You are on page 1of 11

1.

Pengertian Sosialisasi Politik Michael Rush dan Phillip Althoff merupakan dua orang yang memperkenalkan teori sosialisasi politik melalui buku mereka Pengantar Sosiologi Politik. Dalam buku tersebut, Rush dan Althoff menerbitkan terminologi baru dalam menganalisis perilaku politik tingkat individu yaitu sosialisasi politik. Sosialisasi politik adalah proses oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politik yang kemudian menentukan persepsi serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sistem politik dapat saja berupa input politik, output politik, maupun orang-orang yang menjalankan pemerintahan. Fungsi sosialisasi menurut Rush dan Althoff adalah: Melatih Individu Memelihara Sistem Politik

Sosialisasi politik melatih individu dalam memasukkan nilai-nilai politik yang berlaku di dalam sebuah sistem politik. Misalnya di Indonesia menganut ideologi negara yaitu Pancasila. Oleh sebab itu sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi diberlakukan pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Ini merupakan proses pelatihan yang dilakukan negara terhadap warga negaranya. Pelatihan ini memungkinkan individu untuk menerima atau melakukan suatu penolakan atas tindakan pemerintah, mematuhi hukum, melibatkan diri dalam politik, ataupun memilih dalam pemilihan umum. Rush dan Althoff menuliskan 3 metode sosialisasi politik, yaitu: Imitasi. Melalui imitasi, seorang individu meniru terhadap tingkah laku individu lainnya. Misalnya, Gus Dur adalah anak dari K.H. Wahid Hasyim dan cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama, K.H. Hasyim Asyari. Gus Dur sejak kecil akrab dengan lingkungan pesantren dan budaya politik Nahdlatul Ulama, termasuk dengan kiai-kiainya. Budaya tersebut

mempengaruhi tindakan-tindakan politiknya yang cenderung bercorak Islam moderat seperti yang ditampakan oleh organisasi Nahdlatul Ulama secara umum.

Instruksi. Cara melakukan sosialisasi politik yang kedua adalah instruksi. Gaya ini banyak berkembang di lingkungan militer ataupun organisasi lain yang terstruktur secara rapi melalui rantai komando. Melalui instruksi, seorang individu diberitahu oleh orang lain mengenai posisinya di dalam sistem politik, apa yang harus mereka lakukan, bagaimana, dan untuk apa. Cara instruksi ini juga terjadi di sekolah-sekolah, dalam mana guru mengajarkan siswa tentang sistem politik dan budaya politik yang ada di negara mereka.

Motivasi. Cara melakukan sosialisasi politik yang terakhir adalah motivasi. Melalui cara ini, individu langsung belajar dari pengalaman, membandingkan pendapat dan tingkah sendiri dengan tingkah orang lain. Dapat saja seorang individu yang besar dari keluarga yang beragama secara puritan, ketika besar ia bergabung dengan kelompok-kelompok politik yang lebih bercorak sekular. Misalnya ini terjadi di dalam tokoh Tan Malaka. Tokoh politik Indonesia asal Minangkabau ini ketika kecil dibesarkan di dalam lingkungan Islam pesantren, tetapi ketika besar ia merantau dan menimba aneka ilmu dan akhirnya bergabung dengan komintern. Meskipun menjadi anggota dari organisasi komunis internasional, yang tentu saja bercorak sekular, ia tetap tidak setuju dengan pendapat komintern yang menilai gerapak pan islamisme sebagai musuh. Namun, tetap saja tokoh Tan Malaka ini menempuh cara sosialisasi politik yang bercorak motivasi.

2. Pentingnya sosialisasi politik dan agen-agennya Dalam konteks politik negara Indonesia dengan sistem demokrasi Indonesia yang berdasarkan kepada demokrasi Pancasila. Secara langsung maupun tidak langsung arah politik Indonesia mengarah kepada kandungan butir-butir yang terdapat dalam Pancasila Itu sendiri. Kebudayaan Politik terbentuk sesuai dengan Pancasila sebagai bagian dari falsafah hidup pada masa orde baru. Sebagai ilustrasi di awal-awal pendidikan pada tiap jenjang tertentu seperti sekolah menengah pertama, menengah atas dan seterusnya, selalu dilakukan penataran P4 dan

