You are on page 1of 16

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Semikonduktor Material zat padat dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian utama yaitu isolator, semikonduktor dan konduktor. Isolator memiliki konduktivitas yang rendah yang berkisar antara 10-18 sampai 10-8 S/cm sedang konduktor seperti aluminium dan perak memiliki konduktivitas yang tinggi yang berkisar antara 105 sampai 107 S/cm. Bahan semikonduktor memiliki konduktivitas antara isolator dan konduktor. Konduktivitas dari bahan semikonduktor secara umum peka terhadap temperatur, iluminasi, medan magnet, dan jumlah partikel pengotor (impuritas). Kepekaan bahan semikonduktor ini menyebabkan bahan ini banyak digunakan dalam aplikasi fisika. Studi tentang semikonduktor dimulai pada abad ke-19. Setiap atom memiliki elektron. Elektron mengorbit di dalam atom dengan tingkatan energi tertentu. Kulit-kulit yang ada pada atom menunjukkan tingkatan energi elektron. Elektron pada atom tunggal menempati orbital atom. Orbital atom elektron akan membelah ketika atom-atom mengumpul saling berdekatan. Mengumpulnya atom-atom tersebut menyebabkan jumlah orbital atom menjadi besar dan perbedaan energi di antara orbital atom tersebut mengecil sehingga akan terbentuk pita energi. Konsep pita energi sangat penting dalam mengelompokkan material sebagai konduktor, semikonduktor dan isolator. Besarnya lebar celah energi dapat menentukan apakah suatu material termasuk konduktor, semikonduktor atau isolator. Celah energi memisahkan pita valensi dengan pita konduksi. Elektron pada pita valensi dapat loncat menuju pita konduksi dengan cara menyerap sejumlah energi yang melebihi celah energi. Celah energi masing-masing material ditunjukkan pada Gambar 1 (Goetzberger 1998). Semikonduktor adalah bahan yang memiliki konduktivitas listrik diantara konduktor dan isolator. Resistivitas semikonduktor berkisar di antara 10-6 sampai 104 ohm-m. Pada semikonduktor, terdapat pita energi yang memperbolehkan keberadaan elektron, yaitu pita valensi berenergi rendah yang terisi penuh oleh elektron dan pita konduksi yang berenergi tinggi yang kosong.

Gambar 1

Pita energi bahan (a) isolator, (b) semikonduktor dan (c) konduktor

Celah energi yang memisahkan kedua pita tersebut yaitu pita terlarang atau disebut juga sebagai bandgap (E g ). Salah satu karakteristik penting

semikonduktor adalah memiliki celah energi yang relatif kecil yaitu berkisar antara 0,2-2,5 eV. Energi celah pita yang kecil ini memungkinkan suatu elektron memasuki level energi yang lebih tinggi. Perpindahan elektron ini dapat terjadi karena pengaruh suhu dan penyinaran (Gambar 2) (Wijaya 2007).

Gambar 2 Pada pita valensi, elektron menyerap foton (h) dan pindah ke pita konduksi meninggalkan hole Ketika semikonduktor diradiasi dengan cahaya yang energinya lebih besar dari energi gap semikonduktor (h E g ), elektron dari pita valensi dapat tereksitasi ke pita konduksi. Elektron yang melompat dari pita valensi ke pita konduksi disebut pembawa muatan negatif, sedangkan lubang (hole) pada pita valensi merupakan pembawa muatan positif.

Jika jalur terlarang sempit, elektron bebas mudah dibangkitkan hanya dengan energi kecil. Bila lebar, maka elektron bebas jarang dibangkitkan seperti halnya pada isolator. Celah energi untuk beberapa semikondutor dapat dilihat pada Tabel 2.1. Dari daftar ini terbukti bahwa intan merupakan isolator yang paling baik karena celah energinya 6 eV. InSb dan semacamnya mempunyai kondukivitas yang besar pada temperatur kamar karena celah energinya kecil.

