petugas. Setelah mereka kembali ke kendaraan yang hangat, TDI yang melekat pada sepatu dan baju menguap dan terhiruplah gas toksik. TDI masuk de dalam sel jaringan, mengiritasi mata, dan dapat merusak paru- paru. Kedua petugas tersebut mengalami gangguan pernafasan yang permanen dan tidak dapat lagi aktif bekerja. Respons terhadap bentuk kecelakaan itu harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan agar dapat menangani masalah yang timbul secara cepat dan tepat. Demikian juga peralatan tim harus sesuai dengan kebutuhan/jenis bahan atau limbah yang diangkut.

Referensi Utama:
o o o o o E. Meyer: Chemistry of Hazardous Materials, Prentice Hall Building, 1989 Kep.Bapedal 01/Bapedal/09/1995: tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah B3 Kep.Kepala Bapedal 02/Bapedal/09/1995: tentang Dokumen Limbah B3 Kep.Kepala Bapedal 05/Bapedal/09/1995: tentang Simbol dan Label Limbah B3 http://www.labelmaster.com (1 Maret 2008)

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 49

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

BAGIAN V SIFAT DAN KARAKTERISTIK BAHAN KIMIA BERBAHAYA

1 UMUM Penggunaan kimia dalam kebudayaan manusia sudah dimulai sejak zaman dahulu. Kimia merupakan salah satu ilmu pengetahuan alam, yang berkaitan dengan komposisi materi, termasuk juga perubahan yang terjadi di dalamnya, baik secara alamiah maupun sintetis. Senyawa-senyawa kimia sintetis inilah yang banyak dihasilkan oleh peradaban modern, namun materi ini pulalah yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan yang berbahaya. Dengan mengetahui komposisi dan memahami bagaimana perubahan terjadi, manusia dapat mengontrol dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan manusia. Penggunaan bahan-bahan kimia di dunia telah berkembang pesat, yang sebagian besar merupakan bahan berbahaya. Ini ditunjukkan oleh hampir 11 juta jenis bahan kimia telah diidentifikasi pada tahun 1995, baik yang terdapat di alam maupun yang dibuat oleh manusia, dan hampir setiap tahun 1.000 jenis bahan kimia baru masuk ke perdagangan. Bahan kimia yang telah digunakan dan diperdagangkan secara umum sekitar 63.000 jenis, 50.000 jenis diantaranya digunakan sehari-hari, 1.500 jenis merupakan bahan aktif pestisida, sekitar 4.000 jenis sebagai bahan aktif obat-obatan, dan 2.500 jenis digunakan sebagai bahan tambahan makanan. Dari sekian banyak bahan kimia tersebut, baru beberapa ratus jenis saja yang telah dievaluasi dampaknya tehadap kesehatan dan lingkungan. Perdagangan bahan kimia dunia pada tahun 1991 mencapai nilai 1,2 M US$, 40% berkaitan dengan petrokimia. Pemakaian bahan kimia di Indonesia (1991) sekitar 0,46% dari nilai perdagangan dunia. Proses penggunaan bahan yang berbahaya dalam kegiatan sehari-hari, terutama dari kegiatan industi khususnya penggunaan bahan kimia, akan menghasilkan limbah berbahaya. Secara konvensional, terdapat 7 kelas bahan berbahaya, yaitu : a. Materi mudah terbakar (flammable material) : padat, cair, uap,atau gas yang menyala dengan mudah dan terbakar secara cepat bila dipaparkan pada sumber nyala, misalnya pelarut (solvent) seperti benzene, ethanol, debu aluminum, gas hidrogen dan metan. b. Materi yang spontan terbakar (spontaneously ignitable material) : padat atau cair yang dapat menyala secara spontan tanpa sumber nyala, misalnya karena perubahan panas, tekanan atau kegiatan oksidasi atau kegiatan lain seperti aktivitas mikrobiologis. Contoh materi ini misalnya fosfor putih. c. Peledak (explosive) : materi kimia ini dapat meledak, biasanya karena adanya kejutan (shock), panas, atau mekanisme lainnya. Contoh materi ini misalnya dinamit dan trinitrotoluene (TNT). d. Pengoksidasi (oxidizer) : Materi yang menghasilkan oksigen, baik dalam kondisi biasa atau bila terpapar dengan panas. Contoh materi ini adalah amonium nitrat dan benzoyl peroksida. e. Materi korosif : padat atau cair seperti asam kuat atau basa kuat, yang dapat membakar dan merusak jaringan kulit bila berkontak dengannya. f. Materi toksik : racun yang dalam dosis kecil dapat membunuh atau mengganggu kesehatan, seperti karbon monoksida dan hidrogen sianida. g. Materi radioaktif : dicirikan dengan transformasi yang berlangsung dalam inti atom, misalnya uranium heksafluorida.
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 50

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Materi tersebut kadangkala menjadi lebih berbahaya bila berada dalam kondisi tercampur dengan bahan lain. Kadangkala secara tidak sengaja terjadi pencampuran antara 2 materi yang asalnya tidak berbahaya. Pencampuran bahan berbahaya dapat menyebabkan: o Timbulnya bahan toksik o Timbulnya gas bakar yang dapat menimbulkan kebakaran atau ledakan, atau o Panas akibat reaksi kimia yang terjadi akan dapat membakar bahan mudajh terbakar di sekitarnya. Beberapa ilustrasi di bawah ini akan menggambarkan hal tersebut: Interaksi bahan membentuk bahan toksik: Bila kita mencampur larutan asam yang banyak digunakan secara komersial untuk menghilangkan karat atau untuk membersihkan wastavel atau WC dengan pemutih cucian atau disinfektan yang digunakan dalam kolam renang. Reaksi yang terjadi akan berlangsung secara spontan, menghasilkan gas klorin yang sangat toksik melalui pernafasan. Tubuh manusia mentolerir konsentrasi bahan ini dengan konsentrasi tidak lebih dari 1 ppm di udara. Interaksi bahan membentuk nyala atau bahan eksplosif: Bahan logam natrium akan dapat terbakar dengan sendirinya bila terdapat uap air yang berkontak dengannya, karena reaksi yang terjadi akan menghasilkan gas hidrogen yang dapat terbakar tanpa adanya pemantik api. Misalnya gudang penyimpan logam natrium terbakar. Bila api yang dipadamkan dilakukan dengan air, maka kebakaran akan tambah besar, karena dihasilkan gas hidrogen. Interaksi bahan membentuk panas: Bahan-bahan pengoksidasi adalah contoh bahan berbahaya yang siap bereaksi dengan bahan mudah terbakar, menyebabkan terjadinya swa-kebakaran. Bila larutan asam nitrat (oksidator) tercampur dengan tepung beras, akan memungkinkan bahan tepung tersebut secara spontan akan terbakar. 2 KELAS KEBAKARAN Kebakaran biasanya dikaitkan dengan kecelakaan yang dipicu dari adanya bahan berbahaya, dan dapat dibagi menjadi 4 kelas, yaitu: o Kebakaran kelas A: berasal dari bakaran berbahan dasar sellulosa, seperti kayu, katon dan kertas, bahan-bahan sejenis baik alamiah maupun sintetis lainnya termasuk plastik dan karet. Kebakaran bahan ini akan meninggalkan bara api dan abu. Air dapat digunakan untuk memadamkan jenis kebakaran ini Kebakaran kelas B: berasal dari bakaran gas bakar (flammable gases) atau cairan yang mudah terbakar (flammable and combustible liquids), seperti LPG, hidrogen, propane, kerosen, methanol, ethyl ether. Karbon dioksida, dry chemical extinguisher, atau busa meruapakan bahan yang cocok untuk memadamkannya. Jangan dipadamkan dengan air. Kebakaran kelas C: berasal dari bakaran bahan yang terjadi karena sirkuit tenaga listrik, seperti dari stop-kontak, sikring, kabel listrik, motor dan generator. Karbon dioksida atau dry chemical extinguisher, biasanya direkomnedasikan untuk memadamkannya. Kebakaran kelas D: berasal dari bakaran logam-logam yang mempunyai sifat reaktif yang spesifik terhadap air atau uap air, seperti logam titanium, magnesium, zirconium, aluminum, dan natrium. Kebakaran jenis ini mudah dipadamkan oleh
Halaman 51

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

baham spesifik sejenis graphite atau natrium kloroida (garam dapur). Sangat berbahaya bila dipadamkan dengan menggunakan air. 3 INFORMASI TINGKAT BAHAYA Tingkat bahaya suatu bahan berbahaya harus diinformasikan secara jelas kepada pemakai, khususnya dalam lingkungan kerja dimana bahan tersebut digunakan, melalui 2 jalan: o Penggunaan label dan bentuk peringatan lainnya: setiap produsen atau importir bahan kimia harus memastikan bahwa setiap kontainer atau pengemas produk B3nya telah diberi label, papan-nama, atau tanda-tanda peringatan lain yang sesuai dengan jenis bahaya yang dikandung bahan tersebut, nama dan alamta produsen, importir atau penanggung jawab lainnya. Label dapat menggunakan simbol, gambar atau kata-kata lainnya. Lihat contoh dalam Gambar 4.1 o Informasi tentang Material Safety Data Sheets (MSDS): merupakan bulletin yang bersifat teknis yang mengandung informasi mendetail tentang bahaya dari bahan tersebut. Di Amerika Serikat, melalui OSHA, mewajibkan setiap produsen untuk menyiapkan MSDS ini bagi setiap produknya. MSDS ini harus disertakan pada setiap sampel atau pengiriman ke sebuah tujuan untuk pertama kalinya.

Gambar 5.1: Contoh label untuk HCl Bila mengacu kepada Occupational Safety and Health Act (OSHA) yang berlaku di Amerika Serikat, maka: a. MSDS harus dirancang sangat komprehensif dalam bentuk informasi tertulis untuk seluruh karyawan b. Informasi minimum yang dibutuhkan adalah: o Identitas produk seperti tercantum dalam container atau pengemasnya o Nama umum dan nama kimia seluruh komponen yang mempunyai konsentrasi >1%, yang diketahui berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan, dan
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 52

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

mempunyai konsentrasi 0,1% bagi bahan yang diketahui sebgai penyebab kanker o Bahaya fisik dan kesehatan, termasuk tanda-tanda dan simptom-nya bila terpapar o Alur masuk ke tubuh manusia, kulit, pernafasan, makanan atau minuman o Batasan paparan yang diketahui o Apakah termasuk penyebab kanker atau berpotensi-kanker o Prosedur handling dan penggunaan yang aman, penanggulangan tumpahan atau kebocoran o Prosedur pertolongan pertama bila terjadi kecelakaan o Tanggal penyiapan bahan o Nama, alamat dan nomor telepon perusahaan, atau yang bertanggung jawab yang mendistribusikan MSDS c. Training yang bersifat regular adalah kegiatan yang dianggap kritis, yang berbentuk program komunikasi, yang menginformasikan apa yang tercantum dalam label maupun dalam MSDS suatu bahan berbahaya. Penanggung jawab kegiatan harus melatih pekerjanya dalam hal bagaimana mengenali bahan-bahan berbahaya yang dapat teremisi atau terpapar dalam ruangan dimana mereka bekerja, misalnya dalam bentiuk timbiulnya bau yang spesifik, dan sekaligus melatih bagaimana memproteksi dirinya akibat bahan berbahaya tersebut. 4 DOKUMEN MATERIAL SAFETY DATA SHEETS (MSDS) Berikut ini adalah contoh MSDS yang dikeluarkan oleh sebuah produsen bahan kimia di Amerika Serikat untuk produk HCl yang dihasilkan: Informasi Umum (muncul di setiap lembar MSDS)
o o o J.T. Baker Chemical Co. 222 Red School Lane, Phillipsburg, N.J. 08865, 24-Hour Emergency Telephone (201)859-2151, Chemtrec # (800) 424-9300, National Re4sponse Center # (800) 424-8802 H3880-02 Hydrochloric Acid Effective: 08/07/86 Issued: 10/19/87

Seksi I: Identifikasi Produk


o o o o o o o Nama produk: Hydrochloric acid Formula: HCl Formula Wt: 36, 46 Cas No: 7647-01-0 NIOSH/RTECS No: MW4025000 Sinonim Umum: Muriatic Acid; Chlorhydric Acid, Hydrochloride Kode produk: 9543, 9539, 9535, 9534, 9544, 9529, 9542, 4800, 9549, 9530, 9548, 9540, 5537, 9547, 9546, 9537, 5367

Precautionary Labelling: TM Baker SAF-T-DATA System: (dengan label kode gambar) o Kesehatan: Severe o Flammabilitas: None o Reactivitas: Moderate o Kontak: Severe o Laboratory protective equipment: goggles & shield, Lab coat & apron, vent hood, proper gloves o Precautionary label statements:

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 53

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

RACUN! BAHAYA! MENYEBABKAN LUKA BAKAR SERIUS MENJADI FATAL BILA TERTELAN ATAU TERHIRUP Jangan berkontak dengan mata, kulit, dan baju Jangan terhirup uapnya. Penyebab kerusakan pada sistem pernafasan (paru-paru), mata dan kulit. Simpan dalam container yang tertutup rapat. Buka dengan hati-hati. Gunakan ventilasi yang cukup. Cuci dengan cukup setelah penanganan. Bila terjadi tumpahan, netralisir dengan soda ash atau kapur dan tempatkan pada container kering.

Seksi II: Komponen Berbahaya


o o o o o o o o o o o o

Komponen: Hydrochloric Acid (23 Baume) %: 35-40 CAS No: 7647-01-0 Titik didih (boiling point): 110 C (230F) Tekanan uap (mmHg): N/A o o Titik leleh (melting point): -25 C (-13 F) Densitas uap (udara = 1): 1,3 Gravitasi spesifik (specific gravity H2O = 1): 1,19 Laju evaporasi (Butyl Acetate = 1): N/A Kelarutan (H2O): sempurna dalam seluruh proporsi % Volatil volume: 100 Tampilan dan bau: jernih, tidak berwarna atau kuning muda, pungent, cairan berasap (fuming liuid)
o

Seksi III: Data Fisika

Seksi IV: Data Bahaya Kebakaran dan Ledakan


o o o o o Flash point: N/A NFPA 704M Rating: 3-0-0 Flammable limits: Upper N/A % Lower N/A % Media pemadam kebakaran: gunakan media pemadam kebakaran yang cocok untuk area sekitarnya Prosedur khusus pemadaman kebakaran: Anggota pemadam kebakaran harus m,engenakan perlengkapan perlindungan yang memadai, dengan perlengkapan pernafasan yang dioperasikan pada tekanan positif. Pindahkan kontainer dari lokasi kebakaran bila dapat dilakukan tanpa resiko. Gunakan air. Jangan masukkan air ke dalam kontainer. Bahaya kebakaran dan ledakan yang tidak biasa: dapat mengemisikan gas hidrogen bila berkontak dengan logam Gas toksik yang dihasilkan: hydrogen chlorida, gas hyrogen PEL dan TLV dalam daftar menandakan berada pada batas 3 Treshold Limit Value (TLV/TWA): 7 mg/m (5 ppm) 3 Permissible Exposure Limit (PEL) : 7 mg/m (5 ppm) Toksisitas : LD50 (oral-rabbit) (mg/kg) : 900 LD50 (ipr-mouse) (mg/kg) : 40 LD50 (inhl-rat-1H) (ppm) : 3124 Carcinogenicity NTP : No IARC : No Z List : No OSHA : No Pengaruh paparan yang berlebihan (overexposure) : Target organ : system pernafasan, mata, kulit Kondisi medis yang biasanya diperparah bila terpapar : tidak teridentifikasi Alur masuk: pencernaan, pernafasan, kontak kulitm kontak mata Darurat dan Pertolongan Pertama:

o o o o o o o

Sekis V: Data Bahaya Kesehatan

o o o o o

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 54

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Seksi VI: Data Reaktivitas


o o o o o o o o o o o o o o o o Stabilitas: stabil Bahaya polumerisasi: tidak akan terjadi Kondisi yang dihindari: panas dan kelembaban Tidak kompatibel: hampir semua logam, air, amine, oksida logam, anhidrid asid, propiolakton, vinil asetat, murkuri sulfat, kalsium fosfida, formaldehid, alkali, karbonat, basa kuat, asam sulfat, asam klorosulfonik Produk dekomposisi: hidrogen klorida, hidrogen, klorin Gunakan alat masker pernafasan (self-contained breathing) dan baju pelindung Hentikan kebocoran bila dapat dilakukan tanpa resiko Berikan ventilasi pada area tersebut Netralisir tumpahan dengan abu soda atau kapur Dengan skop yang bersih, tuang tumpahan dengan hati-hati ke dalam kontainer bersih, kering dan tutup, dan pindahkan dari area tersebut Bilas area tumpahan dengan air R R J.T. Baker Neutraorb atau Penetralisir asam Neutrasol Low Na disarankan untuk digunakan untuk penanganan tumpahan Prosedur disposal: kubur atau timbun atau singkirkan sesuai dengan peraturan yang berlaku EPA Hazardous Waste Number: D002 (Coorosive Waste) Ventilasi: gunakan exhaust ventilation umum atau lokal untuk memenuhi standar TLV Perlindungan pernafasan: Masker pernafasan dibutuhkan bila konsentrasi di udara kerja melebihi TLV yang disyaratkan. Pada konsentrasi di sampai dengan 100 ppm, disarankan menggunakan masker chemical cartridge respirator dengan acid cartridge. Di atas konsentrasi tersebut, alat bantu pernafasan disarankan untuk digunakan Perlindungan mata/kulit: Sarung tangan acid-resistant dan perlindungan muka (face shield), seragam, baju pelindung direkomendasi untuk digunakan SAF-T-DATA Storage Color Code: putih (korosif) Syarat khusus: Kontainer selalu tertutup rapat. Simpan di area anti korosi. Idsolasi dari bahan-bahan yang tidak kompatibel. Dilarang disimpan berdekatan dengan bahan pengoksidasi
TM

Seksi VII: Prosedur Penanganan Tumpahan dan Disposal

Seksi VIII: Perlengkapan Perlindungan

Seksi IX: Penyimpanan dan Penanganan


o o

Seksi X: Data transportasi dan Informasi Tambahan Domestik (DOT): o Nama pengapalan (proper shipping name): Hydrochloric acid o Kelas bahaya: bahan korosif (cair) o UN/NA: UN1789 o Label: Korosif o Kuantitas dilaporkan: 5000 Lbs Internasional (IMO) o Nama pengapalan (proper shipping name): Hydrochloric acid, solution o Kelas bahaya (hazard class): 8 o UN/NA: UN1789 o Labels: Corrosive
Info terakhir MSDS contoh di atas: The information Publisher in this MSDS has been compiled from our experience and data presented in various technical publications, It is the users responsibility to determine the suitability of this information for the adoption of necessary safety precautions. We reserve the right to revise Material Safety Data Sheets periodically as new information becomes available.
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 55

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

J.T. Baker makes no warranty or representation about the accuracy or completeness nor fitness for purpose of the information contained herein. COPYRIGHT 1987 J.T. BAKER INC.

5 BAHAN KIMIA KOROSIF Biasanya pengertian korosi mengacu pada proses kimia yang mengakibatkan logam atau mineral dikonversi menjadi bahan yang berkarat; proses ini biasanya terjadi karena adanya oksigen di udara, yang menghasilkan oksida-oksida metalik. Namun korosi sebetulnya tidak terbatas pada aktivitas oksigen terhadap sebuah logam. Korosi dapat pula disebabkan karena perusakan oleh bahan kimia (seperti asam atau basa kuat), baik terhadap logam dan mineral, juga terhadap jaringan kulit. Oleh karenanya US Department of Transportation (USDOT) mendefinisikan bahan korosif sebagai : cairan atau padatan yang dapat menimbulkan kerusakan yang terlihat pada jaringan kulit manusia bila berkontak, atau cairan yang mempunyai laju korosi yang kuat terhadap baja alumunium dengan kriteria : - bila diuji terhadap kelinci albino, maka struktur jaringan di lokasi kontak mengalami kerusakan atau tidak dapat pulih setelah pemaparan 4 jam atau kurang, - bila sebuah cairan mempunyai laju korosi lebih besar dari 6,25 mm per tahun terhadap baja atau alumunium standar pada temperatur pengujian 55 C. Beberapa bahan yang termasuk dalam kelompok ini adalah asam sulfat, asam nitrat, asam khlorida, asam perkhlorit, asam fluorida, asam fosfat, natrium hidroksida, kalium hidroksida, yang akan dibahas secara umum di bawah ini. Asam Sulfat (H2SO4) Bahan ini banyak digunakan di industri, sehingga dianggap banyaknya konsumsi bahan ini di suatu negara dapat menggambarkan status ekonomi dari negara tersebut. Asam ini merupakan cairan yang tidak berwarna, dengan densitas sekitar 2 kali air, dan sangat reaktif, dapat menimbulkan sifat toksik, nyala dan ledakan. Beberapa sifat asam sulfat pekat adalah : - konsentrasinya dalam air : 98,33 % - gravitasi spesifik : 1,84 - titik didih : 338 o C - titik beku : 10 o C - sangat larut dalam air Asam ini akan membebaskan panas bila diencerkan (sekitar 20 kcal per mole), dan dapat menimbulkan ledakan bila dicampur dengan bahan tertentu. Selalu diperhatikan bahwa pengenceran dilakukan dengan penuangan secara perlahan pada air yang teraduk perlahan. Bila ini dilakukan terbalik, akan menyebabkan terjadinya pendidihan lokal disertai percikan yang membahayakan. Bentuk bahaya yang kedua dari bahan ini adalah sifatnya yang dapat mengekstrak air dari bahan yang berkontak dengannya. Reaksi dehidrasi ini sangat kuat, sehingga dapat menghancurkan sama sekali kertas dan tekstil. Gula misalnya akan menjadi arang bila bercampur dengan asam ini. Bahaya lain dari bahan ini adalah kemampuannya bereaksi dengan bahan lain, yang disertai akibat samping seperti timbulnya gas toksik, terjadinya bahan lain yang mudah terbakar atau terjadinya ledakan. Bila asam sulfat bercampur dengan NaCl, akan terbentuk uap HCl yang merupakan bahan toksik bagi pernafasan. Bahan ini juga akan menimbulkan ledakan bila bercampur dengan asam lain, seperti HclO4. Beberapa reaksi di bawah ini akan memperjelas mekanisme yang terjadi :
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 56

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

- reaksi exotermis dengan gula : C12H22O11(s) 12 C(s) + 11 H2O(g) - menimbulkan ledakan dengan asam perkhlorit : 2HClO4 (l) Cl2O7(g) + H7O(g) - menghasilkan gas racun dengan asam oksalit : H2C2O4(s) H2O(g) + CO(g) + CO2(g) - menghasilkan produk yang mudah terbakar dengan ethyl alkohol : C2H5OH(l) C2H4(g) + H2O(g) - menghasilkan ledakan dan gas toksik dengan NaClO3: NaClO3(s) + H2SO4 (l) NaHSO4 (s) + HclO3(l) 3 HClO3(l) HClO4 + 2 ClO4 + H2O ; ClO2 bersifat toksik - menghasilkan gas-gas racun dengan NaBr, NI dan NaCN atau NaSCN : 2 NaBr(s) + 2 H2SO4(l) Br2 (g) + SO2 (g) + Na2SO4 (l) + 2 H2O(l) SO2 dan Br2 adalah gas toksik Bahan ini juga tergolongkan sebagai oksidator, terutama pada kondisi panas, misalnya pada reaksi di bawah ini : Cu(s) + 2 H2SO4 (pekat) CuSO4 (l) + SO2 (g) + 2 H2O(l) Pb(s) + 3 H2SO4 (pekat) Pb(HSO4) 2 (s) + SO2 (g) + 2 H2O(l) Di lingkungan kerja, aturan di USA membatasi pemaparan maksimum terhadap manusia sebesar 1 mg/m3. Label bertuliskan 'korosif dan racun' dibutuhkan pada kontainer dan kendaraan yang mengangkutnya. Asam Nitrat (HNO3) Asam nitrat merupakan cairan terpenting setelah H2SO4, digunakan misalnya dalam industri pupuk amonium-nitrat, senyawa-senyawa organik-bernitrat dan fiber sintetis. Asam ini dibutuhkan untuk menghasilkan bahan peledak nitrogliserin dan trinitrotoluene (TNT). Asam nitrat murni merupakan cairan yang tidak berwarna, namun sering dijumpai dengan warna kuning sampai merah-kecoklatan tergantung dari kandungan nitrogen dioksida yang terlarut. Kerapatannya sekitar 1,5 x air dan merupakan oksidator kuat. Beberapa sifat dari bahan ini pada kondisi pekat antara lain adalah : - konsentrasi dalam air : 68 - 70 % - gravitasi spesifik : 1,5 - titik didih : 86 o C - titik beku : - 42 o C - sangat larut dalam air Asam ini dapat merusak logam karena sifatnya sebagai oksidator kuat. Asam nitrat (pekat) direduksi menjadi nitrogen, atau nitrogen monoksida atau nitrogen dioksida atau dinitrogen monoksida atau ion amonium, tergantung pada konsentrasi asam tersebut, seperti reaksi di bawah ini : 5 Zn(s) + 12 HNO3(l) 5 Zn(NO3)2(l) + 6 H2O(l) + N2(g) 3 Zn(s) + 8 HNO3(l) 3 Zn(NO3)2(l) + 4 H2O(l) + 2 NO(g) Zn(s) + 4 HNO3(l) Zn(NO3)2(l) + 2 H2O(l) + 2 NO2(g) 4 Zn(s) + 10 HNO3(l) 4 Zn(NO3)2(l) + 5 H2O(l) + N2O(g) 4 Zn(s) + 10 HNO3(l) 4 Zn(NO3)2(l) + 3 H2O(l) + NH4NO3(g) Umumnya hanya satu reaksi yang terjadi. Nitrogen dioksida dapat terbentuk bila asam nitrat pekat yang digunakan, sedang monoksida terbentuk bila asam nitrat encer yang digunakan. Bila logam yang dijumpainya adalah berupa serbuk maka reaksi akan
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 57

