You are on page 1of 31

Pendahuluan Hati (liver) merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia.

Didalam hati terjadi prosesproses penting bagi kehidupan kita, yaitu proses penyimpanan energi, pembentukan protein dan asam empedu, pengaturan metabolisme kolesterol, dan penetralan racun atau obat yang masuk dalan tubuh kita. Sehingga dapat kita bayangkan akibat yang akan timbul apabila terjadi kerusakan pada hati. Beberapa penyakit hati antara lain : penyakit hati karena infeksi, penyakit hati karena racun, genetik atau keturunan, gangguan imun, dan kanker. Oleh karena itu perlu perhatian pada hati untuk menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan penyakit hati tersebut, dan bila telah terjadi penyakit hati tersebut, harus dapat dideteksi dengan segera.

Anamnesis Ada 6 aspek penting dalam anamnesis yang baik, yaitu : Identitas Pasien, yaitu Nama lengkap, Tempat/tanggal lahir, Status perkawinan, Pekerjaan, Alamat, Jenis kelamin, Umur, Agama, Suku bangsa, dan pendidikan. Keluhan Utama, yaitu keluhan paling utama yang menyebabkan pasien memutuskan untuk periksa ke dokter. Riwayat penyakit sekarang, berupa : o Kapan mulai muncul gangguan tersebut o Frekuensi serangan o Sifat serangan, akut/kronis/intermittent o Durasinya, lama menderitanya o Sifat sakitnya, sakitnya seperti apa o Lokasinya, dimana letak pasti skaitnya, apakah disitu saja atau berpindahpindah o Perjalanan penyakitnya, riwayat pengobatan sebelumnya o Hubungan dengan fungsi fisiologis yang lain, adakah gangguan fisiologis yang lain, yang ditimbulkan oleh gangguan tidur, banyaknya keringat yang keluar dsb o Akibat yang timbul, masih dapat bekerja, atau hanya tiduran saja

Riwayat penyakit dahulu, yakni : 1. Mengenai kemungkinan adanya riwayat penyakit sebelumnya. Pernakah pasien menderita keluhan yang sama di waktu-waktu dahulu, atau keluhan yang mirip dengan yang sekarang dirasakan. 2. Mengenai kemungkinan riwayat penyakit yang pernah diderita dengan melihat diagnosis banding penyakit yang sekarang ini. 3. Kemungkinan pasien menderita penyakit yang serius di waktu-waktu yang lain. Apakah pasien pernah dirawat inap di rumah sakit, sebelumnya.

Riwayat kesehatan Keluarga, menanyakan keadaan anggota keluarga mulai dari umur, jenis kelamin, keadaan kesehatan (masih hidup/ meninggal), jika masih hidup sehat/sakit apa, jika sudah meninggal apa penyebab meninggalnya.

Riwayat penyakit menahun keluarga, apakah pasien atau ada anggota keluarga pasien yang menderita penyakit misalnya alergi, asma, tuberculosis, arthritis, hipertensi, jantung, ginjal, lambung, kencing manis(DM), penyakit liver, stuke dll.1

Selain itu juga ditanyakan : 1. Tanyakan apakah pasien mengalami nyeri pada bagian perut? 2. Jika ada, dimana Lokasi nyerinya? 3. Sejak kapan? 4. Onset dan Intensitas Nyeri : bagaimana mulai timbulnya serangan nyeri? a. Secara tiba-tiba? b. Secara cepat menjadi hebat? c. Atau secara bertahap rasa nyeri makin bertambah? Intensitas nyeri, apakah pasien tadinya sehat tiba-tiba merasakan nyeri perut hebat? Hal ini dapat disebabkan oleh adanya sumbatan, perforasi atau puntiran. Untuk nyeri yang secara bertahap bertambah intensitasnya disebabkan oleh proses inflamasi, misalnya pada kolesistitis akut atau pancreatitis akut. 5. Ada muntah/tidak? 6. Peminum alkohol atau tidak?1,2

Pemeriksaan Fisik a. Pemeriksaan Umum.1,2 Menilai keadaan umum pasien: baik/buruk, yang perlu diperiksa dan dicatat adalah tanda-tanda vital, yaitu: Kesadaran penderita : - Kompos mentis (sadar sepenuhnya), Apatis (pasien tampak segan, acuh tak acuh terhadap lingkunganya), Delirium (penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik, dan siklus tidur bangun yang

terganggu),Somnolen (keadaan mengantuk yang masih dapat pulih penuh bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur lagi), Sopor/stupor (keadaan mengantuk yang dalam, pasien masih dapat dibangunkan tetapi dengan rangsangan yang kuat, rangsang nyeri, tetapi pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban verbal yang baik). Kesakitan yang dialami pasien, dapat dilihat dari raut wajah pasien dan keluhan pasien ketika datang. Tanda vital seperti : tekanan darah , nadi, pernapasan, dan suhu pasien

b. Pemeriksaan Lokal Inspeksi. 1,2 Apakah orientasi pasien baik ? Apakah pasien tampak sakit ringan atau berat? apakah pasien mengalami intoksikasi? Apakah pasien mengalami ikterus, lihat sklera/ kongjutivanya, dan dapat pada kulit pasien Apakah ada tanda-tanda anemia? Adakah tanda ekskoriasi (menunjukkan pruritus---> ikterus obstruktif) ?

Perkusi. 1,2 Jika terdapat asites, lebih mungkin terjadi pada keadaan kronis Palpasi. 1,2 Nyeri tekan hati merupakan petunjuk adanya pembesaran hati yang akut dan peregangan kapsul (misal payah jantung, hepatitis akut apapun sebabnya). Proses yang kronis kurang berhubungan dengan nyeri tekan.

Pada proses radang atau engorgement, hati tidak bernodul dan berkonsistensi lunak. Pada infiltrasi kronis atau jaringan parut bisa ditemukan nodul, dan hati teraba keras. Jika hepar membesar dan keras merupakan tanda keganasan

Nodul atau massa yang besar menunjukkan adanya tumor, dan hati teraba keras.

Auskultasi Jika ada komplikasi.

Hepatitis A Merupakan salah satu dari hepatitis virus akut yang disebabkan oleh virus hepatitis A (HAV). Digolongkan dalam picornavirus, subklasifikasi sebagai hepatovirus.3,4 Manifestasi klinis Umumnya tidak bergejala atau asimtomatik. Ada demam tiba-tiba, hilang nafsu makan, mual, muntah , kulit dan mata menjadi kuning,

urin berwarna tua, tinja pucat.4 Etiologi Hepatitis A disebabkan oleh virus hepatitis A yang digolongkan dalam picornavirus, subklasifikasi sebagai hepatovirus. Diameter 27-28 nm dengan bentuk kubus simetrik, untai tunggal (singel stranded), molekul RNA linier 7,5 kb. Pada manusia terdiri atas satu serotipe, tiga atau lebih genotipe. Mengandung lokasi netralisasi imunodominan tunggal, mengandung tiga atau empat polipeptida virion di kapsomer. Replikasi di sitoplasma hepatosit yang terinfeksi, tidak terdapat bukti yang nyata adanya replikasi usus. Menyebar pada primata non manusia dan galur sel manusia. 3,4 Hepatitis A adalah penyakit jinak yang dapat sembuh sendiri dengan masa inkubasi 2 hingga 6 minggu. HAV tidak menyebabkan hepatitis kronis atau keadaan pembawa dan hanya sekalisekali menyebabkan hepatitis fulmina. Angka kematian akibat HAV sangat rendah, hanya 0,1% dan tampaknya lebih sering terjadi pada pasien yang sudah mengidap penyakit hati akibat penyakit lain, misalnya virus hepatitis B atau alcohol.

