You are on page 1of 30

PERBEDAAN TIPE PERSILANGAN D.

melanogaster STRAIN N >< we dan N >< m BESERTA RESIPROKNYA TERHADAP GAGAL BERPISAH (Nondisjunction)

LAPORAN PROYEK Untuk memenuhi tugas mata kuliah Genetika I Yang dibimbing oleh Prof. Dr. Duran Aloysius Corebima, M. Pd

Oleh Wiwin Damayanti (207341409184/BB) Sofia Putri Rahayu (207341409173/AA) Nuril Hidayati (207341409602 /BB)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN BIOLOGI Mei 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tahun 1900 ditemukannya kembali mengenai hukum pemisahan Mendel dan hukum pilihan bebas Mendel dari berbagai kegiatan penelitian.Melalui kegiatan-kegiatan penelitian tersebut terungkap bahwa hukum pemisahan Mendel dan hukum pemilihan bebas Mendel berlaku pada lingkup seluruh makhluk hidup diploid yang berbiak secara seksual termasuk manusia. (Corebima, 2003:40). Dari Hukum -hukum Mendel yang telah ditemukan tersebut yang dilakukan oleh para peneliti juga diketemukan beberapa penyimpangan dari hukum Mendel tersebut. Kemudian Seorang peneliti yaitu Hugo De Vries mengetengahkan mengenai teori mutasi yang sebagian besar didasarkan pada pengamatan atas tanaman Oenothera lamarckiana, yang selanjutnya teori ini berkembang menjadi suatu teori evolusi atas dasar mutasi. Dari teori evolusi tersebut juga ditemukan teori pautan kelamin, teori ini dikemukakan oleh Morgan. Morgan adalah yang pertama kali menginterpretasikan hasil persilangannya dengan benar mengenai adanya pautan, dengan melakukan percobaan persilangan antara strain-strain D. melanogaster. (Corebima,2003:43). Morgan memiliki strain D.melanogaster yang bermata putih dan ternyata strain tersebut tergolong galur murni. Jika strain bermata putih disilangkan dengan strain bermata merah ternyata turunannya yang muncul tidak sesuai dengan yang seharusnya berdasarkan kebakaan Mendel.Bila mata merah betina disilangkan dengan strain mata putih jantan, maka F1 yang muncul bermata merah seluruhnya, jika faktornya mata merah dominan terhadap factor mata putih, selanjutnya jika F1 disilangkan satu sama lain maka bagian F2 bermata merah dan bagiannya bermata putih, ini terjadi jika factor mata merah dominan terhadap faktor mata putih. Tetapi setelah dikaji ulang ternyata seluruh F2 yang betina bermata putih sedangkan separuh jantan bermatabermata merah dan separuhnya lagi bermata putih,

hal inilah yang menyimpang dan tidak sesuai terhadap prinsip kebakaan Mendel. Fenomena ini dijelaskan oleh Morgan bahwa 1) Faktor warna mata terdapat pada kromosom kelamin X. dan 2) Kromosom kelamin jantan tidak mengandung faktor warna mata tersebut. (Corebima,2003: 45). Dari persilangan tersebut ternyata juga terdapat penyimpangan pada keturunan berikutnya dan pada persilangan resiproknya. Penyimpangan tersebut dijelaskan oleh Morgan sebagai teori gagal berpisah (nondisjunction) Gagal berpisah terjadi pada kromoson X, dalam hal ini krdua kromosom X gagal memisah selama meiosis sehingga kduanya menuju kutub yang sama dan terbentuklah telur yang memiliki dua kromosom kelamin X maupun yang tidak memiliki kromosom kelamin X. Gagal berpisah terjadi pada gamet betina. Peristiwa gagal berpisah dibedakan menjadi gagl berpisah primer dan sekunder. Contoh gagal berpisah primer seperti penjelasan diatas sedangkan gagal berpisah sekunder karena kejadiannya berlangsung pada turunan dari individu betina yang keberadaannya merupakan produk gagal berpisah primer. Dimana individu betinanya memiliki dua kromosom kelamin X dan satu kromosom kelamin Y. (Corebima,2003: 66) B. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang dapat kami ambil dari penelitian yang telah kami lakukan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah fenotip F1 pada persilangan D. melanogaster strain N >< we dan N >< m beserta resiproknya? 2. Adakah fenomena gagal berpisah (nondisjuction) pada persilangan D. melanogaster strain N >< we dan N >< m beserta resiproknya? 3. Adakah perbedaan tipe persilangan D. melanogaster strain N >< we dan N >< m beserta resiproknya terhadap fenomena gagal berpisah (nondisjuction)?

