You are on page 1of 33

MANAJEMEN SEKOLAH

I.

REORIENTASI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN Era globalisasi yang melanda dunia termasuk Indonesia berlangsung sangat cepat yang menimbulkan dampak global pula yang sekaligus menuntut kemampuan manusia unggul yang mampu mensiasati dan mengantisiapasi kemungkinan-kemungkinan yang sedang dan akan terjadi. Globalisasi akan semakin membuka diri bangsa dalam menghadapi bangsa-bangsa lain. Batas-batas politik, ekonomi, sosial budaya antara bangsa semakin kabur. Persaingan antar bangsa akan semakin ketat dan tak dapat dihindari, terutma dibidang ekonomi dan IPTEK. Hanya negara yang unggul dalam bidang ekonomi dan penguasaan IPTEK yang dapat mengambil manfaat atau keuntungan yang banyak. Globalisasi di bidang ekonomi ditandai dengan adanya persetujuan GATT pada putaran Uruguay di Marrakesh yang telah diratifikasi WTO yang dilanjutkan dengan kesepakatan APEC di Bogor tahun 1994 dan di Osaka tahun 1995 yang mengupayakan terbentuknya kawasan perdagangan bebas di Asia-Pasifik pada tahun 2020, dan terbentuknya kawasan perdagasan bebas (AFTA) ASEAN yang telah dilaksanakan sejak tahun 2003. Globalisasi tidak hanya terjadi di bidang ekonomi, namun juga terjadi hampir di seluruh bidang kehidupan manusia, bidang sosial, ekonomi, pendidikan, hankam, budaya. Bahkan perkembangan global yang paling cepat adalah bidang teknologi informasi. Penguasaan teknologi informasi merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh masyarakat yang akan memenangkan persaingan di kompetisi global. Kondisi tersebut menuntut sumber daya manusia yang memiliki keunggulan komperatif dan keunggulan kompetetif. Manusia global adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa (bermoral), mampu bersaing, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki jati diri. Salah satu wahana yang sangat strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang unggul adalah melalui pendidikan. Kemajuan teknologi, ketersediaan modal, barang, sumber daya manusia (SDM) akan mengalir deras dari berbagai belahan dunia yang tidak mungkin dapat dihindari oleh negara manapun. Terkait dengan kondisi tersebut, tuntutan akan reformasi pendidikan (revolusi pendidikan) sangat diperlukan, mengingat model pendekatan pendidikan kita selama ini dinilai cenderung bersifat indokrinatif, dogmatis, gaya bank, dan opresif birokratis, orientasi pendidikan tidak sesuai dengan jiwa dan semangat reformasi pendidikan yang mendambakan keunggulan individu, masyarakat dan bangsa di tengah-tengah era otonomi daerah, era demokratisasi, era teknologi informasi dan kehidupan global. Akibatnya kualitas SDM yang dihasilkan dari lembaga pendidikan kita relative sangat rendah dan tertinggal dengan negaranegara tetangga. Sementara kualitas pendidikan yang diandalkan sebagai wahana dalam menciptakan kualitas sumber daya manusia masih memprihatinkan. Harian KOMPAS tanggal 5 September 2001 memberitakan bahwa Abdul Malik Fajar paa saat itu selaku Mendikbud juga mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih terburuk di kawasan Asia. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) melakukan survei yang hasilnya dari 12 negara yang disurvei menyebutkan bahwa Indonesia menduduki urutan 12, sedangkan Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang, Taiwan, India, Cina dan Malaysia. Sedangkan berdasarkan hasil survei dari human development indeks tahun 2002, kualitas SDM kita berada di peringkat ke 110 dari 173 negara yang disurvai. Secara kuantitatif masih banyak anak-anak kita yang tidak mendapat layanan pendidikan secara memadai.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