Tabel 1

Celah Energi Pada Berbagai Semikonduktor


Semikonduktor Si Ge GaAs GaSb InSb CdTe CdS ZnO Intan Celah energi (eV) pada suhu 300 K 1,11 0,67 1,39 0,67 0,17 1,45 2,45 3,2 6

(Rio 1999) Hanya sedikit bahan yang disebut sebagai semikonduktor dalam keadaan tidak murni. Oleh karena itu, dalam pembuatannya semikonduktor yang murni dicampurkan dengan bahan lain. Bahan ini disebut sebagai bahan pengotor atau dopan. Semikonduktor yang tidak dikotori oleh bahan lain disebut semikonduktor intrinsik, sedangkan yang diberi pengotor disebut semikonduktor ekstrinsik (Soga 2006). Semikonduktor ekstrinsik terdiri dari dua tipe yaitu tipe-n dan tipe-p (Gambar 3). Atom-atom yang dapat dijadikan impuritas (pengotor) berasal dari atom golongan IIIA dan VA dalam sistem periodik unsur. Penambahan impuritas dari golongan VA (atom pentavalen) ke dalam semikonduktor intrinsik akan menghasilkan semikonduktor tipe-n. Semikonduktor tipe-n dapat dibuat dengan menambahkan sejumlah kecil atom pengotor yaitu atom pentavalen seperti antimoni (Sb), fosfor (P) atau arsenik (As) pada silikon murni. Atom-atom pengotor ini memiliki lima elektron valensi sehingga secara efektif memiliki muatan sebesar +5q. Saat sebuah atom pentavalen menempati posisi atom silikon dalam kisi kristal maka hanya ada empat elektron valensi yang dapat membentuk ikatan kovalen lengkap dan tersisa satu elektron yang tidak berpasangan (Gambar

3a). Karena hasil penggabungan silikon dengan atom pentavalen menghasilkan satu elektron yang tidak berpasangan, maka atom pentavalen disebut atom donor. Penambahan atom donor ini akan mengubah keadaan energi Fermi mendekat di bawah pita konduksi (Gambar 3b). Semikonduktor jenis ini atom pengotornya memiliki kelebihan elektron (atom donor), hal ini menyebabkan kelebihan elektron di dalam kristal sehingga semikonduktor bermuatan negatif.

Gambar 3 a) Struktur kristal silikon dengan sebuah atom pengotor valensi lima menggantikan posisi salah satu atom silikon dan b) struktur pita energi semikonduktor tipe-n (Sze dan Kwok 2007) Penambahan impuritas dari golongan IIIA ke dalam semikonduktor intrinsik akan menghasilkan semikonduktor tipe-p. Semikonduktor tipe-p dapat dibuat dengan menambahkan atom trivalen (Aluminium (Al), Boron (B), Galium (Ga) atau Indium (In)) pada semikonduktor murni. Atom pengotor ini mempunyai tiga elektron valensi sehingga secara efektif hanya dapat membentuk tiga ikatan kovalen. Saat sebuah atom trivalen menempati posisi atom silikon dalam kisi kristal maka hanya ada empat elektron valensi yang dapat membentuk ikatan kovalen lengkap dan tersisa satu elektron yang tidak berpasangan (Gambar 4a). Karena hasil penggabungan silikon dengan atom trivalen menghasilkan satu elektron yang tidak berpasangan, maka atom trivalen disebut atom aseptor. Penambahan atom aseptor ini akan mengubah keadaan energi Fermi mendekat di atas pita valensi (Gambar 4b). Semikonduktor tipe-p memiliki lubang (hole) sebagai pembawa muatan mayoritas. Semikonduktor jenis ini atom pengotornya kekurangan elektron, hal ini menyebabkan kekosongan di dalam kristal sehingga semikonduktor bermuatan positif (Soga 2006).

Gambar 4 a) Struktur kristal silikon dengan sebuah atom pengotor valensi tiga menggantikan posisi salah satu atom silikon dan b) struktur pita energi semikonduktor tipe-p (Sze dan Kwok 2007) Jika disinari cahaya, bahan semikonduktor akan mengalami efek fotovoltaik, yaitu penyerapan energi cahaya sehingga membangkitkan elektron untuk tereksitasi ke pita konduksi dan menghasilkan arus listrik. Dari sifatnya tersebut maka bahan semikonduktor ini banyak digunakan sebagai bahan dasar untuk berbagai macam piranti optoelektronik diantaranya fotodioda dan sel surya. Peristiwa hantaran listrik pada semikonduktor adalah akibat adanya dua partikel masing-masing bermuatan positif dan negatif yang bergerak dengan arah yang berlawanan akibat adanya pengaruh medan listrik.