C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan untuk penelitiannya adalah sebagi berikut: 1. Untuk mengetahui fenotip F1 pada persilangan D. melanogaster strain N >< we dan N >< m beserta resiproknya. 2. Untuk mengetahui fenomena gagal berpisah berpisah (nondisjuction) pada persilangan D. melanogaster strain N >< we dan N >< m beserta resiproknya. 3. Untuk mengetahui perbedaan tipe persilangan D. melanogaster strain N >< we dan N >< m beserta resiproknya terhadap fenomena gagal berpisah (nondisjuction).

D. Manfaat penelitian Penelitian ini memeliki beberapa manfaat antara lain: 1. Mengembangkan ilmu genetika dengan melakukan penerapan teori melalui praktikum proyek D. melanogaster. 2. Membeikan informasi mengenai fenomena gagal berpisah pada persilangan D. melanogaster strain N >< we dan N >< m beserta resiproknya. 3. Dengan adanya kegiatan penelitian ini dapat membekali mahasiswa agar dapat terampil sehingga nantinya dapat diaplikaskan pada tahap selanjutnya.

E. Asumsi Penelitian

1. Kondisi lingkungan seperti suhu, kelembaban, cahaya dianggap sama dan tidak berpengaruh terhadap persilangan D. melanogaster selama penelitian. 2. Kondisi medium sebagai tempat perkembangbiakan D. melanogaster dianggap sama selama penelitian.

F. Batasan Masalah Batasan masalah untuk memberikan gambaran terhadap penelitian yaitu sebagai berikut: 1. Penelitian ini dibatasi pada persilangan D. melanogaster strain N >< we dan N >< m beserta resiproknya. 2. D. melanosger yang disilangkan maksimal berusia 3 hari. 3. Data yang diambil pada jumlah fenotipnya hanya sampai F1 pada setiap persilangan. 4. Ciri fenotip yang diamati meliputi warna mata, warna badan, dan keadaan sayap. 5. Pengambilan data dari hari menetesnya pupa yang dihitung sebagai hari ke 0-6. 6. Indikator terjadinya gagal berpisah dilihat dari munculnya strain yang menyimpang dari yang seharusnya muncul.

G. Definisi Operasional 1. Fenotip adalah kenampakan yang mencakup fermokologi, fisiologi, dan tingkah laku (Ayala, 1984 dalam corebima,1992)

2. Genotif adalah keseluruhan jumlah informasi genetik yang terkandung pada suatu makhluk hidup ataupun konstitusi genetik dari suatu makhluk hidup dalam hubungannya dengan satu atau beberapa lokus gen yang menadi perhatian. (Ayala dkk 1984 dalam Corebima,2004). 3. Strain adalah suatu kelompok intraspesifik yang memilliki hanya satu atausejumlah kecil cirri yang berbeda, biasanya secara genetik dalam homozygote untuk cirri-ciri tersebut atau galur murni. Ciri tersebut biasanyadipertahankan secara sengaja misalnya untuk kepentingan di bidang pertanian ataupun untuk kepentingan eksperimen, tidak ada beda jelas antara strain dan varietas (King R. C. 1985 dalam Novitasari 1997). 4. Gagal berpisah adalah suatu peristiwa dimana bagian-bagian dari sepasang kromosom yang homolog tidak bergerak memisahkan diri sebagaimana mestinya pada meiosis I atau dimana kromatid saudara gagal berpisah selama meiosis II pada kasus ini, satu gamet menerima dua jenis kromosom yang sama dan satu gamet lainnya tidak mendapat salinan sam asekali (Campbell dkk.2002). 5. Frekuensi gagal berpisah adalah banyaknya individu dari D. melanogaster yang muncul pada F1 yang mengalami penyimpangan dibandingkan dengan jumlah keseluruhan individu yang dihasilkan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Sistematika D. melanogaster Menurut Storer dan Usinger (1957) dalam Abidin (1995) sistematika dari Drosophila adalah: Filum Kelas Bangsa Suku Marga Jenis : Arthopoda : Insecta : Diptera : Drosophilidae : Drosophila : Drosophila melanogaster

