You are on page 1of 23

TUGAS REVIEW

UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH DAN SEJARAH PERKEMBANGAN PERATURAN PERENCANAAN KOTA DI INDONESIA

TUGAS MATA KULIAH PEMERINTAHAN DAERAH PERDESAAN DAN PERKOTAAN

Oleh: I Wayan Yudiartana 1291861003

PROGRAM STUDI MAGISTER ARSITEKTUR UNIVERSITAS UDAYANA TAHUN 2013

TUGAS REVIEW UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH

I. Pengantar Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada Undang-Undang ini Pasal 1 Butir c, disebutkan Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya pada Pasal 1 Butir e, yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip: a) Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya (Pasal 1 Butir b); b) Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabatpejabat di daerah (Pasal1 Butir f) dan c) Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada

Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban

mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya (Pasal 1 Butir d). Dalam UU No. 5 Tahun 1974 ini disebutkan dengan jelas bahwa titik berat otonomi daerah diletakkan pada Daerah Tingkat II (Pasal 11 Butir 1). Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri (Pasal 15 Butir 1 dan Pasal 16 Butir 1), untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya (Pasal 17 Butir 1), dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan (Pasal 22 Butir 3 dan Pasal 23 Butir 1). Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan (Pasal 29 Butir 1), dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan Pancasila dan UUD 1945; b) menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang

pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah (Pasal 30). Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No.5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan pemerintah daerah yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.Hal ini pada akhirnya akan sangat membuat perencanaan di daerah (baik kota maupun desa) menjadi sangat tergantung pada pusat baik dari segi kebijakan dan anggaran biaya. Oleh karena itu kemudian dilakukan revisi dan penyempurnaan terhadap UU No. 5 Tahun 1974. Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan B.J.Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu (Kuncoro, 2004: 35): a) melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah; b) pembentukan negara federal; atau c) membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat. Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undangundang sebelumnya antara lain :

a) Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri. b) Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersamasama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah. c) Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. d) Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah (Pasal 7 Butir 1 dan 2). e) Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat (Pasal 1 Butir i). Sedang yang selama ini disebut Daerah

Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya. f) Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah. g) Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil yang diukur dari garis pantai kea rah laut lepas dan atau kea rah perairan kepulauan (Pasal 3), sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi (Pasal 10 Butir 3). h) Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden. i) Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang. j) Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan

terselenggaranya otonomi daerah (Pasal 5 Butir 1). Daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 6 Butir 1 dan 2).

k) Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD. l) Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan,

pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah. m) Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota. n) Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus. o) Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila

pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.

p) UU No. 22 Tahun 1999 juga sudah mengatur secara rinci penetapan Kawasan perkotaan yang terdiri atas Kawasan Perkotaan dan Kawasan Perkotaan Baru (Pasal 90) dan Pembentukan, Penghapusan dan atau Penggabungan Desa (Pasal 93-94) serta Pemerintahan Desa (Pasal 95). q) UU No. 22 Tahun 1999 juga sudah mengatur tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah yang bertugas memberikan

pertimbangan kepada Presiden mengenai Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (Pasal 115). UU No. 22 Tahun 1999 dapat dikatakan memperbaiki kekurangan dan kesalahan penafsiran pada UU No. 5 Tahun 1974. Namun dalam pelaksanaannya sekarang ini juga perlu diawasi supaya pelaksanaan otonomi daerah ini tidak menyimpang. Dalam pelaksanaan UU No 22 Tahun 1999 ini juga menemui banyak kendala antara lain : a) Kualitas dan kemampuan pemerintah daerah yang terbatas b) Ketimpangan sumber daya antara daerah yang satu dengan daerah lainnya c) Birokrasi kegiatan lintas kota yang tidak praktis d) Pelimpahan urusan yang tidak disertai dengan pelimpahan pembiayaan e) Perbedaan kesiapan pemerintah daerah f) Munculnya beragam aspirasi masyarakat yang dapat memecah persatuan nasional. g) High Cost Economic dalam bentuk pungutan-pungutan yang membabi buta. h) High Cost Economic dalam bentuk KKN i) Orientasi Pemda pada Cash Inflow, bukan pendapatan j) Pemda bisa menyedot sumbangan dari BUMD-BUMD yang berada dibawah naungannya. Modusnya bisa jadi bukan melalui penjualan aset, melainkan melalui kebijakan penguasa daerah yang sulit ditolak oleh jajaran pimpinan BUMD k) Karena terfokus pada penerimaan dana Pemda bisa melupakan kriteria pembuktian berkelanjutan

