You are on page 1of 19

PENGERTIAN DAN LATAR BELAKANG PEMBAHARUAN DALAM ISLAM Disusun Oleh Elvarina (08 29 004) Acep Gunawan (08

29 015)

Dosen Pembimbing Muhtarom, S.Pd.i

FAKULTAS TARBIYAH JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI RADEN FATAH PALEMBANG 2009 Pendahuluan Modernisasi mengandung pengertian pemikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah pahampaham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya. Agar emua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern. Namun bukan berarti pembaharuan mengubah isi Al-Quran dan Hadits. Mulai abad pertengahan merupakan abad gemilang bagi umat Islam. Abad inilah daerah-daerah Islam meluas di barat melalui Afrika Utara sampai Spanyol, di Timur Melalui Pesia sampai India. Daerah-daerah ini kepada kekuasaan kholifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus, dan terakhir di Bagdad. Dabad ini lahir para pemikir dan ulama besar seperti ;Maliki, SyafiI, Hanafi, dan Hambali. Untuk lebih jelasnya pemakalah akan membahas mengenai apa pemgertian pembaharuan dan apa saja yang melatarbelakangi lahirnya pembaharuan pemikiran dalam Islam.

Pembahasan A. Pengertian Pembaharuan dalam Islam Kata yang lebih di kenal untuk pembaharuan adalah modernisasi. Kata modernisasi lahir dari dunia barat, adanya sejak terkait dengan masalah agama. Dalam masyarakat barat kata modernisasi mengandung pengertian pemikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya. Agar emua itu dapat disesuaikan dengan pendapatpendapat dan keadan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern. Pembaharuan Islam adalah upaya untuk menyesuiakan paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan terknologi odern. Dengan demikian

pembaharuan dalam Islam ukan berarti mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya. Sesuai dengan perkembangannya zaman, hal ini dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecendrunagan, pengetahuan, situasional, dan sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang mungkin masih banyak yang relevan dan madih dapat digunakan, tetapi mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi. Kata tajdid sendiri secara bahasa berarti mengembalikan sesuatu kepada kondisinya yang seharusnya. Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan jadid (baru), jika bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Atau dengan ungkapan yang lebih jelas, Thahir ibn Asyur mengatakan, Pembaharuan agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi kehidupan manusia di dunia. Baik dari sisi pemikiran agamisnya dengan upaya mengembalikan pemahaman yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dari sisi pengamalan agamisnya dengan mereformasi amalan-amalannya, dan juga dari sisi upaya menguatkan kekuasaan agama. Pengertian ini menunjukkan bahwa sesuatu yang akan mengalami proses tajdid adalah sesuatu yang memang telah memiliki wujud dan dasar yang riil dan jelas. Sebab jika tidak, ke arah mana tajdid itu akan dilakukan? Sesuatu yang pada dasarnya memang adalah ajaran yang batil dan semakin lama semakin batil-, akan ditajdid menjadi apa? Itulah sebabnya, hanya Syariat Islam satu-satunya syariat samawiyah yang mungkin mengalami tajdid. Sebabnya dasar pijakannya masih terjaga dengan sangat jelas hingga saat ini, dan dapat dipertanggungjawabkan. Adapun Syariat agama Yahudi atau Kristen misalnya-, keduanya tidak mungkin mengalami tajdid, sebab pijakan yang sesungguhnya sudah tidak ada. Yang ada hanyalah apa yang disangka sebagai pijakan, padahal bukan. Tidak mengherankan jika kemudian aliran Prostestan menerima kemenangan akal dan sains atas agama, sebab gereja pada mulanya tidak menerimanya, sebab teks-teks Injil tidak memungkinkan untuk itu. Dan yang seperti sama sekali tidak dapat disebut sebagai tajdid. Dalam Islam sendiri, seputar ide tajdid ini, Rasulullah saw. sendiri telah menegaskan dalam haditsnya tentang kemungkinan itu. Beliau mengatakan, yang artinya: Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk ummat ini pada setiap pengujung seratus tahun orang yang akan melakukan tajdid (pembaharuan) terhadap agamanya. (HR. Abu Dawud , no. 3740). Tajdid yang dimaksud oleh Rasulullah saw di sini tentu bukanlah mengganti atau mengubah agama, akan tetapi seperti dijelaskan oleh Abbas Husni Muhammad maksudnya adalah mengembalikannya seperti sediakala dan memurnikannya dari berbagai kebatilan yang menempel padanya disebabkan hawa nafsu manusia sepanjang zaman. Terma mengembalikan agama seperti sediakala tidaklah berarti bahwa seorang pelaku tajdid (mujaddid) hidup menjauh dari zamannya sendiri, tetapi maknanya adalah memberikan jawaban kepada era kontemporer sesuai dengan Syariat Allah Taala setelah ia dimurnikan dari kebatilan yang ditambahkan oleh tangan jahat manusia ke dalamnya. Itulah sebabnya, di saat yang sama, upaya tajdid secara otomatis digencarkan untuk menjawab hal-hal yang mustahdatsat (persoalanpersoalan baru) yang kontemporer. Dan untuk itu, upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan segala upaya mengoreksi nash-nash syari yang shahih, atau menafsirkan teks-teks syari dengan metode yang menyelisihi ijma ulama Islam. Sama sekali bukan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tajdid dalam Islam mempunyai 2 bentuk: Pertama, memurnikan agama -setelah perjalanannya berabad-abad lamanya- dari hal-hal yang

