You are on page 1of 8

A.

Pendahuluan
Dalam filsafat, kita mengenal 2 metode, yaitu metode induksi dan metode deduksi. Metode induksi adalah upaya baru dalam mengenali satu pengetahuan, karena variabel premisnya tidak selamanya berangkat dari kepastian atau sesuatu yang meyakinkan. Sedangkan metode deduksi adalah bentuk reformasi yang ditawarkan Descartes dan para pengikutnya untuk menanggulangi kemandulan silogisme/kiyas Aristoteles. Teori deduksi ini pada dasarnya digunakan sebagai metode dalam ilmu-ilmu formal, seperti matematika dan ilmu logika. Metode induksi dan metode deduksi lahir di Eropa pada akhir abad modern, yaitu pada abad ke tujuh belas, ketika muncul kebutuhan mendesak akan lahirnya satu teori baru guna menggantikan kiyas yang mulai ditinggalkan para pemikir modern yang hendak membebaskan diri dari setiap kekuasaan selain kekuasaan akal. Selain 2 metode di atas, menurut garis historis, terdapat 10 metode, yaitu metode kritis, metode intuitif, metode skolastik, metode geometris, metode empiris, metode transendental, metode fenomenologis, metode dialektis, metode neo-positivistis, dan metode analitik bahasa. Abad ketujuh belas ini ditandai sebagai abad kemajuan ilmu yang paling signifikan, karena telah membantu lahirnya dunia eksperimen murni.

B. Isi
a. Metode Induksi
Metode induksi adalah upaya baru dalam mengenali satu pengetahuan, karena variable premisnya tidak selamanya berangkat dari kepastian atau sesuatu yang meyakinkan. Peradaban materialistis kita sekarang sangat besar utangnya kepada ilmu pengetahuan, karena metodologinya yang didasarkan pada metode induksi atau eksperimen yang digunakan dalam melakukan studi terhadap berbagai fenomena alam material. Metode ini tercipta untuk mengkaji hubungan antara satu materi dengan materi lainnya. Sehingga ketika unsur tersebut menyatu, teori tersebut akan dapat menguasai dan mengendalikan arah serta mengelolanya demi kesejahteraan manusia dan generasinya. Metode induksi juga berarti suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat khusus, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.1

Drs. Sudarto,M.Hum. Metodologi penelitian filsafat. PT raja grafindo persada,Jakarta. 2002. Hal.57

Induksi pada umumnya disebut generalisasi. Pada metode induksi filosofis ini, hakikat manusia yang universal ditemukan di dalam yang singular atau individual. Berarti hakikat itu berlaku bagi semua kasus, dalam situasi manapun. Generalisasi filosofis demikian itu, menurut istilah Immanuel Kant, disebut Transendental. Pada pengguna metode induksi, kesimpulan yang diperoleh pada dasarnya merupakan suatu keadaan yang boleh jadi benar (probabilitas).2 Dengan metodologi ilmiah ini, ilmu akan mampu memaksa alam natural menjadi sarana bagi kesejahteraan manusia. Kebenaran dalam sudut pandang kiyas adalah keselarasan antara kesimpulan dengan premisnya, bukan keselarasannya dengan alam nyata. Para ahli modern telah mendapatkan bahwa kiyas mandul tidak mampu menguak pengetahuan baru dan hanya dapat meningkatkan kemampuan debat dan menafsirkan. Descartes mengungkapkan, ia memberika syarat bahwa pada setiap formasi harus mampu memberi peluang membuka pengetahuan baru. Berpikir ilmiah adalah sarana untuk mendapatkan pengetahuan baru dengan mentransformasi hal yang tadinya tak diketahui sesuai metodologi ilmiah yang berlaku. Ukuran kebenaran dalam kiyas adalah keselarasan antara konklusi dengan premisnya. Sementara kebenaran dalam metode induksi / riset adalah keselarasan konklusi dengan alam nyata. Adapun cara untuk mencapai kesimpulan umum adalah melalui diagram naik dengan mengenali partikel partikelnya. Metodologi riset dimaksudkan untuk mendeteksi fenomena nyata demi mencari sebab kausalnya melalui sifat dan karakter riilnya. Metode induksi ini dimaksudkan untuk menciptakan kaidah-kaidah umum guna menafsirkan fenomena yang di kaji melalui metode ini, dan hasilnya tidak melahirkan suatu pengetahuan yang memungkinkan. Hal ini seperti pada kaidah kaidah ilmu ilmu formalis, semisal ilmu logika atau matematika, atau kaidah kaidah induksi yang sempurna, yaitu yang mengatarkan pembahasnya untuk mengobservasi sebagian sampelnya, kemudian membuat generalisasi dengan menciptakan suatu kalimat umum yang memuat semua variabel variabelnya di setiap waktu dan tempat. Generalisasi ini didukung oleh 2 hal, yaitu pertama, keyakinan kita bahwa setiap fenomena pasti memiliki sebab kausal yang melatarinya. Kedua, keyakinan kita bahwa fenomena natural sesungguhnya berjalan pada watak yang satu dan susunan yang tidak berubah. Hukum hukum induksi-naturalis ini memiliki keistimewaan sebagai hukum positif yang mampu mengidentifikasi berbagai fenomena persis seperti realitanya, bukan seperti yang diharapkan pengkajinya.

