You are on page 1of 53

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA DEPRESI DAN GEJALA SOMATISASI PADA LANSIA 60 TAHUN DI PSTW MARGAGUNA WILAYAH GANDARIA SELATAN KECAMATAN CILANDAK, JAKARTA SELATAN TAHUN 2012

Pembimbing : Dr.Oktavianus Ch.Salim Dr. Titta Gusni Salim

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PUSKESMAS KECAMATAN CILANDAK PERIODE 12 NOVEMBER 2012 19 JANUARI 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

ABSTRACT Objective: To examine the relationship between depression and somatization in the elderly as rated by primary care physicians. Introduction: Depression is a common feature of somatization, and, in a majority of cases, the clinical presentation of depression is dominated by somatic symptoms such as headache, constipation, weakness, or general aches and pains. A further understanding of the identification of depression and/or somatization in primary care among older adults is an advantage in designing a mental health intervention appropriate to primary care settings. Prior research has noted a close link between somatization and depressive disorders in the elderly,18 building on the historical view that masked depression underlies somatization. Method: This study was a cross-sectional survey of 128 older adults with and without significant depressive symptoms. Physicians ratings of somatization and depression were obtained for 105 of the 128 patients, with 23 respondents who have exclusion criteria. Patients were sorted into 4 groups on the basis of physician ratings (no depression/no somatization, somatization only, depression only, and both somatization and depression). Data were collected from November 2012 until January 2013. Results: Patients who were rated as somatizing were 23.8%, compared to elderly that be rated as depressed as well as somatizing which is count as 50.5%. A comparison of the 4 groups defined by physicians ratings found that functional status, number of medical conditions, and depressive symptoms were statistically significantly different (P < .05). Conclusions: Our study fills a gap in the literature by focusing on the primary care physician ratings of depression and somatization, and also specifically on older primary care patients. Elderly with good functional status and has no chronic physical health are less likely to be rated as depressed, but this may reflect the tendency of doctors to rate them as somatizing. And, there is significant correlation between depression and somatization.

KEYWORDS: Somatization; Depression; Functional Status; Physical Health; Elderly.


2

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

ABSTRAK Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara depresi dan somatisasi pada orang tua seperti yang dinilai oleh dokter pada pusat pelayanan primer. Pendahuluan : Depresi adalah fitur umum dari somatisasi, dan, dalam sebagian besar kasus, presentasi klinis depresi didominasi oleh gejala somatik seperti sakit kepala, sembelit, lemah, atau sakit umum dan nyeri. Pemahaman lebih lanjut dari identifikasi depresi dan / atau somatisasi dalam perawatan primer di antara orang dewasa yang lebih tua adalah keuntungan dalam merancang intervensi kesehatan mental yang tepat untuk pengaturan perawatan primer. Penelitian sebelumnya mencatat hubungan erat antara somatisasi dan gangguan depresi di gedung tua, 18 pada pandangan sejarah yang "depresi bertopeng" mendasari somatisasi. Metode : Penelitian ini adalah survei cross-sectional dari 128 orang dewasa dengan dan tanpa gejala depresi yang signifikan. Pada penelitian somatisasi dan depresi dinilai pada 105 dari 128 pasien yang memenuhi kriteris inklusi, dengan 23 responden yang memiliki kriteria eksklusi. Pasien diurutkan menjadi 4 kelompok (tidak depresi / somatisasi tidak, hanya somatisasi, depresi saja, dan keduanya somatisasi dan depresi). Data dikumpulkan dari bulan November 2012 sampai dengan Januari 2013. Hasil : Pasien yang dinilai sebagai somatisasi adalah 23,8%, dibandingkan dengan lansia yang harus dinilai sebagai depresi serta somatizing yang dihitung sebagai 50,5%. Sebuah perbandingan dari 4 kelompok didefinisikan oleh peneliti menemukan bahwa status fungsional, faktor kondisi medis, dan gejala depresi secara statistik berbeda nyata (P <.05). Kesimpulan : Studi kami mengisi kesenjangan dalam literatur dengan berfokus pada peringkat dokter perawatan primer terhadap depresi dan somatisasi, dan juga khusus pada pasien lansia. Lansia dengan status fungsional yang baik dan tidak memiliki kesehatan fisik kronis cenderung tidak dinilai sebagai depresi, tapi ini mungkin mencerminkan kecenderungan dokter untuk menilai mereka sebagai somatisasi. Dan, ada hubungan yang signifikan antara depresi dan somatisasi.

KEYWORD : Somatisasi; Depresi; Status Fungsional; Penyakit Kronis; Lansia.

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG1, 2, 3,4 Lanjut usia (lansia) merupakan komunitas yang seringkali kurang diperhatikan bahkan mungkin terabaikan terutama di negara negara dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah. Padahal sejauh ini jumlah lansia dari waktu ke waktu makin meningkat seiring dengan usaha pemerintah dalam meningkatkan kualitas kesehatan penduduk serta meningkatkan umur harapan hidup manusia. Pada tahun 1971, jumlah penduduk yang berusia 65 tahun baru mencapai 2,98 juta ( 2,5 % dari populasi), meningkat menjadi 6.98 juta ( 3,88 %) ditahun 1990. Menurut perkiraan WHO (1987), menjelang tahun 2000 jumlah lansia sebesar 600 juta jiwa (20 juta bermukim di Indonesia). Berdasarkan data tentang kesejahteraan sosial lansia Indonesia (Depsos 1997), jumlah lansia akan berlipat dari 13 juta jiwa (6 % penduduk) pada tahun 1996 menjadi 38 juta (13 %) ditahun 2025. Melihat kenyataan tersebut, banyak negara negara maju yang mulai bahkan sudah memberikan pelayanan khusus bagi para lansia. Tidak hanya melalui bidang kesehatan, namun hal hal lainnya seperti fasilitas umum untuk lansia, pembinaan dan perdayagunaan para lansia. Memang tidak dapat dipungkiri hal tersebut sulit dilaksanakan di negara negara berkembang dan miskin, oleh karena banyaknya permasalahan yang dialami negara negara tersebut. Di sisi lain tidak ada salahnya bila memulai untuk memberikan perhatian tersebut walaupun dengan cara yang sederhana, sebagai upaya peningkatan kualitas hidup para lansia melalui berbagai aspek permasalahan dari lansia itu sendiri. Depresi adalah suatu kondisi yang lebih dari suatu keadaan sedih, bila kondisi depresi seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial sehari-harinya maka hal itu disebut sebagai suatu gangguan depresi. Beberapa gejala gangguan depresi adalah perasaan sedih, rasa lelah yang berlebihan setelah aktivitas rutin yang biasa, hilang minat dan semangat, malas beraktivitas, dan gangguan pola tidur. Depresi merupakan salah satu penyebab utama kejadian bunuh diri. Gejala-gejala tersebut juga harus menyebabkan gangguan jiwa yang cukup besar dan signifikan

1.1

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

sehingga menyebabkan gangguan nyata dalam kehidupan sosial, pekerjaan atau area penting dalam kehidupan seseorang. Depresi dapat dilihat dari beberapa variabel seperti status keluarga, status ekonomi, pekerjaan, agama, kehidupan sosial, tingkat emosional dan kesehatan. Dari beberapa variabel tersebut, yang lebih sering digunakan dalam penelitian adalah status keluarga, status ekonomi, pekerjaan, dan agama. Somatisasi adalah gangguan psikis yang menyebabkan gangguan fisik. Pendek kata, somatisasi adalah istilah umum yang menggambarkan adanya gejala medis dijelaskan dan menyiratkan komponen psikologis dengan gejala adalah penyakit fisik yang disebabkan oleh pikiran negatif dan/atau masalah emosi. Masalah emosi itu antara lain rasa berdosa, merasa punya penyakit, stress, depresi, kecewa, kecemasan atau masalah emosi negatif lainnya. Gangguan ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa, anak-anak pun bisa mengalaminya. Perlu diketahui bahwa pikiran dapat menyebabkan gejala fisik. Sebagai contoh, ketika seseorang takut atau cemas dapat memacu detak jantung yang cepat, jantung berdebar, merasa sakit, gemetar (tremor), berkeringat, mulut kering, sakit dada, sakit kepala, dan bernafas cepat. Gejala-gejala fisik tersebut melalui saraf otak mengirim impuls tersebut ke berbagai bagian tubuh, dan pelepasan adrenalin ke dalam aliran darah.

I.2 RUMUSAN MASALAH 1. Apakah terdapat hubungan antara depresi dan gejala somatisasi pada lansia 60 tahun di PSTW Margaguna Wilayah kelurahan Gandaria Selatan, Kecamatan

Cilandak? I.3 TUJUAN PENELITIAN I.3.1 Tujuan umum

Agar tercapainya kesadaran masyarakat tentang pengaruh depresi sehingga bisa menimbulkan gejala somatisasi pada lansia supaya bisa menurunkan angka depresi pada lansia.

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

I.3.2

Tujuan Khusus

a) Mengidentifikasi jumlah lansia di Panti Jompo Kelurahan Gandaria Selatan yang mempunyai depresi dengan gejala somatisasi. b) Mengidentifikasi jumlah lansia di Panti Jompo Kelurahan Gandaria Selatan yang mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi. c) Mengetahui apakah ada hubungan antara depresi dan gejala somatisasi pada lansia 60 tahun di Panti Jompo Kelurahan Gandaria Selatan.

I.4 HIPOTESIS 1. Terdapat hubungan antara depresi dan gejala somatisasi pada lansia 60 tahun di PSTW Margaguna Kelurahan Gandaria Selatan.

I.5 MANFAAT PENELITIAN I.5.1 Bagi akademik/ilmiah

Memberi informasi tentang keadaan depresi sehingga menimbulkan gejala somatisasi pada lansia 60 tahun. Dapat menambah bahan pustaka bagi Lembaga pendidikan, Puskesmas dan Panti Jompo Gandaria Selatan mengenai depresi dan gejala somatisasi pada lansia 60 tahun.

