You are on page 1of 40

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang
Pertumbuhan dan perkembangan meru pakan dua peristiwa yang berbeda

tetapi berlangsung sama, saling berkaitan sehingga sulit di pisahkan. Perkembangaan anak yang kurang akan berakibat kualitas SDM yang buruk dimasa mendatang. Kualitas perkembangan anak terutama ditentukan pada usia batita (bayi usia tiga tahun) yang usia kisarannya 0-3 tahun (Soetjiningsih, 1997). Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Perkembangan yang terjadi pada anak menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel- sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing- masing dapat memenuhi fungsinya. Selain itu termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia sebaiknya direncanakan sejak awal kehidupan seseorang dan berlanjut pada masa usia batita. Pada masa itu sangat penting untuk meletakkan dasar-dasar pertumbuhan dan perkembangan anak. Menghasilkan suatu generasi yang dapat tumbuh dan berkembang secara baik perlu diupayakan melalui berbagai cara agar mendukung perkembangan sehat dan dapat tercapai perkembangan secara sempurna (Setiono, 2009). Salah satu stimulasi yang penting dilakukan orangtua adalah stimulasi terhadap kemandirian anak dalam melakukan BAB (buang air besar) dan BAK (buang air kecil). Kebiasaan mengompol pada anak usia di bawah usia 2 tahun

masih dianggap sebagai hal yang wajar. Anak mengompol di bawah usia 2 tahun disebabkan karena anak belum mampu mengontrol kandung kemih secara sempurna. Tidak jarang kebiasaan mengompol masih terbawa sampai usia 4-5 tahun. Kasus yang ditemukan di Indonesia anak usia 6 tahun yang masih mengompol sekitar 12 % (Asti, 2008). Mendidik anak dalam melakukan BAB dan BAK akan efektif apabila dilakukan sejak dini. Kebiasaan baik dalam melakukan BAK dan BAB yang dilakukan sejak dini akan dibawa sampai dewasa. Salah satu cara yang dapat dilakukan orang tua dalam mengajarkan BAB dan BAK pada anak adalah melalui toilet training. Toilet training merupakan cara untuk melatih anak agar bisa mengontrol buang air kecil dan buang air besar (Asti, 2008). Hal ini penting dilakukan untuk melatih kemandirian anak dalam melakukan BAK dan BAB sendiri. Toilet training baik dilakukan sejak dini untuk menanamkan kebiasaan yang baik pada anak. Toilet training akan dapat berhasil dengan baik apabila ada kerjasama antara orangtua dengan anak. Kerja sama yang baik akan memberikan rasa saling percaya pada orangtua dan anak. Menurut beberapa penyelidikan, sikap, tingkah laku dan cara berpikir anak kelak setelah ia dewasa akan sangat dipengaruhi pengalamannya pada saat ini. Toilet training sangat penting dalam membentuk karakter anak dan membentuk rasa saling percaya dalam hubungan anak dan orangtua. Dampak orang tua tidak menerapkan toilet training pada anak diantaranya adalah anak menjadi keras kepala dan susah untuk diatur (Hidayat, 2005). Selain itu anak tidak mandiri dan masih membawa kebiasaan mengompol hingga besar. Toilet training yang tidak diajarkan sejak dini akan membuat orangtua semakin

sulit untuk mengajarkan pada anak ketika anak bertambah usianya (Hidayat, 2005). Mengajarkan toilet training pada anak bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, dalam mengajarkan toilet training dibutuhkan metode atau cara yang tepat sehingga mudah dimengerti oleh anak. Penggunaan metode yang tepat akan mempengaruhi keberhasilan orangtua dalam mengajarkan konsep toilet training pada anak. Pengetahuan tentang toilet training sangat penting untuk dimiliki oleh seorang ibu. Hal ini akan berpengaruh pada penerapan toilet training pada anak. Ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik berarti mempunyai pemahaman yang baik tentang manfaat dan dampak dari toilet training, sehingga ibu akan mempunyai sikap yang positif terhadap konsep toilet training. Sikap merupakan kecenderungan ibu untuk bertindak atau berperilaku. Sikap yang baik tentang toilet training dapat diartikan bahwa ibu sudah siap untuk menerapkan toilet training pada anak. Namun, pengetahuan dan sikap saja tidak akan bermanfaat jika pola asuh orang tua juga salah dalam mendidik anak selama fase toilet training tersebut. Pola asuh orang tua menunjukkan sejauh mana kemampuan orang tua untuk merawat anak dan memberikan asuhan yang mampu mengoptimalkan kemampuan anak meliputi pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan usianya (Suryabudhi, 2003). Penerapan toilet training pada anak oleh orangtua dipengaruhi oleh banyak faktor. Suryabudhi (2003) menyatakan bahwa pendidikan dan persepsi berpengaruh pada sikap toilet training orang tua pada anak. Orang tua yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih peduli terhadap masalah

kesehatan dan perkembangan anak. Sikap yang baik tersebut akan dilaksanakan dalam bentuk pola asuh orang tua terhadap anaknya. Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Ruang Poliklinik Anak RSUD Wangaya Denpasar pada bulan Januari Juli 2011 diperoleh bahwa terdapat 240 anak usia pra sekolah (4-6 tahun) yang memeriksakan diri ke Rumah Sakit. Berdasarkan studi pendahuluan terhadap 20 orang anak usia prasekolah diperoleh bahwa 10 orang (50%) masih mengalami ngompol. Hal tersebut menunjukkan bahwa fase toilet training pada anak selama usia toddler mengalami hambatan atau kegagalan. Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan mengingat pentingnya toilet training bagi anak, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua dengan Keberhasilan Toilet training pada Anak Usia prasekolah di RSUD Wangaya Denpasar Tahun 2011. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Apakah ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan keberhasilan toilet training pada anak usia prasekolah di RSUD Wangaya Denpasar Tahun 2011. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum: Menganalisa hubungan antara pola asuh orang tua dengan keberhasilan toilet training pada anak usia prasekolah di RSUD Wangaya Denpasar Tahun 2011.

2.