menyimpang dari Al-Quran dan As-Sunnah. Konsekuensinya tentu saja adalah kembali kepada bagaimana Rasulullah saw dan para sahabatnya mengejawantahkan Islam dalam keseharian mereka. Kedua, memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul dan berbeda dari satu zaman dengan zaman yang lain. Meski harus diingat, bahwa memberikan jawaban sama sekali tidak identik dengan membolehkan atau menghalalkannya. Intinya adalah bahwa Islam mempunyai jawaban terhadap hal itu. Berdasarkan ini pula, maka kita dapat memahami bahwa bidang-bidang tajdid itu mencakup seluruh bagian ajaran Islam. Tidak hanya fikih, namun juga aqidah, akhlaq dan yang lainnya. Tajdid dapat saja dilakukan terhadap aqidah, jika aqidah ummat telah mengalami pergeseran dari yang seharusnya. Banyak sekali peristilahan yang digunakan para pe-nulis yang dalam bahasa Indonesia berkonotasi pemba-haruan, umpamanya tajdid, ishlah, reformasi, ashriyah, modernisasi, revivalisasi, resurgensi (resurgence), reassersi (reassertion), renaisans, dan fundamentalis. Peristilahan se-perti ini timbul, bukan sekedar perbedaan semantik bela-ka, akan tetapi dilihat dari isi pembaharuan itu sendiri. 1. Tajdid, Ishlah, dan Reformasi Tajdid sering diartikan sebagai ishlah dan reformasi; karena itu, gerakannya disebut gerakan tajdid, gerakan ishlah, dan gerakan reformasi. Tajdid menurut bahasa al-iadah wa al-ihya , mengembalikan dan menghidupkan. Tajdid al-din, berarti mengembalikannya kepada apa yang pernah ada pada masa salaf, generasi muslim awal. Tajdid al-Din menurut istilah ialah menghidupkan dan membangkitkan ilmu dan amal yang telah diterangkan oleh al-Quran dan al-Sunnah . Ulama salaf memberikan tarif tajdid sebagai berikut : Menerangkan/membersih-kan Sunnah dari bidah memperbanyak ilmu dan memuliakannya, membenci bidah dan menghilangkannya . Selanjutnya tajdid dikatakan sebagai penyebaran ilmu, meletakkan pemecahan secara Islami terhadap setiap problem yang muncul dalam kehidupan manusia, dan menentang segala yang bidah. Tajdid tersebut di atas dapat pula diartikan sebagaimana dikatakan oleh ulama salaf menghidupkan kembali ajaran salaf al-shaleh, meme-lihara nash-nash, dan meletakkan kaidah-kaidah yang disusun untuknya serta meletakkan metode yang benar untuk memahami nash tersebut dalam mengambil mak-na yang benar yang sudah diberikan oleh ulama. Dari definisi di atas nampak, bahwa tajdid tersebut mendorong umat Islam agar kembali kepada alQuran dan sunnah serta mengembangkan ijtihad. Inilah makna tajdid yang dianut oleh kaum puritan yang selama ini suaranya masih bergema. Tajdid seperti ini pula yang di-katakan sebagai ishlah atau reformasi dalam Islam. Refor-masi itu sendiri, berdasarkan sejarahnya, muncul akibat modernisasi muncul sebagai reaksi atas reformasi. Reformasi adalah vis a vis modernisasi. Reformasi sebagai akibat adanya penyimpangan agama dan teologi yang disebabkan oleh adanya sekularisme modern (reformation as a religious and theological and the cauce of modern secularism). 2. Ashriyah dan Modernisasi Istilah modernisasi atau ashriyah (Arab) diberikan oleh kaum Orientalis terhadap gerakan Islam tersebut di atas tanpa membedakan isi gerakan itu sendiri. Modernisasi, dalam masyarakat Barat, mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusiinstitusi lama, dan sebagai-nya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditim-bulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Tatkala umat Islam kontak dengan Barat, maka modernisasi dari Barat membawa kepada ide-ide baru ke dunia Islam, seperti rasionalisme, nasionalisme, demok-rasi, dan lain sebagainya.

Penyesuaian ajaran seperti di atas disebut modern karena dalam sejarahnya agama Katholik dan Protestan dahulu diajak menyesuaikan diri dengan ilmu pengeta-huan dan falsafat modern. Sayangnya, modernisaai di Barat ini akhirnya membawa kepada sekularisasi. Jika seandainya demikian ternyata perkataan modern tidak sedikit dampaknya dan bahayanya dalam pemahaman agama, seandainya tidak ada filter-filter tertentu untuk menyaringnya sebagaimana terjadi di dunia Barat tadi. Itulah sebabnya barangkali Harun Nasution tidak begitu sreg menggunakan kata modern sebagai gantinya dipilih kata pembaharuan. 3. Revivalisasi, Resurgensi, Renaisans, Reasersi Kesemua peristilahan di atas mengandung arti te-gak kembali atau bangkit kembali. Peristilahan revivalisasi, pada dasarnya, banyak sekali digunakan oleh para penulis. Fazlurrahman, misalnya, menggunakan istilah ini, bahkan ia membaginya kepada dua bagian yaitu revivalis pra-modernis dan revivalis neo modernis. Penulis lain mengungkapkan kebangkitan kembali dengan kata resurgence. Chandra Muzaffar yang menge-mukakan istilah ini dalam tulisannya Resurgence A. Global Vew menyatakan bahwa adanya perbedaan antara istilah revivalis dengan resurgence. Resurgence, adalah tindakan bangkit kembali yang di dalamnya mengandung unsur : 1. kebangkitan yang datang dari dalam Islam sendiri dan Islam dianggap penting karena dianggap mendapatkan kembali prestisenya; 2. ia kembali kepada masa jayanya yang lalu yang pernah terjadi sebelumnya; 3. bangkit kembali untuk menghadapi tantangan, bahkan ancaman dari mereka yang berpengalam-an lain. Revivalisme juga berati bangkit kembali, tetapi kem-bali ke masa lampau, bahkan berkeinginan untuk meng-hidupkan kembali yang sudah usang. Renaisans, jika ha-nya diartikan secara umum nampaknya membangkitkan kembali ke masa-masa yang sudah ketinggalan zaman, bahkan ada konotasi menghidupkan kembali masa jahi-liyah, sebagaimana renaisans di Eropa yang berarti meng-hidupkan kembali peradaban Yunani. Jika istilah ini ter-paksa digunakan, maka Renaisans Islam harus berarti tajdid . Karena itu, barangkali mengapa banyak para penu-lis menggunakan Renaisans dalam menerangkan tajdid atau Pembaharuan dalam Islam. Fazlurrahman, misalnya dalam bukunya Islam : Challenges and Opportunities, me-nulis tentang Renaisans Islam : Neo Modernis. Istilah ini-pun digunakan pula oleh editor buku A History of Islamic Phllisophy, M.M. Sharif, tatkala rnenerangkan tokoh-to-koh pembaharuan dunia Islam, seperti Muhammad ibn Abd al-Wahab, Muhammad Abduh dan lainnya di bawah judul Modern Renaissans. Sementara itu reassertion berarti tegak kembali tetapi tidak mengandung tan-tangan terhadap masalah sosial yang ada. Demikianlah istilah tajdid, pembaharuan, yaitu dike-mukakan oleh para ahli, mereka bukan hanya sekedar berbeda pendapat dalam hal istilah yang digunakan, akan tetapi dalam makna dan isi pembaharuan itu sen-diri. Itulah sebabnya orang sering mengatakan bahwa istilah Pembahruan dalam Islam masih merupakan kon-troversi yang mengandung kebenaran. Dan itu pula sebabnya mengapa Harun Nasution tidak banyak meng-gunakan peristilahan yang banyak itu, kecuali menggu-nakan istilah pembaharuan, modern dan tajdid sewaktu-waktu. Karena, yang penting adalah isi dan tujuan dari pembaharuan itu sendiri kembali kepada ajaran-ajaran dasar dan memelihara ijtihad.

