Professional Documents
Culture Documents
NELAYAN TRADISIONAL
Yuhka Sundaya
Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Islam Bandung
Abstract. The paper aim to build traditional fishermens household framework. Its expanded
from basic model, called bioeconomic equilibrium or popularly called conventional fisheries
management. However, the basic model is a general framework with certain assumption. So,
economists could relaxing some assumption, if related fact under study different with its
assumption. In this paper, i was replicated fishermens household. Generaly, they have any job
both in fisheries activity and off-fish, like produced fickle fish. Its was done by fishermen couples.
That is i called traditional fishermens. In this paper i analysis production and consumption
behaviour of fishermens household. There are specific explanation about how they determined
to participated both in fisheries and off-fishing activity. In the basic model its question do not
explained explicitly.
PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA NELAYAN SUBSISTEN
Yuhka Sundaya
Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Islam Bandung
Abstract. The paper aim to build traditional fishermens household framework. Its expanded from
basic model, called bioeconomic equilibrium or popularly called conventional fisheries
management. However, the basic model is a general framework with certain assumption. So,
economists could relaxing some assumption, if related fact under study different with its
assumption. In this paper, i was replicated fishermens household. Generaly, they have any job both
in fisheries activity and off-fish, like produced fickle fish. Its was done by fishermen couples. That
is i called traditional fishermens. In this paper i analysis production and consumption behaviour of
fishermens household. There are specific explanation about how they determined to participated
both in fisheries and off-fishing activity. In the basic model its question do not explained
explicitly.
Key words : conventional fisheries management, traditional fishermens household behaviour.
1. Pendahuluan
Teori manajemen perikanan konvensional merupakan kerangka kerja yang
membantu ahli ekonomi dalam menjelaskan kegiatan ekonomi perikanan yang sifatnya
general. Penjelasannya mencakup keseimbangan antara aspek ekonomi dan aspek biologi.
Karena itu, teori tersebut dikenal juga dengan keseimbangan bioekonomi sumber daya
perikanan. Sifatnya cenderung normatif. Teori tersebut menyajikan kerangka kerja untuk
menggagas bentuk kebijakan dalam mengantisipasi terjadinya overfishing. Terdapat dua
alternatif kebijakan ekonomi sebagai turunannya : kebijakan langsung dan tidak langsung.
Kebijakan langsung mencakup regulasi untuk membatasi jumlah penangkapan ikan
(kuota penangkapan ikan). Sedangkan kebijakan tidak langsung mencakup introduksi
kebijakan fiskal : perpajakan dan subsidi. Lebih dari itu, teori tersebut dapat
mengidentifikasi besarnya potensi lestari sumber daya ikan dalam dua rezim
pengelolaan : terkendali dan akses terbuka (open access).
Secara melekat muncul juga informasi mengenai tingkat upaya perikanan yang
optimal. Kebijakan terbaik pertama untuk menciptakan manajemen perikanan yang lestari
berdasarkan teori ini adalah perikanan harus diatur melalui pengendalian penuh atau
diregulasi penuh oleh pemerintah. Akses terbuka terhadap sumber daya perikanan bukan
rekomendasi terbaik dalam teori tersebut, karena rezim itu diprediksi akan menciptakan
kondisi dimana nelayan tidak memperoleh rente ekonomi, dan tingkat pertumbuhan stok
biomassa ikan berada dalam kondisi yang menurun. Dengan demikian pra kondisi untuk
menciptakan perikanan yang berkelanjutan adalah menggeser sifat akses terbuka menjadi
terkendali. Teori ini terus dikembangkan, hingga bisa memenuhi sifat dinamis perikanan
(lihat Clark (1991) dan Hanley et al., (1987)).
Mengamati beberapa pemikiran yang dituangkan dalam artikel jurnal terpilih,
teori tersebut menerima kritik yang cukup berarti. Misalnya dari Wiyono (2006),
Staples et al.,(2004) dan Berkes (2003). Wiyono (2006) menangkap adanya kelemahan
dalam model ekonomi perikanan konvensional yang menyebabkan kesalahan praktek
pengelolaan sumber daya ikan. Salah satunya, manajemen perikanan konvensional hanya
terfokus pada stock assessment model yang menafikkan aspek sosial. Mengutip dari
1
Hilborn (1985), ia mengungkapkan juga bahwa krisis perikanan cod dan salmon di
Canada pada tahun 1980an sebenarnya bukanlah karena ketidak mampuan model dalam
memperediksi ekologi semata, tapi karena dinafikkannya aspek perilaku nelayan ini
dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Menurut Staples et al.,(2004) teori tersebut tidak
cukup untuk memahami pembangunan berkelanjutan perikanan skala kecil. Berkes
(2003) memandang bahwa teori tersebut tidak bekerja dengan baik. Dalam papernya ia
membangun alternatif pemikiran dan konsep untuk mengembangkan perikanan skala
kecil.