Cara penularan: Dapat menyebar melalui ingesti makanan dan minuman yang tercemar yang dikeluarkan melalui tinja selama 2 hingga 3 minggu sebelum dan 1 minggu setelah onset ikterus. Kontak pribadi yang erat dengan orang yang terinfeksi selama periode fecal shedding, disertai kontaminasi feses-oral, merupakan penyebab utama penularan. Misalnya asrama dan sekolah.

Epidemiologi Hepatitis A masih merupakan bagian terbesar dari kasus-kasus hepatitis akut yang dirawat yaitu berkisar dari 39,8% - 68,3%. Peningkatan prevalensi anti HAV yang berhubungan dengan umur mulai terjadi dan lebih nyata di daerah dengan kondisi kesehatan dibawah standar. Lebih dari 75% anak dari berbagai benua Asia, Afrika, India menunjukkan sudah memiliki antibodi anti-HAV pada usia 5 tahun. Sebagian besar infeksi HAV didapat pada awal kehidupan, kebanyakan asimtomatik atau sekurangnya anikterik. HAV ditemukan diseluruh dunia dan endemik di negara yang higiene dan sanitasinya buruk. Faktor resiko, dinegara maju menyerang usia 50 tahun (t.u Amerika Serikat), Infeksi pada orang dewasa dapat menyebabkan mortabilitas yang besar dibandingkan pada anak, pusat perawatan sehari untuk bayi dan balita, bepergian kenegara berkembang serta perilaku seks-oral.
3,4

Patofisiologi Masa inkubasi 15-50 hari , HAV dieksresi di tinja oleh orang yang terinfeksi selama 1-2 minggu sebelum dan 1 minggu setelah awitan. Kemudian diduga virus replikasi di GL tractus masuk ke darah ke hepatocyte. Terjadi kerusakkan sel hati diduga disebabkan limposit T cytoxic, karena pada biakan sel HAV tidak menimbulkan CPE (cimton patogenic efek). Kemudian terjadi perbaikan komplit dalam 3-6 bulan IgM anti HAV (+). Umumnya sembuh dengan sendirinya. 3,4

Penatalaksanaan Pada hepatitis A tidak ada terapi yang spesifik, hanya terutama diusahakan terapi suportif seperti istirahat yang cukup, asupan gizi yang memadai. Pada hepatitis A pemberian steroid tidak di anjurkan. Pencegahan yaitu dengan cara mencegah penularan melalui cuci tangan yang baik dan kebersihan diri. Vaksinasi untuk hepatitis A ada 2 jenis yaitu vaksin yang berasal dari virus inaktif yaitu Havrix dan Raqta. Imonoglobulin (IG) paling efektif digunakan pada masa inkubasi.

Hepatitis B HBV adalah anggota dari Hepadnaviridae, kelompok virus DNA yang menyebabkan hepatitis di berbagai spesies hewan. Merupakan virus DNA berselubung ganda berukuran 42 nm yang memiliki lapisan permukaan dan bagian inti. 3,4 Pemeriksaan Penunjang Tes fungsi hati : menunjukkan gambaran hepatitis non spesifik Serologi HBV : HbsAg, AntiHbs, AntiHbc (IgM atau total). Pemeriksaan lain: ultrasonografi hati perlu dilakukan jika ada keraguan mengenai cabang

bilier atau kelainan hati struktural lain. Biopsi hati kadang-kadang dilakukan bila ada fase kolestatik yang menonjol. Manifestasi klinis Infeksi subklinis : tidak ada gejala hanya HbsAg (+) paling sering. Infeksi klinis dengan gejala: Tanpa ikterus : lesu, anoreksia, urin coklat tua, tes fungsi hati meningkat. Dengan ikterus : lesu, anoreksia, urin coklat tua, ikterus, tes fungsi hati meningkat.

Etiologi Hepatitis B disebabkan oleh virus famili hepadnavirus, berukuran kecil yang mengandung DNA beruntai ganda parsial 3,2 kb yang mengkode tiga protein permukaan, yaitu antigen permukaan (HbsAg), antigen inti (HbcAg), protein pra-inti (HbeAg), bersifat envelop (+). Protein polimerase aktif yang besar, dan protein transktivator. HBV ditransmisikan melalui rute parenteral, kongenital, dan seksual. 3,4

Cara penularan: Penyebab terutama melalui parenteral (transfusi, produk darah, tertusuk jarum, pemakaian jarum suntik bersama-sama pada para pecandu obat, dan bayi neonatus pada saat persalinan) atau melalui cairan tubuh saliva, semen,dan cairan vagina), karena itulah menjadi risiko penularan seksual. Melalui darah : penerima produk darah, pasien hemodialisis, pekerja kesehatan, pekerja yang terpapar darah.

Epidemiologi / faktor resiko Dinegara maju, prevalensi hepatitis B rendah sekali karena higiene yang baik dan tindakan pencegahan terutama vaksinasi berjalan baik. Penyakit ini endemik dengan insidens tinggi di Sub-Sahara Afrika, daerah aliran sungai Amazon, Cina dan Asia Tenggara. Diperkirakan bahwa sejumlah 200.000 hingga 300.000 orang (terutama dewasa muda) terinfeksi oleh HBV setiap tahunnya di Amerika serikat. Hanya sekitar 25% dari mereka yang mengalami ikterus, 10.000 kasus memerlukan perawatan rumah sakit, dan sekitar 1-2% meninggal karena penyakit yang fulminan. Diperkirakan 25 hingga 40% penderita HBV akut sangat berisiko mengalami sirosis dan karsinoma hepatoseluler. 3,4 Faktor resiko: Pada para pekerja medis Para pengguna narkotika suntik

Melalui darah: transfusi darah biasanya penerima.