I.5.2

Bagi pelayanan masyarakat

Mengetahui hubungan depresi dengan timbulnya gejala somatisasi pada lansia 60 tahun. Mengetahui hubungan faktor penyakit kronis dan depresi dengan timbulnya gejala somatisasi pada lansia 60 tahun. Mengetahui hubungan faktor status fungsional dan depresi dengan timbulnya gejala somatisasi pada lansia 60 tahun. Merupakan pengalaman yang berharga dalam melakukan penelitian dan dapat digunakan di kemudian hari.

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

I.5.3

Bagi pengembangan penelitian

Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hubungan depresi dan gejala somatisasi bagi meningkatkan kualitas hidup lansia. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pengaruh faktor penyakit kronis dan status fungsional dengan depresi bagi meningkatkan kualitas hidup lansia. Institusi yang terkait dapat melakukan usaha promotif dan preventif berkenaan masalah depresi dan gejala somatisasi.

I.6 RUANG LINGKUP I.6.1 Ruang lingkup tempat PSTW Margaguna Wilayah Kelurahan Gandaria Selatan Kecamatan Kelurahan Cilandak, Jakarta Selatan, Indonesia. I.6.2 Ruang lingkup waktu Pada bulan November 2012- Januari 2013 I.6.3 Ruang lingkup Materi Materi dibatasi pada pengaruh depresi terhadap timbulnya depresi dengan gejala somatisasi pada lansia 60 tahun di PSTW Margaguna Wilayah

Kelurahan Gandaria Selatan

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1.1 SOMATISASI Pendahuluan Istilah "somatisasi" menggambarkan kecenderungan untuk mengalami tekanan psikologis dan berkomunikasi dalam bentuk gejala fisik. Gejala somatik sering terjadi sebagai reaksi terhadap situasi stres dan tidak dianggap abnormal jika mereka terjadi secara sporadis. Beberapa individu, bagaimanapun, mengalami terus gejala somatik, menghubungkannya dengan penyakit fisik terlepas dari adanya temuan medis, dan mencari perawatan medis bagi mereka. Somatisasi juga dapat hidup berdampingan dengan penyakit medis, tetapi ketika itu terjadi dibuktikan dengan gejala yang tidak sesuai dengan temuan-temuan medis.2 2.1.2 Epidemiologi Somatisasi yang persisten mempengaruhi persentase yang signifikan dari pasien dalam pengaturan perawatan primer, dan berhubungan dengan tekanan yang cukup besar dan cacat. Dalam sebuah penelitian terbaru dari 1.456 pasien perawatan primer, 22 persen ditemukan memiliki beberapa gejala persisten, gejala kecacatan dan medis dijelaskan yang menyebabkan kunjungan ke dokter. Dalam sampel dari 271 pasien di praktik Associates in Internal Medicine (AIM), dokter perawatan primer mengidentifikasi 24 persen pasien yang memiliki riwayat gejala medis yang tidak dapat dijelaskan beberapa. Somatisasi menyebabkan penggunaan perawatan medis berlebihan dan sering meyebabkan meningkatnya angka rawat inap, tes medis yang tidak perlu dan prosedur pasien tempat beresiko untuk komplikasi iatrogenik. Kadang-kadang, penyakit medis mungkin salah didiagnosis sebagai somatisasi. Selain itu, perawatan pasien dengan somatisasi sering membuat pasien dan dokter frustasi. 2

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

2.1.3. Etiologi 2, 13,14, 15 Somatisasi meliputi sejumlah kondisi heterogen dengan berbagai faktor etiologi yang diusulkan, lebih dari satu yang mungkin terlibat dalam presentasi pasien tertentu. Dalam beberapa kasus, somatisasi mungkin akibat dari sistem otonom di bawah pengaruh stres atau kecemasan - misalnya, stres-induced motilitas esofagus meningkat dapat menyebabkan nyeri dada, dan alkalosis respiratori karena hiperventilasi dapat menyebabkan parestesia. Bahkan, somatisasi umumnya dipicu oleh peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian, penyakit fisik
12,13

, dan

pecahnya hubungan. Somatisasi juga dapat merupakan manifestasi dari depresi atau gangguan kecemasan. Faktor sosiokultural tambahan dapat berkontribusi, seperti yang ditunjukkan oleh temuan bahwa dijelaskan gejala somatik lebih banyak terjadi di beberapa kelompok budaya, termasuk Hispanik dan Asia 15. Dalam masyarakat di mana penyakit mental adalah stigmatisasi, somatisasi dapat memberikan cara yang diterima secara sosial untuk berkomunikasi tertekan. Sebuah bentuk yang lebih ekstrim tapi jarang somatisasi, gangguan somatisasi, tampaknya memiliki komponen genetik, hal ini didukung oleh penelitian adopsi menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi perilaku antisosial pada orang tua biologis diadopsi-jauh wanita13 dengan gangguan somatisasi. Penelitian lain telah menunjukkan bahwa hypochondriasis dan somatisasi berhubungan dengan riwayat trauma masa kecil - seperti pelecehan seksual atau fisik -. Dan dengan pengalaman traumatis di masa dewasa, Paparan penyakit kronis orang tua atau perilaku penyakit masa kanak-kanak juga meningkatkan risiko somatisasi di masa dewasa , menunjukkan bahwa perilaku yang dipelajari selama pengembangan mungkin memainkan peran. Kemudian dalam hidup, perilaku penyakit dapat dipertahankan oleh reinforcers eksternal - keluarga, dokter, atau pembayaran cacat. Pada pasien dengan gejala konversi, teori psikoanalitik telah mengusulkan bahwa gejala dapat "menyelesaikan" konflik tak sadar (keuntungan primer), misalnya, seseorang bisa mengalami kelemahan lengan setelah marah ingin meninju teman tapi takut konsekuensi dari tindakan ini. Keuntungan sekunder mengacu pada manfaat sadar bahwa pasien berasal dari peran sakit. Istilah ini sering disalahgunakan untuk

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

menunjukkan mengejar sadar insentif eksternal, seperti sengaja menghindari pekerjaan atau menghindari tuntutan pidana. Hal ini sering sulit untuk memastikan apakah motivasi pasien sadar atau tidak. Dengan tidak adanya insentif eksternal, menjalani hidup sebagai orang sakit tidak bisa menjadi pilihan sadar menarik untuk pasien dengan somatisasi kronis.2 2.1.4 Diagnosis Evaluasi dasar sering dapat dilakukan selama kunjungan pasien pertama. Penilaian lebih lanjut pada umumnya terus selama kunjungan berikutnya, terutama dalam kasus-kasus yang lebih kompleks. Evaluasi Pasien harus mencakup riwayat lengkap, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium yang tepat untuk menyingkirkan penyakit fisik yang mendasari. Pasien dengan penyakit yang cenderung hadir awalnya dengan gejala nonspesifik atau samar, seperti multiple sclerosis atau lupus eritematosus, dapat keliru diidentifikasi sebagai somatizers, Sementara melanjutkan dengan kesehatan bekerja-up., Dokter secara bersamaan harus mencari bukti tekanan psikologis. dan tetap menyadari bahwa gejala somatik "tidak hanya indeks penyakit atau gangguan tetapi bagian dari bahasa tertekan dengan makna sosial interpersonal dan luas" bahwa dokter "harus belajar untuk memecahkan kode." Langkah-langkah berikut harus memandu evaluasi pasien dengan sulit-untuk-menjelaskan gejala somatik:2 Seperti halnya dalam wawancara medis, mulai dengan mengajukan pertanyaan terbuka. Jawaban pasien dapat menghasilkan informasi spontan tentang konteks munculnya gejala dan bagaimana gejala tersebut mempengaruhi pasien. Pertanyaan terbuka juga memfasilitasi pembentukan aliansi dengan pasien. Perhatikan masalah psikososial yang menonjol atau stres dalam kehidupan pasien, dan khususnya kepada mereka yang muncul temporal terkait dengan onset atau eksaserbasi dari penyelidikan symptomsunder. Seperti disebutkan di atas, contoh termasuk dukacita, penyakit fisik, dan pecahnya hubungan. Contoh lain mungkin stres kumulatif akibat imigrasi ke negara baru. Stressors dapat lebih mudah diidentifikasi ketika somatisasi adalah onset yang relatif
10

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

baru. Pasien mungkin tidak sukarela memberi informasi psikososial, dan bahkan jika mereka melakukannya, mereka mungkin tidak menyadari hubungan antara peristiwa tertentu dalam kehidupan mereka dan munculnya gejala. stres. 2 Jika pasien menangis, mengeksplorasi secara lembut perasaan pasien sambil memberikan empati dan dukungan. Cari tahu apa pasien berpikir mungkin menyebabkan gejala-gejala dan jika pasien tahu orang lain dengan masalah seperti ini (model gejala). Menanyakan tentang sejarah kemungkinan kekerasan domestik atau kekerasan seksual masa kecil, mengingat hubungan antara gejala somatik dijelaskan dan riwayat penyalahgunaan. Menanyakan tentang dukungan sosial pasien. Pertimbangkan mendapatkan informasi agunan dalam kasus-kasus yang lebih kompleks. Tentukan apakah pasien tampaknya memiliki gejala somatik akut sebagai manifestasi dari gangguan psikososial saat ini atau kronis, gejala somatik (ini juga dapat dikaitkan dengan gangguan psikososial). Bahkan jika gejala muncul menjadi akut, menentukan apakah pasien memiliki sejarah masa lalu somatisasi - mungkin dalam pengaturan gangguan penyesuaian masa lalu atau episode depresi utama. Carilah bukti gangguan kejiwaan saat ini, karena somatisasi bukanlah diagnosis sebenarnya tapi ekspresi nonspesifik kondisi beberapa kemungkinan. Hal ini membantu untuk mendapatkan riwayat psikiatri masa lalu, karena episode gangguan kejiwaan cenderung berulang. Menentukan apakah presentasi saat pasien cocok dengan salah satu dari empat kategori utama berikut: reaksi normal terhadap situasi stres, gangguan penyesuaian, somatisasi karena depresi berat atau gangguan kecemasan, atau bentuk utama somatisasi kronis (gangguan somatoform). Perhatikan kemungkinan gejala psikotik atau penyalahgunaan zat. Pertimbangkan mendapatkan konsultasi kejiwaan untuk memperjelas diagnosis pasien dalam kasus-kasus yang kompleks. 2
11