Sebagai gambaran tentang kondisi tersebut adalah: 1) Dari sekitar 16,17 juta anak usia dini (0-6 tahun yang terlayani pendidikannya baru 7,16 juta (27,36%). Apabila dirinci, usia 0-3 tahun dari 13,50 juta, yang terlayani di bina keluarga Balita atau yang sejenisnya baru 2,53 juta (18,59%), Usia 4-6 tahun berjumlah 12,67 juta, yang tidak terlayani pendidikannya 4,63 juta (36,54%), yakni: di TK ( 1,6 juta), di RA (0,4 juta), di kelompok Bermain ( 4,800 anak), di Penitipan Anak ( 9,200 anak), dan di SD/MI (2,6 juta),(EFA Indonesia, 2001). 2) Buta huruf usia 10-44 tahun ada 5,9 juta (4,8% dari total penduduk usia 10-44 tahun, dan buta huruf usia 45 tahun ke atas ada 12,7 juta (31,2% dari total penduduk usia 45 tahun ke atas) (EFA Indonesia, 2001). Berangkat dari kondisi tersebut, perubahan orientasi pendidikan kita harus segera dilakukan reformasi (revolusi) secara mendasar (mind set pelaku) pada semua komponen dalam sistem pendidikan kita. Perubahan orientasi pendidikan tidak hanya berkutat pada perubahan kurikulum semata, namun yang terpenting saat ini adalah adanya revolusi sikap mental, pola pikir dan perilaku pelaku pendidikan (aparat, pengelola dan pengguna pendidikan) secara mendasar. Kebijakan ini dilakukan agar dapat mewujudkan pendidikan yang lebih demokratis, memiliki keunggulan komparatif dan kompetetif, memperhatikan kebutuhan daerah, mampu mengembangkan seluruh potensi lingkungan dan potensi peserta didik serta lebih mendorong peran aktif dari masyarakat. Untuk mendukung pencapaian kondisi tersebut, pengelola pendidikan hendaknya memiliki pemahaman konsep pendidikan yang komprehensif. Sejalan dengan era informasi dalam dunia global ini, pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis dalam melestarikan sistem nilai yang berkembang dalam kehidupan. Kondisi tersebut tidak dapat dielakkan bahwa dalam proses pendidikan tidak hanya pengetahuan dan pemahaman peserta didik yang perlu dibentuk (Drost, 2001: 11), namun sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat perkembangan komunikasi, informasi dan kehadiran media cetak maupun elektronik tidak selalu membawa pengaruh positif bagi peserta didik. Tugas pendidik dalam konteks ini membantu mengkondisikan pesera didik pada sikap, perilaku atau kepribadian yang benar, agar mampu menjadi agents of modernization bagi dirinya sendiri, lingkungannya, masyarakat dan siapa saja yang dijumpai tanpa harus membedakan suku, agama, ras dan golongan. Pendidikan diarahkan pada upaya memanusiakan manusia, atau membantu proses hominisasi dan humanisasi, maksudnya pelaksanaan dan proses pendidikan harus mampu membantu peserta didik agar menjadi manusia yang berbudaya tinggi dan bernilai tinggi (bermoral, berwatak, bertanggungjawab dan bersosialitas). Para peserta didik perlu dibantu untuk hidup berdasarkan pada nilai moral yang benar, mempunyai watak yang baik dan bertanggungjawab terhadap aktifitas-aktifitas yang dilakukan. Dalam konteks inilah pendidikan budi pekerti sangat diperlukan dalam kehidupan peserta didik di era globalisasi ini Fondasi Pendidikan Pendidikan merupakan usaha sadar yang terencana, terprogram dan berkesinambungan membantu peserta didik mengembangkan kemampuannya secara optimal, baik aspek kognitif, aspek afektif maupun aspek psikomotorik. Aspek kognitif yang berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Aspek afektif berkenaan dengan sifat yang terdiri dari lima aspek yakni: penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Aspek psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak yang terdiri dari enam aspek, yaitu: gerakan refleks,