pendalaman/penghayatan terhadap pancasila itu sendiri. Secara khusus dalam kurikulumkurikulum pendidikan diberikan pelajaran yang khusus berkaitan dengan itu. Dalam proses penyerapan nilai-nilai, harus terjadi komunikasi dua arah, antara pemerintah dengan rakyat dan sebaliknya. Konsepnya, dalam penyerapan nilai yang terjadi di Demokrasi Indonesia dilakukan dalam dua arah : Pertama, jalur komunikasi yang terjadi secara top down komunikasi dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan penurunan nilai-nilai politik kepada masyarakat. Didalam sistem politik demokrasi maka proses sosialisasi yang terjadi adalah penurunan nilainilai pancasila kepada masyarakat dengan berbagai cara dan pola yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan upaya tersebut masyarakat selanjutnya mengerti dan memahami maksud dan tujuan Pancasila itu sendiri, selanjutnya dengan pemahaman yang dimiliki oleh individu atau masyarakat, akan diaktualisasikan dalam pola tingkah laku mereka sehari-hari. Aktualisasi dan agregasi kepentingan yang dilakukan disesuaikan dengan nilai-nilai yang diserap dan difahami oleh masyarakat. Jadi dengan demikian proses penyerapan nilai-nilai poltik dalam politik Indonesia dapat diamati sebagai berikut : terjadi proses penurunan nilai-nilai dari pemerintah dengan system yang ada dan terjadi penyerapan nilai-nilai Pancasila oleh masyarakat Indonesia. Disamping itu terjadi pula proses pembelajaran sosial dengan cara penyesuaian nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang dikaitkan dengan pola tingkah laku politik individu atau masyarakat. Adaptasi terhadap nilai-nilai tetap berlangsung selama ada upaya pembelajaran atau penurunan nilai-nilai dari pemerintah atau dari masyarakat terhadap individu atau sebaliknya. Hal yang perlu diingat bahwa sosialisasi politik amat terkait dengan kebudayaan politik yang juga pada akhirnya akan mempengaruhi partisipasi politik. Demikian halnya partisispasi politik sangat dipengaruhi oleh Status Sosial Ekonomi (SEE) seseorang. Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas masih berada dalam kelompok SEE rendah dan kurang mampu untuk membiayai pendidikan, tidak membawa pengaruh banyak terhadap perkembangan terhadap orientasi politiknya kepada arah yang lebih baik. Dengan Sistuasi demikian, kemungkinan yang akan terjadi adalah kebudayaan yang parokhial, dimana individu tidak mengetahui sama sekali mengenai proses-proses politik dari struktur maupun fungsi politik. Hal itulah yang sekarang juga masih terjadi di Indonesia.

Dalam penyerapan nilai-nilai, adalah merupakan hal yang wajar jika masih terdapat upaya penyerapan nilai-nilai dari genarasi ke generasi dengan cara-cara yang konvensional. Penyerapan terhadap nilai-nilai dengan kondisi masyarakat yang demikian dilakukan dengan cara yang pelan-pelan serta memerlukan waktu yang sangat panjang. Bagaimana mungkin seseorang dengan kebudayaan parokhial, dapat menyerap nilai-nilai dengan baik tanpa mengerti apa yang harus dilakukan dengan situasi yahg terjadi dalam perpolitikan Indonesia. Terdapat dua bentuk pemikiran utama yang ingin disampaikan oleh nilai Pancasila kepada masyarakat Indonesia yang majemuk dengan kompleksitas permasalahan sebagai sebuah bangsa, yaitu pengembangan konsep kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan dan proses pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah dan mufakat. Dalam konsep yang pertama terkandung pemikiran bahwa tidak mungkin sebuah bangsa yang demikian besar memiliki keterwakilan masing-masing untuk memeberikan pendapat atau suara. Dengan jumlah penduduk yang demikian besar ada kepentingan-kepentingan yang diakomodir untuk merefleksikan keinginan masyarakat melalui perwakilan-perwakilan yang akan melakukan agregasi kepentingan di lembaga-lembaga perwakilan. Nilai politik yang terkandung dalam konsep diatas adalah bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat. Sedangkan nilai politik yang terkandung dalam konsep yang kedua adalah, pertimbangan/keputusan dilakukan dengan melakukan pemufakatan dari berbagai golongan masyarakat secara minoritas maupun mayoritas yang hasilnya akan menjadi keputusan bersama. Dengan demikian sistim politik demokrasi Indonesia berdasarkan kepada kedaulatan rakyat yang disalurkan melalui badan konstitusiaoal rakyat tertinggi yakni MPR, didalamya terdapat DPR yang berisi wakil-wakil rakyat dan badanbadan tinggi lainnya. Jika diamati, selama masa Orde baru sikap perwakilan tak sempat terwujud bahkan masih diperdebatkan oleh publik politik. Cukup beralasan jika banyak kalangan justru mempertanyakan peran dan fungsi parlemen Orde Baru : Absahkan parlemen mengklaim diri sebagai wakil rakyat? maklum proses pembentukan dan eksistensi Dewan itu selama masa Orde Baru dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip keterwakilan Kedua, jalur komunikasi secara bottom up masyarakat dapat menyerap nilai-nilai kemudian menyumbangkan nilai-nilainya kepada sistem politik atau kepada masayaratnya sendiri.

