You are on page 1of 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Landasan Teoritis

2.1.1. Konsep Investasi Investasi merupakan salah satu komponen ekonomi makro yang memiliki pengertian yang sangat luas dan teori yang rumit, karena tidak saja dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, tetapi juga faktor non ekonomi seperti faktor psikologis para investor, iklim politik serta keadaan sosial masyarakat yang beraneka ragam bentuknya. Oleh sebab itu, investasi dikatakan variabel yang mudah goncang dan tidak stabil. Investasi adalah kegiatan penanaman modal pada berbagai kegiatan ekonomi dengan harapan memperoleh keuntungan di masa yang akan datang, yang terdiri dari investasi finansial dan investasi non-finansial. Investasi juga didefinisikan sebagai pengeluaran-pengeluaran atau pembelanjaan penanaman modal. Perusahaan membeli barang-barang modal dan perlengkapan-

perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan produksi barang dan jasa yang tersedia dalam perekonomian. Investasi adalah pengeluaran oleh sektor produsen untuk pembelian barang-barang dan jasa-jasa dengan maksud untuk menambah stok yang digunakan atau untuk perluasan pabrik (Budiono, 1992). Para ahli ekonomi menganggap bahwa investasi selalu berarti pembentukan modal riil, yaitu menambah barang-barang pada persediaan atau pembelian pabrik-pabrik baru,

peralatan-peralatan baru yang semuanya akan terjadi bila ada pembentukan modal secara fisik (Samuelson, 1996). Menurut Keynes investasi berkaitan dengan apakah suatu proyek penanaman modal atau investasi layak untuk dilakukan atau tidak. Teknik untuk mengetahui apakah suatu proyek itu menguntungkan atau tidak, yaitu dengan membandingkan profitabilitas relatif proyek-proyek dengan mendiskontir hasilhasil dimasa depan adapun teknik-teknik mendiskontir yang dikemukakan Keynes yaitu : (1) nilai di masa depan dari sejumlah nilai sekarang; (2) Marginal Efficiency Of Capital (MEC); Marginal Efficiency Of Invesment (MEI); Skedul Permintaan Investasi. Investasi dapat dibagi menjadi tiga golongan antara lain. Yang pertama adalah investasi tetap perusahaan yang terdiri dari pengeluaran perusahaan atas mesin tahan lama, perlengkapan dan bangunan-bangunan seperti fasilitas pabrik dan perlengkapan mesin lainnya, investasi ini juga dapat disebut sebagai investasi tetap bisnis. Yang kedua adalah investasi tempat tinggal umumnya terdiri dari investasi perumahan. Dan yang ketiga adalah investasi persediaan (Dorbusch, Fischer, 1990 : 269). Investasi perumahan terdiri dari bangunan tempat tinggal untuk keluarga tunggal dan untuk keluarga besar, yang secara singkat kita sebut perumahan. Perumahan merupakan suatu aktiva/harta oleh karena umurnya yang panjang. Definisi secara umum, investasi meliputi: (1) Seluruh nilai pembelian pengusaha atas barang-barang modal dan pembelanjaan untuk mendirikan industri; (2) Pengeluaran-pengeluaran masyarakat untuk mendirikan rumah-rumah tempat

tinggal; (3) Pertambahan dalam nilai stok - stok barang perusahaan berupa bahan mentah, barang yang belum selesai diproses dan barang jadi. Berbeda dengan yang dilakukan oleh para konsumen (rumah tangga), yang membelanjakan sebagian besar dari pendapatan mereka untuk membeli barang dan jasa yang mereka butuhkan, penanam-penanam modal melakukan investasi bukan untuk memenuhi kebutuhan mereka tapi untuk mencari keuntungan. Dengan demikian banyaknya keuntungan yang akan diperoleh besar sekali peranannya dalam menentukan tingkat investasi yang akan dilakukan oleh para pengusaha. Disamping oleh harapan dimasa depan untuk memperoleh untung, terdapat beberapa faktor lain yang akan menentukan tingkat investasi yang akan dilakukan dalam perekonomian. Faktor-faktor yang dapat menentukan tingkat investsi diantaranya; tingkat keuntungan investasi yang diramalkan akan diperoleh, tingkat bunga, ramalan mengenai keadaan akonomi dimasa akan datang, tingkat inflasi, kemajuan teknologi, tingkat pendapatan dan perubahanperubahannya.