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

disertai ledakan. Oksidasi logam alumunium pada temperatur kamar tidak dapat terjadi bila konsentrasi asam nitrat lebih tinggi dari 80 %, dan korosi pada besi tidak terjadi bila konsentrasi asam nitrat lebih tinggi dari 70 %. Sedang logam khromium resistan terhadap asam ini. Asam ini juga dapat merusak bahan non logam, seperti karbon dan sulfur. Asam ini juga mengoksidasi senyawa-senyawa organik seperti aceton, nitrobenzene, ethyl alkohol, dan kadangkala disertai ledakan dan merupakan sumber nyala. Asam ini dapat menimbulkan swa-nyala bagi bahan sellulosa, terutama bila bahan ini dalam bentuk serbuk. Asam ini juga akan mengkorosi jaringan tubuh bereaksi dengan protein membentuk xanthroproteic acid berwarna kuning. Pemaparan maksimum yang diizinkan di Amerika Serikat adalah 2 ppm. Pengangkut dan kontainer yang digunakan mencantumkan label 'korosif, oksidator dan racun'. Asam Khlorida (HCl) Asam ini merupakan bahan kimia yang termasuk penting dalam kegiatan industri, misalnya pada industri pelapisan logam, minyak, atau untuk menghasilkan senyawa yang mengandung khlor seperti karet sintetis, atau produk yang banyak digunakan di rumah tangga, misalnya pembersih WC. Bahan ini merupakan cairan yang tidak berwarna, membentuk asap, dan menyengat. Sifat-sifat asam khlorida pekat antara lain adalah : - konsentrasi dalam air : 36 - 38 % - gravitasi spesifik : 1,20 - titik didih : - 85 C - titik beku : - 115 C - kelarutan dalam air : 85 g/100 g air. Bahan ini bukan termasuk oksidator, walaupun termasuk dalam kelompok asam kuat. Klasifikasi bahaya dari bahan ini karena bersifat korosif dan toksik. Kerapatan gasnya sekitar 1/5 lebih ringan dari udara. Terhirupnya gas ini melalui pernafasan akan menyebakan degenerasi total sel pada bagian pernafasan, bahkan sama sekali merusaknya. Batas yang diperbolehkan di Amerika Serikat pada lingkungan kerja adalah 5 ppm. Label yang disyaratkat pada kontainer dan pengangkutannya adalah 'korosif dan racun'. Asam Perchlorit (HclO4) Bahan ini termasuk asam mineral yang penting dalam perindustrian, misalnya pada industri kimia dan elektroplating. Asam ini, terutama pada kondisi panas, merupakan oksidator kuat khususnya terhadap senyawa organik. Materi sellulosa (seperti kertas, kayu) akan tebakar dengan sendirinya bila berkontak dengannya. Beberapa sifat (asam pekat) dari bahan ini adalah : - konsentrasi dalam air : 72,4 % - gravitasi spesifik : 1,70 - titik didih : 203 o C - titik beku : - 18 o C - kelarutan dalam air : sangat larut Departemen Transportasi Amerika Serikat menentukan bahwa HClO4 dengan konsentrasi lebih kecil dari 50 % sebagai 'korosif', sedang antara 50-72 % sebagai 'oksidator' dan pengangkutan HClO4 dengan konsentrasi lebih besar dari 72 % tidak
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 58

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

diperkenankan. Label yang dipersyaratkan adalah : 'korosif dan oksidator'. Asam perckhlorit adalah stabil, namun bentuk yang anhydrous dikenal sangat tidak stabil. Karena asam sulfat dapat menghidrasi asam perkhlorit, maka botol kedua jenis asam ini tidak diperbolehkan diletakkan berdampingan. Asam Fluorida (HF) Penggunaan asam fluorida dalam industri adalah penting, baik digunakan secara langsung atau dicampur dengan H2SO4, misalnya dalam pembuatan chip dalam industri komputer, atau dalam industri perminyakan untuk menghasilkan bahan bakar beroktan tinggi. Cairan ini tidak berwarna, mampu bereaksi dengan silikon dioksida (pasir) dan gelas membentuk silikon tetrafluorida, dan merupakan satu-satunya asam yang mengkorosi gelas. Reaksi yang terjadi adalah : CaSiO3(s) + 6 HF(pekat) CaF2(s) + SiF4(g) + 3 H2O(l) Asam fluorida merupakan asam lemah, dapat mengkorosi bahan tetapi tidak sehebat asam-asam sebelumnya. Asam ini dalam kondisi pekat lebih berbahaya bila kontak dengan kulit karena tidak mendatangkan sakit pada saat kontak, namun beberapa jam kemudian terjadilah penetrasi dalam kulit. Beberapa sifatnya dalam kondisi pekat adalah : - konsentrasi yang biasa dijumpai adalah : 48 - 60 % - gravitasi spesifik :1 - titik didih : 20 o C - titik beku : - 83 o C - sangat larut dalam air. Aturan pengangkutan di Amerika Serikat adalah mensyaratkan label 'korosif dan toksik'. Asam Fosfat (H3PO4) Unsur fosfor paling tidak mempunyai 8 jenis asam, namun asam fosfat adalah yang paling umum digunakan dalam industri, seperti dalam industri pupuk. Campuran kalsium dihidrogen fosfat dan kalsium fosfat dikenal sebagai superfosfat, yang merupakan pupuk sintetis yang penting. Asam fosfat tidak berwarna dan tidak berbau. Beberapa sifat dari asam ini dalam keadaan pekat adalah : - konsentrasi dalam air : 85 % - gravitasi spesifik : 1,69 - titik didih : 260 o C - titik beku : 42 o C - sangat larut dalam air. larutan ini bereaksi dengan air secara keras, dan mengeluarkan panas. Disamping itu, larutan ini bersifat korosif pada bahan. Label untuk pengangkutan dan kontainer mencantumkan sebagai 'korosif'. Batas pemaparan yang diizinkan di ruang kerja adalah 1 mg/m3. Natrium Hidroksida (NaOH) dan Kalium Hidroksida (KOH) Kelompok ini merupakan kelompok alkalin korosif yang paling penting dan dikenal sebagai caustic soda. NaOH merupakan basa kuat, banyak digunakan di industri
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 59

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

seperti : petroleum, tekstil, kertas, sabun; produk ini juga digunakan di rumah tangga, misalnya untuk menangani penyumbatan pipa plambing. Pada temperatur kamar, NaOH adalah berbentuk padat-putih, dapat mengkorosi logam seperti alumunium, seng, tembaga dan jaringan kulit dan melarutkan lemak; bila terjadi kontak yang lama, bahan ini dapat mengkorosi gelas, membentuk natrium silikat. Oleh karenanya, wadah yang digunakan sebaiknya bukan bahan gelas. Bahan ini reaktif dengan air dan menghasilkan panas 10 kcal per mole sehingga dapat memicu kebakaran. Beberapa sifat penting dari bahan ini adalah : - gravitasi spesifik : 2,13 - titik didih : 1390 o C - titik leleh : 315 o C - kelarutan dalam air : 42 gr/100 gr H2O. Pengangkutan bahan ini di Amerika Serikat mensyaratkan penulisan label sebagai 'korosif'. Batas pemaparan di ruang kerja adalah 2 mg/m3. Kalium Hidroksida merupakan basa yang lebih kuat dibanding NaOH, tetapi dengan bahaya yang lebih kecil, dan dikenal dengan nama caustic potash. Bahan ini umumnya digunakan pada industri pupuk, fotografi, farmasi, sabun dan sebagainya. Reaksi yang terjadi umumnya seperti halnya NaOH, dan dikenal sebagai basa yang korosif. Sifatsifat fisiknya antara lain : - gravitasi spesifik : 2,04 - titik didih : 1320 o C - titik leleh : 360 o C - kelarutan dalam air : 107 gr/100 gr air.

6 BAHAN KIMIA YANG REAKTIF PADA AIR


Air dapat bereaksi dengan bahan berbahaya membentuk suatu produk yang dapat terbakar dengan sendirinya, menimbulkan ledakan, toksik atau bersifat korosif. Proses yang menyebabkan air mendekomposisi suatu materi dikenal sebagai hidrolisis. Tetapi proses hidrolisis ini tidak selalu menimbulkan bahaya. Salah satu karakteristik B3 adalah sifat reaktifnya, karena dapat : - bereaksi dengan air secara kuat, - membentuk campuran yang eksplosif bila bercampur air, - menghasilkan gas, uap atau asap toksik. Disamping itu dikenal pula bahan yang higroskopik, yaitu bahan yang mampu untuk menyerap air di udara, seperti H2O4 dan NaOH, sehingga bila bahan tersebut dibiarkan terbuka di udara lembab, maka wadahnya lama kelamaan akan penuh. Beberapa bahan dikenal pula sebagai piroforik, yaitu bahan yang dapat terbakar secara spontan bila berada dalam keadaan udara kering atau lembab atau pada temperatur < 54,5 C. Dalam uraian berikut ini dijelaskan secara umum kelompok bahan yang termasuk dalam katagori reaktif dalam air. Logam-logam Alkali Beberapa jenis logam ini adalah lithium, natrium, kalium, cesium, rubidium dan francium; namun yang paling sering digunakan adalah lithium, natrium dan kalium. Logam-logam alkali ini merupakan kelompok logam yang paling reaktif, terutama dalam kondisi lembab akan menghasilkan gas H2 dengan resiko kebakaran yang tidak dapat
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 60

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

dipadamkan dengan air, tetapi biasanya dengan dry powder yang mengandung grafit. Pengangkutan bahan ini membutuhkan label yang menyatakan sebagai 'berbahaya bila lembab'. Beberapa sifat dari lithium, natrium dan kalim adalah seperti terlihat dalam tabel 4.1. TABEL 5.1 : Sifat fisika logam-logam alkali
Kerapatan pada 20o C (g/ml) Titik leleh ( C) Titik didih (o C) Panas fusi (kcal/kg) Panas penguapan (kcal/kg) Lithium 0,534 179 1317 103,2 4680 Natrium 0,972 97,5 833 27,2 1005 Kalium 0,819 63,7 760 14,6 496

Lithium adalah logam yang lunak, merupakan unsur padat yang paling ringan dan dapat mengapung pada produk minyak bumi. Bahan ini digunakan dalam industri porselen, keramik, agen pemutih, farmasi. Bila bereaksi dengan air akan menghasilkan reaksi : 2 Li(s) + 2 H2O(l) 2 LiOH(l) + H2(g) Reaksi berlangsung lambat bila dibandingkan dengan reaksi alkali yang lain, sehingga tidak berbahaya dibandingkan logam alkali lainnya. Oleh karena titik didihnya lebih tinggi dari air, maka bila bereaksi dengan air akan tetap sebagai padatan, sedangkan logam alkali lainnya akan meleleh. Natrium adalah unsur keenam yang paling banyak dijumpai dalam tanah dan lautan. Logam ini juga lunak, dan merupakan logam alkali yang paling umum digunakan. Bahan ini antara lain digunakan dalam produksi logam titanium, sebagai katalis dalam pembuatan karet sintetis, sebagai bahan baku dalam pembuatan senyawa-senyawa yang mengandung natrium yang bersifat reaktif, seperti natrium peroksida. Natrium dapat menyala secara spontan dalam udara bertemperatur kamar, berasap kuning dan membentuk natrium oksida sesuai dengan reaksi : 4 Na(s) + O2(g) 2 Na2O(s) Kalium merupakan unsur ketujuh yang paling banyak dijumpai di dalam tanah dan lautan. Sebagaian besar logam kalium digunakan untuk memproduksi logam campuran natrium-kalium sebagai penukar panas pada fluida. Dibandingkan dengan logam alkali yang lain, logam ini adalah yang paling reaktif. Bila terpapar dengan udara pada temperatur kamar, logam ini akan terbakar, berasap ungu dan membentuk kalium oksida. Logam-logam lain Beberapa jenis logam lain yang mempunyai sifat reaktif terhadap air adalah magnesium, titanium, alumunium dan seng. Kelompok ini bila dalam bentuk bubuk akan secara spontan meledak sehingga dapat menimbulkan resiko kebakaran, karena bersifat piroforik. Kemurnian dari logam kelompok ini akan menentukan resiko tersebut di atas. Bila permukaan logam ini diselimuti oleh oksida, maka resiko tersebut dapat dikurangi. Faktor lain yang mempengaruhinya adalah ukuran partikel, distribusi atau dispersi partikel, kelembaban dan jumlah oksigen yang terserap. Magnesium merupakan unsur ke delapan yang terbanyak dijumpai di dalam tanah dan lautan. Logam ini termasuk logam yang ringan sehingga sering digunakan dalam industri pesawat terbang, mobil, atau untuk pembuatan bagian-bagian mesin dan
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 61

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

sebagainya. Bila logam ini terbakar di udara, hanya sekitar 75 % diantaranya yang bereaksi dengan oksigen untuk membentuk magnesium oksida, sedang sisanya akan membentuk magnesium nitrida, seperti reaksi : 2 Mg(s) + O2(g) 2 MgO(s) 3 Mg(s) + N2(g) Mg3N2(s) Cahaya yang ditimbulkan oleh terbakarnya magnesium adalah putih terang, yang dapat membahayakan retina mata. Asap dari magnesium oksida berbahaya bila terhisap karena bersifat reaktif terhadap lembab yang ada dalam saluran pernafasan dan membentuk magnesium hidroksida, yang dapat menimbulkan luka pada paru-paru. Pengangkutan bahan ini membutuhkan label yang bertuliskan 'berbahaya bila lembab'. Titanium merupakan elemen ke sepuluh yang paling banyak dijumpai di dalam tanah dan lautan. Seperti halnya magnesium, logam ini termasuk yang mempunyai kerapatan kecil dibandingkan logam lainnya. Logam ini sekeras baja tetapi 45 % lebih ringan. Oleh karena kombinasi keras dan ringan ini, maka logam ini banyak digunakan dalam industri pesawat terbang. Logam ini tahan terhadap sifat korosi air laut sehingga banyak digunakan dalam pembuatan kapal laut. Namun biaya untuk memproduksi logam ini adalah sangat tinggi sehingga membatasi penggunaannya. Seperti halnya magnesium, logam ini reaktif terhadap air dan berisiko terhadap terjadinya ledakan dan kebakaran. Aluminum (alumunium) merupakan bahan yang paling populer diantara bahan-bahan sebelumnya, dan merupakan unsur ketiga terbanyak di perut bumi dan lautan. Alumunium lebih ringan dibanding titanium. Bahan ini dapat dibentuk sebagai lembaran yang tipis dan banyak digunakan dalam kegiatan industri maupun non- industri. Alumunium murni termasuk salah satu logam yang paling reaktif. Namun dengan terbentuknya alumunium oksida yang berada di permukaan akan melindungi logam ini dari reaksi kimia. Adanya lapisan inilah yang menyebabkan alumunium dianggap sebagai logam yang tidak berbahaya. Seperti halnya yang lain, maka bila serbuk alumunium diangkut maka dibutuhkan label sebagai 'berbahaya bila lembab'. Seng termasuk yang sering digunakan dalam kegiatan non-industri. Campurannya dengan tembaga menghasilkan logam campuran yang dikenal sebagai kuningan. Seng juga digunakan untuk melindungi besi dari korosi (galvanis), atau sebagai pigmen dalam pembuatan cat. Transportasi bubuk seng membutuhkan label 'berbahaya bila lembab'. Senyawa Organometalik Kelompok senyawa organometalik yang penting dalam industri adalah dalam bentuk atom-atom logam yang terikat secara langsung dengan atom-atom karbon, sehingga dekenal sebagai senyawa-senyawa organometalik. Senyawa ini biasanya digunakan sebagai katalis polimerisasi. Tidak kurang dari 50 jenis senyawa organometalik tersedia secara komersial, umumnya mengandung satu sampai sepuluh atom karbon pada setiap molekulnya, beberapa diantaranya adalah : diethylzinc (C2H5)2Zn, tetraethyllead (C2H5)5Pb, trimethylaluminum Al(CH3)3, tri(isobutyl) aluminum Al(C4H9)3, dimethylcadmium Cd(CH3), tetramethyltin Sn(CH3)4. Diethylzinc adalah organometalik yang biasanya digunakan dalam sintesa beberapa senyawa organik, terutama senyawa organometalik yang lain, dan digunakan pula sebagai katalis dalam polimerisasi ethene. Senyawa ini bersifat piroforik, dapat terbakar secara spontan di udara, membentuk seng oksida, karbon dioksida dan air. Dalam air, senyawa ini akan bereaksi secara keras membentuk ethane, seperti reaksi : (C2H5)2Zn(l) + 7 O2(g) ZnO(s) + 4 CO2 (g) + 5 H2O(g)
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 62

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

(C2H5)2Zn(l) + 2H2O(l) Zn(OH)2(s) + C2H6(g) Tata cara pengangkutan di Amerika Serikat mensyaratkan label 'bahan bakar spontan'. Diantara bahan organometalik yang mungkin paling terkenal adalah tetraethyllead yang digunakan dalam mengurangi ketuk (knock), yang ditambahkan pada bahan bakar kendaraan bermotor. Bila terjadi pembakaran, akan dihasilkan cemaran timbal di udara, sehingga sangat tidak dianjurkan untuk digunakan. Berbeda dengan senyawa organometalik yang lain, senyawa ini merupakan satu- satunya yang bukan termasuk piroforik, serta tidak reaktif terhadap air. Satu- satunya karakteristik bahaya yang menyertainya adalah sifat toksik dari cairan atau uapnya bila terhirup, terhisap atau kontak melalui kulit. Oleh karenanya, transportasi bahan ini membutuhkan label bertuliskan 'racun'. Maksimum pemaparan di ruang kerja adalah 0,075 mg/m3. Kelompok organometalik yang juga penting dalam industri adalah senyawa- senyawa yang mengandung atom alumunium yang terikat pada atom karbon, dikenal sebagai senyawa aluminum alkyl, seperti trimethylaluminum dan tri(isobutyl) aluminum, yang digunakan terutama untuk katalis polimerisasi. Seluruh senyawa kelompok ini merupakan senyawa yang piroforik, bereaksi secara keras dengan air dan sangat toksik. Hidrida-hidrida Metalik Kelompok hidrida-hidrida metalik yang paling banyak digunakan secara komersial adalah yang tersusun dari atom hidrogen, atau logam alkali atau alumunium, atau kadangkala boron. Senyawa ini biasanya digunakan dalam industri sebagai pereduksi. Senyawa ini relatif stabil, namun bila bereaksi dengan air, termasuk kelembaban udara, akan menghasilkan gas H2 dan mudah terbakar. Kelompok ini juga bereaksi secara hebat dengan bahan odsidator. Beberapa jenis hidrida metalik ini antara lain adalah lithium atau natrium hidrida (LiH), lithium atau natrium borohidrida, tetrahidridoaluminate (LiAlH4), lithium aluminium hidrida (LiAlH4), aluminium tetrahidridoborate Al(BH4)3. Departemen Transportasi Amerika Serikat mengatur secara khusus pengangkutan lithium dan natrium hidrida , serta lithium dan natrium borohidrida sebagai 'berbahaya bila lembab. Borane Senyawa-senyawa hidrogen dengan satu atau lebih unsur non-metal dikenal sebagai hidrida-hidrida molekular, karena berada sebagai satuan molekular. Molekular hidrida yang umum adalah air. Contoh lain adalah hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3), methane (CH4), hidrogen khlorida (HCl) dan sebagainya. Molekular hidrida dari boron disebut borane, merupakan senyawa yang reaktif terhadap air, sangat toksik dan bila terbakar akan terbentuk oksida boron. Paling tidak dikenal 14 jenis borane, umumnya tidak stabil pada temperatur kamar. Hidrida-hidrida ini akan terdekomposisi menjadi boron dan hidrogen pada temperatur di atas 300 o C. Borane (BH3)pada tekanan atmosfer adalah tidak stabil, dan berubah menjadi diborane (B2H6). Diborane ini termasuk gas yang mudah terbakar. Dengan konsentrasi diborane sebesar 0,8 % (volume) di udara, akan dapat menyebabkan pembakaran spontan dan berasap hijau. Dengan sifat panas pembakarannya yang tinggi (527 kcal/mol), disertai dengan berat molekulnya yang rendah, menyebabkan diborane digunakan sebagai bahan bakar roket. Disamping itu, diborane tergolong toksik. Pemaparan maksimum
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 63

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

dalam ruangan kerja adalah hanya 0,1 ppm. Transportasi bahan ini membutuhkan label 'gas beracun dan mudah terbakar'. Peroksida, Karbida, Fosfida dan Khlorida Metalik Senyawa-senyawa yang tersusun antara logam dengan ion peroksida (O2=) dikenal sebagai peroksida metalik, yang umumnya berbahaya karena bersifat sebagai oksidator disamping reaktif terhadap air. Peroksida metalik yang penting dalam industri adalah yang tersusun dari logam alkali dan alkali tanah, terutama natrium peroksida dan barium peroksida. Senyawa ini tidak terbakar, namun dapat menimbulkan api. Barium peroksida disamping membutuhkan label 'oksidator', diperlukan juga label 'racun'. Ion-ion karbon dalam bentuk C22-, C4- atau C34- dikenal sebagai karbida, dan senyawa yang mengandung logam dengan ion-ion karbida dikenal sebagai karbida-karbida metalik, seperti kalsium karbida CaC2 yang digunakan dalam industri sebagai sumber acetylene dan pupuk kalsium cyanamida. Bila kalsium karbida bereaksi dengan air, gas acetylene (C2H2) akan terbentuk sesuai dengan reaksi : CaC2 (s) + 2 H2O(l) Ca(OH)2(s) + C2H2 (g) Gas acetylene inilah yang berfungsi sebagai bahan bakar pada saat digunakan dalam pengelasan. Untuk menghindari bahaya kebakaran atau ledakan, maka kalsium karbida harus dijaga agar tetap kering dan bebas dari lembab udara. Contoh fosfida metalik adalah kalsium fosfida, yang juga reaktif terhadap air. Bila kalsium fosfida bereaksi dengan air, akan terbentuk gas bakar fosfine, seperti reaksi di bawah ini : Ca3P2(s) + 6 H2O(l) 3 Ca(OH)2(s) + 2 PH3(g) Gas fosfine juga bersifat toksik. Senyawa-senyawa yang mengandung khlor dengan metalik dan atau non-metalik merupakan substansi yang reaktif terhadap air. Senyawa ini tergolong berbahaya, karena bereaksi secara keras dengan air, menghasilkan hidrogen khlorida. Hidrogen khlorida adalah toksik, gas iritan dan bila berbentuk larutan akan bersifat korosif. Beberapa jenis senyawa ini adalah : alumunium khlorida (AlCl3) yang bersifat korosif, antimoni pentakhlorida (SbCl5) yang bersifat korosif, boron trikhlorida (BCl3)menguap pada 18oC dan bersifat toksik, fosforus oksikhlorida (POCl3) yang bersifat korosif dan toksik. 7 BAHAN-BAHAN KIMIA TOKSIK Terdapat berbagai cara agar sebuah bahan/substansi masuk ke dalam tubuh manusia; yang paling penting adalah melalui : mulut, kulit dan pernafasan. Bila sebuah substansi bersifat toksik, dia dapat merusak jaringan di lokasi kontaknya (efek lokal) atau berpengaruh negatif dengan jalan lain, yang mengakibatkan efek sistemis. Sebagai contoh, bila merkuri terserap oleh kulit maka akan dapat merusak ginjal atau pusat sistem syaraf. Pengaruh racun dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu yang dibutuhkan terjadinya penyakit atau gangguan, yaitu : - Bersifat akut : kerusakan yang terjadi biasanya akibat sejenis bahan dengan pemaparan singkat, seperti terhisapnya gas HCl beberapa detik yang akan menyebabkan kerusakan langsung pada paru-paru; bisa saja keterpaparan ini terjadi secara berulang-ulang sampai menimbulkan kerusakan.
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 64