2.2 Cadmium Sulfida (CdS) Selain silikon, yang merupakan bahan semikonduktor yang paling sering digunakan untuk aplikasi sel surya, banyak bahan semikonduktor lain yang sedang dikembangkan saat ini. Diantaranya bahan semikonduktor yang banyak dikembangkan sebagai sel surya adalah senyawa II-IV dan I-III-VI. Beberapa tahun terakhir, terjadi perkembangan yang sangat pesat dalam pengembangan semikonduktor II-IV yang digunakan pada sel surya. CdS merupakan bahan semikonduktor logam chalcogenide (II-IV) yang memiliki celah energi sebesar 2,45 eV, indeks bias 2,5 dan termasuk semikonduktor tipe-n. CdS secara luas digunakan untuk sel surya heterojunction CdS/CdTe dan CdS/Cu 2 S. Hal ini disebabkan karena CdS memiliki energi bandgap menengah, efisiensi konversinya cocok digunakan sebagai bahan sel surya, stabilitas dan biaya

10

produksinya rendah. Cadmium sulfida (CdS) sangat berguna dalam hal optoelektronika, piezo-elektronika, dan bahan semikonduktor. Film tipis CdS sangat menarik terutama masalah efisiensi pengunaannya dalam pembuatan sel surya (Patidar et al. 2004 dan Devi 2007) Penelitian tentang sifat fisika film CdS merupakan hal yang menarik. Film tipis CdS juga menarik jika digunakan untuk meningkatkan efisiensi sel surya. Beberapa tahun terakhir, banyak bahan semikonduktor subgroup IIVI digunakan sebagai bahan pembuatan sel surya. Ada beberapa teknik pendeposisian yang digunakan untuk menumbuhkan lapian CdS sehingga sifat optik, listrik dan strukturnya sesuai dengan yang diinginkan. Beberapa diantaranya menggunakan pendeposisian secara kimia, physical vapour deposition, spray pyrolysis (Hiie et al. 2006), electro deposition, chemical bath deposition (Hiie et al. 2006, Khallaf et al. 2008 dan 2009, Zhou et al. 2008, Cetinorgu et al. 2006, Metin et al. 2008), teknik brush plating (Murali et al. 2007), hidrotermal (Jinxin et al. 2007) dan lainlain. Dari semua teknik di atas, Chemical Bath Deposition (CBD) merupakan teknik yang biasanya digunakan untuk menumbuhkan film tipis CdS. Teknik CBD memiliki banyak keuntungan seperti sederhana, tidak membutuhkan peralatan yang canggih, bahan yang terbuang sedikit, merupakan cara yang ekonomis teknik pendeposisian pada area yang luas untuk semikonduktor golongan IIVI seperti CdS, dan tidak menghasilkan gas yang beracun (Cetinorgu et al. 2006). Metode CBD merupakan proses yang lambat, sehingga orientasi kristalnya dapat diatur dengan peningkatan struktur bulirnya. Film CdS yang ditumbuhkan dengan metode CBD memiliki stoikiometri yang tinggi dan resistansi dark yang tinggi. Teknik deposisi yang digunakan untuk menumbuhkan CdS telah banyak dilakukan dengan metode yang beragam. Penggunaan setiap metode ini akan mempengaruhi sifat optik, listrik dan struktur CdS yang dihasilkan. Menurut beberapa literatur, struktur film tipis CdS yang dibuat dengan menggunakan metode CBD dapat bermacam-macam tergantung pada kondisi deposisi. Strukturnya dapat berbentuk kubik, hexagonal atau campuran kedua fasa tersebut (Haider et al. 2008 dan Malinowska et al. 2005). Selain itu, banyak peneliti mencatat bahwa terjadi pengotoran oleh oksigen dan nitrogen pada film tipis CdS