2.1.2

Sektor Perumahan Sektor properti adalah sektor yang identik dengan pendirian bangunan

atau kawasan dengan tujuan meningkatkan nilai guna tanah dan bangunan yang ada sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi (DPD REI, 2000 : 9). Menurut DPD REI Jawa Tengah secara garis besar properti terbagi atas: (1) Kawasan (terdiri dari perumahan, industry, agro estate); (2) Apartemen,

10

kondominium dan town house; (3) Bangunan perkantoran dan Plasa; 4. Bangunan lain (terdiri dari kawasan wisata, hotel, gudang). Rumah sebagai bangunan merupakan bagian dari suatu pemukiman yang utuh, dan tidak semata-mata merupakan tempat bernaung untuk melindungi diri dari segala bahaya, gangguan, dan pengaruh fisik belaka, melainkan juga merupakan tempat tinggal, tempat beristirahat setelah menjalani perjuangan hidup sehari-hari. (C. Djemabut Blaang, Perumahan dan Permukiman, 1986). Berdasarkan UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman Bab I, Perumahan adalah sekelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkunagan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Berdasarkan petunjuk perencanaan kawasan perumahan kota

(Departemen Pekerja Umum, 1987, p.4), Lingkungan perumahan adalah sekelompok rumah-rumah dengan prasarana dan fasilitas lingkungannya. Terdapat dua jenis pasar dalam pasar perumahan yaitu pasar primer dan pasar sekunder. Pasar primer adalah pasar yang menyediakan rumah baru dimana untuk jenis ini dipasok oleh pengembang (developer) baik itu pengembang swasta maupun pengembang pemerintah. Pengembang swasta pada saat ini kebanyakan tergabung dalam organisasi Real Estate Indonesia (REI) sementara kepanjangan tangan pemerintah dalam hal pembangunan perumahan untuk masyarakat dilaksanakan oleh Perum Perumnas. Pasar sekunder adalah pasar yang menyediakan peralihan hak kepemilikan rumah telah pakai atau non baru. Pada saat ini pasar sekunder banyak dibantu oleh jasa para broker atau agen properti seperti ERA, Colliers, Jardin, Ray white, dan lain sebagainya.

11

Beberapa hal yang diperkirakan berkaitan dengan perkembangan sektor properti: a) Pertumbuhan ekonomi nasional secara umum, yang akan mencerminkan peningkatan kegiatan ekonomi dan pada akhirnya akan mempengaruhi permintaan terhadap sektor properti. b) Perkembangan ekonomi sektoral terutama berkaitan dengan sektor industri yang berkaitan erat dengan permintaan kawasan industri, perbankan dan jasa yang berkaitan dengan perkantoran maupun fasilitas pendanaan,

perdagangan, restoran dan hotel yang berhubungan dengan perhotelan dan pusat perbelanjaan, serta sektor konstruksi/bangunan yang berkaitan dengan sektor properti. c) Perkembangan indikator moneter seperti inflasi, nilai tukar dan tingkat suku bunga, yang akan mempengaruhi prospek pendanaan dan penerimaan investasi dibidang properti. d) Kondisi makro yang diperkirakan menjadi kendala seperti neraca pembayaran dan pembangunan infrastruktur.

2.1.3

Hubungan Suku Bunga dengan Investasi Menurut Samuelson (1996) suku bunga adalah bunga atau sewa yang

dibayarkan per unit waktu. Dengan kata lain masyarakat harus membayar peluang untuk meminjam uang Sedangkan menurut Budiono (1992) tingkat bunga adalah harga dari penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu. Sedangkan menurut Pass dan Lowes (1994) tingkat bunga merupakan jumlah tertentu bunga (interest) yang harus dibayarkan peminjam kepada pemberi pinjaman atas sejumlah uang tertentu untuk membiayai konsumsi (Consumption)