Anak kelas : Picrygota Anak bangsa: Clycoporrapa

B. Penentuan Kelamin pada D. melanogaster

Pada D. melanogaster atau lalat buah, mempunyai suatu mekanisme yang seimbang. Suatu keseimbangan antara jumlah perangkat autosom dan jumlah kromosom X, menentukan fenotipe seksual lalat buah (Pai, 1985). Menurut Corebima (2004) pada D. melanogaster terdapat kromosom kelamin X dan Y. Dalam kedaan diploid normal ditemukan pasangan kromosom kelamin XX dan XY atau pasangan kromosom secara lengkap sebagai AAXX dan AAXY (jumlah autosom sebanyak tiga pasang). Mekanisme ekspresi kelamin pada D. melanogaster dikenal sebagai suatu mekanisme perimbangan antara x dan A atau X/A. Lanjut Pai (1985) dalam Corebima (2004) menyebutkan mekanisme itu sebagai suatu mekanisme keseimbangan determinasi kelamin.

Tabel Indeks kelamin numerik pada D. melanogaster. Rangkuman dari : Andrian dan Owen 1960, Berskowita 1973, Ayala dkk, 1984, Gardner dkk 1991
Jumlah kromosom X 3 4 4 3 2 1 3 2 2 1 1 Jumlah A (autosom) pada tiap pasang A 2 3 4 3 2 1 4 3 4 2 3

Rasio X/A 1.5 1.33 1 1 1 1 0,75 0,67 0,5 0,5 0,33

Fenotipe Kelamin Betina super (metafemale) Betina super (metafemale) Betina normal tetraploid Betina normal triploid Betina normal diploid Betina normal haploid Intersex Intersex Jantan tetraploid Jantan normal Jantan super (metamale)

C. Peristiwa Gagal Berpisah pada D. melanogaster

Gagal berpisah merupakan suatu peristiwa dimana bagian-bagian dari sepasang kromosom yang homolog tidak bergerak memisahkan diri sebagaimana mestinya pada meiosis I, atau dimana kromatid saudara gagal berpisah selama meiosis II, sehingga satu gamet menerima dua jenis kromosom yang sama dan satu gamet lainnya tidak mendapat salinan sama sekali (Campbell dkk, 2002). Dalam hal ini kedua kromosom kelamin X gagal memisah selama meiosis sehingga keduanya menuju ke kutub yang sama dan terbentuklah telur yang memiliki dua kromosom kelamin X maupun yang tidak memiliki kromosom kelamin X (Corebima, 2003). Kejadian gagal berpisah (nondisjunction) pada D. melanogaster dikemukakan oleh Bridges tahun 1916. Tamarin dkk, (1991) dalam Novitasari (1992) menjelaskan bahwa kejadian nondisjunction tersebut dijelaskan melalui kejadian nondisjunction pada betina bermata putih dalam hal ini betina bermata putih yang mengalami nondisjunction saat meiosis akan menghasilkan telur XwXw dan 0 telur (tanpa kromosom sex), jika telur X wXw dibuahi oleh Y yang dibawa sperma akan dihasilkan keturunan betina bermata putih (X wXwY). jika telur tanpa kromosom sex dibuahi oleh X yang dibawa sperma, akan menghasilkan keturunan jantan norma (X+0). Tipe lain dari kejadian nondisjunction adalah telur XX yang akan dibuahi oleh X yang dibawa sperma dan telur 0 yang akan dibuahi oleh Y yang akan dibawa sperma. Zigot XXX yang bergenotip XnXnX+ (betina) biasanya mati dan lalat Y0 selalu mati. Contoh persilangan antara D. melanogaster strain N >< w yang menghasilkan keturunan nondisjunction dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Peristiwa nondisjunction dibedakan menjadi nondisjunction primer dan sekunder. Nondisjunction primer dapat terjadi pada induk lalat yang belum mengalami nondisjunction atau lalat normal, sedangkan nondisjunction sekunder terjadi pada keturunan yang merupakan hasil nondisjunction primer. Peristiwa itu disebut sebagai gagal berpisah sekunder karena kejadiannya berlangsung pada turunan dari individu betina, yang keberadaannya merupakan produk gagal berpisah primer. Dalam hal ini individu betina yang dimaksud memiliki dua kromosom kelamin X dan satu kromosom Y. Frekuensi kejadian gagal berpisah sekunder (sebagaimana yang dilaporkan) adalah sekitar 100 kali lebih tingga (1 dalam 25 turunan) daripada frekuensi kejadian gagal berpisah primer (1 dalam 2000 turunan). (Corebima, 2003:66).