11

jika menggunakan metode penumbuhan dengan CBD. Selain itu, penggunaan complexing agent juga dapat mempengaruhi sifat fisis CdS. Penambahan complexing agent ammonium dapat memperbesar jumlah cadmium sulfida yang terbentuk dibanding molekul pengotor lainnya (Malinowska et al. 2005). Suhu annealing mempengaruhi ukuran kristal, sifat optik dan sifat listrik film CdS. Jika film CdS dianneling pada suhu kamar atau pada suhu rendah maka akan terdapat molekul pengotor lain yang terbentuk seperti Cadmium sianida (CdSN) (Gambar 5) (Haider 2008). K.R. Murali et al. (2007) menunjukkan bahwa ukuran kristal CdS meningkat jika CdS dideposisi pada suhu yang semakin tinggi. Karena ukuran kristalnya berbeda, maka energi gapnyapun berbeda (Gambar 6). Doping CdS dengan unsur pada golongan IIIA seperti aluminum, indium, boron, dan galium dapat dilakukan untuk mengubah sifat listrik dan gap energi CdS. Pola difraksi XRD yang diperoleh ketika CdS didoping Boron tidak terlihat adanya puncak baru yang menunjukkan bahwa ion B3+ tidak mengubah kristal CdS. Semakin besar perbandingan konsentrasi Galium dan Cadmium maka energi gap CdSpun berubah. Ion Ga3+ mungkin malah menggantikan ion Cd2+. Hasil foto SEM menunjukkan morfologi CdS doping Galium tidak mengalami perubahan (Khallaf et al. 2009). Selain itu pula dilakukan doping dengan unsur golongan IIIA lainnya yaitu Boron dan diperoleh hasil yang sama (Khallaf et al. 2009).

Gambar 5 Difraksi sinar X film CdS pada suhu anneling yang berbeda (Murali et al. 2007)

12

Gambar 6

Energi gap film CdS doping Galium sebagi fungsi perbandingan [Ga]/[Cd] (Khallaf et al. 2009)

2.3 Polytiophene

Polimer tiophene relatif stabil di udara bebas maupun di lingkungan air dan memiliki mobilitas hole yang tinggi (Lin 2005). Polythiophene dapat dibuat dari monomer 3-methylthiophene secara klasik maupun elektrokimia. Thiophene merupakan salah satu polimer konduktif jenis aromatik heterocylic yang hampir mirip dengan pyrrole. Rumus kimianya adalah C 4 H 4 S, dimana sulfur merupakan heteroatom. Polimer poly3-heksiltiophene merupakan turunan dari polytiophene. Struktur polimer poly3-heksiltiophene ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 7 Struktur polimer poly3-heksilthiophene (Ge 2009)

13

2.4 Kitosan

Kitosan merupakan bahan dasar suatu polielektrolit yang mengandung gugus amina dan gugus hidroksil, yang banyak digunakan sebagai bahan molekul transpor aktif suatu anion dalam larutan. Kitosan memiliki sifat mudah terdegradasi, biokompetibel dan tidak beracun. Sifat-sifat kitosan dihubungkan dengan adanya gugus amina dan kardoksil yang terikat. Adanya gugus tersebut menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang baik dan penyumbang sifat elektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai amino exchange. Gambar 8 menunjukkan struktur kitosan.

Gambar 8

Struktur Kitosan (Hirano 2000)

2.5 Sel Surya

Pada sekitar akhir abad 19, aliran listrik surya diketemukan oleh ahli fisika Jerman bernama Alexandre Edmond Becquerel secara kebetulan dimana berkas sinar matahari jatuh pada larutan elektro kimia bahan penelitian, sehingga muatan elektron pada larutan meningkat. Pada awal abad 20, Albert Einstein menamakan penemuan ini dengan photoelectric effect, yang kemudian menjadi pengertian dasar pada photovoltaic effect, dimana selempeng metal melepaskan photon partikel energi cahaya ketika terkena sinar matahari. Gelombang cahaya sinar lembayung (ultraviolet) adalah sinar yang bermuatan energi foton tinggi dan panjang gelombangnya pendek, sedangkan sinar merah (infrared) adalah sinar yang bermuatan energi foton rendah dan dalam bentuk gelombang panjang. Sekitar tahun 1930, ditemukan konsep Quantum Mechanics untuk menciptakan teknologi baru solid-state, dimana perusahaan Bell Telephone Research Laboratories menciptakan sel surya padat yang pertama.