l) Munculnya hambatan bagi mobilitas sumber daya m) Potensi konflik antar daerah menyangkut pembagian hasil pungutan n) Bangkitnya egosentrisme o) Karena derajat keberhasilan otonomi lebih dilandaskan pada aspekaspek finansial pemerintah daerah bisa melupakan misi dan visi otonomi sebenarnya. p) Munculnya bentuk hubungan kolutif antara eksekutif dan legislatif di daerah. Oleh karena itu UU. No. 22 Tahun 1999 direvisi kembali dan diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dengan diundangkannya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada tanggal 15 Oktober 2004, UU No.22 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebenarnya antara kedua undang-undang tersebut tidak ada perbedaan prinsipal karena keduanya sama-sama menganut asas desentralisasi. Pemerintah Daerah berhak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonnomi dan tugas pembantuan. Otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. UU No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang : pembentukan daerah dan kawasan khusus,pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan

pemerintahan, kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah, perencanaan pembangunan daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian perselisihan, kawasan perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalamkebijakan otonomi daerah. Menurut UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan dengan daerah yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI Yogyakarta, dan provinsi-provinsi di Papua. Bagi daerah-daerah ini secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan daerah-daerah lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu, kepada daerahdaerah tersebut, dapat diberikan wewenang khusus yang diatur dengan undang-

undang. Jadi, bagi daerah yang bersifat khusus dan istimewa, secara umum berlaku UU No.32 tahun 2004 dan dapat juga diatur dengan UU tersendiri. Ada perubahan yang cukup signifikan untuk mewujudkan kedudukan sebagai mitra sejajar antara kepala daerah dan DPRD yaitu kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan DPRD hanya berwenang meminta laporan keterangan pertanggung jawaban dari kepala daerah. Di daerah perkotaan, bentuk pemerintahan terendah disebut kelurahan. Desa yang ada di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa, bersama Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan perda. Desa menjadi kelurahan tidak seketika berubah dengan adanya pembentukan kota, begitu pula desa yang berada di perkotaan dalam pemerintahan kabupaten. UU No.32/2004 mengakui otonomi yang dimiliki desa ataupun dengan sebutan lain. Otonomi desa dijalankan bersama-sama oleh pemerintah desa dan badan pernusyawaratan desa sebagai perwujudan demokrasi.Namun dari semua itu, hal terpenting tentang pelaksanaan Otonomi Daerah adalah kiprah serta peran serta masyarakat yang bisa menjadikan sebuah daerah menjadi maju dengan segala kekayaan alam serta potensi daerah yang dimilikinya. Dengan adanya Otonomi Daerah, daerah yang sebelumnya dikenal sebagai daerah kaya namun tidak mendapatkan kompensasi dari kekayaan yang dimilikinya tersebut bisa berubah menjadi lebih maju dan mampu mengelola segala kekayaan alam serta potensi yang ada di daerah itu sendiri. Untuk dapat mewujudkan penyelenggaraan otonomi daerah yang benarbenar sehat atau untuk mewujudkan kesesuaian antara prinsip dan praktek penyelenggaraan otonomi daerah, maka terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan. Faktor-faktor tersebut adalah : faktor manusia pelaksana (Kepala Daerah dan DPRD, Aparatur Pemerintah Daerah, partisipasi masyarakat), faktor keuangan daerah, faktor peralatan dan faktor organisasi dan manajemen.

