You are on page 1of 16

TUGAS MAKALAH VII MATA KULIAH PERENCANAAN WILAYAH PARTISIPATIF

STRATEGI PENGELOLAAN TEMPAT PEMROSESAN AKHIR SAMPAH (TPA) DILIHAT DARI ASPEK ADMINISTRATIF DAN FUNGSIONAL PENATAAN RUANG

OLEH: SUPRIYATNO NRM : A156120214

PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH (PWL) SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

STRATEGI PENGELOLAAN TEMPAT PEMROSESAN AKHIR SAMPAH (TPA) DILIHAT DARI ASPEK ADMINISTRATIF DAN FUNGSIONAL PENATAAN RUANG 1
Oleh Supriyatno
2

ABSTRAK
Makalah ini mencoba untuk memberikan gambaran mengenai keberadaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di suatu wilayah dikaitkan dengan pertimbangan perencanaan wilayah baik dari aspek administrative maupun fungsional. Peningkatan jumlah sampah seiring dengan pertumbuhan penduduk membutuhkan sarana TPA yang memadai, sedangkan ketersediaan lahan dari masing-masing daerah untuk dialokasikan sebagai TPA semakin terbatas. Hal ini mendorong adanya pemikiran untuk mengembangkan konsep TPA regional, sehingga TPA yang pada awalnya hanya mempunyai fungsi ruang secara administrative pada akhirnya perlu dipikirkan untuk ditingkatkan menjadi fungsi ruang yang bersifat fungsional. Pemikiran ini membutuhkan adanya perencanaan wilayah partisipatif yang melibatkan seluruh stakeholder dari masing-masing wilayah sehingga tidak akan menimbulkan permasalahan di kemudian harinya. Dan perencanaan ini juga harus dilandasi dengan suatu paradigm pembangunan berkelanjutan, sehingga keberadaan TPA selain secara lingkungan aman juga tidak mematikan potensi ekonomi bagi masyarakat yang mendapatkan manfaat dari sampah, sekaligus dapat meminimalkan potensi konflik sosial diantara anggota masyarakat. Sedangkan untuk mengawal pelaksanaan dan pengawasan nya, perlu pemberdayaan kelembagaan lokal di masingmasing wilayah sehingga program TPA regional ini dapat berkelanjutan..

PENDAHULUAN
Latar Belakang Secara geografis Kota Tangerang terletak pada 10636 10642 Bujur Timur (BT) dan 66 - 6 Lintang Selatan (LS), dengan luas wilayah 183,78 km2 (termasuk luas Bandara Soekarno-Hatta sebesar 19,69 km2). Jika diperhatikan dari posisi geografis, Kota Tangerang memiliki letak strategis karena berada diantara DKI Jakarta, Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang. Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor

1 2

Makalah Praktikum-7 TSL 565 PS PWL, Tahun 2013 Mahasiswa Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah(PS PWL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, NIM A156120214, Tahun 2013
1

Supriyatno (A156120214)

13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi), Kota Tangerang merupakan salah satu daerah penyangga Ibukota Negara DKI Jakarta. Posisi strategis tersebut menjadikan perkembangan Kota Tangerang berjalan dengan pesat. Pada satu sisi, menjadi daerah limpahan dari berbagai kegiatan di Kota Jakarta, di sisi lainnya Kota Tangerang menjadi daerah kolektor pengembangan wilayah Kabupaten Tangerang sebagai daerah dengan sumber daya alam yang produktif. Pesatnya perkembangan Kota Tangerang, didukung pula dengan sistem jaringan transportasi terpadu dengan wilayah Jabodetabek, serta aksesibilitas dan konektivitas berskala nasional dan internasional yang baik sebagaimana tercermin dari keberadaan Bandara International Soekarno-Hatta. Pada umumnya TPA hanya dijadikan tempat untuk memindahkan masalah bukan menyelesaikan masalah mengingat pada umumnya TPA di Indonesia masih dilakukan dengan cara cara kuno yang berupa open dumping saja. Disamping itu, komitmen yang dibangun kadang tidak mendapat dukungan dari semua stakeholder serta permasalahan tersebut sering kali hanya menjadi tanggung jawab pengelola di bidang persampahan saja. Kegiatan TPA juga menimbulkan dampak gangguan yang meliputi; kebisingan, ceceran sampah, debu, bau, dan timbulnya vector vector penyakit. Belum lagi adanya perubahan rona lingkungan yang dapat mengakibatkan peningkatan terjadinya pencemaran udara yang berakumulasi dengan timbulnya gas H2S dan CH4 serta partikulat debu yang sewaktu waktu dapat menimbulkan ledakan akibat sistem pengelolaan yang tidak benar karena sampah tidak diproses. Sampah juga berpotensi menimbulkan konflik sosial dengan masyarakat yang ada di sekitarnya antara kelompok masyarakat yang hidupnya sebagai pemulung sampah dengan kelompok masyarakat yang merasa tercemari akibat pengelolaan sampah yang tidak sempurna dan tidak ramah lingkungan sehingga dampak lingkungan yang akan terjadi mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan hidup seperti yang saat ini telah terjadi di TPA. Sejalan dengan pertambahan penduduk yang disertai dengan tingginya arus urbanisasi memiliki korelasi yang sangat signifikan dengan semakin tingginya volume sampah yang harus dikelola setiap hari. Kondisi tersebut dapat bertambah sulit bagi setiap Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengingat sangat terbatasnya lahan untuk Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Keterbatasan lahan untuk TPA ini dialami oleh Pemerintah Daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Tangerang, yaitu Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Hal ini mendorong Pemerintah Daerah tersebut intensif melakukan pendekatan ke Pemerintah Kota Tangerang untuk dapat ikut memanfaatkan lahan TPA tersebut. Tetapi pendekatan ini tidak disepakati oleh Pemerintah Kota Tangerang karena berbenturan dengan Perda No. 03 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Sampah yang melarang untuk memasukkan sampah dari luar Kota Tangerang. Perumusan Masalah Dengan latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Dengan tidak disepakatinya keinginan Pemerintah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan untuk ikut memanfaatkan TPA Kota Tangerang,

