You are on page 1of 10

Jan 24, '07 5:13 AM

[Puasa Muharram] Keutamaan Bulan Muharram


for everyone
Bulan Muharram adalah salah satu dari empat bulan haram atau bulan yang dimuliakan
Allah. Empat bulan tersebut adalah bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.

“Sesungguhnya jumlah bulan di kitabullah (Al Quran) itu ada dua belas bulan sejak
Allah menciptakan langit dan bumi, empat di antaranya adalah bulan-bulan haram”
(QS. At Taubah: 36)

Kata Muharram artinya “dilarang”. Sebelum datangnya ajaran Islam, bulan Muharram
sudah dikenal sebagai bulan suci dan dimuliakan oleh masyarakat Jahiliyah. Pada bilan
ini dilarang untuk melakukan hal-hal seperti peperangan dan bentuk persengketaan
lainnya.

Kemudian ketika Islam datang kemuliaan bulan haram ditetapkan dan dipertahankan
sementara tradisi jahiliyah yang lain dihapuskan termasuk kesepakatan tidak berperang.

Bulan Muharram memiliki banyak keutamaan, sehingga bulan ini disebut bulan Allah
(syahrullah). Beribadah pada bulan haram pahalanya dilipatgandakan dan bermaksiat di
bulan ini dosanya dilipatgandakan pula.

Pada bulan ini tepatnya, tanggal 10 Muharram Allah menyelamatkan nabi Musa as dan
Bani Israil dari kejaran Firaun. Mereka memuliakannya dengan berpuasa. Kemudian
Rasulullah SAW menetapkan puasa pada tanggal 10 Muharram sebagai kesyukuran atas
pertolongan Allah SWT.

Masyarakat Jahiliyah sebelumnya juga berpuasa. Puasa Muharram tadinya hukumnya


wajib, kemudian berubah jadi sunnah setelah turun kewajiban puasa Ramadhan.
Rasulullah SAW bersabda: “Dari Ibu Abbas ra, bahwa Nabi SAW, ketika datang ke
Madinah, mendapatkan orang Yahudi berpuasa satu hari, yaitu ‘Asyuraa (10
Muharram). Mereka berkata, “Ini adalah hari yang agung yaitu hari Allah
menyelamatkan Musa dan menenggelamkan keluarga Firaun. Maka Nabi Musa as
berpuasa sebagai bukti syukur kepada Allah SWT. Rasulullah SAW, berkata, “Saya lebih
berhak mengikuti Musa as. Daripada mereka.” Maka beliau berpuasa dan
memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa”. (HR. Bukhari)

Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baiknya puasa setelah
Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram. Dan sebaik-baiknya ibadah
setelah ibadah wajib adalah shalat malam.” (HR Muslim)

Walaupun ada kesamaan dalam ibadah, khususnya berpuasa, tetapi Rasulullah SAW.
Memerintahkan pada umatnya agar berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Yahudi,
apalagi oleh orang-orang musyrik. Oleh karena itu beberapa hadits menyarankan agar
puasa ‘Asyura diikuti oleh puasa satu hari sebelum atau sesudah puasa hari ‘Asyura.

Secara umum, puasa Muharram dapat dilakukan dengan beberapa pilihan.


1. Berpuasa tiga hari, sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya, yaitu puasa tanggal 9,
10 dan 11 Muharram.
2. Berpuasa pada hari itu dan satu hari sesudah atau sebelumnya, yaitu puasa tanggal 9
dan 10, atau 10 dan 11 Muharram.
3. Puasa pada tanggal 10 saja, hal ini karena ketika Rasulullah SAW memerintahkan
untuk puasa pada hari ‘Asyura para sahabat berkata: “Itu adalah hari yang diagungkan
oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, beliau bersabda: “Jika datang tahun depan
insya Allah kita akan berpuasa hari kesembilan, akan tetapi beliau meninggal pada
tahun tersebut.” (HR. Muslim)

Landasan puasa pada tanggal 11 Muharram didasarkan pada keumuman dalil keutamaan
berpuasa pada bulan Muharram. Di samping itu sebagai bentuk kehati-hatian jika terjadi
kesalahan dalam penghitungan awal Muharram.

Selain berpuasa, umat Islam disarankan untuk banyak bersedekah dan menyediakan lebih
banyak makanan untuk keluarganya pada 10 Muharram. Tradisi ini memang tidak
disebutkan dalam hadits, namun ulama seperti Baihaqi dan Ibnu Hibban menyatakan
bahwa hal itu baik untuk dilakukan.