Tujuan Khusus:

a. Mengidentifikasi pola asuh orang tua pada anak usia prasekolah di RSUD Wangaya Denpasar b. Mengidentifikasi toilet training pada anak usia prasekolah di RSUD Wangaya Denpasar c. Menganalisa hubungan pola asuh orang tua dengan keberhasilan toilet training pada anak usia prasekolah di RSUD Wangaya Denpasar

D. Manfaat Penelitian 1. Institusi : Diharapkan dapat digunakan oleh institusi untuk meningkatkan

pengetahuan perawat atau tenaga kesehatan dalam meningkatkan keberhaasilan toilet training pada anak. 2. Masyarakat Masyarakat terutama orang tua dapat mengetahui pola asuh apa yang harus diterapkan pada anak usia toddler selama masa toilet training sehingga pelaksanaan toilet training tidak terhambat. E. 1. Keaslian Penelitian Ustari, Wida Sri (2005) dengan judul Efektifitas Pola Asuh Orang Tua Terhadap Keberhasilan Toilet training Pada Anak Usia Prasekolah(4-6 Tahun) Di TK Wahid Hasyim Malang. Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang memaparkan pola asuh orang tua terhadap keberhasilan toilet training. Pengambilan sampel secara sampling dengan 40

orang sampel. Pola asuh orang tua dan keberhasilan toilet training diukur dengan menggunakan kuesioner kemudian disimpulkan berdasarkan keterangan dengan analisa deskriptif. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa kategori dengan pola asuh orang tua autoritatif didapatkan sebanyak 85% dengan toilet training berhasil dan 15 % dengan toilet training tidak berhasil, dan tidak didapatkan pola asuh orang tua yang otoriter, pemanja, ataupun penelantar. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada lokasi, waktu, analisis penelitian dan teknik sampling yang digunakan.
2. Binarwati (2006) dengan judul Pengaruh Pembelajaran Metode Demonstrasi Terhadap Perubahan Perilaku Orang Tua dan Kemampuan Toilet training Pada Anak Usia 15-36 Bulan di Poliklinik Anak Rumah Sakit Sardjito. Penelitian ini dilakukan di merupakan ekperimental dengan teknik simple random sampling dengan jumlah 30 sampel. Metode statistik yang digunakan adalah uji t test dan hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh antara pembelajaran metode demonstrasi terhadap perubahan perilaku orangtua dan kemampuan toilet training pada anak usia 15-36 bulan (p<0,05). Perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian bukan merupakan penelitian eksperimental melainkan meneliti tentang variabel pola asuh dengan keberhasilan pelaksanaan toilet training saja.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Toilet training 1. Pengertian Toilet training adalah suatu usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam melakukan buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK) (Hidayat, 2008). Toilet training merupakan suatu proses pengajaran untuk mengontrol BAB dan BAK secara benar dan teratur (Zaivera, 2008). Toilet training adalah pembiasaan pelatihan buang air (Koraag, 2007). Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan toilet training adalah sebuah usaha pembiasaan mengontrol buang air kecil dan buang air besar secara benar dan teratur. 2. Tahapan Toilet training Mengajarkan toilet training pada anak memerlukan beberapa tahapan seperti membiasakan menggunakan toilet pada anak untuk buang air, dengan membiasakan anak masuk ke dalam water closet (WC) anak akan cepat lebih adaptasi. Anak juga perlu dilatih untuk duduk di toilet meskipun dengan pakaian lengkap dan jelaskan kepada anak kegunaan toilet. Lakukan secara rutin kepada anak ketika terlihat ingin buang air (Zaivera, 2008). Anak dibiarkan duduk di toilet pada waktu waktu tertentu setiap hari, terutama 20 menit setelah bangun tidur dan seusai makan, ini bertujuan agar anak dibiasakan dengan jadwal buang airnya. Anak sesekali enkopresis (mengompol)

dalam masa toilet training itu merupakan hal yang normal. Anak apabila berhasil melakukan toilet training itu merupakan hal yang normal. Anak apabila berhasil melakukan toilet training maka orang tua dapat memberikan pujian dan jangan menyalahkan apabila anak belum dapat melakukan dengan baik (Pambudi, 2006). Prinsip dalam melakukan toilet training ada tiga yaitu sebagai berikut (Pambudi, 2006) : a. Melihat kesiapan anak Salah satu pertanyaan utama tentang toilet training adalah kapan waktu yang tepat bagi orang tua untuk melatih toilet training. Sebenarnya tidak ada patokan umur anak yang tepat dan baku untuk toilet training karena setiap anak mempunyai perbedaan dalam hal fisik dan proses biologisnya. Orang tua harus mengetahui kapan waktu yang tepat bagi anak untuk dilatih buang air dengan benar. Para ahli menganjurkan untuk melihat beberapa tanda kesiapan anak itu sendiri, anak harus memiliki kesiapan terlebih dahulu sebelum menjalani toilet training. Bukan orang tua yang menentukan kapan anak harus memulai proses toilet training akan tetapi anak harus memperlihatkan tanda kesiapan toilet training. Hal ini untuk mencegah terjadinya beberapa hal yang tidak diingkinkan seperti pemaksaan dari orang tua atau anak trauma melihat toilet (Pambudi, 2006). b. Persiapan dan perencanaan Prinsipnya ada empat aspek dalam tahap persiapan dan perencanaan. Hal yang perlu diperhatikan adalah hal hal sebagai berikut : gunakan istilah yang mudah dimengeti oleh anak yang menunjukkan perilaku buang air besar (BAB)/ buang air kecil (BAK) misalnya poopoo untuk buang air besar (BAB) dan peepee untuk buang air kecil (BAK).

Orang tua dapat memperlihatkan penggunaan toilet pada anak karena pada usia ini mereka cepat meniru tingkah laku orang tua. Orang tua hendaknya segera mungkin mengganti celana anak bila basah karena mengompol atau terkena kotoran, sehingga anak akan merasa risih bila memakai celana yang basah dan kotor. Meminta pada anak untuk memberitahu dan menunjukkan bahasa tubuhnya apabila ia ingin BAB atau BAK dan bila anak mampu mengendalikan dorongan buang air maka jangan lupa berikan pujian pada anak (Farida, 2008). Selain itu ada juga persiapan dan perencanaan yang lain seperti: a. Mendiskusikan tentang toilet training dengan anak Orang tua harus menunjukkan dan menekankan bahwa pada anak kecil memakai popok dan pada anak besar memakai celana dalam. Orang tua juga bisa membacakan cerita tentang cara yang benar dan tepat buang air. b. Menunjukkan penggunaan toilet training Orang tua harus melakukan sesuai dengan jenis kelamin anak (ayah dengan laki laki dan ibu dengan anak perempuan). Orang tua juga bisa meminta kakaknya untuk menunjukkan pada adiknya bagaimana menggunakan toilet dengan benar (disesuaikan juga dengan jenis kelamin). c. Membeli pispot yang sesuai dengan kenyamanan anak Pispot ini digunakan untuk melatih anak sebelum ia bisa dan terbiasa untuk duduk di toilet. Anak bila langsung menggunakan toilet orang dewasa, ada kemungkinan anak akan takut karena lebar dan terlalu tinggi untuk anak atau tidak merasa nyaman. Pispot sesuai dengan kebutuhan anak, diharapkan dia akan terbiasa dulu buang air di pispotnya baru kemudian diarahkan ke toilet sebenarnya. Orang tua saat hendak membeli pispot usahakan untuk melibatkan