F. Faktor-faktor Penyebab Gagal Berpisah Peristiwa gagal berpisah (nondisjunction) dapat dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar yang dapat menyebabkan adanya peristiwa gagal berpisah pada D. melogaster menurut Herskowitz (1977) dalam Abidin (1997) adalah energi radiasi tinggi, karbon dioksida, dan zat kimia lain dan suhu. Suhu tidak berpengaruh terhadap frekuensi gagal berpisah primer kromosom kelamin X D. melanogaster. Akan tetapi mempunyai pengaruh terhadap frekuensi gagal berpisah sekunder kromosom kelamin X D. melanogaster individu betina mata putih hasil dari gagal berpisah primer.

Suhu yang berpengaruh disini adalah suhu kamar dan suhu antara 29 0310 (Abidin, 1997). Faktor dari dalam yang berpengaruh terhadap frekuensi gagal berpisah diantaranya adalah umur dan induk. Menurut Pai (1985 dalam Apandi, 1989 dalam Abidin, 1997). Umur cenderung meningkatkan kejadian penyimpangan meiosis yang disebut nondisjungsi pada tingkat kehidupan yang rendah. Tidak dijelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan bentuk kehidupan rendah. Faktor dari dalam lainnya yang berpengaruh terhadap gagal berpisah adalah adanya gen mutan yang menyebabkan sentromer tidak berada pada keadaan normal atau abnormal (Herkowitz, 1977 dalam Abidin, 1997). Dikatakan Herkowitz bahwa dalam keadaan normal dua sentromer sesaudara saling menutup. Satu sentromer akan berorientasi ke salah satu kutub, sedang sentromer lain berorientasi ke salah satu kutub yang berlawanan. Dengan adanya gen mutan, dalam hal ini gen mei-s332, yaitu gen semi dominan [pada kromosom II D. melanogaster, maka metafase II dua sentromer sesaudara akan terletak memisah, sehingga kedua sentromer tersebut akan berorientasi ke kutub yang sama, akibatnya pada anafase II terjadi peristiwa nondisjunction atau gagal berpisah. BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS A. Kerangka Konseptual Dalam penelitian ini kami menggunakan persilangan strain N >< we dan N >< m beserta resiproknya yang merupakan strain yang terpaut kromosom kelamin karena berada pada kromosom I. Dengan adanya penelitian ini diharapkan F1 yang muncul memiliki fenotip yang mengalami pertautan kelamin tetapi pada kenyataannya ada fenotip yang mengalami peristiwa gagal berpisah (nondisjunction). Oleh karena itu perlu dilakukan analisis frekuensi gagal berpisah pada persilangan strain ini. Pengamatan fenotip dari strain N, m dan we.

Persilangan D. melanogaster strain N >< we dan N >< m beserta resiproknya yang merupakan strain yang terpaut kromosom kelamin.

Pada persilangan

Pada persilangan

Pada persilangan

Pada persilangan

N >< we muncul F1 N, we

N >< we muncul F1 we

N >< m muncul F1 m

N >< m muncul F1 N, m

Pada F1 muncul fenotip yang merupakan akibat dari peristiwa gagal berpisah (nondisjunction) pada kromosom kelamin.

Analisis dan frekuensi gagal berpisah (nondisjunction) dengan menggunakan anava tunggal untuk mengetahui perbedaan tipe persilangan terhadap frekuensi gagal berpisah

B. Hipotesis Hipotesis penelitian yang kami gunakan sebagai berikut:

Ada fenomena gagal berpisah (nondisjunction) pada persilangan D. melanogaster strain N >< we dan N >< m beserta resiproknya.