Demikian juga sebagian umat Islam menjadikan bulan Muharram sebagai bulan anak
yatim. Menyantuni dan memelihara anak yatim adalah sesuatu yang sangat mulia dan
dapat dilakukan kapan saja. Dan tidak ada landasan yang kuat mengaitkan menyayangi
dan menyantuni anak yatim hanya pada bulan Muhaaram.

Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam sistem kalender Islam. Oleh karena itu
salah satu momentum yang sangat penting bagi umat Islam yaitu menjadikan pergantian
tahun baru Islam sebagai sarana umat Islam untuk bermuhasabah terhadap langkah-
langkah yang telah dilakukan dan rencana ke depan yang lebih baik lagi.

Momentum perubahan dan perbaikan menuju kebangkitan Islam sesuai dengan jiwa
hijrah Rasulullah SAW dan sahabatnya dari Mekkah ke Madinah. Dari Abu Qatada ra.
Rasulullah ditanya tentang puasa hari ‘Asyura, beliau bersabda: “Saya berharap ia bisa
menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat.” (HR. Muslim)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al
Hasyr: 18)
Pengertian, Definisi dan Tata Cara Puasa Ramadhan, Senin
Kamis, Nazar, Sya'ban, Petengahan Bulan, Asyura, Arafah dan
Syawal
Thu, 06/07/2006 - 3:59pm — godam64
Arti puasa menurut bahasa adalah menahan. Menurut syariat islam puasa adalah suatu
bentuk aktifitas ibadah kepada Allah SWT dengan cara menahan diri dari makan, minum,
hawa nafsu, dan hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa sejak terbit matahari / fajar /
subuh hingga matahari terbenam / maghrib dengan berniat terlebih dahulu sebelumnya.
Hari-hari yang dilarang untuk puasa, yaitu :
- saat lebaran idul fitri 1 syawal dan idul adha 10 dzulhijjah
- Hari tasyriq : 11, 12, dan 13 zulhijjah
Puasa memiliki fungsi dan manfaat untuk membuat kita menjadi tahan terhadap hawa
nafsu, sabar, disiplin, jujur, peduli dengan fakir miskin, selalu bersyukur kepada Allah
SWT dan juga untuk membuat tubuh menjadi lebih sehat.
Orang yang diperbolehkan untuk berbuka puasa sebelum waktunya adalah :
- Dalam perjalanan jauh 80,640 km (wajib qodo puasa)
- Sedang sakit dan tidak dapat berpuasa (wajib qodo puasa)
- Sedang hamil atau menyusui (wajib qada puasa dan membayar fidyah)
- Sudah tua renta atau sakit yang tidak sembuh-sembuh (wajib membayar fidyah 3/4 liter
beras atau bahan makanan lain)
A. Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan hukumnya adalah wajib bagi orang yang sehat. Sedangkan bagi yang
sakit atau mendapat halangan dapat membayar puasa ramadhan di lain hari selain bulan
ramadan. Puasa ramadhan dilakukan selama satu bulan penuh di bulan romadhon
kalender hijriah / islam. Puasa ramadhan diakhiri dengan datangnya bulan syawal di
mana dirayakan dengan lebaran ied / idul fitri.
B. Puasa Senin Kamis
Puasa senin kamis hukumnya adalah sunah / sunat di mana tidak ada kewajiban dan
paksaan untuk menjalankannya. Pelaksanaan puasa senin kamis mirip dengan puasa
lainnya hanya saja dilakukannya harus pada hari kamis dan senin saja, tidak boleh di hari
lain.
C. Puasa Nazar
Untuk puasa nazar hukumnya wajib jika sudah niat akan puasa nazar. Jika puasa nazar
tidak dapat dilakukan maka dapat diganti dengan memerdekakan budak / hamba sahaya
atau memberi makan / pakaian pada sepuluh orang miskin. Puasa nazar biasanya
dilakukan jika ada sebabnya yang telah diniatkan sebelum sebab itu terjadi. Nazar
dilakukan jika mendapatkan suatu nikmat / keberhasilan atau terbebas dari musibah /
malapetaka. Puasa nazar dilakukan sebagai tanda syukur kepada Allah SWT atas ni'mat
dan rizki yang telah diberikan.
D. Puasa Bulan Syaban / Nisfu Sya'ban
Puasa nisfu sya'ban adalah puasa yang dilakukan pada awal pertengahan di bulan syaban.
Pelaksanaan puasa syaban ini mirip dengan puasa lainnya.
E. Puasa Pertengahan Bulan
Puasa pertengahan bulan adalah puasa yang dilakukan pada tanggal 13, 14 dan 15 setiap
bulan sesuai tanggalan hijriah. Pelaksanaan puasa pertengahan bulan mirip dengan puasa
lainnya.
F. Puasa Asyura
Puasa asyura adalah puasa yang dilakukan pada tanggal 10 di bulan muharam /
muharram. Pelaksanaan puasa assyura mirip dengan puasa lainnya.
G. Puasa Arafah
Puasa arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 di bulan zulhijah untuk
orang-orang yang tidak menjalankan ibadah pergi haji. Pelaksanaan arafah mirip dengan
puasa lainnya.
F. Puasa Syawal