Kritik tersebut memang relevan. Bagaimanapun sebuah teori merupakan abstraksi
dari sebuah fenomena yang didasarkan pada asumsi tertentu. Dengan demikian penjelasan
yang muncul dari teori tersebut tanpa merelaksasi asumsinya, tentu saja akan
menghasilkan simpulan deduktif yang belum tentu cocok dengan obyek perikanan yang
sedang dikaji. Bagaimanapun asumsi yang mendasarinya perlu ditimbang secara bijak
dengan faktanya. Semakin banyak asumsi yang tidak cocok dengan fakta, penjelasannya
akan meleset, dan bila diterapkan dalam pekerjaan praktis akan menciptakan kebijakan
yang tidak tepat sasaran. Oleh karena itu, kritik terhadap teori tersebut tidak perlu dilebih-
lebihkan.
Indonesia sebagai negara maritim memiliki sumber daya laut yang cukup luas.
Luas perairan laut Indonesia diperkirakan sebesar 5.8 juta km2 dengan garis pantai
terpanjang di dunia sebesar 81 ribu km dan gugusan pulau-pulau sebanyak 17 508,
memiliki potensi ikan yang diperkirakan sebanyak 6.26 juta ton pertahun yang dapat
dikelola secara lestari dengan rincian sebanyak 4.4 juta ton dapat ditangkap di perairan
Indonesia dan 1.86 juta ton dapat diperoleh dari perairan ZEEI. Armada penangkapan
ikan yang beroperasi di perairan Indonesia, terutama pada perairan pantai masih
didominasi (85%) oleh armada penangkapan yang relatif kecil atau tradisional.1 Karena
itu, asumsi yang melekat dalam teori manajemen perikanan konvensional belum tentu
terpenuhi oleh karakteristik perikanan skala kecil tersebut.
Paper ini coba menginduksi, meski tidak seluruhnya, karakteristik ekonomi
nelayan tradisional yang mendominasi kegiatan perikanan di Indonesia. Tujuannya adalah
menjelaskan perilaku ekonomi rumahtangga nelayan tradisional di Indonesia. Nelayan
memang banyak ragamnya. Disini fokus pembahasannya adalah pada nelayan tradisional
yang sifatnya subsisten. Pada dasarnya nelayan tipe ini merupakan tipe nelayan semi
komersil. Dimana mereka tidak menjual seluruh hasil tangkapan ikannya. Sebagian hasil
tangkapannya mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangganya.
Kemudian diantara anggota rumahtangganya terdapat pembagian kerja. Tipe nelayan
seperti ini dipilih menjadi pembahasan dalam paper ini. Penjelasannya mencakup cara
mereka mengalokasikan sumber daya rumahtangga untuk kegiatan ekonomi mereka.
Bagian kedua dari paper ini menyajikan model dasar mengenai manajemen
perikanan konvensional. Sebetulnya, materi tersebut dapat dibaca pada beberapa buku
teks ekonomi sumber daya dan lingkungan. Akan tetapi, disini sintesanya dimunculkan
untuk menampilkan bagaimana teori tersebut direlaksasi yang memenuhi karakteristik
nelayan yang dikaji. Kemudian pada bagian ketiga disajikan penjelasan mengenai
perilaku rumahtangga nelayan dalam aspek konsumsi dan produksi. Pada bagian ini,
penjelasan isu perikanan yang dibahas pada bagian kedua tetap dipertahankan, dan
1
www.dkp.go.id/Info Aktual: Industri Perikanan/03/03/05
2
dengan cara demikian pembaca dapat melihat adanya prediksi yang berbeda diantara
model dasar dengan hasil relaksasinya. Karena itu, simpulan yang disajikan pada bagian
terakhir berisi proposisi mengenai perilaku ekonomi rumahtangga nelayan yang menjadi
contoh pembahasan.
dS
F (S ) h
dt
S
rS 1 qES
K (1)2
Persamaan (1) menjelaskan bahwa tingkat pertumbuhan stok biomassa ikan pada
waktu tertentu ditentukan oleh aspek biologi ikan yang dalam bentuk eksplisit3
2
dimana :
dS/dt = pertumbuhan stok biomassa ikan pada waktu tertentu
F = bentuk fungsi pertumbuhan stok biomassa ikan
r = tingkat pertumbuhan proporsional populasi bersih (net proportional growth rate
population) atau pertumbuhan intrinsik (Fauzi, 2004, Hartwick1998, dan Conrad,
1999)
S = jumlah stok biomassa ikan
K = batas daya dukung lingkungan (carrying capacity) atau mencerminkan kondisi
tingkat jenuh (saturation level)
h = jumlah ikan yang ditangkap
q = koefisien kemampuan tangkap (catcability coeficient)
E = unit upaya (effort)
3
ditunjukkan oleh term pertama baris kedua persamaan 1 dan kegiatan penangkapan ikan
sebagai reduktor stok biomassa ikan yang ditunjukkan oleh term kedua. Aspek biologi itu
menggambarkan fenomena biologis dimana populasi ikan, S, menentukan tingkat
pertumbuhan intrinsik, r. Dimana, r, sendiri adalah selisih antara tingkat kelahiran, b, dan
tingkat kematian ikan, m. Kenyataannya semakin padat populasi sementara daya dukung
lingkungan terbatas, maka desakan populasi ikan bisa menurunkan pertumbuhan intrinsik,
r. Dengan demikian ”r” merupakan fungsi yang menurun dari ”S”, (dr/dS < 0). Sementara
itu jumlah tangkapan ikan secara linear dinyatakan proporsional terhadap upaya, E, dan
stok biomassa ikan, S. Notasi ”qE” menunjukkan kematian ikan karena penangkapan
(fishing mortality – ”f”). Term kedua persamaan 1 merupakan bentuk eksplisit dari fungsi
produksi atau eksploitasi ikan.