Supriyatno (A156120214)

mengakibatkan adanya lahan-lahan TPA liar di sekitar TPA eksisting yang menampung sampah dari luar Kota Tangerang; 2. Adanya arahan dari Perda No. 23 Tahun 2000 tentang RTRW Kota Tangerang yang menyatakan untuk memindahkan TPA yang ada sekarang ke lokasi baru di luar Kota Tangerang (Kabupaten Tangerang), berpotensi memunculkan penolakan masyarakat Kota Tangerang sendiri yang merasa mendapatkan manfaat dari keberadaan TPA saat ini serta penolakan dari masyarakat Kabupaten Tangerang yang merasa tercemari dengan sampah yang berasal dari luar wilayah mereka. Tujuan Adapun tujuan makalah ini adalah untuk mengkaji keberadaan TPA dengan fungsinya yang khusus untuk menampung sampah Kota Tangerang serta peluang untuk mengembangkan menjadi TPA regional
Lokasi TPA eksisting

Sumber : Masterplan Persampahan Kota Tangerang Gambar 1 Peta Orientasi TPA Kota Tangerang

KERANGKA PEMIKIRAN (THEORETICAL FRAMEWORK)


Pergeseran Paradigma Pembangunan Paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia, teori demokrasi maupun teori-teori pemberdayaan mengajarkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan esensi dasar dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Alasan-alasan

Supriyatno (A156120214)

utama yang mendasari pandangan tersebut menurut Diana Conyers (1994 : hal. 154) antara lain : (1) Partisipasi masyarakat dibutuhkan untuk mensukseskan program dan proyekproyek pembangunan karena merupakan suatu alat dalam memperoleh informasi akan kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat; (2) Keterlibatan masyarakat dalam proses persiapan dan perencanaan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proyek atau program pembangunan karena akan muncul rasa memiliki terhadap proyek tersebut; (3) Timbul suatu anggapan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pembangunan di daerah mereka merupakan suatu hak demokrasi. Dalam setiap proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Indonesia secara eksplisit sudah diamanatkan untuk mengedepankan partisipasi masyarakat sejak berdirinya negara ini. Landasan yuridis yang mempertegas pentingnya partisipasi ini tertuang dalam Undang-Undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang menjamin kepastian partisipasi masyarakat dalam setiap proses perencanaan pembangunan dan keterpaduan antara pembangunan di daerah dengan arah kebijakan pembangunan nasional. Berdasarkan UU Nomor 25/2004 dan Surat Edaran (SE) Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Dalam Negeri (Nomor 1354/M.PPN/03/2004, 050/744/SJ), proses perencanaan pembangunan di Kabupaten/ Kota harus dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh komponen yang ada di masyarakat. Perencanaan partisipatif merupakan perencanaan yang melibatkan semua (rakyat) dalam rangka memecahkan masalah yang dihadapi yang bertujuan untuk mencapai kondisi yang diinginkan,. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Abe (2002 : hal. 81) sebagai berikut :
Perencanaan partisipatif adalah perencanaan yang dalam tujuannya melibatkan kepentingan rakyat, dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik secara langsung maupun tidak langsung. Tujuan dan cara harus dipandang sebagai satu kesatuan. Suatu tujuan untuk kepentingan rakyat dan bila dirumuskan tanpa melibatkan masyarakat, maka akan sulit dipastikan bahwa rumusan akan berpihak pada rakyat.

Sejalan dengan adanya pergeseran paradigma pembangunan, dimana pendekatanpendekatan mengenai perencanaan pembangunan mulai bergeser dari yang semula berpusat-pada-produksi menjadi berpusat-pada-rakyat, keterlibatan masyarakat menjadi sangatlah penting. Seperti yang ditunjukkan pada gambar (2) di bawah, pendekatanpendekatan pembangunan yang berpusat-pada-rakyat mengutamakan adanya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat serta munculnya keswadayaan lokal. Dengan demikian perencanaan partisipatif yang memfokuskan pada keterlibatan masyarakat dan keswadayaan lokal, yang ditunjukkan dengan proses perencanaan yang lahir dari bawah (bottom up), merupakan salah satu jenis perencanaan pembangunan yang cukup mewakili fenomena pergeseran paradigma ini.