12

dan investasi (Investment). Mankiw (2000) tingkat bunga adalah harga pasar yang mentransfer sumberdaya masa lalu dan masa depan atau hasil tabungan dan biaya peminjaman. Para ekonom menyebutkan tingkat bunga yang dibayar bank sebagai tingkat bunga nominal (nominal interest rate) dan kenaikan dalam daya beli dengan tingkat bunga rill (real interest rate). Tingkat bunga nominal adalah hasil tabungan dan biaya pinjaman tanpa penyesuaian terhadap inflasi sedangkan tingkat bunga rill adalah pengembalian terhadap tabungan dan biaya pinjaman setelah disesuaikan dengan inflasi (Mankiw, 2000). Unsur penentu penting yang kedua atas tingkat investasi adalah biaya investasi (suku bunga). Suku bunga merupakan landasan atau ukuran bagi layak atau tidak layaknya suatu usaha/investasi. Suku bunga juga merupakan indikator penentuan tingkat pengembalian modal atas resiko yang ditanggung oleh pemilik modal di pasar keuangan dan pasar modal. Secara teoritis Klasik telah memperlihatkan efek suku bunga terhadap investasi. Klasik mengemukakan bahwa investasi merupakan fungsi dari suku bunga. Makin tinggi suku bunga, keinginan untuk melakukan investasi makin kecil. Hal ini terjadi karena seorang pengusaha akan menambah investasi yang ia keluarkan bilamana keuntungan yang diharapkan dari investasi tersebut masih lebih besar dibanding dengan biaya modal berupa tingkat bunga yang dibayar. Jadi makin rendah tingkat bunga maka pengusaha akan terdorong untuk mengadakan investasi karena biaya pemakaian dana yang lebih kecil (Sukirno, 2003).

13

Menurut teori Friedman, bahwa penurunan yang besar dalam suku bunga akan sangat menggalakkan investasi-investasi baru. Dengan kata lain bahwa investasi sangat sensitif terhadap perubahan suku bunga, yaitu penurunan suku bunga yang relatif kecil akan dapat menyebabkan pertambahan yang nyata dalam investasi (Sukirno, 2003). Menurut teori Keynes, tingkat bunga merupakan determinan atas investasi. Tingkat bunga memiliki sifat korelasi negatif dengan pertumbuhan investasi. Bila suku bunga turun, maka investasi cenderung meningkat. Sebaliknya, bila suku bunga naik atau meningkat, maka investasi cenderung menurun, sebab para pemilik dana lebih gemar menyimpan uangnya di bank dengan harapan memperoleh bunga yang besar. Jadi dengan sendirinya perubahan suku bunga akan mempengaruhi pertumbuhan atau penurunan investasi, selanjutnya akan mengubah tingkat pendapatan nasional. Selanjutnya Keynes dalam teorinya, bahwa tingkat bunga memegang peranan yang cukup menentukan di dalam pertimbangan para pengusaha melakukan investasi. Tetapi disamping faktor itu terdpat beberapa faktor penting lainnya, seperti keadaan ekonomi pada masa kini, ramalan perkembangan dimasa depan, dan luasnya perkembangan teknologi yang berlaku. Apabila tingkat kegiatan ekonomi pada masa kini digalakkan dan dimasa depan diramalkan perekonomian akan tumbuh dengan cepat, maka walaupun tingkat bunga tinggi, para pengusaha akan melakukan banyak investasi (Sukirno, 2003).

14

2.1.4 Hubungan PDRB dengan Investasi Produk domestik regional bruto dapat didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah, atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi disuatu wilayah. Menurut teori Klasik bahwa investasi merupakan suatu pengeluaran yang dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk

menigkatkan produksi. Jadi investasi merupakan pengeluaran yang akan menambah jumlah alat-alat produksi dalam masyarakat dimana pada akhirnya akan menambah pendapatan, sehingga PDRB meningkat. Investasi juga sebagai sarana dan motivasi dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi khususnya dalam upaya memperluas penggunaan tenaga kerja dalam meningkatkan produksi (output). Kaum Klasik menganggap akumulasi capital sebagai suatu syarat mutlak bagi pembangunan ekonomi. Maka dengan adanya pembangunan ekonomi diharapkan dapat meningkatkan pendapatan. Jadi secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa dengan melakukan penanaman modal maka dapat meningkatkan PDRB (Boediono, 1998). Teori multiplier, Keynes menyebutkan bahwa peningkatan jumlah investasi akan memperluas output dan penggunaan tenaga kerja. Oleh karena itu, investasi merupakan salah satu bagian dari PDRB sehingga bila satu bagian menigkat, maka seluruh bagian juga menigkat, (Samuelson dan Nordhous, 1996). Terdapat kaitan yang sangat erat antara investasi dengan PDRB dalam suatu daerah tertentu. Terdapat hubungan yang positif apabila PDRB naik maka pengeluaran investasi juga akan naik. Begitu pula sebaliknya meningkatnya