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

- Bersifat kronis : suatu pengaruh atau keadaan sakit yang muncul sedikit demi sedikit dalam waktu yang agak lama setelah pemaparan pertama, misalnya timbulnya kanker liver angiosarcoma yang muncul beberapa tahun setelah menghirup vinyl khlorida. - Bersifat laten : suatu pengaruh atau keadaan sakit yang baru berkembang setelah masa inkubasi terlampaui, misalnya benzene akan mengakibatkan aplastic anemia setelah sekitar 10 tahun sejak pertama kali terjadinya pemaparan. Sebuah substansi yang masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan dapat berakibat sebagai : - Asphyxiant : substansi kimia yang menyebabkan kehilangan kesadaran karena kurangnya oksigen dalam darah, misalnya nitrogen, hidrogen, karbon monoksida. - Irritant : substansi kimia yang melukai jaringan sistem pernafasan dan paru- paru, misalnya hidrogen khlorida yang merupakan bahan korosif. Dalam toksikologi, untuk melihat pengaruh suatu substansi pada manusia, biasanya dilakukan percobaan melalui binatang, kemudian hasilnya di ekstrapolasi pada manusia. Cara ini biasanya cocok untuk toksik yang bersifat akut. Untuk toksik yang bersifat kronis atau laten, percobaan melalui binatang tidak selalu relevan karena faal manusia dan binatang tidak selalu sama. Oleh karenanya bila substansi tersebut menyebabkan kanker pada binatang dan belum terbukti pada manusia, maka bahan tersebut dikenal sebagai suspect human carcinogen, dan akan menjadi human carcinogen bila memang terbukti dapat menyebabkan kanker pada manusia. Untuk mengkuantifikasi toksisitas akut, maka digunakan penelitian terhadap binatang percobaan, yaitu : - Lethal dose-50 (LD50) : konsentrasi bahan, dengan satuan mg bahan per kg berat binatang, yang menyebabkan kematian binatang penelitian sebanyak 50 % . - Lethal concentration-50 (LC50) : konsentrasi bahan, dalam satuan ppm (volume), yang dapat mematikan 50 % binatang percobaan. - Threshold limit value (TLV) : limit teratas dari sebuah konsentrasi toxin yang tidak menimbulkan pengaruh kesehatan pada manusia yang terpapar secara rutin, dengan satuan ppm (gas) atau mg/m3 ( asap udara). - Immediately dangerous to life and health (IDLH) : merupakan konsentrasi maksimum suatu substansi yang memungkinkan manusia menghindar dalam 30 menit tanpa masalah pada kesehatannya. - Time weighted average threshold limit value (TWA-TLV) : konsentrasi rata- rata di ruang kerja yang dapat diterima oleh sebagian besar pekerja selama 40 jam per minggu atau 8 jam per hari tanpa menimbulkan gangguan. USEPA menggunakan tolak ukur yang bersifat praktis, yaitu dengan EP-toxicity (extraction-procedure toxicity), yang mengatur beberapa cemaran logam toksik dan pestisida, dengan memberikan batasan konsentrasi maksimum cemaran yang diuji sesuai dengan protokol penelitian. Konsentrasi maksimum tersebut adalah seperti terlihat dalam tabel 2.2. TABEL 5.2 : Konsentrasi maksimum bahan toksik dengan EP-toxicity [..]
No.limbah B-3 D004 D005 D006 D007 D008 D009 Cemaran Arsen Barium Kadmium Khromium Timah Merkuri Konsentrasi (mg/l) 5,0 100,0 1,0 5,0 5,0 0,2

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 65

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

D010 D011 D012 D013 D014 D015 D016 D017

Selenium Perak Endrin Lindane Methoxychlor Toxaphene 2,4-D 2,4,5-TP Silvex

1,0 5,0 0,02 0,4 10,0 0,5 10,0 1,0

Catatan : 2,4-D = 2,4-dikchlorophenoxyacetic acid 2,4,5-TP Silvex = 2-(2,4,5-trichlorophenoxy)propionic acid

Bila cemaran tersebut mengandung konsentrasi lebih tinggi dari yang tertera dalam tabel, maka cemaran tersebut terkatagorikan sebagai toksik. Beberapa kelompok bahan kimia yang bersifat toksik antara lain adalah : - Oksida-oksida karbon : seperti CO dan CO2 - Hidrogen cyanida : HCN - Senyawa sulfur : H2S, SO2 - Oksida-oksida nitrogen seperti N2O, NO2, N2O4 - Amonia - Logam-logam berat seperti : arsen, timah (Pb) - Asbestos. - Pestisida organik. Oksida-oksida Karbon Bila bahan mengandung karbon terbakar, maka akan terbentuk gas karbon dioksida (CO2). Bila pembakaran tidak sempurna akan dihasilkan gas karbon monoksida (CO), yang tergolong gas berbahaya karena dapat menyebabkan kematian. Reaksi yang umum, misalnya dalam pembakaran gas methane, adalah: 2 CH4(g) + 3 O2(g) --- 2 CO(g) + 4 H2O(g) CH4(g) + O2(g) --- C(s) + 2 H2O(g) Kedua jenis oksida tersebut adalah tidak berwarna dan tidak berbau. Beberapa sifat gas karbon monoksida adalah: - titik didih - 191,6 oC - densitas cairan (pada titik didih) 795 g/L - densitas gas (pada titik didih) 4,3 g/L - densitas gas (pada 20 C) 1,25 g/L - densitas uap (udara = 1) 0,97 - panas pembakaran 67,64 kcal/mol - % batas bawah ledakan 12,5 - % batas atas ledakan 74 -rasio ekspansi cair ke gas 700 Sedang beberapa sifat gas karbon dioksida adalah : - titik beku (oC) - 56,55 oC - titik sublimasi (pada 1 atm) 78,5 oC - panas fusi 47,5 kcal/kg - panas sublimasi 36,2 kcal/kg - densitas padat (pada 1 atm) 1,56 g/ml - densitas gas (pada titik sublim) 2,8 g/L - densitas gas (pada 20 oC) 1,98 g/L - densitas uap (udara = 1) 1,529 - rasio ekspansi cair ke gas 790
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 66

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Karbonmonoksida merupakan gas toksik, yang dapat terserap oleh darah melalui pernafasan. Pada saat manusia bernafas, oksigen akan terbawa oleh aliran darah oleh komponen dalam darah yang disebut hemoglobin (Hb). Bila Hb ini menyerap oksigen akan terbentuk oksihemoglobin (O2Hb), dengan reaksi seperti : Hb(l) + O2(g) --- O2Hb(l) Oksihemoglobin ini akan melepaskan oksigen pada jaringan atau organ lainnya. Bila karbonmonoksida terhirup, akan terbentuk karboksihemoglobin (COHb) : Hb(l) + CO(g) --- COHb(l) yang mempunyai afinitas kimia sebesar 300 kali lebih tinggi daripada pembentukan oksihemoglobin. Oksigen yang terikat dalam oksihemoglobin juga dapat dilepaskan sesuai dengan reaksi : O2Hb(l) + CO(g) --- COHb(l) + O2 Karboksihemoglobin ini relatif stabil dan menghalangi penyerapan oksigen oleh darah sehingga penderita mengalami anoxia, yaitu kekurangan oksigen dalam darah. Pada dasarnya tubuh manusia lebih toleran terhadap CO2, walaupun adanya CO2 akan mempertinggi laju pernafasan seseorang, sehingga pekerjaan terasa menjadi lebih berat. TLV di udara untuk karbon monoksida adalah 100 ppm, sedangkan untuk CO2 adalah 5000 ppm (0,5 %); lebih dari konsentrasi tersebut akan menimbulkan gangguan pernafasan. Kontainer atau silinder gas karbon monoksida membutuhkan label 'gas beracun' dan ' gas mudah terbakar', sedang untuk gas karbon dioksida tergolongkan sebagai 'gas tidak terbakar'. Hidrogen Sianida (HCN) Pada temperatur kamar, hidrogen sianida adalah merupakan gas yang tidak berwarna, dengan sifat-sifat antara lain : - titik beku (oC) : - 14 oC - titik didih (oC) : 26 oC o - kerapatan pada 20 C : 1,2 g/L - kerapatan uap (udara = 1) : 0,93 - % batas terendah ledakan :6 - % batas tertinggi ledakan : 41 - titik nyala cairan : - 18 oC Gas HCN larut dalam air membentuk asam hidrosianik. Hidrogen sianida anhidrous (cair) merupakan bentuk yang secara komersial sering dijumpai, merupakan bahan yang tidak stabil. HCN banyak digunakan dalam pembuatan plastik seperti polyacrylonitrile yang mengandung grup -CN. Bila jenis plastik ini dipanaskan, maka akan terdekomposisi secara termal dan terbentuklah gas racun HCN. Bahan racun ini mempengaruhi transportasi oksigen dalam darah, karena dapat mengganggu aktivitas enzim cyctochrome oxidase yang dibutuhkan untuk respirasi selluler dan pembentukan enersi. Bahan ini masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan atau kulit. Beberapa senyawa kimia dengan ion-ion metalik yang bergabung dengan ion- ion sianida, seperti natrium sianida, banyak digunakan dalam industri elektroplating. Seperti halnya gas sianida, bahan ini juga bersifat racun bila terserap oleh manusia. Bahan ini juga akan bereaksi dengan asam membentuk gas HCN : NaCN(s) + HCl(l) --- NaCl(l) + HCN(g) Beberapa besaran konsentrasi (dalam ppm) yang berkaitan dengan sifat toksikologi dari HCN adalah :
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 67

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

- batas bau : 0,2 - 5,0 - TLV : 10 - keluhan sakit kepala : 18 -36 - bertahan selama 1/2 jam tanpa kesulitan : 45 - 54 - kematian dalam 1 jam : 110 - 135 - kematian langsung : 280 Pengaturan pengangkutan dan pewadahan mensyaratkan label : racun' dan 'cairan mudah terbakar'. Senyawa Sulfur Senyawa yang mengandung unsur sulfur dijumpai pada batu bara, gas alam, minyak mentah, wool, rambut, polimer-polimer sintetis dan sebagainya (lihat sub bab 2.2). Bila bahan ini terpapar dengan panas atau bila terbakar akan membentuk gas hidrogen sulfida (H2S) atau SO2. Hidrogen sulfida secara komersial banyak dijumpai dalam bentuk cairan, biasanya digunakan dalam industri yang memproduksi senyawasenyawa mengandung sulfur. Bahan ini juga digunakan dalam industri metalurgi. Gas H2S merupakan gas yang tidak dijumpai akibat proses dekomposisi dari gas ini adalah : - titik didih - titik beku - densitas pada 20 o C - kerapatan uap (udara = 1) - persen batas bawah ledakan - persen batas atas ledakan - panas fusi - panas penguapan berwarna, berbau seperti telur busuk. Secara alami senyawa organik dalam kondisi anaerob. Sifat-sifat : - 60 o C : - 83 o C : 1,539 g/L : 1,2 : 4,3 : 46 : 0,568 kcal/mol : 4,463 kcal/mol

TLV dari gas H2S dibatasi hanya 10 ppm. Bila terus menerus menghirup udara yang mengandung gas ini, akan mengakibatkan pusing dan sakit kepala; bila terhirup dengan konsentrasi 600 ppm selama 30 menit akan berakibat fatal. Tetapi karena gas ini mempunyai bau khas, maka kehadirannya dapat diketahui sejak dini. Pengangkutan dan kontainer bahan ini membutuhkan label bertuliskan 'gan beracun' dan 'gas mudah terbakar'. Sulfur dioksida merupakan gas tidak berwarna, berbau menyengat seperti karet terbakar. Gas ini terbentuk bila senyawa mengandung sulfur terbakar, misalnya pada pembakaran gas H2S akan terjadi reaksi : 2 H2S(g) + 3 O2 (g) --- 2 H2(g) + 2 SO2(g) Gas ini akan muncul misalnya karena pembakaran minyak bumi atau batu bara, karena kedua jenis bahan bakar ini mengandung senyawa sulfur. Dalam emisinya di udara, gas ini secara lambat akan teroksidasi menjadi sulfur trioksida (kadang-kadang ditulis sebagai SOx) yang larut dalam lembab udara membentuk asam sulfat sebagai penyebab hujan asam, sesuai dengan reaksi : 2 SO2(g) + O2(g) --- 2 SO3(g) SO3(g) + H2O(g) --- H2SO4(l) Masalah lingkungan yang ditimbulkan pada zone industri adalah adanya kabut sulfur (sulfurous smog), yang terbentuk akibat kumulasi asam sulfat di udara. Beberapa sifat dari gas ini adalah :
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 68

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

- titik didih - titik beku - densitas pada 20 o C - Kerapatan uap (udara =1) - panas difusi - panas vaporasi

: - 10 o C : - 76 o C : 2,93 g/l : 2,3 : 1,77 kcal/mol : 5,96 kcal/mol

Standar emisi yang dikeluarkan oleh USEPA adalah 0,03 ppm selama periode 24 jam, dan 0,14 ppm selama periode 3 jam. Standar kedua adalah konsentrasi tahunan sebesar 0,5 ppm. Dalam ruang kerja, TLV dari SO2 adalah 5 ppm. Pada konsentrasi sebesar 10 ppm (volume) gas ini akan mengakibatkan iritasi pada mata. Konsentrasi melebihi 500 ppm akan menyebabkan kematian seketika. Gas ini dalam pengangkutannya membutuhkan label bertuliskan 'gas racun'. Oksida Nitrogen (NOx) Terdapat enam oksida-oksida nitrogen, yaitu dinitrogen monoksida (N2O), nitrogen monoksida (NO), dinitrogen trioksida (N2O3), nitrogen dioksida (NO2), dinitrogen tetroksida (NO4) dan dinitrogen pentoksida (N2O5). Diantara keenam oksida tersebut, maka N2O3 dan N2O5 yang tidak penting dalam industri. Gas N2O merupakan gas tidak berwarna, banyak digunakan sebagai anestesi oleh dokter gigi. Bahan ini merupakan agen pengoksidasi yang baik, sehingga sulfur, fosfor dan karbon dapat terbakar dalam atmosfer N2O seperti halnya dalam atmosfer yang mengandung oksigen. Dengan adanya hidrogen atau amonia, dihasilkan campuran eksplosif. Label yang dibutuhkan dalam pengangkutannya adalah sebagai 'gas tidak terbakar' dan 'pengoksidasi'. Gas NO merupakan agen pengoksida yang baik, tidak berwarna dan berbau tajam. Magnesium dan fosfor dapat terbakar dengan baik dalam atmosfer yang mengandung gas ini seperti halnya atmosfer yang mengandung oksigen. Gas ini dapat berkombinasi dengan hemoglobin dalam darah, seperti halnya karbon monoksida, membentuk metheglobin (NOHb), sehingga dapat menimbulkan methemoglobinemia dengan terhalangnya transportasi hemoglobin. Oleh karenanya, gas ini tergolong toksik dengan batas TLV 25 ppm. NO2 dan N2O4 merupakan agen pengoksida yang lebih baik dibanding N2O atau NO, sehingga digunakan sebagai agen pengoksida dalam roket; gas-gas ini juga toksik dan menyebabkan methemoglobinemia dengan batas TLV 5 ppm. Pengangkutan gas ini membutuhkan label bertuliskan 'gas beracun' dan 'pengoksidasi'. Amonia (NH3) Amonia merupakan gas yang tak berwarna dan berbau menyengat. Beberapa sifat dari gas ini adalah : - titik didih: - 33 o C - titik beku: - 78 o C - densitas: 0,771 g/L - kerapatan uap (udara = 1): 0,596 - swa-penyalaan: 651 o C - batas bawah ledakan: 16 % - batas atas ledakan: 25 %
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 69

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Gas ini mudah dicairkan dan dikenal sebagai anhydrous ammonia. Dengan sifatnya yang lebih ringan dari udara (densitas uap = 0,569), bila terlepas di udara akan cepat terdispersi apalagi bila terdapat angin. Walaupun tidak berwarna, bila bahan cairan ini tumpah akan terbentuk awan putih akibat kondensasi lembab udara, sehingga memudahkan pelacakan terjadinya kebocoran. Gas ini berakibat seperti halnya alkali terhadap kulit manusia, yaitu dari iritasi ringan sampai rusaknya jaringan, yang tergantung pada lamanya pemaparan. Mata dan paruparu akan teritasi bila terpapar dengan bahan ini. Pemaparan yang berlebihan akan menyebabkan kebutaan dan rusaknya jaringan pernafasan. Karena bahan ini sangat larut dalam air, maka air merupakan bahan yang efektif untuk penanggulangan masalah yang timbul. Limit pemaparan di ruang kerja adalah 50 ppm. Gas amonia merupakan yang gas mudah terbakar, namun dengan rentang yang kecil, serta limit bawahnya yang relatif besar (16 %), maka bahaya kebakaran relatif kecil. Pengangkutan amonia cair (anhydrous) membutuhkan label 'gas racun'. Amonia yang dilarutkan dalam air merupakan larutan yang sering dijumpai secara komersial, yaitu amonium hidroksida (NH4OH). Pengangkutan cairan ini membutuhkan label 'korosif'. Logam-logam Berat Toksik Yang dimaksud dengan logam berat dalam buku ini adalah setiap logam yang mempunyai berat atom lebih dari 50. Bila terserap dalam tubuh manusia, beberapa logam berat akan merupakan racun, apalagi bila dalam bentuk bubuk atau asap. Logam berat yang digolongkan toksik oleh USEPA adalah : antimon, arsen, berillium, kadmiun, khromium, tembaga, timah, merkuri, nikel, selenium, perak, thallium dan seng. Mekanisme keracunan dari logam berat ini adalah tergantung dari jenisnya, tetapi umumnya karena ion-ion logam ini mempunyai affinitas yang sangat besar dengan sulfur. Bila logam ini terbawa oleh darah maka akan bersenyawa dengan sulfur yang berada pada fluida sellular tubuh, dan mempengaruhi kerja enzimatik dalam tubuh. Asbestos Absestos merupakan terminologi yang digunakan dalam ilmu mineral untuk berbagai fiber silikat yang tersusun dari silicon, oxygen, hidrogen dan ion- ion metalik seperti natrium, magnesium, kalsium dan besi. Bahan ini mempunyai titik leleh yang sangat tinggi, tidak terbakar dan digunakan sebagai penyekat panas. Bila dicampur dengan magnesium oksida, asbestos sangat baik digunakan sebagai bahan tahan api yang banyak digunakan. Namun disamping kegunaannya tersebut, pada kondisi khusus asbestos dapat membahayakan kesehatan manusia termasuk timbulnya karena kanker, terutama bila asbestos hadir dalam bentuk debu asbes sehingga mudah terhisap melalui pernafasan atau mulut. Debu asbes ini sangat ringan dan dapat melayang di udara. Bila terhirup masuk ke dalam paru-paru, bahan ini akan terkumpul menyebabkan asbestosis. Namun bila tidak terkumpul di paru-paru, maka akan masuk pada kerongkongan dan dapat memnyebabkan kanker pada pencernaan. Bahan ini juga menyebabkan mesothelioma pada paru-paru atau saluran pernafasan, yang hanya dijumpai pada orang yang terpapar debu asbes. Debu asbes ini mempunyai efek sinergis, misalnya bila terhisap oleh perokok, akan mengakibatkan kemungkinan terserang kanker 50 kali lebih besar dibanding orang yang tidak merokok.
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 70

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Kriteria yang diberlakukan di USA pada lingkungan kerja adalah dalam 1 cm3 udara tidak boleh terdapat lebih dari 10 fiber asbes yang lebih panjang dari 5 micrometer.

Pestisida Organik Pestisida adalah bahan kimia yang digunakan untuk membunuh insek, fungi, roden, atau tanaman. Sebagian besar pestisida yang sekarang digunakan adalah merupakan senyawa-senyawa organik. Telah dihasilkan ribuan jenis pestisida, beberapa diantaranya telah dilarang digunakan, karena terbukti berbahaya bagi manusia. Didasarkan atas struktur molekulnya, maka pestisida organik dapat dikelompokkan menjadi beberapa grup, yang terpenting adalah pestisida organochlorine, pestisida organophosphorus, pestisida karbamate dan pestisida urea. Pestisida organochlorine merupakan turunan hidrokarbon kompleks; paling tidak sebuah atom hidrogen dalam molekul hidrokarbon tersebut, digantikan oleh atom khlor. Sebagai contoh adalah Aldrin dengan formula C12H8Cl6, yang berasal dari hidrokarbon dengan formula C12H14. Salah satu jenis kelompok ini yang terkenal adalah DDT, yang banyak digunakan selama perang dunia ke dua, antara lain untuk mengontrol penyakit tifus dan malaria yang ditularkan melalui insek. Namun ternyata bahan ini menimbulkan masalah kesehatan bagi manusia, sehingga pembuatan dan penjualannya dilarang. Mekanisme bagaimana pestisida ini memepengaruhi aktivitas biologi belumlah banyak diketahui. Hanya diketahui bahwa bahan ini merusak keseimbangan natrium dan kalium dalam sel-sel syaraf sehingga mempengaruhi impuls sel tersebut. Jenis organochlorine ini mempunyai efek biokumulasi terutama pada jaringan lemak, dan sangat stabil serta persisten; melalui rantai makananlah bahan ini akan sampai pada manusia. Pestisida organophosphorus merupakan turunan dari asam fosfat, contohnya adalah Parathion dengan formula (C2H5)2PSOC6H4NO2. Kelompok pestisida ini juga bersifat toksik. Pada insek, pestisida ini mempunyai kemampuan untuk menghalangi kerja enzim, dikenal sebagai acetylcholinesterase (ACHE). Enzim ini secara rutin berfungsi mempengaruhi impuls syaraf. Pestisida carbamate merupakan turunan dari asam karbamik. Salah satu jenis pestisida ini adalah Carbyl yang merupakan insektisida. Fungsinya pada insek atau vertebrata adalah mempengaruhi kerja enzim cholinistrase. Beberapa jenis pestisida carbamate juga berfungsi sebagai fungisida atau herbisida. Pestisida urea merupakan turunan dari urea, yaitu dengan sebuah atom hidrogen (atau lebih) pada urea yang digantikan oleh atom-atom lain. Salah satu pestisida kelompok ini adalah Linuron. Umumnya pestisida ini digunakan sebagai herbisida yang dapat menghalangi proses fotosintesis. 8 SENYAWA PENGOKSIDASI Terjadinya reaksi oksidasi-reduksi (redoks) yang terkontrol sangat bermanfaat bagi manusia, seperti pembakaran bahan bakar, khlorinasi air, peledakan dinamit. Enersi dari reaksi ini dapat disimpan, seperti pada batere. Bila reaksi tidak terkontrol, maka enersi yang terbentuk dapat menyebakan bahaya bagi manusia, seperti terjadinya kebakaran, ledakan. Bila misalnya gas alam dibakar, maka enersi yang ada dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Tetapi panas yang ditimbulkan dari reaksi redoks tersebut dapat terserap oleh bahan yang dapat terbakar yang berada di dekatnya,
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 71

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

sehingga bahan tersebut dapat terbakar dengan sendirinya. Kadangkala walapun agen pengoksidasi dijumpai dalam jumlah yang kecil, tetapi sudah cukup untuk memungkinkan terjadinya swa- pembakaran bahan semacam sulfur dan sebagainya. Kemampuan agen pengoksidasi bervariasi. Ada oksidator yang mempunyai kemampuan lebih tinggi dibanding oksigen, ada yang berada di bawah kemampuan oksigen. Bahan pengoksidasi yang mengandung oksigen dapat dikatakan tidak stabil waktu dipanaskan. Bahan tersebut akan memasok oksigen pada saat terjadinya kebakaran walaupun udara di sekitarnya kekurangan oksigen. Beberapa agen pengoksidasi diuraikan di bawah ini secara umum.