Mungkin saja proses penyerapan tersebut tidak terjadi secara langsung melainkan ditampung kemudian diteruskan kembali pada saat terjadinya proses sosialisasi. Dalam bagian ini ide yang akan disampaikan adalah bahwa terjadi penurunan nilai-nilai akibat adanya keinginan masyarakat terhadap perubahan situasi yang kemudian dihimpun dan menjadi kebudayaan politik bangsa Indonesia. Perlu diperhatikan bahwa penurunan nilai-nilai juga terjadi secara horizontal, antara individu dan individu, individu dan masyarakat yang berimplikasi terhadap penurunan nilai-nilai secara vertikal. Agen-agen Sosialisasi Politik dalam Sistem Politik Indonesia adalah merupakan lembagalembaga yang sudah terinternalisasi dalam masyarakat. lembaga-lembaga tersebut adalah keluarga, kelompok bemain (peer group)/ kontak politik langsung, teman sekolah, pekerjaan dan media masa. Seorang individu tersosialisasi di bidang politik tidak hanya melalui satu sarana saja. Seorang individu dapat tersosialisasi politik melalui berbagai macam sarana yang ada. Berbagai sarana yang ada itu dapat dialami oleh seorang individu dalam proses sosialisasi secara bersama-sama. Hal seperti ini sangatlah mungkin karena hidup seseorang tidak hanya didalam suatu lingkungan yang tertentu saja, tetapi yang bersangkutan juga hidup didalam berbagai lingkungan lainnya secara bersama-sama.

Gabriel Almond terdapat 6 sarana/agen sosialisasi politik yaitu:

Keluarga

Keluarga adalah merupakan kesatuan masyarakat yang terkecil, keluarga memegang peranan penting dalam perkembangan kehidupan masyarakat itu sendiri. Signifikansi terjadi dalam perkembangan anak secara fisik maupun mental. Hal ini mengandung maksud bahwa pendidikan paling pertama yang didapatkan oleh anak adalah yang berasal dari keluarganya, apapun bentuknya itu, akan berimplikasi positif atau negatif tergantung pada sosialisasi yang terjadi dalam keluarga itu sendiri. Adalah hal yang natural bahwa perkembangan manusia dimulai sejak lahir sudah berhadapan dengan keluarga sebagai kelompok sosial yang pertama dihadapi.

Terdapat peranan yang melekat dalam sebuah kelompok sosial, yakni peranan sebagai orang tua dan peranan sebagai anak. Kedudukan orang tua dalam sebuah keluarga memiliki peranan yang sangat penting, dalam konteks ini orangtua memiliki kesempatan dan keharusan untuk menurunkan/ menstransmisikan nilai-nilai politik kepada anak-anaknya, pada kondisi itu anak-anak dalam kondisi bebas nilai bahkan mungkin terjadi kekosongan nilai sehingga terjadi kemudahan untuk menerapkan nilainilainya. Penurunan nilai-nilai politik yang dimaksudkan dalam tahap ini bukan seperti pada konsep yang akan dipetik hasilnya seketika itu juga dan anak akan mengerti, namun konteks ini merupakan sebuah penanaman akan suatu ajaran-ajaran tertetu. Didalam keluarga pada tahap awal biasanya penurunan nilai-nilai tidak bersifat politis, dalam situasi ini kebanyakan penurunan nilai-nilai lebih kepada ajaran mengenai perilaku atau kaidahkaidah yang harus dilakukan sebagai masyarakat pada umumnya. Dalam konteks masyarakat Indonesia, secara teoritis peranan keluarga didalam proses sosialisasi politik juga tergantung kepada struktur dan keadaan keluarga itu sendiri. Keadaan ekonomi yang rendah dan keluarga yang broken dapat juga menjadi penghambat terjadinya sosialisasi. Jika Kita melihat kondisi keluarga Indonesia yang masih memiliki angka tinggi berada dibawah garis kemiskinan serta tingkat pendidikan yang rendah, akan sulit untuk menurunkan nilai-nilai politik. Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah keluarga tersebut mampu menurunkan nilai-nilai poltik kepada anakanaknya dengan benar dan baik sehingga sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Kita dapat berasumsi bahwa kemiskinan secara pendidikan dan ekonomi juga akan miskin dalam menurunkan ilmu-ilmu politik. Pewarisan nilai-nilai politik pada umumnya berbeda antar keluarga satu dengan lainnya pewarisan contohnya dalam keluarga yang demokratis dan otokratis. Sekolah