Patofisisologi Virus hepatitis B (VHB) masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HbsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HbsAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB merangsang respons imun tubuh, yang pertama kali dirangsang adalah respons imun nonspesifik karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Proses eleminasi nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T. Untuk proses eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respons imun spesifik, yaitu dengan mengaktifkan sel limposit T dan sel limposit B. Aktifitas sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks peptida VHB- MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding Antigen Presenting Cell (APC) dan dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Peptide VHB yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respons imun adalah peptida kaspid yaitu HbcAg atau HbeAg. Sel T CD 8+ selanjutnya akan mengeleminasi virus yang ada di dalam sel hati yang terinfeksi. Proses eleminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik. Disamping itu dapat juga terjadi eleminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktifitas Interferon gamma dan Tissue Necrotic Factor (TNF) alfa yang dihasilkan oleh sel T CD 8+ (mekanisme nonsitolik).5 Penatalaksanaan Terapi yang dapat diberikan untuk menekan replikasi virus untuk hepatitis B adalah Lamivudin, adalah suatu analog sitosin yang berfungsi menghambat HBV-DNA polymerase. Selain itu ada juga Adefovir Dipovil. Pro drug dari adefovir adalah suatu analog adenine nukleutida yang di fosforilasi oleh kinase selular menjadi metabolit difosfonat.

Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian vaksinasi aktif atau vaksinasi pasif dengan imonoglobulin. 2 preparat yang tersedia yaitu: (1) aktif imunisasi: vaksin hepatitis B, (2) pasif imunisasi: hepatitis B-imunne globulin (HBIg). Hepatitis C Hepatitis C (HCV) merupakan virus RNA beruntai positif yang mengkode polipeptida tunggal. Infeksi terutama ditransmisikan melalui darah yang terinfeksi. Digolongkan sebagai virus RNA dalam Flavivirus bersama-sama dengan virus hepatitis G, yellow fever, dan dengue. Virus ini umumnya masuk ke dalam melalui transfusi atau kegiatan-kegiatan yang memungkinkan virus ini langsung terpapar dengan sirkulasi darah.3 Pemeriksaan Penunjang Tes fungsi hati: menunjukkan kenaikan transminase yang relatif rendah. Derajat kelainan

hasil tes darah hati tidak terlalu berhubungan dengan derajat fibrosis hati yang mendasari. Tes untuk HCV adalah tes antibodi serologik. Virus ditemukan dalam darah oleh reaksi

rantai polimerase (PCR) dan kadar viremia bisa dihitung. Genotipe virus memiliki nilai prognostik. Biopsi hati tetap merupakan satu-satunya cara untuk menetapkan stadium dalam arti

perubahan nekroinflamasi jaringan hati, dan juga menetapkan tingkat keadaan penyakit dengan menentukan derajat fibrosis hati. 3,4,5

Manifestasi klinis Umumnya tidak memberika gejala atau hanya bergejala minimal. Hanya 20-30% kasus saja yang menunjukkan gejala atau tanda-tanda hepatitis akut 7-8 minggu (berkisar 2-26 minggu) setelah terjadinya paparan. Beberapa laporan menghasilkan identifikasi terhadap pasien infeksi hepatitis C akut, didapat adanya: Malaise Mual-mual Ikterus seperti halnya hepatitis akut akibat infeksi virus-virus hepatitis lainnya. Demam

Anoreksia Urin coklat Tes fungsi hati meningkat

Infeksi akan menjadi kronik pada 70-90% kasus dan sering kali tidak menimbulkan gejala apapun walaupun proses kerusakkan hati terus berjalan. Hilangnya VHC setelah terjadinya hepatitis kronik sangat jarang terjadi. Diperlukan waktu 20-30 tahun untuk terjadinya sirosis hati yang akan terjadi pada 15-20% pasien hepatitis C kronik. 3,4 Etiologi Hepatitis C (HVC) merupakan virus RNA beruntai positif yang mengkode polipeptida tunggal. Infeksi terutama ditransmisikan melalui darah yang terinfeksi. Seroprevalensi adalah 1% pada pendonor darah yang sehat, lebih tinggi pada negara berkembang dan tertinggi pada kelompok berisiko tinggi, seperti mereka yang menerima transfusi tanpa skrining. Tenaga kesehatan memiliki risiko terkena infeksi, transmisi secara seksual dan transmisi vertikal dapat muncul tetapi jarang.5 Cara penularan: Umumnya transmisi terbanyak berhubungan dengan transfusi darah terutama yang didapatkan sebelum dilakukannya penapisan donor darah untuk VHC oleh PMI. Infeksi VHC juga didapatkan secara sporadik atau tidak diketahui asal infeksinya. Hal ini dihubungkan dengan sosial ekonomi rendah, pendidikan kurang, dan perilaku seksual yang berisiko tinggi. Infeksi dari ibu ke anak juga dilaporkan namun sangat jarang terjadi, biasanya dihubungkan dengna ibu yang menderita HIV karena jumlah HIV dikalangan yang menderita HIV biasanya tinggi. Dilaporkan pula terjadi infeksi VHC pada tindakan-tindakan medis seperti endoskopi, perawatan gigi, dialisis, maupun operasi. Dapat juga melalui transmisi luka tusukan jarum namun diketahui risikonya relatif lebih kecil dari pada VHB namun lebih besar dari pada HVC.

Epidemiologi / faktor resiko Infeksi VHC didapatkan diseluruh dunia. Dilaporkan lebih kurang 170 juta orang di seluruh dunia terinfeksi virus ini. Prevalensi VHC berbeda-beda di seluruh dunia. Di Indonesia belum ada data resmi mengenai infeksi VHC tetapi dari laporan pada lembaga transfusi darah didapatkan lebih kurang 2% psitif terinfeksi oleh VHC. Pada studi populasi umum di Jakarta prevalensi VHC lebih kurang 4%.3 Faktor resiko: Penerima transfusi darah (produk darah) -/+ 2 minggu sebelumnya. Pada kelompok pasien seperti pengguna narkotika suntik (>80%) Pasien hemodialisis (70%) dan homoseksual. Pada kelompok pasien pengguna narkotika suntik ini selain infeksi HVC yang tinggi, ko-

infeksi dengan HIV juga dilaporkan tinggi (>80%). Patofisisologi Mengenai mekanisme kerusakan sel-sel hati HVC masih sulit dilakukan karena terbatasnya kultur sel untuk HVC dan tidak adanya hewan model kecuali simpanse yang dilindungi. Kerusakan sel hati akibat HVC atau partikel virus secara langsung masih belum jelas. Namun beberapa bukti menunjukkan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakkan selsel hati. Protein core misalnya ditengarai dapat menimbulkan reaksi pelepasan radikal oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini diketahui pula mampu berinteraksi pada mekanisme signaling dalam inti sel terutama berkaitan dengan penekanan regulasi imunologik dan apoptosis. Adanya bukti-bukti ini menyebabkan kontrovesi apakah VHC bersifat sitotoksik atau tidak, terus berlangsung.2 Reaksi Cytotoxic T cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya eleminasi menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi kronik, reaksi CTL yang relatif lemah masih mampu merusak sel-sel hati dan melibatkan respons inflamasi di hati tidak bisa menghilangkan virus maupun menekan evolusi genetik VHC sehingga kerusakkan sel hati berjalan terus menerus. 6