Supriyatno (A156120214)

Gambar 2. Pergeseran Paradigma Pembangunan

Pembangunan Berkelanjutan Seiring dengan perkembangan perspektif manusia, pengelolaan sumberdaya senantiasa menyesuaikan serta dapat mengalami perubahan pada tujuan, strategi dan bentuk-bentuk kegiatannya sehingga menjadi suatu upaya yang dinamis. Oleh karena itu pemanfaatan sumber daya harus memperhatikan dimensi lain agar lebih komprehensif dan mempunyai konsep-konsep pembangunan yang berkelanjutan. Paradigma pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk meniadakan atau meminimalisir persoalan lingkungan dengan menggeser pendekatan pembangunan yang hanya berdasarkan pertumbuhan dan kemajuan ekonomi semata, menjadi sebuah pendekatan yang lebih holistik dan integratif dengan memberi perhatian serius serta mensinkronkan dan memberi bobot yang sama kepada pembangunan sosial budaya dan pembangunan lingkungan hidup. Pembangunan ekonomi, sosial budaya dan lingkungan hidup harus dipandang sebagai satu hal yang terkait erat satu sama lain dan tidak boleh dipisahkan atau dipertentangkan satu dengan yang lainnya. Gangguan terhadap mata rantai ekosistem akibat kerusakan lingkungan hidup serta berkurangnya sumber daya alam dan energi ini salah satunya disebabkan oleh kegiatan perekonomian yang menjadikan sumber daya alam dan energi menjadi modal utama berlangsungnya proses pembangunan ekonomi. Keberpihakan akan kemajuan ekonomi inilah yang mengakibatkan sumber daya alam dan energi menjadi korban bagi kemajuan pembangunan. Menyadari akan hal tersebut maka aspek kelestarian lingkungan hidup untuk kesinambungan kehidupan antar generasi menjadi komitmen mutlak yang mendasari setiap kebijakan pengelolaan lingkungan hidup setiap negara di masa kini maupun masa mendatang. Aktualisasi komitmen ini diharapkan mampu diimplementasikan setiap negara karena dalam permasalahan lingkungan sudah tidak mengenal lagi akan batas-batas negara atau lintas negara dan bersifat global, sehingga masalah lingkungan hidup yang terjadi di suatu negara dapat memberikan dampak buruk bagi negara lain. Hal ini diperlukan agar dapat mengantisipasi segala akibat yang akan terjadi sehingga dapat memperkecil malapetaka lingkungan bagi keseluruhan umat manusia. Dalam pembangunan berkelanjutan, selain komponen lingkungan yang telah menjadi perhatian utama, komponen sosial tidak serta merta dapat diabaikan begitu saja.
Supriyatno (A156120214) 5

Menurut Michael M. Cernea (1993), kegagalan untuk mengenali peran "aktor sosial" sebagai salah satu faktor yang menentukan dapat menggagalkan banyak program pembangunan. Menempatkan aspek manusia sebagai unsur utama dalam kebijakankebijakan dan program investasi pembangunan merupakan suatu keharusan. Keberlanjutan seharusnya dibangun dengan mengatur komponen sosial dan ekonomi secara proposional. Menurut pespektif ahli sosiologi, terdapat dua elemen pendekatan sosial yang dapat membantu dalam upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan yaitu: Pertama, adanya seperangkat konsep yang dapat membantu menjelaskan perilaku sosial, hubungan antar orang, kompleksitas bentuk-bentuk organisasi sosial, pengaturan kelembagaan serta budaya, motif, dorongan dan nilai-nilai yang mengatur perilaku antar individu dan terhadap sumber daya alam sehingga menghasilkan suatu organisasi sosial. Kedua, adanya seperangkat teknik sosial yang dapat membentuk perilaku sosial yang terkoordinasi, mencegah perilaku yang merusak, membantu perkembangan suatu hubungan, membentuk pengaturan sosial alternatif serta mengembangkan modal sosial. Sedangkan berdasarkan komponen ekonomi, pembangunan berkelanjutan ini mengandung dua gagasan penting yaitu gagasan kebutuhan yang menjadi prioritas utama dan kedua adalah gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan. Sebagai prioritas utama, jika dihubungankan dengan pembangunan berkelanjutan, pemenuhan kebutuhan pokok harus selaras dengan pertumbuhan ekonomi, mencerminkan prinsip-prinsip keberlanjutan serta bersifat noneksploitasi tanpa mengabaikan peningkatan potensi produktif masyarakat dan pemerataan kesempatan bagi semua. Kus Adi Nugroho menjelaskan pola hubungan antar komponen ekonomi, sosial dan lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan sebagaimana gambar berikut.