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan interpretatif. Pengembangan potensi peserta didik merupakan proses yang disengaja dan sistematis dalam membiasakan/mengkondisikan peserta didik agar memiliki kecakapan dan keterampilan hidup. Kecakapan dan keterampilan yang dimaksud berarti luas, baik kecakapan personal (personal skill) yang mencakup; kecakapan mengenali diri sendiri (self awareness) dan kecakapan berpikir rasional (thinking skill), kecakapan sosial (social skill), kecakapan akademik (academic skill), maupun kecakapan vokasional (vocational skill). Kegiatan pendidikan pada tahap melatih lebih mengarah pada konsep pengembangan kemampuan motorik peserta didik. Terkait dengan proses melatih ini, perlu dilakukan pembiasaan dan pengkondisian anak dalam berpikir secara kritis, strategis dan taktis dalam proses pembelajaran. Peserta dilatih memahami, merumuskan, memilih cara pemecahan dan memahami proses pemecahan masalah. Berangkat dari kondisi tersebut, maka budaya instant dalam pembelajaran yang selama ini dibudayakan harus ditinggalkan, menuju proses pemberdayaan seluruh unsur dalm sistem pembelajaran. Sejalan dengan pencapaian tujuan pendidikan, perlu diupayakan suatu sistem pendidikan yang mampu membentuk kepribadian dan ketrampilan peserta didik yang unggul, yakni beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, manusia yang kreatif, cakap, terampil, jujur, dapat dipercaya, disiplin, bertanggung jawab dan memiliki solidaritas sosial yang tinggi. Untuk mewujudkan manusia yang unggul perlu diberikan landsan pendidikan yang kokoh. Bangsa kita sebenarnya telah memiliki pilar pendidikan yang sangat fundamental, yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantoro, Ing Ngarso Sun Tulodho, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani, namun implementasinya dalam pendidikan kita masih rendah. Konsep ini tidak saya bahas dalam analisis ini, namun pada tataran ini dipaparkan hasil konferensi tahunan UNESCO di Melbourne Australia tahun 1998. Dalam konferensi tersebut dicanangkan empat pilar pendidikan yang dijadikan fondasi pendidikan pada era informasi dan jaringan global ini dalam meraih dan merebut pasar internasional. Keempat pilar tersebut adalah : Learning to Know (belajar untuk tahu) Pada proses pembelajaran melalui penerapan paradigma ini, peserta didik akan dapat memahami dan menghayati bagaimana suatu pengetahuan dapat diperoleh dari fenomena yang terdapat dalam lingkungannya. Melalui proses pendidikan seperti ini mulai sekolah dasar s/d pendidikan tinggi, diharapkan lahir generasi yang memiliki kepercayaan bahwa manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi untuk mengelola dan mendayagunakan alam. Untuk mengkondisikan masyarakat belajar yang efektif dewasa ini, diperlukan pemahaman yang jelas tentang apa yang perlu diketahui, bagaimana mendapatkan Ilmu pengetahuan, mengapa ilmu pengetahuan perlu diketahui, untuk apa dan siapa yang akan menggunaka ilmu pengetahuan itu. Belajar untuk tahu diarahkan pada peserta didik agar mereka memiliki pengetahuan fleksibel, adaptable, value added dan siap memakai bukan siap pakai. Learning to Do (Belajar untuk melakukan) Proses pembelajaran dengan penekanan agar peserta didik menghayati proses belajar dengan melakukan sesuatu yang bermakna Active Learning. Peserta didik memperoleh kesempatan belajar dan berlatih untuk dapat menguasai dan memiliki standar kompetensi dasar yang dipersyaratkan dalam dirinya. Proses pembelajaran yang dilakukan menggali dan menemukan informasi (information searching and exploring), mengolah dan informasi dan mengambil keputusan (information processing and decision making skill), serta memecahkan masalah secara kreatif (creative problem solving skill). Menurut Dewey bahwa pembelajaran
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

yang dapat dilakukan dengan: 1). Belajar peserta didik dengan berpikir kreatif, 2). Keterampilan proses, 3). Problem solving approach, 4). Pendekatan inkuiri, 5). Program sekolah yang harus terpadu dengan kehidupan masyarakat, dan 6). Bimbingan sebagai bagian dari mengajar. Beberapa bentuk Active Learning ; Kegiatan Active learning dilakukan dengan kegiatan mandiri, peserta didik membaca sendiri bahan yang akan dibahas di kelas. Pembahasan (diskusi) di kelas dengan diawali penugasan pembuatan artikel, melakukan problem possing, dan problem solving, Pada kegiatan pembelajaran yang aktif ini diberikan panduan awal (advance organizer) yang mengarahkan pada pembahasan materi pembelajaran, sebelum belajar mandiri dilaksanakan, sehingga memungkinkan peserta didik aktif baik secara intelektual, motorik maupun emosional. Dalam pemberian tugas, peserta didik dituntut mampu merumuskan konsep baru yang di sintesis dari materi yang telah dipelajari. Learning to be (Belajar untuk menjadi diri sendiri) Proses pembelajaran yang memungkinkan lahirnya manusia terdidik dengan sikap mandiri. Kemandirian belajar merupakan kunci terbentuknya rasa tanggung jawab dan kepercayaan diri untuk berkembang secara mandiri. Sikap percaya diri akan lahir dari pemahaman dan pengenalan diri secara tepat. Belajar mandiri harus didorong melalui penumbuhan motivasi diri. Banyak pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan dalam melatih kemandirian peserta didik, misalnya; pendekatan sinektik, problem soving, keterampilan proses, discovery, inquiry, kooperatif, dan sebagainya Pendekatan pembelajaran tersebut mengutamakan keterlibatan peserta didik secara efektif. Pendekatan-pendektan pembelajaran ini pada dasarnya suatu proses sosial, peserta didik dibantu dalam melakukan peran sebagai pengamat yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi. Meskipun guru dapat memberikan situasi masalah, namun dalam penerapannya, peserta didik mencari, menanyakan, memeriksa dan berusaha menemukan sendiri hal-hal yang dipelajari. Para peserta didik mulai berpikir berdasarkan kemampuan dan pengalamannya masing-masing secara logis. Strategi pembelajaran inkuiri merupakan salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Strategi pembelajaran keterampilan proses lebih menekankan pada kegiatan-kegiatan yang berpusat pada pengembangan kreativitas belajar peserta didik. Penerapan strategi pembelajaran keterampilan proses dapat membantu guru dalam menyampaikan materi pembelajaran dengan menciptakan kondisi pembelajaran yang bervariasi dalam menumbuhkan motivasi peserta didik untuk belajar lebih dalam, mendorong rasa ingin tahu lebih lanjut dan memotivasi untuk berpikir kreatif. Learning To Live Together (Belajar untuk Hidup Bersama) Proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghayati hubungan antar manusia secara intensif dan terus menerus untuk menghindarkan pertentangan ras/etnis, agama, suku, keyakinan politik, dan kepentingan ekonomi. Peningkatan pendidikan nilai kemanusiaan, moral, dan agama yang melandasi hubungan antar manusia. Pendekatan pembelajaran tidak semata-mata bersifat hafalan melainkan dengan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan terintegrasikannya nilai-nilai kemanusiaan dalam kepribadian dan perilaku selama proses pembelajaran. Salah satu strategi pembelajaran yang dapat diterapkan adalah dengan pendekatan kooperatif-integrated.. Pembelajaran mempunyai jangkauan tidak hanya membantu peserta didik belajar isi akademik dan ketrampilan semata, namun juga melatih peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan hubungan sosial dan kemanusiaan. Model pembelajaran ditandai dengan adanya struktur tugas yang bersifat kontekstual, struktur tujuan, dan struktur penghargaan (reward).