Pengertian Istilah 1. Harun Nasution cendrung menganalogikan istilah pembaharuan dengan modernisme, karena istilah terakhir ini dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha mengubah paham-paham, adt-istiadat, institusi lama, dan sebagainya unutk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Gagasan ini muncul di Barat dengan tujuan menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katolik dan Protestan dengan ilmu pengetahuna modern. Karena konotasi dan perkembangan yang seperti itu, harun Nasution keberatan menggunakan istilah modernisasi Islam dalam pengertian di atas. 2. Revivalisasi. Menurut paham ini, pembaharuan adalah membangkitkan kembali Islam yang murni sebagaimana pernah dipraktekkan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam dan kaum Salaf. 3. Kebangkitan Kembali ( Resugence ) Dalam kamus Oxford, resurgence didefinisikan sebagai kegiatan yang muncul kembali (the act of rising again ). Pengertian ini mengandung 3 hal : a. Suatu pandangan dari dalam, suatu cara dalam mana kaum muslimim melihat bertambahnya dampak agama diantara para penganutnya. Islam menjadi penting kembali. Dalam artian, memperoleh kembali prestise dankehormatan dirinya. b. Kebangkitan kembali menunjukkan bahwa keadaaan tersebut telah terjadi sebelumnya. Jejak hidup nabi Muhammad shalallahu alaihi wassalam dan para pengikutnya memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran orang-orang yang menaruh perhatian pada jalan hidup Islam saat ini. c. Kebangkitan kembali sebagai suatu konsep, mengandung paham tentang suatu tantangan, bahkan suatu ancaman terhadap pengikut pandangan-pandangan lain. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam terutama sesudah pembukaan abad ke-19 M, yang dalam sejarah Islam di pandang sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan dunia barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti Rasionalisme, Nasionalisme, Demokrasi, dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru dan pemimpin-pemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan itu. Sebagaimana halnya di barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Dengan jalan demikian itu pemimpin-pemimpin Islam modern berharap akan dapat melepaskan umat Islam nilai suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa pada kemajuan. Akan tetapi di sebagian umat Islam tradisional hingga sat ini tampak ada perasaan masih belum mau menerima apa yang di maksud dengan pembaharuan Islam. Hal ini, antara lain disebabkan karena salah persepsi dalam memahami arti pembaharuan dalam Islam.mereka memandang bahwa pembaharuan Islam adalah membuang ajaran Islam yang sama diganti dengan ajaran Islam baru, padahal ajaran Islam yang lama itu berdasarkan hasil Ijtihad ulama besar yang dalam ilmunya taat beribadah dan unggul kepribadiannya. Sedangkan ulama yang sekarang di pandang kurang mendalami ilmu agamanya, kurang taat, dalam beribadahnya, dan kurang baik budi pekertinya. Oleh Karena itu mereka masih beranggapan bahwa pemikiran ulama di abad yang lampau sudah cukup baik dan tidak perlu diganti dengan pemikiran ulama sekarang. Selain itu ada pula yang memahami pembaharuan Islam dengan mengubah Al-Quran dan Hadits,

memahami Al-Quran dan Hadits menurut selera orang yang memahaminya atau mencocokanmencocokan makna Al-Quran dan Hadits dengan makna yang dimaui oleh orang-orang yang menafsirkannya, sehingga Al-Quran dan Hadits semacam setempel yang melegitimasi segala perbuatan yang dilakukan manusia. Dengan kata lain, pembahasan Islam mereka persepsikan dengan upaya mencocokkan kehendak Al-Quran dan Hadits dengan kehendak orang yang menafsirkannya, bukan mengajak orang untuk hidup sesuai dengan Al-Quran dan Hadits. Persepsi demikian hingga kini tampak di pegang terus oleh sebagian umat Islam Tradisional tanpa mau melakukan dialog atau dikusi dengan para tokoh Pembaharu Islam, sehingga munculah istilah kaum modernis dan kaum tradisional. Modern berarti terbaru, mutakhir atau sikap dan cara berpikir serta bertindak dengan tuntutan zaman. Sedangkan modernisasi adalah pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa kini. Selain itu pembaharuan dalam Islam dapat pula berarti mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang terdapat di dalam Al-Quran dan Sunnah. Hal ini perlu dilakukan, karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Al-Quran dengan kenyataan yamg terjadi di masyarakat. Al-Quran misalnya mendorong umatnya agar menguasai pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan modern serta teknologi secra seimbang; hidup bersatu, rukun, dan damai sebagai suatu keluarga besar; bersikap dinamis, kreatif, inovatif, demokratis, terbuka, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, menyukai kebersihan, dan lain sebagainya. Namun kenyatan umatnya menunjukan keadan yang berbeda. Sebagaian besar umat Islam hanya mengetahui pengetahuan agama sedangkan ilmu pengetahuan modern tidak dikuasai bahkan dimusuhi; hidup dalam keadan penuh pertentangan dan peperangan, satu dan lainnya saling bermusuhan, statis, memandang cukup apa yang ada, tidak ada kehandak untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja, bersikap diktator, kurang menghargai waktu, kurang terbuka, dan lain sebagainya. Sikap dan pandangan hidup umat demikian jelas tidak sejalan dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah, dan hal demikian harus diperbarui dengan jalan kembali kepada dua sumber ajaran Islam yang utama itu. Dengan demikian, maka pembaruan Islam mengandung maksud mengembalikan sikap dan pandangan hidup umat agar sejalan dengan petunjuk Al-Quran dan Sunnah. Untuk mendukung pernyataan tersebut, Harun Nasution dalam bukunya berjudul Pembaharuan dalam Islam telah banyak mengemukakan ide-ide pembaharuan Islam dengan maksud seperti diungkapkan diatas. B. Latar Belakang Pembaharuan dalam Islam Mulai abad pertengahan merupakan abad gemilang bagi umat Islam. Abad inilah daerah-daerah Islam meluas di barat melalui Afrika Utara sampai Spanyol, di Timur Melalui Pesia sampai India. Daerah-daerah ini kepada kekuasaan kholifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus, dan terakhir di Bagdad. Dabad ini lahir para pemikir dan ulama besar seperti ;Maliki, SyafiI, Hanafi, dan Hambali. Dengan lahirnya pemikiran para ulama besar itu, maka ilmu pengetahuan lahir dan berkembang dengan pesat sampai ke puncaknya, baik dalam bidang agama, nono agama maupun dalam bidang kebudayaan lainnya. Memasuki benua Eropa melalui Spanyol dan Sisilia, dan inilah yang menjadi dasar dari ilmu pengetahuan yang menguasai alam pikiran orang barat (Eropa) pada abad selanjutnya.

Di pandang dari segi sejarah kebudayaan, maka maka tugas memelihara dan menyebarkan ilmu pengetahuan itu tidaklah kecil nilainya dibanding dengan mencipta ilmu pengetahuan. Di antara yang mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan Islam adalah: Pertama, paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan terhadap orang-orang yang suci dan hal lain yang membawa kepada kekufuran. Kedua, sifat jumud membuat umat Islam berhenti berfikir dan berusaha, umat Islam maju di zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan, oleh karena itu selama umat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berfikir untuk berijtihad, tidak mungkin mengalami kemajuan, untuk itu perlu adanya pembaharuan yang berusaha memberantas kejumudan. Ketiga, umat Islam selalu berpecah belah, maka umat Islam tidaklah akan mengalami kemajuan. Umat Islam maju karena adanya persatuan dan kesatuan, karena adanya persaudaran yang diikat oleh tali ajaran Islam. Maka untuk mempersatukan kembali umat Islam bangkitlah suatu gerakan pembaharuan. Keempat, hasil dari kontak yang terjadi antara dunia Islam dengan Barat. Dengan adanya kontak ini umat Islam sadar bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan Barat, terutama sekali ketika terjadinya peperangan antara kerajaan Usmani dengan negara-negara Eropa, yang biasanya tentara kerajaan Usmani selalu memperoleh kemenangan dalam peperangan, akhirnya mengalami kekalahan-kekalahan di tangan Barat, hal ini membuat pembesar-pembesar Usmani untuk menyelidiki rahasia kekuatan militer Eropa yang aru muncul. Menurut mereka rahasianya terletak pada kekuatan militer modern yang dimiliki Eropa, sehingga pembaharuan dipusatkan di dalam lapangan militer, namun pembaharuan di bidang lain disertakan pula. Pembaharuan dalam Islam berbeda dengan renaisans Barat. Kalau renaisans Barat muncul dengan menyingkirkan agama, maka pembaharuan dalam Islam adalah sebaliknya, yaitu untuk memperkuat prinsip dan ajaran-ajaran Islam kepada pemeluknya. Memperbaharui dan menghidupkan kembali prinsip-prinsip Islam yang dilalaikan umatnya. Oleh karena itu pembaharuan dalam Islam bukan hanya mengajak maju kedepan untuk melawan segala kebodohan dan kemelaratan tetapi juga untuk kemajuan ajaran-ajaran agama Islam itu. Adapun yang melatarbelakangi pemikiran politik Islam adalah: Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh faktor internal dan yang berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian. Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan oleh negara-negara Barat tersebut. Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi. Ketiga hal tersebut ini juga memberi pengaruh pada pemikiran politik Islam yakni banyak di antara para pemikir politik Islam tidak mengetengahkan konsepsi tentang system politik Islam, tetapi lebih kepada konsepsi perjuangan politik umat Islam terhadap kezaliman penguasa, lebih-lebih terhadap imperialis dan kolonialis Barat. Perhatian mereka lebih banyak dipusatkan pada perjuangan pembebasan dunia Islam dari cengkraman atau dominasi Barat. Kalau gerakan pembaharuan umat Islam di Turki pada akhirnya menimbulkan Negara Turki yang bersifat sekuler, gerakan pembaharuan umat Islam di India