Volume stok biomassa ikan diturunkan pada saat stok tumbuh pada titik
maskimum. Dengan asumsi upaya bersifat konstan, maka dapat diperoleh definisi
besarnya stok ikan pada tingkat pertumbuhan maksimum (SMSY) seperti dinyatakan dalam
persamaan (2).
q
SMSY = K 1 E (2)
r
Karenanya jika perikanan mengambil stok pada definsi di atas, maka perikanan mencapai
hasil tangkapan yang lestari, YMSY. Ini, selengkapnya didefinisikan pada persamaan (3)
yang secara matematis diperoleh dengan cara mensubstitusikan persamaan (2) ke dalam
fungsi eksploitasi, h = qES, secara terpisah.
qE
YMSY = KqE 1 (3)
r
Melalui persamaan (3), muncul prediksi, jika fishing mortality lebih besar dari
pertumbuhan intrinsik (f > r), maka tidak akan memberikan hasil tangkapan ikan yang
lestari (YMSY = 0). Sifat hubungan yang halus antara E dan hasil tangkapan ikan, Y, dalam
model Schaefer perlu diamati. Dimana dengan meningkatnya E, maka Y akan meningkat
secara halus menuju tingkat maksimum (E = (r/2)q, S1 = K/2), dan kemudian menurun
menuju nol (E = r/q, S1 = 0). Uraian ini diilustrasikan pada Gambar 1.
Hasil tangkapan lestari tersebut menjadi indikator untuk mengkaji status
pemanfaatan suatu perikanan. Tingkat pemanfaatannya dapat dikatakan lestari secara
biologi jika hasil tangkapan aktual sama dengan hasil tangkapan lestari, Yact = YMSY.
Selanjutnya tingkat pemanfaatannya dikategorikan tidak lestari atau mengalami masalah
overfishing jika Yact > YMSY, dan dikategorikan underfishing jika Yact < YMSY. Oleh
karena itu, upaya perikanan harus dikurangi atau direduksi jika terjadi overfihsing.
3
Tanpa mempertimbangkan adanya batasan ruang yang mendukung pertumbuhan ikan,
dS/dt = rS. Karena ”r” ditentukan pula oleh kepadatan populasi ikan maka dS/dt = r(S).S.
Persamaan 1 menjadi eksplisit dengan menginkorporasikan bentuk pertumbuhan logistic dari
S
Verhulst, yaitu, r(S) = r(1 – ), (Clark, 1990:10-11)
K
4
Gambar 1. Kurva hasil-upaya untuk model Schaefer
Sumber : Clark, 1990, dimodifikasi
P.Y(E) – cE = TR – TC = π (4)
Gordon memprediksi bahwa dalam upaya perikanan akses terbuka (E) akan
cenderung mencapai keseimbangan penangkapan (bioeconomic equilibrium). Teori
Gordon dalam perikanan akses terbuka memprediksikan keseimbangan dimana rente
ekonomi akan menghilang (π = 0) seiring dengan membesarnya upaya hingga mencapai
tingkat upaya perikanan akses terbuka, yang mana penerimaan secara eksak sama dengan
opportunity cost.
Melalui Gambar 2 diprediksi bahwa, jika upaya secara aktual berada di bawah
upaya perikanan akses terbuka (E < E), maka sustainable economic rent masih positif
(π > 0) yang memberikan insentif untuk menarik masuk nelayan baru, sehingga secara
aggregat upaya aktual akan mendekati upaya perikanan akses terbuka. Setelah upaya
perikanan akses terbuka tercapai, selanjutnya tidak akan memberikan insentif bagi
nelayan baru, karena bila E > E sustainable economic rent akan negative atau istilah
lainnya nelayan akan mengalami kerugian. Karenanya secara rasional nelayan akan
menghindari kerugian itu.
Namun nampaknya perilaku nelayan yang dianggap mempertimbangkan secara
rasional keuntungan yang mereka peroleh tidak akan terjadi selama pada saat yang sama
tidak tersedia lapangan kerja non penangkapan ikan dan adanya highliner illusion.
5
Menurut Clark (1990), prediksi Gordon itu dapat terjadi jika tersedia lapangan pekerjaan
baru yang memberikan keuntungan lebih besar dari kegiatan penangkapan ikan.
Sedangkan menurut Fauzi (2005:22) masyarakat nelayan, utamanya nelayan marjinal
menghadapi apa yang disebut highliner illusion (ilusi untuk menjadi nelayan sukses).