10

II. Perbedaan UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan UU No. 32 Tahun 2004
No 1 2 Komponen Pembeda Dasar Filosofi Susunan Pemerintahan UU No. 5 Tahun 1974 Keseragaman Pendekatan Tingkatan Daerah (Level Approach) UU No. 22 Tahun 1999 Keanekaragaman dalam kesatuan (NKRI) pendekatan besaran dan isi otonomi (size and content approach), ada daerah yang besar dan ada daerah yang kecil berdasar kemandirian masingmasing, ada daerah dengan isi otonomi terbatas dan ada daerah yang otonominya luas. Desentralisasi (Daerah) UU No. 32 Tahun 2004 Keanekaragaman dalam kesatuan (NKRI) pendekatan besaran dan isi otonomi (size and content approach), dengan menekankan pada urusan yang berkeseimbangan dengan azas eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Desentralisasi (Daerah) dengan menghormati daerah khusus/istimewa seperti : DIY, Papua desentralisasi diatur berkesimbangan antara daerah provinsi, kabupaten/kota, desentralisasi terbatas pada kabupaten/kota dan luas pada provinsi, tugas pembantuan berimbang pada semua tingkatan pemerintahan. Model Eklektik,(Perpaduan Antara Structural Efficiency Model Dengan Local Democracy Model) Paradigma Pembagian Urusan Pemerintahan

Kecenderungan Pemerintahan Penyelenggaraan

Sentralistik (Terpusat)

Dilaksanakanya Asas Desentralisasi,Dekonsentrasi,Dan Tugas Pembantuan Secara Seimbang

desentralisasi terbatas pada daerah provinsi dan pada luas daerah kabupaten/kota, dekonsentrasi terbatas pada kebupaten/kota dan luas pada provinsi, tugas pembantuan yang seimbang pada semua tingkatan pemerintahan sampai ke desa Model Eklektik,(Perpaduan Antara Structural Efficiency Model Dengan Local Democracy Model) Paradigma Pembagian Urusan Pemerintahan

Model Organisasi Penyelenggara Pemerintahan Daerah Mekanisme Transfer Kewenangan Pemerintahan Dari Pemerintah Pusat Kepada Daerah Otonom

Model Efisiensi Structural (Structural Efficiency Model) Penyerahan Urusan Pemerintahan Dengan Prinsip Otonomi Yang Nyata

11

8 9

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintahan Daerah Sistem Kepegawaian

Pola Fungsi Mengikuti Uang (Function Follow Money)

Kebijakan Perimbangan Keuangan Yang Lebih Adil Bagi Daerah

Kebijakan Perimbangan Keuangan Yang Lebih Adil Bagi Daerah

10

11

Sistem Terintegrasi (Integrated System) Sistem Sistem Pertanggungjawaban Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Bersifat Vertikal Ke Atas Sistem Pengelolaan Pengelolaan Keuangan Antar Antar Asas Dijadikan Satu Dalam Asas Penyelenggaraan APBN Pemerintahan Kedudukan Kecamatan Kecamatan Adalah Pelaksana Asas Dekonsentrasi, Sedangkan Camat Berkedudukan Sebagai Kepala Wilayah

Sistem Campuran (Mixed System) Tergantung Pada Model Pemilihan Kepala Daerah

Sistem Campuran (Mixed System) Tergantung Pada Model Pemilihan Kepala Daerah

Pengelolaan Keuangan Antar Asas Pengelolaan Keuangan Antar Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Di Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah Dipisahkan Daerah Dipisahkan Kecamatan Dijadikan Lingkungan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten/Kota, Sedangkan Camat Berkedudukan Sebagai Pimpinan SKPD Yang Menjalankan Asas Desentralisasi Kecamatan Dijadikan Lingkungan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten/Kota, Sedangkan Camat Berkedudukan Sebagai Pimpinan SKPD Yang Menjalankan Asas Desentralisasi

12

TUGAS REVIEW SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERATURAN TENTANG PERENCANAAN KOTA DESA DI INDONESIA

Sejarah Peraturan Tentang Perencanaan Wilayah dan Kota di Indonesia dapat dibagi menjadi 5 masa, yaitu masa VOC dan Penjajahan Belanda, Masa Perang Dunia II - Tahun 1950an, Masa 1950 - 1960, Masa 1970 - 2000 dan masa tahun 2000an. Untuk lebih jelasnya mengenai sejarah perkembangan Perencanaan Wilayah dan Kota di Indonesia sebagai berikut (www. dokter-kota.blogspot.com):