Perjalanan penyakit: Umumnya infeksi VHC tidak memberikan gejala atau hanya bergejala minimal. Hanya 20-30% kasus saja yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut 7-8 minggu (berkisar 2-26 minggu) setelah terjadinya paparan. Walaupun demikian, infeksi akut sukar dikenali karena pada umumnya tidak ada gejala sehingga sulit pula menentukan perjalanan penyakit akibat infeksi VHC. Dari beberapa laporan yang berhasil diidentifikasi pasien dengan infeksi hepatitis C akut, didapat adanya gejala malaise, mual-mual, dan ikterus seperti halnya hepatitis akut akibat infeksi virus-virus hepatitis lainnya,6 Infeksi akan menjadi kronik pada 70-90% kasus dan sering kali tidak menimbulkan gejala apapun walaupun proses kerusakkan hati berjalan terus. Hilangnya VHC setelah terjadinya hepatitis kronis sangat jarang terjadi. Diperlukan waktu 20-30 tahun untuk terjadinya sirosis hati yang akan terjadi 15-20% pada hepatitis C kronik.4 Penatalaksanaan Tujuan utama dari terapi adalah eradikasi virus. Secara klinis keberhasilan terapi diukur dengan substained viral respone (SVR), bila viremia (-) untuk 6 bulan setelah terapi komplit. Standard terapi untuk HCV adalah pemberian interferon pegylated seminggu sekali dikombinasi dengan ribavirin. Pemberian bias dilakukan secara oral. Hepatitis D Etiologi Virus hepatitis D (HDV), juga disebut virus hepatitis delta, adalah suatu virus RNA unik ynag memiliki cacat replikasi sehingga infeksi baru terjadi hanya jika virus ini terbungkus HBsAg. Oleh karena itu, meskipun secara taksonomis berbeda dengan dari HBV,HDV mutlak bergantung pada informasi genetic yag dihasilkan oleh HBV agar bias berkembang biak dan menyebabkan hepatitis (hanya jika terdapat HBV). Dengan demikian HDV timbul pada dua situasi: Koinfeksi akut terjadi setelah terpajan oleh serum yang mengandung HDV dan HBV. Mula-mula harus terjadi infeksi HBV dulu agar terbentuk HBsAg, yang digunakan untuk pembentukan virion HDV lengkap.

Superinfeksi karier kronik HBV oleh inokulum baru HDV (dan HBV), akan menimbulkan penyakit 30 sampai 50 hari kemudian. Seorang karier tersebut sebelunya sehat atau mungkin sudah menderita hepatitis kronik.

Koinfeksi simultan HBv dan HDV menimbulkan hepatitis,mulai dari yang ringan sampai fulminan, dengan kemungkinan terjadinya penyakit fulminan lebih besar (sekitar 3-4 %) dibandingkan pada infeksi HBV saja. Penyakit ini jarang menjadi kronik. Jika HDV terjadi pada infeksi HBV kronik, kemungkinan terdapat tiga hasil akhir: (1) hepatitis akut berat yang muncul pada karier HBV yang semula sehat, (2) hepatitis HBV ringan yang berubanh menjadi fulminan, dan/atau (3) terjadi penyakit kronik progresif (pada 80 % pasien), sering kali berakhir dengan serosis. 3,4 Epidemiologi Infeksi oleh agen delta terjadi d seluruh dunia, tetapi prevalensinya sangat bervariasi. Di Afrika, Timur Tengah, dan Italia selatan, 20-40 % karier HBsAg memiliki antibody anti-HDV. Di Amerika Serikat, infeksi delta jarang dijumpai dan umumnya terbatas pada pecandu obat dan penderita hemophilia, denagn angka prevalensi 1-10 %. Kelompok resiko tinggi lain untuk HBV, missal pria homoseks dan petugas kesehatan, berisiko kecil terjangkit HDV , oleh sebab-sebab yang belum jelas. Hepatitis E Etiologi HEV adalah suatu virus RNA untai-tunggal tidak berselubung yang secara structural mirip denagn caliciviridae. Partikel virus berdiameter 32 sampai 34 nm, dan genom RNA berukuran sekitar 7,6 kb. Suatu antigen spesifik (Ag HEV) dapat diidentifikasi dalam sitoplasma hepatosit selama masa infektif aktif, dan virion dikeluarkan melalu tinja selama sakit akut. Epidemiologi Virus hepatitis E (HEV) adalah suatu infeksi yang ditularkan melalui air/enteric dan terutama terjadi pada dewasa muda sampai usia pertengahan ; infeksi sporadic dan penyakit simtomatik pada anak jarang dijumpai. Epidemic pernah dilaporkan di Asia dan subkontinen India, Afrika

sub Sahara, dan Meksiko. Infeksi sporadic tampaknya jarang terjadi dan ditemukan terutama pada para pelancong . memamng HEV menyebabkan lebih dari 50 % kasus hepatitis akut sporadic di India melebihi frekuensi HAV. Pada kebanyakan kasus tidak menyebabkan hepatitis kronis atau viremia persisten. Masa inkubasi rata-rata setelah terpajan virus adalah 6 minggu. 3,4

Kolesistitis Kolesistitis Akut Kolesistitis Akut adalah peradangan dari dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam.

Etiologi Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah :


-

Statis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan statis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus).

Dapat timbul pada pasien yang dirawat cukup lama dan mendapat nutrisi secara parenteral, pada sumbatan karena keganasan kandung empedu, batu di saluran empedu atau merupakan salah satu komplikasi penyakit lain demam tifoid dan diabetes mellitus (Pridady, 2006). 3,4

Patofisiologi Kolesistitis akut (AC) merupakan suatu peradangan akut dari kandung empedu (GB), disebabkan oleh banyak hal oleh terhalangnya saluran kistik, menyebabkan inflamasi akut dari dinding GB; yang biasa penyebab obstruksi adalah batu empedu. AC adalah salah satu komplikasi utama cholelithiasis. Mikroorganisme diidentifikasi dalam 80% kasus awal dalam perjalanan penyakit; Escherichia coli merupakan organisme utama yang ditemukan; organisme lain meliputi batang aerobik gram negatif, enterococci, dan sejumlah Anaerob. Faktor-faktor yang dapat memulai proses peradangan meliputi pembentukan mediator peradangan (misalnya,

lysolecithin dan prostaglandin); peningkatan tekanan intralumen kompromi berkaitan dengan suplai darah dan iritasi kimia oleh asam empedu. 3,4 Resolusi spontan AC dapat terjadi dalam waktu 5-7 hari setelah onset gejala, karena pembentukan kembali dari paten saluran kistik. Pada sebagian besar kasus seperti itu, terjadi penebalan dinding fibrotic GB; ini adalah karakteristik dari kolesistitis kronis.6-8

Manifestasi Klinis Tanda awal dari peradangan kandung empedu biasanya berupa nyeri di perut kanan bagian atas. Nyeri bertambah hebat bila penderita menarik nafas dalam dan sering menjalar ke bahu kanan. Biasanya terdapat mual dan muntah. Jika menekan perut kanan sebelah atas, penderita akan merasakan nyeri tajam. Dalam beberapa jam, otot-otot perut sebelah kanan menjadi kaku. Pada mulanya, timbul demam ringan, yang semakin lama cenderung meninggi Biasanya serangan nyeri berkurang dalam 2-3 hari dan kemudian menghilang dalam 1 minggu. Gejala lain yang mungkin terjadi meliputi: Perut kepenuhan Feses seperti dempul Demam, Mual dan muntah Ikterus ( Elsevier, 2007) Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis serta kemungkinan peninggian serum transaminase dan fosfatase alkali. Apabila keluhan nyeri bertambah hebat disertai suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu perlu dipertimbangkan . Foto polos abdomen tidak memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya pada 15% pasien kemungkinan dapat terlihat batu yang tidak tembus pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak. Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesisititis akut. Pemeriksaan USG sebaiknya di kerjakan secara rutin dam sangat bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatic. Nilai kepekaan dan ketepatan USG 90-95%.