Puasa syawal dikerjakan pada 6 hari di bulan syawal. Puasa syawal boleh dilakukan pada
6 hari berturut-turut setelah lebaran idul fitri. Pelaksanaan arafah mirip dengan puasa
lainnya.
Muqadimah
Salah satu hikmah yang tinggi untuk menunjukkan kebesaran Rabbul
`Alamin, adanya permulaan dan penutupan bulan dan tahun yang
berkesinambungan yang tak terputus antara siang dan malam. Ia jadikan
keduanya sebagai perbendaharaan untuk aktifitas yang jelek maupun yang
buruk dan perjalanan hidup manusia, sampai bertemu dengan ajalnya.
Dan di antara satu dari sekian rahmat Allah yang perlu disyukuri oleh setiap
hamba-Nya, adanya tanda-tanda yang menunjukkan kemahakuasaan dan
kebesaran-Nya yaitu diterbitkannya sang mentari di pagi hari dan rembulan
di senja hari, adanya malam untuk merebahkan diri, siang sebagai aktifitas
mencari penghidupan dan karunia dari-Nya. Firman Allah Ta`ala:
"Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda lalu Kami
hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar
kamu mencari karunia dari Tuhanmu. Dan supaya kamu mengetahui
bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah kami
tegakkan dengan jelas." (Al-Isra: 12)
Adanya pergantian hari, dengannya terprogram kehidupan seseorang,
yang silam menjadi pelajaran bagi yang baru, sehingga stamina dan
semangat hidup yang baru selalu menggebu seolah berenang di lautan
yang tak berpantai, sehingga Allah namakan tidur di malam hari dengan
istilah kematian dan terjaga di siang hari dengan istilah sadar (kehidupan).
Firman Allah Ta`ala:
"Dan Dia-lah yang menidurkan kamu di malamhari dan Dia mengetahui
apa yang kamu kerjakan di siang hari. Kemudian Dia membangunkan
kamu pada siang hari untuk disempurnakan umurmu yang telah
ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali. Lalu Dia
memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan." (Al-An`am:
60)
Di sisi lain adanya rahmat Allah yang telah Dia karuniakan kepada hamba-
Nya yaitu dijadikannya matahari sebagai titik tolak dalam mengetahui
pergantian musim dalam setiap tahun dan bulan sebagai perhitungan hari,
bulan dan tahun, di mana Allah jadikan dalam setiap tahun 12 bulan.
Firman Allah:
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan dalam
ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya
empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah
kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." (At-Taubah: 36)
Dua belas bulan yang diterangkan dalam ayat ini adalah bulan-bulan yang
sudah diketahui oleh kebanyakan kaum Muslimin, yaitu Muharram, Shafar,
Rabi’ul Awwal, Rabi’uts Tsani, Jumadil Awwal, Jumad Ats-Tsani, Rajab,
Sya’ban, Ramadlan, Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah.
Adapun yang dimaksud dengan empat bulan haram adalah Rajab,
Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram.
Sandaran yang benar untuk menghitung pergantian bulan
Salah satu kemudahan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya, Dia
jadikan perhitungan hari, bulan dan tahun berdasarkan munculnya hilal
(bulan tsabit), yang muncul dari arah barat di saat matahari tenggelam. Hal
ini bisa diketahui oleh semua pihak baik individu maupun masyarakat
umum.
Di kala telah terlihat hilal, maka masuklah malam itu sebagai bulan baru
dan berakhirlah bulan yang silam. Dari sini diketahui bahwa perhitungan
waktu sehari-hari dihitung sejak tenggelam matahari, bukan dari terbitnya
karena awal bulan dihitung dengan tenggelamnya matahari.
Salah satu bukti terhadap hal ini adalah adanya perintah Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam kepada shahabatnya untuk melihat hilal dalam
menentukan bulan Ramadlan dan Syawal. Sebagaimana dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, beliau mendengar Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
"Apabila kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan apabila kalian
melihatnya maka berbukalah. Namun bila mendung menghalangi kalian,
perkiraan baginya." (HR. Muttafaqun `alaihi)
Dari mana perhitungan tahun Islami dimulai
Pada jaman khalifah Amirul Mukminin Umar bin Khattab radliyallahu `anhu
beliau mengumpulkan manusia untuk membicarakan darimana dimulainya
tahun Islami. Hal ini terjadi kurang lebih pada 16 H atau 17 H. maka
muncullah berbagai pendapat, di antaranya:
• Dihitung dari kelahiran Rasulullah.