Dalam hubunganya dengan sosialisasi politik, ada pendapat yang menyatakan bahwa pengaruh sekolah dalam sosialisasi dapat dilaksanakan melalui 3 jalan/cara, yaitu : Didalam kelas, termasuk kurikulum formal, kehadiran didalam kelas, dan penurunan nilai-nilai serta perilaku yang tidak disadari oleh guru didalam kelas.

Karakteristik informal sekolah sebagai lingkungan sosial, organisasi pemuda yang bersifat politik maupun non politik, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai bentuk kegiatan ekstrakurikuler.

Efek pendidikan yang ditimbulkan dari ketertarikan didalamnya, mengenai informasi didalamnya dan partisipasi dalam kegiatan politik.

Dalam konteks perkembangan anak, setelah mereka mendapatkan sosialisasi dirumah, anak akan mendapatkan sosialisasi dilingkungan luarnya. Untuk mendapatkan pendidikan diluar lingkungan keluarga maka selanjutnya anak akan mendapatkan pendidikan disekolah. Dilingkungan sekolah seorang anak akan mendapatkan pendidikan dan penurunan nilai-nilai politik secara langsung oleh guru-guru mereka. Peranan sekolah sangat besar dalam penurunan nilai-nilai. Disekolah, anak akan secara langsung anak menemukan simbol-simbol nasional, seperti adanya bendera nasional, pahlawan-pahlawan beserta pandangannya. Disekolah juga diajarkan mata pelajaran-mata pelajaran yang berhubungan dengan nilai-nilai politik bangsa Indonesia yakni poltik demokrasi Pancasila, seperti pada tingkat dasar, menengah dan atas diajarkan yang berkaitan dengan Pendidikan Moral Pancasila. Pendidikan dan penurunan nilainilai politik ini terus berjenjang sesuai dengan tingkat pendidikan agen sosialisasi dan penerima sosialisasi.

Kelompok bergaul atau bermain (peer group) atau kontak-kontak politik langsung

Halnya dalam kontak dengan politik langsung bagaimanapun juga positif pandangan terhadap sistem politik yang telah ditanamkan oleh keluarga atau sekolah, akan tetapi jika seorang warga negara diabaikan oleh partainya, ditipu oleh polisi, menderita kelaparan tanpa mendapatkan pertolongan dan akhirnya disuruh masuk wajib militer, pandangannya terhadap dunia politik sangat mungkin berubah. Partai politk, kampanye pemilihan umum, krisis-krisis politik luar negeri dan peperangan-peperangan, dan tanggapan agen-agen atau badan-badan pemerintah terhadap tuntutan-tuntutan individu dan kelompok-kelompok dapat mempengaruhi kesetiaan dan kesediaannya untuk patuh/tunduk pada hukum. Setiap orang tidak melulu menghabiskan

waktunya dengan keluarga, sekolah melainkan juga memiliki lingkungan lain seperti lingkungan teman bermain atau bergaul. Didalam kelompok bermain atau bergaulpun nilai-nilai politik seseorang dapat terbentuk. Didalam kelompok bermain atau bergaul dalam jenjang umur dan pendidikan akan cenderung untuk menyesuaikan opininya dengan opini rekan-rekannya. Seorang yang selalu berada dalam lingkungan yang sama dalam waktu yang terus menerus, tentunya akan ada adaptasi lingkungan terhadap pola perilaku kelompok. Misalnya seseorang selalu hidup dalam lingkungan peer group yang demokratis dan saling menghargai pendapat serta perbedaan masing-masing individu. maka yang terjadi adalah orang tersebut akan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian secara langsung maupun tidak langsung peer group mendorong seseorang untuk menyesuaikan perilaku atau pandangan yang dianut oleh kelompoknya.

