Professional Documents
Culture Documents
Ketika kita berbicara HMI dulu, maka kita tidak akan terlepas dengan sejarah berdirinya
HMI. Seorang mahasiswa, Lafran Pane, mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada
tahun 1947, sebagian besar mahasiswa yang diajaknya untuk ikut serta adalah para
mahasiswa di perguruan tinggi "umum". Mereka mendirikan HMI, antara lain, justru karena
ingin belajar "Islam". Dan, mungkin sebuah ide yang cemerlang saat mereka merumuskan
pendirian HMI.
Kini HMI tidak hanya milik perguruan tinggi umum, keberadaannya terus tumbuh dan
berkembang di basis-basis perguruan tinggi Islam, seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
hingga menghasilkan kader-kader yang berkualitas seperti: Nurcholis Madjid, Azyumardi
Azra, Komarudin Hidayat, Fachri Ali, Abudin Nata dan kader-kader terbaik lainnya. Oleh
karenanya, peran organisasi Islam ini bukan hanya menawarkan pengajaran Islam secara
khusus, tapi lebih jauh dari itu HMI ingin memberikan pencerahan intelektual politik serta
pemberdayaan potensi kader secara menyeluruh.
Harapan
Organisasi HMI dideklarasikan (antara lain) sebagai organisasi mahasiswa yang
independen, kader umat dan bangsa, dan tidak menjadi underbouw sebuah partai politik,
termasuk partai politik Islam. Wajar jika Jenderal (Besar) Sudirman saat itu menyambut HMI
sebagai (H)arapan (M)asyarakat (I)ndonesia karena dalam HMI berkumpul orang terpelajar,
yang tentunya diharapkan dapat memberi manfaat bagi masa depan bangsanya. Ada warna ke-
Islaman dan kebangsaan sejak kelahirannya.
Tidak mengherankan jika, ketika RI menghadapi perang kemerdekaan melawan
Belanda, mereka juga mendirikan pasukan bersenjata yang dikenal sebagai Corp Mahasiswa.
Dengan cita-cita pendirian HMI seperti itu, harus diakui, tidaklah mudah memegang khittah
HMI di tengah lingkungan keumatan dan kebangsaan selama ini. "Pluralisme" yang mewarnai
umat dan bangsa tentu menyulitkan formula HMI sebagai kader umat dan bangsa.
Dalam perjalanannya, HMI selalu ditarik ke kanan dan ke kiri untuk berpihak kepada
salah satu kekuatan umat dan bangsa. Sikap independen sering menjadi pertaruhan tidak
mudah. Tidak jarang HMI dikesankan sebagai tidak independen lagi.
akuarium
Perbedaan pandangan
Ketika Mas Dahlan Ranuwihardjo (almarhum) mengundang Bung Karno ke HMI
(1952), banyak kalangan umat Islam menilai HMI sebagai sudah kurang aspiratif terhadap
cita-cita umat Islam, terutama terkait cita-cita negara Islam yang saat itu sedang
diperjuangkan partai-partai Islam yang ada, yaitu Masyumi, NU, dan PSII.
Perbedaan pandangan seperti itu memiliki akar mendasar. Dalam pandangan HMI
setidaknya Mas Dahlan membuat sebuah gagasan bahwa negara Islam bukan tujuan HMI.
Wawasan kebangsaan HMI sering lebih mengemuka ketika wawasan keumatan dan
kebangsaan berhadapan.
Tidak berlebih; dalam wadah kepentingan nasional, sebenarnya harus tercakup
kepentingan umat, mengingat rakyat Indonesia sebagian besar adalah pemeluk Islam. Antara
kepentingan umat dan kepentingan nasional sebenarnya tidak perlu dipertentangkan. Dan,
benar, keduanya bermuara pada rumusan Pancasila sebagai dasar negara.