14

Tahun 1950 - 1960, teknologi disain dan efisiensi sel surya terus berlanjut dan diaplikasikan ke pesawat ruang angkasa (photovoltaic energies). Tahun 1970-an, dunia menggalakkan sumber energi alternatif yang terbarukan dan ramah lingkungan, maka PV mulai diaplikasikan ke low power warning systems dan offshore buoys (tetapi produksi PV tidak dapat banyak karena masih handmade). Baru pada tahun 1980-an, perusahaan-perusahaan PV bergabung dengan instansi energi pemerintah agar dapat lebih memproduksi PV sel dalam jumlah besar, sehingga harga sel surya dapat serendah mungkin. Sel surya diproduksi dari bahan semikonduktor yaitu silikon berperan sebagai isolator pada temperatur rendah dan sebagai konduktor bila ada energi dan panas. Sebuah silikon sel surya adalah sebuah diode yang terbentuk dari lapisan atas silikon tipe n (silicon doping of phosphorous), dan lapisan bawah silikon tipe p (silicon doping of boron) seperti Gambar 9.

Gambar 9

Diagram sebuah potongan Sel Surya (PV sel) (http://rhazio.files.wordpress.com/2007/09/sry2.jpg)

Elektron-elektron bebas terbentuk dari jutaan foton atau benturan atom pada lapisan penghubung (junction = 0.2-0.5 micron4) yang menyebabkan terjadinya aliran listrik. Pengembangan sel surya semakin banyak menggunakan bahan

semikonduktor yang bervariasi dan silikon yang secara individu (chip) banyak digunakan, diantaranya : a. Mono-crystalline (Si), dibuat dari silikon kristal tunggal yang didapat dari peleburan silikon dalam bentukan bujur. Sekarang mono-crystalline dapat dibuat setebal 200 mikron, dengan nilai efisiensi sekitar 24%.

15

b. Polycrystalline/Multi-crystalline (Si), dibuat dari peleburan silikon dalam tungku keramik, kemudian pendinginan perlahan untuk mendapatkan bahan campuran silikon yang akan timbul di atas lapisan silikon. Sel ini kurang efektif dibanding dengan sel mono-crystalline (efektivitas 18%), tetapi biaya pembuatannya lebih murah. c. Gallium Arsenide (GaAs). Galium Arsenide pada unsur periodik III-V berbahan semikonduktor ini sangat efisien dan efektif dalam menghasilkan energi listrik sekitar 25%. Banyak digunakan pada aplikasi pemakaian sel surya (Rahardjo 2008). Sampai saat ini modul sel surya komersial memiliki efisiensi berkisar antara 5 hingga 15 persen tergantung material penyusunnya. Tipe silikon kristal merupakan jenis piranti sel surya yang memiliki efisiensi tinggi meskipun biaya pembuatannya relatif lebih mahal dibandingkan sel surya jenis lainnya. Tipe modul sel surya inilah yang banyak beredar di pasaran. Sebenarnya ada produk sel surya yang efisiensinya bisa mencapai 40%, namun belum dijual secara massal. Prestasi ini dicapai oleh DoE yang sudah mengembangkannya sejak awal tahun 1980. Pencapaian efisiensi hingga 40% tersebut dilakukan dengan mengkonsentrasikan cahaya matahari. Teknologi ini menggunakan konsentrator optik yang mampu meningkatkan intensitas cahaya matahari sehingga konversi listriknya pun juga meningkat. Sedangkan pada umumnya teknologi sel surya hanya mengandalkan cahaya matahari alami atau dikenal dengan "one sun insolation" yang hanya mampu menghasilkan efisiensi 12 hingga 18 persen (Suhono 2009).

2.4.1 Sel Surya Persambungan Semikonduktor p-n (Solid State p-n Junction) Ketika bahan semikonduktor diiluminasi cahaya (misalkan dari cahaya matahari) dengan energi yang lebih besar daripada energi bandgap

semikonduktor, maka akan terjadi eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi (Hummel 2001). Dengan kata lain terbentuk pasangan hole-elektron karena elektron meninggalkan hole di pita valensi (Gambar 10). Cahaya (foton) yang jatuh pada permukaan sel surya akan diserap dan dikonversikan menjadi energi listrik. Tetapi tidak semua energi foton yang diserap

