You are on page 1of 13

KEPERCAYAAN ASLI DAN MASUKNYA AGAMA DI DAERAH NIAS ( 4 )

A. Kepercayaan Asli Orang Nias. Terjadi komplikasi dalam pengertian orang-orang di Nias Selatan mengenai keaslian agama kuno mereka sebagaimana telah disinggung di atas mereka dengan sederhana dewasa ini mengatakan bahwa Lowalani adalah pencipta atau pemerintah yang mempunyai hubunganerat dengan dunia atas, sedangkan Lature Dano adalah pembela, penjaga, dan pemerintah Dunia bawah. Di antara dewa atas dan dewa bawah, ada lagi dewi yang disebut Nazariya Mbanua, istilah orang Nias Selatan untuk menyebut dewi Silewe Nazarata. Silewe Nazarata(istilah Nias Utara yang dipakai sekarang adalah dewi penghubung di antara Lowalani (dewa dunia atas) dan Lature Dan (dewa dunia bawah) dan juga sebagai dewi penghubung di antara kaum dewa dan ummat manusia. Maka boleh dikatakan bahwa agama kuno Nias termasuk agama Polythesis (Bambw Laiya, 1979 : 25). Selain itu bermacam ciptaan dan makhluk yang dipersonifikasikan lalu disembah oleh orang Nias. Benda ciptaan dan makhluk ini meliputi matahari, bulan, pohon-pohon besar, buaya, cecak dan lain-lain. Oleh sebab itu, agama orang Nias itu bukan hanya polytesis tetapi juga animistis. Pelbegu, adalah nama agama asli yang diberikan oleh pendatang yang berarti "penyembah ruh". Nama yang dipergunakan oleh penganutnya sendiri adalah molohe adu (penyembah patung). Sifat agama ini adalah berkisar pada penyembahan roh leluhur. Untuk keperluan itu mereka membuatn patung-patung dari kayu yang mereka sebut "adu". Patung yang ditempati oleh ruh leluhur disebut adu zatua dan harus dirawat dengan baik (Koentjaraningrat, Ed. 1976 : 50).

Adu Zatua dan Adu Nuwu dari Kayu

Adanya tambahan jumlah patung nenek moyang disebabkan karena setiap orang kuat di desa, orang yang amat berbakat, pemburu yang hebat dan para kesatria juga dipahat patung-patung mereka dalam bentuk kayu. Oleh sebab itu ada kira-kira 150 jenis patung yang dikenal, diukir dan disembah oleh seseorang sepanjang hidupnya di Nias. Patung yang paling penting dan paling dihormati di jejeran patung-patung itu adalah "patung nenek moyang di pihak laki-laki (adu zatua)" dan "patung nenek moyang di pihak perempuan (adu Nuwu)". Pada umumnya, setiap keluarga memahat patung nenek moyang mereka masingmasing (adu Nuwu dan adu Zatua). Setiap desa juga memahat patung kesatria mereka (adu Zato). Orang harus menyembah kedua jenis patung ini demi hubungannya dengan keluarga dan masyarakat desanya. Adu Zato itu adalah patung para pendiri desa, patriot, berbakat, pemburu yang hebat dan sebagainya. Pasangan adu Zato dan adu Nuwu atau adu Zatua tak boleh disembah secara terpisah.

Adu Zatua dan Adu Nuwu dari Batu

Oleh karena setiap keluarga memahat patung nenek moyangnya masing-masing dan mereka menganggap patung-patung itu sebagai illah mereka, maka upacara dan sikap keagamaan para keluarga di desa selalu bervariasi satu sama lain. Setiap orang berkata "Tuhanku adalah nenek moyangku" yang berarti dia dan Tuhannya lain dari pada orang dan illah keluarga lain (Bambw Laia, 1979 :28). Menurut kepercayaan penganut pelbegu ini, tiap orang mempunyai dua macam tubuh, yaitu yang kasar dan yang halus. Yang kasar disebut boto (jasad) dan yang halus terdiri dari dua macam yaitu noso (nafas) dan lumo-lumo (bayang-bayang). Jika mati atau meninggal, botonya kembali menjadi debu, sedangkan nosonya kembali kepada lowalangi (Tuhan).

Berbagai Macam Patung di Daerah Nias

Sedangkan lumo-lumonya berubah menjadibekhu (makhluk halus). Selama belum dilakukan upacara kematian, bekhu akan tetap berada di sekitar tempat pemakamannya. Karena menurut kepercayaan, untuk pergi ke teteholi ana'a (dunia ruh atau gaib), Ia haruslebih dahulu menyeberangi suatu jembatan yang di sana dijaga ketat oleh seorang dewa penjaga bersama mao-nya didorong masuk ke dalam neraka yang berada di bawah jembatan. Menurut kepercayaan pelbegu, kehidupan sesudah mati adalah kelanjutan dari kehidupan sese orang di dunia. Orang yang kaya atau berkedudukan tinggi maka akan begitu pula keadaannya di "teteholi ana'a. Sebaliknya demikian juga bagi mereka yang miskin. Perbedaan dunia sana dengan dunia sini yaitu terletak pada keadaan "terbalik" yaitu jika di sini siang maka di sana malam, demikian juga kalimat dalam bahasa di sana serba terbalik (Koentjaraningrat, 1976 : 50-51).