Sayangnya, parameter opportunity cost tersebut tidak dijelaskan secara melekat. Pada
bagian ketiga paper ini, perilaku tersebut dijelaskan secara eksplisit dalam model.
r c
E 1 (5)
q pqK
Dan tingkat stok dalam perikanan akses terbuka didefinisikan dalam persamaan (6).5
4
TR – TC = π = 0
pqES – cE = 0
substitusi “S” dengan fungsi logistik pertumbuhan ikan maka :
pqKE 1 qE - cE = 0
r
pqKE 1 = cE
qE
r
maka diperoleh persamaan [6]
5
pqES – cE = 0
pqES = cE
S = c/pq
6
c
S (6)
pq
TR,
TC2
TC
TC1
TR
TC3
max
=0
1 2 3
E
E = 0 E EMSY E
Gambar 5. Keseimbangan bioekonomi tingkat E1, E2, E3 yang terkait dengan
menurunnya biaya-harga, c/p, secara progresiv.
Sumber : Clark, 1990, dimodifikasi kembali
Pada tahap ini upaya masih tetap berada di bawah maximum sustainable biological yield
(EMSY), dan overfishing secara biologis tidak terjadi, bahkan pada tingkat upaya ini rente
ekonomi lebih besar atau berada pada tingkat maksimum (π > 0). Akan tetapi, jika rasio
harga-biaya menjadi lebih rendah, maka keseimbangan yang dicapai akan berada pada
tingkap upaya E 3 (lebih besar dari EMSY), dan pada keseimbangan ini terjadi overfishing
secara biologis, bahkan rente ekonomi disini sama dengan nol (π = 0). Dari uraian ini
disimpulkan bahwa jika alokasi upaya berada di bawah EMSY, maka akan membuahkan
keuntungan maksimum dibandingkan dengan alokasi upaya yang lebih besar dari EMSY
yang hanya memberikan rente ekonomi nol (π = 0). Karenanya secara intuitif, alokasi
upaya di bawah EMSY lebih efisien dibandingkan alokasi upaya di atas EMSY.
7
Dari kerangka kerja berbasis model Gordon tersebut, diprediksi pula bahwa
seiring dengan meningkatnya harga ikan atau seiring berkembangnya inovasi teknologi
yang mereduksi biaya perikanan, maka perikanan akses terbuka pada akhirnya akan
mengalami overfishing secara biologi dan secara ekonomi. Sebaliknya, penurunan harga
ikan dan meningkatnya biaya perikanan yang menekan upaya akan mengantisipasi kedua
jenis overfishing tersebut.
Model dasar yang dijelaskan tersebut telah menginspirasi beberapa ahli ekonomi
untuk menjelaskan obyek perikanan tertentu dengan merelaksasi beberapa asumsinya.6
BjØrndal dan Conrad (1991), BjØrndal (2000) Arnason et al.,(2004) mengembangkan
model dasar dengan menginkorporasikan sifat dinamis biologi ikan. Mereka membangun
model dynamic optimization problem. Eggert and Tveteras (2004) melakukan penelitian
dengan mempertimbangkan sifat stokastik dari produksi perikanan. Aryani (1994),
Reniati (1998), Muhammad (2002), Simanulang (2006) dan Arnason dan Kashorte (2006)
menganalisis perilaku ekonomi rumahtangga nelayan dalam kegiatan produksi, curahan
waktu kerja, pendapatan dan pengeluaran secara simultan. Dari ulasan terhadap gagasan
para ahli ekonomi tersebut, gagasan Muhammad (2002) nampak lebih sofistik. Ia
membangun model yang menginkorporasikan kompleksitas sosial ekonomi nelayan dan
aspek biologi. Namun dengan mengamati keseluruhan hasil studinya, nampak bahwa
kerangka kerja yang ia bangun tidak menginkorporasikan fungsi stok ikan secara
eksplisit, meski dalam model empirisnya ia inkorporasikan. Inilah yang menggugah
penulis untuk turut memberikan kontribusi dalam permasalahan ekonomi perikanan.
6
Ini dapat kita pelajari dari hasil studi empiris BjØrndal dan Conrad (1991), BjØrndal (2000),
Eggert and Tveteras (2004), Arnason et al, (2004), Aryani (1994), Reniati (1998), Muhammad
(2002), Simanulang (2006) dan Arnason dan Kashorte (2006).
8
konstan, sedangkan stok biomassa ikan merupakan fungsi yang ditentukan oleh faktor
biologi dan faktor ekonomi sebagaimana dijelaskan pasa bagian kedua paper ini. Kedua
rumahtangga nelayan tradisional tidak merekrut pekerja dari luar rumahtangga, akan
tetapi mereka berpeluang menawarkan keahliannya kepada kegiatan usaha atau pekerjaan
lainnya di luar kegiatan eksploitasi ikan mereka secara individu. Misalnya suami bisa
menjadi buruh atau menjadi anak buah kapal (ABK) pada rumahtangga nelayan yang
skala usahanya besar, sedangkan istri dapat menjajakan dagangan milik orang lain
dan/atau memproduksi ikan olahan. Ketiga, perekonomian rumahtangga nelayan
tradisional tidak terlepas dari kegiatan meminjam uang, biasanya dari salah seorang
Juragan, dan cicilan pengembaliannya dilakukan dengan menjual hasil tangkapan ikannya
(ikan segar) dalam persentase tertentu dengan harga yang ditetapkan oleh Juragan.