Dari

catatan,

mengidentifikasi

endapan

psikososial

tidak

mengesampingkan penyakit fisik, karena penyakit fisik juga dapat dipicu oleh

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

2.1.5 Diagnosa Banding 2 Somatisasi dan Penyesuaian Disorder: Meskipun gejala medis dijelaskan tidak secara eksplisit disebutkan dalam definisi DSM-IV Disorder Penyesuaian, gejala somatik akut adalah respon yang umum terhadap stres. Gangguan penyesuaian didefinisikan sebagai gejala emosional atau perilaku klinis yang signifikan dalam respon terhadap stressor psikososial diidentifikasi atau stres., Pasien dengan kondisi ini mungkin menunjukkan perasaan depresi, kecemasan atau keduanya. Menurut definisi, gejala gangguan penyesuaian tidak bertahan lebih dari enam bulan setelah stressor telah berakhir dan tidak memenuhi kriteria untuk keparahan depresi berat atau gangguan kecemasan. Somatisasi dan Gangguan Mood: Gangguan mood umumnya terkait dengan gejala somatik dijelaskan meliputi Depresi Mayor dan Gangguan dysthymic. Pasien dengan depresi saat ini atau masa lalu melaporkan angka yang lebih tinggi dari gejala somatik dibandingkan pasien tanpa gangguan mood. Nyeri merupakan gejala yang sangat umum dalam depresi, misalnya nyeri punggung, sakit kepala dan nyeri otot, Lebih dari setengah pasien depresi. melaporkan gejala nyeri, dan wanita mungkin lebih mungkin dibandingkan pria untuk menunjukkan rasa sakit sebagai gejala depresi., Depresi dapat menurunkan ambang nyeri dari etiologi apapun. Studi juga menemukan bahwa depresi dikaitkan dengan kekhawatiran penyakit dan pandangan negatif dari kesehatan seseorang. Ini berarti bahwa beberapa pasien yang tampaknya menderita hypochondriasis sebenarnya mungkin memiliki depresi berat. Pada pasien depresi, baik khawatir penyakit dan pelaporan gejala fisik berkurang dengan pengobatan depresi. Bab 30 ulasan penilaian pasien untuk depresi berat atau gangguan dysthymic.2 Somatisasi dan Kecemasan Gangguan: Kebanyakan pasien dengan Panic Disorder melaporkan terutama gejala somatik. Hal ini membuat mereka rentan terhadap underdiagnosis. Seringkali, setelah medis
12

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

negatif bekerja-up, pasien diberikantahu bahwa mereka tidak memiliki bukti kondisi medis, namun gangguan panik tetap tidak terdiagnosis dan tidak diobati. Serangan panik episodik dan dapat mencakup berbagai gejala seperti nyeri dada, takikardia, mual, pusing, sesak napas, mati rasa, atau kesemutan, antara lain. Dalam satu studi, 30 sampai 50 persen pasien rawat jalan dengan nyeri dada dan negatif pekerjaan-up untuk penyakit arteri koroner ditemukan memiliki gangguan panik. Beberapa pasien dengan sindrom iritasi usus besar juga ditemukan memiliki gangguan panik. Gejala sering menyelesaikan dengan pengobatan gangguan panik. Pengobatan gangguan panik juga meningkatkan kekhawatiran hypochondriacal. Gangguan kecemasan lain yang dapat hadir dengan gejala somatik dijelaskan dalam pengaturan perawatan primer meliputi Anxiety Disorder Generalized dan Post traumatic Stress Disorder. Gangguan somatoform: Gangguan somatoform adalah sekelompok gangguan heterogen ditandai dengan gejala-gejala fisik yang menunjukkan kondisi medis umum, tetapi tidak sepenuhnya dijelaskan oleh kondisi medis umum, efek dari zat, atau gangguan mental. Gejala tidak sengaja diproduksi dan menyebabkan penderitaan yang signifikan atau penurunan fungsi. Sebuah gangguan somatoform didiagnosis hanya jika gejala medis dijelaskan tidak terutama hasil dari yang lain gangguan kejiwaan, seperti depresi berat atau gangguan panik. Namun, depresi berat atau gangguan panik dapat hidup berdampingan dengan salah satu gangguan somatoform. Gangguan somatoform meliputi Disorder somatisasi, tak Teruraikan Disorder somatoform, hypochondriasis, Disorder Sakit, Tubuh dismorfik Disorder, Disorder Konversi, dan Gangguan somatoform Not Otherwise Specified. Gangguan ini dikelompokkan bersama-sama didasarkan pada utilitas klinis daripada etiologi bersama atau patofisiologi. Somatisasi Disorder: Gangguan somatisasi adalah suatu kondisi kronis dengan waxing dan waning saja. Pasien memiliki beberapa keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan secara medis. Meskipun definisi oleh keluhan-keluhan fisik harus dimulai sebelum usia 30, gejala biasanya dimulai pada usia remaja atau awal dua puluhan. Gejala menyebabkan

13

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

pasien untuk mencari pengobatan atau mengakibatkan penurunan yang signifikan dalam fungsi sosial atau pekerjaan. Jika pasien memiliki kondisi medis hidup berdampingan, keluhan fisik atau tingkat penurunan yang lebih dari apa yang diharapkan dari sejarah, pemeriksaan fisik, atau tes laboratorium. Dalam rangka memenuhi kriteria DSM-IV untuk gangguan somatisasi, pasien harus memiliki riwayat setidaknya empat gejala nyeri, dua gejala gastrointestinal selain nyeri, satu gejala seksual, dan satu gejala pseudoneurological (misalnya kelemahan atau penglihatan ganda) dari waktu ke waktu. Pasien melihat diri mereka sebagai "sakitsakitan" dan sering memiliki masalah psikososial beberapa. 2 2.1.6 Penatalaksanaan Penatalaksanaan pasien dengan gejala somatisasi merupakan sebuah tantangan tersendiri dimana pasien biasanya menolak untuk berobat kepada psikiater.3 1. Interaksi dokter dengan pasien.

Pasien gangguan somatisasi paling baik diobati jika mereka memiliki seseorang dokter tunggal sebagai perawat kesehatan utamanya1. Hubungan ini harus memiliki dipertahankan terus dan dokter harus mempunyai empati terhadap pasien3. Kunjungan harus relatif singkat dan dilakukan pemeriksaan fisik lengkap dengan meminimalisasi pemeriksaan laboratorium dan penunjang diagnostik.1 2. Psikoterapi individu dan kelompok.

Dapat membantu pasien mengatasi gejalanya untuk mengekspresikan emosi yang mendasari dan mengembangkan strategi alternatif untuk mengekspresikan perasaan mereka1. Biasanya pasien merasa ditolak, tidak dimengerti dan diasingkan dari pergaulan, oleh karena itu terapi kelompok dapat mengatasi hal tersebut.3 3. Farmakoterapi.

Memberikan medikasi psikotropik bilamana gangguan somatisasi ada bersamasama dengan gangguan mood atau kecemasan adalah selalu memiliki resiko1 tetapi pengobatan psikofarmakologis, dan juga pengobatan psikoterapetik, pada
14

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

gangguan penyerta adalah diindikasikan1,3. Medikasi harus dimonitor, karena pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat secara berlebihan dan tidak dapat dipercaya.1 2.2 2.2.1 DEPRESI Definisi mood depresif,

Depresi adalah gangguan mental umum yang ditandai dengan

hilangnya minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau merasa tidak berharga, gangguan tidur atau nafsu makan, kelelahan atau hilangnya energi, hilangnya kemampuan untuk berpikir atau memusatkan perhatian1. Depresi secara umum adalah keadaan emosional yang dicirikan dengan kesedihan, berkecil hati, perasaan bersalah, penurunan harga diri, ketidakberdayaan, keputusasaan. Depresi adalah suatu gangguan keadaan tonus perasaan yang secara umum ditandai oleh rasa sedih, apatis, pesimis, dan kesepian yang mengganggu aktifitas sosial dalam sehari-hari. 2.2.2 Klasifikasi Gangguan depresi pada usia lanjut ditegakkan berpedoman pada PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III) yang merujuk pada ICD 10 (International Classification of Diseases 10). Gangguan depresi

dibedakan dalam depresi ringan, sedang dan berat sesuai dengan banyak dan beratnya gejala serta dampaknya terhadap fungsi kehidupan seseorang. Pedoman diagnostik lainnya adalah DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV). (Depkes. 1999). Klasifikasi Depresi Menurut ICD 10 1. 2. Episode depresi berat, ringan, sedang dan lainnya. Gangguan afektif bipolar. Terdapat episode berulang, pada waktu tertentu terdapat peningkatan afek disertai penambahan energi dan aktifitas (mania atau hipomania), dan pada

15

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

waktu lain berupa penurunan afek disertai pengurangan energi dan aktifitas (depresi). 3. Gangguan depresi berulang Terdapat episode berulang dari episode depresi ringan, sedang, berat. 4. Keadaan mood/afektif menetap termasuk distimia. Siklotimia : ketidakstabilan menetap dari afek (suasana perasaan), meliputi banyak periode depresi ringan dan hipomania ringan. Distimia : afek depresif yang berlangsung sangat lama yang tidak pernah atau jarang sekali cukup parah. 5. Gangguan mood lainnya

Klasifikasi Depresi Menurut DSM IV 5 1. 2. Gangguan depresi: depresi berat, distimia, depresi lain yang tak tergolongkan Gangguan bipolar: gangguan bipolar I (mania biasanya dengan depresi), gangguan bipolar II (depresi dengan hipomania) 3. 4. 5. 6. 2.2.3 Gangguan siklotimik Gangguan bipolar yang tak tergolongkan Gangguan bipolar yang disebabkan oleh kondisi medik umum Gangguan mood lainnya Etiologi

Faktor penyebab timbulnya gangguan depresif pada orang usia lanjut bisa berupa: 1. Faktor Biologis a. Faktor Genetis

16

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

Diduga gen dominan yang berperan pada depresi ini terikat pada kromosom 11 Gangguan ini diturunkan dalam keluarga. Jika salah seorang dari orang tua mempunyai riwayat depresi maka 27 % anaknya akan menderita gangguan tersebut. Sedangkan bila kedua orang tuanya menderita depresi maka kemungkinanya meningkat menjadi 50 75% 6. Dari segi aspek faktor genetis, menurut suatu penelitian dinyatakan bahwa gen-gen yang berhubungan dengan risiko yang meningkatkan untuk lesi kardiovaskular dapat meningkatkan kerentanan untuk timbulnya gangguan depresif. Penelitian lain melaporkan bahwa predisposisi genetis untuk gangguan depresif mayor pada orang usia lanjut dapat dimediasi oleh adanya lesi vaskular 7. b. Gangguan pada Otak Antara lain yang termasuk dalam gangguan pada otak sebagai salah satu penyebab timbulnya gangguan depresif pada orang usia lanjut adalah penyakit serebrovaskular, yang mana gangguan ini dapat sebagai faktor predisposisi, presipitasi atau mempertahankan gejala-gejala gangguan depresif pada orang usia lanjut 7. c. Gangguan Neurotransmitter / Biogenik Amin Istilah biogenik amin umumnya digunakan untuk komponen katekolamin, norepinefrin, epinefrin, dopamin dan serotonin. Sistem neuron menggunakan biogenik amin relatif kecil dalam sekelompok sel yang berada di batang otak. Biogenik amin ini dilepaskan dalam ruang sinaps sebagai neurotransmiter.