anak sehingga dia bisa menyesuaikan dudukan pispotnya atau bisa memilih warna, gambar atau bentuk yang ia sukai. d. Pilih dan rencanakan metode reward untuk anak Suatu proses panjang dan tidak mudah seperti toilet training ini, sering kali dibutuhkan suatu bentuk reward atau reinforcement yang bisa menunjukkan kalau ada kemajuan yang dilakukan anak dengan sistem reward yang tepat. Anak juga bisa melihat sendiri kalau dirinya bisa melakukan kemajuan dan bisa mengerjakan apa yang sudah menjadi tuntunan untuknya sehingga hak ini akan menambah rasa mandiri dan percaya dirinya. Orang tua bisa memilih metode peluk cinta serta pujian di depan anggota keluarga yang lain ketika ia berhasil melakukan sesuatu atau mungkin orang tua bisa menggunakan sistem stiker / bintang yang ditempelkan di bagian keberhasilan anak (Pambudi, 2006). Ketika orang tua sudah melakukan dua langkah di atas maka bisa masuk ke langkah selanjutnya yaitu toilet training. Proses toilet trainng ada beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu: a. Membuat jadwal untuk anak Orang tua bisa menyusun jadwal dengan mudah ketika orang tua tahu dengan tepat kapan anaknya biasa buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK). Orang tua bisa memilih waktu selama empat kali dalam sehari untuk anak yaitu pagi, siang, sore dan malam bila orang tua tidak mengetahui jadwal yang pasti BAB atau BAK anak. b. Melatih anak untuk duduk di pispotnya Orang tua sebaiknya tidak memupuk impian bahwa anak akan segera menguasai dan terbiasa untuk duduk di pispot dan buang air disitu. Awalnya anak

10

dibiasakan dulu untuk duduk di pispotnya dan ceritakan padanya bahwa pispot itu digunakan sebagai tempat membuang kotoran. Orang tua bisa memulai memberikan rewardnya ketika anak bisa duduk di pispotnya selama 2-3 menit misalnya ketika anak bisa menggunakan pispotnya untuk BAK maka reward yang diberikan oleh orang tua harus lebih bermakna dari pada sebelumnya. c. Orang tua menyesuaikan jadwal yang dibuat dengan kemajuan yang diperlihatkan anak Misalnya anak hari ini pukul 09.00 pagi anak buang air kecil di popoknya maka esok harinya orang tua sebaiknya membawa anak ke pispotnya pada pukul 08.30 atau bila orang tua melihat bahwa beberapa jam setelah BAK yang terakhir anak tetap kering, bawalah dia ke pispot untuk BAK. Hal yang terpenting adalah orang tua harus proaktif membawa anak ke pispotnya jangan terlalu berharap anak akan langsung mengatakan pada orang tua ketika dia ingin BAB atau BAK. d. Buatlah bagan untuk anak Bagan digunakan supaya bisa melihat sejauh mana kemajuan yang bisa dicapainya dengan stiker yang lucu dan warna warni, orang tua bisa meminta anaknya untuk menempelkan stiker tersebut i bagian itu. Anak akan tahu bahwa sudah banyak kemajuan yang dia buat dan oang tua bisa mengatakan padanya orang tua bangga dengan usaha yang telah dilakukan anak (Sears, 2006). 3. Faktor faktor yang mempengaruhi kesiapan toilet training Faktor faktor yang mempengaruhi kesiapan toilet training pada anak yaitu :

11

a. Minat Suatu minat telah diterangkan sebagai sesuatu dengan apa anak mengidentifikasi kebenaran pribadinya. Minat tumbuh dari tiga jenis pengalaman belajar. Pertama ketika anak anak menemukan sesuatu yang menarik perhatian mereka. Kedua, mereka belajar melalui identifikasi dengan orang tua yang dicintai atau dikagumi dan juga pola perilaku mereka. Ketiga, mungkin berkembang melalui bimbingan dan pengarahan seseorang yang mahir menilai kemampuan anak. Perkembangan kemampuan intelektual memungkinkan anak menangkap perubahan perubahan pola tubuhnya sendiri dan perbedaan antara tubuhnya dengan tubuh teman sebaya dengan orang dewasa, sehingga dengan adanya bimbingan dan pengarahan dari orang tua maka sangatlah mungkin seorang anak dapat melakukan toilet training sesuai dengan yang diharapkan (Hidayat, 2008). b. Pengalaman Pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau sutu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang telah diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa lalu (Notoatmodjo, 2003). c. Lingkungan Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio psikologis termasuk di dalamnya adalah belajar (Sudrajat, 2008).

12

4.

Hal yang penting yang perlu diperhatikan dalam latihan toilet training Menurut Imam (2003), hal yang penting perlu diperhatikan dalam toilet

training adalah: a. Berikan penghargaan Anak bila berhasil menahan buang air besar atau buang air kecil, berilah penghargaan pada anak. Anak akan memahami tujuan dari toilet training yang sedang dilaksanakannya. b. Jangan marah atau memberi hujatan pada anak Orang tua jangan marah bila anak belum bisa menahan kencing atau mengompol. Terkadang orang tua terlalu memaksakan anak agar saat segera buang air dengan benar. c. Jelaskan pada anak tentang toilet training Orang tua perlu menjelaskan kepada anak bahwa pada umur tersebut sekarang sudah harus dapat buang air di tempatnya dengan benar dan tidak memerlukan lagi popok sekali pakai (diapers). d. Perhatikan siklus buang air Orang tua memperhatikan siklus buang air anak dengan begitu pelatihan buang air dapat berjalan dengan baik dan lancar tanpa ada pemaksaan dari orang tua. 5. a. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Toilet training Pendidikan Ibu Tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh (Kodyat dalam Notoatmodjo, 2006). Dari kepentingan keluarga, pendidikan itu sendiri amat

13

diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap masalah perkembangan anak salah satunya penerapan toilet training di dalam keluarganya. Tingkat pendidikan berpengaruh pada pengetahuan ibu tentang penerapan toilet training, apabila pendidikan ibu rendah akan berpengaruh pada pengetahuan tentang penerapan toilet training sehingga berpengaruh pada cara melatih secara dini penerapan toilet training (Notoatdmojo, 2006). b. Pekerjaan Ibu Status pekerjaan ibu mempunyai hubungan yang bermakna dengan penerapan toilet training secara dini pada anak usia toddler, dimana pekerjaan ibu dapat menyita waktu ibu untuk melatih anak melakukan toilet training secara dini sehingga berdampak pada terlambatnya anak untuk mandiri melakukan toilet training. c. Pola Asuh atau Kualitas Kasih Sayang Kasih sayang dan perhatian ibu yang dimiliki mempengaruhi kualitas dalam penerapan toilet training secara dini, dimana ibu yang perhatian akan berpengaruh lebih cepat dalam melatih anak usia toddler melakukan toilet training secara dini. Dengan dukungan perhatian ibu maka anak akan lebih berani atau termotivasi untuk mencoba karena mendapatkan perhatian dan bimbingan. Kasih sayang dan bimbingan dari orang tua tercermin terhadap pola asuh yang diterapkan oleh orang tua sejak bayi. d. Tingkat Pengetahuan Pengetahuan yang dimiliki ibu pada dasarnya dapat berpengaruh pada cepat atau lambatnya ibu melakukan penerapan toilet training, dimana ibu yang memiliki pengetahuan yang baik tentang toilet training secara dini pada anak usia

