You are on page 1of 3

2.3.

3 Teori Partisipasi Teori partisipasi bertitik tolak dari suatu pendekatan partisipasi masyarakat lokal yang dikemukakan oleh Coh Cornea dan Brando dalam Darmayanti (2009: 25), partisipasi masyarakat lokal digambarkan memberi peluang kepada setiap orang terlibat langsung berpartisipasi secara efektif dalam kegiatan pembangunan. Wewenang pada orang untuk memobilisasi kemampuan mereka menjadi pemeran sosial dan bukan objek pasif, membuat keputusan dan melakukan kontrol terhadap kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi kehidupan secara individu atau berkelompok. Malhotra menambahkan partisipasi rakyat dimaksudkan partisipasiberkelompok. Malhotra menambahkan partisipasi rakyat dimaksudkan partisipasi sendiri menurut kehendak sendiri secara suka rela, partisipasi terjadi secara spontan atau digerakkan dan tidak dipaksa. Rakyat melakukan partisipasi dengan kesadaran penuh karena secara individu wajib bertanggung jawab melakukan aktivitas dan kegiatan secara bersama-sama di masyarakat untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan bersama. Menurut Pretty dan Guitj dalam Mikkelsen (2001: 63) bahwa pendekatan pembangunan partisipatoris harus dimulai dari orang-orang yang paling mengetahui tentang sistem kehidupan mereka sendiri. Kemudian Jameison, dalam Mikkelsen, 2001:63) menyatakan munculnya paradigma pembangunan parsipatoris mengindikasikan adanya dua perspektif, yaitu (1) penglibatan masyarakat dalam pemilihan, perancangan, perencanaan, dan pelaksanaan program atau proyek yang akan mewarnai hidup mereka, sehingga dengan demikian dapatlah dijamin bahwa persepsi masyarakat setempat, pola sikap dan pola pikir serta nilai-nilai dan pengetahuannya ikut dipertimbangkan secara penuh; (2) membuat umpan balik (feedback) yang pada hakikatnya merupakanbagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan pembangunan Menurut

Jules Pretty (dalam Mowforth & Munt, 2000:245) ada tujuh karakteristik (tipologi) partisipasi sebagai berikut: 1. Partisipasi manipulatif. Ini merupakan bentuk partisipasi yang lemah. Karakteristiknya adalah masyarakat seolah-olah dilibatkan dan diberi kedudukan dalam organisasi resmi, namun mereka tidak dipilih dan tidak memiliki kekuatan. 2. Partisipasi pasif. Masyarakat menerima pemberitahuan apa yang sedang terjadi dan telah terjadi, namun sifatnya hanya sepihak, tampa memperhatikan tanggapan masyarakat dan hanya terbatas dikalangan tertentu saja. 3. Partisipasi konsultatif. Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi, melakukan dengar pendapat dan orang luar hanyamendengarkan, menganalisis masalah dan pemecahannya. Namun belum ada peluang untuk membuat keputusan bersama. Para professional tidak berkewajiban untuk memasukkan pandangan masyarkat untuk ditindaklanjuti. 4. Partisipasi insentif. Masyarakat berpartisipasi dengan menyumbangkan tenaga dan jasa untuk mendapatkan imbalan, baik berupa uang atau materi lainnya. Mereka tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimen yang dilakukan, akibatnya tidak menguasai teknologi dan tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan tersebut setelah insentif dihentikan. 5. Partisipasi fungsional. Partisipasi yang diawasi oleh kelompok luar sebagai sarana untuk mencapai tujuan, terutama untuk mengurangipembiayaan. Mayarakat dapat berpartisipasi dengan bentuk kelompokkelompok untuk mencapai tujuan proyek. Keterlibatan masyarakat di sini secara interaktif dan terlibat langsung dalam pengambilan keputusan namun cenderung setelah keputusan dibuat oleh kelompok luar. Istilah lainnya masyarakat masih berpartisipasi demi melayani kepentingan orang luar.

6. Partisipasi interaktif. Masyarakat berperan dalam analisis perencanaaan kegiatan, pembentukan dan penguatan kelembagaan setempat. Partisipasi dipandang sebagai hak, dan bukan cara untuk mencapai tujuan semata. Mereka memiliki peran mengontrol keputusan dan menentukan seberapa besar sumber daya yang tersedia dapat digunakan, serta memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan. 7. Mandiri (self mobilization) masyarakat berpartisipasi dengan cara mengambil inisiatif secara bebas untuk mengubah system, mengembangkan kontak dengan lembaga lain untuk mendapatkan bantuan, dukungan teknis dan sumber daya yang ada/digunakan. Kemandirian ini akan berkembang jika pemerintah dan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) memberi dukungan (Riyastiti, 2010:22-24).

You might also like