Hidrogen Peroksida (H2O2) Hidrogen peroksida merupakan peroksida yang paling sering dijumpai. Hidrogen peroksida murni mempunyai penampilan yang mirip air, tetapi mempunyai bau yang sedikit tajam. Bahan ini banyak digunakan dalam industri tekstil untuk pengelantang. Dalam industri kimia, bahan ini digunakan untuk memproduksi bahan peroksida metalik dan organik. Hidrogen peroksida merupakan bahan yang relatif tidak stabil. Larutan dengan konsentrasi 8 % (massa) secara lambat akan terdekomposisi menjadi air dan oksigen setelah 9 bulan. Sinar matahari akan bertindak sebagai katalisator. Bila berada pada konsentrasi yang pekat (lebih besar dari 30 %), maka larutan ini aka terdegradasi secara cepat yang disertai timbulnya panas sehingga akan dapat teruapkan. Untuk menghindari bahaya ledakan, larutan ini distabilkan dengan sejumlah kecil natrium pirofosfat, yang akan bertindak sebagai katalis guna memperlama proses dekomposisi. Beberapa logam seperti besi, baja, timah, tembaga, khrom, seng, mangan dapat bertindak sebagai katalis guna terjadinya dekomposisi. Larutan yang mengandung hidrogen peroksida lebih dari 50% (volume) dapat menyebabkan timbulnya api secara spontan dari bahan yang dapat terbakar. Hidrogen peroksida selain dapat bertindak sebagi oksidator kuat, namun dapat pula berfungsi sebagai reduktor lemah. Pada saat bertindak sebagai reduktor, oksigen selalu dibebaskan. Hidrogen peroksida dapat menimbulkan masalah kesehatan yang serius; pada konsentrasi larutan lebih besar dari 30 % (volume) larutan ini korosif terhadap kulit. Di lingkungan kerja batas pemaparan maksimum adalah 1 ppm. Transportasi hidrogen peroiksida dengan konsentrasi sampai 20 % diberi label : 'oksidator'. Bila di atas konsentrasi tersebut diberi label : 'oksidator dan korosif'. Hipokhlorit, Khlorit, Khlorat dan Perkhlorat Bahan pengoksidasi yang juga banyak digunakan adalah natrium dan kalsium hipokhlorit, yang merupakan komponen aktif sebagai pemutih maupun untuk pembersih peralatan saniter. Hipokhlorit metal ini, dengan konsentrasi sekitar 3 sampai 5 %, biasanya digunakan sebagai pemutih pada pencucian pakaian karena kemampuannya bereaksi dengan karbon di udara akan memproduksi asam hipokhlor dan melepaskan oksigen, seperti reaksi di bawah ini : 2 NaClO(l) + H2O(l) + CO2 --- Na2CO3(l) + 2 HClO(l) 2 HClO(l) --- 2 HCl(l) + O3(g) Oksigen yang dibebaskan dari dekomposisi fotokimia ini akan memucatkan pakaian. Bahan ini digunakan pula dalam penyediaan air bersih atau pengolahan air limbah sebagai desinfektan.
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 72

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Natrium khlorit merupakan agen pemucat/pemutih yang banyak digunakan dalam industri kertas dan tekstil. Secara komersial, bahan ini diperoleh dalam konsentrasi larutan sampai 80%. Dalam pengangkutannya, bahan ini dianggap sebagai bahan pengoksidasi, sedangkan dalam kondisi sebagai larutan dianggap sebagai korosif. Metal khlorat yang sering digunakan adalah natrium khlorat atau kalium khlorat, digunakan terutama sebagai komponen serbuk mesiu, herbisida dan sebagainya. Natrium khlorat sangat sensitif misalnya bila bergesekan dan dapat menimbulkan terjadinya api dengan mudah. Bahan ini merupakan pengoksidasi yang sangat kuat. Bila bereaksi dengan serbuk logam seperti alumunium, akan menimbulkan ledakan. Beberapa senyawa organik akan terbakar dengan sendirinya bila berkontak dengan bahan ini. Transportsai bahan ini membutuhkan label: 'pengoksidasi'. Seperti halnya metal khlorat, maka metal-metal perkhlorat digunakan untuk kebutuhan yang hampir bersamaan, terutama yang berkaitan dengan penimbulan api dan ledakan. Namun bahan ini relatif lebih stabil dibanding bahan- bahan sebelumnya serta tidak menimbulkan reaksi yang prematur. Walaupun demikian, pengangkutan bahan ini pada kontainer pengangkutnya membutuhkan label : 'pengoksidasi'. Senyawa-senyawa Amonium Pada dasarnya semua senyawa yang mengandung ion amonium (NH4+) secara termal tidaklah stabil. Bila dipanaskan, senyawa ini akan terdekomposisi dengan dua jalan, yaitu : - senyawa-senyawa amonium yang bukan agen-agen pengoksidasi terdekomposisi membentuk amonium, misalnya amonium khlorida yang secara termal terdekomposisi pada temperatur kurang dari 167 o C membentuk amonia dan hidrogen khlorida, - senyawa-senyawa amonium yang merupakan agen-agen pengoksidasi dapat juga terdekomposisi membentuk amonia; tetapi lebih umum akan membentuk nitrogen, oksigen dan oksida-oksida metalik dan non metalik. Senyawa-senyawa amonium merupakan senyawa yang sering dijumpai. Amonium sulfat merupakan pupuk yang paling sering digunakan dibanding senyawa amonium yang lain. Namun secara komersial, amonium nitrat dianggap sebagai yang paling penting diantara senyawa amonium yang lain, baik sebagai pupuk maupun sebagai komponen bahan peledak. Amonium nitrat berpotensi menimbulkan resiko ledakan. Pada temperatur 80o ke 93 o amonium nitrat terdekomposisi membentuk amonia dan asan nitrat, yang berlangsung secara endotermis : NH4NO3(s) --- NH3(g) + HNO3 Pada temperatur sekitar 166 oC, amonium nitrat akan meleleh. Pada saat ini bahaya kebakaran dan ledakan akan besar bila senyawa ini tetap berada pada kondisi temperatur tinggi. Bila temperatur di atas 212 oC, amonium nitrat akan terdekompiosisi membentuk dinitrogen oksida dan uap air yang berlangsung secara eksotermis : NH4NO3(g) --- N2O(g) + 2 H2O(g) Bila pada saat pengangkutan bahan ini berada pada kontainer yang tertutup rapat, maka ledakan tidak dapat dihindari, api dapat berkobar yang didukung oleh adanya N2O sebagai pengganti oksigen udara. Beberapa senyawa dikenal mempunyai peranan sebagai katalis dalam menaikkan laju dekopmposisi amonium ini, misalnya senyawa
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 73

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

yang mengandung tembaga, sulfur. Pengangkutan dan pewadahan bahan ini membutuhkan label : 'pengoksidasi'. Oksidator Mengandung Khrom Khrom pada tingkat oksidasi +6 terdapat dalam bentuk senyawa logam khromat, logam dikhromat, khrom trioksida dan khromilkhlorida. Pada kondisi sebagai ion-ion metalik tidak berwarna, sebagai khromat akan berwarna kuning dan sebagai dikhromat akan berwarna oranye. Dikhromat metalik, seperti kalium dikhromat (K2Cr2O4) merupakan oksidator yang kuat, terutama bila berada dalam larutan asam. Oksidator ini banyak digunakan dalam industri elektropalting khrom, pewarnaan dan percetakan, komponen bahan peledak dan sebagainya. Asam-asam yang berkaitan dengan khromat dan dikhromat hanya ada pada kondisi larutan. Bila air diuapkan darinya, maka yang tersisa adalah oksida khrom (VI) yang dikenal sebagai khromium trioksida, atau khromium anhidrid atau asam khromik dengan formula (CrO3). Asam ini berwarna merah yang digunakan untuk pembersihan permukaan logam atau gelas. Biasanya asam ini dibuat dengan penambahan asam sulfat pekat pada larutan kalium dikhromat. Senyawa sejenis adalah khromil khlorida (CrO2Cl2), yang dikenal sebagai khromium oksikhlorida, suatu larutan merah yang terbentuk bila campuran asam khlorida dan asam sulfat ditambahkan pada larutan jenuk kalium dikhromat. Penggunaan dalam industri adalah seperti halnya asam khromik. Seluruh senyawa yang mengandung khrom oleh USEPA dikatagorikan sebagai toksik, walaupun pada kenyataannya yang paling bersifat toksik adalah yang berada pada tingkat oksidasi +6. Senyawa ini bersifat karsinogenik dan dapat merusak ginjal. Transportasinya membutuhkan label sebagai 'oksidator' atau sebagai 'bahan korosif', tergantung pada kondisi oksidasinya. Oksidator Mengandung Permanganat, Nitrit dan Nitrat Permanganat metalik adalah senyawa yang mengandung mangan pada kondisi oksidasi +7 yang tidak berwarna, namun permanganat itu sendiri berwarna ungu. Permanganat metalik yang paling terkenal adalah natrium dan kalium permanganat. Larutan kalium permanganat digunakan untuk pengobatan dermatitis yang berasal dari bakteri atau fungi. Larutan yang lebih terkonsentrasi kadang digunakan dalam pengolahan limbah, termasuk libah gas sebagai oksidator. Pengaturan pengangkutannya membutuhkan label : 'oksidator'. Nitrit dan nitrat metalik dengan kandungan nitrogen pada tingkat oksidasi masingmasing +3 dan +5 adalah oksidator yang termasuk penting, misalnya dalam bentuk natrium nitrat dan natrium nitrit, yang banyak digunakan dalam industri makanan untuk mempertahankan warna. Namun natrium nitrit dengan kerja enzim tertentu akan membentuk senyawa nitrosamin, yang dianggap berpotensi sebagai senyawa karsinogenik. Demikian juga halnya natrium nitrat, dapat dikonversi oleh bakteri dalam perut untuk membentuk nitrit. Nitrit metalik dapat bertindak sebagai oksidator maupun reduktor. Nitrit metalik dioksidasi menjadi nitrat metalik dan direduksi menjadi nitrogen monoksida.

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 74

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

9 BEBERAPA SENYAWA ORGANIK BERBAHAYA Senyawa-senyawa organik merupakan bahan yang sangat banyak digunakan dalam kehidupan manusia modern, misalnya untuk bahan bakar, pelarut pembersih, adesif, plastik, resin, fiber, cat, vernis, pendingin, aerosol, tekstil dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan keselamatan, maka karakteristik yang umumnya dijumpai dari senyawa ini adalah mudah terbakar dan bila terbakar, gas senyawa-senyawa ini dapat meledak di udara. Senyawa organik ini dapat menguap dengan mudah dan uapnya mudah terbakar pada kondisi kamar. Bahaya yang kedua dari kelompok ini adalah karena dapat bersifat toksik pada manusia, antara lain menyebabkan kerusakan pada hati, ginjal, jantung, sistem syaraf dan beberapa diantaranya menjadi penyebab penyakit kanker. Molekul-molekul dari senyawa-senyawa organik mempunyai pola yang sama, yaitu dengan satu atau lebih atom karbon yang terikat dengan atom-atom lain. Senyawa organik yang paling sederhana adalah hidrokarbon, yang dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu hidrokarbon alifatik dan aromatik. Seluruh molekul dari senyawa ini hanya tersusun oleh atom karbon dan hidrogen. Senyawa ini pada temperatur kamar dapat berupa gas, cair atau padat. Pada pembakaran sempurna, akan terbentuk karbon dioksida dan uap air. Sumber utama hidrokarbon yang digunakan manusia adalah minyak bumi (petroleum), yang mempunyai variasi atom karbon antara 3 sampai 60. Bila minyak bumi mentah dipanaskan pada temperatur tertentu, maka campuran komponen-komponen tersebut tervolatilisasi sesuai titik didihnya masing-masing, sehingga dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Produk destilasi yang penting adalah : o Petroleum naphtha, yaitu campuran hidrokarbon yang molekul-molekulnya terutama mempunyai lima, enam atau tujuh atom karbon. Produk ini terdistilasi antara 35 o 90 o C. o Bensin (gasoline), yaitu campuran hidrokarbon yang molekul-molekulnya terutama mempunyai lima sampai sembilan atom karbon. Titih didihnya adalah 38 o - 204 o C. o Kerosene, merupakan campuran hidrokarbon yang lebih berat dari pada minyak bensin. Distilasi fraksi minyak bumi ini lebih lanjut akan menghasilkan produk non- bahan bakar, terutama sebagai bahan baku untuk produk-produk yang banyak digunakan dalam industri petrokimia, misalnya sebagai bahan baku plastik, karet dan aneka ragam fiber sintetis lainnya. Hidrokarbon Alifatik Hidrokarbon alifatik dibagi menjadi beberapa sub kelompok, yaitu alkane, alkene dan alkine. Alkane adalah hidrokarbon yang ikatan atom karbonnya tunggal, dengan formula kimia CnH2n+2. Bila jumlah atom karbon satu, maka jumlah atom hidrogennya adalah 4, yaitu CH4 dikenal methane. Selanjutnya, bila n = 2, maka yang dimaksud adalah ethane C2H6 atau ditulis menurut struktur Lewis sebagai CH3CH3. Seterusnya dikenal: C3H8 (propane), C4H10 (butane), C5H12 (pentane), C6H14 (hexane), C7H16 (heptane), C8H18 (oktane). Menurut struktur Lewis, maka mulai dari C4H10 dikenal dua jenis struktur molekul, yaitu : - atom karbon yang terikat satu sama lain dalam satu rantai yang menerus, - atom karbon yang ikatannya tidak selalu dalam satu rantai yang menerus. Butane dalam struktur pertama dikenal sebagai n-butane, sedang butane dalam struktur yang kedua dikenal sebagai isobutane.
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 75

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Alkane dikenal sebagai hidrokarbon jenuh, karena setiap ikatan elektron dari atom-atom karbon, berpasangan dengan atom-atom yang terikat dengan karbon tersebut. Senyawa ini dikenal pula sebagai sikloalkane karena atom karbon pertama dan terakhir terhubungkan satu sama lain dalam rantai yang menerus. Hidrokarbon dengan molekul-molekul yang mengandung satu atau lebih karbon yang terikat dengan ikatan ganda, dikenal sebagai alkene atau olefin. Karena setiap alkene kekurangan hidrogen relatif terhadap alkane, maka kelompok ini dikenal sebagai hidrokarbon tak jenuh. Formula umum dari kelompok ini adalah CnH2n. Alkene yang paling sederhana dikenal sebagai ethene atau ethylene dengan formula C2H4. Hidrokarbon yang mempunyai satu atau lebih ikatan karbon ke karbon rangkap tiga dikenal sebagai alkine. Seperti halnya alkene, maka alkine adalah termasuk hidrokarbon tak jenuh. Formula umum dari alkine adalah CnH2n-2. Alkine yang paling sederhana adalah C2H2 yaitu ethyne atau acetylene. Hidrokarbon Aromatik Hidrokarbon aromatik adalah senyawa-senyawa yang mempunyai satu atau lebih bentuk cincin ikatan atom karbon. Senyawa yang paling sederhana dari kelompok ini adalah benzene dengan formula molekularnya C6H6. Biasanya formula benzene dilambangkan oleh bentuk heksagon dengan cincin di dalamnya. Oleh karenanya, yang membedakan antara hidrokarbon alifatis dengan hidrokarbon aromatis adalah struktur molekularnya, yang menyerupai benzene atau yang tidak menyerupai benzene. Benzene adalah senyawa yang tidak larut dalam air, menguap pada temperatur kamar. Campuran uap benzene dan udara akan siap untuk terbakar. Oleh karenanya, kontainer benzene mempunyai label : 'cairan mudah terbakar'. Benzene bersifat karsinogen pada manusia, penyebab leukemia. Pemaparan maksimum di ruang kerja adalah 10 ppm selama 8 jam. Bila salah satu atom hidrogen dari benzene digantikan oleh grup methil (-CH3), maka senyawa baru tersebut dikenal sebagai toluene. Dua atom hidrogen dari benzene dapat pula digantikan oleh grup methil, dengan kemungkinan tiga bentuk struktur isometris, yang dikenal sebagai isomer dari xylene. Ketiga bentuk tersebut bernama : ortho-xylene disingkat o-xylene, meta-xylene disingkat m-xylene dan para-xylene disingkat p-xylene. Pada temperatur kamar, toluene dan isomer-isomer xylene adalah jernih, tidak berwarna, tidak larut dalam air serta mudah menguap. Uap cairan ini bila bercampur dengan udara akan mudah terbakar, oleh karenanya penyimpanan dan pengangkutannya membutuhkan label : 'cairan mudah terbakar'. Disamping mudah terbakar, kelompok ini juga bersifat toksik bagi manusia karena mempengaruhi sistem syaraf pusat, tetapi tidak termasuk karsinogen. Pemaparan maksimum selama 8 jam kerja adalah 200 ppm untuk toluene dan 100 ppm untuk isomer-isomer xylene. Kelompok hidrokarbon aromatis dengan dua atau lebih cincin benzene dikenal sebagai polynuclear aromatic hydrocarbon (PAH). PAH yang penting adalah naftalene yang digunakan antara lain dalam industri fungisida. Disamping bersifat mudah terbakar, PAH ini diaggap bersifat karsinogen.

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 76

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Hidrokarbon Sederhana Beberapa hidrokarbon sederhana dijumpai sebagai cemaran melalui cerobong pembakaran sebuah industri atau dari kegiatan komersial lainnya. Umumnya mereka tidak berwarna, tidak berbau dan dijumpai dengan konsentrasi rendah. Belum dijumpai pengaruh kelompok ini terhadap kesehatan. Namun kelompok ini berkontribusi dalam pembentukan formasi ozone di atmosfer. Salah satu contoh dari kelompok ini adalah methane. Methane merupakan gas alam, yang terbentuk misalnya dari dekomposisi karbon organik. Gas ini tidak berwarna, tidak berbau, sedikit larut dalam air, dan merupakan salah satu komponen utama dari gas alam, sehingga sifat kimia dari gas alam pada prinsipnya adalah merupakan sifat kimia dari gas methane. Panas pembakarannya adalah 213 kcal/mol. Methane digolongkan sebagai gas non toksik, tetapi bila terhirup akan menyebabkan sesak nafas. Penggunaan gas alam sekarang makin banyak dijumpai. Gas alam ini dapat pula dicairkan, dikenal sebagai liquefied natural gas (LNG). Bentuk gas yang dicairkan dari propane, butane dan campurannya dikenal sebagai liquefied petroleum gas (LPG), terbentuk dari pengolahan gas alam. LPG ini mengandung pula komponen lain dalam jumlah kecil, seperti ethane, ethene, propene, butene, isobutane, isobutene dan sebagainya. Dari sudut industri, maka kelompok alkine yang paling sering digunakan adalah acetylene, gas yang tidak berwarna, dan pada kondisi murni berbau ether. Gas ini banyak digunakan dalam industri metalurgi, terutama untuk pengelasan/pengecoran, karena mempunyai panas pembakaran tinggi yaitu 312,4 kcal/mol. Temperatur yang dicapai bila terbakar dengan udara akan mencapai 3300 o C. Gas ini termasuk yang tidak stabil, dapat meledak pada kondisi ditekan. Oleh karenanya, biasanya gas ini dilarutkan dalam cairan seperti acetone. Satu bagian volume acetone dapat melarutkan 25 bagian acetylene pada tekanan 1 atm, sedang pada tekanan 12 atm akan terlarutkan acetylene sebanyak 300 bagian volume. Hidrokarbon Berhalogen Senyawa-senyawa organik dapat pula diturunkan dengan mengganti satu atau lebih atom hidrogen dari hidrokarbon dengan sebuah atom halogen, sehingga senyawa itu dikenal sebagai hidrokarbon berhalogen (halogenated hydrocarbon). Bila yang menggantikan adalah khlor, maka senyawa itu dikenal sebagai hidrokarbon berkhlor (chlorinated hydrocarbon). Sebagai contoh penamaan adalah untuk senyawa yang berasal dari methane (CH4), yang terdiri dari sebuah atom C dan empat buah atom H, yang dapat digantikan oleh atom khlorida. Terdapat empat kemungkinan penggantian atom hidrogen, yaitu : 1 atom diganti, senyawa baru : methyl khlorida atau khloromethane 2 atom diganti, senyawa baru : methylene khlorida atau dikhloromethane 3 atom diganti, senyawa baru : khloroform atau trikhloromethane 4 atom diganti, senyawa baru : karbon tetrakhlorida atau tetrakhloromethane. Dengan substitusi tersebut, maka terjadilah perubahan karakteristik. Sebagai contoh, titih nyala methane adalah - 188 o C, sedangkan khloromethane adalah di bawah 0 o C, dengan rentang keterbakaran 10,7 - 11,4 % volume. Bila seluruh atom karbon digantikan oleh atom-atom halogen, maka senyawa baru tersebut bukan lagi kelompok bahan yang mudah terbakar. Walaupun demikian, bila senyawa ini terpapar dengan
Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 77

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

panas, akan dihasilkan gas/uap yang berbahaya yaitu fosgene dan hidrogen khlorida. Beberapa diantara hidrokarbon berhalogen ini teruapkan pada temperatur kamar. Senyawa kelompok ini banyak digunakan dalam industri, tetapi keterpaparannya pada manusia dapat menimbulkan masalah kesehatan, misalnya efek racun dari khloroform pada sistem syaraf, kulit, mata, iritasi pada gastrointestinal, hati, ginjal dan jantung. Karbon tetrakhlorida misalnya, disamping dapat mengganggu hati dan ginjal juga dicurigai sebagai penyebab kanker pada manusia. Kelompok khusus dari senyawa hidrokarbon berhalogen adalah fluorokarbon (CFnClnx), juga disebut sebagai khlorofluorokarbon atau khlorofluoromethane. Nama komersial dari senyawa ini adalah freon, yang digunakan sebagai pendingin atau aerosol. Senyawa ini bersifat inert, tidak terbakar, tidak bereaksi dengan asam. Bila terlepas akan bereaksi dengan lapisan ozon. Senyawa ini mampu menyerap radiasi ultraviolet matahari, sehingga ikatan karbon ke khlor akan rapuh, dan dilepaskanlah atom khlor. Atom khlor ini akan bereaksi dengan molekul ozon, sehingga lapisan ozon sebagai pelindung bumi dari radiasi ultra violet matahari akan terganggu/rusak. Reaksi di bawah ini akan memperjelas masalah tersebut : CFnCln-x (g) --- CFnCl3-x.(g) + Cl.(g) . O3(g) + Cl (g) --- ClO.(g) + O2(g) . . . ClO (g) + O --- Cl (g) + O2(g) Masalah limbah yang paling banyak disorot dari kelompok ini adalah polychlorinated biphenyl (PCB), dengan simbol 2 heksagon bercincin. Terdapat berbagai struktur isomer dari PCB, tetapi sifat-sifatnya hampir sama. Sebagian besar PCB adalah merupakan cairan yang encer pada kondisi kamar, resistan terhadap hampir seluruh bahan kimia, stabil bila dipapar pada temperatur tinggi, beberapa diantaranya mempunyai titik didih sampai 267 C tanpa mengalami dekomposisi. Oleh karenanya, PCB banyak digunakan dalam industri-industri yang membutuhkan sifat-sifat tersebut, misalnya dalam perlengkapan listrik seperti transformator, kapasitor, atau pada sistem pemindah panas dan sistem hidrolis. Sebuah transformator kadang mempunyai sampai 3,7 m3 PCB dengan konsentrasi 50 - 70 % . Di USA produksi PCB sejak tahun 1979 sangat dibatasi yaitu hanya untuk penggunaan yang sangat khusus, dan merupakan bahan yang paling banyak diatur penggunaan dan penanganannya diantara bahan berbahaya yang lain. Ini terjadi karena pada tahun 1960 diketahui bahwa PCB ini ternyata merupakan penyebab berbagai masalah kesehatan yang serius : kanker, kerusakan organ tubuh, impotensi sampai kematian. Insiden yang paling dramatis dalam masalah toksikologi adalah yang terjadi di Jepang pada tahun 1968, menimpa lebih dari 1000 orang yang menkonsumsi beras terkontaminasi PCB akibat kebocoran pipa transfer panas dalam pemerosesan minyak. Bila PCB masuk ke dalam tubuh, senyawa ini langsung tersebar dalam berbagai jaringan reseptor seperti hati, ginjal, otot, otak, dan sebagainya dan tetap tersimpan dalam organ tersebut, sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi biologis yang normal dan mengakibatkan perubahan fungsi faal tubuh. Cara pengolahan PCB yang digunakan adalah dengan insinerasi. Namun residu hasil pembakaran akan berbahaya bila pembakarannya tidak sempurna karena membentuk dioxin. Oleh karena itu DRE dari PCB ini disyaratkan 99,9999 %. Konsentrasi maksimum di lingkungan kerja adalah 1,0 g/m3 dengan TLV 0,5 mg/m3.

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 78

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Alkohol Alkohol adalah senyawa organik turunan dari hidrokarbon dengan penggantian paling tidak sebuah atom hidrogen oleh grup hidroksil (-OH). Dua alkohol yang sering dijumpai di pasaran adalah metanol (methyl alkohol) dan ethanol (ethyl alkohol). Dalam masalah limbah, yang paling sering dipersoalkan adalah fenol. Senyawa yang tergolong alkohol sederhana ini adalah mudah terbakar, dan larut dalam air. Fenol adalah termasuk grup alkohol aromatis, yang dapat dilihat sebagai hidroksil turunan benzene. Senyawa induk dari kelas alkohol ini juga bernama fenol atau hidroksibenzene. Fenol pada kondisi padat adalah tak berwarna sampai putih kristal dan sering juga dijumpai berwarna gelap/merah bila terpapar cahaya. Fenol dikenal cepat menyerap uap air di udara sehingga sering dianggap sebagai cairan. Fenol merupakan produk industri kimia yang penting, misalnya dalam industri farmasi, karena resin-resin fenolis dan produk-produk farmasi lainnya terbuat darinya. Dilihat dari sifat keterbakaran, sebetulnya fenol tidak membahayakan, dengan titik nyala 78 o C. Tetapi sifatnya yang racunlah yang mendatangkan masalah, yaitu sangat toksik pada manusia. Mata, hidung dan kerongkongan dapat teriritasi, dan merusak secara sistematis sistem syaraf. Efek iritasi juga dapat terjadi pada mata dan kulit. Oleh karenya, pengangkutan senyawa ini membutuhkan label bertuliskan : 'racun'. Pemaparan fenol di ruang kerja dibatasi 5 ppm (kontak dengan kulit), dan TLV = 19 mg/m3. Salah satu grup fenol adalah kressol yang merupakan disinfektan dan berasal dari resin fenolik. Aplikasi isomer-isomer kressol pada tikus menimbulkan tumor. Pemaparan pekerja pada isomer kressol adalah 5 ppm kontak dengan kulit, dengan TLV 22 mg/m3. Ether Ether adalah senyawa organik yang molekul-molekulnya mempunyai atom oksigen yang menjembatani 2 grup alkyl atau aryl (R-O-R'), misalnya methyl ethyl ether (methoxyethane). Ether sederhana sangat volatil dan berbahaya karena mudah terbakar serta meledak. Tambah tinggi ether maka tambah tinggi titik nyalanya sehingga menjadi bahan bakar cair; tetapi bisa saja tidak termasuk cairan yang berkatagori mudah terbakar. Disamping itu, ether juga berbahaya karena ada yang mengandung peroksida organik sehingga mudah meledak. Pengangkutan senyawa ini membutuhkan label : 'cairan mudah terbakar'. Senyawa organik yang dewasa ini dianggap salah satu substansi yang paling toksik adalah 2,3,7,8 tetrachlorodibenzo-p-dioxin, atau secara singkat dikenal sebagai Dioxin atau TCDD. Toksisitas (LD50) bahan ini terhadap babi Guinea 3,1 x 10-9. Dioxin merupakan produk samping dari pembuatan senyawa- senyawa fenolik yang diproduksi untuk beragam herbisida seperti asam 2,4- dikhlorofenoxyacetik dan 2,4,5trikhlorofenol. Efek toksikologis antara lain adalah terhadap sistem syaraf, reproduktif dan kanker. Dioxin juga dicurigai dapat menghilangkan pertahanan tubuh terhadap penyakit. Dioxin sangat stabil dan terdekomposisi hanya secara thermal pada temperatur didih sekitar 500 C. Bila makanan terkontaminasi oleh bahan ini, maka penyebarannya akan melalui rantai makanan, dan berakumulasi (biomagnifikasi) pada jaringan lemak.