14

toddler, hal ini berdampak positif bagi ibu maupun anak usia toddler yaitu anak dapat mandiri melakukan toilet training. e. Lingkungan Lingkungan berpengaruh besar pada cepat atau lambatnya penerapan toilet training, dimana ibu akan memperhatikan lingkungan sekitar apakah anak sesuai usianya sudah dilatih toilet training atau belum, misalnya seorang anak 1 tahun belum dilatih ibu untuk toilet training, maka yang lain akan meniru karena menganggap hal ini wajar dan belum saatnya untuk dilatih. Hal ini menjadi suatu hambatan, dimana anak usia 1 tahun sebenarnya sudah harus dilakukan penerapan toilet training secara dini agar tidak merepotkan apabila sedang bersosialisasi atau bermain dengan teman sebayanya. 6. Dampak latihan toilet training Dampak yang paling umum dalam kegagalan toilet training seperti adanya perlakuan atau aturan yang ketat bagi orang tua kepada anaknya yang dapat mengganggu kepribadian anak yang cenderung bersifat retentive dimana anak cenderung bersikap keras kepala bahkan kikir. Hal ini dapat dilakukan oleh orang tua apabila sering memarahi anak pada saat buang air besar atau kecil atau melarang anak bepergian. Bila orang tua santai dalam memberikan aturan dalam toilet training maka anak akan dapt mengalami kepribadian eksprensif dimana anak lebih tega, cenderung ceroboh, suka membuat gara gara, emosional dan seenaknya dalam melakukan kegiatan sehari hari (Hidayat, 2008).

15

B. Kemampuan Toilet training Anak Usia Toddler atau Fase Anal 1. Perkembangan Psikososial Anak Sigmund Freud (dalam Supartini, 2004) mengemukan bahwa

perkembangan psikososial anak terdiri dari fase oral, fase anal, fase falik, dan fase genital. a. Fase Oral (0 sampai 11 bulan) Selama masa bayi, sumber kesenangan anak terbesar terpusat pada aktivitas oral, seperti mengisap, menggigit, mengunyah, dan mengucap. Hambatan atau ketidakpuasan dalam pemenuhan kebutuhan oral akan mempengaruhi fase perkembangan berikutnya. Penanaman identitas gender pada bayi mulai dengan adanya perlakuan ibu atau ayah yang berbeda, misalnya bayi perempuan cenderung diajak berbicara lebih banyak melakukan aktivitas motorik pada bayi laki laki, sementara ayah lebih banyak melakukan aktivitas motorik pada bayi laki laki daripada bayi perempuan, misalnya dengan mengangkat dan menjunjung bayi ke atas. b. Fase Anal ( 1 sampai 3 tahun ) Selama fase kedua, yaitu menginjak tahun pertama sampai ketiga, kehidupan anak berpusat pada kesenangan anak, yaitu selama perkembangan otot spinter. Anak akan senang menahan fesesnya sesuai dengan keinginannya. Dengan demikian, toilet training adalah waktu yang tepat dilakukan periode ini. c. Fase Falik (3 sampai 6 tahun) Selama masa ini, genetalia menjadi area yang menarik dan area tubuh yang sensitif. Anak mulai mempelajari adanya perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki laki dengan mengetahui adanya perbedaan alat kelamin.

16

Sering sekali anak sangat penasaran dengan pertanyaan yang diajukannya berkaitan dengan perbedaan ini. Orang tua harus bijak dalam memberi penjelasan tentang hal ini sesuai dengan kemampuan perkembangan kognitifnya agar anak mendapatkan pemahaman yang benar. Selain itu, untuk memahami identitas gender, anak sering meniru bapak atau ibunya, misalnya dengan menggunakan pakaian ayah atau ibunya. Secara psikologis pada fase ini mulai berkembang superego, yaitu anak mulai berkurang sifat egosentrinya. Perkembangan seksual selama tahun tahun prasekolah adalah fase yang sangat penting bagi keseluruhan identitas dan keyakinan keyakinan seksualnya. Anak anak prasekolah membentuk kedekatan yang kuat kepada orang tua dari jenis seks yang berbeda sementara mengidentifikasi diri dengan orang tua dari jenis seks yang sama. Perbedaan seks atau proses dimana individual mengembangkan perilaku, kepribadian, sikap dan keyakinan sesuai dengan budaya dan jenis seksnya, muncul melalui beberapa mekanisme selama periode ini. Mungkin mekanisme yang paling kuat adalah praktek dan membesarkan anak. Cara orang tua mendandani, memegang, bermain, merawat, mendisiplinkan, dan berbicara kepada anak mereka mengekspresikan beberapa aspek perilaku orientasi seksual. Semakin banyak penelitian yang mewujudkan bahwa identifikasi gender bukan hanya bersifat biologis atau genetik tetapi lebih utama sebagai hasil dari faktorfaktor postnatal yang kompleks dan sebagian besar anak menyadari seks mereka dan berperilaku sesuai seks mereka pada usia 1,5 2,5 tahun. Sekalipun toddler mungkin menyadari jenis seks mereka tapi mereka tidak mempunyai keterampilan bahasa dan kognitif untuk menginvestigasi identitas seksual mereka sebagaimana anak usia prasekolah.

17

Ketika identitas seksual dibangun dalam pengenalan jenis kelamin, kesopanan dan kekhawatiran akan pelecehan dapat menjadi suatu perhatian. Ada imitasi peran seks, dan berdandan seperti ayah atu ibu adalah suatu aktivitas penting. Sikap dan respon orang lain terhadap permainan peran dapat mengkondisikan si anak sebelumnya untuk melihat dirinya atau orang lain. Misalnya komentar seperti anak laki harusnya tidak main boneka dapat mempengaruhi konsep diri anak lelaki mengenai maskulinitas. Eksplorasi seksual mungkin lebih nyata pada saat ini dibandingkan sebelumnya, khususnya dalam mengeksplorasi dan memanipulasi genital. Pertanyaan pertanyaan mengenai reproduksi seksual dapat muncul dalam usaha anak anak prasekolah untuk memahami. d. Fase Laten ( 6 sampai 12 tahun ) Selama periode ini, anak menggunakan energi fisik dan psikologis yang merupakan media untuk mengeksplorasi pengetahuan dan pengalamannya melalui aktivitas fisik maupun sosialnya. Pada awal fase laten, anak perempuan lebih menyukai teman dengan jenis kelamin perempuan, dan anak laki laki dengan anak laki laki. Pertanyaan anak tentang seks semakin banyak, mengarah pada sistem reproduksi. Dalam hal ini, orang tua harus bijaksana dalam merespon yaitu menjawab dengan jujur dan hangat. Luas jawaban disesuaikan dengan maturitas anak. Sering kali begitu penasaran dengan seks, anak mungkin dapat bertindak coba coba dengan teman sepermainan. Oleh karena itu, apabila anak tidak pernah bertanya tentang seks, sebaiknya orang tua waspada. Peran ibu dan ayah sangat penting dalam melakukan pendekatan dengan anak, pelajari apa yang sebenarnya dipikirkan oleh anak berkaitan dengan dengan seks.

18

e.