Skintigrafi saluran empedu menggunakan zat radioaktif HIDA ata 99n Tc6 iminodiacetik acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapik teknik ini tidak mudah. Terlihatnya gambaran duc.koledokus tanpa gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral dan scintigrafi sangat menyongkong kolesistitis akut. Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitive dan mahal tapi mampu memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG.6,8 Pengobatan Pengobatan umum termasuk istirahat total, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodic. Pemberian antibiotic pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi peritonitis, kolangitis, dan septicemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman-kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E.coli, Strep. Faecalis dan Klebsiella.3,6,8 Penderita dengan kolesistitis akut pada umumnya dirawat di rumah sakit, diberikan cairan dan elektrolit intravena dan tidak diperbolehkan makan maupun minum. Mungkin akan dipasang pipa nasogastrik untuk menjaga agar lambung tetap kosong sehingga mengurangi rangsangan terhadap kandung empedu. Antibiotik diberikan sesegera mungkin jika dicurigai kolesistitis akut. Jika diagnosis sudah pasti dan resikonya kecil, biasanya dilakukan pembedahan untuk mengangkat kandung empedu pada hari pertama atau kedua. Jika penderita memiliki penyakit lainnya yang meningkatkan resiko pembedahan, operasi ditunda dan dilakukan pengobatan terhadap penyakitnya. Jika serangannya mereda, kandung empedu bisa diangkat 6 minggu kemudian atau lebih. Jika terdapat komplikasi (misalnya abses, gangren atau perforasikandung empedu), diperlukan pembedahan segera. Rasa nyeri ini mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan di dalam saluran yang disebabkan oleh penahanan aliran empedu atau sekresi pankreas. Untuk melebarkan sfingter Oddi bisa digunakan endoskopi. Hal ini biasanya akan mengurangi gejala pada penderita yang memiliki kelainan sfingter, tetapi tidak akan membantu penderita yang hanya memiliki nyeri tanpa disertai kelainan pada sfingter. 3,4

Kolesistitis kronik Kolesistitis kronik lebih sering dijumpai diklinis, dan sangat erat hubungannya dengan litiasis dan lebih sering timbul secara berlahan-lahan. Gejala Klinis Diagnosis kolesistitis kronis sering sulit di tegakan oleh karena gejalannya sangat minimal dan tidak menonjol seperti dyspepsia , rasa penuh di epigastrium dan nausea khususnya setelah makan berlemak tinggi, yang kadang-kadang hilang setelah bersendawa. Riwayat penyakit batu empedu pada keluarga, ikterus dan kolik berulang, nyeri local di daerah kantung empedu disertai tanda Murphy positif,dapat menyokong menegakan diagnosis. 3,4 Diagnosis Pemeriksaan kolesistografi oral, USG dan kolangiografi dapat memperlihatkan kolelitiasis dan afungsi kantung empedu. Endoscopic retrograde choledocho pancreaticography (ERCP) sangat bermanfaat untuk memperlihatkan adanya batu di kantung empedu dan duktus koledokus. Pengobatan Pada sebagian bedsar pasien kolesistitis kronik dengan atau tanpa batu kantung empedu yang simtomatik, dianjurkan untuk kolesistektomi. Serosis Hati Sirosis hati adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoseluler. Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular, dan regenerasi nodularis parenkim hati. 3,4 Sirosis hati secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan

pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis. Hal ini hanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati.8 Sirosis secara makroskopik diklasifikasikan sebagai dua golongan besar yaitu golongan makronodular ( besar nodul lebih dari 3 mm ) dan mikronodular ( besar nodul kurang dari 3 mm ). Dalam perjalanan sirosis hati campuran mikronodular dan makronodular juga dapat ditemukan. Jenis mikronodular yang dikaitkan dengan sirosis hati oleh alkohol atau akibat gangguan gizi yang dikenal dengan nama sirosis Laennec atau nutritional cirrhosis, sedangkan yang makronodular dikaitkan dengan hepatitis yang berat atau nekrosis yang luas dan dikenal dengan nama sirosis postnekrotik atau posthepatitis. Sirosis postnekrotik dan sirosis posthepatitis tidaklah seluruhnya identik, karena pada sirosis postnekrotik, septa jaringan ikat yang timbul pada daerah nekrosis yang luas itu lebih lebar dan lebih tebal dengan nodul regenerasi yang lebih besar-besar dengan ukuran heterogen. Pada sirosis posthepatitis septa tersebut lebih tipis dan nodule regenerasi tidak terlalu besar-besar.3 Etiologi Pacu utama yang mengakibatkan sirosis hati adalah peradangan yang menimbulkan nekrosis dan fibrogenesis. Apapun kausanya gambaran akhir umunya sama, kecuali sedikit perbedaan yang khusus untuk penyebab yang khusus pula. 3,4 Dalam kaitan ini maka dapat disebutkan hal-hal berikut sebagai etiologi dari sirosis hati, yaitu: 1. Hepatitis virus 2. Alkohol 3. Penyumbatan aliran empedu intra hepatik dan ekstrahepatik yang lama ( biliaris ). 4. Gangguan metabolik, yang sering disebut adalah hemokromatosis, defisiensi alfa-1 antitripsin, diabetes melitus, penyakit wilson, galaktosemia, tirosinosis kongenital dan penyakit penimbunan glikogen. 5. Bendungan aliran vena hepatika dapat terjadi penyakit veno oklusif seperti penyakit perikarditis konstriktif