Gambar 3. Pola hubungan komponen pembangunan Berdasarkan pola hubungan di atas, suatu pembangunan dapat dikatakan "liveable" atau "nyaman" apabila memenuhi kriteria sosial dan lingkungan sehingga manusia dan alam dapat berkesinambungan. Suatu pembangunan juga dikatakan sebagai "viable" atau "dapat berjalan" apabila memenuhi kriteria lingkungan dan ekonomi. Sedangkan suatu pembangunan dapat disebut "equitable" atau "adil" secara ekonomi dan sosial apabila memenuhi kriteria sosial dan ekonomi. Ketiga pola hubungan tersebut

Supriyatno (A156120214)

masih belum mencapai kondisi yang berkelanjutan atau sustainable karena hanya masing-masing hanya memenuhi dua kriteria, sehingga untuk mencapai kondisi tersebut harus memenuhi ketiga kriteria yang dipersyaratkan, kriteria sosial yaitu persamaan hak antara manusia, kriteria lingkungan yaitu preservasi dan konservasi alam, dan juga ekonomi yaitu efisiensi yang tinggi. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan bertujuan untuk menemukan sistem yang berpihak pada manusia dan kemanusiaan sebagai alternatif dalam pembangunan masyarakat. Untuk mencapai tujuan pemberdayaan tersebut maka perlu dikembangkan suatu mekanisme dimana masyarakat dapat berperan sebagai agen pembangunan, yang dapat dicapai dengan meningkatkan keilmuan dan kemandirian kelompok masyarakat yang selama ini di anggap tidak mempunyai kekuasaan (powerless). Peningkatan kekuasaan (power) masyarakat dalam sistem masyarakat harus diupayakan sebagai proses reformasi sosial, dimana kekuasaan antar kelompok tidak saling meniadakan/ mengalahkan kelompok-kelompok lainnya (zero sum) tetapi sebaliknya dapat saling meningkatkan kemanfaatan terhadap semua kelompok (positif sum). Dalam proses inilah akan terjadi proses negoisasi antar kelompok, dan diharapkan dengan pemberdayaan posisi tawar (bargaining power) kelompok yang powerless akan semakin meningkat sehingga pelayanan terhadap kelompok tersebut turut meningkat. Peningkatan kekuasaan dalam kerangka reformasi sosial dapat dicapai dengan beberapa upaya sebagai berikut : pertama, mendistribusikan sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan (distribution of resources) kepada masyarakat (Jim Ife, 1995), kedua, memperluas aset dan kemampuan kelompok powerless dalam menegosiasikan kehidupannya (Deepa Narayan et.al, 2002), ketiga, menumbuhkan konsientisasi (conscientization) atau kesadaran kritis masyarakat terhadap realitas kehidupannya sehingga meningkatkan kemampuan mereka untuk mentransformasikan realitas tersebut sebagai dasar guna memutuskan kebutuhan mereka yang penting baginya (Paulo Freire, 1972). Ketiga hal tersebut diharapkan dapat memperluas dan meningkatkan kemampuan mereka dalam menentukan masa depannya serta berpartisipasi dalam memenuhi kebutuhan komunitasnya. Strategi yang potensial dalam meningkatkan ekonomi, sosial, dan transformasi budaya adalah melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam kerangka pembangunan yang berpusat pada rakyat. Sementara dalam strategi pemberdayaan, partisipasi aktif masyarakat diletakkan dalam efektivitas, efisiensi, dan sikap kemandirian, dengan melakukan kegiatan kerja sama dengan sukarelawan dari LSM maupun organisasi dan pergerakan masyarakat (Clarke, 1991). Tetapi perlu diperhatikan bahwa pengertian sikap kemandirian bukan semata-mata meminimalisasi intervensi dari pihak luar, karena tanpa ada dukungan dari luar lingkungan/ komunitas masyarakat tidak dapat hidup dan berkembang dan menimbulkan sikap pasif sehingga cenderung menjadikan mereka lebih tidak berdaya (Katze, 1987). Sedangkan mengenai partisipasi aktif masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan, kenyataannya atas nama "pemberdayaan" seluruhnya masih dikerjakan oleh para profesional (McArdle, 1989) dan menjadikan masyarakat menjadi tidak mampu diberdayakan (Rose dan Black, 1983). Kedua fenomena ini patut menjadi

Supriyatno (A156120214)