BAB IV METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observatif, karena tidak memberikan perlakuan khusus pada objek penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan menyilangkan D.melanogaster strain N we dan N><m

beserta resiproknya masing-masing sebanyak 7 kali ulangan untuk memperoleh data F1. Pengambilan data dilakukan secara langsung dengan menghitung dan mencatat semua fenotip yang muncul pada F1. B. Populasi dan Sampel Populasi pada penelitian ini adalah lalat buah D.melanogaster sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah D.melanogaster strain N, m, we C. Tempat dan waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium genetika jurusan Biologi FMIPA UM ruang 310 pada bulan Februari-Mei 2009 D. Alat dan Bahan a. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah panic, pengaduk, timbangan, baskom, botol selai, selang, kain kasa, blender, kompor, pisau, gunting, spons busa, kuas, spidol permanent, kertas pupasi, gelas plastic. b. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel D.melanogaster strain N, m, we, pisang rajamala, tape singkong, gula merah, yeast, air, eter kloroform. E. Prosedur Kerja Pembuatan medium 1. Menimbang bahan berupa pisang, tape singkong, dan gula merah dengan perbandingan 7 : 2 : 1 untuk satu resep, yaitu 700 gram pisang rajamala, 200 gram tape singkong, dan 100 gram gula merah 2. Memblender pisang rajamala dan tape singkong dan menambahkan air secukupnya

3. Setelah halus, memasukkan adonan tersebut kedalam panci dan memanaskan diatas kompor dengan api sedang 4. Memasukkan gula merah yang sudah dihaluskan sebelumnya kedalam adonan setelah adonan cukup panas 5. Memasak adonan tersebut selama 45 menit 6. Mematikan kompor dan memasukkan hasil rebusan tersebut ke dalam botol selai dalam keadaan panas dan langsung ditutup dengan penyumbat gabus yang telah dipotong bulat sesuai untuk tutup botol 7. Setelah medium dingin, memasukkan 7 butir yeast ke dalam medium dan membersihkannya dari uap air serta member kertas pupasi pada medium tersebut Peremajaan stok 1. Menyiapkan beberapa botol selai yang berisi medium baru dan telah diberi yeast dan beserta kertas pupasi 2. Memindahkan lalat dari masing-masing strain dari stok ke botol selai yang berbeda pada medium baru 3. Mengamati perkembangannya, jika muncul pupa warna hitam maka dilakukan pengampulan untuk melakukan persilangan. Pengampulan stok 1. Pupa dari masing-masing strain yang sudah menghitam diambil menggunakan kuas 2. Memasukkan pupa tersebut ke dalam selang plastic kecil 3. Mengisi sebagian tempat dengan irisan kecil pisang serta menutupnya dengan gabus 4. Masing-masing selang diberi label nama strain maupun tanggal mengampul

5. Menunggu ampulan sampai menetas dan lalat siap untuk disilangkan. Umur lalat dalam ampulan maksimal 3 hari untuk persilangan Persilangan P1 1. Menyiapkan medium baru yang telah diberi yeast dan kertas pupasi
2. Ampulan yang sudah menetas dan siap disilangkan dari masing-masing

strain dimasukkan ke dalam botol selai. Strain lalat yang disilangkan antara lain N we dan N><m beserta resiproknya

3. Memberi label pada masing-masing persilangan dan member tanggal 4. Persilangan P1 dilakukan sebanyak 7 kali ulangan 5. Melepas induk jantan setelah 2 hari persilangan 6. Memindahkan induk betina pada medium 2, 3 dan seterusnya sampai induk matiapabila muncul pupa pada medium yang ditempati induk betina 7. Membiarkan pupa sampai menghitam dan menetas Pengamatan fenotip 1. Mengambil F1 dari hasil persilangan masing-masing strain dan dimasukkan ke dalam kantong plastic 2. Membius F1 hasil persilangan tersebut menggunkan kloroform dengan memasukkan kapas yang sudah diberi kloroform 3. Mengamati F1 dan jantan betinanya serta cirri-ciri yang dimilki oleh masing-masing hasil persilangan 4. Mencatat hasil pengamatan ke dalam tabel F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan pengamatan pada F1. Kemudian data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel pengamatan. G. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan adalah rekonstruksi kelamin yang mengalami nondisjunction, sedangkan nondisjunction dihitung dengan rumus : Frekuensi nondisjunction : x 100 % kromosom presentase

A. Analisis data 1. Persilangan antara N >< we a. Rekonstruksi persilangan yang tidak mengalami nondisjunction P1 Genotip Gamet

: N >< we : >< we -, we we N we N we

: we +, we -

we +

b. Rekonstruksi yang mengalami nondisjunction P1 : N >< we

Genotip Gamet

>< we -, we - we -, 0 we-we0 ( super letal) N

: we +,

weN

we+

we-

we

(letal)

c. Persilangan N >< we Ulangan 1 = Ulangan 2 = Ulangan 3 = Ulangan 4 = = 66% x 100% = 14,03% x 100% = 9,48% x 100% = 31 %

2.