Patung dari Batu diletakan di depan Rumah

Dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1980 : 40), berlandaskan kepada suatu kebudayaan Megalithik, yang rupa-rupanya telah mereka bawa dari benua Asia pada zaman perunggu, mereka telah mengembangkan suatu kebudayaan sendiri, ialah kebudayaan Megalithik yang bukan berdasarkan pengurbanan kerbau melainkan babi. Menurut keterangan Bambw Laia, orang Nias mempercayai bahwa manusia itu hanyalah sebagai ciptaan biasa dari dewa-dewa, sebagian dari ciptaan lainnya, Manusia itu adalah "babi dewa-dewa (illah)". Bila dewa berselera memakan daging "babi" (dalam hal ini, "babi" adalah manusia) maka secara bebas dewa mengambil dan membunuh satu atau lebih "babi"nya. Itulah maka "babi" merupa kan unsur penting dalam kebudayaan Nias (Bambowow Laiya, 1979 :25). Budaya megelitik dengan kepercayaan inilah maka babi tidak bisa dipisahkan dalam acara adat masyatakat Nias. Kendatipun babi tidak dapat dipisahkan dalam setiap acara adat masyarakat Nias, namun bagi mereka yang sudah memeluk agama (Islam) kebiasaan dengan kepercayaan ini mereka tinggalkan, dengan mengikuti ajaran agamanya yang baru (Al Quran) yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disemblih disebut nama selain Allah (S.Al Baqarah ayat 173). Sesuai dengan teori reception in complexu yaitu hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk suatu agama, harus juga mengikuti hukum-hukum agama itu dengan setia (Soerjono Soekanto, 1986 : 83). 1) Oleh sebab itu, tidak proposional apabila ada yang menulis bahwa Ono Niha pribumi yang berdomisili di kota dan telah masuk agama Islam itu, prilaku dan wataknya adalah sombong, tinggi hati, jijik dan haram memakan daging babi dalam mempertahankan adat istiadat Ono Niha (lihat Dr Marinus Telaumbanua (editor), Ikht 1996 : 86) . Dangkal serta awamnya pola pikir seperti ini, selain tendensius juga kontra produktif dalam upaya melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat Nias (santun dan bermartabat) sebagaimana diwariskan oleh para leluhur. Pada masyarakat yang pola pikirnya sudah maju, masalah babi dalam setiap acara adat bukanlah suatu hal yang prinsipil apalagi bila "didewakan" atau dikaitkan dengan "dewa". Keberadaan babi dalam upacara lebih merupakan sistem dan bukan substansi. Sistem bisa berubah, menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan masyarakatnya (lihat sifat elastisitas hukum adat menurut teori Prof. Dr.Van Dijk dan Prof, Dr. Ter Haar Bezn). Karena itu alangkah naif sekali bila dalam acara adat, ada diantara sesama anggota yang saling memojokan dan atau dipojokan dalam lingkungan persekutuan, hanya karena masalah babi. Logikanya, babi bukan lagi dewa tetapi hanyalah sejenis hewan (sigelo), dinikmati oleh penggemarnya hanyalah sesaat dan sebatas kerongkongan (ttl atau dtl) serta tidak sampai ke perut (tidak dinikmati oleh perut). Berbeda halnya dengan adat, substansi adat yaitu menjalin silaturrahim antara sesama anggota persekutuan adat agar mereka hidup dalam keserasian untuk waktu yang lama (turun temurun) dengan seperangkat aturan (adat) yang mereka sepakati bersama. Sillaturrahim, asal katanya kata dari rahim dalam arti kandungan, sekandung. Konotasi maksud pengertiannya yaitu pertalian pusat (tali fuso), pertalian darah atau sedarah, bersaudara (fatali fus) kata sifatnya persaudaraan atau "fatalifusta". Di mana-mana pertemuan, apalagi dengan hajatan (perkawinan, kematian, kelahiran, dsb), sajian makanan merupakan kebiasaan yang tak dapat dihindari oleh yang punya hajat. Kendatipun tidak ada patokan bahwa makanan yang disajikan harus jenis tertentu, tetapi biasanya tuan rumah selalu berupaya menyediakan makanan yang terbaik dan menyenangkan bagi para saudaranya atau tamunya. Termasuk diantaranya pantangan konsumsi bagi para saudara atau tamunya juga diantisipasi, baik karena kesehatan maupun karena halangan agama. Di daerah lain, seperti di Tanah Karo, Tapanuli, dll., apabila hal itu terjadi maka bagi saudaranya yang berpantang itu, selalu