Neurotransmiter yang banyak berperan pada depresi adalah norepinefrin dan serotonin. Pada penelitian postmortem didapatkan penurunan konsentrasi serotonin dalam otak penderita depresi. Selain itu juga ditemukan adanya penurunan aktivitas dopaminergik. Hal ini mendukung hipotesis bahwa gangguan depresi berhubungan dengan biogenik amin 6. Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Robinson, dkk., mendapatkan bahwa konsentrasi norepinephrin dan serotonin berkurang sesuai dengan

17

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

bertambahnya usia, tetapi metabolit 5-HIAA dan enzim monoamineoksidase meningkat sesuai pertambahan usia 7. d. Perubahan Endokrin Pada depresi ditemukan hiperaktivitas aksis sistem limbik -hipotalamushipofisis-adrenal yang menyebabkan peningkatan sekresi kortisol. Selain itu juga ditemukan juga penurunan hormon lain seperti GH, LH, FSH, dan testosterone 6. Dalam hal ini terutama adalah keterlibatan penurunan kadar hormon estrogen pada wanita, testosteron pada pria, dan hormon pertumbuhan pada pria dan wanita. Penurunan kadar hormon tersebut sejalan dengan perubahan fisiologis karena pertambahan usia. Sehingga dengan bertambahnya usia, proses degenerasi sel-sel dari organ tubuh makin meningkat, termasuk di antaranya meningkatnya proses degenerasi sel-sel organ tubuh yang memproduksi hormon tersebut makin berkurang. Dengan penurunan kadar hormon tersebut, hal ini akan mempengaruhi produksi neurotransmitter terutama serotonin dan norepinephrin 7. e. Masalah kesehatan Penyakit dan kecacatan, nyeri yang hebat dan kronis, kemunduran kognitif serta kerusakan bagian tubuh yang disebabkan karena pembedahan atau penyakit dapat menyebabkan individu lanjut usia jatuh ke dalam kondisi depresi. Kondisi medis yang dapat menyebabkan depresi 8 : 1) Infeksi virus 2) Gangguan endokrin tertentu (misal gangguan tiroid, Cushings syndrome, insufisiensi kelenjar adrenal, hiperparathyroidisme) 3) Keganasan 2. Faktor Psikologis: Dapat berupa penyimpangan perilaku, psikodinamik, dan kognitif 7. a) Teori Perilaku

18

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

Dari konsep teori perilaku terjadinya gangguan depresif pada individu usia lanjut oleh karena orang-orang usia lanjut cukup banyak mengalami peristiwaperistiwa kehidupan yang tidak menyenangkan atau yang cukup berat sehingga terjadinya gangguan depresif tersebut sebagai respons perilaku terhadap stressorstressor kehidupan yang dialaminya tersebut. Penelitian lain melaporkan bahwa ada kaitan terjadinya gangguan depresif pada orang usia lanjut dengan sejumlah peristiwa kehidupan yang negatif yang dialami individu usia lanjut. b) Teori Psikodinamis Berdasarkan teori psikodinamis, terjadinya gangguan depresif pada orang usia lanjut, oleh karena pada orang usia lanjut sering terjadi ketidaksanggupan untuk menyelesaikan pencarian pemulihan sekunder dari peristiwa-peristiwa kehilangan yang tak terelakkan oleh individu tersebut. c) Teori Kognitif Salah satu teori psikologis tentang terjadinya gangguan depresif adalah terjadinya distorsi kognitif. Dalam hal ini berkaitan dengan bagaimana interpretasi seseorang terhadap peristiwa-peristiwa kehidupan yang dialaminya. Terjadinya distorsi kognitif pada orang usia lanjut oleh karena pada individu usia lanjut tersebut memiliki harapan-harapan yang tidak realistis dan membuat generalisasi yang berlebih-lebihan terhadap peristiwa kehidupan tertentu yang tidak menyenangkan individu tersebut. Kondisi-kondisi psikologis lain yang memungkinkan sebagai penyebab depresi adalah : a) Menurunnya perasaan berguna Perasaan tidak berguna atau kehilangan identitas berkaitan dengan kemuduran atau keterbatasan fisik dalam beraktifitas.10

19

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

b) Ketakutan akan kematian atau ketidakberdayaan, kecemasan atas masalah keuangan atau problem kesehatan.10 c) Kekurangan kemampuan untuk mengadakan hubungan intim. d) Kepribadian premorbid Tipe kepribadian tertentu seperti kepribadian dependen, obsesi kompulsif dan histrionik mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi depresi dibanding dengan kepribadian anti sosial dan paranoid.6 e) Faktor psiko-analitik Menurut Karl Abraham manifestasi penyakit depresi dicetuskan karena kehilangan objek libidinal yang berakhir dalam suatu proses regresi di mana terjadi penurunan fungsi ego yang telah matang ke tingkat oral sadistik dari tingkat perkembangan libidinal akibat trauma infantil yang menyebabkan proses fiksasi pada anak usia dini. Sedangkan menurut Freud, introjeksi ambivalen terhadap kehilangan objek dalam ego membawa ke suatu depresi tipikal.6 3. Faktor Sosial: Para klinikus percaya bahwa peristiwa kehidupan yang dapat menimbulkan stres memegang peranan penting dalam terjadinya depresi. Data menunjukkan bahwa kehilangan orang tua sebelum usia 11 tahun dan kehilangan pasangan merupakan awal dari penyakit yang berhubungan dengan depresi.6 Faktor-faktor sosial yang mungkin dapat menyebabkan depresi pada lansia antara lain : a) Hilangnya status peranan sosialnya atau hilangnya sokongan sosial yang selama ini dimilikinya.7 b) Faktor sosial lingkungan, karena kehilangan pasangan hidup, pasca bencana, kehilangan pekerjaan, dampak kehidupan situasi sehari-hari. c) Kurangnya hubungan sosial (Kesendirian dan pengasingan).10

20

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

d) Kemiskinan. 2.2.4 Gejala-gejala Menurut PPDGJ III 4, pada gangguan depresi ada tiga gejala utama yaitu : 1. afek depresi 2. kehilangan minat dan kegembiraan 3. berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lalah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktifitas. Disertai gejala lain: 1. konsentrasi dan perhatian berkurang 2. harga diri dan kepercayaan diri berkurang 3. gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna 4. panandangan masa depan yang suram dan pesimistis 5. gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri 6. tidur terganggu 7. nafsu makan berkurang Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.

(Depkes. 1999) 12
21

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

Secara klinis praktis umumnya depresi dibedakan sebagai depresi berat atau ringan. Akan tetapi ada sindrom klinis tertentu yang dapat muncul pada usia lanjut yaitu : 1. Depresi agitatif : ditandai dengan aktivitas yang meningkat, mondarmandir, mengejar-ngejar orang, terus-menerus meremas-remas tangan dll. 2. Depresi dan anxietas : gangguan cemas menyeluruh atau fobia dapat terjadi bersama-sama dengan depresi. Penelitian menunjukkan bahwa anxietas 15-20 kali lebih sering dijumpai pada usia lanjut dengan depresi. Hubungan penyakit fisik dengan anxietas pada depresi cukup kompleks. Anxietas dapat menyebabkan gejala fisik yang sering dikira sebagai penyakit fisik semata. Anxietas hebat juga dapat menyebabkan kelelahan dan dehidrasi. Sementara penyakit fisik yang mengancam kehidupan atau hilangnya kemandirian sering kali merupakan sumber dari anxietas. 3. Depresi terselubung : tidak munculnya gejala mood terdepresi bukanlah suatu halangan untuk mendiagnosis depresi. Apakah penyangkalan mood depresi ini karena kekhawatiran menjadi beban ataukah karena tren bahwa "Usia lanjut harus berani menghadapi hari tua", yang terpenting adalah mengeksplorasi tanda dan gejala lainnya yang menunjukkan depresi secara lebih teliti. 4. Somatisasi : gejala somatik dapat menyembunyikan gejala yang sesungguhnya dari gangguan depresi, namun dapat pula diperberat dengan adanya depresi. 5. Pseudodemensia : istilah ini diperuntukkan bagi pasien depresi yang menunjukkan gangguan memori yang bermakna seperti yang terjadi pada pasien demensia. 6. Depresi sekunder pada demensia : pada stadium awal demensia sering dijumpai depresi, mungkin sebagai dampak dari insight akan deteriorasi fungsi dan menurunnya kemampuan seeara progresif. Depresi yang terjadi pada stadium akhir mungkin lebih banyak berhubungan dengan hilangnya
22

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

fungsi neurotransmitter. Depresi dan gangguan perilaku pada demensia disebabkan oleh berkurangnya fungsi serotonergik, sehingga pengaktifan fungsi serotonergik akan memperbaiki gejala-gejala tersebut. 11 2.2.5 Pemeriksaan Pasien Depresi Salah satu langkah awal yang penting dalam penatalaksanaan depresi adalah mendeteksi atau mengidentifikasi. Sampai saat ini belum ada suatu konsensus atau prosedur khusus untuk pendeteksian/skrining depresi pada populasi usia lanjut. Salah satu instrumen yang dapat membantu adalah Geriatrik Depression Scale (GDS) yang terdiri dari 30 pertanyaan yang harus dijawab oleh pasien sendiri. GDS ini dapat dipersingkat menjadi hanya 15 pertanyaan saja dan ini mungkin lebih sesuai untuk dipergunakan dalam praktek umum sebagai alat pendeteksi Depresi pada usia lanjut. (lihat lampiran). 2.2.6 Terapi Semua pasien depresi harus mendapat psikoterapi, dan beberapa memerlukan tambahan terapi fisik. Jenis terapi bergantung dari diagnosis, berat penyakit, umur pasien, respon terhadap terapi sebelumnya 12. Terapi depresi pada lansia bertujuan untuk : 1. menurunkan / menghilangkan tanda, gejala 2. mengembalikan fungsi utama 3. meminimalkan resiko relaps / rekurens Macam-macam terapi depresi : 1.Psikoterapi Psikoterapi yaitu terapi yang digunakan untuk menghilangkan keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan psikologik atau pola perilaku maladaptive. Terapi ini dilakukan dengan jalan pembentukan hubungan yang professional antara terapis dengan pasien.