Fase Genital ( 12 sampai 18 tahun ) Tahapan akhir masa perkembangan menurut Freud adalah tahapan genital

ketika anak mulai masuk pubertas, yaitu dengan adanya proses kematangan organ reproduksi dan produksi hormon seks. Toilet training dapat dilakukan pada fase anal dan pada fase ini anak berada pada usia toddler. Anak usia toddler (1-3 tahun) merujuk konsep periode kritis dan plastisitas yang tinggi dalam proses tumbuh kembang, maka usia satu sampai tiga tahun sering disebut sebagai golden period (kesempatan emas) untuk meningkatkan kemampuan setinggi tingginya dan plastisitas yang tinggi adalah perumbuhan sel otak cepat dalam waktu yang singkat, peka terhadap stimulasi dan pengalaman, fleksibel mengambil alih fungsi sel sekitarnya dengan membentuk sinaps sinaps serta sangat mempengaruhi periode tumbuh kembang selanjutnya. Kemampuan anak usia 18-36 bulan sesuai dengan tugas perkembangannya meliputi perkembangan motorik kasar dan halus, perkembangan emosi, perilaku dan bicara, diantaranya sebagai berikut: Usia 12 18 bulan anak dapat berjalan dan mengeksplorasi rumah serta sekeliling rumah, anak dapat menyusun dua atau tiga balok, dapat mengatakan 5 sampai 10 kata dan anak dapat memperlihatkan rasa cemburu dan rasa bersaing. Usia 18 24 bulan perkembangan anak yaitu anak dapat naik turun tangga, menyusun 6 kotak, menunjuk mata dan hidungnya, menyusun dua kata, belajar makan sendiri dan menggambar di kertas atau pasir, mulai belajar mengontrol buang air besar dan buang air kecil, menaruh minat kepada apa yang dikerjakan oleh orang yang lebih besar dan memperlihatkan minat kepada apa yang dilakukan anak lain dan bermain dengan mereka.

19

Usia 2 3 tahun perkembangan anak tersebut yaitu belajar meloncat, memanjat dan melompat dengan satu kaki, membuat jembatan dengan 3 kotak, mampu menyusun kalimat, menggunakan kata kata saja, bertanya dan mengerti kata kata yang ditunjukkan kepadanya, menggambar lingkaran dan bermain dengan anak lain dan menyadari adanya lingkungan lain di luar keluarga (Soetjiningsih, 1995). 2. Kemampuan Anak Usia Toddler dalam Toilet Training Anak anak yang telah mampu melakukan toilet training dapat dilihat dari kemampuan psikologi, kmampuan fisik dan kemampuan kognitif. Kemampuan psikologi anak mampu melakukan toilet training sebagai berikut anak tampak kooperatif, anak memiliki waktu kering periodenya 3 4 jam, anak buang air kecil dalam jumlah yang banyak, anak sudah menunjukkan keinginan untuk BAB dan BAK dan waktu sudah diperkirakan dan teratur. Kemampuan fisik dalam melakukan toilet training yakni anak dapat duduk atau jongkok tenang kurang dari 2 5 menit, anak dapat berjalan dengan baik, anak sudah dapat menaikkan dan menurunkan celananya sendiri, anak merasakan tidak nyaman bila mengenakan popok sekali pakai yang basah atau kotor, anak menunjukkan keinginan dan perhatian terhadap kebiasaan ke kamar mandi, anak dapat memberitahu bila ingin buang air besar atau kecil, menunjukkan sikap kemandirian, anak sudah memulai proses imitasi atau meniru segala tindakan orang, kemampuan atau keterampilan dapat mencontoh atau mengikuti orang tua atau saudaranya dan anak tidak menolak dan dapat bekerjasama saat orang tua mengajari buang air.

20

Kemampuan kognitif anak bila anak sudah mampu melakukan toilet training, seperti dapat mengikuti dan menuruti instruksi sederhana, memiliki bahasa sendiri seperti peepee untuk buang air kecil, poopoo untuk buang air besar dan anak dapat mengerti reaksi tubuhnya bila ingin BAB atau BAK dan dapat memberitahukan bila ingin buang air (Nadira, 2006). C. 1. Pola Asuh Orang Tua Pengertian Menurut Kohn (dalam Krisnawati, 1997), menyatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orangtua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritasnya dan juga cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anak. Sementara Theresia Indira Shanti, (http://www.tabloid-nakita.com),

menyatakan bahwa pola asuh merupakan pola interaksi antara orangtua dan anak. Lebih jelasnya, yaitu bagaimana sikap atau perilaku orangtua saat berinteraksi dengan anak. Termasuk caranya menerapkan aturan, mengajarkan nilai/norma, memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku yang baik sehingga dijadikan contoh/panutan bagi anaknya. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pola asuh merupakan proses interaksi antara anak dengan orangtua dalam pembelajaran dan pendidikan yang nantinya sangat bermanfaat bagi aspek pertumbuhan dan perkembangan anak.

21

2.

Macam-Macam Pola Asuh Anak terus berkembang baik secara fisik maupun secara psikis untuk

memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan anak dapat terpenuhi bila orang tua dalam memberi pengasuhan dapat mengerti, memahami, menerima dan memperlakukan anak sesuai dengan tingkat perkembangan psikis anak, disamping menyediakan fasilitas bagi pertumbuhan fisiknya. Hubungan orang tua dengan anak ditentukan oleh sikap, perasaan dan keinginan terhadap anaknya. Sikap tersebut diwujudkan dalam pola asuh orang tua di dalam keluarga (Pambudi, 2006). Secara garis besar, pola asuh orang tua dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu : a. Pola Asuh Otoriter. Dalam pola asuh ini orang tua berperan sebagai arsitek., cenderung menggunakan pendekatan yang bersifat diktator, menonjolkan wibawa,

menghendaki ketaatan mutlak. Anak harus tunduk dan patuh terhadap kemauan orang tua. Apapun yang dilakukan oleh anak ditentukan oleh orang tua. Anak tidak mempunyai pilihan dalam melakukan kegiatan yang ia inginkan, karena semua sudah ditentukan oleh orang tua. Tugas dan kewajiban orang tua tidak sulit, tinggal menentukan apa yang diinginkan dan harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan oleh anak. Selain itu, mereka beranggapan bahwa orang tua harus bertanggungjawab penuh terhadap perilaku anak dan menjadi orang tua yang otoriter merupakan jaminan bahwa anak akan berperilaku baik. Orang tua yakin bahwa perilaku anak dapat diubah sesuai dengan keinginan orang tua dengan cara memaksakan keyakinan, nilai, perilaku dan standar perilaku kepada anak.