Godaan politik
Godaan yang sering dihadapai adalah godaan politik. Prinsip non-praktis politik tidaklah
berarti HMI buta politik. Prinsip non-praktis politik berarti politik HMI adalah nilai-nilai, apa
yang terbaik bagi umat dan bangsa, bukan memasuki lembaga politik yang sudah merupakan
kancah politik praktis. Hal itu antara lain dimanifestasikan melalui sikap Ismael Hasan
Metareum, Ketua Umum HMI saat itu, yang tidak bersedia menjadi anggota Dewan Nasional
yang dibentuk Presiden Soekarno karena lembaga itu sudah menjadi lembaga politik praktis.
Sebaliknya, HMI ikut berperan dalam lahirnya partai politik baru di awal orde baru
karena terjadinya representasi politik yang timpang setelah Masyumi dibubarkan tahun 1960.
Meski demikian, HMI tetap bersikap independen dan hanya mendorong alumni HMI yang
sejalan dengan aspirasi partai politik baru (Partai Muslimin Indonesia) untuk bergabung
dalam partai politik itu. Ujian paling berat barangkali saat HMI dituntut untuk bubar oleh
Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), sebuah organisasi mahasiswa di bawah
pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Bagaimana HMI harus tetap bersikap independen sebagai kader umat dan bangsa serta
tetap memegang garis non-praktis politik, sementara harus menghadapi arus politik yang kuat,
bahkan terkait perebutan kekuasaan politik di Indonesia?
HMI dianggap menjadi penghalang terakhir bagi PKI untuk menuju kekuasaan. Karena
itu, di hadapan Presiden Soekarno, Ketua CC PKI DN Aidit hendak memaksakan pembubaran
HMI, dua hari menjelang G30S/PKI. Apa yang menarik di balik peristiwa itu?
Meski HMI merupakan organisasi mahasiswa yang non-praktis politik, ternyata HMI
bisa dianggap sebagai penghalang tujuan politik sebuah partai politik (PKI). Sebab, menurut
Harry Tjan Silalahi, tokoh PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia)
dan mantan Sekjen Partai Katolik saat itu, dengan tuntutan pembubaran HMI (jika berhasil),
PKI akan menguasai generasi muda terpelajar dan menguasai dunia politik "sipil".
Itulah sekelumit tonggak perjalanan HMI. Dan itulah "kekuatan" HMI. Independen,
kader umat dan bangsa, dan non-praktis politik. Dengan kekuatan seperti itu, banyak alumnus
HMI berperan di era Orde Baru, hingga kini, melalui berbagai infrastruktur sosial/politik di
dalam berbagai kancah pengabdian kepada bangsanya.
Fenomena keberhasilan perjuangan HMI dulu (dekade 70-an) sering membuat seseorang
atau organisasi lain merasa iri atau cemburu. Namun kini, HMI seakan mengalami degradasi.
Dalam buku yang berjudul “Menggugat HMI; Mengembalikan Tradisi Intelektual”,
digambarkan sebagian dari degradasi yang dialami oleh organisasi yang berasaskan Islam ini.
Gugatan keras, pedas langsung ke jantung HMI dinyatakan secara tegas bukan oleh orang di
luar HMI, akan tetapi justru oleh para pejuangnya. Selain Cak Nur, dibeberapa media
menyatakan “HMI sebagai beban bangsa” juga statemen kerasnya “Bubarkan HMI”. Dalam
buku yang sama, Komarudin Hidayat mengawali gugatannya pada pengkaderan HMI, yang
masih menggunakan pola konvensional dan tidak mengikuti perkembangan zaman yang
sudah modern. HMI kini seperti organisasi massa yang hanya mementingkan kuantitas kader
dari pada kualitas kader itu sendiri. Ini terbukti ketika pengkaderan selesai maka selesai pula
hubungan antara kader dan komisariat. Justru pengkaderan sebenarnya adalah saat selesai
pengkaderan.