disediakan makanan alternatif pengganti, baik yang siap saji seperti nasi kotak, maupun yang mentahnya, seperti pemberian ayam, daging kambing, kerbau lembu atau lembu, tergantung dari kemampuan tuan rumah. Hal inipula yang sering dipraktekan/dibiasakan oleh keturunan si Tlu Tua di Gunungsitoli Nias (lebih lanjut lihat uraian ttg Ndrawa Sowanua di Daerah Nias). Demikian halnya dengan agama, ajaran atau ketentuan agama tidak bisa diintervensi oleh hukum manusia termasuk hukum adat. Karena agama adalah urusan penghambaan manusia secara pribadi dengan Allah (Tuhannya). Demikian halnya, dalam kaitan hubungan manusia dengan Allah (Tuhan) itu juga melalui ajaran agama, Allah (Tuhan) mengatur bagaimana hubungan manusia dengan sesamanya serta dengan makhluk hidup lainnya. Karena itu hukum yang dibuat oleh manusia termasuk adat tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama. Jadi hubungan manusia itu ada yang vertikal (dengan Tuhannya) dan ada yang horizontal (dengam sesama manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam ajaran agama Islam, terminologi ini yang disebut hablul minaullah dam hablul minannas. B. Masuk dan Berkembangnya Agama di Daerah Nias. 1. Masuknya dan berkembangnya Agama Islam Masuk dan berkembangnya agama di daerah Nias, ada dua bentuk. Pertama, masuknya agama Islam tetapi belum berkembang, sebab adakalanya pemeluk agama Islam merantau ke Nias namun belum sadar bahwa ia harus membawa wasiat Nabi Besar Muhammad saw untuk menyampaikan risalah walau satu ayat. Seperti berniaga, setelah selesai dengan urusannya ia pulang ke negerinya. Begitu pula halnya yang melakukan perjalanan ke tempat lain tetapi singgah di Nias beberapa lama, kemudian mereka pergi lagi. Atau wilayah itu pernah termasuk dalam kekuasaan pemerintahan dari daerah lain. Kedua, berkembangnya agama Islam yaitu dengan masuknya penganut agama Islam seperti di daerah Nias, mereka tinggal menetap dan mengembangkan agama Islam di daerah itu. Masuknya agama Islam dengan versi pertama, seperti yang dilakukan oleh orang Persia pada tahun 856 M dengan pemukanya yang bernama Sulaiman, dalam perjalanannya pernah singgah di pulau Nias yang dinamakannya dengan pulau nian (Fries, 1919 : 53 dan Suady Husin, 1976 : 12-13). Begitu pula halnya pada tahun 1605 1636 pulau Nias dan lain-lain pernah menjadi kekuasaan Aceh dibawah pemerintahan Iskandar Muda Mahkota Alam (Schrieke B, 1957 : 244) Masuknya agama di daerah Nias dengan versi kedua, adalah merupakan rangkaian proses perjalanan sejarah yang panjang dan tidak dapat dipisahkan dengan kedatangan suku bangsa Indonesia lainnya terutama dari daratan Sumatera. Seperti orang Aceh (1639 M - ?), dan orang Minang (1111 H dikirakan tahun 1691 M), kemudian disusul orang Arab, Bugis, dan India (lebih lanjut lihat uraian kedatangan pendatang di daerah Nias). Masuk dan berkembangnya agama Islam di daerah Nias tidak sama sebagaimana masuk dan berkembangnya agama Katholik dan Keristen Protestan yang dibawa oleh misionaris dari Eropa. Mereka datang dengan rencana dan profesional. Mereka memulainya dengan langsung mendatangi para penduduk terutama di daerah Nias bagian tengah sebagaimana halnya di tanah Batak.Masuk dan berkembangnya agama Islam di daerah Nias yang dibawa oleh para pendatang, lebih disebabkan oleh keadaan alamiah. Mereka datang dari Sumatera bukan dengan tujuan mengembangkan agama, lebih disebabkan secara kebetulan : berdagang, atau singgah kemudian lebih memilih tinggal di daerah Nias. Demikian juga pada saat mereka tinggal di daerah Nias (pesisir), masih merajalelanya keganasan para orang bengis (niha sagamui) di Nias bagian tengah.Kemudian, penduduk lari dan mencari perlindungan di Pesisir. Merasa hidupnya di pesisir terlindungi dan lebih baik, mereka tertarik masuk agama Islam, dan tinggal

serta hidup bersama dengan mayarkat Islam lainnya. Keprihatinan ini dapat dibaca dalam tulisan E. Fries (1919 : 87) yang menerangkan, Ba br da fefoe, ea tedooe man aamoei zalawa ba daloe dan, oi zara laoo man nichoi ddra, he ba anoe banua zo anoea, ba he ba angai hg / keppensnellerij/ ba he ba wamaa binoe aoeri ba hadia ia na fefoe Fondrege zondrniao sato ba olaoe si l schi, ba jaija ndra Siwahoemola Fadoli ba Ziwalawa sitoe, ba Siwamoehng ba Lahmi, ba ira Sitambaho Balhaloe ba daloedan; lafahsi anoe ba lafailo ba dan nemali, tobali ihti adaoedaoe man niha, ba ato siai zanawa Rapatgebied me loeo andr ba fateoe ba da. Balhaloe wanoew banoea ba zihene asi gi, siman Lasara (1897) (E.Fries, 1919 : 132) Pada bagian lain juga ditulis oleh Faogli Harefa, bahwa .. lebih dahulu dari itu telah datang ke sana bangsa Aceh dari Trumun mencuri atau membeli orang Nias dari Raja-raja atau orang yang gagah berani disana akan dijadikan budak, dijualnya ketanah Sumatera. Karena penjualan hamba-hamba itu banyak orang Nias itu terdapat di Padang. Tempat yang banyak kejadian penjualan hamba-hamba itu ialah sebelah Teluk dalam (Zuid Nias). Yang dijualnya itu bukan familinya melainkan budak-budak juga (Faogli Harefa, 1939 : 121). Demikian juga sering terjadinya peperangan, seperti ditulis oleh Faogli Harefa .berhubung karena Gouvernement tiada mementingkan benar memerintahkan pulau Nias itu timbulah amat banyak peperangan antara kampungkampung di sana masing-masing menurut kemauannya. Demikian juga ketika itu amat banyak orang mengayau (keppensnellerij) dan merampok. Yang sebagai kepala akan membuat perbuatan yang tak baik itu ialah Siwamuhola, dan Balhalu yang selau mengacau penduduk pulau Nias. Orang-orang yang takut kepada orang-orang yang berbuat sewenang-wenang itu di tengah-tengah pulau Nias melarikan dirinya dalam lingkungan Rapatgebied. Itulah orang Nias yang memeluk agama Islam yang bercampur-gaul dengan orang Melayu. (Faogli Harefa, 1939: 124). Penduduk datang dan tinggal di Pesisir, selain karena di Pesisir hidupnya terlindungi juga prinsip dasar agama (Islam) yang dianut oleh penduduk di pesisir yaitu rahmat dan kasih sayang kepada sesama manusia, merupakan daya tarik untuk mempelajari dan menggabungkan diri menjadi penganut agama Islam. Serulah (ajaklah manusia) ke jalan tuhanmu dengan penuh hikmah bijakasana dan dengan cara yang sangat mendidik penuh santun dan bantalah (debatlah) mereka dengan cara yang baik pula, sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang paling mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk (Quran surat Annahal 125). Dalam ajaran Islam diatur bahwa memerdekakan hamba sahaya (budak atau sawuyu) dianjurkan oleh agama Islam, dalam Al Quran surat Al Balad ayat 13 : Pangkal ayat, sesalan Allah kepada manusia karena Allah telah menunjukkan kepada mereka dua jalan (jalan kebaikan dan kejahatan), tetapi mereka tidak suka menjalani jalan kebaikan yang susah payah. Di antara pekerjaan yang susah payah, tetapi baik ialah "memerdekakan budak dari perbudakan". Karena itu sabda Rasulullah saw : " Barang siapa memerdekakan hamba sahaya, melepaskan Allah akan tiap-tiap anggotanya dari api neraka, sebilangan anggota hamba yang di merdekakannya" (Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Buchari). Oleh itu, dan tidaklah realistis tulisan (lihat Dr. Marinus Telaumbanuan, 1996 : 86 ) yang menyatakan .bahwa Sesuai dengan tutur ceritra masyarakat sekarang penduduk pribumi yang lemah yang baru datang di pemukiman perkotaan Gunungsitoli dan sekitarnya itu, sungguh-sungguh menjadi mangsa orang Melayu dan bahkan oknum pribumi yang terdahulu. Dengan bebagai akal licik dan tipudaya mereka menjadikan orang-orang lemah itu menjadi haranaka, (=budak jualan) menjual mereka kepada calo-calo pedagang budak. Tetapi bagi yang kuat, cerdik dan pintar berlaku syarat minimal untuk tinggal bersama dalam kompleks pemukiman, dengan memberikan