22

Menurut Diana Baumrind, pola otoriter adalah pengasuhan yang kaku, diktator dan memaksa anak untuk selalu mengikuti perintah orang tua tanpa banyak alasan. Dalam pola asuh ini biasa ditemukan penerapan hukuman fisik dan aturan-aturan tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa guna dan alasan di balik aturan tersebut (http://www.tabloid-nakita.com). Diana Baumrind (2011), pola asuh otoriter biasanya berdampak buruk pada anak, seperti ia merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif, selalu tegang, tidak mampu menyelesaikan masalah (kemampuan penyelesaiannya buruk), begitu juga kemampuan komunikasinya yang buruk. Selain itu, dampak dari pengasuhan yang otoriter adalah anak merasa tertekan, dan penurut. Mereka tidak mampu mengendalikan diri, kurang dapat berpikir, kurang percaya diri, tidak bisa mandiri, kurang kreatif, kurang dewasa dalam perkembangan moral, dan rasa ingin tahunya rendah. Dengan demikian pengasuhan yang otoriter akan berdampak negatif terhadap perkembangan anak kelak yang pada gilirannya anak sulit

mengembangkan potensi yang dimiliki, karena harus mengikuti apa yang dikehendaki orangtua, walau bertentangan dengan keinginan anak. Pola asuh ini juga dapat menyebabkan anak menjadi depresi dan stres karena selalu ditekan dan dipaksa untuk menurut apa kata orangtua, padahal mereka tidak menghendaki. Untuk itu sebaiknya setiap orangtua menghindari penerapan pola asuh otoriter ini. b. Pola Asuh Demokratis (Authoritative) Dalam pola asuh ini, orang tua memberi kebebasan yang disertai bimbingan kepada anak. Orang tua banyak memberi masukan-masukan dan arahan terhadap apa yang dilakukan oleh anak. Orang tua bersifat obyektif,

23

perhatian dan kontrol terhadap perilaku anak. Dalam banyak hal orang tua sering berdialog dan berembuk dengan anak tentang berbagai keputusan. Menjawab pertanyaan amak dengan bijak dan terbuka. Orangtua cenderung menganggap sederajat hak dan kewajiban anak dibanding dirinya. Pola asuh ini menempatkan musyawarah sebagai pilar dalam memecahkan berbagai persoalan anak, mendukung dengan penuh kesadaran, dan berkomunikasi dengan baik. Pola Demokratis (authoritative) mendorong anak untuk mandiri, tetapi orang tua harus tetap menetapkan batas dan kontrol. Orang tua biasanya bersikap hangat, dan penuh welas asih kepada anak, bisa menerima alasan dari semua tindakan anak, mendukung tindakan anak yang konstruktif. Anak yang terbiasa dengan pola asuh Demokratis (authoritative) akan membawa dampak menguntungkan. Di antaranya anak akan merasa bahagia, mempunyai kontrol diri dan rasa percaya dirinya terpupuk, bisa mengatasi stres, punya keinginan untuk berprestasi dan bisa berkomunikasi, baik dengan temanteman dan orang dewasa. Anak lebih kreatif, problem solvingnya baik, komunikasi lancar, tidak rendah diri, dan berjiwa besar (Baumrind, 2011). Penerapan pola demokratis berdampak positif terhadap perkembangan anak kelak, karena anak senantiasa dilatih untuk mengambil keputusan dan siap menerima segala konsekuensi dari keputusan yang diambil. Dengan demikian potensi yang dimiliki anak dapat berkembang secara optimal, karena anak melakukan segala aktivitas sesuai dengan kehendak dan potensinya. Sementara orangtua memberikan kontrol dan bimbingan manakala anak melakukan hal-hal negatif yang dapat merusak kepribadian anak.

24

c.

Pola Asuh Permisif. Pola asuh ini memperlihatkan bahwa orang tua cenderung menghindari

konflik dengan anak, sehingga orang tua banyak bersikap membiarkan apa saja yang dilakukan anak. Orangtua bersikap damai dan selalu menyerah pada anak, untuk menghindari konfrontasi. Orang tua kurang memberikan bimbingan dan arahan kepada anak. Anak dibiarkan berbuat sesuka hatinya untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan. Orang tua tidak peduli apakah anaknya melakukan hal-hal yang positif atau negatif, yang penting hubungan antara anak dengan orang tua baik-baik saja, dalam arti tidak terjadi konflik dan tidak ada masalah antara keduanya (Pambudi, 2006). Menurut Baumrind (2011), pola asuh ini disebut juga pola asuh neglectful (tidak peduli). Apapun yang terjadi, terjadilah, tanpa orang tua menaruh peduli sama sekali. Anak mau sekolah terserah, tidak sekolah juga terserah. Apa saja yang ingin dilakukan anak, orang tua membolehkannya. Kalau ia harus berangkat kerja saat itu, ya ia tetap berangkat ke kantor, tanpa peduli anak akan menentukan pilihan yang mana, orangtua bersikap serba membolehkan (http://www.tabloidnakita.com). Pola penelantar adalah pola dimana orang tua tidak mau terlibat dan tidak mau pula pusing-pusing mempedulikan kehidupan anaknya. Jangan salahkan bila anak menganggap bahwa aspek - aspek lain dalam kehidupan orang tuanya lebih penting daripada keberadaan dirinya. Walaupun tinggal di bawah atap yang sama, bisa jadi orang tua tidak begitu tahu perkembangan anaknya. Pola asuh seperti ini tentu akan menimbulkan serangkaian dampak buruk. Di antaranya anak akan mempunyai harga diri yang rendah, tidak punya kontrol

25

diri yang baik, kemampuan sosialnya buruk, dan merasa bukan bagian yang penting untuk orang tuanya. Bukan tidak mungkin serangkaian dampak buruk ini akan terbawa sampai ia dewasa. Tidak tertutup kemungkinan pula anak akan melakukan hal yang sama terhadap anaknya kelak. Akibatnya, masalah menyerupai lingkaran setan yang tidak pernah putus. Dalam mengasuh anak, orangtua hendaknya bersikap arif dan bijaksana, tidak ekstrim terhadap salah satu pola asuh yang ada, dalam arti mampu memberi pengasuhan sesuai dengan apa yang sedang dilakukan anak dan apa harapan orangtua. Jadi orangtua dapat menerapkan ketiga pola asuh tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi (Pambudi, 2006). 3. Kebutuhan Dasar Anak untuk Tumbuh Kembang kaitannya dengan Pola Asuh
Menurut Soetjiningsih (1997), kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang, secara umum digolongkan menjadi 3 kebutuhan dasar, antara lain : a. Kebutuhan fisik-biomedis (ASUH) Pola asuh orang tua terhadap anak meliputi : 1) 2) Pangan/ gizi merupakan kebutuhan terpenting. Perawatan kesehatan dasar, antara lain imunisasi, pemberian ASI, penimbangan bayi/ anak yang teratur, pengobatan jika sakit, dll. 3) 4) 5) 6) Papan/ pemukiman yang layak. Higiene perorangan, sanitasi lingkungan. Sandang. Kesegaran jasmani, rekreasi.

26

b.

Kebutuhan emosi/kasih sayang (ASIH) Pada tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan selaras

antara ibu dengan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial. Kasih sayang orang tua baik dari ayah maupun ibu menciptakan ikatan yang erat dan kepercayaan dasar ( basic trust). c. Kebutuhan akan stimulasi (ASAH) Stimulasi mental merupakan cikal bakal dalam proses belajar (pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental (ASAH) ini mengembangkan perkembangan mental psikososial : kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreativitas, agama, kepribadian, moral, produktivitas, dan sebagainya. dapar membahagiakan dan membanggakan orang tua yang telah susah payah membesarkannya dengan cina dan kasih sayang.