HMI telah mengalami pergeseran orientasi, yaitu dari orientasi ke cendekiawan Islam ke
orientasi calon-calon politisi praktis. Kelebihan produktifitas libido politik kader HMI
membuat gesekan tajam di internal HMI dan berbuntut panjang hingga melahirkan
perpecahan di tubuh HMI mulai dari pucuk pimpinannya hingga sampai ke tingkat akar
rumput, (PB, BADKO, cabang, korkom, komisariat).
Polemik demi polemik internal menjadikan organisasi ini dicibir di sana sini oleh
berbagai golongan. Hal ini sangat mempengaruhi opini dan citra HMI. HMI dilihat oleh
masyarakat (eksternal) bukan lagi sebagai organisasi perjuangan umat dan bangsa,
sebagaimana cita-cita awalnya, tetapi HMI telah menjadi kendaraan dan akses politik menuju
kekuasaan. Kenyataan ini merupakan cermin bahwa HMI telah gagal menjawab persoalan
zaman. HMI kian lama kian ditinggalkan. Bukan hanya oleh basis masa realnya (mahasiswa),
akan tetapi, juga oleh masyarakat luas, tempat HMI mencipta dan mengabdi. Gugatan pada
HMI mencapai titik nadirnya dalam catatan harian yang berjudul “Seharusnya Aku bukan
HMI”.
Naskah yang menjadi ruh perjuangan HMI yaitu Nilai Dasar Perjuangan (NDP) tidak
lepas dari gugatan. NDP dikritik habis-habisan dan harus direkonstruksi agar sesuai dengan
zaman yang terus berputar. NDP sebagai gagasan perjuangan dihakimi sesuai filosofis dan
praktis. NDP bukan tafsir kitab suci, juga bukan kumpulan hadis, sehingga tidak alasan untuk
menggugat NDP.
Gugatan pada HMI, seperti gelombang tsunami yang meluluh lantakkan isi bumi
sebagaimana tersebut di atas, bukanlah alasan untuk memalingkan cinta kader-kader HMI
pada organisasi lain.
Pernah saya baca sebuah catatan di Friendster, ada sebauh pertanyaan “Apa yang salah
pada kader HMI sekarang?”, salah satu jawabannya adalah “Tidak ada yang salah dengan
HMI......! kesalahan terletak pada orang-orang yang mengaku telah menjadi kader HMI.
entah kita lupa atau memang tidak mengerti kenapa kita disebut kader, kenapa bukan
anggota HMI. HMI adalah organisasi perkaderan....kita dituntut untuk mencari tahu apa
yang belum kita ketahui...setelah kita tahu, kita dituntut untuk memberi tahu.....karena itu,
proses perkaderan di HMI tidak ada hentinya, karna ilmu yang diberikan tuhan tidak ada
batasnya.....perlu diingat, bahwa perkaderan di HMI bukan hanya sebatas Latihan
kader.........sudah sejauh mana kita mencari tahu? sudah sejauh mana kita memberi tahu?
perlu di pahami, tujuan HMI bukan sekedar angan...itu harus jadi kenyataan....karna tujuan
itu adalah tujuan kita bersama...
"Terbinanya Insan Akademi,Pencipta,Pengabdi yang bernafaskan Islam serta bertanggung
jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridloi Allah SWT"
Ada kegalauan di kalangan HMI dan alumninya. Benarkah "kekuatan" HMI telah
memudar atau hilang? HMI telah hanyut dengan lingkungannya, yang ironisnya lebih
menyerap nilai-nilai yang tidak relevan bahkan berlawanan dengan nilai-nilai pendirian HMI.
HMI telah terjebak nilai-nilai pragmatis sehingga mengabaikan nilai-nilai idealisme. Masa
depannya banyak menjadi pertanyaan. Benarkah begitu?
Harapan terbaik semua kader HMI ke depan adalah kejayaan HMI itu sendiri, HMI yang
tidak hanya melahirkan kader-kader yang banyak dari segi jumlah, akan tetapi kader-kader
yang berkualitas sarat dengan intelektualitas, kepekaan social serta mampu memberikan
jawaban atas problemaatika yang ada.