seekor ayam jantan beserta dua liter (sedumba) beras. Juga disyaratkan bagi orang seperti itu agar di haruskan masuk agama Islam, kalau tidak, mereka tidak diperkenankan tinggal di pemukiman mereka. Pernyataan serendah ini, selain tidak etis juga praktek permutarbalikan fakta seakan-akan dikutip dari buku yang ditulis Faogoli Harefa (1939 : 12), dan pendeta E Fries (1919 : 132), pada hal tidak ada dijumpai dalam buku yang dikutip adalah perbuatan fitnah. Hal ini selain menyalahi etika penulisan yang dikatakan sebagai karya ilmiah juga dalam ajaran agama manapun perbuatan fitnah itu dikategorikan sebagai dosa, Setelah masuk dan berkembangnya agama Islam di daerah Nias, diikuti dengan dilengkapinya sarana keagamaan seperti : mesjid, surau, musollah, madrasah atau sekolah dan yang tak kurang pentingnya adalah terbentuknya organisasi dan pertai yang berazaskan keagamaan. Kendatipun keterangan tertulis yang diperoleh tentang hal ini sangat minim, namun daru beberapa catatan dan wawancara yang dapat dihimpun penulis, di antaranya dapat dikemukakan sebagai berikut :

Mesjid yang pertama kali didirikan yaitu Mesjid di KOTO (= kota) pada tahun 1115 Hijrah Setelah Mesjid didirikan selanjutnya dilakukan pula pembagian wilayah; sebelah ke udik Mesjid dinamakan MUDIK dan sebelah hilir Mesjid dinamakan ILIR. Inilah asal usul nama desa Mudik dan Kelurahan Ilir Gunungsitoli sekarang. Setelah pembagian wilayah, masing-masing menyusun pemerintahan sendiri, mereka menetapkan siapa yang menjadi kepala pemerintahan dengan memberi sebutan seperti atau Raja, menentukan para penghulu dengan tanggungjawab masing- masing, hulubalang (bohalima) sebagai penjaga kemanan dan yang tak kurang pentingnya adalah pegawai syara (= Imam, Chatib, dan Bilal). Mesjid ini telah dipergunakan dari masa Datuk Raja Ahmad, Datuk Raja Malimpah *) hingga masa Datuk Maharaja Lelo di Ilir dan Teuku Polen, Teuku Pemegang, Teuku Pemaaf hingga masa Teuku Sulaiman di Mudik. Dalam beberapa lama kemudian, sejalan dengan bertambahnya jumlah keluarga, secara beransur-ansur dari Koto mereka bertebar di wilayah kawasan Nias lainnya terutama di bagian pesisr (pantai atau sihene asi). Menyesuaikan kehidupan mereka di tempat yang baru dan dengan jumlah keluarga jemaah Islam yang bertambah, mereka mendirikan Surau, Mandasa atau Muslallah. Seperti di kampuung Pasar, Saombo, Boyo, Landatar, Tohia, Miga, Moawo, Olora dst. Sekalipung pada waktu itu telah didirikan Musalah atau namun tidak diperkenankan mengerjakan Shalat Jumat, dan shalat Idula Fitri/Adha, karena jemaahnya belum mencukup 40 (empat puluh orang) yang bermukim di tempat yang baru. Shalat Jumat dan shalat Id tetap dilaksanakan di Mesjid Persatuan di Koto.(perbatasan Ilir dan Mudik) Pada masa Datuk Maharajalelo di Ilir, Ia mulai bermaksud memindahkan Mesjid Jami dari koto (Mesjid Persatuan) ke tempat yang baru di Duria Sarawa-rawa. Dengan pertimbangan karena lokasi itu adalah pertengahan apabila kaum muslimin yang datang dari kampung melakukan shalat Jumat dan shalat hari Raya. Sewaktu pemerintahan