15

pendapatan suatu daerah (PDRB) mempunyai tendensi meningkatnya permintaan akan barang-barang dan jasa konsumsi, yang berarti akan memerlukan produksi barang-barang dan jasa konsumsi yang lebih banyak. Ini berarti memerlukan penambahan modal yang sudah ada dengan menambah proyek investasi. Dengan demikian meningkatnya tingkat pendapatan mengakibatkan meningkatnya jumlah proyek investasi yang dilaksanakan oleh masyarakat (Todaro, 2000). Fungsi investasi dengan pendapatan menunjukkan kalau investasi dapat dipengaruhi oleh pendapatan. Fungsi investasi terhadap pendapatan ada dua macam yaitu fungsi investasi autonomos dan fungsi pendapatan terpengaruh. Fungsi investasi autonomos menyatakan bahwa apabila pendapatan akan naik maka investasi yang terjadi adalah tetap atau dapat dikatakan bahwa investasi tidak berpengaruh terhadap pendapatan. Berbeda dengan fungsi investasi terpengaruh, fungsi ini menyatakan bahwa apabila pendapatan akan naik maka investasi akan naik dan investasi turun apabila pendapatan turun (Soediono, 1981). Selanjutnya prinsip akselerasi atau akselarator adalah merupakan suatu teori dalam analisa investasi yang pada hakikatnya mengatakan bahwa perubahan dalam tingkat investasi adalah sepenuhnya ditentukan oleh perubahan dalam tingkat pendapatan nasional atau regional (Sukirno, 2000). Teori di atas menjelaskan pengaruh PDRB terhadap investasi yaitu, apabila suatu daerah memiliki PDRB yang tinggi maka para investor akan lebih memilih berinvestasi di daerah tersebut. Dan sebaliknya semakin banyak investasi yang dilakukan maka jumlah barang dan jasa yang diproduksi suatu daerah akan semakin menigkat sehingga menigkatkan PDRB daerah tersebut.

16

2.1.5

Efek Inflasi Terhadap Investasi Inflasi merupakan kecendrungan kenaikan harga-harga secara umum dan

terus-menerus

(Insukindro,

1987).

Selanjutnya

Boediono

(1982)

inflasi

merupakan kecendrungan harga-harga untuk menaik secara umum dan terusmenerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali apabila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain. Ackley (1978) mendefinisikan inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus menerus dari barang-barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). Menurut definisi ini kenaikan harga yang sporadik bukan dikatakan inflasi. Inflasi secara langsung mempengaruhi kinerja (tingkat laba) perusahaan di sektor riil serta daya beli masyarakat. Kenaikaan inflasi disuatu periode dapat meningkatkan biaya produksi sehinggga mengurangi laba perusahaan. Kenaikan inflasi juga dapat melemahkan daya beli masyarakat. Selanjutnya Keynes mengatakan bahwa inflasi terjadi karena adanya permintaan barang yang meningkat menyebabkan harga akan naik karena jumlah barang yang tersedia berkurang yang akhirnya dengan naiknya harga akan mengakibatkan investasi berkurang. Secara teoritis penyebab inflasi dapat dibagi menjadi tiga kelompok : Demand-side inflation, Supply-side inflation, Demansupply inflation. Pertama, Demand-side inflation yaitu Inflasi ini disebabkan oleh kenaikan permintaan agregat yang melebihi kenaikan penawaran agregat. Menurut kaum Monetaris penyebab inflasi ini berasal dari kelebihan penawaran