Persilangan antara N >< we a. Rekonstruksi persilangan yang tidak mengalami nondisjunction P1 Genotip Gamet

: N x we : >< we -, we+ N N

: we +, we +

we+

we-

b. Rekonstruksi yang mengalami nondisjunction P1 Genotip Gamet


: N >< we : >< we -, 0 ( super letal) we

: we +, we + we +,0

we+ N

we+ we+,

we-

(letal)

c. Persilangan N >< we Ulangan 1 = x 100% = 2,63 %

Ulangan 2 =

x 100% = 9,55%

Ulangan 3 =

x 100% = 3,70 %

Ulangan 4 =

x 100% = 4,76 %

3.

Persilangan antara N >< we a. Rekonstruksi persilangan yang tidak mengalami nondisjunction

P1 Genotip Gamet

: N >< m : >< m-, mmN m N m

: m+,

m-

m+

b. Rekonstruksi yang mengalami nondisjunction P1 Genotip Gamet

: N >< m : >< m-, m- m-, 0 m- mN letal) ( super 0 N

: m+,

m-

m+

(letal)

c. Persilanga N >< m Ulangan 1 = x 100% = 87,97%

Ulangan 2 =

x 100 % = 34,86%

Ulangan 3 =

x 100% = 22, 58%

Ulangan 4 =

x 100% = 10%

4. Persilangan antara N >< m a. Rekonstruksi persilangan yang tidak mengalami nondisjunction P1 Genotip Gamet

: N >< m : >< m-, m+ N N N N

: m+, m+

m+

b. Rekonstruksi yang mengalami nondisjunction P1 Genotip Gamet


: N >< m : >< m-, 0 ( super letal) m

: m+, m+ m+,0

m+ N

m+ m+

m-

(letal)

c. Persilangan N >< m Ulangan 1 = x100% = 6.55%

Ulangan 2 =

x 100% = 10,71%

Ulangan 3 =

x 100% = 8,57%

Ulangan 4 =

x100% = 11,11 %

Tabel prosentase gagal berpisah Persilangan N >< we N >< we N >< m N >< m Jumlah 1 66% 2,63% 87,97% 6,55% 163,15% Ulangan 2 3 14,03% 9,48% 9.55% 3,70% 34,86% 10,71% 69,71% :100 Ulangan 2 3 21,99 17,93 18,00 11,09 36,18 28,37 19,10 17,02 95,19 74,41 Jumlah 4 34,04 12,60 18,43 19,47 84,54 128,29 51,02 152,68 70,41 402,4 22,58% 8,57% 44,57% Jumlah 4 31,35% 4,76% 10% 11,11% 57,22% 120,86% 20,64% 155,41% 36,94% 333,85%

Data Transformasi Arc sin Persilangan N >< we N >< m N >< m N >< m Jumlah 1 54,33 9,33 69,70 14,82 148,18

Fk =

= 10120,36

Jk Ulangan =

Fk

= 10925,57705-Fk = 805,21705 Jk Persilangan = = 11832,52875 Fk = 1712, 16875 Jk Total = ( +. ( - Fk Fk

= 14173,1204 10120,36 = 4052,7604

Sk Ulangan Persilangan Galat Total

db 3 3 9 15

Jk 805,21705

Kt 268,405683

F hit 1,57 3,34

F table

3 1712,16875 570,722916 1535,3746 4052,7604 7 170,597177 8

3,86

F hit (3,34) < F table0,05(3,86) maka ho diterima, hit ditolak Tidak ada perbedaan tipe persilangan terhadap frekuensi gagal berpisah