melahirkan Negara Pakistan yang mempunyai agama sebagai dasar. Gerakan yang diusung oleh tiga tokoh pembaharu, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha, dikenal dengan gerakan Salafiyah yaitu suatu aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama Islam. Pemerintahan yang ideal menurut Muhammad Abduh kurang lebih seperti yang diangankan oleh ahliahli hukum pada abad pertengahan, penguasa yang adil, yang memerintah sesuai dengan hukum dan bermusyawarah dengan para pemimpin rakyat. Kemunculan ide pembaruan dilatarbelakangi oleh suatu proses yang panjang. Sejak awal abad ke-2 H (8M). Islam dalam perkembangan dakwahnya yang makin meluas mengharuskan Islam berinteraksi dengan peradaban dan agama lain. Sehingga timbul pergolakan pemikiran antara Islam dengan pemikiran asing. Hal ini mendorong para pemikir Islam untuk membahas aqidah Islam dari berbagai segi. Termasuk mengemukakan argumentasi untuk mempertahankan aqidah Islam ketika menghadapi aqidah lain (terutama Nashrani dengan menggunakan cara berfikir filsafat Yunani). Akhirnya untuk menghadapi orang-orang Nashrani, umat Islam pun mempelajari filsafat untuk membantah tuduhan-tuduhan terhadap aqidah Islam, yang pada perkembangannya disebut dengan ilmu kalam. Ilmu kalam ini dikembangkan oleh generasi setelah shahabat (khalaf) yang berbeda dengan generasi shahabat (salaf). Kalangan khalaf telah membahas lebih jauh tentang dzat Allah dengan menggunakan metode pembahasan filosof Yunani. Metode ini menjadikan akal sebagai dasar pemikiran untuk membahas segala hal tentang iman. Para pemikir Islam berusaha mempertemukan Islam dengan pemikiran filsafat ini. Cara berfikir ini memunculkan interpretasi dan penafsiran yang menjauhkan sebagian arti dan hakekat Islam yang sebenarnya. Hal ini ditambahkan dengan masuknya orang-orang munafik ke tubuh umat Islam. Mereka merekayasa pemikiran dan pemahaman yang bukan berasal dari Islam dan justru menimbulkan saling pertentangan. Terlebih lagi kelalaian kaum muslimin terhadap penguasaan bahasa Arab dan pengembangan Islam yang terjadi sejak abad ke-7 H, mengakibatkan Islam semakin mengalami kemerosotan. Terkikisnya pemahaman Islam yang hakiki terus berlanjut sampai awal abad ke-13 H. Saat itu umat Islam mulai mengupayakan pembaruan untuk memahami syariat Islam yang akan diterapkan dalam masyarakat. Islam ditafsirkan tidak semata-mata selaras dengan isi kandungan nash-nash. Disaat kaum muslimin mengalami kemerosotan berfikir, cara pandang mereka mulai teracuni oleh cara pandang asing. Tsaqofah Islam kian melemah. Upaya-upaya pembaruan semakin merebak. Para pembaru memandang perlunya mengatasi masalah dengan melakukan interpretasi hukum-hukum Islam agar sesuai dengan kondisi yang ada. Mereka mengeluarkan kaidah-kaidah umum dan hukum-hukum terperinci sesuai dengan pandangan tersebut. Bahkan mereka membuat kaedah umum yang tidak berdasarkan perspektif wahyu (Al-Quran dan Hadits). Sampai dengan perempat ketiga abad ini, gerakan Islam lebih merupakan pembaharuan dalam pengertian revitalitas atau semacam romantisme. Hampir seluruh gerakan Islam dimotori oleh semangat menghidupkan kembali tradisi Islam Klasik sebagai reaksi atas kebangkrutan kekuasaan politik Islam di

satu sisi sementara didomonasi politik dan intelektual Barat modern merupakan fenomena mondial. Gerakan Islam baik di Timur Tengah maupun beberapa kawasan Asia seperti India bertumpu pada emansipasi politik dan intelektual dalam romantisme dan revitalisasi di atas Walaupun kecendrungan di atas telah berhasil membebaskan beberapa kawasan Islam dari kolonialisme dan membangkitkan kembali kepercayaan diri dunia Islam, namun pembaharuan Islam bersifat eksternal. Di sisi lain, Negara-negara baru Islam pun berhadapan dengan realitas baru tumbuhnya Negara bangsa yang merupakan wacana baru pemikiran Islam. Tanpa suatu tradisi intelektual yang mampu berdialog dengan peradaban modern, Negara-negara baru Islam mulai berhadapan dengan bagaimana membangun tata kehidupan sebagai realisasi semangat dan pesan universal Islam. Pengembangan kehidupan sosial muslimpun berhadapan dengan realitas obyektif yang kurang lebih serupa. Bagaimana membangun peradaban Islam dalam masyarakat modern, sesungguhnya merupakan agenda gerakan Islam masa depan. Kesimpulan Dari penjelasan di atas pemakalah dapat menyimpulkan bahwa: Pembaharuan Islam adalah upaya untuk menyesuiakan paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan terknologi odern. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam ukan berarti mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya. Adapun yang mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan Islam adalah: Pertama, paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan terhadap orang-orang yang suci dan hal lain yang membawa kepada kekufuran. Kedua, sifat jumud membuat umat Islam berhenti berfikir dan berusaha, umat Islam maju di zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan, oleh karena itu selama umat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berfikir untuk berijtihad, tidak mungkin mengalami kemajuan, untuk itu perlu adanya pembaharuan yang berusaha memberantas kejumudan. Ketiga, umat Islam selalu berpecah belah, maka umat Islam tidaklah akan mengalami kemajuan. Keempat, hasil dari kontak yang terjadi antara dunia Islam dengan Barat. DAFTAR PUSTAKA

Asmuni, Yusran. 1998. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Mulkhan, Abdul Munir. 1995. Teologi dan Demokrasi Modernitas Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nasution, Harun. 1996. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang. Nasution, Harun. 2003. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan

Bintang. Nata, Abuddin. 2008. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. http///www.google.com Afifi Fauzi Abbas http///www.google.com. Muhammad Ikhsan, Tajdid dalam Syariat Islam Antara Upaya Pemurnian dan Usaha Menjawab Tantangan Zaman. (Ditulis oleh Administrator, 2006) http///ww.google.com. Gunawans Site, Gerakan Pembaharuan Islam http///www.google.com ---------------------------------------------------Harun Nasution dalam Yusran Asmuni, Pengantar Studi dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998) Hlm. 1. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008) Hlm. 378-379. http///www.google.com. Muhammad Ikhsan, Tajdid dalam Syariat Islam Antara Upaya Pemurnian dan Usaha Menjawab Tantangan Zaman. (Ditulis oleh Administrator, 2006) http///www.google.com Afifi Fauzi Abbas http///ww.google.com. Gunawans Site, Gerakan Pembaharuan Islam. Harun Nasution, Pembaharuna dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1996) Cet. 11 Hlm. 3-4 Harun Nasution, Pembaharuna dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 2003) Cet 13 Hlm. 3 Abuddin Nata, Loc.Cit. Yusran Asmuni, Op.Cit. Hlm 2 Ibid Abuddin Nata, Loc.Cit. Yusran Asmuni, Op.Cit. Hlm. 4 Ibid, Hlm. 5 http///www.google.com http///www.google.com Abdul Munir Mulkhan, Teologi dan Demokrasi Modernitas Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995) Hlm. 116 TUGAS MAHASISWA (KELOMPOK) Setiap Kelompok Harus: 1. BERIKAN KOMENTAR SEPUTAR MAKALAH DIATAS ( ISI, CARA PENULISAN DAN ketepatan analisis yang dibuat pemakalah) 2. BERIKAN 2 PERTANYAAN untuk PEMAKALAH / setiap kelompok harus berbeda pertanyaan TULIS DI KERTAS FOLIO (1LEMBAR)

MASING-MASING KELOMPOK MENGIRIMKANYA MELALUI EMAIL KE : muhtarom84@yahoo.com atau di posting langsung di bawah tulisan ini (kolom komentar) ..... tugas ini sudah dikirim ke email/posting komentar di blog ini mulai hari ini sampai besok pukul 14.00

Awal masuknya gerakan pembaharuan islam di indonesia


Titik tolak pembaharuan pemikiran Islam masa Orde Baru, bermula dari pidato menyimpang Nurcholish Madjid (Cak Nur) di awal tahun 1970 yang kemudian menimbulkan kehebohan di kalangan umat Islam. Dawam Rahardjo memberikan keterangan, tak sedikitpun Cak Nur berniat membuat heboh. Bahkan ceramahnya itu hanya kebetulan saja: ia menggantikan Dr. Alfian. Dan Cak Nur tidak menyangka, bahwa pemikirannya akan sejauh itu dampaknya. Pemikirannya yang terkenal dengan slogan Islam Yes. Partai Islam No. sebuah seruan deislamisasi partai politik, melalui program yang disebut sekulerisasi. Apakah karena kebetulan seaspirasi dengan Cak Nur tentang : Islam Yes, Partai Islam No. ataukah pengaruh pemikiran Cak Nur dan kawan-kawan yang jelas pemerintah Orde Baru melakukan deideologi partai Islam, dan kemudian diganti dengan Pancasila sebagai satu-satunya asas seluruh orsospol . Budhi Munawar-Rachman menjelaskan bahwa ada tiga kelompok besar pemikir neo-modernis Islam di Indonesia yaitu (1). Islam Rasional dengan tokohnya Harun Nasution dan Djohan Effendi dengan membawa pandangan-pandangan Mutazilah (2) Islam Peradaban yang diantara tokohnya Cak Nur dan Kuntowijoyo dan (3) Islam Transformatif dengan tokohnya Adi Sasono, M. Dawam Rahadjo. Gerak pembaharuan pemikiran Islam pada tahun 1970-an dilaksanakan oleh pemikir-pemikir individual yaitu pemikir yang tidak terlalu terikat oleh organisasi seperti NU, Muhammadiyah, SI dan lainnya. Dahulu ketika melempar isu pembaharuan islam pada tahun 1970-an, Cak Nur relatif single fighter, tetapi sepuluh atau duapuluh tahun kemudian- pada decade 1980-an apalagi 1990-an- Cak Nur sudah tidak lagi sendirian. Gagasan-gagasan Cak Nur dan kawan-kawan di rentang akhir tahun 1980-an dan sepanjang tahun 1990an banyak dipublikasikan dalam buku-buku yang diterbitkan secara luas diantaranya oleh Mizan, Jurnal Ulumul Quran dan Islamika juga Paramadina sendiri. Buah Pemikiran Cak Nur dan sahabat-sahabatnya banyak menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam, diantara yang menghangat adalah perseteruan konsep-konsep pemikiran Islam melalui tulisan antara Ulumul Quran dengan Media Dakwah yang diterbitkan oleh Dewan Dakwah Islamiyah. Turut andil pula lembaga-lembaga kajian yang menghasilkan kader-kader muda lewat Paramadina (diantaranya).

Di tahun 2000-an pemikiran Islam diramaikan oleh kader muda Islam diantaranya Ulil Absar Abdala sebagai Cak Nur Muda yang menggagas Islam Liberal. Model pemikiran Islam Liberal-nya Ulil tidak jauh berbeda dengan pembinanya Nurcholis Madjid. Gagasan-gagasan yang ditawarkan oleh kalangan liberal ini berupaya mendekontruksi teks-teks syariat dan warisan-warisan budaya Islam berdasarkan standar-standar modernitas. Metode yang ditempuh adalah dengan merombak dan membongkar seluruh bangunan pemikiran klasik (turats), setelah sebelumnya diadakan kajian dan analisis terhadapnya. Tujuannya, agar selalu yang dianggap absolute berubah menjadi relative dan ahistoris menjadi historis. Menurut Adian Husaini ada beberapa tantangan pemikiran Islam kontemporer yang memerlukan penanganan sangat serius dari umat Islam yang datang langsung dari para pemikir Barat maupun para pemikir muslim secular-liberal yang terpengaruh pola pikir barat, di antaranya: 1. Tantangan Peradaban Barat. 2. Masalah Kristenisasi 3. Masalah Kolonilaisme/ imperialism modern 4. Masalah Orientalisme 5. Kajian Al-Quran dan Tafsir Al-Quran 6. Studi agama-agama 7. Pluralisme Agama