17

uang dibandingkan yang diminta oleh masyarakat. Sedangkan golongan NeoKeynesian tidak menyangkal pendapat kaum Monetaris tetapi menambahkan bahwa tanpa ekspansi uang beredar, kelebihan permintaan agregat dapat saja terjadi jika terjadi kenaikan pengeluaran konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan surplus transaksi berjalan. Dengan demikian inflasi dapat disebabkan oleh faktor-faktor moneter dan non moneter. Kedua, Supply-side inflation dimana jenis inflasi ini menekankan bahwa inflasi disebabkan oleh kenaikan penawaran agregate yang melebihi permintaan agregat. Faktor yang menyebabkan kelebihan penawaran ini dapat terdiri dari berbagai faktor seperti kenaikan tingkat upah, harga bahan baku baik impor maupun domestik, ataupun kekakuan struktural. Inflasi yang disebabkan oleh kenaikan tingkat upah yang kemudian dialihkan produsen kepada konsumen dengan menaikkan tingkat harga barang disebut juga wage cost push inflation. Inflasi dapat juga disebabkan oleh kesengajaan pengusaha (yang memiliki harga barang demi meningkatkan marjin keuntungannya) atau biasa disebut price push inflation. Teori kekuatan struktural tentang inflasi menganggap mobilitas sumber dana di negara berkembang sangat rendah, dan sangat sukar diubah pemanfaatannya sehingga mendorong kenaikan harga. Adanya kekakuan harga untuk penurunan pada sektor yang lemah dan kenaikan harga pada sektor yang berkembang (boom sector) akan mendorong kenaikan harga secara umum. Ketiga, Deman-supply inflation. Jenis inflasi ini disebabkan oleh kombinasi antara kenaikan permintaan agregat yang kemudian diikuti oleh kenaikan penawaran, sehingga harga menjadi meningkat lebih tinggi. Interaksi

18

antara permintaan agregat dan penawaran agregat yang mendorong kenaikan harga ini disebabkan oleh ekspektasi kenaikan harga, tingkat upah atau adanya kelembanan (invertia) inflasi masa lalu. Tingkat inflasi dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengetahui kondisi perekonomian disuatu daerah, bila inflasi terjadi maka akan terjadi kenaikan biaya produksi barang sehingga akan mempengaruhi iklim investasi dan penanaman modal (Mankiew, 1999). Inflasi dapat dibedakan menjadi tiga yaitu inflasi rendah atau ringan, inflasi moderat atau sedang dan inflasi tinggi atau serius. Inflasi yang buruk akan mendorong para pengusaha untuk melakukan kegiatan yang spekulatif, sehingga akan mengurangi investasi karena yang berkembang adalah kegiatan spekulatif. Inflasi yang tinggi akan menyebabkan investasi menurun dan apabila inflasi turun maka investasi akan mengalami kenaikan atau dengan inflasi yang rendah para pengusaha berusaha untuk meningkatkan kegiatan investasi (Sadono Sukirno, 1998). Kenaikan harga-harga barang dan jasa khususnya, harga-harga barang modal untuk kebutuhan produksi tentu akan mempengaruhi minat untuk berinvestasi disebabkan karena tingginya biaya yang harus dikeluarkan karena investasi itu sendiri. Bagi produsen inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Bila hai ini terjadi, produsen akan terdorong untuk melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi pada perusahaan besar). Namun bila inflasi meneyebabkan naiknya biaya produksi hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, bila tak sanggup mengikuti laju inflasi, maka produsen

19

tersebut mungkin akan bangkrut (biasanya terjadi pada perusahaan kecil) (www.wikipedia.com). Tingkat laju inflasi ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran yang mencerminkan perilaku para pelaku pasar atau masyarakat. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat tersebut adalah ekspektasi terhadap laju inflasi dimasa yang akan datang. Ekspektasi laju inflasi yang tinggi akan mendorong masyarakat untuk mengalihkan aset finansial yang dimilikinya menjadi aset riil, seperti tanah, rumah, dan barang-barang konsumsi lainnya. Begitu juga sebaliknya ekspektasi laju inflasi yang rendah akan memberikan insentif pada masyarakat untuk melakukan investasi pada sektor-sektor produktif. Akibat buruk yang dapat ditimbulkan oleh inflasi adalah jika tidak dapat dikendalikan maka tidak akan mendorong pengusaha untuk melakukan kegiatan usaha yang bersifat produktif. Dengan sendirinya ini akan mengurangi kegiatan investasi. Kegiatan-kegiatan ekonomi yang berkembang adalah kegiatan ekonomi yang bersifat spekulatif. Perubahan corak kegiatan ekonomi seperti ini akan mengurangi tingkat kegiatan ekonomi, menambah pengangguran dan