BAB VI PEMBAHASAN Berdasarkan data hasil pengamatan pada persilangan D.melanogaster strain N >< we menghasilkan keturunan F1 strain N dan we selain itu pada persilangan ini juga menghasilkan keturunan F1 strain N dan we. Berdasarkan data yang diperoleh ini dan berdasarkan hasil rekonstruksi maka dapat diduga adanya peristiwa gagal berpisah (nondisjunction). Pada strain N memiliki

genotip

. we+ merupakan kromosom X hasil dari pembelahan meiosis pada

induk N jantan, sedangkan 0 mengindikasikan bahwa tidak adanya pewarisan kromosom X oleh induk we betina. Sehingga dugaan awal bahwa persilangan ini mengalami peristiwa gagal berpisah (nondisjunction) dapat dibenarkan. Menurut Corebima A.D. (1997) penyimpangan ini terjadi karena pada kromosom X yaitu selama pada tahap meiosis kromosom menuju ke kutub yang sama sehingga

terbentuk telur yang memilki dua kromosom X maupun yang tidak memiliki kromosom X. Fenotip yang muncul adalah jantan. Hal ini berdasarkan cara penentuan jenis kelamin yang telah dijelaskan dalam kajian pustaka. Menurut corebima (1997) yang menunjukkan bahwa ekspresi kelamin pada D.melanogaster dikenal sebagai suatu mekanisme perimbangan antara X dan A

(X/A). sehingga perbandingan X dan A pada genotip

pada persilangan N

>< we sebesar . Didasarkan pada nilai ini dapat dikatakan bahwa fenotipnya adalah jantan normal. Selain itu, masih berdasarkan pada hasil pengamatan dan rekonstruksi bahwa pada persilangan N >< w e juga menghasilkan keturunan

dengan strain we . Strain we memiliki genotip

. we- merupakan

kromosom X hasil pembelahan meiosis pada induk w e betina sedangkan mengindikasikan adanya kromosom yang berbeda ukurannya. Dilihat dari keturunan ini dapat dikatakan bahwa kromosom ini mengalami peristiwa gagal berpisah karena jika terjadi gagal berpisah selama oogenese( pembentukan sel telur) akan terbentuk 2 macam telur, yaitu sebuah sel telur yang yang membawa 2 kromosom X dan sebuah sel telur yang tidak mempunyai kromosom. Pada genotip keturunan ini terlihat memilki 2 kromosom X yaitu (we- we-) yang jika dibuahi oleh spermatozoa yang membawa kromosom Y ( ) akan menghasilkan lalat betina fertil (Suryo, 1984). Pada persilangan N ><we menghasilkan keturunan F1 N, N dan we. Berdasarkan hasil rekonstruksi persilangan keturunan F1 tersebut mengindikasikan adanya peristiwa gagal berpisah (nondisjunction) pada persilangan ini. Keturunan F1 strain N dan N merupakan individu hasil fertilisasi antara gamet jantan dan gamet betina yang mengalami pembelahan meiosis secara normal. Sedangkan keturunan F1 yang berupa we merupakan hasil dari peristiwa gagal berpisah pada peristiwa oogenesis. Seperti yang dikatakan oleh Corebima A.D.(1997) pada pembahasan sebelumnya bahwa peristiwa gagal berpisah pada peristiwa oogenesis dapat menghasilkan telur yang memilki dua kromosom X maupun yang tidak memiliki kromosom X. Pada strain

we dengan genotip

hanya memilki satu kromosom X dari induk jantan

karena we- merupakan kromosom X hasil dari pembelahan meiosis pada induk w e jantan, sedangkan 0 mengindikasikan bahwa tidak adanya pewarisan kromosom X oleh induk N betina karena adanya peristiwa gagal berpisah. Pada persilangan N >< m menghasilkan keturunan F1 dengan strain N, N, m, m. berdasarkan hasil rekonstruksi persilangan adanya keturunan strain-strain tersebut menandakan bahwa adanya fenomena gagal berpisah (nondisjunction) pada persilangan N >< m. Hasil ferilisasi antara sperma dan ovum yang mengalami pembelahan meiosis secara norma adalah N dan m. Sedangkan N dan m merupakan hasil keturunan yang mengalami gagal

