You are on page 1of 7

14

besi untuk pembentukan haemoglobin. Keadaan kekurangan zat besi pada ibu hamil akan menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan baik sel tubuh maupun sel otak janin ( Depkes , 2009) . 2.1.6 Transfer zat besi ke janin Menrut Allen ( 2007) Transfer zat besi dari ibu ke janin di dukung oleh peningkatan substansial dalam penyerapan zat besi ibu selama kehamilan dan diatur oleh plasenta. Serum fertin meningkat pada umur kehamilan 12 25

minggu, Kebanyakan zat besi ditransfer ke janin setelah umur kehamilan 30 minggu yang sesuai dengan waktu puncak efisiensi penyerapan zat besi ibu. Serum transferin membawa zat besi dari sirkulasi ibu untuk transferin reseptor yang terletak pada permukaan apikal dan sinsitiotropoblas plasenta, holotransferin adalah endocytosied ; besi dilepaskan dan apotransferin dikembalikan ke sirkulasi ibu. Zat besi kemudian bebas mengikat fertin dalam sel sel plasenta yang akan dipindahkan ke apotransferrin yang masuk dari sisi plasenta dan keluar sebagai holotransferrin ke dalam sirkulasi janin. Plasenta sebagai transfortasi zat besi dari ibu ke janin. Ketika status gizi ibu yang kurang, jumlah reseptor transferrin plasenta meningkat sehingga zat besi lebih banyak diambil oleh plasenta dan ditransfortasi untuk janin serta zat besi yang berlebihan untuk janin dapat dicegah oleh sintesis plasenta fertin. 2.1.7 Pengaruh anemia terhadap kehamilan Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu, baik dalam kehamilan, persalinan, maupun nifas dan masa selanjutnya. Penyulitpenyulit yang dapat timbul akibat anemia adalah : keguguran (abortus), kelahiran

15

prematurs, persalinan yang lama akibat kelelahan otot rahim di dalam berkontraksi (inersia uteri), perdarahan pasca melahirkan karena tidak adanya kontraksi otot rahim (atonia uteri), syok, infeksi baik saat bersalin maupun pasca bersalin, serta anemia yang berat (<4 gr%) dapat menyebabkan dekompensasi kordis. Hipoksia akibat anemia dapat menyebabkan syok dan kematian ibu pada persalinan (Wiknjosastro, 2005; Saifudin, 2006 ). Pengaruh anemia pada kehamilan. Risiko pada masa antenatal: berat

badan kurang, plasenta previa, eklamsia, ketuban pecah dini, anemia pada masa intranatal dapat terjadi tenaga untuk mengedan lemah, perdarahan intranatal, dapat terjadi subinvolusi. Sedangkan komplikasi

shock, dan masa pascanatal

yang dapat terjadi pada neonatus : premature, apgar scor rendah, gawat janin (Anonim,tt). Bahaya pada Trimester II dan trimester III, anemia dapat menyebabkan terjadinya partus premature, perdarahan ante partum, gangguan pertumbuhan janin dalam rahim, asfiksia intrapartum sampai kematian, gestosis dan mudah terkena infeksi, dan dekompensasi kordis hingga kematian ibu (Mansjoer dkk., 2008 ). Bahaya anemia pada ibu hamil saat persalinan, dapat menyebabkan gangguan his primer, sekunder, janin lahir dengan anemia, persalinan dengan tindakan-tindakan tinggi karena ibu cepat lelah dan gangguan perjalanan persalinan perlu tindakan operatif (Mansjoer dkk., 2008). Anemia kehamilan dapat menyebabkan kelemahan dan kelelahan sehingga akan mempengaruhi ibu saat mengedan untuk melahirkan bayi ( Smith et al., 2010 ).

16

Bahaya anemia pada ibu hamil saat persalinan: gangguan his-kekuatan mengejan, Kala I dapat berlangsung lama dan terjadi partus terlantar, Kala II berlangsung lama sehingga dapat melelahkan dan sering memerlukan tindakan operasi kebidanan, Kala III dapat diikuti retensio plasenta, dan perdarahan post partum akibat atonia uteri, Kala IV dapat terjadi perdarahan post partum sekunder dan atonia uteri. Pada kala nifas : Terjadi subinvolusi uteri yang menimbulkan perdarahan post partum, memudahkan infeksi puerperium, pengeluaran ASI berkurang, dekompensasi kosrdis mendadak setelah persalinan, anemia kala nifas, mudah terjadi infeksi mammae ( Shafa, 2010 ; Saifudin, 2006) Hasil penelitian oleh Indriyani dan Amirudin ( 2006) di RS Siti Fatimah Makasar menunjukkan bahwa faktor risiko anema ibu hamil < 11 gr %

mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian partus lama. Ibu yang mengalami kejadian anemia memiliki risiko mengalami partus lama 1,681 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia tapi tidak bermakna secara statistik. Ini diduga karena terjadi ketidakseragaman pengambilan kadar Hb dan pada kontrolnya ada yang kadar Hb nya diambil pada trimester 1 dan bisa saja pada saat itu ibu sedang anemia. Ibu hamil yang anemia bisa mengalami gangguan his/gangguan mengejan yang mengakibatkan partus lama. Kavle et al, ( 2008) pada penelitianya menyatakan bahwa perdarahan pada ibu setelah melahirkan berhubungan dengan anemia pada kehamilan 32 minggu. Kehilangan darah lebih banyak pada anemia berat dan kehilangan meningkat sedikit pada wanita anemia ringan dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia .

17

Pertumbuhan plasenta dan janin terganggu disebabkan karena terjadinya penurunan Hb yang diakibatkan karena selama hamil volume darah 50 %

meningkat dari 4 ke 6 L, volume plasma meningkat sedikit yang menyebabkan penurunan konsentrasi Hb dan nilai hematokrit. Penurunan ini akan lebih kecil pada ibu hamil yang mengkonsumsi zat besi. Kenaikan volume darah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari plasenta dan untuk penyediaan cadangan saat kehilangan darah waktu melahirkan. Selama kehamilan rahim, plasenta dan janin memerlukan aliran darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (Smitht et al., 2010 ). Pertumbuhan janin yang lambat, kekurangan gizi pada janin, kelahiran prematur dan berat badan bayi lahir yang rendah, yaitu sebesar 38,85%, merupakan penyebab kematian bayi. Sedangkan penyebab lainnya yang cukup banyak terjadi adalah kejadian kurangnya oksigen dalam rahim (hipoksia intrauterus) dan kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir (asfiksia lahir), yaitu 27,97%. Hal ini menunjukkan bahwa 66,82% kematian perinatal dipengaruhi pada kondisi ibu saat melahirkan. Jika dilihat dari golongan sebab sakit, kasus obstetri terbanyak pada tahun 2005 adalah disebabkan penyulit kehamilan, persalinan dan masa nifas lainnya yaitu 56,09% ( Depkes, 2009 ). Budwiningtjastuti dkk. ( 2005) melakukan penelitian anemia pada ibu

hamil tri wulan III dan pengaruhnya terhadap kejadian rendahnya Scor Apgar, didapatkan hasil bahwa ibu hamil dengan anemia < 11 gr % meningkatkan risiko rendahnya scor Apgar. Demikian pula penlitian yang dilakukan di kabupaten

18

Labuan Batu

oleh Simanjuntak ( 2008 ) meneliti hubungan anemia pada ibu anemia dari 162 kasus.

hamil dengan kejadian BBLR didapatkan 86 (53 %)

Dan yang melahirkan bayi dengan BBLR 36.0 %. Hasil penelitian Karafsahin et al. (2007) menunjukkan bahwa ibu hamil dengan anemia , empat kali berisiko lebih

melahirkan bayi premature dan 1.9 kali berisiko melahirkan bayi berat

lahir rendah (BBLR) dari pada ibu hamil yang tidak anemia. 2.1.8 Pencegahan dan penanganan anemia pada ibu hamil Pencegahan anemia pada ibu hamil dapat dilakukan antara lain dengan cara: meningkatkan konsumsi zat besi dari makanan, mengkonsumsi pangan hewani dalam jumlah cukup, namun karena harganya cukup tinggi sehingga masyarakat sulit menjangkaunya. Untuk itu diperlukan alternatif yang lain untuk mencegah anemia gizi besi, memakan beraneka ragam makanan yang memiliki zat gizi saling melengkapi termasuk vitamin yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi, seperti vitamin C. Peningkatan konsumsi vitamin C sebanyak 25, 50, 100 dan 250 mg dapat meningkatkan penyerapan zat besi sebesar 2, 3, 4 dan 5 kali. Buah-buahan segar dan sayuran sumber vitamin C, namun dalam proses pemasakan 50 - 80 % vitamin C akan rusak. Mengurangi konsumsi makanan yang bisa menghambat penyerapan zat besi seperti : fitat, fosfat, tannin ( Wiknjosastro, 2005 ; Masrizal, 2007). Penanganan anemia defisiensi besi adalah dengan preparat besi yang diminum (oral) atau dapat secara suntikan (parenteral). Terapi oral adalah dengan pemberian preparat besi : fero sulfat, fero gluconat, atau Na-fero bisitrat. Pemberian preparat 60 mg/hari dapat menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr% per