Dengan kata lain, Juragan menetapkan kuota penjualan senilai ”R” persen kepada nelayan
yang meminjam uang sebagai mekanisme pengembalian pinjaman. Perilaku tersebut
biasanya dilakukan oleh nelayan pada saat musim paceklik atau musim angin barat yaitu
bulan September hingga Desember. Terakhir, spesifikasi model juga menangkap
eksistensi sistem bagi hasil diantara nelayan juragan dengan ABKnya. Karakteristik
keempat ini menangkap adanya infleksibilitas pasar tenaga kerja dalam usaha perikanan.
Model konseptual ini juga mengasumsikan bahwa nelayan berperilaku rasional di dalam
menentukan keputusan konsumsi dan produksi yang optimal.
Untuk tujuan penyederhanaan, dianggap bahwa utilitas rumahtangga nelayan
bersumber dari konsumsi tiga jenis komoditi dan waktu santai yang membentuk suatu
fungsi utilitas dengan memiliki properti seolah cekung (quasi-concave). Persamaan (7)
menyatakan fungsi utilitas rumahtangga nelayan tradisional.
7
dimana,
U = bentuk fungsi utilitas rumahtangga nelayan perorangan
Xf = jumlah konsumsi ikan segara hasil eksploitasi suami
Xo = jumlah konsumsi ikan olahan hasil produksi istri
Xm = jumlah konsumsi barang dan jasa yang tersedia di pasar
Xh = waktu santai suami (husband)
Xw = waktu santai istri (wife)
9
Identitas anggaran tersebut menjelaskan bahwa nilai pengeluaran rumahtangga nelayan
tradisional untuk konsumsi komoditi pasar dan membayar cicilan pinjaman kepada
Juragan setara dengan keuntungan (π) ditambah dengan penerimaan suami dan istri dari
pekerjaan lainnya (Wh.Toh + Ww.Tow), serta ditambah dengan sejumlah pinjaman uang
dari Juragan (E). Disini perlu dijelaskan secara eksplisit bahwa sumber penerimaan utama
rumahtangga nelayan berasal dari penjualan bersih (marketed surplus, MS) ikan segar,
yakni Pf[Z.Qf – (Xf + Qo)], dan penjualan bersih ikan olahan, yakni Po(Qo – Xo).
Kendala kedua yang dihadapi oleh rumahtangga nelayan perorangan di dalam
memaksimumkan fungsi utilitas mereka adalah kendala ketersediaan waktu kerja suami
dan istri. Kendala ini dinyatakan pada persamaan (9).
Melalui definisi sumberdaya waktu tersebut, selanjutnya variabel Toh dan Tow
yang tertera dalam persamaan 9 dapat disubtitusi oleh persamaan kedua variabel tersebut
pada persamaan 9a dan 9b. Dimana modifikasi persamaan [9a] dan [9b] masing-masing
adalah Toh = Th – Xh – Twh dan Tow = Tw – Xw – Tww. Setelah kedua identitas ini
disubstitusikan ke dalam persamaan 8 dan dengan mengaturnya kembali, maka proses ini
akan memberikan definisi baru mengenai anggaran rumahtangga nelayan tradisional.
8
dimana,
Pm = harga komoditi konsumsi yang tersedia di pasar (komoditi pasar)
Pj = harga ikan segar yang ditetapkan Juragan
Pf = harga ikan segar di Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Po = harga ikan olahan
Wh = upah suami
Ww = upah istri
Pb = harga input variabel lainnya (misal BBM, es dan garam)
R = kuota penjualan kepada Juragan (persen)
Z = persentase penjualan di TPI, dimana Z = 1 – R
Qf = jumlah ikan segar hasil eksploitasi
Qo = jumlah ikan olahan
Toh = alokasi waktu kerja suami pada pekerjaan lain di luar melaut
Twh = alokasi waktu kerja istri pada pekerjaan lain di luar pengolahan ikan
E = nilai pinjaman rumahtangga nelayan yang diperoleh dari Juragan
π = keuntungan rumahtangga nelayan tradisional
9
dimana,
Ti = total sumberdaya waktu yang tersedia, untuk i = h dan w
Twh = alokasi waktu kerja suami untuk melaut
Twh = alokasi waktu kerja istri untuk memproduksi ikan
10
Term pada sisi kiri persamaan (8’) adalah identitas pengeluaran rumahtangga nelayan
yang menginkorporasi nilai konsumsi waktu santai secara eksplisit. Term sisi kanan
persamaan tersebut adalah pendapatan potensial atau populer dengan istilah full income,
Y, dimana nilai sumberdaya waktu yang tersedia diinkorporasi secara eksplisit ke dalam
anggaran rumahtangga dengan pembobotnya adalah upah kerja suami dan istri pada
pekerjaan lainnya (Becker, 1965). Selanjutnya, opportunity cost dari nilai pekerjaan
suami dan istri pada pekerjaan lainnya (Wh.Twh + Ww.Tww) diinkorporasikan secara
eksplisit dalam identitas keuntungan rumahtanngga nelayan, sehingga definisi
keuntungan menjadi, π = Pf(Z.Qf – Qo) + Po.Qo – Pb.B – Wh.Twh – Ww.Tww.