6. Gangguan imunitas seperti pada hepatitis lupoid. 7. Toksin dan obat-obatan. 8. Keturunan

Di negara Barat yang tersering akibat alkoholik sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40-50%, dan virus hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui dan termasu kelompok virus bukan B dan C ( non B-non C ). Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya. 3,4 Epidemiologi Lebih dari 40% pasien sirosis asimptomatis. Pada keadaan ini sirosis ditemukan waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsi. Keseluruhan insidens sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik maupun infeksi virus kronik. Hasil penelitian lain menyebutkan perlemakan hati akan mengakibatkan steatohepatitis nonalkoholik ( NASH, prevalensi 4% ) dan berakhir dengan sirosis hati dengan prevalensi 0,3%. Prevalensi sirosis hati akibat steatohepatitis juga dilaporkan 0,3% juga. Di Indonesia data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan-laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hati berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun ( 2004 ) ( tidak dipublikasi ). Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 ( 4% ) pasien dari seluruh pasien di Bagian Penyakit Dalam.3 Patofisiologi Terjadinya fibrosis hati, menggambarkan kondisi ketidakseimbangan antara produksi matriks ekstraseluler dan proses degradasinya. Tiga jalur utama patofisologi dari sirosis hati, yaitu ; Perlemakan hati alkoholik Sirosis hati atau perlemakan hati, hepatosit teregang oleh vakuola lunak dalam sitoplasma berbentuk makrovesikel yang mendorong inti hepatosit ke membran sel. Hepatitis alkoholik

Fibrosis perivenular berlanjut menjadi sirosis panlobular akibat masukan alkohol dan destruksi hepatosit yang berkepanjangan. Fibrosis yang terjadi dapat berkontraksi di tempat cedera dan merangsang pembentukan kolagen. Di daerah periportal dan perisentral timbul septa jaringan ikat seperti jaring yang akhirnya menghubungkan triad portal dengan vena sentralis. Jalinan jaringan ikat halus ini mengelilingi massa kecil sel hati yang masih ada yang kemudian mengalami regenerasi dan membentuk nodulus. Namun demikian kerusakan sel yang terjadi melebihi perbaikannya. Penimbunan kolagen terus berlanjut, ukuran hati mengecil, berbenjol-benjol (nodular) menjadi keras, terbentuk sirosis alkoholik.6 Mekanisme cedera hati alkoholik masih belum pasti. Diperkirakan mekanismenya sebagai berikut : 1. Hipoksia sentrilobular, metabolisme asetaldehid etanol meningkatkan konsumsi oksigen lobular, terjadi hipoksemia relatif dan cedera sel di daerah yang jauh dari aliran darah yang teroksigenasi ( misal daerah perisentral ). 2. Infiltrasi/ aktivitas neutrofil, terjadi pelepasan chemoattractanst neutrofil oleh hepatosit yang memetabolisme etanol. Cedera jaringan dapat terjadi dari neutrofil dan hepatosit yang melepaskan intermediet oksigen reaktif, protease, dan sitokin. 3. Formasi acetal-dehyde-protein adducts berperan sebagai neoantigen, dan menghasilkan limfosit yang tersensitasi serta antibodi. 4. Pembentukan radikal bebas oleh jalur alternatif dari metabolisme etanol, disebut sistem yang mengoksidasi enzim mikrosomal. Patogenesis fibrosis alkoholik meliputi banyak sitokin, antara lain faktor nekrosis tumor, interleukin-1, PDGF, dan TGF beta. Asetaldehid kemungkinan mengaktifasi sel stelata tetapi bukan suatu faktor patogenik utama pada fibrosis alkoholik.5 Sirosis hati pasca nekrosis/ post hepatitis Gambaran patologi hati biasanya mengkerut, berbentuk tidak teratur, dan teridir dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis yang padat dan lebar. Gambaran mikroskopik konsisten dengan gambaran makroskopik. Ukuran nodulus sangat bervariasi, dengan sejumlah besar jaringan ikat memisahkan pulau parenkim regenerasi yang susunannya tidak teratur.6

Patogenesis sirosis hati menurut penelitian terakhir, memperlihatkan adanya peranan sel stelata. Dalam keadaan normal sel stelata mempunyai peran dalam keseimbangan pembentukan matriks ekstraseluler dan proses degradasi. Pembentukan fibrosis menunjukkan perubahan proses keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung secara terus-menerus ( misal: hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik ), maka sel stelata akan menjadi sel yang membentuk kolagen. Jika proses berjalan terus maka fibrosis akan berjalan terus di dalam sel stelata, dan jaringan hati yang normal akan diganti oleh jaringan ikat. 3,4 Penatalaksanaan Sirosis Hati Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Kerusakan hati karena sirosis tidak bisa kembali normal. Terapi berdasarkan penyebab sirosis dan komplikasi penyakit. Terapi ditunjukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. 3,4

Penanganan umum Penanganan umum adalah dengan memberikan diet yang benar dengan kalori yang cukup sebanyak 2000-3000 kkal/hari dan protein (75-100 g/hari) atau bilamana tidak ada koma hepatik dapat diberikan diet yang mengandung protein 1g/kg BB dan jika terdapat retensi cairan dilakukan restriksi sodium. Jika terdapat encephalopathy hepatic (ensefalopati hepatik), konsumsi protein diturunkan sampai 60-80 g/hari. Disarankan mengkonsumsi suplemen vitamin. Multivitamin yang mengandung thiamine 100 mg dan asam folat 1 mg. Perbaiki defisiensi potasium, magnesium, dan fosfat. Transfusi sel darah merah (packed red cell), plasma juga diperlukan. 3,4 Terapi pasien berdasarkan etiologi - Alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa menghambat

kolagenik. - Hepatitis autoimun; bisa diberikan steroid atau imunosupresif. - Penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat badan akan mencegah terjadi sirosis. - Hepatitis virus B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida) merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi dini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu tahun. Namun pemberian lamivudin setelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa diberikan, namun ternyata juga banyak yang kambuh. - Hepatitis virus C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali seminggu dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan. - Pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang, menempatkan sel stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktivasi dari sel stelata bisa merupakan salah satu pilihan. Interferon mempunyai aktivitas antifibrotik yang dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki efek anti peradangan dan mencegah anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan sebagai anti fibrosis. Selain itu, juga obat-obatan herbal juga sedang dalam penelitian. 3,4

Pengobatan Sirosis Dekompensata o Asites dan edema Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari atau 400-800 mg/hari. Restriksi cairan (800-1000 mL/hari) disarankan pada pasien dengan hiponatremia (serum sodium <125 meq/L). Ada pasien yang mengalami pengurangan asites hanya dengan tidur dan restriksi garam saja. Tetapi ada juga pasien dengan retensi cairan berat atau asites berat, yang sekresi urinnya kurang dari 10 meq/L. Pada pasien asites dan edema dapat diberikan diuretik dan paracentesis. 3,4 o Peritonitis bakterial spontan Peritonitis bakterial spontan dapat ditandai dengan munculnya rasa sakit abdomen, meningkatnya asites, demam, dan ensefalopati progresif pada pasien dengan sirosis hepatis.