Kelompok harakah
Kata harakah menurut etimologi bahasa Arab, diambil dari akar kata at taharruk yang artinya bergerak. Istilah tersebut kemudian menjadi populer dengan arti "Sekelompok orang atau suatu gerakan yang mempunyai suatu target tertentu, dan merek...a berusaha bergerak serta berupaya untuk mencapainya". Makna istilah ini masih termasuk dalam kategori makna lughawi untuk kata tersebut. Aktifitas suatu gerakan dapat dilakukan oleh satu individu walaupun belum mempunyai suatu kelompok dakwah yang berjuang bersamanya. Jamaluddin Al Afghani misalnya, walaupun yang bergerak hanyalah seorang individu saja --bukan orang banyak, namun gerakannya dapat dianggap sebagai salah satu macam harakah yang pernah ada di dunia Islam. Aktifitas gerakan dapat juga dilakukan oleh suatu jama'ah, yaitu sekumpulan orang yang mempunyai pemimpin dan memiliki metode/ strategi dakwah tertentu. Misalnya Jama'ah Tabligh di India dan Pakistan, Ikhwanul Muslimin dan Tanzhimul Jihad di Mesir, serta yang sejenisnya. Gerakan dakwah dapat pula dilakukan oleh suatu organisasi, seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dan yang sejenisnya. Aktifitas gerakan dapat pula dilakukan suatu partai politik, baik partai tersebut memiliki ideologi tertentu sehingga dapat dikategorikan sebagai partai politik yang sebenarnya, misalnya Hizbut Tahrir di Yordania, Front Penyelamat Islam (FIS) di Al Jazair; atau partai yang hanya sekedar nama tanpa memiliki ideologi tertentu, seperti yang ada pada puluhan bahkan ratusan jumlahnya yang tersebar di seluruh dunia Islam. Seluruh perkumpulan semacam ini dapat diklasifikasikan sebagai suatu harakah,

asalkan mereka bergerak untuk mencapai tujuan tertentu. Di antara harakah-harakah tersebut ada yang bersifat islami dan menjadikan Islam sebagai asas, seperti yang disebutkan di atas. Namun ada juga yang tidak islami, bahkan memusuhi Islam, seperti partai Komunis, partai Wafd di Mesir, partai Ba'ath di Syiria dan Irak, gerakan Ahmadiyah di India dan Pakistan, dan sebagainya. Melihat keadaan berbagai gerakan yang ada, dapatlah ditentukan tiga aspek yang menunjukkan identitas sebuah gerakan, yaitu: (1) Mempunyai target tujuan yang diusahakan dan hendak dicapai oleh sebuah harakah, (2) Mempunyai bentuk pemikiran yang telah ditentukan oleh harakah dalam aktifitas perjuangannya, dan (3) Mempunyai arah dan kecenderungan tertentu pada orang-orang yang tergabung di dalam harakah tersebut. Untuk menentukan identitas suatu harakah agar dapat dikategorikan sebagai Harakah Islam, maka ketiga aspek dia atas harus terpenuhi. Dengan kata lain, tidak cukup hanya mempunyai target tujuan yang disahkan dan diakui oleh Islam, tetapi juga harus ditujukan untuk melayani dan mengembangkan Islam. Sebagai contoh, Islam mengakui keberadaan suatu harakah yang bergerak dalam bidang olahraga. Sebab, target semacam ini hukumnya mubah. Tetapi harakah yang bergerak di bidang olahraga seperti ini tidak dapat disebut sebagai harakah Islamiyah, karena keberadaannya tidak sampai melayani dan mengembangkan Islam. Begitu pula halnya dengan aneka ragam harakah Islam yang aktifitasnya menitikberatkan pada usaha pemeliharaan/penerbitan Al Quran dan terjemahannya atau penerbitan buku-buku Islam; pembangunan proyek dan perusahaan Islam, seperti Bank Islam, Koperasi Islam, masjid-masjid dan sekolah Islam, serta lembaga pendidikan yang sejenisnya; menyalurkan dana kepada fakir-miskin, anak-anak yatim, orangorang cacat; melakukan amar ma'ruf nahi munkar, menyampaikan nasehat kepada penguasa; dan sebagainya. Satu atau lebih dari berbagai macam aktifitas yang telah disebutkan di atas dapat dijadikan target tujuan untuk sebuah harakah Islam. Namun demikian, perlu diingat bahwa target-target tersebut belum cukup mampu melayani dan mengembangkan Islam hingga seluruh aktivitas harakah terkait erat dengan hukum-hukum Islam. Dengan kata lain, metode yang digunakan harus sesuai dan terikat dengan ide maupun hukum Islam. Selain ketiga persyaratan di atas, agar suatu gerakan dakwah dapat disebut sebagai harakah Islamiyah, maka keanggotaannya harus pula dari kalangan kaum Muslimin saja. Jika suatu harakah terbentuk dari kalangan non muslim, seperti para orientalis yang mengkaji dan mempelajari khazanah Islam lalu mengeluarkan dan menyebarkan hasil kajiannnya setelah terlebih dahulu meneliti dan menganalisisnya, maka harakah semacam itu tidak dapat dinamakan harakah Islam. Akan halnya mengapa kita boleh menamakan harakah Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh sebagai harakah Islam, walaupun keduanya merupakan tokoh Free Masonry di negeri-negeri Islam, ini disebabkan karena label Free Masonry bukanlah bagian dari gerakan keIslaman mereka. Oleh karena itu, gerakannya masih dapat dikategorikan sebagai harakah Islamiyah. Kita juga dapat mengkategorikan Jama'ah Tabligh, Jama'ah Salafiyah, Islam Jama'ah, Jama'atul Muslimin Hizbullah sebagai harakah Islamiyah, sekalipun pada gerakan-gerakan tersebut terdapat kekurangan, atau bahkan kadang-kadang terdapat langkah atau pemikiran yang tidak islami. Jama'ah Tabligh misalnya, mereka mengambil Islam secara parsial dengan menolak membicarakan masalah politik atau menempuh jalan politik dalam berdakwah. Sedangkan Jama'ah Salafiyah lebih banyak memfokuskan masalah aqidah, ibadah dan akhlaq. Islam Jama'ah suka mengkafir-kafirkan sesama kaum Muslimin yang tidak berbai'at kepada imam mereka, menolak shalat di masjid yang imamnya bukan dari golongan mereka. Sementara Jama'atul Muslimin Hizbullah menolak mengakui Rasulullah saw sebagai figur politik, bahkan menurut mereka, di dalam Islam tidak dikenal adanya aktifitas politik. Diantara berbagai harakah Islam yang bersifat politik dan bergerak di kawasan Timur Tengah serta dunia Islam lainnya, tercatat nama-nama antara lain Jama'ah Ikhwanul Muslimin (di Mesir), Hizbullah (di

Libanon), Hizbut Tahrir (di Yordania), Gerakan Jihad Islam (di Mesir), Jabhatul Ingadz Al Islami FIS (di Aljazair), Partai Islam PAS (di Malaysia), dan masih banyak lagi harakah Islam yang tersebar di Pakistan, India, Afghanistan, Turki dan tempat-tempat lain di negeri-negeri Islam. Adapun kelompok Al Liqa Al Islamiy (di Beirut) yang merupakan perkumpulan sekuler, tidak bisa dikelompokkan ke dalam harakah Islamiyah. Begitu pula Majlis Syi'i Tertinggi (di Beirut) yang juga merupakan perkumpulan sekuler, bukanlah merupakan harakah Islam. Contoh lain yang sama adalah harakah Al Ittijahul Islamiy di Tunisia (Harakah Nahdlah sekarang). Sebab, kelompok-kelompok seperti Al Liqa Al Islamiy, Majlis Syi'i Tertinggi, dan harakah Al Ittijahul Islamiy, semuanya menyerukan dan menyebarluaskan sekulerisme secara terang-terangan dan tujuannya bukan untuk melayani Islam. Tambahan lagi, metodanya tidak terikat dengan hukum-hukum Islam.Lihat Selengkapnya