23

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

a.Terapi Kognitif Ada dugaan bahwa penderita depresi adalah orang yang belajar menjadi tak berdaya, depresi diterapi dengan memberikan pasien latihan keterampilan dan memberikan pengalaman-pengalaman tentang kesuksesan. Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan simptom depresi melalui usaha yang sistematis yaitu merubah cara pikir maladaptif dan otomatik pada pasien-pasien depresi. Dasar pendekatannya adalah suatu asumsi bahwa kepercayaan-kepercayaan yang mengalami distorsi tentang diri sendiri, dunia, dan masa depan dapat menyebabkan depresi. Pasien harus menyadari cara berpikirnya yang salah. Kemudian dia harus belajar cara merespon cara pikir yang salah tersebut dengan cara yang lebih adaptif. Dari perspektif kognitif, pasien dilatih untuk mengenal dan menghilangkan pikiran-pikiran negatif dan harapan-harapan negatif. Cara ini dipraktikkan di luar sesi terapi dan ini menjadi modal utama dalam merubah gejala. b. Terapi Perilaku Intervensi perilaku terutama efektif untuk pasien yang menarik diri dari sosial dan anhedonia. Terapi ini sering digunakan bersama-sama dengan terapi

kognitif. Tujuan terapi peilaku adalah: meningkatkan aktivitas pasien, mengikutkan pasien dalam tugas-tugas yang dapat meningkatkan perasaan yang menyenangkan. c. Psikoterapi Suportif Psikoterapi Suportif memberikan kehangatan, empati, pengertian dan optimistik. Bantu pasien identifikasi dan mengekspresikan emosinya dan bantu untuk ventilasi. Mengidentifikasi faktor-faktor presipitasi dan membantu mengoreksi. Bantu memecahkan problem eksternal (misal masalah pekerjaan, rumah tangga). Latih pasien untuk mengenal tanda-tanda dekompensasi yang akan datang. Temui pasien sesering mungkin (mula-mula 1-3 kali perminggu) dan secara teratur, tetapi jangan sampai tidak berakhir atau selamanya. Kenalilah bahwa beberapa pasien depresi dapat memprovokasi kemarahan terapis (melalui kemarahan, hostilitas, dan tuntutan yang tak masuk akal, dll).

24

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

d. Psikoterapi Dinamik Dasar terapi ini adalah teori psikodinamik, yaitu kerentanan psikologik terjadi akibat konflik perkenbangan yang tak selesai. Terapi ini dilakukan dalam periode jangka panjang. Perhatian pada terapi ini adalah deficit psikologi yang menyeluruh yang diduga mendasari gangguan depresi. Misalnya, problem yang berkaitan dengan rasa bersalah, rasa rendah diri, berkaitan dengan pengalaman yang memalukan, pengaturan emosi yang buruk, defisit interpersonal akibat tak adekuatnya hubungan dengan keluarga. e. Psikoterapi Dinamik Singkat Sesinya berlangsung lebih pendek. Tujuannya menciptakan lingkungan yang aman buat pasien. Pasien dapat mengenal materi konfliknya dan dapat mengekspresikannya. f. Terapi Kelompok Tidak ada bentuk terapi kelompok yang spesifik. Ada beberapa keuntungan terapi kelompok : 1. Biaya lebih murah. 2. Ada destigmasi dalam memandang orang lain dengan problem yang sama. 3. Memberikan kesempatan untuk memainkan peran dan mempraktikkan keterampilan perilaku interpersonal yang baru. 4. Membantu pasien dalam mengaplikasikan keterampilan baru. Terapi kelompok sangat efektif untuk terapi jangka pendek pasien rawat jalan. Juga lebih efektif untuk depresi ringan. Untuk depresi yang lebih berat, terapi individu lebih efektif. a. Terapi Perkawinan

25

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

Problem perkawinan dan keluarga sering menyertai depresi. Ia dapat mempengaruhi penyembuhan fisik. Oleh karena itu, perbaikan hubungan perkawinan merupakan hal penting dalam terapi ini. b. Psikoterapi Berorientasi Tilikan Jangka terapi cukup lama, berguna pada pasien depresi minor kronik tetentu dan beberapa pasien dengan depresi mayor yang mengalami remisi tetapi mempunyai konflik.12 2. Terapi Biologik a. Farmakoterapi Sebagian besar penderita membutuhkan antidepresan (70%-80% pasien berespon terhadap anti depresan), walaupun yang mempresipitasi terjadinya depresi jelas terlihat atau dapat diidentifikasi. Mulailah dengan SSRI atau salah satu anti depresan terbaru. Bila tak berhasil, pertimbangkan anti depresan trisiklik, atau MAOI (terutama pada depresi atipikal, atau kombinasi bebrapa obat yang efektif bila obat pertama tak berhasil. Harus hati-hati dengan efek samping dan harus sadar bahwa antidepresan dapat mempresipitasi episode manik pada beberapa pasien bipolar (10% dengan TCA, dengan SSRI lebih rendah, namun konsep tentang presipitasi manik masih diperdebatkan). Setelah sembuh dari episode depresi pertama, obat dipertahankan untuk beberapa bulan, kemudian diturunkan. Beberapa pasien membutuhkan obat pemeliharaan untuk periode jangka panjang. Antidepresan tunggal tidak dapat mengobati depresi. 12 Obat-obat anti depresan:
Trisiklik (TCAs)

Selektive Serotonin Inhibitors (SSRIs)


Reuptake

Amitriptilin 75-150 mg / hari Imipramin 75-150 mg / hari Clomipramin 75-150 mg /

Elvatelin 20-40 mg / hari Protetin 20-40 mg / hari Setralin 50-100 mg / hari

26

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

hari

Fluvotamin 50-100 mg / hari Fluoxetin 10-20 mg/hari

Amineptin 100- 200 mg / hari Opipramol 50-150 mg / hari

Tetrasiklik

Penghambat Mono Amine Okside (MAOIs)

Maprotilin 75-150 mg / hari Amoxopin 200-300 mg / hari Mainserin 30-60 mg / hari

Maclobemid 200-600 mg / hari

2.3

KERANGKA TEORI

Faktor biologis

Faktor psikologis psikologis

Faktor sosial Non organik

Organik

Depresi

Gejala somatisasi

Faktor penyebab

Psikososial

Biologis

Gambar 2.3: Kerangka teori variable-variabel yang berkaitan dengan gejala somatisasi.

27

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

BAB III KERANGKA KONSEP, VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 KERANGKA KONSEP
Depresi

Faktor demografik

Gejala somatisasi Penyakit kronik

Faktor fungsional

Gambar 3.1: Kerangka konsep Hubungan Variabel Faktor-faktor pengaruh Depresi dengan Gejala Somatisasi. 3.2. VARIABEL PENELITIAN 3.2.1. Variabel bebas a. Faktor demografik - jenis kelamin, tingkat pendidikan, status menikah. b. Faktor penyakit kronik c. Faktor fungsional 3.2.2. Variabel tergantung Depresi dengan Gejala Somatisasi Depresi tanpa Gejala Somatisasi

28

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

3.3

DEFINISI OPERASIONAL

Tabel 3.3. Definisi Operasional


Variabel Definisi Alat ukur dan cara ukur Hasil ukur Skala ukur Referensi

Variabel tergantung 1 Gejala somatisasi Gejala tak jelas yang dialami oleh penderita meliputi banyak hal. Misal, nyeri dada, jantung berdebar-debar, pening, sakit kepala, sakit punggung, sesak napas, insomnia, sakit pada bagian perut, mati rasa dan perih. salah satu gangguan mood yang ditandai oleh hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif adanya penderitaan berat Alat ukur : 1. Kuesioner Somatisasi 2. Recorder Cara ukur : Wawancara 1: Nominal Mengganggu 2: Tidak mengganggu J Clin Psychiatry, 1998

Depresi

Alat ukur : 1. Recorder 2. GDS Cara ukur Wawancara terstruktur. :

1 : (depresi)

>5 Nominal

2 : <5 (tidak depresi)

New Dictionary of Cultural Literacy, 2005. N Engl J Med, 1999

Variabel bebas

29

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

Jenis kelamin

Ciri atau karakteristik Alat ukur : yang menunjukkan bahwa seseorang 1. Kuesioner adalah laki-laki atau 2. Recorder perempuan Cara ukur : Wawancara

1 : Laki-laki 2 : Wanita

Nominal

Depkes RI, 2002

Tingkat Pendidikan

Pendidikan adalah jenjang pendidikan terakhir yang pernah dilalui sesuai dengan tingkat pendidikan formal di Indonesia.