• Dihitung dari kematian beliau.

• Dihitung dari hijrahnya beliau.

• Dihitung sejak kerasulan beliau.

Dan semua pendapat ini diputuskan oleh Amirul Mukminin bahwa


dimulainya perhitungan tahun Islami adalah dari hijrahnya beliau
shallallahu `alaihi wa sallam karena sejak disyariatkannya hijrah, Allah
Ta`ala memilah antara yang haq dan yang bathil. Pada waktu itu pula awal
pendirian negara Islam.
Bulan apakah sebagai pemula tahun baru Islam?
Setelah ditentukannya awal perhitungan tahun Islam terjadi silang
pendapat untuk menentukan bulan apa yang dipakai sebagai pemula tahun
baru. Ada yang berpendapat Rabi’ul Awwal karena di waktu itu dimulai
perintah hijrah dari Makkah ke Madinah. Pendapat lain mengatakan bulan
Ramadlan karena di bulan itu diturunkannya Al-Qur’an. Namun silang
pendapat ini tidak berjalan lama setelah sebagian besar dari kalangan
shahabat seperti Umar, Utsman dan Ali radliyallahu `anhum `ajma`in
sepakat bahwa tahun baru Islami dimulai dari bulan Muharram. Di mana di
bulan itu banyak hal-hal atau aktifitas yang diharamkan di antaranya tidak
boleh mengadakan peperangan. Kecuali dalam keadaan diserang maka
diperbolehkan melawannya sebagaimana firman Allah:
"Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah
mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (mekah); dan fitnah itu
lebih besar bahayanya dari pembunuhan; dan janganlah kamu memerangi
mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat
itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka.
Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir." (Al-Baqarah:191)
"Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut
dihormati, berlaku hukum qishash. Oleh sebab itu barangsiapa yang
menyerang kamu maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya
terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
berserta orang-orang yang bertakwa." (Al-Baqarah: 194)
Dari sinilah dikatakannya Muharram sebagai bulan haram.
Adakah sebutan lain bagi bulan Muharram?
Jika kita lihat dari beberapa kalender yang menyebar di jaman kita di sana
tertulis pengganti Muharram ini dengan istilah Syura. Kata ini pun sering
kita dengarkan di masyarakat awam. Wallahu a`lam, mungkin persepsi ini
muncul dari suatu hadits Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang
menerangkan keutamaan puasa di hari Asyura. Para ulama bersilang
pendapat, apakah kata Asyura merupakan bahasa arab. Pendapat yang
benar adalah, kata ini didengar dari suku arab sehingga ia dikategorikan
sebagai bahasa arab. Kata Asyura menurut sebagian berasal dari kata
Asyir yang artinya kesepuluh (hari kesepuluh di bulan Muharram).
"Dari Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam puasa di hari Asyura (kesepuluh) dan beliau
memerintahkan untuk berpuasa padanya." (HR. Bukhari 4 / 214, Muslim
1130, Abu Dawud 2444)
Dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu, dia berkata: telah bersabda
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: "Puasa yang paling utama setelah
ramadlan adalah bulan Muharram dan shalat yang paling utama setelah
shalat fardlu adalah shalat malam." (HR. Muslim 3 / 169, Abu Dawud
2429, Tirmidzi 1 / 143, Ad-Darimi 2 / 21, Ibnu Majah 1742, Al-Baihaqi 4 /
291, Ahmad 2 / 303)
Dari Abu Qatadah Al-Anshari radliyallahu `anhu bahwa beliau Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari Asyura, maka
beliau menjawab: “Menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang lalu." (HR.
Muslim 1162) Dan dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam bersabda: "Puasa Asyura aku harapkan agar menghapus dosa-
dosa tahun yang lalu." (HR. Muslim 3 / 167, Abu Dawud 2425, Al-Baihaqi
4 / 286, Ahmad 5 / 295)
Pendapat yang benar tentang hukum puasa di bulan Muharram dan
waktunya
Para ulama telah sepakat tentang keutamaan puasa di bulan ini. Namun
terdapat silang pendapat di antara mereka tentang hukum dan waktunya.