Dari sisi gerakan dan organisasi massa, kita mengenal ada Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, al-Washliyyah, al-Irsyad, Nahdlatul Wathan, Perti, DDI, al-Khairat, Ijabi, dan lain-lain. Dalam organisasi kepemudaan, ada PMII, HMI, IMM, Hima Persis, PII, KAMMI, dan sejenisnya. Sedangkan dalam kelompok kepentingan, ada Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jamaah (pimpinan Jafar Umar Thalib), DDII, FPI, Hizbut Tahrir, KISDI, Lasykar Jihad, PPMI, Ikhwanul Muslimin, Majlis Mujahidin, dan lain-lain. Dalam partai politik, ada PKB, PNU, PKNU, PKS, PPP, PSI, PMB, PAN, PBB, dan lain-lain. Sedangkan dari sisi pemikiran, kita mengenal ada sejumlah kategori yang biasa dilekatkan dalam pemikiran Islam di Indonesia, yakni Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam neo-tradisionalis, Islam neo-modernis, Islam liberal, Islam post-tradisionalis, Islam radikal, Islam ekstrim, Islam moderat, Islam fundamentalis, Islam kanan, Islam kiri, dan sebagainya. Ragam gerakan dan pemikiran tersebut secara makro dan simplistis dapat dikategorikan menjadi dua saja, yakni, Pertama, Islam yang orientasi perjuangan dan cita-cita sosialnya menjunjung tinggi keluruhan Islam dan kaum muslimin (izzul Islm wal Muslimn), yakni Islam eksklusif. Dalam bacaan saya disini yang masuk dalam kategori ini secara umum adalah organisasi DDII, LDII, FPI, MMI, HTI, HT, Persis, dan sebagian orang Muhammadiyyah. Kedua, Islam yang berorientasi pada kerahmatan semesta (rahmatan lil lamn), yakni Islam inklusif. Masuk dalam kategori inklusif secara umum adalah organisasi NU, orang-orang (bukan keorganisasiannya) Muhammadiyyah, al-Washliyyah, Perti, al-Kahirat, dan Nahdlatul Wathan.

Hizbut tahrir
Kalimatu lHaq, uridu biha lbathil. Kalimatnya benar, tetapi digunakan untuk tujuan yang tidak benar. Pepatah itu mungkin dapat mewakili penjelasan terhadap maraknya fikrah (pemikiran) dan harakah (gerakan) yang mengatasnamakan Islam. Salah satunya adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kelompok Islam garis keras yang saat ini sedang mempropagandakan paham ajarannya kepada masyarakat, termasuk warga NU hingga ke desa-desa. Bagaimana gerakan ini muncul dan didirikan? Apa misi yang diembannya, serta apa saja penyimpangan yang harus diwaspadai? Tulisan ini dimaksudkan sebagai pembinaan internal terkait pembentengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah terhadap warga dan pengurus Nadhlatul Ulama.

Hizbut Tahrir Indonesia merupakan bagian dari jaringan internasional Hizbut Tahrir yang didirikan pada tahun 1953 di Jerussalem. Pendirinya adalah Taqiyuddin Al-Nabhani bersama para koleganya yang merupakan sempalan dari organisasi Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir. Al-Nabhani sendiri adalah lulusan Al-Azhar Mesir yang berprofesi sebagai guru sekolah agama dan hakim. Ia berasal dari Ijzim, Palestina Utara.

Hizbut Tahrir menahbiskan dirinya sebagai partai politik dengan Islam sebagai ideologinya dan kebangkitan bangsa Islam sebagai tujuannya. Meskipun selalu mengusung nama Islam, syariah dan dakwah, namun secara tegas, mereka mengatakan bukan sebagai organisasi kerohanian (seperti jamiyyah thoriqoh), bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan dan bukan pula lembaga social kemasyarakatan (Brosur HTI: Mengenal Gerakan Dakwah Internasional Hizbut Tahrir, DPP HTI, Jakarta, 2007). Hal ini jelas berbeda dengan Nahdlatul Ulama yang ditegaskan sebagai jamiyyah diniyyah-ijtimaiyyah (organisasi keagamaankemasyarakatan) dan bukan organisasi politik. Sistem keanggotaan merupakan ciri khas dari organisasi ini. Untuk mencapai tujuannya, para pemimpin organisasi ini mengambil bahan-bahan ideologis, yang mengikat anggotanya. Pada pelajar sekolah menengah, mahasiswa, serta para sarjana mendominasi latar belakang anggota organisasi ini. Namun tahun-tahun belakangan, organisasi ini telah menyebarkan target rekrutmen anggota ke masyarakat umum, khususnya pedesaan, termasuk kepada anggota dan warga Nahdlatul Ulama. Modus penyebaran dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan pengenalan, penyebaran dan pembaiatan (indoktrinasi) ide-ide dan pemikiran Hizbut Tahrir kepada masyarakat umum. Untuk menyebarkan itu, mereka giat mencetak dan menyebarkan media informasi yang dibagikan secara gratis dan berkala sebagaimana Buletin Dakwah Al-Islam yang disebarkan ke masjid-masjid, organisasi keagamaan dan tokoh-tokoh masyarakat. Mereka juga mengadakan kajian (halaqah) di masjid-masjid yang sudah berhasil dikuasai dengan menampilkan tematema yang sekilas luhur sebagamana Khilafah Islamiyah, Penjajahan Bangsa Melalui Perempuan, dan sebagainya. Selain itu, mereka aktif merekrut kader-kader militan yang tersebar hingga di kecamatan bahkan desa sebagai agen penyebaran ide baik melalui pamflet, bulletin dan majalah maupun penjelasan langsung door to door. Mereka juga memiliki media umum, sebagaimana majalah bulanan Al Waie, hingga situs internet www.hizbut-tahrir.or.id dan www.al-islam.or.id. Dalam media-media mereka, kerap mengusung slogan-slogan indah, sebagaimana dakwah Islam, khilafah Islamiyah, Kembali ke Syariat Islam dan Menerapkan Islam Secara Menyeluruh (Islam Kaffah). Dengan berbungkus slogan tersebut, ternyata mereka banyak menuai simpati, khususnya dari warga yang tidak teliti melihat gerakan ini. Gerakan Islam Politik-Radikal Hizbut Tahrir adalah salah satu di antara paket fikrah (pemikiran) dan harakah (gerakan) Islamiyah mutakhir luar negeri yang masuk ke Indonesia dalam kurun dasa warsa terakhir. Dari