berpisah. Pada strain N terlihat pada genotipnya

yang menunjukkan bahwa

m+ merupakan kromosom X hasil dari pembelahan meiosis pada induk N jantan, sedangkan 0 mengindikasikan bahwa tidak adanya pewarisan kromosom X oleh induk m betina. Diduga hal ini mengalami peristiwa gagal berpisah (nondisjunction). Hal ini didasarkan pada keterangan dari Corebima (1997) bahwa pada tahap meiosis kromosom menuju ke kutub yang sama sehingga terbentuk telur yang memilki dua kromosom X maupun yang tidak memilki kromosom X. Pada keturunan dengan strain m dengan genotip menunjukkan bahwa m-m- merupakan kromosom X hasil pembelahan meiosis pada induk m betina sedangkan menunjukkan adanya pewarisan kromosom oleh induk N jantan. Dilihat dari keturunan ini dapat dikatakan bahwa kromosom ini mengalami peristiwa gagal berpisah karena Pada genotip keturunan ini terlihat bahwa memilki 2 kromosom X (w e- we-) jika dibuahi oleh spermatozoa yang membawa kromosom Y ( ) akan menghasilkan lalat betina fertil (Suryo, 1984). Pada persilangan N >< m menghasilkan F1 dengan strain N, N, m, m. Keturunan F1 strain N, N berdasarkan hasil rekonstruksi persilangan N >< m menunjukkan bahwa hasil dari fertilisasi antara gamet jantan dan

gamet betina yang mengalami pembelahan meiosis secara normal. Sedangkan keturunan F1 strain m merupakan hasil dari peristiwa gagal berpisah pada peristiwa oogenesis. Pada genotip dari strain m yaitu . m- merupakan

kromosom X hasil dari pembelahan meiosis pada induk m jantan, sedangkan 0 mengindikasikan bahwa tidak adanya pewarisan kromosom X oleh induk N betina karena adanya peristiwa gagal berpisah. Seperti yang dikemukakan oleh Corebima (1997) bahwa pada tahap meiosis kromosom menuju ke kutub yang sama sehingga terbentuk telur yang memilki dua kromosom X maupun yang tidak memilki kromosom X. Pada perhitungan analisis data dengan menggunakan anava diketahui bahwa nilai Fhitung yang dperoleh dari perhitungan lebih kecil dari pada nilai Ftabel. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada pengaruh antara tipe persilangan terhadap adanya fenomena gagal berpisah(nondisjunction).

BAB VII PENUTUP

A. Kesimpulan Dari hasil analisi data dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Fenotip yang muncul pada masing-masing persilangan adalah sebagai berikut: a. persilangan N >< we menghasilkan keturunan F1 strain N , N, we, we b. persilangan N ><we menghasilkan keturunan F1 N, N dan we. c. persilangan N >< m menghasilkan keturunan F1 dengan strain N, N, m, m. d. persilangan N >< m menghasilkan F1 dengan strain N, N, m. 2. Ada peristiwa gagal berpisah pada persilangan antara N >< we dan N >< m beserta resiproknya. Peristiwa gagal berpisah dapat dilihat pada : a. Keturunan dari persilangan N >< we yang menunjukkan adanya gagal berpisah adalah strain N dan we b. Keturunan dari persilangan N ><we yang menunjukkan adanya gagal berpisah adalah strain we c. Keturunan dari persilangan N >< m yang menunjukkan adanya gagal berpisah adalah strain N dan m. d. Keturunan dari persilangan N >< m yang menunjukkan adanya gagal berpisah adalah strain m 3. Tidak ada perbedaan tipe persilangan terhadap frekuensi gagal berpisah (nondisjunction)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Khoirul. 1997. Pengaruh Sodium Siklamat Terhadap Frekuensi Nondisjunction Kromosom Kelamin X D. melanogaster. Skripsi tidak diterbitkan, Malang: IKIP Campbell, Neil A. 2002. Biologi Edisi Kelima Jilid I. Jakarta: Erlangga Corebima, A.D. 2004. Genetika Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press Goodenough, U. 1988. Genetika. Jakarta: Erlangga Novitasari, Dewi. 1997. Perbedaan Frekuensi dan Kecenderungan Waktu Munculnya Berpisah Sekunder Kromosom Kelamin X antara Drosophila melanogaster Strain Yellow dan White Apricot. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM Pai, C. Anna.1992. Dasar-dasar Genetika. Jakarta: Erlangga Suryo. 2005. Genetika Strata 1. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press

You might also like