16

dikonversikan menjadi energi listrik. Hanya foton yang mempunyai energi foton cukup (h>E g ) untuk mengatasi celah energi yang dapat dikonversikan. Dalam pertidaksamaan di atas h adalah konstanta Planck (6,626 x 10-34 J.s.), adalah frekuensi foton (Hz) dan E g adalah energi celah energi (eV). Semakin tinggi intensitas cahaya dengan energi foton h > E g , maka semakin banyak jumlah foton yang diterima sel surya, sehingga jumlah pasangan elektron dan hole yang dibangkitkan semakin besar. Karena pengaruh medan listrik ( ) maka pembawa muatan bebas (elektron dan hole) yang terdapat di daerah lapisan deplesi akan mendapat gaya listrik sebesar F = q dimana q adalah muatan elektron atau hole (Yani 2008). Ketika persambungan dihubung singkat (short-circuit) maka pemisahan muatan yang terjadi menyebabkan timbulnya arus pada kawat penghubung (disebut arus hubung singkat, Isc pada Gambar 11a). Ketika kawat penghubung dibuka (open circuit), maka hole akan bergerak dari daerah deplesi menuju sisi p, demikian pula elektron bergerak menuju sisi n menghasilkan perbedaan potensial antara kedua sisi (disebut tegangan open circuit, V oc pada Gambar 11b). Karakteristik arus-tegangan persambungan p-n setelah diiluminasi cahaya didapatkan pada persamaan (4) dikurangi rapat arus short-circuit. (1)

Gambar 10 Semikonduktor yang diiluminasi cahaya dengan energi foton yang lebih besar daripada bandgap semikonduktor (Soga 2006)

17

Gambar 11 Diagram energi pada persambungan p-n ketika diiluminasi cahaya dengan energi foton (h) yang lebih besar dari bandgap (a) ketika dihubung singkat (short circuit) dan (b) ketika hubung singkat dibuka (open circuit) (Soga 2006) sebagai berikut:
J = J o e qV / nkT 1 J SC

(2)

Jika diasumsikan luas permukaan sel surya adalah satu satuan luas, maka karakteristik arus-tegangan dapat dinyatakan oleh persamaan berikut :
I = I o e qV / nkT 1 I SC

(3)

Ketika dihubung-buka (open circuit), arus yang mengalir I = 0 , sehingga tegangan open circuit bisa dinyatakan sebagai VOC = nkT I SC ln I + 1 q O (4)

Pemanfaatan persambungan semikonduktor seperti ini menghasilkan perubahan energi dari energi foton cahaya menjadi energi listrik secara langsung. Sehingga persambungan ini disebut juga sel photovoltaic atau lebih sering disebut sebagai sel surya (solar cell). Karena kedua tipe semikonduktor yang digunakan umumnya zat padat, maka sel surya yang dibuat dari persambungan p-n sering pula disebut sebagai solid-state solar cell. Dan karena telah banyak diaplikasikan, sel surya jenis ini sering juga disebut sel surya konvensional untuk membedakannya dengan jenis sel surya baru yang memiliki prinsip kerja yang berbeda (Fonash 2010).

18

2.5.2 Sel Surya Hibrid

Transpor muatan pada semikonduktor organik bergantung pada kemampuan pembawa muatan untuk melintas dari satu molekul ke molekul lain. Loncatan muatan pembawa dari satu molekul ke molekul lain ditentukan oleh celah energi antara tingkat energi HOMO (high occupied molecule orbital) dan LUMO (lowest unoccupied molecule orbital). Gambar 12 menunjukkan tingkat energi HOMO dan LUMO pada semikonduktor organik. Transpor muatan pada semikonduktor organik lebih ditentukan oleh orbit ikatan daripada orbit ikatan . Hal ini terjadi karena energi eksitasi yang dibutuhkan oleh elektron pada orbital menuju orbital * yang lebih kecil dibandingkan dengan elektron yang berada pada orbital ikatan . Bahan semikonduktor organik yang digunakan sebagai lapisan aktif sel surya dapat berbentuk molekul atau polimer konjugat.