perhatian kita semua pada saat menerapkan konsep-konsep pemberdayaan dalam perencanaan pembangunan, sehingga tidak terjebak dalam retorika pemberdayaan semata. Pengembangan Masyarakat dan Pengembangan Wilayah Pengembangan masyarakat (Community Development) didefinisikan sebagai "sekelompok orang dalam suatu tempat yang menginisiasi sebuah proses kegiatan sosial untuk merubah perekonomian, sosial, budaya, dan/ atau situasi lingkungan" (Christenson dan Robinson Jr, 1989). Sehingga pengembangan masyarakat dapat dimaknai sebagai suatu keterkaitan secara ekologis, ekonomis dan sosiologis dan berhubungan secara fungsional dalam suatu sistem kelembagaan lokal. Menurut Todaro dalam buku Ernan (2011), pembangunan dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, dan pengentasan kemiskinan. Pembangunan daerah dapat dinyatakan sebagai "proses pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah/ daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap tapi tetap berpegang pada azas prioritas" (Riyadi dan Bratakusumah, 2003). Pengembangan wilayah adalah harmonisasi perkembangan wilayah. Banyak cara dapat diterapkan, mulai dari konsep pengembangan sektoral, pendekatan pada pemenuhan kebutuhan pokok, sampai pengaturan ruang secara terpadu melalui proses pemanfaatan sumber daya alam secara sinergi dengan pengembangan sumber daya manusia dan lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Pengembangan wilayah adalah harmonisasi perkembangan wilayah. Banyak cara dapat diterapkan, mulai dari konsep pengembangan sektoral, pendekatan pada pemenuhan kebutuhan pokok, sampai pengaturan ruang secara terpadu melalui proses pemanfaatan sumber daya alam secara sinergi dengan pengembangan sumber daya manusia dan lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Kelembagaan Lokal dan Kapital Sosial Kelembagaan lokal merupakan kumpulan orang, komunitas dan/ atau organisasi bersifat lokal, baik formal maupun informal, yang dibalut oleh sistem norma dan polapola hubungan, sedangkan kapital sosial itu sendiri meliputi norma, hubungan sosial, dan institusi sosial yang mempunyai 4 dimensi integrasi, pertalian (linkage), integritas organisasional dan sinergi, yang menggambarkan keterikatan dan relasi di dalam kelembagaan, antar kelembagaan maupun dengan institusi negara. Potensi kapital sosial yang dihasilkan oleh kelembagaan dapat dipakai sesuai keputusan kelompok dengan pertimbangan tertentu dalam upaya efisiensi/efektivitas proses produksi (dapat dilihat dari sisi sebagai entitas dan perspektif). Sedangkan kemampuan anggota kelompok/ masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergis akan

Supriyatno (A156120214)

sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya kapital sosial suatu kelompok. Oleh karenanya hubungan antara kelembagaan lokal dan kapital sosial relatif bersifat reciprocity (timbal balik) dan saling mempengaruhi. Pengembangan kelembagaan seiring sejalan dengan semakin meningkatnya kapital sosial yang dibentuk atas kepentingan yang saling menguntungkan. Kepercayaan, hubungan sosial dan norma merupakan tiga komponen penting yang mampu menjadi perekat dalam pengembangan kelembagaan/ masyarakat. Apabila semuanya dapat berjalan dengan baik maka kapital sosial akan mampu menggerakkan sebuah lembaga yang efektif dan efisien. Kriteria dalam mengukur tingkat efektivitas suatu lembaga meliputi kapasitas untuk membatasi tujuan operasional dan menilai seberapa baik suatu organisasi berjalan dibanding dengan standarnya sendiri maupun berasal dari luar lembaga tersebut. Sedangkan konsep efisiensi hanya mengacu pada bagaimana sumberdaya yang tersedia dipakai untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan mendapatkan rasio keluaran-masukan yang tinggi, tanpa memperhatikan benar tidaknya tujuan tersebut. Kelembagaan baik berupa organisasi maupun bukan merupakan salah satu penggerak pembangunan. Pengembangan kelembagaan merupakan suatu proses pembinaan untuk memperbaiki kemampuan suatu lembaga dalam mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dan keuangan yang dimilikinya, dengan tujuan peningkatan efektifitas penggunaan sumberdaya negara untuk mendorong keberhasilan pembangunan nasional. Pengembangan kelembagaan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan lembaga terutama lembaga lokal dalam melaksanakan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanan hingga tahap evaluasi, yang mana hal tersebut merupakan ciri dari perencanaan partisipatif. Dalam membangun kelembagaan lokal yang kuat harus dibangun kapital sosial yang juga kuat. Keberadaan kelembagaan lokal selalu merupakan unsur kelembagaan yang efektif. Kapital sosial akan memfasilitasi kerjasama antar pihak yang terlibat dan dapat menurunkan biaya. Kapital sosial dan kelembagaan lokal adalah modal dalam pengembangan masyarakat yang mendukung pelaksanaan perencanaan partisipatif dalam pelaksanaan pengembangan wilayah, karena kapital sosial dimanfaatkan untuk memperkuat kelembagaan-kelembagaan lokal yang menjadi basis pembangunan masyarakat, sehingga dapat dicapai pengembangan wilayah yang merata, berkelanjutan dan partisipatif dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai acuan keberhasilan pembangunan yang sebenarnya.

ANALISA
Potret Persampahan Kota Tangerang Sebagai daerah penyangga Ibu kota Negara, Kota Tangerang merupakan daerah yang cukup padat dimana setiap kilometer persegi (km2) rata-rata dihuni 10.930 jiwa dan juga memiliki salah satu kecamatan yaitu Kecamatan Larangan yang merupakan kecamatan terpadat dengan penghuni 17.436 jiwa untuk setiap kilometer perseginya. Tingkat pelayanan pengangkutan sampah oleh DKP Kota Tangerang dari tahun ke tahun terus meningkat. Diketahui bahwa persentase tingkat pelayanan sampah tahun

Supriyatno (A156120214)