Tetapi tanda-tandanya dapat ringan. Hasil cairan asites dari paracentesi didapatkan jumlah sel darah putih lebih dari 500 sel/mL dengan PMN lebih dari 250/L dan konsentrasi protein 1 g/dL atau kurang. Hasil kultur cairan asites, 80-90% didapatkan E coli dan pneumococci, jarang anaerob. Jika terdapat 250/L atau lebih dapat diberikan antibiotik intravena dengan cefotaxime 2 gram intravena setiap 8-12 jam, minimal dalam waktu 5 hari. Penurunan PMN dapat terjadi setelah pemberian antibiotik selama 48 jam. Angka kematiannya tinggi yaitu dapat mencapai 70% dalam 1 tahun. Terjadinya peritonitis berulang dapat dikurangi dengan menggunakan norfloxacin, 400 mg sehari. Pada pasien dengan sirosis yang beresiko tinggi terjadinya peritonitis bakteri spontan (cairan asites < 1 g/dL), serangan peritonitis pertama kali dapat dicegah dengan pemeberian norfloxacin atau trimethoprim-sulfamethoxazole (5 kali seminggu). Pada peritonitis bakterial spontan selain diberikan antibiotika seperti sefalosporin intravena, juga dapat diberikan amoksilin, atau aminoglikosida. 3,4 o Sindrom hepatorenal Sindrom hepatorenal ditandai dengan azotemia, oliguria, hiponatremia, penurunan sekresi natrium urin, dan hipotensi pada pasien penyakit hati stadium hati. Sindrom hepatorenal didiagnosa jika tidak ada penyebab gagal ginjal lainnya. Penyebabnya tidak jelas, tetapi patogenesisnya karena vasodilatasi ginjal, kemungkinan disebabkan gangguan sintesis vasodilator renal seperti prostaglandin E2, keadaan histologi ginjal normal. Terapi yang diberikan kebanyakan tidak efektif. Berdasarkan penelitian terakhir, pemberian vasokonstriksi dengan waktu kerja lama (ornipressin dan albumin, ornipressin dan dopamine, atau somatostatin analog octreotide dan midodrione sebagai obat alpha adrenergik) memberikan perbaikan.

Kolelitiasis Kolelitiasis disebut juga sinonimnya adalah batu empedu,gallstones,biliary calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu didalam kantung empedu. Batu kantung empedu ,erupakan gabungan beberapa unsure yang membenruk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kantung empedu. 3,4

Etiologi Empedu normal terdiri dari 70 % garam empedu (terutama kolik dan asam chenodeoxycholic), 22 % fosfolipid (lesitin), 4 % kolesterol, 3 % protein dan 0,3 % bilirubin. Menurut gambaran makroskopik dan komposisi kimianya, batu saluran epedu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori mayor, yaitu : 1) batu kolesterol dimana komposisi kolesterol lebih dari 70%, 2) batu pigmen cokleat atau batu calcium bilirubinate yang mengandung Ca-bilirubinat sebagai komponen utama, dan 3) batu pigmen hitam yang kaya akan residu hitam tak terektraksi. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling penting adalah gangguan metabolism yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, statis empedu dan infeksi kantung empedu. Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol ynag biasa tetap terbentuk berbentuk cairan. Jika empedu menhadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bias menjadi lemak larut dan membentuk endapan diluar empedu. 3,4 Patofiologi Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap : 1) pembentukan empedu yang supersaturasi, 2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan 3) berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi jika perbandingan asam empedu dengan fosfolopid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun dibawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sental kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan atau kadar asam empedu rendah atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik. 3,4 Gejala Klinis Pasien dengan batu empedu dapat dibaagi menjadi tiga kelompok: pasien dengan batu empedu asimtomatik, pasien dengan batu simtomatik dan pasien dengan komplikasi batu empedu ( kolesistitis akut, ikterus, kolangitis, dan pankratitis).

Gejala batu empedu yang dapat dipercaya adalah kolik bilier. Keluhan ini didefinisikan sebagai nyeri diperut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam. Biasanya lokasi nyeri perut atas atau epigastrium tetapi juga dikiri dan prekordial. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan radiologis Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitas 1015% batu kantung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kantung empedu yang mengadung cairan empedu berkadar tinggi kalsium dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kantung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai masa jarinagn lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica. Ultrosonografi (USG) USG mempunyai derajat spesifikasi dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat didinding kantung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Dengan USG punktum maksimal rasa nyeri pada batu kandung empedu yang gangrene lebih jelas dari pada dengan palpasi biasa. Kolsistografi Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relative murah, sederhana dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Penatalaksanaan Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilanmg timbul bias dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak. Jika batu empedu menyebakan nyeri berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka di anjurkan untuk menjalani pengangkata kantung empedu (kelesistektomi).

Penganagkatan kantung empedu tidak menyebabkan kekuranan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan. Pilihan penatalaksanaan antara lain :

Kolesistektomi terbuka Operasi ini merupan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2 % pasien. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) Pada ERCP, suatu endoskop dimasukan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan kedalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk dalam saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empeduyang menyumbat akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kantung empedunya telah diangkat.

Koledokolitiasis Patofisiologi Lewatnya batu empedu masuk kedalam duktus koledokus terjadi pada sekitar 10-15% pasien kolelitiasis. Insiden batu duktus koledokus meningkat dengan dengan peningkatan usia pasien, sehingga hampir 25 % pasien lanjut usia mungkin memiliki batu empedu dalam duktus koledokus pada saat kolesistektomi. Sebagian besar batu duktus koledokus adalah batu kolesterol atau campuran yang dibentuk dalam kantung empedu yang lalu bermigrasi kedalam saluran empedu ekstrahepatik melalui duktus sistikus. Batu duktus koledokus mungkin asimtomatik

selama bertahun-tahun, dapat keluar secara spontan ke duodenum, atau (paling sering) menimbulkan kolik biliaris atau komplikasi lain.

Penatalaksanaan Pada sebagian besar kasus koledokolitiasis, terapi pilihan adalah kolesistektomi dengan koledokolitotomi dan drainase pipa-T dari duktus biliaris. Sebelum pipa T diangakat, biasanya dilakukan kolangiogram pipa T pada hari kesepuluh pascaoperasi atau sebelumnya. Batu yang masih tampak dalam kolangiografi pipat T dapat diangkat secara perkutis dengan menempatkan keter basket yang dipandu oleh radiografi melalui saluran sinus pipa-T. Kolangitis Kolangitis adalah suatu infeksi bakteri akut pada sistem saluran empedu. Charcot ditahun 1877 menjelaskan tentang keadaan klinis dari kolangitis, sebagai trias, yaitu demam, ikterus dan nyeri abdomen kuadran kanan atas, yang dikenal dengan Charcot triad. 3,4 Charcot mendalilkan bahwa empedu stagnan karena obstruksi saluran empedu menyebabkan perkembangan kolangitis . Obstruksi juga dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran empedu, yang membawa empedu dari hepar kekandung empedu dan usus. Bakteri yang sering dikultur pada empedu adalah Eschericia Coli, Klebsiella, Pseudomonas, Proteus, Enterococcus, Clostridium perfiringens, Bacteroides fragilis. Bakteri anaerob yang dikultur hanya sekitar 15% kasus. Patofisiologi kolangitis sekarang ini dimengerti sebagai akibat kombinasi 2 faktor, yaitu cairan empedu yang terinfeksi dan obstruksi biliaris. Peningkatan tekanan intraduktal yang terjadi menyebabkan refluks bakteri ke dalam vena hepatik dan sistem limfatik perihepatik yang menyebabkan bakterimia. Pada tahun 1959, Reynolds dan Dargon menggambarkan keadaan yang berat pada penyakit ini dengan menambahkan komponen syok sepsis dan gangguan kesadaran. 3,4