4.

Kapan menerapkan pola asuh otoriter, demokratis dan permisif. Dalam konteks pengasuhan anak, Ginoot (2004), membagi pola asuh

dalam tiga daerah, yaitu daerah hijau, kuning dan merah. Artinya : (1) Jika anak sedang melakukan kegiatan di daerah hijau, yaitu kegiatan yang dikehendaki orangtua (sesuai dengan nilai atau norma yang ada), maka orangtua dapat menerapkan pola asuh permisif, (2) Jika anak melakukan kegiatan di daerah merah yaitu kegiatan yang tidak dikehendaki orang tua (bertentangan dengan nilai atau norma yang ada) , maka dapat menerapkan pola asuh otoriter, dan (3) Jika anak melakukan kegiatan di daerah kuning (daerah antara hijau dan merah), yaitu daerah dimana seharusnya dilarang, namun masih dapat ditolerir , maka dapat menerapkan pola asuh demokratis.

27

Namun demikian, di daerah manapun anak-anak melakukan kegiatan, apakah di daerah hijau, kuning atau merah, dalam situasi dan kondisi bagaimanapun, sebaiknya orangtua menerapkan pola asuh demokratis. Dengan demikian pengasuhan yang diberikan oleh orangtua lebih mengutamakan kasih sayang, kebersamaan, musyawarah, saling pengertian dan penuh keterbukaan. Jika anak-anak dibesarkan dan diasuh dengan pola asuh yang demokratis, niscaya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Seluruh potensi yang dimiliki anak dapat dikembangkan secara optimal. Dengan demikian pada gilirannya nanti anak-anak yang sehat, cerdas, ceria dan berakhlak mulia dapat terwujud. Dampak positif yang akan muncul adalah terwujudnya suatu tatanan masyarakat yang baik, saling menghargai, saling menghormati, saling menyayangi, saling mengasihi, masyarakat yang terbuka, berpikiran positif, jujur, dan mempunyai toleransi yang baik. D. Pengaruh Pola Asuh terhadap Tingkat Keberhasilan Toilet training Pola asuh merupakan curahan kasih sayang dan perhatian ibu. Kasih sayang dan perhatian tersebut dapat mempengaruhi kualitas dalam penerapan toilet training secara dini, dimana ibu yang perhatian akan berpengaruh lebih cepat dalam melatih anak usia toddler melakukan toilet training secara dini. Dengan dukungan perhatian ibu maka anak akan lebih berani atau termotivasi untuk mencoba karena mendapatkan perhatian dan bimbingan. Kasih sayang dan bimbingan dari orang tua tercermin terhadap pola asuh yang diterapkan oleh orang tua sejak bayi (Ginoot, 2004).

28

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Kerangka Konseptual

Orang Tua Pendidikan Pekerjaan Kasih Sayang Lingkungan Pengetahuan

Pola Asuh Orang Tua 1. Otoriter 2. Permisif 3. Demokratis

Anak Usia Pra Sekolah

Keberhasilan Toilet Training

Keterangan : Variabel yang tidak diukur Variabel yang diukur

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian Variabel penelitian adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh kelompok tersebut (Rafii dalam Nursalam, 2008). Menurut Sugiyono (2007), variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan 29

oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. a. Variabel bebas (independent variable) Variabel bebas adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain (Nursalam, 2008). Variabel bebas adalah menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel terikat (dependent variabel) sehingga variabel independent adalah variabel yang mempengaruhi (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas pola asuh orang tua. b. Variabel terikat (dependent variable) Variabel terikat adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2008). Variabel ini disebut variabel respons, output, kriteria dan konsekuen. Variabel ini merupakan akibat adanya variabel bebas (dependent variable) (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini variabel yang berubah karena perlakuan terapi non farmakologis adalah keberhasilan toilet training. 2. Definisi Operasional Definisi operasional adalah defenisi berdasarkan karakteristik yang diamati dari sesuatu yang didefenisikan tersebut (Nursalam, 2008). Tabel 1. Variabel dan Definisi Operasional

30

Variabel Independen Pola Asuh Orang Tua

Definisi Operasional Sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anak usia 4-6 tahun yang meliputi pelaksanaan aturanaturan, hadiah maupun hukuman, menunjukkan otoritasnya dan juga cara orangtua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anak yang berhubungan dengan pelaksanaan toilet training. Respons yang ditunjukkan oleh anak dalam menunjukkan kedewasaannya setelah melewati fase toilet training yang diukur dengan indikator keberhasilan toilet training

Alat Ukur Kuesioner pola asuh dengan jumlah item sebanyak 30 yang terdiri dari : 1-10 untuk kuesioner pola asuh otoriter, 1120 untuk pola asuh demokratis dan 21-30 untuk pola asuh permisif.

Kriteria 1. Otoriter 2. Demokratis 3. Permisif

Skala Nominal

Dependen Keberhasilan Toilet training

Kuesioner

1. Berhasil (jika semua Nominal komponen keberhasilan toilet training berhasil dicapai oleh anak) 2. Tidak berhasil (jika terdapt komponen keberhasilan toilet training yang tidak dicapai oleh anak)

C. Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian (Nursalam, 2008). Hipotesis dalam penelitian ini adalah Terdapat pengaruh antara pola asuh dengan keberhasilan toilet training di RSUD Wangaya Kota Denpasar.

31

BAB 4 METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik korelasional yang bertujuan untuk menghubungkan dua variabel yaitu pola asuh dengan keberhasilan toilet training. Pendekatan yang digunakan yaitu cross-sectional dimana variabel independen dan dependen dinilai secara simultan pada suatu saat, jadi tidak ada tindak lanjut (Nursalam, 2008). B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Ruang Poliklinik Anak RSUD Wangaya Denpasar dalam waktu 1 bulan yaitu mulai bulan Nopember 2011. C. Populasi, Sampel dan Sampling 1. Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki anak umur 4-6 tahun yang berkunjung ke Poliklinik Anak RSUD Wangaya Denpasar.

32

2. Sampel Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu yang dianggap mewakili populasinya (Sugiyono, 2007). Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu populasi target dan terjangkau yang akan diteliti. Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak usia 4-6 tahun yang berkunjung ke Poliklinik Anak RSUD Wangaya Denpasar dengan kriteria : a. Kriteria inklusi: 1) Ibu yang bisa baca tulis 2) Ibu yang tinggal serumah dengan anak (bukan keluarga single parent) 3) Bersedia menjadi responden b. Kriteria Eksklusi : 1) Ibu yang tidak kooperatif 2) Ibu dengan anak cacat fisik atau mental 3) Ibu dengan anak yang mengalami penyakit kritis 3. Sampling Sampling adalah suatu proses dalam menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam & Pariani: 2001). Pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonprobability dengan concecutive sampling yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kriteria waktu. Dalam penelitian ini sampel yang dikumpulkan berdasarkan kurun waktu 1 bulan yaitu bulan Nopember 2011. Berapapun jumlah sampel yang diperoleh dalam kurun waktu penelitian akan digunakan sebagai sampel.