1. Masa VOC dan Penjajahan Belanda a) Secara teknis, perencanaan fisik di Indonesia sudah dimulai sejak masa VOC di abad 17 yaitu dengan telah adanya De Statuten Van 1642, yaitu ketentuan perencanaan jalan, jembatan, batas kapling, pertamanan, garis sempadan, tanggul-tanggul, air bersih dan sanitasi kota; b) Pada masa pemerintahan Hindia Belanda terjadi 2 hal yang dapat dikatakan sebagai dasar perencanaan kota, yaitu: munculnya Regeringsregelement 1854 (RR 1854), berisi sistem pemerintahan dengan penguasa tunggal di daerah residen; dan diundangkannya Staatsblad 1882 Nomor 40 yang memberikan wewenang kepada residen untuk mengadakan pengaturan lingkungan dan mendirikan bangunan di wilayah (gewent) kewenangannya; c) Selain itu juga dikeluarkan Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie (Stb 1855/2) mengenai sentralisasi dan dekonsentrasi. Pada saat itu sudah dikenal wilayah administratif, misalnya di Jawa ada Gewest (Residentie), Afdeeling, District dan Onder-district.(Josef Riwu Kaho, 2007:23); d) Lalu sesuai perkembangannya, pada tahun 1903 Pemerintah Belanda menetapkan suatu Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie (Stb 1903/329) yang lebih dikenal dengan sebutan Decentralisatiewet 1903 (Undang-Undang Desentralisasi 1903) yang memberi kemungkinan bagi pembentukan Gewest atau bagian Gewest yang mempunyai keuangan sendiri (Josef Riwu Kaho, 2007:23-24);

13

e) Sejak tahun 1905 yaitu sejak diundangkannya Decentralisatie Besluit Indische Staatblad 1905/137 dan Locale Radenordonnantie (Stb 1905/181). Menurut kedua peraturan ini, daerah yang diberi keuangan sendiri ini disebut Locaal Ressort, sedangkan Raad-nya disebut Locale Raad. Locale Raad dibedakan ke dalam Gewestelijke Raad bagi Gewest dan Plaatselijke Raad bagi daerah daerah yang merupakan bagian dari Gewest (Josef Riwu Kaho, 2007:24). Maka perencanaan kota lebih eksplisit sehubungan dengan pemberian kewenangan otonomi bagi stadsgemeente (kota praja) untuk menyusun perencanaan kotanya; f) Namun hal itu belum dirasakan memuaskan karena dirasakan sangat terbatas. Maka dikeluarkanlah Wet op de Bestuurshervorming (Stb 1922/216). Titik berat Undang-Undang ini adalah pembentukan badanbadan pemerintahan baru dengan mengikutsertakan penduduk asli dengan pemberian hak untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembebanan tanggung jawab sebagai akibat dari pemberian hak tadi (Josef Riwu Kaho, 2007:25); g) Pelaksanaan lebih lanjut undang-undang tersebut diatur dengan Provincieordonnantie (Stb 1924/78), Regentschap-ordonnantie (Stb 1924/79) dan Stadsgemeente-ordonnantie (Stb 1926/365). Berdasarkan peraturan tersebut dibentuklah berbagai propinsi, regentschap dan stadsgemeente yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri di Jawa dan Madura. Dengan demikian Locaal Resort yang dibentuk sebelumnya, dihapuskan. (Josef Riwu Kaho, 2007:26); h) Di luar Jawa dan Madura, keadaannya berbeda. Berdasarkan

Groepsgemeenschap-ordonanntie (Stb 1937/464) dan Stadsgemeenteordonantie Buitengewesten, sedangkan Locaal Ressort yang dibentuk berdasarkan UU Decentralisasi 1903 tetap dipertahankan (Josef Riwu Kaho, 2007:26); i) Di daerah yang dikuasai Belanda terdapat juga apa yang disebut Inlandsche Gemeente seperti Desa, Huta, Kuria, Marga dan sebagainya. Untuk Jawa dan Madura, Inlandsche Gemeente diatur dengan Inlandsche Gemeente Ordonnantie (IGO) (Stb 1906/83), sedangkan untuk daerah di luar pulau