Penatalaksanaan Jika diagnosis klinis kolangitis telah dibuat, penatalaksanaan awal adalah konservatif. Keseimbangan cairan dan elektrolit harus dikoreksi dan perlindungan antiobiok dimulai. Pasien yang sakit ringan dapat diterapi sebagai pasien rawat dengan antibiotik oral. Dengan kolangitis supuratif dan syok septik mungkin memerlukan terapi di unit perawatan insentif dengan monitoring invasif dan dukungan vasopresor. Pemilihan awal perlindungan antibiotika empiris harus mencerminkan bakteriologi yang diduga. Secara historis, kombinasi aminoglikosida dan penicillin telah dianjurkan. Kombinasi ini adalah pilihan yang sangat baik untuk melawan basil gram negatif yang sering ditemukan dan memberikan antivitas sinergistik melawan enterokokus. Penambahan metronidazole atau clindamycin memberikan perlindungan antibakterial terhadap anaerob bakteroides fragilis, jadi melengkapi perlindungan antibiotik. Perlindungan antibiotik jelas diubah jika hasil biakan spesifik dan kepekaan telah tersedia. 3,4 Satu faktor yang seringkali dipertimbangkan dalam pemilihan antibiotik untuk terapi kolangitis adalah konsentrasi obat yang terdapat dalam empedu. Secara teoritis antibiotik saluran biliaris yang ideal harus merupakan antibiotik yang bukan saja mencakup organisme yang ditemukan dengan infeksi saluran biliaris, tetapi juga yang dieksresikan dalam konsentrasi tinggi ke dalam cairan empedu. Abses Hati Piogenik Abses hati adalah berbentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari system gastrointestinal yang di tandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati. abses hati terbagi 2 secara umum , yaitu abses hati amebic (AHA) dan abses hati piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis ektraintestinal yang paling sering di jumpai di daerah tropic/subatropik, termasusk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial abscess. 3,4 Penyakit AHA ini masih menjadi suatu malah kesehatan terutama daerah dengan train vitulen Entamoeba histolstica yang tinggi. Sedangkan etiologi AHP adalah Enterobacteriacea, Microaerophilic streptococci, Anaerobic streptococci, Klebsiella pneumonia, Bacteriodes,

Fusobakterium, Staphylococcus aureus, Staphylococcus milleri, Candida albicans, Aspergillus, Actinomyces,Yersinia enterolitica, Salmonella typhy, Brucella melintes, dan fungal. Manifestasi Klinis Mnifestai klinis sistemik AHP biasanya lebih berat dari AHA. Dicurigai adanya AHP apabila ditemukan sindrom klinis klasik berupa nyeri spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan membungkuk kedepan dengan kedua tangan diletakan di atasnya. Demam atau panas tinggi merupakan keluhan utama, keluhan lain yaitu nyeri pada kuadaran kanan atas abdomen, disertai dengan keadaan syok. Setelah era pemakainan antibiotic yang ade kuat, gejala dan manifestai klinis AHP adalah malaise, demam yang tidak terlalu tinggi dan nyeri tumpu pada pada abdomen yang menhebat dengan adanya pergerakan. Apabila AHP letaknya dekat dengan diafragma, maka akan terjadi iritasi diafragma sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk ataupun atelektasis. Gejala lainnya adalah rasa mual dan muntah, dan berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan yang unintenitional, kelemahan badan, ikterus, buang air besar berwarna seperti kapur dan buang air kecil berwarna gelap. 3,4 Pemeriksaan fisik yang di dapatkan pada febris yang summer-sumer hingga demam/panas tinggi, pada palpasi terdapt hepatomegali serta perkusi terdapat nyeri tekan hepar, yang diperberat dengan adanya pengerakan abdomen, splenomegali didapatkan apabila AHP telah menjadi kronik, selain itu, bisa didapat asites, ikterus, serta tanda-tanda hipeertensi portal. Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke kiri, anemia, [eningkatan laju endap darah, peningkatan alkali fosfatase, peningktan enzim transaminase dan serum bilirubin, berkurangnya konsentrasi albumin serumdan waktu protrombin yang memanjang menunjukan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati yang disebabkan AHP. Pada pemeriksaan penunjang lain, seperti pada pemeriksaan foto torak, dan foto polos abdomenditemukan diafragma kanan tinggi, efusi flexural, atelektasis basiler, empiema atau abses paru.pada foto toraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut kostofrenikus anterior tertutup. Di bawah diafragma, terlihat bayangan udara atau air fluid level.1

Hepatotoksisitas Imbas Obat Merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap obat yang diberikan, karena hati merupakan pusat disposisi metabolic dari semua obat dan bahan-bahan asing yang masuk tubuh. 3,4,8 Manisfestasi Klinis Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait mirip dengan hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat gejala yang bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik seperti mual, muntah, anoreksia, ikterus, demam dll. Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati akut. (Kishore, dkk, 2010). Jika dalam pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan

memberikan gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat dijadikan acuan diagnose hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu yang dijangkiti akan mengalami sakit seperti kuning, keletihan, demam, hilang selera makan, muntah-muntah, sclera ikterik, pusing dan kencing yang berwarna hitam pekat. 3,4,8

Kesimpulan Kelainan pada hati berupa ikterus, hepatomegali, urine seperti the, dan lain-lain dapat di sebabkan oleh berbagai penyebab antara lain karena infeksi virus (HAV, HBV, HCV, HDV, HEV), sumbatan saluran empedu oleh batu empedu atau peradangan kantung empedu, dimana dapat menimbulkan gejala klinis yang berbeda-beda.

Daftar Pustaka
1. Jonathan Gleadle. At aglance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga. 2007. Hal : 81,155-7. 2. Bickley L.S, Szilagyi Peter G. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan. Edisi 8. Jakarta: ECG; 2009.h.344-7 3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-4. Jilid III Jakarta : Internal Publishing, 2007.h.1764. 4. Harrison. Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Vol. 4. Jakarta EGC; 2000.h.1615-99.

5. Staff Pengajar Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jilid Ke-I. Jakarta: Binaputra Aksara Publisher; 2002.Hal 25-7,64452, 708-13. 6. Pringgutumo S, Himawan S, Tjarta A. Buku ajar patologi I (umum). Edisi Ke-1. Jakarta: Sagung Seto. 2003. Hal 129-34. 7. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Kedokteran klinis. Edisi ke-6. Jakarta: Erlangga. 2005. Hal 243-46.

You might also like