gerakannya, jelas sekali mereka muncul dan terbentuk dari situasi politik dan perkembangan Islam di Timur Tengah, khususnya konflik Arab-Israel serta semangat anti Barat dan Amerika. Ketertindasan Islam di daerah konflik timur tengah khususnya di Palestina cukup mendorong mereka untuk membentuk pemerintahan islam internasional, yang sering disebut-disebut dengan istilah Khilafah Internasional. Dengan asumsi tersebut, maka seluruh umat Islam di seluruh dunia harus dimobilisasi untuk mendukung khilafah yang nantinya akan dipimpin oleh khalifah yang akan diangkat sebagai pemimpin Islam. Mereka menganggap kaum muslimin saat ini hidup di alam darul kufur (Negeri Kafir) hanya karena diterapkannya hukum-hukum Negara yang tidak berdasarkan Islam. Kondisi ini mereka rumuskan dengan cara menganalogkan secara sempit dengan periode Nabi SAW ketika di Makkah. Sebagai contoh, untuk Indonesia, mereka menganggap UUD 1945 dan Pancasila sebagai bagian dari hukum-hukum kufur yang oleh karena itu harus diganti, baik konstitusi dan Dasar Negara maupun pemerintahannya. Misi inilah yang berlawanan dengan Nahdlatul Ulama sebagai jamiyyah yang telah berhasil mengislamkan Indonesia sejak era walisongo. Dakwah NU lebih mengarah kepada pelaksanaan syariat Islam bagi warganya dan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Lihat Maklumat Nahdlatul Ulama Keputusan Konferensi Besar NU Tahun 2006). Bahkan melalui Muktamar NU pada tahun 1935 di Banjarmasin, NU telah menyatakan Indonesia (yang waktu itu masih dikuasai oleh penjajahan Belanda) sebagai Darul Islam (Negara yang dihuni oleh ummat Islam) dimana ada kebebasan bagi warganya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan aturan syariat Islam, tanpa harus mempermasalahkan struktur negara. Sebaliknya, pandangan radikal Hizbut Tahrir memaksa mereka untuk selalu memandang struktur Negara (politik) sebagai tujuan. untuk merealisasikan misinya, mereka menetapkan tiga tahapan yang bila diamati dapat dikatagorikan sebagai sebuah gerakan kudeta berbungkus Islam terhadap pemerintahan yang sah. Dimulai dengan tahapan pembinaan dan pengkaderan (Marhalah At-Tatsqib) yang diambil dari mereka para simpatisannya, kemudian dilanjutkan tahapan berinteraksi dengan ummat (Marhalah Tafaul Maal Ummah). Kalau dua tahap itu berhasil mereka lampaui, barulah disiapkan tahapan ketiga, yakni pengambilalihan kekuasaan (kudeta), yang dikemas dalam bahasa Marhalah Istilam Al-Hukm. Jelas sekali, organisasi ini murni organisasi politik yang berorientasi kepada kekuasaan (walaupun dikemas dengan tema khilafah Islamiyah) sehingga tidak dapat disejajarkan dengan jamiyah diniyyah-ijtimaiyyah sebagaimana Nahdlatul Ulama. Penyimpangan Ajaran dan Aqidah Untuk mendukung misi politiknya, maka Hizbut Tahrir menggunakan pemahaman syarI yang dapat mendukung membenarkan langkah-langkah politiknya. Salah satunya, mereka selalu mendesak kaum Muslim untuk berijtihad dalam mengkaji syariat secara terus menerus. Mereka juga meniadakan semua bentuk ijma (konsensus) kecuali ijma para sahabat Nabi saw, dan menolak illat (alasan rasional) sebagai dasar bagi qiyas (analog).

Publikasi utama organisasi ini antara lain adalah Al-Takattu al-Hizbi (Formasi Partai), AlSyakhsiyah al-Islamiyah (Cara Hidup Islam), Nidhom al-Islam (Tatanan Islam), Mafahim Hizbu al-Tahrir (Konsep-Konsep Partai/Organisasi Pembebasan Islam), Nidhomu al-Hukmi fi al-Islam (Sistem Pemerintahan Dalam Islam), Nadharat Siyasiyah li Hizbi al-Tahrir (Refleksi-Refleksi Politis Partai Pembebasan Islam), dan Kaifa Hudimat al-Khilafah (Bagaimana Kekhilafahan Dihancurkan). Menurut kesaksian seorang ulama Ahlus sunnah wal jamaah, yakni Syech Muhamad Abdullah al-Syiby al-Maruf bi al-Habasyi dalam kitabnya Al-Aroh al-Imaniyah fi Mafasid alTahririyah, dikatakan Pendiri organisasi ini telah mengaku sebagai mujtahid mutlak dan melakukan penyelewengan terhadap ayat-ayat al-Quran dan hadits, serta mengingkari ijma di berbagai persoalan pokok agama dan persoalan furu agama. Syech Muhammad juga dapat membuktikan beberapa kebathilan aqidah Hizbut Tahrir dari sisi ajaran dengan mengutip kitab mereka, yakni Kitab Syakhsiyah Islamiyah. Dalam juz l hal 7172, disebutkan: Dan semua perbuatan manusia ini tidak ada campur tangan qodlo (kepastian) Allah. Karena setiap manusia dapat menentukan kemauan dan keinginannya sendiri. Lebih lanjut pada halaman 74 tertulis: Maka mengkaitkan pahala atau siksa Allah dengan hidayah atau kesesatan menunjukkan bahwa hidayah atau kesesatan adalah perbuatan manusia sendiri bukan dari Allah swt . Pendapat sebagaimana dalam kitab mereka merupakan pendapat kaum Qodariyah. Sementara qadariyah adalah salah satu firqah yang menyimpang dari ajaran Ahlussunnah wal jamaah, karena bertentangan dengan al-Quran dan hadits. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, sesungguhnya beliau berkata: Sesungguhnya perkataan kaum Qodariyah adalah kufur. Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dan Imam Malik bin Anas dan Imam AwzaI: Sesungguhnya mereka itu diminta untuk bertobat, jika tidak mau maka dibunuh. Diriwayatkan dari Mamar, dari Thowus, dari ayahnya: Sesungguhnya seorang laki-laki telah berkata kepada Ibnu Abbas: Banyak orang mengatakan perbuatan buruk bukan dengan qodar (kepastian) Allah swt. Maka Ibnu Abbas menjawab: Yang membedakan aku dengan pengikut Qodariyah adalah ayat ini: (sambil membacakan Al Quran Surat Al Anam ayat 149, yang artinya) Katakanlah: Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.. Hizbut Tahrir juga tercatat pernah berfatwa tentang pergaulan yang bertentangan dengan konsep makarimal akhlaq. Dalam salah satu edaran fatwanya, tahun 1969 mereka menulis: Tidak haram hukumnya berjalan dengan tujuan akan berzina atau berbuat mesum dengan seseorang. Yang tergolong maksiyat adalah perbuatannya. Selanjutnya, dalam edaran fatwa Hizbut Tahrir tertanggal 24 Rabiul awal 1390 H, pemimpin mereka menghalalkan berciuman meskipun disertai dengan syahwat. Sementara Dalam edaran fatwa tanggal 8 Muharam 1390 H, ditulis: Dan barang siapa mencium orang yang baru tiba dari bepergian, baik laki-laki atau perempuan, serta tidak untuk bermaksud melakukan tujuan zina, maka hukumnya adalah halal.

Bukan itu saja, dalam hal penetapan hokum syari, mereka cenderung ceroboh dan menganggap enteng. Dalam kitab Al-Tafkir hal. 149, dijelaskan: Sesungguhnya apabila seseorang mampu menggali hukum dari sumbernya, maka telah menjadi mujtahid. Oleh karenaya, maka menggali hokum atau ijtihad dimungkinkan bagi siapapun, dan mudah bagi siapaun, apalagi setelah mempunyai beberapa kitab lughot (tata bahasa arab) dan fiqh Islam. Perkataan ini mengesankan terbukanya kemungkinan untuk berijtihad meskipun dengan modal pengetahuan yang sedikit (muhibbul aman/ahmad hakim jayli)

You might also like