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 79

Diktat Pengelolaan B3 Versi 2010

Senyawa Organik Lain Senyawa organik dengan formula umum R-CO-OR' dikenal sebagai ester, yang terjadi bila asam-asam organik bereaksi dengan alkohol. Salah satu jenis senyawa ini yang banyak digunakan dalam industri adalah ethyl asetat, yang biasanya digunakan sebagai pelarut, merupakan cairan jernih dengan bau spesifik. Titik nyalanya adalah - 5o C, sehingga dikelompokkan sebagai cairan yang mudah terbakar. Bila terpapar dengan manusia, senyawa ini menyebabkan iritasi ringan pada mata, hidung dan kerongkongan. Pemaparan di ruang kerja dibatasi sampai 400 ppm. Senyawa perokso-organik merupakan turunan dari hidrogen peroksida. Atom- atom hidrogen digantikan oleh satu atau lebih grup alkil atau aril. Bahan ini digunakan untuk mempengaruhi proses polimerisasi pada pembuatan plastik. Seperti halnya peroksoanorganik, maka perokso-organik ini mempunyai kemampuan sebagai oksidator, karena mempunyai oksigen yang aktif pada strukr molekulnya. Seluruh bahan dikutip dari:
E. Meyer: Chemistry of Hazardous Materials, Prentice Hall Building, 1989

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 80

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

BAGIAN VI LIMBAH RADIO AKTIF

1 UMUM
Radioaktivitas sebetulnya bukanlah fenomena baru, namun baru mendapat perhatian manusia pada akhir abad yang lalu. Selama berjuta tahun, radiasi kosmis dari luar angkasa telah memborbardir planit biru kita ini. Intensitas radiasi tersebut relatif tidak tinggi dan radiasi tersebut dapat ditahan oleh atmosfer bumi. Unsur-unsur radioaktif yang secara alamiah terdapat di bumi adalah uranium, thorium dan radium. Namun keberadaan unsur-unsur radioaktif ini telah meningkat dengan dihasilkannya materi radioaktif artifisial oleh manusia untuk berbagai tujuan. Sejumlah besar materi radioaktif yang berumur sangat lama dihasilkan sebagai hasil samping yang tidak dapat dihindari, terutama akibat penggunaan pembangkit enersi bertenaga nuklir di seluruh dunia dengan segala permasalahannya terhadap lingkungan. Bentuk enersi nuklir merupakan hal yang paling spektakular yang pernah ditemukan dan digunakan oleh peradaban manusia selama ini. Dimulai dengan teridentifikasinya sinar-X oleh William C. Rntgen pada Januari 1896, dan kemudian ditemukannya radiasi dari radium oleh Antoine H. Becquerel pada November 1896. Kapasitas penghancur senjata nuklir telah dibuktikan dalam Perang Dunia II, dan terus berlanjut pengembangannya dengan perlombaan senjata nuklir sampai selesainya perang dingin antara negara-negara Barat dan negara-negara komunis di dunia.

2 SIFAT-SIFAT RADIOAKTIVITAS
Sebuah atom terdiri dari sebuah inti (nucleus) bermuatan positif dan sejumlah planet-planet yang mengorbit pada intinya dan elektron- elektron yang bermuatan negatif yang mampu mengimbangi muatan positif dari inti atom. Karena massa atom terkonsentrasi dalam volume yang sangat kecil, 14 3 maka densitas inti atom tersebut sangat tinggi, yaitu sekitar 2 x 10 gram/cm . Struktur sebuah Atom : Inti-atom (nucleus) terdiri dari proton dan netron. Proton adalah partikel dasar dengan massa mendekati 1 dalam skala berat atom dan bermuatan + e, yaitu muatan sebuah elektron sebesar -10 4,8025 x 10 esu (electrostatic unit). Netron juga merupakan partikel dasar dengan besaran mendekati 1 unit satuan atom, namun tidak bermuatan. Oleh karenanya, sebuah inti-atom dicirikan oleh nomor massa (A), yang sepadan dengan jumlah netron dan proton, dan nomor atom (Z), yang proporsional dengan muatan positif pada inti-atom (Ze), dan sepadan dengan A jumlah proton dalam inti-atom. Simbol sebuah atom ditulis sebagai ZX , dimana X adalah simbol kimia yang biasa digunakan untuk unsur tersebut. Untuk mengikat sejumlah besar netron dan proton dalam ruang yang sangat kecil yang tersedia dalam sebuah inti-atom, dibutuhkan satu ikatan yang sangat kuat, sebab bila tidak maka akibat adanya gaya tolakan elektrostatis antara proton-proton maka akan mengakibatkan mereka terpencar. Misalnya diambil masa 2He yang terdiri dari 2 proton dan 2 netron: Massa proton = 2 x 1,007595 = 2,015190 amu (atomic mass unit) Massa netron = 2 x 1,008983 = 2,017966 amu ------------------- + = 4,033156 amu Massa inti-atom helium = 4,002775 amu ------------------- Perbedaan massa (mass defect) = 0,030381 amu Perbedaan massa ini menghilang pada saat terjadinya fusi dua proton dan dua netron untuk 2 membentuk inti-atom helium. Dengan menggunakan persamaan Einstein, yaitu E = mc maka sejumlah ekuivalensi enersi akan terbebaskan. Dalam hal ini: c = kecepatan cahaya=2,9979 x 109 cm/detik m = perbedaan massa (amu) -24 10 -5 Sehingga E = 0,030381 x 1,65985 x 10 x (2,9979 x 10 ) erg = 4,531 x 10 erg
4

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 81

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

Elektron dapat dianggap sebagai partikel dengan muatan negatif e (4,8025x10 esu), dengan massa 1/1840 proton (0,00055 amu). Sebuah atom adalah netral, sehingga jumlah elektron harus mengimbangi nomor atom (jumlah proton dalam inti-atom). Elektron-elektron ini terikat dalam orbitnya oleh gaya elektrostatis dengan jarak yang bervariasi terhadap inti-atom, dan jumlah elektron serta susunannya merupakan kunci sifat-sifat kimiawi dari elemen tersebut. Isotop : Nomor atom dari sebuah unsur menentukan jumlah elektron dan merupakan identitas kimiawinya. Di alam terdapat atom dengan 1 elektron (hidrogen) sampai 92 elektron (uranium) dan massanya bervariasi dari 1 (sebuah proton pada hidrogen) sampai 238 (92 proton dan 146 netron pada uranium). Bisa saja dijumpai dua buah atom yang mempunyai nomor atom yang sama tetapi berbeda masanya. Atom tersebut disebut sebagai isotopis satu terhadap yang lain, dan menjadi isotop yang berbeda untuk elemen yang sama. Jadi isotop adalah elemen yang mempunyai nomor atom yang sama, tetapi mempunyai jumlah massa yang berbeda. Sifat-sifat kimiawi dua buah isotop akan sama, tetapi sifat-sifat fisisnya yang tergantung pada masanya, akan berbeda. Sebagai contoh adalah sebuah atom hidrogen yang mempunyai sebuah proton dan sebuah elektron. Terdapat pula sebuah atom dengan inti-atom yang terdiri dari sebuah proton dan sebuah netron disertai sebuah electron. Sifat-sifat kimiawinya adalah identik. Atom terakhir ini merupakan sebuah isotop dari hidrogen, dikenal sebagai hidrogen berat atau deuterium, dan sifat-sifat nuklirnya agak berbeda dari hidrogen biasa. Contoh lain adalah isotop uranium, yang 235 238 mempunyai proton sebanyak 92, dijumpai dalam bentuk 92U dan 92U , dan biasanya cukup dituliskan sebagai U-235 dan U-238. Hampir semua unsur terdapat di alam dalam bentuk campuran dari isotop-isotop seperti terlihat dalam Tabel 6.1. Tabel 6.1: Campuran isotop di alam
------------------------------Isotop Persentase ------------------------------1 99,98 1H 2 0,02 1D
7 7

-10

N14 15 N

99,635 0,365 99,76 0,04 0,20

O16 O17 18 8O
8 8 20 20

Ca40 96,97 42 Ca 0,64 43 0,15 20Ca 46 0,0033 20Ca 48 0,19 20Ca -------------------------------

-------------------------------Isotop Persentase -------------------------------112 0,95 50Sn 114 0,65 50Sn 115 0,34 50Sn 116 14,24 50Sn 117 7,57 50Sn 118 Sn 24,01 50 119 8,58 50Sn 120 32,97 50Sn 122 4,71 50Sn 124 5,98 50Sn U 235 92U 238 92U
92 234

0,0058 0,715 99,28

-----------------------------

Peluluhan Radioaktif : Pada kondisi normal, inti atom sangatlah stabil, dan tidak mengalami perubahan sifat-sifat kimiawi karena hanya melibatkan elektron- elektron terluar. Tahun 1986 Becquerel menemukan bahwa garam-garam uranium meng-emisikan sejenis radiasi yang menyebabkan pelat fotografis menjadi hitam. Kemudian ternyata bahwa fenomena tersebut berasal dari kegiatan pada inti-atom dan fenomena tersebut terjadi pada seluruh elemen dengan nomor atom lebih dari 83. Dengan demikian, secara artifisial dapat dihasilkan isotop-isotop yang tidak stabil yang dikenal sebagai radionuklisida (radionuclicide) dari unsur-unsur yang ada. Rutherford kemudian menunjukkan bahwa radiasi tersebut terdiri dari tiga jenis radiasi yang berbeda, yang dikenal kemudian sebagai radiasi (alfa), (beta) dan (gamma). Radiasi adalah merupakan partikulat dan setiap partikel alfa adalah sebuah inti helium yang 9 berkecepatan tinggi sampai mencapai 10 cm/detik. Radiasi ini terdiri dari emisi dua proton dan dua netron dari inti-atom. Bila sebuah inti-atom yang tidak stabil mengemisikan partikel alfa, maka nomor atomnya menurun 2 satuan sedang massa atomnya menurun 4 satuan, seperti pada contoh peluluhan uranium ke thorium:

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 82

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

92Th +2 Dalam reaksi ini dikeluarkan partikel (inti helium) dari inti-atom. Secara kimiawi, thorium yang dihasilkan berbeda dengan uranium karena sifat-sifat kimia ditentukan oleh nomor atomnya. Hal ini perlu mendapat perhatian pada saat penanganan limbahnya, terutama dalam penyimpanan dan penyingkiran, sebab walaupun secara kimiawi asalnya tidak toksik atau tidak korosif, namun hasil peluluhan bisa saja menjadi lain. Thorium yang dihasilkan dalam reaksi itu tidak stabil, dan akan meluluh dengan mengeluarkan sinar , yaitu sebuah elektron, yaitu: 234 234 91Pa + e 90Th Emisi sebuah muatan negatif dari inti-atom mengakibatkan muatan positif bertambah satu yaitu pada protactinium. Massa partikel diabaikan, dan konversi tersebut dapat dianggap sebagai perubahan sebuah netron menjadi sebuah proton. Sekali lagi, sifat kimiawi dari kedua unsur tersebut berbeda, namun massanya tetap. Ketika partikel melalui suatu media, enersinya secara bertahap dilepaskan akibat interaksi dengan atom yang lain. Dalam perjalanannya, muatan positif menarik elektron, menaikkan tingkat enersinya dan melepaskannya dari inti. Fenomena ini dikenal sebagai pengionan (ionization). Partikel relatif massif dan mudah dihentikan. Kulit manusia dapat menahan radiasi ini, tetapi bila terhirup melalui pernafasan, maka partikel ini sangat berbahaya. Radiasi dapat dianggap pula sebagai partikulat, dan setiap partikel adalah sebuah elektron negatif yang berkecepatan tinggi sampai mencapai 0,99 kecepatan cahaya. Radiasi ini dipancarkan dari inti-atom yang tidak stabil sebagai transformasi spontan dari sebuah netron ke sebuah proton dan elektron. Jumlah masa tidak berubah, tetapi nomor atomnya meningkat satu satuan. Sinar dapat pula terbentuk akibat transformasi itu. Sebagai contoh adalah peluluhan strontium-90 menjadi yttrium : 90 90 39Y + 38Sr Ionsasi yang terjadi pada partikel frekuensinya lebih sedikit dibanding partikel , namun penetrasinya pada jaringan tubuh lebih dalam. Partikel dapat menembus pada jaringan tubuh sampai 100 m, sedang partikel bisa mencapai beberapa cm, dan hanya dapat dihentikan misalnya dengan lembar alumunium setebal 1 cm. Radiasi adalah radiasi eletromagnetis dengan panjang gelombang sangat pendek, yaitu antara -3 -7 10 sampai 10 m, sehingga sinar ini mempunyai kemampuan untuk mengionisasi dan dapat merusak jaringan hidup. Radiasi tidak mempunyai muatan atau masa, dan bergerak dengan kecepatan cahaya. Sinar tersebut sangat sulit dihalangi, dan membutuhkan beberapa cm timah untuk mengisolasinya. Perbedaan jenis radiasi tersebut di atas terkait dengan peluluhan inti atom-atom radioaktif. Sebuah inti-atom dapat terurai dengan kehilangan partikel atau -nya. Inti radium misalnya secara spontan akan terurai dengan melepaskan partikel . Penentuan rancangan penyimpanan atau penyingkiran limbah radioaktif, perlu memperhatikan sifat peluluhan itu sendiri. Sinar dan mempunyai kemapuan penetrasi yang lebih tinggi dibanding sinar . Oleh karenanya, penyekatan harus dirancang bukan saja agar mampu menahan radiasi dari limbah asalnya, namun juga harus mampu menahan kemungkinan radiasi dari hasil peluluhannya yang bisa saja lebih berbahaya. Radioaktivitas menjadi kajian yang menarik dalam masalah lingkungan karena dampak negatifnya terhadap organisme yang terpapar, namun dapat bermanfaat, misalnya digunakan sebagai pelacak (tracer) untuk membantu pengukuran aliran materi dalam lingkungan. Rutherford et al menemukan bahwa intensitas radiasi mengalami peluluhan secara eksponensial terhadap waktu, yaitu: -Kt N = N0 dengan N = jumlah inti radioaktif setelah t waktu N0 = Jumlah inti awal t = waktu yang ditinjau K = konstanta peluluhan radioaktif

92U

238

234

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 83

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

Kemudian persamaan tersebut disederhanakan menjadi persamaan waktu-paruh t1/2, yaitu waktu yang dibutuhkan agar inti tersebut luluh menjadi setengahnya, yaitu N = 1/2 No, dan persamaannya menjadi : t1/2 = ln2/k 0,693/k Waktu paruh sebetulnya tidak dapat dihitung tapi harus diukur secara eksperimental. Nilai waktu paruh tersebut bervariasi dari satu isotop ke isotop yang lain. Tabel 6.2 memberikan gambaran waktu-paruh dari enam isotop pertama yang terdapat pada ilustrasi sebelumnya. Tabel 6.2 : Contoh waktu-paruh -----------------------------------------------Isotop Radiasi Waktu-paruh
------------------------------------------------------------238 4,51 x 109 tahun 92U 234 24,1 hari 90Th 234 1,17 menit 91U 234 2,47 x 105 tahun 92U 230 4 8,0 x 10 tahun 90Th 226 3 Ra 1,60 x 10 tahun 88

-------------------------------------------------Sebagai gambaran, bila dimulai dengan sebuah isotop yang mempunyai waktu-paruh 1 tahun dan mempunyai berat 100 gram, maka akan tertinggal sebanyak 50 gram setelah 1 tahun, menjadi 25 gram setelah 2 tahun. Waktu-paruh dari sebuah isotop adalah tetap, tetapi waktuparuh dari nuklisida-nuklisida akan sangat bervariasi. Tidak terdapat pola yang jelas antara waktu-paruh isotop-isotop yang diamati dengan mekanisme peluluhannya. Waktu-paruh tersebut tidak dapat dirubah namun memainkan peranan yang penting dalam aktivitas penyimpanan dan penyingkirannya. Oleh karena itu seluruh rantai peluluhan tersebut harus diperhitungkan dalam perancangan limbah radioaktif. Isotop Artifisial: Dengan ditemukannya radioaktivitas alamiah, manusia mulai mengamati pengaruh radiasi terhadap materi yang diradiasinya. Terbukalah pintu penelitian terhadap reaksi nuklir atau penelitian terhadap pembuatan isotop-isotop artifisial. Bila sebuah partikel seperti partikel alfa atau sebuah proton atau sebuah netron bertumbukan dengan inti-atom, maka terbentuk isotop baru. Reaksi nuklir pertama yang terdeteksi adalah partikel alfa dari polonium yang dibuat agar terjadi reaksi dengan atom- atom nitrogen di udara, sehingga memberikan reaksi : 14 4 17 + 2He 8O + proton 7N Dalam hal ini 8O adalah stabil. Namun banyak hasil rekasi yang bersifat tidak stabil, dan luluh secara radioaktif. Reaksi lain yang dapat terjadi adalah bila inti-atom yang berat menyerap sebuah netron. Misalnya 236 236 menyerap sebuah netron menghasilkan isotop yang tidak stabil 92U (?). Peluluhannya 92U tidak dengan jalan mengemisikan partikel-partikel atau , tetapi inti-atom memecah dalam dua fragmen dengan massa yang hampir sama; hal ini dikenal sebagai fisi nuklir. Bila cara reaksi fisi yang terkontrol ini berlangsung, seperti yang banyak dilakukan dalam reaktor-reaktor nuklir, hasilnya akan dapat dipisahkan secara kimiawi dan merupakan sumber yang berlimpah bagi isotop-isotop artifisial. Unit Satuan yang Digunakan: Banyak satuan yang digunakan dalam bidang radioaktivitas ini, yang dapat membingungkan pemakainya. Satuan Curie (Ci) adalah satuan dasar yang menyatakan besarnya peluluhan 10 sebuah sumber. Satu Ci sebanding dengan desintegrasi sebanyak 3,7 x 10 per detik, yang merupakan laju desintegrasi inti-atom 1 gram radium. Dalam satuan SI, aktivitas tersebut -11 dinyatakan sebagai becquerel (Bq), yaitu: 1 Bq = 2,7 x 10 Ci. Aktivitas sebuah sumber tidak 90 langsung mengidentifikaikan jumlah partikel yang teremisi. Misalnya 38Sr meluluh dengan emisi sebuah partikel beta, artinya sebuah sumber dengan kekuatan 1 Bq akan mengemisikan satu 60 partikel per detik; tetapi 27Co akan mengemisikan sebuah partikel beta dan dua sinar gamma,
17

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 84

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

jadi sumber tersebut yang mempunyai aktivitas 1 Bq mengemisikan tiga partikel sekaligus per detik. Secara umum, bila kekuatan sebuah sumber serta mekanisme peluluhannya diketahui, maka jumlah partikel yang teremisikan per satuan waktu akan dapat dihitung. Tetapi hanya fraksi dari radiasi ini yang terlacak ke luar, karena beberapa diantaranya terserap oleh materi radioaktif itu sendiri. Dalam hal sebuah isotop menghasilkan produk yang tidak stabil, maka intensitas totalnya persatuan waktu adalah merupakan penjumlahan, mulai limbah asal (limbah'orang tua'nya) sampai hasil luluhannya (limbah 'anak-anak'nya). Pengukuran aktivitas sumber ternyata tidak menjelaskan tentang pengaruh radiasi yang teremisi terhadap sekitarnya. Pengukuran ini dilakukan pertama kali dengan satuan rntgen (R), yang 3 merupakan kuantitas dari radiasi X atau yang menghasikan ion-ion, 1cm udara mengandung muatan 1 esu. Sebuah sumber sebesar 1 Ci dari radium yang dilindungi dengan sebuah kumparan platinum setebal 0,5 mm untuk mengabsorbsi setiap partikel , menghasilkan intensitas radiasi 0,8 R per jam pada jarak 1 m dari sumber. Satuan baru (satuan SI) yang diusulkan adalah dengan satuan coulomb (C), yang menyatakan ukuran ionisasi per kilogram. Dalam hal ini 1 C/Kg = 3876 R. Dengan satuan ini memungkinkan dosis radiasi dalam gas diukur langsung dengan alat elektronik tanpa harus menentukan terlebih dahulu enersi terabsorbsi. Dalam mengukur ionisasi selain gas, terdapat kesulitan. Oleh karena itu digunakan satuan rad (radiaton absorbed doses). Dikatakan telah menyerap radiasi sebesar 1 rad bila 1 gram materi -2 menyerap 100 erg enersi, atau sebesar 10 J/Kg. Dalam satuan SI, digunakan satuan gray (Gy) yang sepadan dengan penyerapan enersi 1 J/Kg, atau 1 Gy = 100 rad. Satuan yang digunakan dalam kesehatan adalam satuan rem (radiation equivalent man), yaitu satuan pengukuran terhadap penyerapan enersi radiasi oleh jaringan tubuh manusia. Satu rem adalah sepadan dengan penyerapan 100 erg enersi radiasi untuk satu gram jaringan tubuh.

3 PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF


Pengolahan dan pembuangan (penyingkiran) limbah yang bersifat radioaktif merupakan masalah yang berat dalam abad nuklir ini. Sampai saat ini praktis belum ditemukan teknologi atau tata cara baik secara kimiawi maupun biologis untuk menetralisisr sifat-sifat radioaktivitas. Cara yang banyak dilakukan untuk menangani limbah cair adalah penyimpanan atau pengkonsentrasian. Beberapa cara memang banyak dikembangkan, misalnya bagaimana menyerap unsur berbahaya, tetapi ini hanya memindahkan masalah; komponen radioaktif dalam limbah cair dikonversi menjadi limbah padat yang tetap bersifat radioaktif dan harus tetap ditangani. Cara yang biasa dilakukan untuk menangani limbah padat adalah membuangnya atau menyingkirkannya, dengan perlindungan yang ketat agar sifat-sifat radioaktivitasnya tidak membahayakan lingkungan, misalnya ke lautan yang dalam, ke dalam tanah yang dibangun khusus untuk itu. Sifat radioaktivitasnya akan menurun dengan sendirinya sesuai dengan waktu paruhnya. Sifat mencemari dari sebuah limbah akan ditentukan oleh karakteristik fisis, biologis serta kimiawinya. Dengan pengebangan teknologi dan ilmu nuklir serta penggunaan isotop-isotop radioaktif yang makin luas, maka akan dihasilkan limbah radioaktif yang tambah banyak dan dapat menyebakan radiasi pengionan; satu-satunya pemecahan yang tuntas adalah hanya dengan memanfaatkan waktu-paruh peluluhannya. Cara yang diterapkan sekarang sebetulnya tidaklah tuntas, karena hanya bersifat mengurangi konsentrasinya, atau memindahkan dalam bentuk padat untuk kemudian dibuang/disingkirkan sambil menunggu luluh dengan sendirinya sesuai dengan waktu-paruhnya. Bila limbah yang mengandung pencemar mengalir ke lautan atau ke sungai, sejumlah pencemar yang terkandungnya akan terolah secara alamiah. Bagian yang tersuspensi akan mengendap, bagian organiknya akan teroksidasi, sedang bagian kimiawinya akan terencerkan. Pencemar radioaktif akan tereduksi dengan sendirinya dengan peluluhan alamiahnya. Untuk itu perlu adanya jaminan bahwa isotop-isotop yang aktif tidak berkontak dengan lingkungan sampai batas konsentrasi tertentu yang menyebabkan tidak timbulnya masalah.