14

Jawa dan Madura diatur dengan Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten (IGOB) (Stb 1939/490), Byblad 9308, Stb 1931/507 dan Desa ordonantie (Stb 1941/356). Karena pecah perang dunia II, maka Desaordonanntie tidak/belum sempat dilaksanakan (Josef Riwu Kaho, 2007:27); j) Di daerah yang tidak langsung dikuasai oleh Belanda, terdapat daerah otonom yang disebut Zelf-besturende landschappen. Zelfbesturende landschappen ini terdiri dari kerajaan-kerajaan asli Indonesia yang mempunyai ikatan dengan Belanda melalui kontrak politik, baik kontrak politik yang panjang (lange contracten) seperti Kasunanan Sala/Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Deli dan sebagainya, maupun kontrak politik pendek (korte verklaring) seperti Pakualaman, Mangkunegaran, Kesultanan Goa, Bone dan sebagainya (Josef Riwu Kaho, 2007:27-28); k) Kompleksitas permasalahan perencanaan kota dan desa yang dihadapi pada masa ini masih sangat sederhana.

2. Masa Pendudukan Jepang a) Pada masa Jepang menguasai wilayah Hindia Belanda, pemerintahan di bekas wilayah jajahan ini dibagi menjadi tiga komando, yaitu (Josef Riwu Kaho, 2007:28): Sumatera di bawah Komando Panglima Angkatan Darat XXV yang berkedudukan di Bukittinggi; Jawa dan Madura berada di bawah Komando Panglima Angkatan Darat XVI yang berkedudukan di Jakarta; Daerah lainnya berada di bawah Komando Panglima Angkatan Laut yang berkedudukan di Makasar. b) Pada tanggal 11 September 1943, dikeluarkan peraturan yang bernama Osamuseirei; c) Osamuseirei No. 3 mengatur pemberian wewenang kepada Walikota yang semula hanya berhak mengatur rumah tangga daerahnya saja, sekarang diwajibkan juga untuk menjalankan urusan pemerintahan umum; d) Selanjutnya, kedudukan Stadsgemeente dan Regentschap dengan

Osamuseirei No. 12 dan No. 13 diubah menjadi Si dan Ken yang otonom,

15

tetapi sifat demokratisnya ditiadakan, karena hak-hak Raad dan College dialihkan kepada Kepala Daerah; e) Dengan Osamuseirei No. 21 dan No. 26 ditetapkan pula bahwa Provinsi, Dewan Kabupaten dan Dewan Gemeente dihapuskan (Josef Riwu Kaho, 2007:29); f) Selanjutnya dalam Osamuseirei No. 27 Tahun 1942 ditetapkan antara lain: Jawa dan Madura, kecuali wilayah Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta dibagi atas beberapa Syuu (Karesidenan), Si

(Stadsgemeente), Ken (Regentschap), Gun (Distrik/Kawedanan), Son (Onderdistrict) dan Ku (desa). Kepala-kepala pemerintahannya disebut : Tyo; jadi berturut-turut terdapat Syuutyo, Sityo, Kentyo dan seterusnya; Urusan yang semula dijalankan oleh para Bupati, Wedana, Asisten Wedana, Kepala Desa, Kepala Kampung (Wijkmeester) yang berada di Daerah Si (Kota) diambil alih oleh Sityo; Di samping itu ada Daerah Istimewa yang ditentukan oleh Gunseikan, yang disebut Tokubetsu Si; g) Osamuseirei No. 28 tahun 1942 menetapkan pula bahwa Surakarta dan Yogyakarta diubah menjadi Kooti. Syuu dan Kooti merupakan daerah yang berdiri sendiri khusus mengurus bidang ekonomi/pangan (Josef Riwu Kaho, 2007:29).