33

D. Kerangka Kerja
Populasi Seluruh ibu yang memiliki anak usia 4-6 tahun di Poliklinik Anak RSUD Wangaya Denpasar

Sampel Ibu yang memenuhi kriteria Inklusi

Concecutive Sampling

Pengumpulan Data

Analisa Data: Menggunakan Uji Statistik Chi Aquare

Penyajian Hasil Kesimpulan dan desiminasi hasil

E. Jenis dan Cara Pengumpulan Data 1. Jenis Data Yang Dikumpulkan

34

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah data primer yang langsung diperoleh dari hasil jawaban kuesioner yang dibagikan langsung pada responden.

2.

Cara Pengumpulan Data Setelah mendapatkan ijin penelitian dari Direktur dan Bagian Diklit RSUD

Wangaya Denpasar. Langkah selanjutnya yaitu melakukan pendekatan informal kepada sampel yang diteliti dengan menjelaskan maksud dan tujuan penelitian. Pengumpulan data dimulai dari penetapan sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Sebelumnya sampel diberikan penjelasan tentang penelitian ini dan bila sampel setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian yang bersangkutan diminta untuk menandatangani lembar pernyataan bersedia menjadi responden. Setelah itu, sampel atau responden diberikan lembar kuesioner dan menjawab sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. 3. Instrumen Pengumpul Data Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner pola asuh yang sesuai dengan tinjauan teori tentang konsep pola asuh. Kuesioner ini terdiri dari 30 pertanyaan yang terdiri dari 10 pernyataan tentang otoritas, 10 pertanyaan tentang demokratis dan 10 pertanyaan tentang penelantar. Untuk kuesioner ini, untuk menentukan jenis pola asuh yang dilakukan orang tua selama mengasuh anak pra sekolah adalah dengan menghitung skor masing-masing dari 30 pertanyaan dengan mengelompokkan setiap pertanyaan ke dalam kelompok pola asuh, untuk kelompok I (Pola Asuh Otoriter) yang terdiri dari soal 1-10,

35

kelompok II (Pola Asuh Demokratis) soal 11-20 dan kelompok III (Pola Asuh Penelantar) soal 21-30. Kemudian dihitung skor dari masing-masing kelompok menentukan pola asuh orang tua. Jika kelompok I memiliki skor yang paling tinggi maka pola asuh orang tua adalah otoriter, demikian juga untuk kelompok II adalah pola asuh demokratis, dan III adalah penelantar. Untuk kuesioner keberhasilan toilet training juga disusun berdasarkan tinjauan teori tentang keberhasilan toilet training, keberhasilan toilet training dilakukan dengan menanyakan kepada ibu atau orang tua tentang perkembangan yang telah dicapai anak sehubungan dengan pelaksanaan toilet training. Masing-masing kuesioner di atas akan dilakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen. a. Validitas dan Reliabilitas

1) Uji Validitas Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan kevalidan dan kesahiban suatu instrument. Uji coba instrument dilakukan pada 30 orang tua yang memiliki anak usia 4-6 tahun di RSUD Kabupaten Badung . Uji validitas dilakukan dengan analisis butir kuesioner menggunakan rumus Pearson Product Moment yang mana rumusnya sebagai berikut :

Keterangan : r Xi Yi N = koefisien korelasi = jumlah skor item = jumlah skor total item = jumlah responden

36

2) Uji Reabilitas Reabilitas adalah suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilaksanakan oleh orang ataupun waktu yang berbeda (Setiadi, 2007). Sebagai patokan dasar dapat ditentukan ukuran indeks reabilitas sebagai berikut : < 0,59 0,60 0,89 0,90 1,00 = reabilitas rendah = reabilitas sedang = reabilitas tinggi

Uji reabilitas pada instrument ini dilakukan dengan menggunakan rumus Aplha yang rumusnya sebagai berikut : rii =

Dimana : rii k ab at = reabilitas instrument = banyaknya butir pertanyaan = jumlah varians butir = varians total

Langkah-langkah yang dilakukan untuk menguji validitas dan reabilitas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Menentukan nilai r table, dari r table Product Moment dengan tingkat signifikan 5% untuk 30 orang sampel adalah 0,361 2) Mencari r hasil dari 30 responden dilakukan dengan bantuan program komputer yaitu uji Pearson Product Moment 3) Dasar pengambilan keputusan a) Jika r hasil positif, serta r hasil > r table, item pertanyaan tersebut valid b) Jika r hasil negative, serta r < table, maka item pertanyaan tersebut tidak valid

37

c) Jika r hasil > r table tapi berharga negative item pertanyaan tersebut tetap ditolak d) Sedangkan nilai reliabilitas, jika nilai alpha menunjukkan nilai > 0,60 berarti kuesioner reliabel.

F. Pengolahan dan Analisis Data 1. Teknik Pengolahan Data Teknik pengolahan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Editing yaitu pemeriksaan data termasuk melengkapi data- data yang belum lengkap dan memilih data mana yang diperlukan (Sukawana, 2008). b. Coding yaitu proses mengklasifikasikan mengelompokkan data sesuai dengan klasifikasinya dengan cara memberikan kode tertentu (Sukawana, 2008). c. Entry yaitu memasukkan data, menghapus data yang tidak diperlukan, menyimpan sebelum diolah dengan bantuan program computer. d. Penyajian data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan deskriptif, tabel dan grafik. 2. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dimasukkan dalam master tabel pengumpulan data, setelah terkumpul dilakukan penyuntingan. Data yang sudah terkumpul dilakukan analisis sebagai berikut : a. Analisis univariat dan

38

Analisis univariat dilakukan dengan menghitung prosentase sebaran data dari masing-masing variabel yaitu pola asuh orang tua dan keberhasilan toilet training. Data kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. b. Analisis bivariat Analisis bivariat merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antra variabel bebas dan variabel terikat. Untuk uji bivariat yaitu hubungan antara variabel yang diuji dilakukan dengan uji statistik Chi-Square untuk mengetahui perbandingan antara dua variabel yaitu pola asuh orang tua dengan keberhasilan toilet training dengan tingkat kemaknaan p < 0,05 (Sukawana, 2008). 3. Etika Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mendapatkan rekomendasi dari STIKes Wira Medika PPNI Bali. Untuk responden yang diteliti, sebelumnya peneliti telah memperhatikan penekanan masalah etika yang meliputi: a. Lembar Persetujuan (Informed Consent) Lembar persetujuan penelitian diberikan pada responden. Tujuannya adalah agar subyek mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang diteliti selama pengumpulan data. Jika subyek bersedia diteliti maka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika subyek menolak untuk diteliti maka harus maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya. (Nursalam, 2001). b. Tanpa Nama (Anonimity)

39

Menjaga kerahasiaan identitas subyek, peneliti tidak akan mencantumkan nama subyek pada lembar pengumpulan data (kuesioner) yang diisi oleh subyek. Lembar tersebut hanya diberi nomor kode tertentu. (Nursalam, 2001). c. Kerahasiaan (Confidentiality) Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh subyek dijamin oleh peneliti. (Nursalam, 2001).

40

You might also like