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 85

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

Sumber-sumber Limbah Radioaktif : Definisi buangan/limbah radioaktif dapat didasarkan atas tiga pendekatan, yaitu : - atas kandungan radioaktifnya - atas potensi bahayanya - atas sumbernya Pendapat pertama dan kedua secara prinsip lebih baik, tetapi praktisnya sulit untuk direalisis. Karena tidak praktis untuk memprediksi kandungan radioaktif buangan padat. Berikutnya bahwa tidak sulit menarik keyakinan bahwa setelah dibuang konsentrasi tidak mengalami penurunan akibat reaksi kimiawi ataupun biologis. Oleh karenanya, yang lebih realistis adalah mendeteksinya berdasarkan sumbernya. Definisi limbah radioaktif adalah buangan dalam bentuk padat, cair atau gas yang dihasilkan selama pembuatan atau penggunaan substansi radioaktif. Termasuk di dalamnya adalah kelompok limbah yang sebetulnya tidak begitu berbahaya, namun tetap dianssumsi berbahaya sampai terdapat pembuktian. Metoide pembuangan dianggap aman, bila dapat menunjukkan bahawa tidak seorangpun menerima dosis lebih dari 10 milirem/minggu. Dalam banyak hal, pembuangan limbha cair ke saluran riolering adalah dianggap aman bila ratarata konsentrasi radioaktivitas dalam saluran tidak lebih dari 10 -4 c/ml. Pertimbangan genetika mengharuskan bahaw rata-rata dosis radiasi yang dietreima oelh manusia secara keseluruhan adalah 1,3 milirem/minggu Ditinjau dari tingkat aktivitas radioaktivnya, maka terdapat dua jenis limbah radioaktif, yaitu: - limbah tingkat rendah - limbah tingkat menengah/tinggi Limbah tingkat menengah/tinggi dihasilkan dari pemerosesan kembali bahan bakar nuklir yang mengandung seluruh produk fisi. Limbah ini dicirikan dengan kemampuan penetrasi radiasi yang tinggi, laju penghasil panas yang tinggi dan waktu paruh radioaktif yang panjang. Limbah tingkat tinggi sangat sedikit mengandung radioaktivitas, tidak membutuhkan sedikit atau bahkan tidak dibutuhkan kontainer khusus, tetapi tetap mempunyai potensi konsentrasi limbah berbahaya. Sumber utama dari limbah jenis ini misalnya dari kegiatan kedokteran, penelitian kesehatan, laboratorium-laboratorium penelitian. Total keterpaparan radiasi di USA apada tahun 1980-an untuk segala sumber sekitar 182 mrem/tahun/orang. Radiasi ini sebagian besar berasal dari sumber alamiah seperti sinar kosmis (102 mrem/tahun), diagnosa medikal dari sinar-X sekitar 72 mrem/tahun, pembangkit tenaga nuklir komersial sebesar 0,01 mrem/tahun. Penyimpanan dan Pengkonsentrasian Limbah Cair : Limbah cair yang paling banyak dihasilkan agaknya berasal dari proses pembuatan bahan bakar nuklir. Dalam proses fisi, uranium menghasilkan sekitar 30 radionuklisida, yang terakumulasi guna menurunkan tenaga reaktor melalui absorpsi netron. Oleh karenanya, secara berkala dibutuhkan pengeluaran bahan bakar ini, mengambil uraniumnya dan memisahkan plutonium yang juga terbentuk. Tabel 10.2 berikut menggambarkan hasil fisi bila digunakan 1 ton uranium. Tabel 6.3: Hasil fisi dari pembakaran 1 ton Uranium
-------------------------------------------------------------------------------------Kelompok Kimiawi Elemen Kimiawi Berat (Kg) ------------------------------------------------------------------------------------Gas jarang Kripton dan xenon 128 Alkali berat Rubidium 15 Caesium 118 Alkali tanah Strontium 42 Barium 43 Ytrium 317 Elemen ke 4 Zirconium 125 Elemen ke 5 Niobium 5 Elemen ke 6 Molybdenum 92 Tellurium 16 Elemen ke 7 Technetium 29 Iodine 7 Logam jarang Ruthenium, rhodium dan palladium 61 -----------------------------------------------------------------------------------

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 86

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

Elemen-elemen bahan bakar yang tidak teradiasi tetap mengandung bahaya radioaktif dengan tingkat aktivitas sekitar 10 sampai 15 curie/L, sehinga membutuhkan penanganan dengan kontrol yang ketat. Limbah cair dengan sifat-sifat radioaktif mempunyai sifat yang secara spontan dapat mendidih dengan sendirinya karena adanya absorpsi enersi radiannya sendiri. Tetapi laju pelepasan panas tersebut tidaklah teratur, sehingga masalah timbulnya tekanan yang meninggi secara tiba- tiba perlu diperhatikan dalam rancangan penyimpanan. Guna mengurangi masalah ini, biasanya agitator udara atau sirkulasi cairan digunakan. Limbah cair biasanya dinetralkan dan disimpan dalam kontainer baja kualitas baik atau dalam beton bertulang. Masalah yang timbul bila limbah tidak dipertahankan dalam kondisi asam, adalah kemungkinan terjadinya endapan. Bila limbah dipertahankan dalam kodisi asam, maka kontainer baja perlu dilapis dengan bahan anti karat, yang tentu saja akan menaikkan biaya penyimpanan. Dibutuhkan kumparan pendingin agar panas yang dihasilkan akibat terjadinya peluluhan radioaktif dapat dikeluarkan. Perlu pula adanya katup pelepas tekanan uap dan uap tersebut kemudian dikembalikan lagi ke kontainer tersebut. Sarana pemonitor dini terhadap kemungkinan kebocoran sangat diperlukan. Sumur-sumur pemantau juga diperlukan di sekitar kontainer yang ditanam dalam tanah, agar masalah bocornya limbah ini dapat segera diketahui. Mengingat bahwa bila limbah cair yang disimpan dengan cara tersebut akan membutuhkan biaya besar, maka usaha lain adalah mengkonsentrasikan limbah tersebut agar volumenya berkurang, misalnya dengan proses evaporasi. Beberapa radioisotop, seperti rutheniumakan, akan tervolatilisasi dengan sendirinya. Sebetulnya dengan sifat dapat memanaskan dirinya sendiri akan memungkinkan proses swa-evaporasi. Namun hal ini kurang memuaskan hasilnya karena panas yang dikeluarkan per satuan volume relatif rendah. Limbah yang akan diuapkan biasanya diletakkan pada kontainer baja yang divakumkan sampai mencapai volume yang belum memungkinkan terjadinya endapan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam evaporator limbah jenis ini adalah agar sarana tersebut tidak membutuhkan perawatan yang terlalu rumit; sebab bila tidak, akan menyulitkan karena jenis limbahnya yang bersifat radioaktif. Penyimpanan limbah radioaktif dalam bentuk solidifikasi dengan glas dianggap aman dan efektif. Inggeris, misalnya, melaslukan pencampuran limbah cair terkonsentrasi dengan silika dan borax dalam larutan asan nitrat. Larutan tersebut kemudian terevaporasi akibat panas yang terjadi. Dalam proses pendinginan, didapatkan limbah yang terbungkus secara solidifikasi. Pengolahan Limbah Cair: Seperti dibahas di muka, sifat-sifat radioaktif tidak dapat dimusnahkan, namun yang mungkin adalah mengkonsentrasikan nuklisida-nuklisida tersebut dalam volume cairan yang relatif kecil, sehingga memudahkan dalam penanganan berikutnya. Disamping dengan cara penguapan, maka beberapa metode yang digunakan adalah dengan penukar ion, proses kimiawi atau biologis. Proses penukar ion adalah proses yang sudah lama dikenal, yaitu dengan memanfaatkan media tertentu yang mempunyai sifat dapat menukarkan kation atau anionnya dengan kation dan anion lain dari limbah. Jadi ion- ion radioaktif tersebut ditukar dengan ion-ion yang tidak aktif yang terdapat dalam media. Media penukar ion yang mengandung sejumlah ionion yang dapat ditukar tersebut, dapat digunakan terus sampai materi tersebut menjadi jenuh dan tidak dapat lagi berfungsi. Media penukar ion tersebut kemudian dapat dianggap sebagai limbah padat dan membutuhkan penanganan khsusus dalam pembuangan akhir. Alternatif lain adalah dengan regenerasi sesuai dengan ion yang terkandungnya. Dari proses ini akan dihasilkan cairan dengan konsentrasi yang sangat tinggi yang mengandung elemen radioaktif yang harus ditangani lebih lanjut, misalnya dalam pembuangan atau penyingkiran akhir. Media yang dikenal mempunyai kapasitas penukar ion yang tinggi adalah resin sintetis. Media ini relatif lebih stabil. Akan terdapat dua jenis penukar ion, yaitu penukar kation dan penukar anion. Kapasitasnya akan tergantung pada afinitas relatifnya. Secara praktis, penukaran akan terjadi bila kation pada media penukar mempunyai affinitas yang sama atau lebih kecil dari yang akan menggantikannya, yaitu ion-ion dari limbah, misalnya :
Hg++ < Zr++++ < Li+ < H+ < Na+ < K+ < Rb+ < Cs+ < Ag+ < Mn++ < Mg++ < Cu++ < Ca++ < Sr++ < Al+++

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 87

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

Salah satu kelemahan dari cara ini adalah bahwa media ini tidak dapat membedakan antara ion yang aktif atau ion yang tidak aktif, sehingga media menjadi lebih cepat jenuh. Beberapa jenis media alamiah juga mempunyai kemampuan untuk berfungsi sebagai penukar ion antara lain adalah tanah lempung (clay). Beberapa jenis lempung, terutama montmorillonite mempunyai kapasitas penukar ion sampai 1 miliekuivaalen (meq) per gram, namun media ini mempunyai sifat-sifat penyaringan yang buruk sehingga menyulitkan dalam operasionalnya. Media alamiah lainnya adalah penggunaan vermiculite atau lignite. Media ini mempunyai kemampuan filtrasi yang baik dibandingkan montmorillonite dan kapasitas penukar ionnya sekitar 0,7 meq/gram. Dua jenis isotop yang paling penting untuk dijadikan acuan adalah radiostrontium dan radiocaesium. Radiostrontium merupakan isotop yang paling berbahaya sebagai penyebar emisi beta, sedang caesium-137 mempunyai waktu paruh yang pajang, yaitu sekitar 30 tahun. Disamping itu, karena merupakan unsur monovalensi, maka relatif sulit untuk dipisahkan dari larutannya. Oleh karenanya, setiap media yang digunakan dalam penukar ion harus mampu menyisihkan kedua jenis isotop tersebut. Dalam hal ini vermiculite mempunyai kemampuan untuk itu. Ion penukar dari media ini mayoritas adalah magnesium. Bila limbah dengan pH tinggi melalui media tersebut, maka Mg cenderung akan mengendap sebagai hidroksida, dan dapat memampatkan media penukar ion tersebut. Cara lain aplikasi penukar ion adalah penggunaan electrolitis deionisasi, yang prinsipnya adalah identik dengan penyisihan air asin. Aruh searah dilalukan pada dua elektrode yang terendam. Diantara katode tersebut diletakkan membran secara bersilangan, yaitu sebagai penukar anion dan penukar kation. Dengan demikian akan terjadi sekaligus penukaran kation dan penukaran anion. Pengolahan limbah radioaktif secara kimiawi diterapkan di banyak negara, walaupun kemampuan dekontaminasinya relatif tidak begitu besar, namun cara ini cocok untuk limbah yang mempunya kadar radioaktif rendah. Sasaran dari cara ini adalah bagaimana mengkonsentrasikan nuklisida. Dengan demikian, limbah lumpur yang terkonsentrasi tersebut dapat ditangani lebih lanjut, misalnya disingkirkan ke dalam tanah dan sebagainya. Pemilihan proses yang dilakukan adalah tergantung pada kinerja penyisihan yang diinginkan, jenis radionuklisida yang akan dipisahkan. Umumnya, bila yang akan ditangani adalah produk fisi yang tercampur, maka pH yang lebih tinggi akan menghasilkan penyisihan yang lebih tinggi pula. Walaupun dilakukan penaikan pH, namun tetap dibutuhkan mekanisme lain agar sebanyak mungkin materi tersebut terpisah dari cairannya, atau densitas buangan lumpurnya menjadi lebih tingi, yaitu dengan merangsang terjadinya partikel flok yang mudah mengendap. Cara yang bisa dilakukan adalah dengan penambahan koagulan. Koagulan akan menyerap ion-ion tertentu dari larutan dan membentuk partikel yang lebih besar, sehingga akan menambah efisiensi penyisihan secara keseluruhan. Disamping itu, penambahan koagulan akan menyebabkan materi tersuspensi yang juga bersifat radioaktif, akan lebih mudah mengendap sehingga efisiensi penyisihannya menjadi lebih tinggi. Beberapa jenis flokulan yang biasa digunakan dalam teknologi pengolahan limbah seperti garam-garam aluminium, ferro dan ferri sulfat, silika aktif atau sodium fosfat juga dapat diterapkan dalam limbah radioaktif ini. Dalam hal garam-garam besi yang digunakan, terdapat kecendrungan bahwa kation multivalensi seperti yttrium, cerium, promethium dan ruthenium akan lebih mudah terserap sehingga dapat terkonsentrasi dalam lumpurnya. Langkah berikutnya, adalah partikel flok dan partikel tersuspensi tersebut harus diendapkan dan tidak terbawa ke dalam efluennya kembali. Keberhasilan pembentukan flok harus diikuti dengan unit operasi yang lain yang sangat menentukan, yaitu unit pengendap. Unit-unit pengendap yang biasa digunakan dalam pengolahan limbah akan menghasilkan kinerja yang sama. Walapun telah dilakukan pembubuhan kimiawi secara flokulasi- koagulasi-pengendapan, namun ada beberapa kation atau anion radioaktif yang membutuhkan penanganan khusus. Salah satunya adalah radiocaesium, yang biasanya dipisahkan melalui vermiculite, lignite atau resin sintetis terlebih dahulu, seperti telah dibahas di muka. Alternatif lain adalah dengan penambahan lempung selama koagulasi, namun hal ini cenderung mengurangi sifat-sifat mengendap dari partikel tersebut. Barium khlorida juga dapat digunakan untuk mengendapkan ion-ion sulfat dan tellurate, kemudian diikuti dengan pembubuhan ferri sulfat untuk menyisihkan kelebihan barium

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 88

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

dan bertindak pula sebagai koagulan. Radioiodine biasanya hadir dalam kondisi anion, dan dapat disisihkan dengan penggunaan garam-garam perak atau penukar anion. Salah satu nuklisida yang relatif suulit untuk ditangani adalah ruthenium, yang dapat hadir sebagai kation, anion atau dalam bentuk non-ion. Cara yang paling baik yang pernah dilakukan adalah dengan co-presipitasi dengan tembaga sulfida dalam suasana asam. Hal yang penting dalam proses pengendapan tersebut adalah bagaimana mendapatkan efluen yang sangat baik, sehingga penggunaan filtrasi sedapat mungkin dihindari. Oleh karenanya dalam beberapa hal digunakan coagulant-aids, seperti senyawa sellulosa, polysaccharida, dan biasanya yang paling efisien dalah menggunakan polimer dengan berat molekul ting gi, yaitu polyelectrolite. Beberapa diantara jenis polimer tersebut mempunyai muatan negatif (anion), seperti senyawa caustic-hydrolised polyacrylamide, atau bermuatan positif (kation) seperti polyvinyl pyridinium butyl bromide. Langkah berikutnya adalah penanganan lumpur yang berasal dari unit pengendap yang masih mengandung kadar air tinggi (di atas 90%). Seperti telah dibahas di muka, lumpur kimiawi yang dihasilkan dari pengolahan tersebut sebagian besar akan bersifat koloidal dan tidak mengendap secara baik serta sulit difilter dalam proses penanganan lumpur. Dengan mengunakan filter vakum, akan dihasilkan cake lumpur tetapi masih mengandung air sampai sekitar 85 %. Sentrifugasi juga tidak memberikan pemecahan yang baik. Cara yang banyak dilakukan adalah pembekuan. Pengolahan dengan pembekuan ini akan mengkonsentrasikan elektrolit yang ada di sekitar partikel koloidnya, sehinga menaikkan proses koagulasinya. Partikel yang dihasilkan berupa granular dan dapat terendapkan serta tersaring secara baik. Lumpur kering yang dihasilkan kemudian di tangani sebagai halnya limbah padat radioaktif. Efluen cair dari limbah radioaktif yang kadar radioaktivitasnya dikatagorikan rendah, dilirkan ke badan air dengan mengandalkan pengenceran dan dispersi. Organisme tertentu di alam dalam hal ini dapat menimbun radioisotop dalam tubuhnya. Dapat saja terjadi bahwa ikan yang berada dalam sungai yang menerima efluen limbah radioaktif cair dengan konsentrasi phosphorus-32 di bawah konsentrasi maksimum yang diizinkan untuk air minum, pada suatu saat akan mengakumulasikan radioaktif ini sampai di atas batas yang diizinkan (biomagnifikasi). Diketahui bahwa konsentrasi dari elemen-elemen yang biasa terdapat di alam seperti kalium, kalsium atau strontium akan lebih tinggi terdapat di tumbuhan air dibandingkan air sekitarnya. Jadi bila badan air tersebut terkontaminasi dengan isotop radioaktif, radioisotop tersebut akan cenderung berakumulasi pada tanaman air tersebut. Fenomena ini juga dimanfaatkan dalam penyerapan elemen-elemen tertentu oleh tumbuhan air seperti eceng gondok guna mengurangi konsentrasi pencemar radioaktif berkadar rendah, seperti yang dilakukan di Perancis. Penentuan analisis kimiawi dari elemen dalam organisme air dan air, akan mengidentifikasikan maksimum konsentrasi isotop radioaktif yang dapat terjadi dengan cara tersebut. Akumulasi radioaktif oleh organisme biasanya dinyatakan dengan faktor konsentrasi (FK), yaitu: (aktivitas per satuan berat organisme)/(aktivitas per satuan berat air) Disamping itu, fenomena lain yang dapat terjadi secara alamiah adalah penyisihan elemenelemen radioaktif oleh adsorpsi permukaan. Unsur-unsur multivalensi seperti zirconium dan plutonium dapat direduksi dengan cara ini, misalnya oleh mikroorganisme semacam bakteria dan algae bersel tunggal. Pengolahan secara biologis yang sengaja dibangun mempunyai prinsip identik dengan yang biasa digunakan dalam pengolahan limbah lain. Pengolahan secara biologis bagi limbah radioaktif yang dikatagorikan ringan biasanya didasarkan atas satu diantara tiga pertimbangan, yaitu: a. Limbah radioaktif yang akan dialirkan ke badan air, mungkin mengadung komponenkomponen organik biodegradabel, sehingga sebelumnya perlu diolah secara biologis guna mencapai baku muru yang diinginkan, b. Limbah tersebut mungkin mengandung agen-agen organik kompleks, seperti sitrat, yang akan mengganggu dalam pengolahan isotop radioaktif secara kimiawi. c. Pengolahan biologis juga dapat dipertimbangkan guna merangsang tumbuhnya mikroorganisme yang berfungsi sebagai adsorben biologis. Secara umum pengolahan secara biologis ini akan berfungsi baik, bila limbah yang akan diolah tidak bersifat asam atau alkalin, bebas dari substansi toksik dalam konsentrasi tertentu sehingga dapat menghambat aktivitas

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 89

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

biologis. Beberapa pengolahan secara biologis yang telah diterapkan misalnya adalah kolamkolam oksidasi, kolam-kolam atau saluran-saluran biologis yang ditamani tumbuhan air, filter perkolasi (trickling filter), proses lumpur aktif dan saringan pasir lambat. Dalam proses biologis, hal esensial yang perlu diperhatikan adalah bagaimana agar organisme yang berfungsi tersebut tidak terpengaruh oleh radiasi. Pengaruh tersebut tidak terlihat secara nyata kecuali dalam tingkat aktivitas yang tinggi. Mikroorganisme pada umumnya lebih resistan dibandingkan organisme yang lebih tinggi. Dosis radiasi yang dibutuhkan agar dapat membunuh 99 % populasi bakteria dalam limbah radioaktif dapat mencapai 100.000 rad. Pengolahan lumpur yang dihasilkan adalah identik dengan pengolahan limbah lain, seperti pengeringan pada media berbutir, filtrasi atau seperti pengolahan secara kimiawi untuk limbah radioaktif yaitu pembekuan. Proses anaerobik juga dapat digunakan untuk mengurangi komponen- komponen materi organik yang dikandungnya dan dikonversi menjadi gas metan. Dalam hal ini perlu adanya kontrol bahwa supernatan yang dihasilkanya tidak mengeluarkan aktivitas radioaktif yang menganggu. Walaupun demikian, supernatan tetap dialirkan kembali pada pengolahan limbah cairnya. Lumpur yang telah dikurangi kadar airnya dapat dibakar dalam sebuah insinerataor, sedang abunya ditangani seperti limbah padat. Cara lain adalah disingkirkan ke dalam tanah atau ke larutan seperti halnya penanganan limbah padat, setelah terlebih dahulu dilapis guna mencegah tersebarnya radioaktif tersebut seperti halnya pengelolaan limbah limbah padat, atau dilakukan proses solidifikasi, misalnya dalam pasangan beton. Penyimpanan Limbah padat dan lumpur : Untuk limbah padat yang dikatagorikan menengah dan tinggi aktivitasnya, khususnya bagi isotop dengan waktu-paruh lama, maka penyimpanan yang bersifat permanen akan dibutuhkan. Dalam hal limbah aktif tersebut hanya menghasilkan radiasi alfa, sehingga praktis tidak terdapat bahaya radiasi, penyimpanan dapat dilakukan dalam konstruksi batu bata saja. Namun bila yang dikeluarkannya adalah radiasi beta atau gamma, maka perlindungan yang sangat ketat sangat dibutuhkan. Konstruksi kontainer atau bunker tersebut dapat terbuat dari beton bertulang setebal 2 meter, misalnya dalam bentuk parit-parit beton bertulang. Bangunan tersebut dapat terdiri dari beberapa sel, yang dapat dibangun lapis perlapis. Namun diperlukan perhatian agar beban sel yang diatas tidak akan langsung bertumpu pada sel limbah yang ada di bawahnya. Bunker beton tersebut biasanya dilapis lagi dengan logam, plastik atau aspal. Menurut penelitian, lapisan 9 dengan aspal adalah cukup baik untuk menahan radiasi sampai 10 roentgen. Penggunaan bahan baja atau keramik dapat pula dipertimbangkan sebagai kontainer sebelum dimasukkan ke dalam bunker tersebut, yang dapat berbentuk tabung-tabung yang dapat dimasukkan ke dalam bunker secara vertikal, maupun secara vertikal. Penempatan secara vertikal baik untuk penyimpanan jangka panjang, namun penempatan secara horizontal cocok untuk penyimpanan jangka pendek. Sarana tersebut harus juga mempertimbangkan pekerjaan berat untuk operasi menaikkan dan menurunkan beban yang berat. Dengan cara demikian, limbah tersebut dapat dipindahkan dengan mudah, misalnya dalam aktivitas pemantauan tingkat peluluhan yang telah terjadi. Beton bertulang digunakan terutama karena alasan biaya. Dalam hal limbah yang akan disimpan sangat aktif, maka dibutuhkan materi lain seperti timah atau beton baryte. Beton baryte dua kali lebih aman dari beton biasa, namun biayanya tiga kali lebih mahal. Dalam beberapa hal dibutuhkan penyimpanan yang bersifat sementara. Misalnya tinja dari manusia yang mengandung iodine-131 atau phophorus-32 akibat kegiatan kelinis seseorang. Tinja tersebut membutuhkan waktu tunggu lebih dahulu sebelum bebas dibuang pada riolering kota yang dilengkapi dengan pengolah limbah secara terpusat. Penyingkiran Limbah Padat dan Lumpur: Penanganan akhir dari limbah padat atau lumpur adalah dalam bentuk penyingkiran dalam tanah atau dalam lautan. penyingkiran dalam tanah dapat dilakukan dengan pembuatan lobang-lobang raksasa yang disiapkan dengan penuh kehati-hatian, dan limbah padat disimpan di sana sampai keaktifannya menjadi tidak membahayakan. Cara lain dengan memanfaatkan bekas sarana penambangan yang sudah tidak lagi berfungsi. Hal yang sudah pasti bahwa cara ini sama sekali