Drs. Sudarto,M.Hum. Metodologi penelitian filsafat. PT raja grafindo persada,Jakarta. 2002. Hal 57-58. Jakarta

b. Metode Deduksi
Metode deduksi ialah suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah yang bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat umum, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penerapan metode deduksi harus melalui 2 tahap, yaitu : 1. Dari pemahaman yang telah digeneralisasi dapat di buat deduksi mengenai sifatsifat yang lebih khusus yang mengalir dari yang umum, tetapi segi khusus ini masih tetap merupakan pengertian umum. 2. Yang umum, semuanya harus di lihat kembali dalam skala yang individual. Dengan demikian generalisasi yang dahulu dikaji kembali, apakah hal itu memang sesuai dengan kenyataan riil kemudian direfleksi kembali. Sebenarnya dari metode induksi maupun deduksi, tidak dapat dikatakan yang mana yang lebih dahulu. Jadi antara induksi dan deduksi terdapat suatu lingkaran Hermeneutik, dari umum ke khusus, dan dari khusus ke umum.

c. Metode kritis : Socrates, Plato


Bersifat analisis istilah dan pendapat. Yang menjelaskan keyakinan dan memperlihatkan pertentangan. Dengan jalan bertanya (dialog), membedakan, membersihkan, menyisihkan dan menolak, dan akhirnya ditemukan hakikat.3 Metode ini bersifat praktis dan dijalankan dalam percakapan percakapan. Socrates tidak menyelidiki fakta fakta, melainkan ia menganalisis berbagai pendapat atau aturan aturan yang dikemukakan orang. Socrates selalu mulai dengan menganggap jawaban pertama sebagai suatu hipotesis dan dengan pertanyaan lebih lanjut ia menarik segala konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban tersebut.4 Metode ini biasanya disebut dialektika karena dialog atau wawancara mempunyai peranan hakiki di dalamnya. Dengan cara dialog tersebut Socrates menemukan suatu cara berpikir induksi, maksudnya berdasarkan beberapa pengetahuan mengenai masalah masalah khusus, memperoleh kesimpulan pengetahuan yang bersifat umum.5 Plato dianggap sebagai pendiri paham idealisme positivisme. Diantara keistimewaan plato adalah cara dialognya yang rapi ketika sedang membahas berbagai tema persoalan. Meski cara Plato tersebut belum dapat disebut sebagai ilmu logika.
3 4

Drs. Surajiyo. Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia. PT bumi aksara. 2008. Jakarta . hal 10 Drs. Surajiyo. Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia. PT bumi aksara. 2008. Jakarta . hal 11 5 Drs. Surajiyo. Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia. PT bumi aksara. 2008. Jakarta . hal 11-12

d. Metode intuitif : Plotinus (205-270), Bergson (1859-1941)


Metode intuitif yaitu dengan melakukan introspeksi intuitif, dengan memakai simbolsimbol. 6 Bergson : dengan jalan pembauran antara kesadaran dan proses perubahan, tercapai pemahaman langsung mengenai kenyataan. Intuisi adalah naluri yang telah mendapatkan kesadaran diri, yang telah diciptakan untuk memikirkan sasaran serta memperluas sasaran itu menurut kehendak sendiri tanpa batas. Fungsi intuisi adalah untuk mengenal hakikat pribadinya atau aku dengan lebih murni dan untuk mengenal hakikat seluruh kenyataan. Prinsip metode ini adalah harmoni, maksudnya mengumpulkan banyak bahan dari beberapa filsuf lain kemudian dibanding bandingkan dan ditimbang timbang kembali sehingga dapat diberi tafsiran baru. Selanjutnya ia cari kebenaran dengan jalan yang sangat rumit (kompeks). Plotinus sendiri mengaku sebagai pengikut ajaran Plato, maka alirannya dikenal dengan nama Neo-Platonisme. Metode ini bukan suatu penalaran atau pun suatu induksi, melainkan kontemplasi (perenungan) yang intens dan mendalam. Filsafat Bergson bersifat spiritualistis, ia akan menyelami kegiatan spiritual intern di dalam individu yang kongkret, tetapi dengan cara ilmiah, suatu cara yang membangkitkan dan lebih dapa dipertanggungjawabkan.7

e. Metode skolastik : Aristoteles, Thomas Aquinas, Filsafat abad pertengahan (1225-1247)