Teuku Sulaiman di Mudik, mendengar maksud yang demikian itu, Ia bertahan keras/tidak setuju kalau Mesjid Persatuan dekat kota itu dipindahkan dari tempat yang lama ke tempat yang lain. Di saat itulah perselisihan antara Ilir dan Mudik makin meruncing setelah sebelumnya terjadi perbedaan persepsi tentang masalah adat. Namun atas permufakat an bersama kemudian, mereka mengundang seorang ulama yang termasyhur dimasa itu yang bernama Tuangku Haji Daeng Hafiz (Orang Bugis/Makasar) yang pada waktu itu berada di Natal. Setelah beberapa hari Tuanku Daeng Hafiz mengadakan upaya /usaha perdamean, maka akhirnya diperoleh suatu keputusan yang dinyatakan dalam Surat perdamaian, yang dikenal dengan Naskah Surat Perdamaian Daeng Hafiz tahun 1215 H (Foto copy terlampr) Di antara isi yang terpenting dari naskah Perdaiman adalah : Mesjid Jami Ilir Mudik tetap hanya satu, kecuali dikemudian hari bertambah penduduk yang tidak bisa memungkinkan untuk satu Mesjid maka bisa dibenarkan dua Mesjid. Rencana pemindahan Mesjid tetap diteruskan, tanggal 28 Rabiul Akhir 1215 Hijriah, status Mesjid Jami dekat Koto (Perbatasan Ilir Mudik) dipindahkan dengan mendirikan Mesjid di lokasi Duria Sarawa-rawa (Sekitar persimpangan Jln Karet/Jln Ke Mudik sekarang). Ditetapkan dua orang Imam; dua orang khatib dan dua orang bilal secara begantian memimpin shalat Jumaat dan shalat Id (Hari Raya) Sehubungan dengan bertambahnya penduduk, pada masa Raja Sutan Ibrahim di Ilir, ada prakarsa yang dipelopori oleh Datuk Mahbub dan Sekh Haji Jalaluddin di Pasar untuk mendirikan shalat Jumat dan shalat Id (Hari Raya) di Mandasa (mushallah) kampung Pasar. Rencana ini kemudian terwujud (1907) yaitu di mandasa atau surao Pasar mulai didirikan shalat Jumat dan shlat-shalar Id (Hari Raya). Demikian sejarah Mandasa atau surao kampung Pasar menjadi Mesjid Jami Pasar Gunungsitoli hingga smpai sekarang. Pada tahun 1914 M, dipelopori oleh Datuk Mataba di Mandasa (mushallah) kampung Saombo sudah mulai didirikan Shalat Jumat dan seterusnya untuk sholat-sholat Id (Hari Raya). Pada tahun 1916 M. yakni pada masa Raja Stn. Ibrahim di Ilir dan Datu Sulaiman di Mudik dst (tdk terbaca).

Mesjid Agung Mudik Gunungsitoli

Pada tahun 1947 M Mesjid Jami yang ada di Ilir (Duria sarawa-rawa) diperbaiki dengan mengganti tonggak dan papan lantai yang sudah mulai lapuk. Pada tahun 1954, yakni pada masa Datuk Nur Sutan Indra Bongsu di Mudik dan Datuk Zakaria Baginda di Ilir, karena para jemaah sudah mulai banyak dan tidak dapat tertampung dalam satu Mesjid, maka di Mandasa yang ada di Mudik (Mesjid Mudik lama sekarang) mulai di adakan Shalat Jumat dan shalat Hari Raya, walaupun belakangan ini (1992), Shalat Jumat dan shalat Hari Raya dipindahkan di Mesjid Baru (Mesjid Agung Mudik). Kemudian setelah kejadian gempa bumi (2005), Mesjid Agung dirobohkan maka kegiatan sholat sehari-hari, sholat Jumat dan Sholat Id pindah dan kembali lagi ke Mesjid Mudik yang lama.

Begitu pula halnya Mesjid yang ada di Ilir beransur-ansur diperbaiki dengan perencanaan bangunan untuk dua tingkat. Pondasi dan lantainya diganti dan dibuat dari semen cor, tiang kayu diganti dengan tiang beton dan kemudian untuk tingkat dua dibuat lantai semen cor. Pekerjaan ini dilakukan secara beransur ansur dari tahun ketahun hingga keadaannya seperti yang kita lihat sekarang ini. Adapun sarana pendidikan agama, di halaman kiri depan Mesjid Ilir sekarang, didirikan Sekolah (Madrasah) Islamiyah (1931). Sekolah ini digabung dan dijadikan Sekolah Yatim Islamiyah. Tetapi tidak lama umurnya, sekira tahun 1936 sekolah ini tidak dipakai lagi (T.Alam, 1952). Pada tahun 1958 bangunannya sempat dimanfaatkan oleh keluarga M. Syarif Stn Labai sebagai tempat tinggal. Tidak berapa lama setelah M. Syarif Stn. Labai berpulang ke rahmatullah (1963), bangunan madrasaha Islamiah ini dirubuhkan (sekarang menjadi tempat parkir kendaraan). Selain madrasah Islamiyah, tersebut di atas juga oleh Sech H. Abdul Hadi mendirikan Mandasa atau Mushallah berbentuk rumah panggung yakni sebagai tempat pendidikan agama (sistem psantren). Kemudian setalah mandasa tidak lagi layak dipakai, maka bangunannya dirubuhkan (1955). Tanahnya diserahkan oleh keluarga Abdullah Zahid (H.Mohd. Husin) pada pengurus NU untuk digunakan sebagai tempat bangunan sekolah agama dan atau kegiatan keagamaan Islam lainnya. Dimulai pada tahun 1958, secara bertahap mulai didirikan Madrasah Muallimin NU 6 thn (sekarang namanya Madrasah Tsanawiyah/Aliyah).Setelah kejadian gempa tanggal 28 Maret 2005 yang lalu. bangunan itu dirobohkan karena tidak lagi layak atau aman untuk digunakan. dan dibuat lagi yang baru berlantai satu yang saat ini digunakan salain tempat belajar TK, dan tempat pengajian rutin kaum ibu juag sebagai tempat sholat traweh setiap bulan ramadhan.