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 90

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

bukan bertujuan untuk mengurangi keaktifan limbah tersebut tetapi sekedar menyimpan menunggu selesainya waktu paruhnya. Untuk itu sebelum disingkirkan, diperlukan perlakuan khusus agar sifat radioaktifnya tidak menyebar keluar, yaitu dengan mengkapsulinya dengan bahan yang dikenal baik dapat menahan radiasi limbah tersebut, seperti lapisan timah dan sebagainya. Cara lama yang masih diterapkan untuk limbah yang dianggap mempunyai keaktifan rendah, misalnya dari limbah radioaktif rumah sakit, adalah menyingkirkannya dalam tanah yang sangat kedap dan dianggap mempunyai kemamppuan penukaran ion, seperti lempung yang memounyai konsep identik dengan penukar ion. Diperlukan studi yang sangat mendalam termasyuk studi tentang stratifikasi, tekstur, porositas dan sifat-sifat tanah lainnya terutama dikaitkan dengan transportasi dan penyebaran pencemar limbah berbahaya tersebut. Kekhawatiran lain adalah tersebarnya limbah tersebut akibat terjadinya retakan atau terjadinya ketidak homogenan media. Banyaknya limbah yang akan disingkirkan akan tergantung pada kapasitas penukar ion media tersebut, serta seberapa baik fungsi penukar ion tersebut. Hal ini merupakan pertanyaan yang sulit untuk terjawab di lapangan, karena terkait erat dengan pengetahuan rinci dan lengkap bukan saja sifat-sifat tanah, namun pula lingkungannya yang dapat dikatakan jauh dari homogen. Pengalaman yang diterapkan di Amerika, menunjukkan bahwa ternyata tidak terjadi bahaya radiasi di sekitarnya. Sarana yang dibangun dikelilingi dengan sumur-sumur pemantau yang relatif banyak (bisa mencapai lebih dari 50 sumur) dalam jarak yang berbeda. Analisis laboratorium menunjukkan bahwa radionuklisida yang mengalir dalam tanah tanpa menagalami absorpsi (tidak terserap dalam penukar ion tanah) adalah ruthenium. Ruthenium-106 adalah satusatunya radionuklisida yang teridentifikasi dalam sumur pemantau. Ion-ion nitrat merupakan ion yang bergerak relatif cepat, sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi arah aliran air. Ion nitrat dideteksi pada jarak 520 meter dari sumbernya setelah 8 tahun, sedangkan ruthenium-106 terdeteksi pada jarak 370 meter dalam jangka waktu yang sama. Konsep penyingkiran limbah radioaktif ini bersasaran menyingkirkan limbah agar tidak akan mengganggu lingkungan sampai keaktifannya terluluhkan dengan sendirinya sampai tingkat yang diperbolehkan. Dalam metode disperasl, materi radioaktif dapat saja dicampur dengan materi lain, termasuk dengan limbah lain terutama yang bersifat penukar ion, baik berbentuk padat maupun cair, sampai aktivitasnya menjadi sedemikian rendah dan tidak menghadirkan bahaya radioaktif lagi bila disingkirkan dalam cara-cara biasa seperti dalam landfilling. Jadi konsep umum peyingkiran limbah radioaktif ini adalah, bahwa limbah dengan tingkat aktivitas rendah, yaitu kurang dari beberapa milicurie dapat dicampur dan dibuang dengan limbah lain dan ditangani sebagai limbah berbahaya biasa. sedang limbah radioaktif dengan katagori menengah dan tinggi harrus disimpan secara aman sampai aktivitasnya menurun sampai tingkat dengan katagori aktivitas rendah. Pelaksanaan di lapangan ternyata lebh rumit terutama untuk jenis limbah menengah dan tinggi. Masalah pertama adalah waktu untuk menyimpan, yang bisa mencapai ratusan tahun, bagi limbah denga waktu paruh lama. Kontainer atau sarana penyimpan tersebut harus bertahan sesuai kondisinya semula. Sulit memprediksi bahagiamana kestabilan sarana tersebut sampai ratusa tahun. Sarana tersebut oleh karenanya harus tetap dimonitor secara rutin. Hal ini akan menjadi masalah dengan meningkatnya limbah tersebut akibat penggunaan dan pengembangan industri nuklir dewasa ini. Masalah kedua yang muncul adalah pemilihan jenis sarana penyimpan. Sarana tersebut hendaknya memenuhi dua persyaratan, yang pertama harus mampu menahan radiasi jangan sampai ke luar dan yang kedua tahan terhadap penggunaan jangka panjang, misalnya tahan terhadap korosi. Adanya sifat peluluhan radioaktif akan menyebabkan ketidakstabilan dari limbah yang dihasilkan kemudian serta media yang dilaluinya, sehingga sifat-sifat material penyimpan harus memperhatikan hal ini. Ditinjau dari sifat kimiawi limbah tersebut akan terus berubah, sifat imbah yang disimpan akan berubah sesuia dengan perubahan waktu. Sebuah materi yang tahan pada limbah pada saat awal, bisa saja menjadi terkorosi setelah limbah tersebut mengalami perubahan. Oleh karena limbah radioaktif yang akan dingkirkan adalah masih berbentuk cairan, maka hal ini perlu juga mendapat perhatian. Penyimpanan dalam fase cair relatif lebih sulit dibandingakan

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 91

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

penyimpanan dalam fase padat. Pertama karena sifat cair akan lebih intik kontak dengan media sekitarnya, sehingga kemungkinan terjadinya korosi akan lebih besar. Hal yang kedua, walaupun proses korosif berjalan lambat, perlu diperhatikan bahwa limbah tersebut harus aman di tempatnya dalam jangka waktu yang lama. Disamping itu, sifat cair akan memungkinkan mengalir ke tempat lain akan lebih leluasa dibandingkan bagian padat bila terjadi kebocoran dalam kontainer. Solidifikasi akan merupakan salah satu jawaban dalam usaha-usaha menanggulangi hal ini. Oleh karenanya, persoialan yang dihasapi oleh limbah radioaktif dengan tingkat yang menengah dan tinggi adalah bagaimana memecahkan masalah tersebut, serta masalah jangka panjang untuk mendapatkan area yang cukup dan cocok untuk itu. Dalam aplikasi di Inggeris, 3 jenis cara penyingkiran untuk limbah radioaktif yang tergolong rendah, seperti dari kegiatan rumah sakit, penelitian bila aktivitasnya adalah: a. Buangan padat dapat disimpan/disingkirkan dalam landfill buangan berbahaya biasa bila ternyata seluruh komponen di dalamnya mempunyai aktivitas lebih kecil dari 1 Ci, dan total aktivitas untuk setiap pembebanan adalah lebih kecil dari 10 Ci, dengan volume tidak lebih dari 0,1 m3. b. Buangan padat dapat diinsinerasi, dengan syarat bahwa aktivitas limbah yang akan dibakar tersebut tidak lebih dari 30 Ci per harinya, sedang abunya yang akan ditangani adalah sesuai dengan butir (a) di atas. c. Limbah cair dapat dicampur dengan limbah sistem riolering perkotaan yang ada (menuju pengolahan limbah terpusat), bila terbukti pengencernya bukanlah limbah yang dikatagorikan aktif. Untuk menjamin pengenceran yang cukup, maka tidak diperkenankan lebih dari 10 mCi selama 4 minggu secara terus menerus. Bila sistem tidak dihubungkan dengan riolering kota, maka batasan tersebut menjadi 2 mCi. Penyingkiran limbah ke dalam tanah hanya cocok bagi limbah dengan aktivitas rendah. Monitoring dibutuhkan bukan saja terhadap air tanah memalui sumur-sumur pemantau, namun pula terhadap benda-beda di sekitarnya: binatang, reptil, daun, tanah, ikan, insek dan sebagainya. Dalam hal ini terdapat dua kemungkinan penanganan limbah sebelum disingkirkan, yaitu limbah tersebut langsung dibuang/didingkirkan atau limbah tersebut 'dibungkus' terlebih dahulu. Limbah radioaktif yang langsung ditanam dalam tanah harus diulindungi terhadap kemungkinan muncul ke permukaan, misalnya karena kegiatan binatang seperti tikus dan sebagainya. Masalah yang sangat diperhatikan kemungkinan terbawanya limbah tersebut akibat air eksternal. Oleh karenanya, batasan yang digunakan adalah jumlah limbah yang ditanam maksimum nuklisida adalah adalah 100 mikrocurie/bulan bagi limbah dengan waktu-paruh lebih dari 1 tahun dan 1 milicurie/bulan untuk limbah dengan waktu-paruh kurang darui 1 tahun. Kedalaman penananaman sedemikiaian rupa sehingga tidak mengganggu pertumbuhan di sekitarnya. Dalam jangka waktu tertentu, daerah sekitarnya kemungkinan akan menjadi steril untuk selamanya. Pembungkusan terlebih dahulu limbah diperlukan sebelum disingkirkan ke dalam tanah terutama bagi limbah dengan katagopri tingkat keaktifannya tinggi. Pembungkusan dilakukan seperti dalam penyimpanan, yaitu dalam bentuk paking dalam kontainer baja atau pasangan beton. Cara lain yang digunakan adalah penyingkiran dalam bekas tambang. Lubang-lubang tambang yang digunakan dipilih ketat yaitu yang tidak mempunyai hubunganb dengan daerah sekitarnya. Pembuangan ke lautan dalam dianggap salah satu penyingkiran yang paling aman bila dilakukan secara baik. Cara ini menghilangkan keberatan-keberatan yang ada dengan cara lain, seperti penguburan dalam tanah atau dalam bekas tambang. Cara ini merupakan cara yang terakhir karena praktis tidak mungkin lagi diambil bila terjadi sesuatu. Salah satu masalah yang mungkin timbul adalah kemampuan ikan atau organisme laut lainnya dalam mengkonsentrasikan limbah radioaktif ini dalam fenomena biomagnifikasi. Elemen-elemen radioaktif tersebut biasanya terkonsentrasi di tulang yang prakktis tidak dikonsumsi oleh manusia. Kontainer yang digunakan untuk menyingkirkan jenis limbah ini harus mempunyai kriteria: - tidak mudah rusak atau pecah sebelum dan setelah disingkirkan, - bebas dari ruang-ruang yang kosong sehingga limbah tidak mudah keluar bila terjadi kebocoran,

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 92

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

mempunyai densitas paling tidak 1,2 gram/cm , mempunyai betuk dan ukuran yang mudah untuk ditangani

Drum-drum baja merupakan kontainer yang paling sering digunakan, kadangkala dilapis dengan lapisan beton sesuai dengan karakteri atau tingka keaktifan limbahnya. Suatu pengukuran yang dilakukan adalah bila rata- rata tingkat radiasi di permukaan kontainer adalah tidak lebih dari 20 milirad per jam, maka tidaka akan timbul masalah radiasi. Insinerasi limbah combustibel tidak diterapkan secara luas. Produk akhir yang dikeluarkan, yaitu abu atau gas yang keluar dari cerobong akan tetap bersifat radioaktif. Masalah utama yang muncul adalah gas yang dikeluarkan yang dapat menyebar secara luas. Peralatan pencegahan pencemaran udara seperti filter, presipitator elektrostatis, scrubber, pengendap dan sebagainya, dapat digunakan untuk menangkap partikulat yang terbentuk. Abu yabng terkumpulkan kemudian ditangai seperti halnya limbah padat radioaktif.

Referensi Utama: - J.C. Collins (Editor): Radioactive Wastes, Wiley & Sons Inc, 1960 - Nelson L. Nemerow: Industrial Water Pollution, Addison-Wesley Publishing Company, 1978 - A. Porteus (Editor): Hazardous Waste Management Handbook, Butterworth, 1985 - Gilbert M. Masters: Introduction to Environmental Engineering and Science, Prentice Hall, Englewood Cliffs, 1991

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 93

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

BAGIAN VII LIMBAH MEDIS DAN RUMAH TANGGA


1 LIMBAH MEDIS
Terdapat tiga katagori orang yang dapat terpapar dengan limbah berbahaya dari rumah sakit, yaitu: o Pasien dan personel dari rumah sakit o Personel yang memberikan pelayanan, misalnya mereka yang terikat kontrak kerja seperti tukang cuci, tukang sampah dan sebagainya o Pasien rawat jalan seperti yang sedang menjalani dialisis darah o Pengunjung Untuk mengurangi resiko kesehatan sehubungan dengan limbah rumah sakit ini, maka dibutuhkan program kesehatan kerja yang mencakup: o Penggunaan bahan yang aman atau bahan yang lebih tidak berbahaya, o Penggunaan pewadahan tertutup untuk bahan-bahan yang bersifat volatil, o Penggunaan ventilasi yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip kesehatan kerja, o Penggunaan alat pelindung (masker, sarung tangan), o Penggunaan wadah dengan warna yang berbeda untuk setiap jenis limbah, o Pemantauan rutin terutama terhadap aktivitas yang beresiko tinggi, o Penggunaan analisis epidemiologis untuk menentukan apakah kelompok atau sub kelompok tertentu akan mengalami resiko berlebihan terhadap penyakit tertentu. Disamping itu, perhatian hendaknya diberikan pada kemungkinan pengaruh resiko tersebut terhadap masyarakat luar, seperti resiko pencemaran udara, air dan tanah. Pada dasarnya limbah yang dihasilkan harus dipisahkan atau dikonsentrasikan di institusi itu sendiri untuk memudahkan penggolongannya, dan bila mungkin dilakukan daur-ulang sehingga tidak masuk dalam penanganan limbah kota. Bahan kimia dari institusi kesehatan akan merupakan sumber pencemaran yang potensial, terutama bila dilairkan melalui sistem rioreling. Penggilingan limbah sisa makanan banyak diterapkan di negara undustri untuk kemudian dimasukkan dalam system saluran air (riolering) limbah kota. Sebetulnya cara ini tidak disarankan karena akan mendatangkan masalah pada pengolah limbah kota. Tinja dan urin dari pasien yang diisolasi karena penyakit menular perlu didisinfektan terlebih dahulu sebelum digabung dengan sistem riolering. Namun penggunaan disinfektan harus diminimalkan bila terdapat alternatif lain. Limbah yang bersifat umum atau limbah infectious yang telah ditangani secara baik dapat dibuang pada landfill kota dengan syarat-syarat khusus disertai pengawasannya. Penggunaan insinerator untuk limbah rumah sakit kelompok biomedis banyak diterapkan, tetapi pengoperasian yang tidak baik akan mendatangkan masalah pencemaran udara. Jenis perawatan/aktivitas kesehatan yang dapat menghasilkan limbah adalah : a. Rumah sakit dengan aktifitasnya: o Rumah sakit umum o Rumah sakit khusus o Sanotarium o Aktifitas spesifik dalam sebuah rumah sakit misalnya : paediatric, oncolagy, rehabilitasi, mata dan telinga, psychiatric, terbakar, orthopaedic, penyakit-penyakit pernafasan b. Klinik: o Ruang dokter dan perawat o Pusat dialysis o Pusat penanganan kecanduan alcohol o Pusat penanganan kecanduan obat bius o Klinik bersalin o Klinik thrombosis. c. Asrama dan sejenis:

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 94

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

o Perawat o Rumah jompo o Rumah sakit jiwa d. Kegiatan-kegiatan penunjang: o Bank darah o Apotik o Pusat pelatihan medis o Ruang mayat o Ruang steril o Ruang cuci pakaian o Ruang teknis o Laboratorium : klinis, pathology, haemathology, kimiawi, penelitian, termasuk untuk hewan maupun genetis. Timbulan limbah dari kegiatan rumah sakit bervariasi dari satu institusi ke institusi sesuai dengan besarnya aktivitas. Sebagai gambaran, di bawah ini diberikan beberapa angka [21], yaitu (Kg/bed/hari): o Sepanyol : 1,2 sampai 4,4 o Inggeris : 0,25 sampai 3,3 o Belanda : 1,2 sampai 6,0 o USA : 4,1 sampai 5,24 Penelitian yang dilakukan di RSHS Bandung oleh Jurusan Teknik Lingkungan ITB (1993) memberikan angka rata-rata sebesar 2,12 Kg/bed/hari. Limbah dari pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dapat diklasifikasikan dalam beberapa katagori utama, yaitu: o Limbah umum, o Limbah patologis (jaringan tubuh), o Limbah radioaktif, o Limbah kimiawi, o Limbah berpotensi menular (infectious), o Benda-benda tajam, o Limbah farmasi, o Limbah citotoksik, o Kontainer dalam tekanan. Limbah rumah sakit merupakan campuran yang heterogen sifat-sifatnya. Seluruh jenis limbah ini dapat mengandung limbah berpotensi infeksi. Kadangkala, limbah residu insinerasi dapat dikagorikan sebagai limbah berbahaya bila insinerator sebuah rumah sakit tidak sesuai dengan kriteria, atau tidak dioperasikan sesuai dengan kriteria. Diskripsi umum tentang katagori utama limbah rumah sakit adalah: o Limbah umum: sejenis limbah domestik, bahan pengemas, makanan binatang noninfectious, limbah dari cuci serta materi lain yang tidak membutuhkan penanganan spesial atau tidak membahayakan pada kesehatan manusia dan lingkungan o Limbah patologis: terdiri dari jaringan-jaringan, organ, bagian tubuh, plasenta, bangkai binatang, darah dan cairan tubuh o Limbah radioaktif: dapat berfase padat, cair maupun gas yang terkontaminasi dengan radionuklisida, dan dihasilkan dari analisis in-vitro terhadap jaringan tubuh dan cairan, atau analisis in-vivo terhadap organ tubuh dalam pelacakan atau lokalisasi tumor, maupun dihasilkan dari prosedur therapetis o Limbah kimiawi: dapat berupa padatan, cairan maupun gas misalnya berasal dari pekerjaan diagnostik atau penelitian, pembersihan / pemeliharaan atau prosedur desinfeksi. Pertimbangan terhadap limbah ini adalah seperti limbah berbahaya yang lain, yaitu dapat ditinjau dari sudut: toksik, korosif, mudah terbakar (flammable), reaktif (eksplosif, reaktif terhadap air, dan shock sensitive), dilanjutkan dengan sifat-sifat spesifik seperti genotoxic (carcinogenic, mutagenic, teratogenic dan lain-lain), misalnya obat-obatan cytotoxic. limbah kimiawi yang tidak berbahaya adalah seperti gula, asam- asam animo, garam-garam organik lainnya, o Limbah berpotensi menularkan penyakit (infectious): mengandung mikroorganisme patogen yang dilihat dari konsentrasi dan kuantitasnya bila terpapar dengan manusia akan dapat

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 95

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

o o o

menimbulkan penyakit. Katagori yang termasuk limbah ini antara lain jaringan dan stok dari agen-agen infeksi dari kegiatan laboratorium, dari ruang bedah atau dari autopsi pasien yang mempunyai penyakit menular , atau dari pasien yang diisolasi, atau materi yang berkontak dengan pasien yang menjalani haemodialisis (tabung, filter, serbet, gaun, sarung tangan dan sebagainya) atau materi yang berkontak dengan binatang yang sedang diinokulasi dengan penyakit menular atau sedang menderita penyakit menular Benda-benda tajam yang biasa digunakan dalam kegiatan rumah sakit: jarum suntik, syring, gunting, pisau, kaca pecah, gunting kuku dan sebagainya yang dapat menyebabkan orang tertusuk (luka) dan terjadi infeksi. Benda-benda ini mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi atau bahan citotoksik Limbah farmasi (obat-obatan): produk-produk kefarmasian, obat-obatan dan bahan kimiawi yang dikembalikan dari ruangan pasien isolasi, atau telah tertumpah, daluwarsa atau terkontaminasi atau harus dibuang karena sudah tidak digunakan lagi Limbah citotoksik: bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi dengan obat citotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi citotoksik Kontainer di bawah tekanan: seperti yang digunakan untuk peragaan atau pengajaran, tabung yang mengandung gas dan aerosol yang dapat meledak bila diinsinerasi atau bila mengalami kerusakan karena kecelakaan (tertusuk dan sebagainya).

Dari sekian banyak jenis limbah klinis tersebut, maka yang membutuhkan sangat perhatian khusus adalah limbah yang dapat menyebabkan penyakit menular (infectious waste) atau limbah biomedis. Limbah ini biasanya hanya 10 - 15 % dari seluruh volume limbah kegiatan pelayanan kesehatan. Jenis dari limbah ini secara spesifik adalah: o Limbah human anatomical: jaringan tubuh manusia, organ, bagian-bagian tubuh, tetapi tidak termasuk gigi, rambut dan muka o Limbah tubuh hewan: jaringan-jaringan tubuh , organ, bangkai, darah, bagian terkontaminasi dengan darah, dan sebagainya, tetapi tidak termasuk gigi, bulu, kuku. o Limbah laboratorium mikrobiologi: jaringan tubuh, stok hewan atau mikroorganisme, vaksin, atau bahan atau peralatan laboratorium yang berkontak dengan bahan- bahan tersebut. d. Limbah darah dan cairan manusia atau bahan/peralatan yang terkontaminasi dengannya. Tidak termasuk dalam katagori ini adalah urin dan tinja. o Limbah-limbah benda tajam seperti jarum suntik, gunting, pacahan kaca dan sebagainya. Sasaran pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagaimana menangani limbah berbahaya, menyingkirkan dan memusnahkannya seekonomis mungkin, namun higienis dan tidak membahayakan lingkungan. Untuk limbah yang bersifat umum, penanganannya adalah identik dengan limbah kota yang lain. Daur ulang sedapat mungkin diterapkan pada setiap kesempatan. Bahan-bahan tajam yang terinfeksi harus dibungkus secara baik serta tidak akan mencelakakan pekerja yang menangani dan dapat dibuang seperti limbah umum, sedang bahan-bahan tajam yang terinfeksi diperlakukan sebagai limbah berbahaya. Untuk memudahkan pengenalan berbagai jenis limbah yang akan dibuang, digunakan pemisahan dengan kantong-kantong yang spesifik (biasanya dengan warna yang berbeda atau dengan pemberian label). Beberapa contoh warna yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI adalah: o Kantong warna hitam: limbah sejenis rumah tangga biasa o Kantong warna kuning: semua jenis limbah yang harus masuk insinerator o Kantong warna kuning strip hitam: limbah yang sebaiknya ke insinerator, namun bisa pula dibuang ke landfill bila dilakukan pengumpulan terpisah dan pengaturan pembuangan o Kantong warna biru muda atau transparans strip biru tua : limbah yang harus masuk ke autoclave sebelum ditangani lebih lanjut. Limbah yang harus dipisahkan dari yang lain adalah limbah patologis dan infektious. Limbah infectious beresiko tinggi perlu ditangani terlebih dahulu dalam autoclave sebelum menuju pengolahan selanjutnya atau sebelum disingkirkan di landfill. Limbah darah yang tidak terinfeksi dapat dimasukkan ke dalam saluran limbah kota dan dibilas dengan air, sedang yang terinfeksi harus diperlakukan sebagai limbah berbahaya. Kontainer-kontainer dibawah tekanan (aerosol dan sebagainya) tidak boleh dimasukkan ke dalam insinerator. Limbah yang telah dipisahkan dimasukkan kantong-kantong yang kuat (dari pengaruh luar ataupun dari limbahnya sendiri) dan tahan air atau dimasukkan dalam kontainer-kontainer

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 96

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

logam. Kantong-kantong yang digunakan dibedakan dengan warna yang seragam dan jelas, dan diisi secukupnya agar dapat ditutup degan mudah dan rapat. Disamping warna yang seragam, kantong tersebut diberi label atau simbol yang sesuai. Kontainer harus ditutup dengan baik sebelum diangkut. Bila digunakan kantong dan terlebih dahulu harus masuk autoclave, maka kantong-kantong itu harus bisa ditembus oleh uap sehingga sterilisasi dapat berlangsung sempurna. Limbah radioaktif juga harus mempunyai tanda-tanda yang standar dan disimpan untuk menunggu masa aktifnya terlampaui sebelum dikatagorikan limbah biasa atau limbah berbahaya lainnya. Mobilitas dan transportasi limbah baik internal maupun eksternal hendaknya dipertimbangkan sebagai bagian menyeluruh dari sistem pengelolaaan dari institusi tersebut. Secara internal, limbah biasanya diangkut dari titik penyimpanan awal manuju area penampungan atau menuju titik lokasi insinerator. Alat angkutan atau sarana pembawa tersebut harus dicuci secara rutin dan hanya digunakan untuk membawa lim bah. Di rumah sakit modern, transportasi limbah ini bisa menggunakan cara pneumatis dengan perpipaan, namun cara ini tidak boleh digunakan untuk limbah patologis dan infectious. Limbah yang akan diangkut ke luar, misalnya oleh Dinas Kebersihan setempat, harus tidak mengandung resiko terhadap kesehatan pengangkut tersebut. Limbah berbahaya dari rumah sakit yang akan diangkut, diatur seperti halnya aturanaturan yang berlaku pada limbah berbahaya lain, misalnya jenis kontainer, tanda-tanda dan tata caranya. Aturan yang berlaku bagi limbah kimiawi dari rumah sakit ini adalah identik dengan penangan limbah kimiawi dari sumber industri. Bagi limbah kimiawi yang tergolong tidak berbahaya, maka bila memungkinkan untuk didaur ulang, maka limbah ini dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam kontainer untuk ditangani seperti limbah biasa. Namun kontainer maupun kantong-kantong yang digunakan harus jelas tertulis atau tertandai sebagai limbah tidak berbahaya. Contoh limbah kimiawi yang tidak tergolong berbahaya adalah: o kelompok kimia organik: asetat (Ca, Na, NH4, K), asam-asam amino dan garamgaramnya, asam citris dan garam-garamnya (Na, K, Mg, Ca dan NH4), lactic dan garamgaramnya (Na, K, Mg, Ca dan NH4), gula dan sebagainya o kelompok kimia anorganik: bikarbonat (Na,K), borat (Na, K, Mg, Ca), bromida (Na, K), Karbonat (Na, K, Mg, Ca), khlorida (Na, K, Mg, Ca), flourida (Ca), iodida (Na, K), oksidaoksida (B, Mg, Ca), sulfat (Na, K, Mg Ca, NH4). Limbah kimiawi berbahaya yang tidak dapat didaur-ulang segera dipisahkan sesuai dengan jenisnya dan pengolahannya, misalnya melalui sebuah insinerator, karena limbah jenis ini kadangkala toksik dan flammable, sehingga tidak boleh dibuang melalui sistem riolering. Limbah reaktif yang berasal dari rumah sakit adalah senyawa-senyawa seperti: o Shock sensitive: senyawa-senyawa diazo, metal azide, nitro cellulose, perchloric acid, garam-garam perchlorat, bahan kimia peroksida, asam picric, garam-garam picrat, polynitroaromatic. o Water reactive: logam-logam alkali dan alkali tanah, reagen alkyl lithium, larutan- larutan boron trifluorida, reagen Grignard, hidrida dari Al, B, Ca, K, Li, dan Na, logam halida dari Al, As, Fe, P, S, Sb, Si, Su dan Ti, phosphorus oxychloride, phosphorus pentoxide, sulfuryl chloride, thionyl chloride. o Bahan reaktif lain: asam nitrit diatas 70%, phosphor (merah dan putih). Seluruh bahan kimia peroksida di atas harus diberi tanggal begitu digunakan dan penyimpanannya (setelah dibuka) terbatas dengan lama penyimpanan maksimum: o 3 bulan: diethyl ether, isoprophyl ether, dioxane, tetrahydrofuran, sodium amide, cyclohexane. o 12 bulan: acrylonitrile, butadiene, vinylidene chloride, chlorotrifluoroethylene, vinyl chloride, vinyl ether. o 24 bulan: acetat, etylene glycol dimethyl ether (glyme), dicyclopentadiene, tetrahydronaphtalene, diethylene glycol dimethil ether (diglyme), decahydronaphthalene, methyl acethylene, diacetylene. Secara umum jenis pengolahan limbah rumah sakit adalah :