Bersifat sintesis-deduktif. Dengan bertitik tolak dari definisi-definisi atau prinsip-prinsip yang jelas dengan sendirinya, di tarik kesimpulan-kesimpulan.8 Thomas Aquinas sebagai tokoh filsafat sklastik abad pertengahan, oleh karena itu filsafat skolastik dikembangkan di sekolah-sekolah biara dan keuskupan.Metode skolastik pertama-tama menunjukkan metode mengajar, namun ada hubungan erat dengan metode berpikir. 9 Filsafat Thomas Aquinas di hubungkan erat sekali dengan teologia. Sekalipun demikian pada dasarnya filsafatnya dapat dipandang sebagai suatu filsafat kodrati yang murni.10

6 7

Asmoro Achmadi. Filsafat umum. PT Raja grafindo Persada. 2008. Hal 22. Jakarta Drs. Sudarto,M.Hum. Metodologi penelitian filsafat. PT raja grafindo persada,Jakarta. 2002. Hal 31. Jakarta 8 Drs. Surajiyo. Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia. PT bumi aksara. 2008. Jakarta . hal 10 9 Drs. Sudarto,M.Hum. Metodologi penelitian filsafat. PT raja grafindo persada,Jakarta. 2002. Hal 32. Jakarta 10 Drs. Surajiyo. Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia. PT bumi aksara. 2008. Jakarta . hal 12

Filsafat idealis objectivis-nya lahir dari hasil perkenalannya dengan filsafat Aristoteles dan persinggungannya dengan Agama Kristen. Ia telah melemahkan aliran filsafat materialis yang ada pada pemikiran Aristoteles dan menguatkan unsur filsafat idealisnya.11

f. Metode geometris : Rene Descartes dan pengikutnya (1596-1650)


Melalui analisis mengenai hal-hal yang kompleks, dicapai intuisi akan hakikat-hakikat sederhana (ide terang dan berbeda dari yang lain); dari hakikat-hakikat itu dideduksikan secara matematis segala pengertian lainnya. Metode Descartes dimaksudkan bukan saja sebagai metode penelitian ilmiah, ataupun penelitian filsafat, melainkan juga sebagai metode penelitian rasional mana saja. Menurut Descartes orang tidak harus mulai dengan kebenaran yang diterima dari sarjana lain, termasuk kebenaran yang diterima dari sumber wahyu.12 Rene Descartes berpendapat bahwa ada ketersusunan alami dalam kenyataan yang ada hubungannya dengan pengertian manusia. Di samping itu, ia berusaha keras untuk menemukan yang benar. Ada pun yang harus di pandang sebagai yang benar adalah apa yang jelas dan terang (clear and distinctly).13 Mayoritas pemikir menilai bahwa Descartes merupakan peletak aliran rasionalisme dalam filsafat Eropa modern. Hal itu, dikarenakan ia telah berhasil mengembalikan peran akal setelah dipenjarakan oleh para pengikut aliran skeptisme di Perancis.14

g. Metode empiris : Hobbes, Locke, Berkeley, David Hume


Hanya pengalamanlah yang menyajikan pengertian yang benar; maka semua pengertian (ide-ide) dalam introspeksi dibandingkan dengan serapan serapan (impresi) dan kemudian di susun bersama secara geometris. Thomas Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap. Baginya, filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang efek atau akibat, atau tentang penampakan penampakan yang sedemikian seperti yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari penyebab atau asal usul yang sedemikian seperti yang dapat dimiliki dari mengetahui terlebih dahulu akibat akibatnya.15 Pada tahun 1640, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul Elements of Law, Natural and Politic (Elemen elemen Hukum, Alam dan
11 12

smail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, Khalifa, Jakarta, 2005, Hal.61. Drs. Sudarto,M.Hum. Metodologi penelitian filsafat. PT raja grafindo persada,Jakarta. 2002. Hal 33. Jakarta 13 Drs. Surajiyo. Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia. PT bumi aksara. 2008. Jakarta . hal 13 14 smail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, Khalifa, Jakarta, 2005, Hal.102. 15 Drs. Surajiyo. Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia. PT bumi aksara. 2008. Jakarta . hal 13

politik). Dalam bukunya ini, Hobbes menjelaskan argumentasi tentang perlunya kekuasaan yang tidak terbagi bagi. 16