2009, 2010, 2011, 2012 berturut-turut yaitu 70%; 72,78%; 73,1%; 74,1% (dari jumlah timbulan sampah total). Namun demikian, tingkat pelayanan tersebut masih dibawah Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi kawasan perkotaan yaitu sebesar 80%. Di samping itu target MDGs sektor persampahan menurut versi Kementerian PU adalah 86,5% sehingga masih besar selisih antara SPM serta target MDGs sektor persampahan dengan tingkat pelayanan real disebabkan karena sarana dan prasarana kebersihan yang dimiliki Pemerintah Kota Tangerang belum memadai. Tabel 1 Jumlah sampah terangkut ke TPA pada tahun 2009 s/d 2012
Tahun 2009 2010 2011 2012 Jumlah Timbulan Sampah (m3/hari) 3458 m3/hari 4027 m3/hari 4173 m3/hari 4319 m3/hari Jumlah Sampah Terangkut Tingkat Pelayanan (m3/hari) (%) 2421 m3/hari 70% 2931 m3/hari 72.78% 3 3049,5 m /hari 73,1% 3201 m3/hari 74,1

Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Tangerang, 2012

Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah, dimana untuk produksi sampah dalam kehidupan setiap hari per orang mencapai 2,25 liter/orng/hari (0,5625 kg/orng/hari). Masalah yang sering muncul dalam penanganan sampah kota adalah masalah biaya operasional yang tinggi dan semakin sulitnya ruang yang pantas untuk pembuangan. Sehingga kebanyakan kota-kota di Indonesia hanya mampu mengumpulkan dan membuang 60% dari seluruh produksi sampahnya. Namun demikian berbeda dengan Kota Tangerang yang mampu memberikan pelayanan pengangkutan sampai 73,1 %, hanya saja system penanganannya masih menggunakan cara cara kuno dengan open dumping tidak ramah lingkungan. Berkaitan dengan hal tersebut saat ini Dinas Kebersihan dan Pertamanan sudah memulai kegiatan pengelolaan sampah melalui sistem pemanfaatan sampah menjadi metan yang baru mencapai 10 % saja dari luas yang dimanfaatkan sebesar 3 Ha. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Pada saat ini pemrosesan akhir sampah Kota Tangerang dilakukan di TPA Rawa Kucing dengan luas lahan terpakai 20,83 ha dari luas lahan total 35 ha yang sudah dimiliki Pemerintah Kota Tangerang. TPA ini terletak di Kelurahan Kedaung Wetan, Kecamatan Neglasari, sekitar 7 km dari Pusat Kota Tangerang. TPA Rawa Kucing telah beroperasi sejak tahun 1990. Jarak TPA dari pusat kota 7 km, dari DAS (Sungai Cisadane) 500 m. Batas wilayah TPA Rawa Kucing : Sebelah Utara : Lahan kosong dan Permukiman Penduduk Sebelah Selatan : Permukiman Penduduk Sebelah Barat : Jl. Iskandar Muda Sebelah Timur : Lahan pertanian masyarakat Sampai dengan tahun 2005 TPA Rawa Kucing masih dioperasikan secara penimbunan terbuka (open dumping), kemudian secara bertahap sistem operasional ditingkatkan agar menjadi penimbunan terkendali (controlled dumping). Beberapa
Supriyatno (A156120214) 10

kegiatan peningkatan telah dilakukan antara lain meliputi penetapan zona penimbunan sampah, penyediaan jalan operasional berupa balok-balok beton yang dapat menjangkau seluruh area penimbunan sampah, aplikasi tanah penutup pada sel sampah yang tidak aktif secara berkala yang dilakukan maskimal 1 kali dalam setahun, mengingat kendala dalam proses pengadaan tanah penutup, pengendalian leachate (pengumpulan di kolam), pengadaan jembatan timbang (dalam keadaan rusak), serta penghijauan di lingkungan TPA. Perencanaan Pengelolaan TPA Dalam Perspektif Penataan Ruang Dengan keterbatasan lahan dan tingkat timbulan sampah yang semakin meningkat, pada saat ini perencanaan pengelolaan sampah di TPA masih berbasis perencanaan wilayah secara struktural, dimana sampah yang diperbolehkan untuk ditimbun di TPA Kota Tangerang hanya sampah yang berasal dari Kota Tangerang dan diangkut oleh armada truk sampah Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Tangerang, sesuai dengan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2009. Walaupun demikian, berdasarkan hasil Master Plan Persampahan Kota Tangerang tahun 2012 - 2031 didapatkan bahwa kondisi pengelolaan sampah saat ini, dengan tingkat pertumbuhan penduduk serta kegiatan multisektor di Kota Tangerang sebagai penyangga Ibu Kota, menghadapi tantangan yang cukup berat dalam teknis operasional pengelolaan persampahan Kota Tangerang yaitu mempertahankan masa layan TPA Rawa Kucing hingga 20 tahun mendatang (2033). Hal tersebut menuntut upaya yang sangat besar dan kuat dalam menekan jumlah sampah yang ditimbun di TPA. Kebijakan dan Strategi Nasional untuk Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP) disajikan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.21/PRT/M/2006 merupakan salah satu acuan bagi penyusunan Master Plan Pengelolaan Sampah suatu kota. Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan dirumuskan sebagai berikut: Kebijakan (1) : Pengurangan sampah semaksimal mungkin dimulai dari sumbernya Kebijakan (2) : Peningkatan peran aktif masyarakat dan dunia usaha/swasta sebagai mitra pengelolaan Kebijakan (3) : Peningkatan cakupan pelayanan dan kualitas sistem pengelolaan KSNP-SPP menyampaikan bahwa : Sasaran pembangunan bidang persampahan juga mengakomodir sasaran Millennium Development Goals tahun 2015 untuk menyediakan akses pelayanan persampahan kepada masyarakat mampu melayani masyarakat dengan kapasitas 80 % untuk wilayah perkotaan. Pencapaian pengurangan kuantitas sampah sebesar 20 %. Tercapainya peningkatan kualitas pengelolaan TPA menjadi Sanitary Landfill untuk kotametropolitan dan kota Besar, serta Controlled Landfill untuk kota Sedang dan kota Kecil; serta tidak dioperasikannya TPA secara Open Dumping. Tercapainya peningkatan kinerja institusi pengelola persampahan yang mantap dan berkembangnya pola kerjasama regional.