Kendala ketiga yang dihadapi oleh rumahtangga nelayan perorangan adalah
kendala fungsi tangkapan ikan dan fungsi produksi ikan olahan. Fungsi produksi ini
secara matematis dapat digabungkan dan dinyatakan secara implisit sebagaimana
disajikan pada persamaan (10).
”G” diasumsikan memenuhi beberapa properti fungsi produksi umum atau biasanya, yaitu
seolah cembung (quasi-convex). Perubahan output merespon secara positif terhadap
perubahan input tapi dengan tingkat perubahan yang menurun.
Kendala terakhir yang dihadapi oleh suami nelayan dalam kegiatan penangkapan
ikan adalah kendala ketersediaan stok biomassa ikan. Terdapat dua konsep stok ikan,
yaitu density dependent growth (DDG) dan density independent growth (DIG). Konsep
DDG menyatakan bahwa perubahan stok ikan pada periode waktu tertentu, St+1,
ditentukan oleh populasi pada awal periode, St (Fauzi, 2004; 100 dan Hartwick, 1998;
97). Konsep DIG lebih sofistik dibandingkan dengan DDG. Konsep DIG
menginkorporasikan kelas umur ikan dan dinamika pertumbuhan ikan secara alami dan
tingkat kematian yang disebabkan oleh kegiatan penangkapan (BjØrndal et al, 2000).
Fungsi stok biomassa ikan ditentukan oleh bentuk fungsi produksi atau eksploitasi
sumberdaya ikan. Mempelajari dari Clark (1990), fungsi eksploitasi sumberdaya ikan
dapat mencerminkan sifat linear atau non linear (contohnya adalah mencerminkan
hubungan Cobb-Douglas). Namun pada akhirnya, carrying capacity stok biomassa ikan,
koefisien kemampuan tangkap (catchability coeficient), input perikanan dan tingkat
pertumbuhan stok biomassa ikan, semuanya menjelaskan volume stok biomassa ikan.11
10
dimana,
G = bentuk fungsi produksi gabungan
B = jumlah input variabel lainnya (misal BBM, es dan garam)
V = jumlah input tetap (missal perahu dan alat tangkap ikan)
S = stok biomassa ikan yang tersedia pada suatu fishing ground dengan jarak tertentu
(dalam mil)
11
Fungsi pertumbuhan stok biomassa ikan seiring dengan perubahan waktu secara umum
dinyatakan oleh :
dS/dt = F(S) – Qf(E)
dimana :
F(S) = fungsi stok biomassa ikan
Qf = fungsi eksploitasi sumberdaya ikan
11
Disini, fungsi stok biomassa ikan dinyatakan dalam bentuk umum sebagaimana disajikan
pada persamaan (11). Upaya perikanan pada persamaan tersebut dinyatakan dalam bentuk
yang didekomposisi.
Dari fungsi tujuan dan empat macam kendala yang dihadapi oleh rumahtangga
nelayan perorangan, jika rumahtangga ini memaksimisasi utilitasnya, maka pilihan
rumahtangga memiliki sifat rekursif, akan tetapi dimensi waktu keputusan tersebut
bersifat simultan. Rumahtangga nelayan berperilaku seperti memaksimisasi sisi
penerimaan dari pendapatan potensial dengan kendala fungsi eksploitasi ikan dan
pengolahan ikan, dan kemudian memaksimisasi utilitas dengan kendala pendapatan
potensial.
Analisis penggunaan input optimal yang mencakup alokasi waktu kerja dan
sumberdaya ikan serta jumlah konsumsi dan produksi gabungan yang optimal dapat
ditemukan dengan mencari solusi interior terhadap model ekonominya. Ilustrasinya dapat
diperoleh dari turunan pertama atas fungsi Lagrange (£) yang memaksimisasi fungsi
utilitas dengan mempertimbangkan empat jenis kendala. Fungsi Lagrange dan turunan
parsialnya disajikan pada persamaan (12) dan (13).
Syarat pertama yang harus dipenuhi agar fungsi Lagrange tersebut maksimum
adalah turunan pertama fungsi tersebut harus sama dengan nol. Turunan parsial fungsi
Lagrange selengkapnya disajikan dalam persamaan (13) hingga (15).
13
ini kita spesifikasikan dengan input BBM, bahan makanan dan spare part perahu
(persamaan (14e)) dan keputusan pemanfaatan sumberdaya ikan (persamaan (14f)).