Alat ukur : 1. Kuesioner 2. Recorder Cara ukur Wawancara :

1 : Tidak Nominal sekolah 2 : Sekolah (SD,SMP,SM A,Kuliah)

Depkes RI, 2000

Status menikah

Status responden Alat ukur : sudah menikah (berpasangan) atau 1. Kuesioner belum. 2. Recorder Cara ukur : Wawancara

1 : Belum Nominal menikah 2 : Menikah

Depkes RI, 2002

Penyakit kronik Riwayat penyakit Alat ukur : yang dihidapi lansia yang berpotensi 1. Kuesioner mengganggu aktivitas lansia seperti 2. Recorder hipertensi, diabetes Cara ukur : mellitus, penyakit Wawancara jantung, osteoarthritis.

1 : Ada 2 : Tidak ada

Nominal

WHO, 2007

30

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

Status Fungsional

Ketidakmampuan untuk terlibat dalam aktivitas penting yang berguna oleh karena keterbatasan fisik/mental yang dapat ditentukan secara medis dan dapat berakibat kematian berdasarkan ADL

Alat ukur : 1. Skor Barthel Index of ADL 2. Recorder Cara ukur : Wawancara

1 : < 19 Nominal Tidak Mandiri 2 : 20 Mandiri

Md State Med, 1965

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 DESAIN PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode observasional yang bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional. Rancangan penelitian yang digunakan adalah metode observasional analitik, yaitu dengan mengadakan pengamatan langsung pada obyek yang diteliti dengan pendekatan cross sectional yaitu pengambilan data variabel bebas dan variabel terikat dilakukan pada satu waktu / bersamaan waktunya. 4.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Panti Jompo (Panti Sosial Tresna Wherda Budi Mulia 4 Margaguna ) Kelurahan Gandaria Selatan Kecamatan Cilandak. Dilakukan pada bulan November 2012-Januari 2013. 4.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
31

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

4.3.1 Populasi Penelitian Populasi penelitian adalah seluruh lansia ( 60 tahun ) di Panti Jompo Kelurahan Gandaria Selatan, periode November 2012 Januari 2013 sebanyak 128 orang. 4.3.2. Inklusi dan Eksklusi Kriteria inklusi : 1. Orang dewasa berusia 60 tahun ke atas. 2. Lansia yang kooperatif 3. Lansia yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian

Kriteria eksklusi 1. Lansia yang tidak mampu baik fisik dan mental 2. Lansia dengan kelainan biologis misalnya demensia

4.4

SAMPLING

Besar sampel minimal dalam penelitian ini sesuai dengan rumus berikut ini : Rumus Populasi infinit:

n0 = z2 x p x q d2

n0 = 1,962 x x (1-) (0,05)2 n0 =

Keterangan n0 : Besar sampel optimal yang dibutuhkan z : Pada tingkat kemaknaan 95% besarnya 1,96 p : Prevalensi / proporsi lansia depresi dengan gejala somatisasi (0.4 ) q : Prevalensi / proporsi lansia depresi dengan tidak ada gejala somatisasi (10.4=0.6)

32

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

d : Akurasi dari ketepatan pengukuran, untuk p = > 10 % adalah 0,05

Populasi infinit :

n0 = z x p x q d2

n0 = (1,96)2 x 0.4 x 0.6 (0.05)2 n0 = 368

Rumus Populasi finit:

n = __n0_ 1+ (n0/N)

n=

_...__ 1+ (/.)

n=
Keterangan n : Besar sampel yang dibutuhkan untuk populasi yang finit n0 : Besar sampel dari populasi infinit N : Besar populasi finit (lansia ( 60 tahun ) di Panti Jompo Kelurahan Ghandaria Selatan periode November 2012 Januari 2013) Jumlah lansia lansia ( 60 tahun ) di Panti Jompo Kelurahan Ghandaria Selatan periode November 2012 Januari 2013 sebanyak 128 orang, maka : Populasi finit:

n = __n0_ 1+ (n0/N)

n=

368

1 + (368/128) n = 95 + 10%error = 105


33

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

Dari populasi berjumlah 128 orang, maka besarnya sampel minimal yang diperlukan 105 orang. Namun, pada penelitian ini besar sampel yang digunakan adalah sesuai dengan jumlah keseluruhan populasi lansia di panti jompo yaitu 128 orang. Kami terpaksa mengambil semua populasi lansia karena memikirkan tentang kemungkinan besar sampel tidak mencukupi setelah diambil kriteria eksklusinya. Maka, teknik sampling yang kami gunakan untuk penelitian ini adalah Total sampling dimana semua subjek diambil sebagai sampel penelitian. 4.5 INSTRUMEN PENELITIAN Instrumen penelitian diambil dengan menggunakan wawancara langsung dengan subjek, melakukan kuesioner dengan menggunakan Skala Depresi Geriatri, ADL dan kuesioner somatisasi.

Tabel 4.5. instrument Penelitian


No. 1. INSTRUMEN Recorder untuk wawancara FUNGSI INSTRUMEN Untuk mengetahui : Usia Jenis kelamin Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Status perkawinan Penyakit Kronis Keluhan somatisasi (kuesioner somatisasi) misalnya pusing, mual, perut kembung, sakit sendi.

2. 3.

Kuesioner Skala Depresi Geriatri Kuesioner ADL

Untuk mengetahui ada depresi atau tidak. Untuk mengkaji status fungsional

34

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

4.5.1

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan di Panti Jompo Kelurahan Gandaria Selatan. Pemilihan subjek secara total sampling, sampel diambil dari Panti Jompo Kelurahan Gandaria Selatan. Faktor-faktor yang ditanyakan pada sampel adalah faktor demografik, faktor penyakit kronik dan faktor fungsional. Faktor-faktor ditentukan dengan kuesioner dan apakah ada depresi dan keluhan gejala somatisasi.

4.5.2

Instrumen Pengkajian Instrumen yang digunakan dalam pengkajian ini yaitu recorder untuk

menyimpan wawancara audio yang dilakukan, dan juga kuesioner untuk menentukan depresi, keluhan somatisasi dan status fungsional .

4.6 CARA PENGAMBILAN SAMPEL Gambar 4.6. Cara Pengambilan Sampel

Populasi lansia di Panti Jompo Kelurahan Ghandaria Selatan

Populasi lansia 60 tahun di Panti Jompo Kelurahan Ghandaria Selatan

35

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

Sampel penelitian

Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling.

4.7

CARA PENGUMPULAN DATA

4.7.1. Alur Pengumpulan Data Gambar 4.7. Alur Pengumpulan Data

Proposal disetujui

Peneliti mendapatkan data yaitu populasi daftar pasien lansia dari Panti Jompo

Peneliti turun ke lapangan

Mengumpulkan sampel

Peneliti melakukan wawancara, dan penyebaran kuesioner

Peneliti mengumpulkan data 36 Peneliti mengolah dan menganalisis data dalam bentuk

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

4.7.2 Data Primer Data yang diperoleh dari hasil observasi dan pemeriksaan langsung pada responden yang dilakukan saat pemeriksaan dengan peninjauan ke Panti Jompo di Kelurahan Gandaria Selatan. Selain itu, didapatkan informasi yang lebih rinci melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. 4.7.3. Data Sekunder Data yang diperoleh dari pencatatan dan pelaporan hasil skrining yang ada di Panti Jompo Kelurahan Gandaria Selatan. 4.7.4 Data Tersier Data yang diperoleh dari buku-buku, majalah, internet, dan jurnal-jurnal ilmiah berupa data yang berkaitan depresi, gejala somatisasi pada lansia. 4.8 RENCANA PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

37

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

Data yang telah diperoleh diolah secara elektronik setelah melalui proses penyuntingan, pemindahan data ke komputer, dan tabulasi. Data yang terkumpul dari hasil kuesioner diolah dan dianalisis dengan menggunakan program SPSS statistics 17. 4.8.1. ANALISIS DATA a. Analisis Univariat Analisis ini dilakukan pada masing-masing variabel. Hasil ini berupa distribusi dan persentase pada variabel variabel yang diteliti. b. Analisis Bivariat Analisis yang dilakukan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung. Dalam analisis ini, dilakukan uji statistik chisquare sehingga dapat diketahui ada tidaknya hubungan antara variabel. Jika uji statistik chi-square tidak valid, dilakukan uji Fisher.

4.8.2. PENYAJIAN DATA Data yang telah dikumpulkan dan diolah akan disajikan dalam bentuk: Tabular Tekstular Grafik : penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan tabel. : penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan kalimat. :data penelitian akan digunakan diagram batang yang

menggambarkan sifat-sifat yang dimiliki.

38

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 ALUR SELEKSI PENGAMBILAN RESPONDEN Gambar 5.1 Alur seleksi pengambilan responden 128 wawancara dan kuesioner (Disember-Januari 2013) 23 eksklusi karena tidak mampu baik fisik dan mental dan mempunyai kelainan biologis demensia 105 yang memenuhi kriteria inklusi 27 eksklusi karena tidak mempunyai depresi 18 mempunyai somatisasi

39

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

9 tidak mempunyai somatisasi 78 depresi 12 tanpa gejala somatisasi

66 dengan gejala somatisasi Pengambilan responden adalah sebanyak 128 orang lansia yang berada di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria Selatan Kecamatan Cilandak .Dari 128 orang yang diwawancara untuk di isi kuesioner, didapatkan 23 orang yang tidak mampu baik fisik dan mental serta mempunyai kelainan biologis misalnya demensia. 105 orang yang memenuhi kriteria inklusi disaring untuk mengetahui depresi. 27 (25.7%) orang dieksklusi karena tidak mempunyai depresi. Dari 27 yang dieksklusi, 18 (17.1%) mempunyai gejala somatisasi dan 9 (8.57%) tidak mempunyai gejala somatisasi. 78 orang (74.2%) yang mempunyai depresi dinilai lagi untuk gejala somatisasi dan didapatkan 12 orang (11.4%) tanpa gejala somatisasi dan 66 orang (62.8%) dengan gejala somatisasi. (Gambar 5.1) 5.2 ANALISIS UNIVARIAT Analisis ini dilakukan pada masing-masing variabel untuk melihat gambaran frekuensi dari masing- masing variabel. Hasil ini berupa distribusi dan persentase pada variabel variabel yang diteliti. 5.2.1 Deskripsi Karakterisktik Responden

Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Lansia di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria Selatan.
Variabel N Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 26 52 33.3 66.7 JUMLAH %

40

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah Sekolah Status Menikah Belum Menikah Menikah Penyakit Kronik Tidak Ada Ada Status Fungsional Tidak Mandiri Mandiri 32 46 41 59 15 63 19.2 80.8 6 72 7.7 92.3 27 51 34.6 65.4

Total responden yang diteliti di dalam penelitian ini adalah 78 orang. Berdasarkan data yang didapatkan, 26 orang (33.3%) adalah responden laki-laki, sedangkan 52 orang (66.7%) adalah responden perempuan. Responden yang tidak bersekolah adalah 27 orang (34.6%) dan yang bersekolah adalah 51 orang (65.4%). Terdapat sebanyak 6 orang (7.7%) yang belum menikah dan 72 orang (92.3%) yang sudah menikah. Sedangkan 63 orang (80.8%) yang mempunyai penyakit kronik dan 15 orang (19.2%) orang tidak mempunyai penyakit kronis dan 46 orang (59%) yang bisa mandiri sendiri dan 32 orang (41%) yang sama sekali tidak mandiri dan harus dibantu (Tabel 5.2). 5.3 ANALISIS BIVARIAT

Setelah dilakukan analisis univariat, proses analisa data dilanjutkan dengan analisis bivariat antara masing- masing variable bebas dan tergantung. Hasil analisis disajikan dengan tabulasi silang, lalu dilakukan uji hubungan secara statistik dengan metode chi-square.
Tabel 5.3.1 Hubungan antara depresi dan gejala somatisasi.

41

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

Variabel

Somatisasi n = 84

Tanpa Somatisasi n = 21

Depresi Ada Tidak ada 66(84.6%) 18(66.7%) 12(15.4%) 9(33.3%) 0.044

Berdasarkan data yang didapatkan, jumlah responden adalah 105 orang. Dari 27 orang yang tidak mempunyai depresi 18 (66.7%) diantaranya mempunyai gejala somatisasi dan 9 (33.3%) diantaranya tidak mempunyai gejala somatisasi. Dari 78 orang yang mempunyai depresi, 12 orang (15.4%) tanpa gejala somatisasi dan 66 orang (84.6%) dengan gejala somatisasi Dari hasil penelitian, didapatkan nilai p untuk depresi dan gejala somatisasi yang diteliti adalah p < 0.05 yaitu p = 0.044. Oleh karena itu, didapatkan hubungan yang bermakna antara depresi dan gejala somatisasi pada lansia di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria Selatan Kecamatan Cilandak.
Tabel 5.3.2 Hubungan antara faktor demografi, penyakit kronis dan status fungsional terhadap depresi dengan gejala somatisasi. Variabel Depresi dengan Somatisasi n = 66 Depresi tanpa Somatisasi n = 12 P

Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Status Menikah Belum Menikah Menikah Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah 23(85.2%) 4(14.8%) 0.919 5(83.3%) 61(84.7%) 1(16.7%) 11(15.3%) 0.928 21(80.8%) 45(86.5%) 5(19.2%) 7(13.5%) 0.506

42

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

Sekolah Penyakit Kronik Ada Tidak ada Status Fungsional Tidak Mandiri Mandiri

43(84.3%)

8(15.7%)

57(90.5%) 9(60.0%)

6(9.5%) 6(40.0%)

0.003

44(91.7%) 22(73.3%)

4(8.3%) 8(26.7%)

0.029

Berdasarkan data yang didapatkan, jumlah responden yang mempunyai depresi dan gejala somatisasi adalah sebanyak 66 orang (62.8%) dari total 78 orang yang mempunyai depresi. 21 orang (80.8%) diantaranya adalah responden laki-laki yang mempunyai depresi dan gejala somatisasi dan 5 orang (19.2%) lainnya mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi. Sedangkan untuk responden perempuan, sebanyak 45 orang (86.5%) mempunyai depresi dan gejala somatisasi dan 7 orang (13.5%) mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi. Dari hasil penelitian, didapatkan nilai p untuk faktor jenis kelamin yang diteliti adalah p > 0.05 yaitu p = 0.506. Oleh karena itu, didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara faktor resiko jenis kelamin dengan depresi dan gejala somatisasi pada lansia di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria Selatan Kecamatan Cilandak. Responden yang belum menikah adalah 6 orang (7.7%) dan yang sudah menikah adalah 72 orang (92.3%). Dari yang belum menikah, sebanyak 5 orang (83.3%) mempunyai depresi dan gejala somatisasi dan 1 orang (16.7%) mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi. Sedangkan 61 orang (84.7%) yang sudah menikah mempunyai depresi dan gejala somatisasi dan selebihnya 11 orang (15.3%) mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi. Berdasarkan responden tidak bersekolah, 23 orang (85.2%) adalah yang mempunyai depresi dan gejala somatisasi selebihnya 4 orang (14.8%) mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi. Sedangkan untuk responden yang bersekolah,

43

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

sebanyak 43 orang (84.3%) mempunyai depresi dan gejala somatisasi dan 8 orang (15.7%) mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi. Nilai p untuk status pernikahan dan tingkat pendidikan, masing-masing

adalah p > 0.05 yaitu p = 0.928, p = 0.919. Oleh karena itu, didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara status pernikahan dan tingkat pendidikan dengan depresi dengan gejala somatisasi pada lansia di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria Selatan Kecamatan Cilandak. Dari data, sebanyak 15 orang (19.2%) yang tidak mempunyai penyakit kronis dan 63 orang (80.8%) yang mempunyai penyakit kronis. 57 orang (90.5%) yang mempunyai penyakit kronis mempunyai depresi dan gejala somatisasi dan selebihnya mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi yaitu sebanyak 6 orang (9.5%). 9 orang (60.0%) yang tidak mempunyai penyakit kronis mempunyai depresi dan gejala somatisasi dan sebanyak 6 orang (40.0%) yang mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi. Dari hasil penelitian, didapatkan nilai p untuk penyakit kronis yang diteliti adalah p < 0.05 yaitu p = 0.003. Oleh karena itu, didapatkan hubungan yang bermakna antara faktor penyakit kronis dengan depresi dan gejala somatisasi pada lansia di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria Selatan Kecamatan Cilandak. .Responden yang tidak mandiri sebanyak 32 orang (41%) dan yang mandiri sebanyak 46 orang (59%). Dari data, didapatkan 22 (73.3%) orang yang mandiri yang mempunyai depresi dan gejala somatisasi dan 8 (26.7%) orang yang mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi. Bagi responden yang tidak mandiri, didapatkan 44 (91.7%) orang yang mempunyai depresi dan gejala somatisasi manakala 4 (8.3%) orang yang mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi. Dari hasil penelitian, didapatkan nilai p untuk status fungsional yang diteliti adalah p < 0.05 yaitu p = 0.029. Oleh karena itu, didapatkan hubungan yang bermakna antara status fungsional dengan depresi dan gejala somatisasi pada lansia di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria Selatan Kecamatan Cilandak. (Tabel 5.3.2).

44

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

BAB VI PEMBAHASAN

Penelitian berkaitan tentang hubungan antara depresi dan gejala somatisasi pada lansia 60 tahun di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria Selatan Kecamatan

Cilandak. Faktor- faktor yang diteliti meliputi faktor demografik seperti jenis kelamin,
status pernikahan, tingkat pendidikan dan status fungsional dan penyakit kronis.

Berdasarkan hasil penelitian yang ada, terdapat hubungan yang bermakna antara depresi dan gejala somatisasi dan didapatkan juga faktor yang bermakna terhadap depresi dan gejala somatisasi pada penelitian kami adalah faktor penyakit kronik dan status fungsional.

6.1 Hubungan depresi dan gejala somatisasi


Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara depresi dan gejala somatisasi. Dari 78 orang yang mempunyai depresi, 66 orang

45

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

(84.6%) diantaranya mempunyai gejala somatisasi dan 12 orang (15.4%) diantaranya tanpa gejala somatisasi dan dari 27 orang yang tidak mempunyai depresi 18 (66.7%) diantaranya mempunyai gejala somatisasi dan 9 (33.3%) diantaranya tidak mempunyai gejala somatisasi. Dari hasil penelitian, didapatkan nilai p untuk depresi dan gejala somatisasi yang diteliti adalah p < 0.05 yaitu p = 0.044. Oleh karena itu, didapatkan hubungan yang bermakna antara depresi dan gejala somatisasi pada lansia di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria Selatan Kecamatan Cilandak. Menurut penelitian Tylee A, Gandhi P (2005) di United Kingdom yang meneliti depresi dan gejala somatisasi, menjelaskan bahwa 2 dari 3 gejala yang paling sering dikeluhkan pada depresi adalah gejala somatisasi. 14

6.2 Faktor penyakit kronis Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa faktor penyakit kronis memiliki hubungan yang bermakna terhadap depresi dengan gejala somatisasi . Sebanyak 57 orang (90.5%) yang mempunyai penyakit kronis mempunyai depresi dan gejala somatisasi dan 9 orang (60.0%) yang tidak mempunyai penyakit kronis mempunyai depresi dan gejala somatisasi .Dari hasil penelitian, didapatkan nilai p untuk penyakit kronis yang diteliti adalah p < 0.05 yaitu p = 0.003. Oleh karena itu, didapatkan hubungan yang bermakna antara faktor penyakit kronis dengan depresi dan gejala somatisasi. Penelitian terhadap 355 lansia oleh Bogner HR et al (2009) menemukan bahawa lansia dengan kondisi medik mempunyai nilai p< 0.05 yaitu p = 0.01 dengan 3.9% dari lansia mempunyai depresi dan gejala somatisasi.13 Pada lansia yang mempunyai penyakit kronis, timbulnya depresi dan gejala somatisasi lebih besar, karena beban penyakit kronis adalah untuk seumur hidup.