Pekerjaan

Pembelajaran dalam lingkungan pekerjaan akan memberikan pengalaman kepada masingmasing individu dalam belajar berpolitik, karena pada dasarnya sebuah organisasi dapat dijadikan wahana berlatih melakukan manajemen layaknya sebuah percaturan politik. Organisasi formal maupun nonformal yang dibentuk atas dasar pekerjaan, juga merupakan sarana dalam melakukan sosialisai politik. Seseorang memasuki sebuah organisasi mayoritas didasarkan kepada kebutuhan atau ketertarikan terhadap pemikiran atau gagasan-gagasan yang ada didalam organisasi tersebut. Hal itu terjadi terutama Didalam organisasi ini lebih mengarah kepada serikat-serikat buruh atau organisasi-organisasi kepentingan lainnya. Dalam lingkungan pekerjaan memberikan kesadaran-kesadaran individu atau kelompok mengenai kemampuan dirinya dalam mempengaruhi orang dan melakukan pengambilan suatu keputusan sesuai dengan bidang tugas yang dijalankan.

Media massa

Agen sosialisasi politik yang lainnya adalah media massa. Komponen agen ini dapat menunjukan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki untuk diketahui oleh khalayak. Sesuai

dengan sifatnya yakni bersifat luas dan dapat dikonsumsi oleh khalayak, media massa dapat menjadi sarana penyebaran informasi mengenai visi yang ingin disampaikan oleh pemerintah kepada masyarakat dan masyarakat kepada pemerintah. Masyarakat Pers Indonesia yang saat ini memiliki kebebasan pers, memiliki peluang untuk menyampaikan informasi seluas-luasnya dan menyampaikan fakta pada khalayak. Pers secara langsung maupun tidak langsung dapat menurunkan nilai-nilai politik kepada masyarakat. Misalnya dalam perdebatan-perdebatan yang dilakukan oleh para pakar di media elektronik atau media cetak dapat diserap dan menurunkan nilai-nilai politik. Demikian halnya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam percaturan politik dapat diketahui oleh media masa dan akan tersebar dengan cepat kepada masyarakat dan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik negara dapat diketahui rakyatnya.

3. Contoh kasus dan analisanya Seorang anak yang terlahir dikeluarga yang salah satu orang tuanya adalah anggota parpol tertentu (misalnya partai golkar pada orba) , si anak yang masih belum mempunyai/ mengetahui nilai-nilai ataupun norma-norma umum pada masyarakat akan memberikan pengaruh yang paling jelas dalam hal pembentukan sikap si anak tersebut. Si anak akan terbiasa disuguhi kegiatan ayahnya yang sama dengan ideology partai golkar pasda saat itu, hal itu membuat si anak merasa apa yang dilakukan ayahnya merupakan perwujudan yang baik dan menjadi acuan untuk berperilaku pada saat dia dewasa.

Bukan tidak mungkin si ayah membawa kebiasaanya berperilaku tersebut ke dalam kegiatan keluarganya ( misalnya dalam mengambil keputusan). Bagi anak, keputusan bersama yang dibuat di keluarga bersifat otoritatif, dalam arti keengganan untuk mematuhinya dapat mendatangkan hukuman. Pengalaman berpartisipasi dalam pembuatan keputusan keluarga dapat meningkatkan perasaan kompetensi politik si anak, memberikannya kecakapan-kecakapan untuk melakukan interaksi politik dan membuatnya lebih mungkin berpartisipasi secara aktif dalam sistem politik sesudah dewasa. Dan tidak jarang (seperti pada kasus ini ) si anak akan menimbulkan sikap fanatisme tersendiri terhadap partai yang sama dengan yang ayahnya pilih pada saat terjun dalam kegiatan politik.

Daftar Pustaka

http://masroed.wordpress.com Haryanto, Sistem Politik Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 1982. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakatra : Gramedia, 1977 http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/budaya-dan-sosialisasi-politik.html

Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: Rajawali Press)

You might also like