Persamaan (14c) menjelaskan keputusan alokasi waktu kerja suami dalam
kegiatan eksploitasi sumberdaya ikan. Alokasi waktu kerja suami tersebut dapat
disetarakan dengan istilah trip melaut. Term kedua dan ketiga pada persamaan tersebut
dapat disederhanakan lagi sehingga dapat menyatakan tambahan pendapatan potensial
atas tambahan jumlah trip melaut, ∂Y/∂Twh. Uraiannya disajikan sebagai berikut :
Dalam keadaan yang rasional, jumlah trip melaut ditentukan oleh perbandingan antara
tingkat upah pada pekerjaan lainnya dengan tambahan pendapatan potensial atas
tambahan jumlah trip melaut. Pembanding tingkat upah pada pekerjaan lainnya ini
memiliki bobot yang lebih besar (double weighted). Alokasi waktu kerja suami pada
pekerjaan lainnya akan bertambah, jika tingkat upahnya lebih tinggi dari dua kali
tambahan pendapatan potensial atas tambahan trip melautnya. Hal ini dapat menjadi
sebuah alasan mengapa populasi rumahtangga nelayan tradisional cenderung meningkat.
Dimana pendapatan dari trip melaut memiliki bobot yang lebih besar dibandingkan
dengan pendapatan dari pekerjaan lainnya.
Persamaan (14d) menyatakan bahwa alokasi waktu kerja istri dalam mengelola
ikan ditentukan dengan mempertimbangkan tambahan pendapatan potensial atas
tambahan waktu kerja mengolah ikan dengan tingkat upah istri pada pekerjaan lainnya.
Melalui pertimbangan ini dapat diprediksi bahwa alokasi waktu kerja istri untuk
mengolah ikan akan berkurang jika tingkat upah pada pekerjaan lainnya lebih besar dari
tambahan pendapatan potensial atas tambahan waktu kerja mengolah ikannya.
Persamaan (14e) menyatakan penggunaan input variable lainnya dalam kegiatan
eksploitasi ikan. Dimana jumlah input variabel yang digunakan, sebagai contoh BBM,
ditentukan dengan mempertimbangkan harganya dan tambahan pendapatan potensial atas
tambahan penggunaan input BBMnya. Term kedua dan ketiga pada persamaan tersebut
memiliki uraian yang serupa dengan persamaan (14c). Tambahan pendapatan potensial
atas tambahan penggunaan BBMnya memiliki bobot duakali lipat. Oleh karena itu dapat
diperkirakan bahwa jika terdapat kenaikan harga BBM, maka penggunaan BBMnya akan
mengalami penurunan sedikit saja.
Persamaan (14f) menyatakan bahwa pemanfaatan stok biomassa ikan ditentukan
secara subyektif oleh rumahtangga nelayan tradisional. Pernyataan ini muncul karena
pemanfaatan stok biomassa ikan ditentukan dengan mempertimbangkan harga
bayangannya. Dimana harga bayangan ini merupakan tambahan kesejahteraan
rumahtangga nelayan tradisional atas perubahan stok biomassa ikan. Eksisnya harga
bayangan dalam input stok biomassa ikan merupakan implikasi dari sifat barang publik
dan dalam tatanan hak kepemilikan yang seolah bersifat akses terbuka (open access).
Sifat kepemilikan ini menciptakan ketidaksempurnaan pasar (incomplete market) pada
14
setiap sumberdaya alam, dan eksistensinya dapat berpotensi untuk menghasilkan
inefisiensi dalam kegiatan pemanfaatan stok biomassa ikan laut. Oleh karena itu,
walaupun perilaku rumahtangga nelayan diasumsikan rasional, namun mereka akan
menentukan keputusan subyektif dalam pemanfaatan sumberdaya ikan laut. Dalam
keadaan yang optimal, harga bayangan ini dapat disetarakan dengan perubahan
kesejahteraan rumahtangga nelayan tradisional atas perubahan stok biomassa ikan, ∂£/∂S.
Uraiannya disajikan sebagai berikut :
Gf Pj
= R Z (16)
GO Po
15
3.3. Analisis Konsumsi Optimal
Keputusan produksi gabungan optimal tersebut pada akhirnya akan menentukan
pendapatan potensial dan tingkat konsumsi yang optimal. Berdasarkan persamaan (13a)
hingga (13e), pada prinsipnya dikemukakan bahwa rumahtangga nelayan akan terus
menambah konsumsinya atas ikan segar, ikan olahan, komoditi pasar dan waktu santai,
sedemikian hingga tambahan manfaat sumber utilitas tersebut sama dengan harga-
harganya (untuk tambahan manfaat waktu santai sama dengan tingkat upah suami dan
istri pada pekerjaan lainnya). Persamaan (17) meringkas pernyataan ini.
4. Simpulan
Model dasar pemanfaatan sumber daya ikan sebagaimana disajikan pada bagian
kedua paper ini, cocok menjadi kerangka kerja untuk menganalisis perikanan skala besar.