3. Masa Perang Dunia (PD) II - Tahun 1950an a) Diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1945 yang mengatur tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah yang bertugas untuk mengatur otonomi di daerah; b) Tanggal 10 Juli 1948 diundangkanlah UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Unsur yang menonjol ialah sebutan Propinsi bagi Daerah Tingkat I, Kabupaten dan Kota Besar bagi Daerah Tingkat II, dan Desa (Kota kecil, Negeri, Marga dan sebagainya) bagi Daerah Tingkat III (Josef Riwu Kaho, 2007:34-35);

16

c) Pada tahun 1948 diterbitkan peraturan perencanaan pembangunan kota sebagai peraturan pokok perencanaan fisik kota khususnya untuk kota Batavia, wilayah Kebayoran dan Pasar Minggu, Tanggerang, Bekasi, Tegal, Pekalongan, Cilacap, Semarang, Salatiga, Surabaya, Malang, Padang, Palembang dan Banjarmasin; d) Peraturan ini dinamakan Stadsvorming Ordonantie/SVO; e) Ordonansi Pembentukan Kota atau Stadsvorming Ordonantie/SVO

(Staatsblad 1948 no.168) adalah peraturan perundang-undangan yang diterbitkan tahun 1948 oleh pemerintah pendudukan Belanda yang digunakan untuk penataan ruang dalam periode 1950-1959; f) SVO ini ditujukan untuk menanggapi perkembangan kota yang mendesak, yaitu memperbaiki keadaan kota-kota yang hancur atau rusak semasa terjadinya perang kemerdekaan, termasuk pembangunan perumahan yang masih terus diperhatikan pemerintah. Namun SVO hanya berlaku bagi limabelas dari limapuluh kotapraja yang ada. Dan pelaksanaannya juga sebatas pemeliharaan kota, bukan pembangunan (www.

darasalsabilla.blogspot.com) ; g) Peran serta masyarakat dalam SVO mengatur empat hal : Kewajiban walikota mengumumkan draft rencana kota lewat surat kabar lokal atau surat kabar yang banyak dibaca oleh masyarakat lokal diwilayah objek perencanaan; Hak setiap anggota masyarakat untuk mendapat informasi penataan ruang dan dokumen tata ruang; Hak mengajukan keberatan kepada Pemerintah Daerah dalam waktu satu bulan setelah diumumkan; Hak untuk mengajukan banding atas keputusan tentang keberatan yang ditolak. h) Diberlakukannya Staatblad Indonesia Timur (SIT) No. 44 Tahun 1950 bagi wilayah Negara Indonesia Timur. Yang mana isi dan jiwa SIT No. 44 Tahun 1950 ini mendekati UU No. 22 Tahun 1948, tetapi disesuaikan dengan struktur Negara bagian.SIT No. 44 Tahun 1950 ini menetapkan bahwa

17

Negara Indonesia Timur ini tersusun atas dua atau tiga tingkatan Daerah Otonom yaitu Daerah, Daerah Bagian dan Daerah Anak Bagian; i) Muncul gagasan-gagasan tentang pembangunan kota baru, baik kota satelit seperti wilayah Candi di Semarang maupun Kebayoran Baru di Jakarta, serta kota baru mandiri seperti Palangkaraya di Kalimantan Tengah dan Banjar Baru di Kalimantan Selatan; j) Pembangunan nasional pada saat itu mendapat bantuan dari negara-negara maju.

4. Masa 1950 - 1960 a) Masih diberlakukannya Ordonansi Pembentukan Kota atau Stadsvorming Ordonantie / SVO (Staatsblad 1948 no.168); b) Pemberlakuan SIT No. 44 Tahun 1950 yang menjadi awal mula UU No. 44 Tahun 1950 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; c) Pemberlakuan UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah Tahun 1956 akibat adanya perubahan ketatanegaraan waktu itu.Saat itu terdapat dua jenis daerah otonom yaitu daerah Swatantra dan Daerah Istimewa (Josef Riwu Kaho, 2007:40); d) Diberlakukannya Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah dan Penetapan presiden No. 5 Tahun 1960 tentang DPRD Gotong Royong dan Sekretariat Daerah; e) Diberlakukan UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah; f) Diberlakukannya UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja; g) Perkembangan penduduk kota-kota, khususnya di Jawa dan Sumatera berdampak terhadap berbagai segi, baik fisik, budaya, sosial dan politik; h) Pembangunan nasional semakin kompleks; i) Peningkatan tenaga ahli perencanaan wilayah dan kota.