Madr. Aliyah NU yang sudah dirobohkan

rkembangnya agama Islam di daerah Nias tidak terlepas dari kegiatan pendidikan dan dawah, baik oleh pribadi maupun melalui organisasi seperti : Sekitar tahun 1900 Sech Abdul Aziz Imam di Mudik, dan mengajar agama di Mesjid Mudik, dan berpulang kerahmatullah tahun 1936 Miladiyah. - Setelah pulang belajar di Mekah, Sech H. Abdul Hadi mendirikan dan mengajarkan pendidikan agama (sistem psantren) di kampung Baru Ilir Gunungsitoli. Setelah beliau berpulang ke ramatullah (1910), ia digantikan oleh adiknya Abdullah Zahid. Setelah Abdullah Zahid berpulang kerahmtullah ia digantikan oleh anaknya H. Mohd. Husin. - Sebelum Abdullah Zahid berpulang ke rahmtullah, (1938) Ia sempat mempolopori berdirinya Madrasah Fathimiyah di Gunungsitoli (sekarang Madrasah Aliah NU Jln. Karet), dan di Madrasah ini berdiri satu organisasi wanita Jamiah Fathimiah Gunungsitoli di pimpim pertama kali oleh Haji Kalsum dan Reno Hawa (Ibunda Alm H.Mohd Husin),Pada tahun 1939, didirikan Sekolah Aisyiah. - Sepeninggal Abdullazahid, pengajian di Mandasa Ilir diteruskan oleh anaknya Mohd.Husin, pada tahun 1942.- Tahun 1952, didirikan Sekolah Rakyat NU di Pasar (sebelah kiri Mesjid Pasar sekarang) - Sekitar tahun 1952, Djarjis Sutan Ibrahim dari Malalo Sumatera Barat, mengajar di Madrasah Islamiyah Pasar dan Sekolah Rakyat NU di Pasar - Sekitar tahun 1957 Muhammad Syarif gelar Labai Sutan mengajar agama di Madrasah Islmamiah Pasar Gunungsitoli kemudian menjadi guru di Madrasah Muhammadiayah

Cabang Nias di Ilir. Dalam beberapa lama beliau dan keluarga bertempat tinggal di ex Madrasah Islamiyah di muka sebalah kiri halaman Mesjid Ilir sekarang sampai beliau meninggal dunia pada tahun 1963 di Teluk Dalam Nias. Kegiatan dan Organisasi berazaskan ke agamaan (Islam) di Daerah Nias - Alam Taruddin gelar Sutan Syahirun Alam (ayahanda H.Tajudin Alam) Imam Mesjid di Ilir kemudian menjadi Huweliksliter (Pegawai Nikah) di Gunungsitoli dan pada waktu masa pemerintah an Jepang menjadi Ketua Majelis Islam Tinggi Tapanuli Cabang Nias dan Mohd. Husin sebagai sekretaris. - Pada tahun 1913 M didirikan di Pulau Nias Partai Serikat Islam pada mulanya diketuai oleh Said Saleh Al Madany, kemudian berpecah dua, Pertama di ketuai oleh Haji Abdul Halim (Imam Mesjid di Mudik Gunungsitoli), Kedua, diketuai oleh oleh Sech Haji Jalaludiin di Pasar Gunungsitoli. - Pada tahun 1938 s/d 1950 berdiri Jamiayatul Fathimiyah (sekarang Madrasah Ibtidaiyah NU Kp.Baru), diketuai oleh Haji Kalsum dan Reno Hawa (ibunda H.Mohd Husin) . - Pada tahun 1939 M, berdiri di Gunungsitoli Muhammadiyah Cabang Nias diketuai oleh S.L. Marham di Kampung Baru Gunungsitoli. - Pada tahun 1943 berdiri Majleis Islam Tinggi Cab, Nias s/d 1946 berpusat di Sidempuan di ketuai oleh Sutan Syahirul Alam dan sekretaris Mohd. Husin. - Pada tahun 1950 berdiri Nahdaltul Ulama Cabang Nias yang dipelopori oleh Mohd. Husin dan Abd. Chair Aceh. Untuk pertama kalinya yang menjadi ketua : M.Zuldin Tanjung. Pada tahun 1952 organisasi ini (Nahdlatul Ulama) menjadi Partai Politik. - Pada tahun 1936 s/d 1940 berdiri organisasi Semangat Pemuda di Gunungsitoli, diketuai oleh Hamid Syaifuddin. Pada tahun 1942, beridiri organisasi kepemudaan Hizbullah; Pada tahun 1950 berdiri GPII Cabang Nias, dengan Ketua Muhd. Ali Nuh Aceh.

- Berturut-turut kemudian berdiri organisasi seperti Pandu Hizbul Watan (HW) sekarang Pemuda Muhammadiyah; Aisyiah; Nasiatul Aisyiah (NA); Begitu juga Pandu Ansor, sekarang Gerakan Pemuda Ansor; Muslimat NU; Fatayat NU; Pada tahun 1946 s/d 1957 berdiri Partai Masyumi Cabang Nias di ketuai oleh Zakaria Baginda. - Pada tahun 1955 M, berdiri Jamiatul Wasliyah Cabang Nias yang diketuai oleh H. Abdul Mujid Tanjung. Pelembagaan Urusan Agama(Islam) dalam sistem Pemerintahan - Tahun 1946 berdiri Kantor Jawatan Agama Islam Kabupaten Nias yang dipimpin oleh Chaidir Nasrun. - Pada tahun 1947 Jawatan Agama Islam untuk kecamatan Gunung sitoli dibantu dengan diangkat Kadhi yaitu Mohd. Husin. - Pada tahuin 1950, di beberapa kecamatan diadakan Jawatan Agama, di kcamatan Gunungsitoli sebagai kepala yaitu Mohd. Husin. - Pada tahum 1951 berdiri Jawatan Pendidikan Agama Kabupaten Nias, dipimpin oleh Said Fihir Almadany.- Pada tahun 1952 berdiri Staf Penerangan Agama Kab. Nias, yang dipimpin oleh Idris Aminy, Pada tahun 1959, berdiri Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah Gunungsitoli dan Mohd. Husin diangkat sebagai Ketua. 2. Masuk dan berkembangnya Agama Keristen Katholik di daerah Nias.