Dimana setiap unit usahanya bersifat komersil penuh, dan semua hasil tangkapan dijual
seluruhnya tanpa ada bagian yang dikonsumsi dan/atau diolah kembali menjadi produk
ikan olahan. Kemudian, menurut Fauzi (2005) model tersebut secara implisit
menganggap bahwa input perikanan sifatnya reversible. Input perikanan tersebut dapat
digunakan sebagai input bagi kegiatan produksi non perikanan tangkap ketika
keseimbangan bioekonomi di bawah rejim akses terbuka terpenuhi. Dalam model dasar
diprediksi bahwa di bawah perikanan yang bersifat akses terbuka, bila rente ekonomi
telah habis, tidak akan ada nelayan baru yang masuk ke dalam industri perikanan. Akan
tetapi, pra kondisi apa yang membentuk perilaku tersebut tidak dapat dijelaskan oleh
model tersebut.
Model ekonomi rumahtangga nelayan tradisional yang diuraikan pada bagian
ketiga paper ini dapat menjadi kerangka kerja untuk menganalisis dan merumuskan
aturan pada kegiatan perikanan tradisional. Hasil pemecahan model mempromosikan
beberapa proposisi sebagai berikut :
(1) Rumahtangga nelayan akan berpartisipasi pada kegiatan off-fishing bila tingkat
upahnya dua kali lebih besar dari tambahan pendapatan potensial kegiatan
perikanan. Inilah yang menjadi pra kondisi tercapainya keseimbangan
bioeconomic di bawah rejim akses terbuka atas sumber daya ikan. Highliner
illusion akan terus melekat pada diri nelayan bila informasi kegiatan off-fishing
tertutup bagi nelayan.
(2) Permintaan rumahtangga nelayan atas input variabel perikanan kurang begitu
peka dengan perubahan harganya;
(3) Pemanfaatan stok biomassa ikan ditentukan secara subyektif oleh rumahtangga
nelayan tradisional. Pemanfaatannya ditentukan oleh harga bayangan. Dimana
harga bayangan tersebut setara dengan perubahan kesejahteraan rumahtangga
nelayan atas perubahan stok biomassa ikan;
16
(4) Produksi optimal rumahtangga nelayan mempertimbangkan pinjaman yang harus
mereka bayar kepada juragannya. Ini menjadi utama. Karena itu harga pasar ikan
tidak menentukan keputusan produksi optimal. Sebaliknya, tingkat ekspolitasi
nampak lebih peka terhadap harga ikan yang ditetapkan oleh juragan. Pada pihak
lain, istri nelayan nampak lebih peka dengan perubahan harga pasar ikan olahan
dan menimbulkan konsekuensi untuk mengurangi penjualan ikan segar yang
dilakukan oleh suami; dan
(5) Konsumsi rumahtangga atas waktu luang akan berkurang bila terjadi kenaikan
tingkat upah pada kegiatan off-fishing.
Daftar Pustaka
Arnason, R. 2004. Optimal Feedback Controls : Comparative Evaluation of The Con
Fisheries in Denmark, Iceland, and Norway. AJAE (May 2004) : 531-542.
Aryani, Florida. 1994. Analisis Curahan Kerja dan Kontribusi Penerimaan Keluarga
Nelayan dalam Kegiatan Ekonomi di Desa Pantai. Tesis Magister Sains.
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Becker, Gary S. A Theory of the Allocation of Time. Economic Journal, Vol. 75, No.
299, (September 1965), 493-517. (Reprinted in Becker (1976)).
17
Bjørndal, T and Conrad, J. 1991. A Bioeconomic Model of the Harp Seal in the
Northwest Atlantic. Land Economics; May 1991; 67, 2; ABI/INFORM
Research. pg. 158.
Bjørndal et al. 2000. International Management Strategies for a Migratory Fish Stock : A
Bio-Economic Simulation Model of Norwegian Spring-Spawning Heering
Fishery. Centre for Fisheries Norway.
Fauzi, Akhmad. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan : Isu, Sintesis, dan Gagasan.
PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan : Teori dan Aplikasi. Pt.
Gramedia. Jakarta.
Hartwick. J and Olewiler N.D. 1998. Economics of Natural Resource Use. Second
Edition. Addison-Wesley Educational Publisher.Inc, United States of America.
Hanley, Nick and Shogren, J. F, and White, Ben. Macmillan Press Ltd. London.
Hilborn, R. 1985. Fleets dynamics and individual variation: why some people catch more
fish than others. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Science 42:2-13.
Simanulang, S. 2006. Analisis Model Peluang Kerja Suami dan Istri Perilaku Ekonomi
Rumahtangga dan Peluang Kemiskinan : Studi Kasus Rumah Tangga Nelayan
Tradisional di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Provinsi
Sumatera Utara. Tesis Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
18
Reniati. 1998. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi dan Keterkaitan Keputusan Kerja,
Produksi dan Pengeluaran Rumahtangga Nelayan. Tesis Magister Sains
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Taylor, J.E, and Adelman, I. 2003. Agricultural Household Model : Genesis, Evolution
and Extension. Kluwer Academic Publisher. Netherlands.
Wiyono, E.S. 2006. Mengapa Sebagian Besar Perikanan Dunia Overfishing? (Suatu
Telaah Manajemen Perikanan Konvensional) . Inovasi. Vol.6/XVIII/Maret
2006.
19