memperlambat lajunya pembangunan ekonomi (Efendy, 2006). Tingkat inflasi berpengaruh negatif pada tingkat investasi hal ini disebabkan karena tingkat inflasi yang tinggi akan meningkatkan resiko proyek-proyek investasi dan dalam jangka panjang inflasi yang tinggi dapat mengurangi rata-rata masa jatuh pinjam modal serta menimbulkan distrosi informasi tentangharga-harga relatif.

Disamping itu menurut Greene dan Pillanueva (1991), tingkat inflasi yang tinggi sering dinyatakan sebagaiukuran ketidakstabilan roda ekonomi makro dan suatu ketidakmampuan pemerintah dalam mengendalikan kebijakan ekonomi makro. Di

20

Indonesia kenaikan tingkat inflasi yang cukup besar biasanya akan diikuti dengan kenaikan tingkat suku bunga perbankan. Dapat dipahami, dalam upayanya menurunkan tingkat inflasi yang membumbung, pemerintah sering menggunakan kebijakan moneter uang ketat (tigh money policy). Dengan demikian tingkat inflasi domestik juga berpengaruh pada investasi secara tidak langsung melalui pengaruhnya pada tingkat bunga domestik Inflasi yang tidak seimbang mendistorsi harga-harga relatif, tingkat pajak, dan suku bunga riil. Masyarakat akan pergi ke bank, pajak akan meningkat, dan pendapatan akan terganggu. Juga inflasi yang tidak terantisipasi menurunkan modal serta redistribusi pendapatan secara random. Pada saat masyarakat menentukan langkah untuk menurunkan inflasi, biaya-biaya rill dari langkahlangkah tersebut akan menurunkan output dan merusak kesempatan kerja (Samuelson dan Nordhaus, 1996).

2.2

Beberapa Hasil Studi Empiris Sebelumnya Nurinayah (2001) melakukan suatu penelitian tentang Pengaruh

Tingkat Suku Bunga dan Produk Domestik Bruto Terhadap Investasi di Indonesia Tahun 1983-2000. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara suku bunga terhadap investasi, dimana hal tersebut ditunjang oleh analisa statistik yang menunjukkan nilai korelasi sebesar 5,10%. Sedangkan untuk produk domestik bruto hubungannya positif terhadap investasi di Indonesia yang menunjukkan nilai korelasi sebesar 16,17%. Selanjutnya Amiruddin (2004) melakukan penelitian tentang Pengaruh Ketidakstabilan Tingkat Suku Bunga, Nilai tukar, dan Tingkat Harga Terhadap

21

Penanaman Modal Asing di Indonesia Tahun 1992-2000. Pada penelitian ini, melalui persamaan regresi berganda menunjukkan bahwa koefisien variabel suku bunga dan tingkat harga berhubungan dan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penanaman modal asing di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Tri Utami Sari terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman modal sektor properti di Indonesia pada tahun 1989-1999. Pendapatan nasional, tingkat suku bunga riil, inflasi secara individu signifikan dalam mempengaruhi variabel penanaman modal sektor properti di Indonesia tahun 1989-1999. Secara bersama-sama juga signifikan dalam mempengaruhi penanaman modal sektor properti. Pendapatan nasional

mempunyai pengaruh yang positif terhadap tingkat penanaman modal, tingkat suku bunga mempunyai pengaruh yang negatif terhadap tingkat penanaman modal, dan tingkat inflasi juga mempunyai pengaruh yang negatif terhadap penanaman modal sektor properti. Sebaliknya Ferry Latuhihin (2004) dalam studinya mengatakan bahwa secara empiris, pertumbuhan kredit investasi sama sekali tidak sensitif terhadap perubahan suku bunga patokan seperti SBI atau Jakarta Inter-Bank Offered Rate (JIBOR). Saat terjadi penurunan suku bunga, akselerasi pertumbuhan kredit investasi malah menurun. Studi yang telah dilakukan oleh Hsio dan Shen (2003), menggunakan data panel dari 23 negara berkembang dari tahun 1976 sampai 1977. Hasilnya ditemukan bahwa pertumbuhan ekonomi berdampak positif dan signifikan terhadap FDI, derajat keterbukaan dan indek korupsi berpengaruh positif dan

22

signifikan dan pembangunan infrastruktur yang diproksi dengan variabel sambungan telepon juga positif dan signifikan terhadap FDI.