Dari beberapa data yang dapat diperoleh dan dihimpun oleh penulis tentang masuk dan berkembangnya agama Keristen Katolik dan Protestan di daerah Nias, di antaranya seperti yang ditulis oleh Fries, Faogli Harefa, S.Zebua dan Bambowo Laiya sebagai berikut : Bahwa pada tahun 1854, seorang Pelayan Gereja agama Katolik Pendeta Roma yang bernama G. de Hessele Van Hesserle datang dan menetap di Sogawugawu (dekat Kota GungungSitoli sekarang) mencoba memulai penyeberan agama Katholik di Tan Niha, tetapi sayang sekali, tidak berapa lama beliau meninggal dunia dan dimakamkan di Gunungsitoli. (Fries, 1919 :129, Faogli Harefa, 1939 : : 122 dan S. Zebua, 1994 : 420 ) Selanjutnya pada sekitar tahun lima puluhan abad ke XX ini beberapa orang Pastor dari agama Katolik datang menetap di GunungSitoli untuk menyebarkan agama Katolik; pada waktu itu Gereja masih belum ada, maka atas bantuan dari Bapak T.Zebua (waktu itu Ketua Pangadilan Negeri Gunungitoli) para umat Katolik melakukan kebaktian setiap harii Minggu dan hari-hari yang kudus lainnya di ruangan sidang Kantor Pengadilan Negeri Jln Sukarno Gunungsitoli (S.Zebua, 1994 : 420). Agama ini tersebar di Kecamatan Teluk Dalam, Kecamatan Lolowau Kecamatan Gido dan Kecamatan GunungSitoli. 3. Masuknya Agama Kristen Protestan di daerah Nias. Sebelum tahun 1865 yakni pada tahun 1836 Kongsi Barmen Jerman mengutus beberapa orang menginjil di Broneo (Kalimantan); oleh karena para penginjil tersebut tidak begitu diterima baik oleh rakyat setempat maka terjadi pengeniayaan dan pembunuhan terhadap penginjil ini dan hanya dua orang yang tinggal di Banjarmasin (1859). Yang lain mengungsikan diri ke daerah lain, ada yang ke Sipirok (1861) dan ada yang menetap di Padang yaitu Pendeta Denninger. Oleh karena isterinya sakit maka beliau tinggal di Padang dan menemui banyak Ono Niha di sana, lalu memohon kepada Kongsi Bremen Jerman supaya beliau diutus ke Nias. Demikianlah T. Denninger dikirim oleh Kongsi Bremen dan sampai/ memulai penyebaran injil di Gunungsitoli pada tanggal 27-September 1865 (S.Zebua, 1994 : 421 dan lihat juga E.Fries, 1919 : 171). Seperti di daerah lainnya, penyiar agama Kristen di daerah Nias, dilakukan oleh orang Eropa secara profesional. Orang Eropa menyebarkan agama Kristen tidak dimulai di pesisir tetapi dari bagian tengah (pedalaman). Agaknya penyiar agama orang Eropa sulit beradaptasi dengan masyarakat di bagian pesisir. Sebagaimana di kepuluaan nusantara lainnya, terutama di bagian pesisir selain sudah menganut agama (Islam) juga sering dianggap oleh orang Eropa sebagai orang yang suka melawan, membangkang dan berontak. Sebaliknya orang pesisir melihat orang Eropa datang ke Indonesia hanyalah sebagai penjajah. Kebiasaan tipu muslihatnya memperdaya dan mengadudomba penduduk (devide et empera), adalah cara yang paling ampuh bagi orang Eropa untuk tampil dan mengukuhkan kehadirannya sebagai orang yang berkuasa di Indonesia. Kehadiran misionaris Eropa (Jerman) bekerja sama dengan pemerintahan Belanda (S.Zebua, 1984 : 420-423) dalam membawa agama Kristen di daerah Nias adalah merupakan modal utama berkembangnya agama Kristen dengan cepat dan mulus di daerah Nias. Selain orang Eropa memiliki profesionalisme dan kosentratif juga vasilitas yang dimiliki terutama dana memang tersedia untuk itu.

Gereja BNKP yg Pertama di Gunungsitoli (Photo-1950)

Beberapa catatan penting mengenai perkembangan kegiatan agama Kristen di Daerah Nias, secara singkat dikemukakan (S.Zebua, 1994 : Ikht. 22) sebagai berikut : a. Pada Tahun 1865, Pendeta Denninger sampai dan menyebarkan Injil di daerah Nias - Tahun 1866 Pendeta Denninger memulai membuka sekolah untuk anak-anak yang pertama di Gunungsitoli. b.Pada tahun 1874 Pendeta Kramer membabtiskan 25 orang Ono Niha dari Hilinaa dan Onozitoli di antaranya ialah Salawa Hilinaa yaitu Yawa Duha, mereka inilah pemelukagama Kristen yang pertama di Tan Niha. c. Pada Tahun 1876 di masa Pendeta JW Thomas (1873-1883), Gereja pertama di Tan Niha didirikan di Omblata (Seminari). d. Pada tahun 1883, setelah Pendeta FEHR menggantikan Pendeta JW Thomas, beliau pindah ke Luahawara (Sekarang Teluk Dalam) Tetapi oleh karena pergolakan perjuangan rakyat Tan-Niha bahagian selatan terhadap Tentara Penjajahan Belanda sedang hangat maka atas pesan dari Residen yang berada di Sibolga, pada tahun1889 Pendeta JW Thomas pindah ke Papua (Irian Jaya), dan kemudian pindah lagi ke Gunungsitoli. e. Tahun 1876 sampai pada tahun 1902 Dr. WH Sundeman melakukan pengabaran Injil atau menyebarkan agama Kristen di Tan Niha, antara lain dari keberhasilan beliau ialah : - Tahun 1895 Sekolah Guru Simanari didirikan oleh Pendeta JW Thomas di UmbuHumene dan pata tahun 1897 menamatkan lima orang yang menjadi guru, inilah guru yang pertama di Tano Niha. - Tahun 1900 sekolah Guru Simanari tersebut dipindahkan di Ombolata.- Tahun 1910 para Pendeta Jerman melarang famoto (khitan) dan fangohzi ifo (memotong gigi) ternyata bahwa larangan tersebut tidak semua orang mentaatinya dan hanya dalam waktu yang tidak lama - Pada tahun 1920, Desa Boto mendapat giliran pengkristenan , sebanyak 95 orang (Bambw Laiya, 1980 : 27).