6.3 Faktor status fungsional


Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa faktor status fungsional memiliki hubungan yang bermakna terhadap depresi dan gejala somatisasi. Berdasarkan data,

didapatkan 22 (73.3%) orang yang mandiri yang mempunyai depresi dan gejala somatisasi dan didapatkan 44 (91.7%) orang yang tidak mandiri mempunyai depresi
46

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

dan gejala somatisasi. Dari hasil penelitian, didapatkan nilai p untuk status fungsional yang diteliti adalah p < 0.05 yaitu p = 0.029. Oleh karena itu, didapatkan
hubungan yang bermakna antara faktor status fungsional dengan depresi dan gejala somatisasi.

Penelitian terhadap 355 lansia oleh Bogner HR et al (2009) juga menemukan bahwa lansia dengan status fungsional yang rendah dinilai dari seluruh aspek mencakup fisik, emosi, sosial, kesehatan, kemandirian masing-masing mempunyai nilai p< 0.05 yaitu p = 0.02, 0.002, 0.03, 0.04 dan 0.006. 13

6.4 Faktor jenis kelamin Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa faktor resiko jenis kelamin memiliki hubungan yang tidak bermakna terhadap depresi dan gejala somatisasi pada lansia. Dari
penelitian kami, 21 orang (80.8%) diantaranya adalah responden laki-laki yang

mempunyai depresi dan gejala somatisasi, sedangkan untuk responden perempuan, sebanyak 45 orang (86.5%) mempunyai depresi dan gejala somatisasi. Didapatkan nilai p untuk faktor jenis kelamin yang diteliti adalah p > 0.05 yaitu p = 0.506. Jenis kelamin seseorang ternyata tidak memberi pengaruh yang besar terhadap timbulnya depresi dengan gejala somatisasi. Dari penelitian Bogner HR et al (2009) juga menemukan bahwa jenis kelamin pada lansia tidak mempunyai hubungan yang bermakna terhadap depresi dan gejala somatisasi dengan nilai p> 0.05 yaitu p = 0.10 pada wanita lansia yang menjadi responden.13

6.5 Faktor tingkat pendidikan Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa faktor tingkat pendidikan tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap depresi dan gejala somatisasi. Namun, 23 orang (85.2%) yang tidak bersekolah mempunyai depresi dan gejala somatisasi dan 43 orang (84.3%) yang bersekolah mempunyai depresi dan gejala somatisasi.

47

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

Dari penelitian Bogner HR et al (2009) juga menemukan bahwa tingkat pendidikan pada lansia tidak memberi hubungan yang bermakna terhadap depresi dan gejala somatisasi dengan nilai p> 0.05 yaitu p = 0.57.13

6.6 Faktor status pernikahan Dari hasil penelitian, faktor status pernikahan tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap depresi dan gejala somatisasi. Namun, dari penelitian kami, sebanyak 5 orang (83.3%) yang belum menikah mempunyai depresi dan gejala somatisasi dan 61 orang (84.7%) yang sudah menikah mempunyai depresi dan gejala somatisasi. Penelitian Bogner HR et al (2009) juga menemukan bahwa status pernikahan pada lansia tidak memberi hubungan yang bermakna terhadap depresi dan gejala somatisasi dengan nilai p> 0.05 yaitu p = 0.79 .13

6.7 Keterbatasan Penelitian Salah satu keterbatasan dalam penelitian ini adalah terjadinya bias informasi dalam pengisian kuesioner dan juga keterbatasan waktu. Bias informasi terjadi sewaktu pengisian kuesioner, dimana responden adalah lansia, jawaban ketika wawancara tidak selalu mendukung pertanyaan yang diberikan, sifat lansia tidak bisa diprediksi sehingga membuat peneliti sukar untuk mengetahui dan memahami apa yang dimaksud. Dari segi bahasa, bagi lansia yang kurang mendengar dan mengerti, ada pertanyaan yang kurang didengar dengan baik sehingga jawaban yang diberikankan salah. Kuesioner yang dipakai untuk depresi juga hanya bisa dipakai untuk membuat survey tetapi masih belum bisa menegakkan diagnosis depresi pada lansia. Kuesioner diisi oleh peneliti dengan wawancara yang dilakukan saat para responden sedang beristirehat di kamar di PSTW tetapi tidak dalam waktu makan. Peneliti mewawancara setiap satu dengan sendiri dan tidak secara berkelompok.
48

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

Adanya keterbatasan waktu dan tenaga menyebabkan kami tidak memberi pertanyaan dan anamnesis yang lebih mendalam dalam pengisian kuesioner dan wawancara. Namun, dengan adanya kerjasama dan komunikasi yang baik serta bimbingan dari dokter pembimbing di puskesmas dan di kampus telah memberi banyak bantuan kepada kami dalam menyelesaikan penelitian ini.

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 KESIMPULAN Penelitian tentang hubungan antara depresi dan gejala somatisasi telah dilaksanakan selama 3 minggu di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria Selatan Kecamatan Cilandak mewakili seluruh populasi lansia 60 tahun dengan didapatkan 78 orang (74.2%) yang mempunyai depresi dari 105 responden yang layak, dan didapatkan sebanyak 66 orang (62.8%) responden yang mempunyai depresi dengan gejala somatisasi dan 12 orang (11.4%) yang mempunyai depresi tanpa gejala somatisasi. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahawa terdapat hubungan antara depresi dan gejala somatisasi dan dari data, faktor yang signifikan terhadap depresi dan gejala somatisasi pada lansia di PSTW Margaguna Wilayah Gandaria

49

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

Selatan Kecamatan Cilandak adalah faktor penyakit kronis dan status fungsional. Sedangkan faktor resiko lainnya belum memberi makna signifikan terhadap penelitian.

7.2 SARAN 7.2.1 Puskesmas Dapat dilakukan upaya suportif dalam upaya mengurangi depresi dan gejala somatisasi pada lansia. Upaya suportif dapat berupa terapi edukasi dan terapi kelompok kepada lansia tentang depresi itu sendiri, cara mengatasinya dan pentingnya untuk menjaga kesehatan sendiri. Rehabilitasi misalnya aktifitas kepada lansia lebih harus digiatkan agar dapat mengisi masa luang lansia dan bisa membantu untuk mengurangi depresi dan gejala somatisasi.

7.2.2 Peneliti Peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam melakukan penelitian ini, tidak semua faktor diteliti dan dianalisis dengan parameter yang tepat karena keterbatasan waktu, dana, dan tenaga. Oleh karena itu, sangat diharapkan ada peneliti lain yang berminat melanjutkan penelitian ini dengan membuat penelitian lanjutan mengenai hubungan depresi dengan gejala somatisasi.

7.2.3 Masyarakat Perubahan pola hidup diperlukan bagi setiap individu yang terlibat sebagai responden dalam penelitian ini dan juga masyarakat umum sebagai upaya preventif pada depresi dan gejala somatisasi pada lansia. Masyarakat yang mempunyai lansia dirumah diharapkan dapat memahami tentang pentingnya menghindari depresi dengan gejala somatisasi pada lansia seperti memberi dukungan emosi dan fisik yang sepatutnya di rumah dan berusaha untuk memahami mereka. Bagi masyarakat yang memiliki lansia depresi dengan gejala somatisasi akibat penyakit kronis dan status fungsional diharapkan dapat berusaha untuk mengobati dan membantu mereka dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Peran Panti Jompo juga bisa membantu dalam intervensi depresi dan gejala somtisasi pada lansia. Peningkatan aktivitas, terapi psikososial dan rehabilitasi adalah
50

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

antara program yang harus dilakukan dengan giat agar dapat mengurangi depresi dan gejala somatisasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan H.I, Sadock B.J, Grebb J.A : Sinopsis Psikistri, Jilid II, Edisi ke-7, Banarupa Asksara, Jakarta, 1997, hal 68-74. 2. Feder A, Somatization, Chapter 3532. Diunduh dari : http://www.medicineclinic.org/AmbulatorySyllabus4/NEW%20somatization. htm. (4 Januari 2013) 3. Elkin G. D : Introduction to Clinical Psychiatry, First Edition, Prentice-Hall International Inc, San Fransisco, 199, page, 117-121. 4. Maslim R : Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa : Runjukan Ringkasan dari Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan jiwa di Indonesia III, Jakarta,2001 hal.64,65,84

51

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

5. DSM-IV Taskforce. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders: Text revision, 4thEd. Washington, DC : American Psychiatric Association. 6. Idrus, M. Faisal, 2007. Depresi pada Penyakit Parkinson. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 34 No.3/156 pp : 130-135. Kalbe Farma : Jakarta. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/ files/cdk_156_Depresi.pdf 7. Bongsoe, Syamsir, 2007. Pengenalan Gangguan Depresi pada Orang Usia Lanjut. Dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru BesarTetap Universitas Sumatra Utara. http://www.usu.ac.id /id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_syamsir_bs.pdf. 8. Best Parctice Advocacy Centre, 2009. Depression in Elderly People. http://www.bpac.org.nz/ magazine/2008/february/depression.asp. 9. Baldwin and Wild R, 2004. Management of Depression in Later Life. Advances in Psychiatric Treatment vol. 10. http://apt.rcpsych.org/cgi/reprint/10/2/131.pdf?ck=nck . 10. Segal, Jaffe J, Pat Davies P, and Smith M, 2007. Depression in Older Adults and the Elderly. http://www.helpguide.org/mental/depression_elderly.htm. 11. Departemen Kesehatan RI, 1999. Masalah Depresi pada Lansia. http://www.depkes.go.id/downloads/keswa_lansia.pdf. 12. Nurmiati A, 2005. Depresi Aspek Neurobiologi Diagnosis dan Tatalaksana. Balai Penerbit FKUI : Jakarta. 13. Bogner HR et al. A Cross-Sectional of Somatic Symptoms and the Identification of Depression Among Elderly Primary Care Patient. Prim Care Companion J Clin Psychiatry 2009;11(6):285291. 14. Tylee A, Gandhi P. The Importance of Somatic Symptom in Depression in Primary Care. Prim Care Companion J Clin Psychiatry 2005;7:167176

52

IKM UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

15. Barsky J et al. Somatic Symptom Reporting in Women and Men. J Gen Intern Med 2001;16:266-275

53

You might also like