2.3

Kerangka Pikir Sektor properti ini memiliki kerentanan yang cukup tinggi, dikarenakan

sektor ini merupakan sektor yang bersifat padat modal dan memiliki ketidakpastian yang tinggi, karena investasi yang ditanamkan baru akan menghasilkan kegunaan pada jangka panjang. Melakukan investasi diperlukan modal yang besar, maka untuk memenuhi modal tersebut adalah dengan melakukan pinjaman kepada pihak perbankan baik dalam negeri maupun luar negeri. Suku bunga bank dapat mempengaruhi investasi sektor properti. Dalam hubungannya tingkat suku bunga dengan investasi terdapat fungsi investasi yang mengaitkan jumlah investasi dengan tingkat bunga. Investasi tergantung pada tingkat bunga karena tingkat bunga merupakan biaya dari pinjaman yang dipinjam oleh para peminjam. Para pengusaha akan melakukan investasi apabila pengusaha mendapatkan keuntungan yang tinggi dari pada bunga yang diperoleh apabila uangnya ditabung. Para pengusaha juga meminjam dana untuk melakukan investasi apabila bunga yang kelak dibayar sedikit, dengan demikian apabila suku bunga rendah maka investasi akan naik dan jika suku bunga tinggi investasi akan mengalami penurunan. Sedangkan pengaruh PDRB dituangkan dalam teori ekonomi

pembangunan, bahwa tingkat PDRB dan investasi mempunyai hubungan timbal balik yang positif. Hubungan timbal balik tersebut terjadi oleh karena disatu pihak, semakin tinggi PDRB suatu daerah, berarti semakin besar bagian dari

23

pendapatan yang bisa diinvestasikan, sehingga investasi yang tercipta akan semakin besar pula. Serta peningkatan PDRB berarti permintaan barang dan jasa semakin besar sehingga para investor akan menambah nilai investasi. Di lain pihak, semakin besar investasi suatu negara, akan semakin besar pula tingkat PDRB yang bisa di capai. Dalam suatu investasi barang-barang yang digunakan untuk melakukan investasi sangat diperlukan. Inflasi merupakan keadaan yang menyebabkan naiknya harga-harga, ini membuat keadaan perekonomian mengurangi kegiatan yang produktif, naiknya harga bahan bangunan akan menyebabkan pembangunan bangunan membutuhkan banyak biaya sehingga apabila terjadi inflasi yang tidak stabil maka akan mempengaruhi investasi sektor properti dalam perekonomian. Tingkat inflasi dapat sebagai indikator untuk mengetahui kondisi perekonomian di suatu daerah, bila inflasi terjadi maka akan terjadi kenaikan biaya produksi barang sehingga akan menurunkan profit dan inflasi juga menurunkan daya beli masyarakat yang pada akhirnya akan menyebabkan investasi menurun. Biaya produksi yang tinggi dan tingkat konsumsi masyarakat yang cenderung menurun menyebabkan pendapatan menurun dan juga menurunkan kemampuan perusahaan untuk berinvestasi. Oleh karenanya untuk menganalisis dan mengetahui gambaran seberapa besar pengaruh dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi investasi pada sektor perumahan perlu diberikan kerangka pembahasan yang sistematis sehingga akan memperjelas kerangka konseptual penulisan skripsi ini sebagai berikut :

24

Suku Bunga

PDRB

Investasi Sektor Perumahan

Inflasi

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir

2.4

Hipotesis Dari rumusan masalah dan landasan teori yang diuraikan diatas maka

hipotesa terhadap penelitian ini adalah: Di duga bahwa tingkat suku bunga kredit dan inflasi mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap investasi perumahan, sedangkan pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap investasi perumahan.

25

You might also like