Supriyatno (A156120214)

11

Berdasarkan KSNP-SPP tersebut di atas, isu perencanaan pengelolaan sampah di TPA sudah harus mulai beralih ke dalam perencanaan wilayah berbasis fungsional. Hal ini dipengaruhi oleh semakin terbatasnya ketersediaan lahan untuk lokasi TPA di masing-masing Kota/ Kabupaten, sehingga perlu dilakukan studi pengelolaan sampah TPA skala regional. Urgensi ini dipertegas dengan terjadinya konflik sampah perkotaan yang terjadi di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bojong, Klapanunggal, Kabupaten Bogor (Kompas 25 November 2004). Konflik persampahan di TPST Bojong, merupakan kasus kedua yang terjadi di lokasi pengolahan akhir sampah DKI Jakarta. Kasus pertama terjadi di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Bantargebang, Kota Bekasi, 10 Desember 2001 dan awal Januari 2004 yang berdampak terhadap penutupan TPA Bantargebang (Komunitas Jurnalis Bekasi, 2003). Keterbatasan lahan, pertumbuhan penduduk yang pesat, mobilitas lintas wilayah (komuter) yang tinggi, serta tuntutan standar lingkungan yang makin ketat membutuhkan adanya pemanfaatan teknologi untuk pengelolaan sampah yang ramah lingkungan. Berkaitan dengan alasan tersebut, dalam Perda Kota Tangerang No.23 Tahun 2000 tentang RTRW disebutkan bahwa lokasi TPA diusulkan untuk dipindahkan ke wilayah Kabupaten Tangerang, tetapi hal tersebut mendapat banyak penentangan baik dari masyarakat sekitar TPA eksisting yang mendapat manfaat dari keberadaan TPA saat ini dan dari masyarakat Kabupaten Tangerang yang khawatir wilayahnya akan tercemari dengan keberadaan TPA. Penentangan tersebut terjadi karena tidak dilibatkannya masyarakat dan para stakeholder lainnya dalam penyusunan Perda RTRW tersebut. Dalam hal perencanaan lokasi TPA selain pertimbangan kondisi lingkungan juga perlu pertimbangan sosial-ekonomi masyarakat, karena tidak bisa dipungkiri TPA juga mempunyai potensi ekonomi yang cukup menarik bagi masyarakat sekitar. Sesuai dengan paradigma pembangunan berkelanjutan, untuk keberlanjutan keberadaan TPA tersebut perlu dipertimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi. Sehingga dari sisi lingkungan diharapkan keberadaaan TPA tidak akan menimbulkan pencemaran, tanpa mengabaikan potensi ekonomi yang bisa dimanfaatkan dari sampah, serta dapat meminimalkan potensi konflik sosial antar masyarakat yang mendapat manfaat dengan masyarakat yang merasa tercemari oleh keberadaan TPA. Berkaitan dengan aspek lingkungan, saat ini di TPA Kota Tangerang sudah mulai dikembangkan sarana penangkap gas methane dari sampah organik dan peningkatan kualitas sistem operasional pengelolaan sampah menuju sistem sanitary landfill. Dan pada pertengahan tahun 2012 kemarin, Departemen Pekerjaan Umum telah melakukan studi kelayakan pembangunan Intermediate Treatment Facility (ITF), yaitu sistem pengolahan sampah antara sebelum dibuang ke TPA di Kota Tangerang. Sedangkan untuk aspek sosial dan ekonomi, direncanakan mulai tahun 2013 ini pemulung yang ada di dalam dan di luar TPA dapat ditempatkan dalam satu area khusus untuk menampung aktivitas mereka, sehingga diharapkan potensi ekonomi yang selama ini dimanfaatkan oleh para pemulung tidak sampai menimbulkan konflik sosial dengan masyarakat umum di luar pemulung. Selain itu diharapkan dengan pengembangan sarana penangkap gas methane, suatu saat gas tersebut dapat dialirkan ke rumah-rumah penduduk sekitar TPA sebagai bahan bakar alternatif.