h. Metode transendental : Immanuel Kant, Neo-skolastik


Bertitik tolak dari pengertian tertentu, dengan jalan analisis syarat-syarat apriori bagi pengertian pengertian. Menurut Kant, pemikiran telah mencapai arahnya yang pasti di dalam ilmu pengetahuan alam, seperti yang telah disusun oleh Newton. Ilmu pengetahuan alam itu telah mengajarkan kita, bahwa perlu sekali terlebih dahulu secara kritis menilai pengenalan atau tindakan mengenal itu sendiri.17 Menurut Kant, setiap orang tidak selalu memberikan isyarat atau harapan yang ia tidak pelajari sebelum seseorang dapat memberikan ide dan pernyataan atau outline yang jelas (vague) di mana metodologi yang berdasarkan murni atau metodologi yang memiliki alasan pengalaman atau tentang ketika seseorang belajar. Kant mencoba memberi peluang prinsip, metodologi praktis/eksperimen murni dan menimbulkan kontradiksi hingga secara filosofi metode tersebut dapat membuktikan kemenangan. Suatu proses, sesuai dengan prinsip prinsip dasar, beragam dari berbagai cabang pengetahuan dapat menemukan suatu sistem yang ilmiah. Sebaliknya, metodologi dengan dasar praktis dapat dimengerti menjadi model, dimana kita dapat memberikan satu akses terhadap ingatan (otak) manusia dan berpengaruh secara maksimal. Inilah barangkali bahwa pikiran Kant untuk membuktikan kepada pembaca bahwa orang memberika prosesi metode ilmiah yang disebu metodologi.

i. Metode Fenomenologis : Husserl, eksistensialisme


Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani fenomenon yang berarti sesuatu yang tampak atau gejala. Fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan tentang segala sesuatu yang menampakkan diri, atau suatu aliran yang membicarakan tentang gejala. Menurut Husserl, fenomenologi memiliki jangkauan yang luas terhadap seluruh benda. Pemikirannya sejalan dengan pandangan Brentano yang mengatakan bahwa karakter utama dari kesadaran (consciousness) adalah ia selalu memiliki objek yang disengaja (the intentional object). Ia berpendapat bahwa setiap kondisi rasinal harus disifati dengan keadaannya, yaitu arah atau objek yang sengaja hendak ditujunya.18

16 17

smail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, Khalifa, Jakarta, 2005, Hal.231. Drs. Surajiyo. Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia. PT bumi aksara. 2008. Jakarta . hal 13 18 Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, Khalifa, Jakarta, 2005, Hal.232.

Usaha untuk mencapai hakikat segala sesuatu adalah reduksi atau penyaringan. Ada 3 macam reduksi, yaitu : Reduksi fenomenologis, kita harus menyaring pengalaman pengalaman kita, dengan maksud supaya mendapatkan fenomena dalam wujud yang murni. 2. Reduksi eidetis, Penyaringan atau penempatan dalam tanda kurung segala hal yang bukan eidos atau inti sari atau hakikat gejala atau fenomenon. 3. Reduksi transendental, Yang harus ditempatkan di antara tanda kurung dahulu ialah eksistensi dan segala sesuatu yang tiada hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, supaya dari objek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subjek.19 1.

j. Metode dialektis : Hegel, Marx


Dengan jalan mengikuti dinamik pikiran atau alam sendiri, menurut Triade tesis, antitesis, sintesis, dicapai hakikat kenyataan. Jalan untuk memahami kenyataan bagi Hegel adalah mengikuti gerakan pikiran atau konsep. Struktur di dalam pikiran adalah sama dengan proses genetis dalam kenyataan, maka metode dan teori atau sistem tidak dapat dipisahkan. Diaklektis itu diungkapkan sebagai 3 langkah, yaitu dua pengertian yang bertentangan, kemudian didamaikan (tesis antitesis sintesis). 20

k. Metode neo-positivistis
Kenyataan dipahami menurut hakikatnya dengan jalan mempergunakan aturan aturan seperti yang berlaku pada ilmu pengetahuan positive (eksakta).

l. Metode analitika bahasa : Wittgenstein


Metode ini dapat di nilai cukup netral sebab sama sekali tidak mengendalikan salah satu filsafat. Keistimewaan dalam metode ini ialah semua kesimpulan dan hasilnya senantiasa didasarkan kepada penelitian bahasa yang logis.21

19 20

Drs. Surajiyo. Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia. PT bumi aksara. 2008. Jakarta . hal 14 Drs. Surajiyo. Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia. PT bumi aksara. 2008. Jakarta . hal 14 21 Drs. Surajiyo. Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia. PT bumi aksara. 2008. Jakarta . hal 14

You might also like