5. Masa 1970 - 2000 a) RUU tentang Pokok-Pokok Bina Kota (1972);

18

b) RUU ini disusun oleh Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah, Ditjen Cipta Karya, Departemen PU. RUU ini dibuat sebagai pengganti SVV/ SVO yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia (www.

penataanruang.pu.go.id); c) Pada bulan Agustus 1972, RUU tentang Pokok-Pokok Bina Kota selesai disusun. Materi ini kemudian diajukan sebagai laporan kepada Presiden Republik Indonesia (Soeharto) dengan surat Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) Sutami nomor 9/15/2 tertanggal 26 September 1972; d) Selanjutnya surat Menteri PUTL nomor Men.9/3/22 tanggal 14 Maret 1973 dilayangkan kepada Menteri Kehakiman untuk meminta saran

dan tanggapan RUU Pokok-pokok Bina Kota yang telah diajukan kepada Presiden dan Menteri Sekretariat Kabinet dalam waktu yang tidak terlalu lama; e) Sementara itu, awal 1974 berlaku UU 5/1974 tentang Pokok- pokok Pemerintahan di Daerah. Menteri Sekretariat Kabinet menyarankan agar Departemen PUTL menyesuaikan materi RUU tentang Pokok-pokok Bina Kota dengan undang-undang baru tersebut. Setelah mengadakan evaluasi dan pengembangan pemikiran, dengan surat nomor Men.9/2/20 tanggal 15 Februari 1975, Menteri PUTL kembali menyampaikan laporan kepada Sekretariat Kabinet yang menjelaskan Mengenai naskah RUU tentang Pokok-Pokok Bina Kota yang telah disesuaikan disertai tambahan RUU tentang Jalan serta tiga Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), yakni RPP Teknik Penyehatan Bidang Air Minum, RPP Teknik Penyehatan Bidang Air Buangan dan RPP tentang Kontraktor Umum di Bidang Bangunan Umum dan Bangunan Sipil serta Konsultan di Bidang Bangunan Umum dan Bangunan Sipil; f) Dua bulan Sekretariat kemudian, tepatnya tanggal 17 April 1975, atas prakarsa Kabinet diadakan pertemuan koordinasi wakil dari

Departemen PUTL, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kehakiman dan Bappenas. Setelah pertemuan koordinasi, Sekretariat Kabinet meminta Departemen PUTL mengadakan penyesuaian RUU tentang

19

Pokok-pokok Bina Kota terhadap RUU tentang Tata Guna Tanah yang diajukan Depdagri; g) Hasil dari penyesuaian ini lalu menjadi awal RUU tentang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pembinaan Kota (1975); h) Selain itu juga ada RUU tentang Tata Ruang Kota (1978); i) Pada masa ini juga berlaku RUU Tata Guna Tanah usulan Ditjen Agraria Depdagri. Sehingga hal ini Pada saat itu pula sempat terjadi kebingungan di lingkungan pemerintah daerah yang selama ini dibina Departemen PUTL, terhadap Permendagri 4/1980 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota. Selanjutnya, sebagai aturan pelaksanaan diterbitkan Permendagri 650/123/233-234. Semua Rencana Kota harus dijadikan Peraturan Daerah. Sempat terjadi kebingungan di daerah karena harus melaksanakan arahan Depdagri yang tidak selalu sama dengan Departemen PUTL. Sementara itu, juga terjadi kericuhan ganti cover dari rencana kota untuk digunakan kota lain sebagai jalan pintas membuat rencana karena keterbatasan dana dan sumber daya manusia, sekaligus mengejar target sesuai dengan arahan Depdagri agar setiap kota memiliki rencana kota; j) Kondisi tersebut menyebabkan pada tahun 1985 ditetapkan SKB Mendagri-Menteri PU nomor 650-1595 dan 503/KPTS/1985 tentang Tugas-tugas dan Tanggung Jawab Perencanaan Kota. SKB tersebut

perlu melibatkan Menpan karena berbagai keluhan di pemerintah daerah, akibat kerancuan kewenangan perencanaan kota. Pada SKB tersebut diatur; k) Tugas dan tanggung jawab Departemen PU adalah di bidang tata ruang (teknik planologi) dalam perencanaan kota, yang meliputi penetapan kriteria dan standar teknik penyusunan rencana-rencana tata ruang kota, bantuan teknik, petunjuk dan saran dalam menyusun tata ruang kota/wilayah; l) Tugas dan tanggung jawab Depdagri adalah di bidang administrasi perencanaan kota, yang meliputi pengesahan, pengaturan, koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian administrasi tata ruang kota;