Gambar 12 Level energi molekul konjugat- (eksitasi elektron dari orbital ke *) Penemuan penting untuk menemukan sel surya organik dengan efisiensi tinggi yaitu dengan menciptakan sel surya heterojunction dimana material organik menerima elektron dan hole yang lebih banyak jika dibandingkan piranti tunggal saja yang menunjukkkan nilai efisiensi yang lebih baik. Dengan menggunakan heterojunction, eksiton (ikatan pasangan elektron-hole) yang mengalami

fotogenerasi pada polimer dapat secara efisien dipisahkan menjadi pembawa muatan pada interface, sedangkan pada piranti tunggal banyak elektron yang

19

mengalami rekombinasi dalam waktu singkat. Pemisahan muatan terjadi pada interface antara molekul donor dan aseptor, yang dimediasi oleh penurunan potensial yang besar. Setelah terjadi foto-eksitasi elektron dari HOMO ke LUMO, elektron dapat melompat dari LUMO donor (bahan dengan LUMO yang tinggi) ke LUMO aseptor jika terdapat perbedaan potensial antara potensial ionisasi donor dan afinitas elektron aseptor yang lebih besar dari energi ikat eksiton (Gambar 13). Proses ini disebut sebagai transfer muatan terfotoinduksi, dapat mempermudah mobilitas muatan bebas jika hole tertinggal pada donor karena tingkat HOMOnya yang lebih besar. Sebaliknya, jika HOMO aseptor lebih besar, transfer eksiton sepenuhnya terjadi pada bahan dengan bandgap kecil yang disertai dengan kehilangan energi. Pemisahan eksiton yang efisien pada heterojunction, bahan donor dan aseptor sangat berhubungan. Skala jarak optimum berhubungan dengan panjang difusi eksiton, besarnya sekitar dalam skala nanometer. Selain itu, ketebalan lapisan aktif harus sebanding dengan panjang penetrasi cahaya dimana pada semikonduktor organik, nilainya berkisar antara 80200 nm (Kietzke 2007).

Gambar 13

Interface antara dua semikonduktor polimer yang berbeda (D = donor, A = aseptor) yang dapat memfasilitasi transfer muatan oleh pemisahan eksiton atau transfer energi, dimana semua eksiton ditransfer dari donor ke aseptor (Keitzke 2007)

Bahan organik yang dikonjugasikan dengan polimer menujukkan suatu sifat optoelektronik semikonduktor seperti sifat mekanik dan manfaat yang diharapkan pada bahan polimer. Diantara berbagai jenis sel surya organik, sel surya organikinorganik merupakan jenis yang sangat menjanjikan dimana tidak hanya memiliki area interface yang luas dimana eksiton, ikatan antara pasangan elektron-hole,

20

yang dapat dipisahkan secara efektif tetapi juga memiliki dua saluran yang terpisah untuk transport elekron dan hole, yaitu masing-masing semikonduktor nanorod dan lapisan polimer (Yang et al. 2006). Kajian tentang sel surya hibrid organik-inorganik heterojunction diawali dengan fotovoltaik organik berbasis molekul-molekul kecil, kemudian diikuti oleh sel fotovoltaik berbasis polimer. Lu et al. (2009) membuat sel surya hibrid dengan menyambungkan CdS dengan polimer poly3-octylthiophene (P3OT) yang merupakan turunan dari polythiophene dan diperoleh efisiensi konversi sebesar 0,015 % dengan intensitas penyinaran 100 mW/cm2. Dari penelitian ini diperoleh rapat arus short circuit yang kecil yang diakibatkan oleh P3OT yang tebal dan mobilitas pembawa muatannya yang rendah. Ketebalan lapisan P3OT ternyata sangat mempengaruhi besarnya I SC dan V OC . Doping bahan HgCl 2 pada CdS mengubah energi gap CdS dan meningkatkan konduktifitas listrik lapisan tipis (Salinas et al. 2006). Aktifitas fotofoltaik pada persambungan dua semikonduktor organik tipe-n dan semikonduktor anorganik tipe-p telah dilakukan oleh banyak peneliti. S.A. Mohammad (2007) telah meneliti efek fotofoltaik pada persambungan ZnTe dan polimer konduktif (PEO/polyethilene oxide-kitosan). Di dalam polimer itu ditambahkan larutan NH 4 I sebagai elektrolit. Penambahan konsentrasi NH 4 I yang beragam menunjukkan efek fotofoltaik yang beragam pula. Dimana semakin besar konsentrasi NH 4 I yang ditambahkan maka semakin besar I sc dan V oc yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena elektrolit berfungsi sebagai aseptor elektron yang bertanggung jawab terhadap terjadinya reaksi redoks dalam polimer.

You might also like