Ada sebagian pendapat yang mengatakan wajib, tetapi jumhur ulama
berpendapat hukumnya adalah sunnah. Demikian pula tentang waktunya
mereka bersilang pendapat. Di antara pendapat-pendapat tersebut adalah:
1. Hari yang kesepuluh saja. Berdasarkan dlahir hadits-hadits yang
telah lewat penyebutannya.
2. Hari kesembilan dan kesepuluh. Berdasarkan penggabungan dua
hadits yang insya Allah akan datang uraiannya.
3. Hari yang kesembilan dan kesepuluh atau hari yang kesepuluh dan
kesebelas, berdasarkan dalil-dalil yang menerangkan diwajibkannya
untuk menyelisihi Ahlul Kitab.
4. Hari yang kesembilan saja. Berdasarkan hadits-hadits Ibnu Abbas
radliyallahu `anhuma bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
bersabda:
"Sungguh jika aku masih hidup hingga tahun mendatang, aku akan
berpuasa di hari yang kesembilan." (HR. Muslim 1134)
Dari pendapat-pendapat di atas, yang paling mendekati kebenaran adalah
pendapat kedua yang menyatakan disyariatkannya puasa di bulan
Muharram di hari yang kesembilan dan kesepuluh. Pendapat ini yang
dianut kebanyakan para ulama, seperti: Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq
bin Rahawaih, Ibnul Qayyim dan lain-lain dari selain mereka. Hal ini
berdasarkan pemaduan hadits-hadits yang dlahirnya Rasulullah melakukan
puasa di hari kesepuluh sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas, Abu
Hurairah dan Abu Qatadah yang telah lewat, dengan hadits yang dlahirnya
bahwa beliau berniat untuk berpuasa di hari yang kesembilan sebagaimana
hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Penutup
Telah diketahui Islam datang sebagai agama yang universal, di mana
terdapat padanya norma-norma yang mengatur seluruh aktifitas makhluk
yang ada di langit maupun yang di bumi. Syariat-syariat yang telah Allah
bebankan membawa kemaslahatan bagi kehidupan mereka di dunia
maupun di akhirat. Tidaklah perkara ini bisa diketahui kecuali bagi mereka
yang mempunyai hati dan akal sehingga mereka mentadabburi ayat-ayat
Allah. Firman Allah Ta`ala:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal
yaitu orang-orang yang mengingat Allah." (Ali Imran: 190 – 191)
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan padamu penuh dengan
berkah…." (Shad: 29)
Dan di antara salah satu syariat yang cukup memegang peranan penting
dalam kehidupan sehari-hari setelah shalat, adanya perintah puasa baik itu
yang wajib maupun yang sunnah. Jika kita menengok kehidupan
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, maka hampir dapat kita katakan
aktifitas yang selalu tidak beliau tinggalkan adalah puasa. Tentang
pengabaran dalil-dalil dalam hal ini cukup panjang dan lebar, yang sudah
sering tertera di berbagai pembahasan yang telah lalu. Sehingga sengaja
kami tidak paparkan satu persatunya mengingat keterbatasan tempat.
Namun tidak ada salahnya kami sampaikan dalil tentang keutamaan puasa
secara umum. Sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam:
"Puasa adalah perisai…." (al-hadits)
Dari Abu Said Al-Khudri radliyallahu `anhu dia berkata: Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah seorang hamba puasa
sehari di jalan Allah kecuali Allah jauhkan dengannya wajah dia dari neraka
sejauh 70 tahun." (HR. Muttafaqun `alaihi
Demikian yang bisa kami sajikan pada rubrik Ahkam kali ini. Mudah-
mudahan Allah jadikan kita semua menjadi orang-orang yang pandai
bersyukur dan termasuk dari Ahlus Shaim (orang-orang yang berpuasa)
yang dengannya Allah akan berikan ampunan dan pahala yang besar.
Firman Allah:
"Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan prempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan
yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan
yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan
perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan
yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar." (Al-Ahzab: 35)

You might also like