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 97

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

a. Limbah umum: o Tidak diperlukan pengolahan khusus, dan dapat disatukan dengan limbah domestik o Seluruh makanan yang telah meninggalkan dapur pada prinsipnya adalah limbah bila tidak dikonsumsi dan sisa makanan dari bagian penyakit menular perlu di autoclave dulu sebelum dibuang ke landfill. b. Limbah patologis: o Pengolahan yang dilakukan adalah dengan sterilisasi, insinerasi dilanjutkan dengan landfilling o Insinerasi merupakan metode yang sangat dianjurkan, kantong-kantong yang digunakan untuk membungkus limbah juga harus diinsinerasi. c. Limbah radioaktif: o Bahan radioaktif yang digunakan dalam kegiatan kesehatan/medis ini biasanya tergolong mempunyai daya radioaktivitas level rendah, yaitu di bawah 1 megabecquerel (MBq) o Limbah radioaktif dari rumah sakit dapat dikatakan tidak mengandung bahaya yang signifikan bila ditangani secara baik o Penangan limbah dapat dilakukan di dalam area rumah sakit itu sendiri, dan umumnya disimpan untuk menunggu waktu paruhnya telah habis, untuk kemudian disingkirkan sebagai limbah non-radioaktif biasa d. Limbah kimia: o Bagi limbah kimia yang tidak berbahaya, penanganannya adalah identik dengan limbah lainnya yang tidak termasuk katagori berbahaya o Konsep penanganan limbah kimia yang berbahaya adalah identik dengan penjelasan sebelumnya yang terdapat dalam diktat ini tentang limbah berbahaya o Beberapa kemungkinan daur-ulang limbah kimiawi berbahaya misalnya : Solven semacam toluene, xylene, acetone dan alkohol lainnya yang dapat diredistilasi Solven organik lainnya yang tidak toksik atau tidak mengeluarkan produk toksik bila dibakar dapat digunakan sebagai bahan bakar Asam-asam khromik dapat digunakan untuk membersihkan peralatan gelas di laboratorium, atau didaur-ulang untuk mendapatkan khromnya Limbah logam - merkuri dari termometer, manometer dan sebagainya dikumpulkan untuk didaur-ulang ; limbah jenis ini dilarang untuk diinsinerasi karena akan menghasilkan gas toksik Larutan-larutan pemerosesan dari radioaktif yang banyak mengandung silver dapat direklamasi secara elektrostatis Batere-batere bekas dikumpulkan sesuai jenisnya untuk didaur-ulang seperti : merkuri, kadmium, nikel dan timbal o Insinerator merupakan sarana yang paling sering digunakan dalam menangani limbah jenis ini, baik secara on-site maupun off-site; insinerator tersebut harus dilengkapi dengan sarana pencegah pencemaran udara, sedang residunya yang mungkin mengandung logam-logam berbahaya dibuang ke landfill yang sesusai. o Solven yang tidak diredistilasi harus dipisahkan antara solven yang berhalogen dan nonhalogen; solven berhalogen membutuhkan penanganan khusus dan solven non- halogen dapat dibakar pada on-site insinerator o Limbah cytotoxic dan obat-obatan genotoxic atau limbah yang terkontaminasi harus dipisahkan, dikemas dan diberi tanda serta dibakar pada insinerator; limbah jenis ini tidak di autoclave karena disamping tidak mengurangi toksiknya juga dapat berbahaya bagi operator o Beberapa jenis limbah kimia berbahaya juga dihasilkan dari bagian pelayanan alat-alat kesehatan, misalnya: disinfektan, oli dari trafo dan kapasitor atau dari mikroskop yang mengandung PCB dan sebagainya, sehingga perlu ditangani sesuai jenisnya e. Limbah berpotensi menularkan penyakit (infectious): Memerlukan sterilisasi terlebih dahulu atau langsung ditangani pada insinerator ; autoclave tidak dibutuhkan bila limbah tersebut telah diwadahi dan ditangani secara baik sebelum diinsinerasi. f. Benda-benda tajam: Dikemas dalam kemasan yang dapat melindungi petugas dari bahaya tertusuk, sebelum dibakar dalam insinerator g. Limbah farmasi: obat-obatan yang tidak digunakan dikembalikan pada apotik, sedangkan yang tidak dipakai lagi ditangani secara khusus misalnya diinsinerasi atau di landfilling atau dikembalikan ke pemasok. h. Kontainer-kontainer di bawah tekanan: di landfilling atau didaur-ulang.

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 98

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

2 LIMBAH BERBAHAYA DARI RUMAH TANGGA Bahan sehari-hari yang digunakan di rumah tangga dewasa ini, khususnya di kota, tidak terlepas dari penggunaan bahan berbahaya. Bila bahan tersebut tidak lagi digunakan, maka bahan tersebut akan menjadi limbah, yang kemungkinan besar tetap berkategori berbahaya, termasuk pula bekas pewadahannya seperti bekas cat, tanung bekas pewangi ruangan. Bahanbahan tersebut digunakan dalam hampir seluruh kegiatan di rumah tangga, yaitu : di dapur, seperti : pembersih saluran air, soda kaustik, semir, gas elpiji, minyak tanah, asam cuka, kaporit atau desinfektan, spiritus / alkohol di kamar mandi dan cuci, seperti : cairan setelah mencukur, obat-obatan, shampo anti ketombe, pembersih toilet, pembunuh kecoa di kamar tidur, seperti : parfum, kosmetik, kamfer, obat-obatan, hairspray, air freshener, pembunuh nyamuk di ruang keluarga, seperti : korek api, alkohol, batere, cairan pmbersih, di garasi/taman, seperti : pestisida dan insektisida, pupuk, cat dan solven pengencer, perekat, oli mobil, aki bekas Di lingkungan pedesaan serta di lingkungan yang mungkin terlihat asri, penggunaan bahan berbahaya agaknya juga sulit dihindari, seperti penggunaan biosida dalam kegiatan pertanian, yang dampaknya disamping akan menghasilkan residu yang terbuang pada badan penerima alamiah, namun dapat pula masih tersisa pada makanan yang dikonsumsi sehari-hari seperti dalam sayur mayur dan buah-buahan. Kegiatan agrowisata, seperti adanya lapangan golf dan sebagainya menambah intesifnya penggunaan bahan biosida yang umumnya resistan dan bersifat biokumulasi serta mendatangkan dampak negatif dalam jangka panjang bagi manusia yang terpaparnya. Pada dasarnya bahan berbahaya tidak akan menimbulkan bahaya jika pemakaian, penyimpanan dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pencampuran dua atau lebih dapat pula menimbulkan masalah. Efek pada kesehatan manusia yang paling ringan umumnya akan terasa langsung karena bersifat akut, seperti kesulitan bernafas, kepala pusing, lamban, iritasi mata atau kulit. Oleh karenanya, pada kemasan bahan-bahan tersebut biasanya tertera aturan penyimpanan, misalnya tidak terpapar pada temperatur atau diletakkan agar tidak terjangkau oleh anak-anak. Survai yang dilakukan di Amerika Serikat menggambarkan porsi limbah pada sampah kota yang berasal dari bahan yang biasa digunakan di rumah di Amerika Serikat, seperti tertera dalam Tabel 7.1 di bawah ini. Tabel 7.1: Limbah berbahaya dari rumah tangga
Komponen Penggunaan untuk pembersih Penggunaan untuk perawatan badan Produk untuk otomotif Cat dan sejenisnya Penggunaan rumah tangga lain Persen 40,0 16,4 30,1 7,5 6,0

Contoh di bawah ini lebih lanjut menggambarkan karakteristik bahaya dari bahan yang biasa digunakan di rumah tangga tersebut di atas : a. Produk pembersih: bubuk penggosok abrasif : korosif pembersih mengandung senyawa amunium dan turunannya : korosif pengelantang : toksik, korosif pembersih saluran air : korosif pengkilap mebel : mudah terbakar pembersih kaca : Korosif (iritasi) pembersih oven : korosif semir sepatu : mudah terbakar pengkilap logam (perak) : mudah terbakar

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 99

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

penghilang bintik noda : mudah terbakar pembersih toilet dan lantai: korosif pembersih karpet/kain : korosif, mudah terbakar b. Perawatan badan: shampo (anti ketombe) : toksik penghilang cat kuku : toksik, mudah terbakar minyak wangi : mudah terbakar kosmetika : toksik obat-obatan : toksik c. Produk otomotif : cairan anti beku : toksik oli : mudah terbakar aki mobil : korosif bensin, minyak tanah : mudah terbakar, toksik d. Produk rumah tangga lain : cat : mudah terbakar, toksik pelarut / tiner : mudah terbakar baterei : korosif dan toksik khlorin kolam renang : korosif dan toksik biosida anti insek : toksik, mudah terbakar herbisida, pupuk : toksik aerosol : mudah terbakar, mudah meledak Bahan tersebut dapat pula menimbulkan bahaya lain bila bercampur satu dengan yang lain, seperti timbulnya : o Gas toksik: bila pembersih mengandung senyawa amonia bercampur dengan pengelantang mengandung khlor o Ledakan: bila tabung sisa bahan yang digunakan secara penyemprotan terbakar di bak sampah Hasil studi di Amerika Serikat oleh USEPA menyimpulkan bahwa 0,35-0,40 % sampah pemukiman yang dibuang ke lahan-urug kota termasuk kategori limbah B3. Di Indonesia agaknya bila didasarkan atas porsi limbah yang masuk ke landfill, nilai ini akan lebih tinggi mengingat bahwa yang masuk ke landfill bukan saja dari rumah tangga, tetapi dapat berasal dari kegiatan medis, termasuk limbah patologis, atau dari kegiatan industri lainnya. Selain berasal dari pemukiman penduduk, limbah berkatagori sampah kota yang berbahaya dapat pula berasal dari kegiatan komersial atau perkantoran. Limbah ini akan masuk ke dalam sistim pengelolaan sampah kota, seperti dari usaha benatu (laundry dan dry cleaning), sisa tinta dari usaha percetakan/foto-kopi, oli bekas dari bengkel dan sebagainya. Di Amerika Serikat dikenal konsep small-quantity generator, yang membatasi jumlah limbah minimum perbulan yang terkena aturan pengelolaan limbah B3. Dengan aturan tersebut, penghasil limbah misalnya dari rumah tangga dapat membuang limbahnya bersama sampah kota bila jumlah per bulannya tidak melebihi nilai tersebut. Di bebarapa negara bagian di Amerika Serikat, dibolehkan membuang limbah jenis tersebut ke dalam sistem penyaluran limbah kota. Namun adanya bahan tersebut dalam sistem pengolahan limbah kota dapat menimbulkan terganggunya proses pengolahan yang ada, misalnya : Bila dibakar dalam insinerator, akan menghasilkan ledakan yang membahayakan akibat tabung pewadah, atau terlepasanya logam-logam berat toksik akibat terpapar dengan temperatur tinggi Terganggunya proses biodegradasi sistem pengolahan air limbah atau pengolahan di landfilling Terganggunya produk kompos bila bila tidak dilakukan pemilahan terlebih dahulu Penanganan limbah berbahaya di rumah tangga sebetulnya mempunyai pendekatan yang sama dengan industri, yaitu minimasi dan daur ulang limbah. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain adalah :

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 100

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

Pemilihan produk yang disertai penjelasan lengkap tentang komponen bahan yang digunakan, aturan penggunaan, penyimpanan dan cara pembuangan limbah atau wadah bekasnya Penggunaan produk sesuai kebutuhan, disertai pengetahuan tentang seberapa lama suatu produk habis digunakan, dan apakah telah digunakan semestinya Pembelian yang sesuai kebutuhan, walapun dengan membeli lebih banyak diperoleh biaya persatuannya yang lebih murah Penggunaan produk yang biodegradabel atau terdaur-ulang Pemanfaatan kembali limbah yang terbentuk, baik untuk digunakan sendiri, diberikan kepada yang membutuhkan, ditukarkan dengan produk lain, atau mungkin saja masih bernilai untuk dijual Penanganan limbah atau wadah yang akan dibuang secara baik sesuai petunjuk yang diberikan

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 101

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

DAFTAR PUSTAKA BAPEDAL : Perencanaan teknis sistem pengolahan air limbah industri penyamakan kulit skala kecil Sukaregang - Garut, LAPI ITB, 1993 BAPEDAL : Survey industri penyamakan kulit di Sukaregang - Garut, PPLH ITB, 1992 Brunner, C.R. : Hazardous waste incineration, McGraw-Hill Book Co, 1994 Buzzi, R.A. : Chemical hazards at water and wastewater treatment plant, Lewis Publisher, 1992 CCME (Canada) : Guidelines for the management of biomedical waste in Canada CCME-EPCWM-42, February 1992 Center for Chemical Process Safety : Guidelines for hazard evaluation procedures, American Institute of Chemical Engineers, 1992 CH2M Hill International : Feasibility study - centralized hazardous waste and toxic waste treatment facility GKS region - Final report, July 1990 Chanlett, E.T. : Environmental protection, McGraw-Hill Kogakusha Ltd, 1973 Collins, J.C. : Radioactive wastes, Wiley & Sons Inc, 1960 Cookson Jr, J.T. : Bioremediation engineering, McGraw-Hill Book Co, 1995 Cousteau, J.Y. : Almanach cousteau de l'environnement, Robert Laffont, 1981 Craig, P.J. : Organo metallic compounds in the environment, Longman Group Limited, 1986 Damanhuri, E. : Diktat kuliah pengelolaan limbah B3 TL-352 Edisi Semeter II 1993/1994, Teknik Lingkungan ITB Dames & Moore : Laporan studi kelayakan PPL-B3 - Cileungsi Jawa Barat, 1990 Departemen Kesehatan RI - Dit.Jend PPM & PLP : Pedoman Sanitasi RS, 1992 Dept. of the Environment (UK) : Clinical waste - waste wanagement paper no. 2, 1984 Diouhy, Z. : Disposal of radioactive waste, Elsevier Sci. Publishing Co, 1982 Direktorat Pengelolaan Limbah B3 BAPEDAL : Kebijaksanaan impor-ekspor limbah B3 dan non B3 - workshop implementasi konvensi Basel tentang impor & ekspor limbah scrap logam, Serpong 9 Januari 1996 Djajadiningrat, S.T. : Policy for cleaner production - International seminar on clean products and clean production technologies for sustainable industrial development, DTC ITB - Goethe Institut, Bandung June 15-16, 1994 Ehrenfeld, J.; Bass, J. : Evaluation of remedial action unit operations at hazardous waste disposal sites, Noyes Publications, 1984

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 102

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

Freeman, H.M. : Hazardous waste minimization, McGraw-Hill Book Co, 1990 Freeman, H.M. (Editor in chief) : Standard handbook of hazardous waste treatment and disposal, McGraw-Hill Book Co, 1988 Gagnet, A.J.; Kennedy, M.L. : Government and industry cooperative efforts promoting waste minimization, USAID background paper # 2, Indonesian waste minimization seminar, 1993 Gronow, J.R.; Schofield, A.N.; Jain, R.K. : Land disposal of hazardous waste, John Willey & Sons, 1988 Haas, C.N.; Vamos, R.J. : Hazardous and industrial waste treatment, Prentice Hall Inc, 1995 Hanafia WS, A : Tenaga atom dan aspek keselamatan, Bahan kuliah program pasca sarjana Teknik Lingkungan, Semester II 1995/1996 Hirschorn, J.S. : Benefits from industrial application of waste minimization, USAID background paper # 1, Indonesian waste minimization seminar, 1993 Institution of Civil Engineers : Design and practice guided - contaminated land, Thomas Telford, 1995 International Atomic Energy Agency : Radioactive waste management - an IAEA source book, Vienna 1992 Jackman, A.P.; Powell, R.L. : Hazardous waste treatment technologies, Noyes Publications, 1991 Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup : Kemitraan nasional dalam pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan : Hasil rapat koordinasi nasional I pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan t ahun 1994, Jakarta 22-24 November 1994 Keating, M. : Bumi lestari menuju abad 21, Kohpalindo, 1994 Kiang, Y.H.; Metry, A.A. : Hazardous waste processing technology, Ann Arbor Science, 1982 Kugelman, I.J. (Editor) : Toxic and hazardous wastes, Proceedings of the 17th Mid-atlantic industrial waste conference, Technomic Publishing Co.Inc, 1985 Kusnoputranto, H. : Kualitas limbah rumah sakit dan dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan, Seminar penanganan limbah rumah sakit sebagai upaya mengurangi beban pencemaran lingkungan, Jakarta 14 September 1993 Kusumaatmadja, S. : Cleaner production and clean product, International seminar on clean products and clean production technologies for sustainable industrial development, DTC ITB Goethe Institut, Bandung June 15-16, 1994 LaGrega, M.D. : Hazardous waste management, McGraw-Hill Book Co, 1994 Maes, M. : Dechets industriels, Technique et documentation - Lavoisier, 1986 Mann, R.I. : 1995 Guide to industrial estates in Indonesia, Gateway Books, 1995

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 103

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

Martin, E.J.; Johnson, H.H. : Hazardous waste management engineering, Van Nostrand Reinhold Co, 1987 Masters, G.M. : Introduction to environmental engineering and science, PrenticeHall, Englewood Cliffs, 1991 Meyer, E. : Chemistry of hazardous materials, second edition, Prentice Hall Building, 1989 Ministere de l'evironnenment (France), 1982, Guide pour l'elimination et la valorisation des dechets industriels, Cahiers No. 8, ANRED Moo-Young, M.; Robinson, C.W.; Farquhar, G.J. : Waste treatment and utilization, Pergamon Press, 1980 Nemerow, N.L. : Industrial water pollution, Addison-Wesley Publishing co, 1978 Novotny, V.; Chesters, G. : Handbook of non-point pollution, Van Nostrand Reinhold Co, 1981 Otorita Batam : Rencana detail sistem pengelolaan sampah dan limbah industri di wilayah otorita pengembangan daerah industri pulau Batam, BPP Teknologi, 1993/1994 Patterson, J.W. : Wastewater treatment technology, Ann Arbor Science, 1975 Porteous, A. : Hazardous waste handbook, Butterworths, 1985 Riza V.T. dan Gayatri (Penyunting) : Ingatlah bahaya pestisida - bunga rampai : residu pestisida dan alternatifnya, Pesticide Action Network (PAN) Indonesia, 1994 Rachmawati, E. ; Damanhuri, E. : Pengelolaan terpusat buangan B-3 dari industri kecil, Studi kasus industri kecil di Gerbangkertasusila Jawa Timur, Proceedings seminar nasional pengelolaan lingkungan ITB - Tantangan Masa Depan, ISBN 979-8456-00-9, Bandung1993 Rich, L.G. : Environmental system engineering, McGraw-Hill Ltd, 1973 Ross, R.D. : Industrial waste land disposal, Van Nostrand Reinhold Co, ... Saidi, Z. : Implikasi impor limbah di Indonesia , Proceeding seminar : Waste and sustainable development, Goethe Institut Jakarta - BPP Teknologi - UNESCO, Jakarta Decembre 14-17, 1992 Sharma, H.D.; Lewis, S.P. : Waste containment systems - waste stabilization and landfills, John Wiley & Sons, Inc, 1994 Secretariat d'etat a l'environnement et la qualite de la vie : Analyse et caracterisation des dechets industriels, 1984 Sewell, G.H. : Environmental quality management, Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs, 1975. Shuckrow, A.J.; Pajak, A.P.; Touhill, C.J. : Hazardous waste leachate management manual, Noyes Data Co, 1982 Sittig, M. : Landfill disposal of hazardous wastes and sludges, Noyes Data Co, 1979

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 104

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

Sjblom, K.L.; Linsley, G. : Sea disposal of radioactive wastes - the London Convention 1972, IAEA Bulletin 2/1994 Tchobanoglous, G.; Theisen, H.; Vigil, S.A. : Integrated solid waste management, McGraw Hill Book, 1993 United Nations Economic and Social Council : Review of sectoral clusters, fisrt phase : toxic and chemical and hazardous wastes, E/CN.17/1994/7 USEPA : Handbook of operation and maintenace of hospital medical waste incinerator, EPA/625/6-89/024, January 1990 USEPA : Treatment potential for 56 EPA listed hazardous chemicals in soils, EPA/600/6-88/001 Wagner, T.P. : Hazardous waste identification and classification manual, Van Nostrand Reinhold, 1990 Waxman, M.F. : Hazardous waste site operations, John Wiley and Sons Inc, 1996 Wentz, C.A. : Hazardous waste management, McGraw-Hill Book, 1989 Wilson, D.G. : Handbook of solid waste management, Van Nostrand Reinhold 1977 World Bank - Report no. 12083-IND Indonesia environment and development - challengers for the future, March 21, 1994 World Health Organization : Healthy and productive lives in harmony with nature, Geneva, WHO/EHE/94.1 World Health Organization : Management of waste for hospitals, Report on a WHO meeting, WHO Regional Office for Europe, Copenhage 1983 Anonymous: State of the Environment in Asia and the Pasific, Economic and Social Commision for Asia - the Pasific, New York 1995 Anonymous: Pusat pengolahan limbah industri berbahaya dan beracun (PPLI-B3), PT Prasadhana Pamunah Limbah Industri, ............. Ingatlah behaya pestisida - Bunga rampai - Residu pestisida dan alternatifnya, L. Mott and K. Snyder : Pesticide alert, Pesticide Action Network, 1994

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 105

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

RENCANA KULIAH TL-3204 PENGELOLAAN B3 SEMESTER II - TL FTSL ITB Minggu 1: Pendahuluan Latar belakang, beberapa kasus dunia tentang B3/limbah B3 (Minamata, Love Canal, Kabut dioxin Seveso) Minggu 2: Peraturan dalam pengelolaan B3 Penggunaan bahan kimia, UU-74/2001, karakteristik B3 versi undang-2, Konvesi Stockholm tentang pencemar organik yg persisten Minggu 3: Peraturan dalam pengelolaan limbah B3 Besaran limbah B3, UU-32/2009 ttg LH, uraian lanjut tentang pengelolaan B3 versi PP 18/99 jo PP85/99, mekanisme cradle-to-grave Minggu 4: Pelabelan, penyimpanan dan pengangkutan Dokumen pengangkutan, simbol dan label, pengemasan-pewadahan, pengangkutan Minggu 5: Labeling dan MSDS Karakteristik umum kimia berbahaya, api dan kelas dalam kebakaran, informasi tingkat bahaya, dokumen MSDS Minggu 6: Sifat-sifat berbahaya bahan kimia Bahan kimia korosif, mudah terbakar, reaktif (pada air), toksik, oksidator-reduktor Minggu 7: Bahan kimia organik berbahaya Bahan kimia turunan hidrokarbon, pestisida, bahan kimia industri, produk yang tidak sengaja dihasilkan Minggu 8: Ujian Tengah Semester. Tugas A masuk Mingu 9: Bahan radio aktif dan limbahnya Sifat-sifat radioaktif (isotop, peluluhan, ---- ), unit satuan, pengelolaan limbah radioaktif (sumber, penyimpanan, pengolahan, -----) Minggu 10: Idem minggu sebelumnya Minggu 11: Limbah berbahaya kegiatan medis dan rumah tangga Sumber limbah medis, penggolongan limbah, penanganan limbah medis, limbah berbahaya dari rumah tangga, penanganan Minggu 12 sampai Minggu 14: diskusi kelompok Tugas B

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 106

Diktat Pengeloaan B3 Versi 2010

TUGAS A Mahasiswa diminta membuat paper yang membahas sebuah bahan berbahaya dari berbagai literatur atau dari website, selengkap-lengkapnya seperti diuraikan dalam Bagian II, Bagian IV dan Bagian V. Referensi harus jelas dicantumkan. TUGAS B Merupakan tugas kelompok maksimum beranggotakan 10 orang. Mahasiswa diminta membuat paper yang membahas sebuah bahan atau limbah, khususnya yang biasa dijumpai sehari-hari, seperti aki bekas, oli bekas, bahan kimia di laboratorium, dan sebagainya, lalu mengaitkan dengan kasus yang pernah terjadi baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang muncul di masmedia, atau dalam laporan-laporan yang bisa diperoleh di website. Bahasan-bahasan tersebut harus cukup komprehensif, termasuk bagaimana seharusnya mengelola dan menghindari terjadinya permasalahan, khususnya dengan memasukkan ulasan-ulasan ataupun gagasangagasan yang didasarkan atas tulisan-tulisan seperti peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia atau di negara lain atau dari buku-buku referensi, atau dari karya ilmiah mahasiswa (Tugas Akhir, Tesis, Disertasi) yang ada di perpustakaan, atau dari bahanbahan lainnya yang dapat mendukung ulasan-ulasan tersebut. Referensi harus jelas tercantum. Naskah tertulis tersebut kemudian dibuatkan bahan presentasinya, misalnya Power Point, untuk dipresentasikan dan didiskusikan di kelas.

Enri Damanhuri - FTSL ITB

Halaman 107

You might also like