19

bulan. Sedangkan pemberian preparat parenteral adalah dengan ferum dextran sebanyak 1000 mg (20 ml) intravena atau 210 ml secara intramuskulus, dapat meningkatkan hemoglobin relatif cepat yaitu 2gr%. Pemberian secara parenteral ini hanya berdasarkan indikasi, di mana terdapat intoleransi besi pada traktus gastrointestinal, anemia yang berat, dan kepatuhan pasien yang buruk. Pada daerah-daerah dengan frekuensi kehamilan yang tinggi dan dengan tingkat pemenuhan nutrisi yang minim, seperti di Indonesia, setiap wanita hamil haruslah diberikan sulfas ferosus atau glukonas ferosus sebanyak satu tablet sehari selama masa kehamilannya. Selain itu perlu juga dinasehatkan untuk makan lebih banyak protein dan sayur-sayuran yang mengandung banyak mineral serta vitamin (Sasparyana, 2010 ; Wiknjosastro 2005). Kenaikan volume darah selama kehamilan akan meningkatkan kebutuhan Fe atau Zat Besi. Jumlah Fe pada bayi baru lahir kira-kira 300 mg dan jumlah yang diperlukan ibu untuk mencegah anemia akibat meningkatnya volume darah adalah 500 mg. Selama kehamilan seorang ibu hamil menyimpan zat besi kurang lebih 1.000 mg termasuk untuk keperluan janin, plasenta dan hemoglobin ibu sendiri. Kebijakan nasional yang diterapkan di seluruh Pusat Kesehatan Masyarakat adalah pemberian satu tablet besi sehari sesegera mungkin setelah rasa mual hilang pada awal kehamilan. Tiap tablet mengandung FeSO4 320 mg (zat besi 60 mg) dan asam folat 500 g, minimal masing-masing 90 tablet. Tablet besi sebaiknya tidak diminum bersama teh atau kopi, karena akan mengganggu penyarapannya ( Depkes RI, 2009). Menurut Shafa (2010) kebutuhan Fe selama

20

ibu hamil dapat diperhitungkan untuk peningkatan jumlah darah ibu 500 mgr, pembentukan plasenta 300 mgr, pertumbuhan darah janin 100 mgr. Sloan et al. ( 1992) ; cook & Redy ( 1996), dan Yp ( 1996) dalam Galegos (2000) membuktikan bahwa suplemen zat besi dapat meningkatkan kadar hemoglobin selama kehamilan. Sedangkan Brien et al. ( 1999) menyatakan

dengan suplemen Fe dibuktikan serum feritin lebih meningkat secara signifikan disamping itu serum besi lebih tinggi ditemukan pada kelompok pemberian Fe dibandingkan kelompok kontrol. 2.2 Plasenta 2.2.1 Definisi Plasenta merupakan organ multifungsi yang menyediakan oksigen,

homeostasis cairan, nutrisi dan sinyal endokrin bagi janin selama dalam kandungan sampai terjadinya persalinan. Perfusi plasenta yang tidak adekuat merupakan hal yang fundamental dalam terjadinya PJT (pertumbuhan janin terhambat). Gangguan perfusi plasenta yang akan menyebabkan hipoksia intraplasenta akan mengakibatkan berkurangnya transfer oksigen dan nutrien dari ibu ke janin sehingga oksigenasi dan pertumbuhan janin akan terganggu. Kenyataan ini menandai adanya kerusakan endotel atau disfungsi endotel pada sirkulasi uteroplasenta akibat dari hipoksia intraplasenta (Koesoemawati,2002). Plasenta adalah organ yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan kehamilan . karena plaseta berperan untuk pertukaran O2 dan transfer nutrisi dalam pertumbuhan janin. Struktur dan fungsi plasenta akan sangat menentukan pertumbuhan janin. Untuk pertumbuhan janin dibutuhkan penyaluran zat asam,

You might also like