20

m) Tindak lanjut kewenangan tersebut diatur dalam Kepmen PU nomor 640/KPTS/ 1986 dan Permendagri 2/1987 (mencabut Permendagri

4/1980). Dalam hal ini, terlihat pengaturan aspek administrasi perencanaan yang diatur dalam SKB belum cukup terurai untuk

memenuhi hal-hal yang perlu dibina Depdagri. Pada saat itu, aspek penatagunaan tanah pun belum cukup terkait dengan penataan ruang (kota). Rencana kota kurang diterima karena lebih merupakan produk prestise dan pajangan di rumah pejabat atau kantor pemerintah daerah. Sementara itu, perencanaan tata guna tanah lebih memiliki civil effect

yang digunakan untuk menerbitkan sertifikat hak atas tanah; n) Pada tanggal 17 Desember 1991, Dewan Pertimbangan Agung dengan surat nomor 29/DPA/1991 menyampaikan kepada Presiden tentang keserasian pengembangan Daerah Perkotaan dan Daerah Pedesaan yang mengusulkan segera ditetapkan Rancangan Undang-Undang tentang Tata Ruang, baik itu Rencana tata ruang pedesaan di sekitar kota dan pusat Pertumbuhan; o) Pada tanggal 21 Januari 1992, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup memberi jawaban pemerintah terhadap pemandangan umum atas RUU tentang Penataan Ruang. Sebelumnya, pada tanggal 27 September 1991, Presiden menyampaikan bahwa RUU tentang Penataan Ruang layak dibicarakan dalam sidang DPR guna mendapat persetujuan dan menugaskan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Emil Salim) mewakili pemerintah untuk membahas RUU tentang Penataan Ruang menjadi UU tentang Penataan Ruang. Dengan demikian, RUU tentang Penataan Ruang telah memenuhi syarat untuk diproses menjadi undang-undang. Jawaban pemerintah terhadap pemandangan

umum fraksi di DPR, menandai RUU tentang Penataan Ruang dibahas menjadi Undang-Undang tentang Penataan Ruang nomor 24 tahun 1992 yang akhirnya disahkan dan ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 13 Oktober 1992;

21

p) Pada masa ini juga mulai dikenalkan istilah otonomi daerah dengan pemberlakuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah; q) Pada masa ini kompleksitas pembangunan nasional, regional dan lokal semakin meningkat disertai pengaruh metode-metode dan teknologi negara maju; r) Peningkatan program transmigrasi untuk membuka lahan-lahan pertanian baru di luar Jawa; s) Pembangunan yang lebih bersifat sentralistik; t) Industrialisasi mulai digalakkan ditandai dengan munculnya kawasankawasan industri; u) Standarisasi hirarki perencanaan dari yang umum, detail dan terperinci untuk tiap daerah tingkat I dan II.

6. Masa Tahun 2000an a) Diberlakukannya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebagai pengganti UU No. 24 Tahun 1992 yang lebih menegaskan pentingnya penataan ruang dalam perencanaan kota dan desa di Indonesia; b) Berlakunya Otonomi Daerah secara benar dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi lagi dengan UU No. 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah; c) Imbas dari otonomi daerah ini juga diberlakukan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang mengatur otonomi desa; d) Kabupaten dan Kota berlomba-lomba meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD); e) Tingginya wacana partisipasi masyarakat dan pemberdayaan masyarakat; f) Tingginya wacana pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

22

DAFTAR PUSTAKA

Kuncoro, 2004 , Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga Riwu Kaho Josef, 2007, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta : Penerbit PT Raja Grafindo Persada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah http://dokter-kota.blogspot.com/2012/09/sejarah-perencanaan-wilayah-dan-kotadi.html diakses 23 Maret 2013 http://penataanruang.pu.go.id/taru/sejarah/sejarah.htm diakses 23 Maret 2013 http://darasalsabilla.blogspot.com/2008/04/perbandingan-svo-uu-241992-danuu.html diakses 23 Maret 2013

23

You might also like