f. Pada tahun 1936 sidang Synode seluruh penganut agama Kristen Protestan yang pertama di Tan Niha, berlangsung di Gunungsitoli, dan pada waktu itu seluruh umat Kristen Protestan di Tan Niha bergabung dalam satu organisasi agama yang disebut Banua Niha Kiriso Protestan (BNKP). Organisai agama Kristen Protestan di Tan Niha selain BNKP ada juga organisasi lain seperti : a. AMIN yaitu Angowolua Masehi Indonesia Nias b. ONKP, yaitu Orahua Niha Kiriso Protestan c. Adventis d. Faawsa e. GBI (Gereja Bethel Indonesia) f. GPI (Gereja Pentakosta Indonesiag g. GPT Gereja Pantekosta Tabernake) Masuk dan bekembangnya agama sebagaimana di utarakan di atas, disadari atau tidak hal itu telah menyusupi dan membawa perubahan dalam sistem kehidupan sosial budaya asli masyarakat Nias. Baik yang menyangkut kepercayaan dan agama asli maupun adat istiadatnya. Oleh karena itu, agaknya sulit dijumpai, kalau tidak dikatakan bahwa apa yang disebut dengan adat istiadat asli orang Nias itu sebenarnya sudah tidak ada lagi. Adat istiadat orang Nias yang ada sekarang adalah adat istiadat orang Nias yang beragama Islam dan adat istiadat orang Nias yang beragama Kristen. Seperti ditulis oleh Bambw Laiya, .Perubahan agama penduduk pribumi menjadi Kristen mempengaruhi sikap mereka terhadap kebudayaan, termasuk agama nenek moyang mereka. Fungsi agama kuno sebagai kontrol sosial dalam pengertian tradisional telah ditransformasikan ke dalam ethika Kristen, walaupun sebagian unsur kuno itu masih dipertahankan (Bambowo Laiya, 1979 : 27) Dengan demikian, menilik masing-masing adat yang dipraktekkan oleh masyarakat Nias sekarang ini maka tidak lagi relevan untuk dikelaim bahwa itu adalah adat asli orang Nias. Selain organisasi keagamaan dinatas, juga berdiri partai politik berdasarkan keagamaan. Seperti Partai Kreisten Indonesia (Parkindo) dengan tokoh-tokohnya seperti Sadrachi Zebua (pernah menjadi anggota DPRD Tkt I), Willy Zebua (Pernah menjadi Ketua DPRD Kab.Nias), dll. Disamping partai politik, ada juga organaisasi kepemudaan seperti Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) dengan tokohnya seperti Arosokhi Mendrofa, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dengan tokohnya seperti Drs. Nehesi Zebua, Sekitar Tahun 1950 an berdiri Jawatan Agama Kristen Kabupaten Nias yang dipimpin oleh Pendeta Nehemia Harefa (P.N. Harefa) Sekitar tahun 1967-1975, pindah ke Jakarta dan beliau memegang jabatan sebagai Direktur dan terakhir sebagai Direktur Jendral Bimas Kristen Departemen Agama Jakarta). --------------------*) Datuk dan Raja = adalah gelar pada masyarakat Nias Pesisir, biasanya diberikan pada saat yang bersangkutan mengadakan pesta adat (didaulatkan sebagai kepala adat /pemerintaham atau pada saat pesta kawin). Gelar ini bisa menjadi panggilan yang bersangkutan sehari-hari terutama pada setiap acara adat dan adakalanya sebagai panggilan sehari-hari bagi yang bersangkutan sementara masih belum punya anak.Tetapi setelah punya anak maka gelar ini beransur menghilang dan cukup

dipanggilkan bapak dari anaknya yang tertua, misalnya anita maka bapaknya dipanggil ama ga'ani atau ama ani Referensi Fries E, 1919. NIAS Amoeata Hoelo Nono Niha, Ombolata. Zendings drukkerij, Harefa, Faogoli 1939. Hikajat Tjeritra Bangsa Nias,, Sibolga Pertjetakan Tapanoeli. Husin Suady, 1976. Adat Perkawinan dan Warisan Pada Masyarakat Nias Pesisir, Medan. Skripsi Fakultas Keguruan Ilmu Ssosial IKIP Negeri Medan Laiya, Bambowo 1980. Solidaritas Kekeluargaan Dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias Indonesia. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.Soekanto Soerjono, 1981. HUKUM ADAT INDONEIA, Jakarta. Penerbit CV Rajawali. Zebua, S. (A.Waomasi), 1984. Menyelusuri SEJARAH KEBUDAYAAN ONO NIHA Sri 1. (Tanpa Penerbit). ------------------------, 1984 . Menyelusuri SEJARAH KEBUDAYAAN ONO NIHA Sri 2. (Tanpa Penerbit).

Tanjung Hasan Basri (1962), Menggali Nias Yang Terpendam (Harian. Waspada).

Telaumbanua Marinus Dr (Penyunting), 1996. Kota Gunungsitoli, Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya (Tanpa Penerbit)

You might also like