Supriyatno (A156120214)

12

Sebagai salah satu upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah untuk mengurangi sampah yang harus ditimbun di TPA, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Tangerang mulai dari tahun 2004 telah mengikutsertakan masyarakat untuk mengolah sampah rumah tangga mereka sendiri di lingkungan masing-masing. Saat ini sudah mulai terbentuk kader-kader pengelola sampah, muncul bank-bank sampah dan TPST (Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu) skala RW yang tersebar ke berbagai wilayah Kota Tangerang. Berdasarkan skenario pengelolaan hasil kajian Masterplan Persampahan Kota Tangerang tahun 2012, untuk mengoptimalkan kapasitas dan kemampuan kelola TPA terhadap sampah Kota Tangerang sampai 20 tahun ke depan diperlukan penambahan 105 TPST dan 140.896 komposter, optimalisasi kapasitas pengolahan ITF 500 ton/hari serta penambahan lahan seluas 7 hektar. Apabila orientasi pengelolaannya dikembangkan menjadi TPA regional diperlukan adanya penambahan beberapa sarana ITF dan TPST yang ditempatkan di perbatasan antara Kota Tangerang dengan wilayah-wilayah lain, dimana masing-masing ITF tersebut diharapkan akan mampu mengolah sebagian sampah dari tiap wilayah sebelum diarahkan ke TPA Kota Tangerang. Keberhasilan program TPA regional tersebut membutuhkan dukungan yang kuat dari para stakeholder baik dari Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang maupun Kota Tangerang Selatan. Selain itu perlu penguatan kelembagaan lokal dari masing-masing wilayah untuk mengawal pelaksanaan pengurangan sampah, sehingga sampah yang harus ditimbun di TPA dapat diminimalkan untuk memperpanjang usia pelayanan dari TPA tersebut. Selain itu, pengelolaan TPA berbasis wilayah regional membutuhkan sinkronisasi RTRW dari ketiga daerah tersebut sekaligus peningkatan peran serta masyarakat mulai dari penyusunan, pelaksanaan dan pengawasannya, sehingga dapat mengurangi potensi konflik dan penolakan dari masyarakat. Dengan sinergitas program-program tersebut di atas diharapkan, keberadaan TPA tidak lagi menjadi suatu masalah tetapi dapat menjadi suatu solusi bersama akan permasalahan pembuangan akhir sampah.

Supriyatno (A156120214)

13

SIMPULAN Selama ini konsep pengelolaan TPA masih berbasis perencanaan wilayah secara struktural karena adanya isu masalah lingkungan akibat potensi pencemaran dari operasional TPA tersebut, sehingga setiap Kota/ Kabupaten yang sudah mempunyai lahan TPA seringkali membatasi operasi penimbunan hanya bagi sampah yang berasal dari Kota/ Kabupaten yang bersangkutan. Berdasarkan Kebijakan dan Strategi Nasional untuk Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP), yang disajikan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.21/PRT/M/2006, diamanatkan bahwa isu perencanaan pengelolaan sampah di TPA sudah harus mulai beralih ke dalam perencanaan wilayah berbasis fungsional yaitu dengan mengembangkan pola kerjasama regional untuk mengatasi masalah keterbatasan lahan. Perlu adanya sinergitas program Pemerintah Pusat, Pemerintah Kota dan pemberdayaan masyarakat untuk dapat mengoptimalkan kapasitas dan kemampuan kelola TPA. Sehingga di samping upaya pengurangan sampah dari sumber, kualitas dan kemampuan TPA harus ditingkatkan agar dapat beroperasi secara optimal.

Supriyatno (A156120214)

14

DAFTAR PUSTAKA Abe, Alexander. Perencanaan Daerah Partisipatif. Yogyakarta: Pembaharuan, 2005. Basyarat, Ade. 2006. Kajian Terhadap Penetapan Lokasi Tpa Sampah Leuwinanggung Kota Depok. Tesis tidak diterbitkan. Pembangunan Wilayah Dan Kota, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang. Conyers, Diana. Perencanaan Sosial Di Dunia Ketiga Suatu Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994. Cernea, Michael M. 1993. The Sociologist's Approach to Sustainable Development. Paper Series No. 2. wORLD bANK (HAL. 7-9) Dokumen Master Plan Persampahan Kota Tangerang Tahun 2012-2033. DKP Kota Tangerang.Friedman, John. 1993. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge Mass: Balckwell Book. (Hal. 14-36). Hickey, Sam dan Giles Mohan. 2004. Relocating Participation within a Radical Polities of Development. Development and Change, 36(2). (Hal. 237-262). Ife, dan Frank Tesoriero. 2008. Community Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Hal. 335-366). Kompas, 25 November 2004. Konflik Sampah, Lemahnya Manajemen Persampahan. Jakarta. M. Barori. Perencanaan Pembangunan Dan Partisipatif Masyarakat. http://fryzho.blogspot.com/2012/04/perencanaan-pembangunan-danpartisipati.html. (Diakses pada 17 Januari 2013). Nugroho, Kus Adi. http://konversi.wordpress.com/2010/04/30/pembangunanberkelanjutan-bag-1/.21 Maret 2011. (Diakses pada 2 Februari 2013) Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 23 tahun 2000 tentang RTRW Kota Tangerang. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.21/PRT/M/2006. 2006. Kebijakan dan Strategi Nasional untuk Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNPSPP). Kementerian Pekerjaan Umum. Jakarta. Riyadi dan Deddy Supriady Bratakusumah. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Dae rah. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Rustiadi, Ernan et.al. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor: Crespent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Jim

Supriyatno (A156120214)

15

You might also like