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

Untuk mewujudkan makna pendidikan dan fondasi pembelajaran tersebut diperlukan proses pembelajaran yang efektif. Keefektifan proses pembelajaran merupakan pencerminan dalam mencapai tujuan pembelajaran tepat yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Keefektifan proses pembelajaran berkenaan dengan jalan, upaya, teknik dan strategi yang digunakan dalam mencapai tujuan pembelajaran secara optimal, tepat dan cepat (Nana Sudjana, 1996 : 52). Sekolah tidak hanya berkewajiban untuk memelihara nilai-nilai masyarakat, namun juga harus memberikan keaktifan kepada peserta didik dan secara kritis dalam menghadapi masalah-masalah sosial, dan harus mengadakan usaha pemecahan masalah. Salah satu faktor yang mempengaruhi keefektifan pembelajaran antara lain kemampuan guru dalam menggunakan strategi. Penerapan strategi pembelajaran dipengaruhi oleh faktor tujuan, peserta didik, situasi, fasilitas dan pembelajaran itu sendiri. Dengan menerapkan metode yang tepat, proses pembelajaran akan berlangsung lebih efektif sehingga hasil pembelajaran akan lebih baik dan mantap. Salah satu startegi pembelajaran yang memberikan perhatian pengembangan potensi peserta didik adalah strategi keterampilan proses (proses pemecahan masalah). Upaya mengembangkan disiplin intelektual dan ketrampilan yang dibutuhkan peserta didik untuk membantu memecahkan masalah dalam kehidupannya dengan memberikan pertanyaan dan kasus yang memperoleh jawaban atas dasar rasa ingin tahu. Keterlibatan aktif peserta didik secara mental dalam kegiatan pembelajaran akan membawa dirinya kepada kegiatan belajar yang bermakna. Secara kooperatif akan memperkaya cara berpikir peserta didik dan menolong mereka belajar tentang hakekat timbulnya pengetahuan yang tentatif dan berusaha menghargai penjelasan. Pergeseran Paradigma Pendidikan Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi sangat menuntut hadirnya perubahan paradigma pendidikan yang berorientasi pada pasar dan kebutuhan hidup masyarakat. Sayling Wen dalam bukunya future of education menyebutkan beberapa pergeseran paradigma pendidikan, antara lain: 1. Pendidikan yang berorientasi pada pengetahuan bergeser menjadi pengembangan ke segala potensi yang seimbang. Pada pendidikan orientasi pendidikan lebih menekankan pada pemindahan informasi yang dimiliki kepada peserta didik (bersifat kognitif). Proses pembelajaran yang berkembang di negara kita dapat deskripsikan sebagai berikut: peran guru sangat dominan dalam proses pembelajaran, kesan yang muncul adalah guru mengajar peserta didik diajar, guru aktif peserta didik pasif, guru pinter peserta didik minder, guru berkuasa, peserta didik dikuasai. Dalam kegiatannya pendidik berusaha memola anak didik sesuai dengan kehendaknya. Program pembelajaran, materi, media, metode dan evaluasi yang diterapkan sepenuhnya disiapkan oleh pendidik. Mulai tahun pelajaran 2004/2005 Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) mulai diterapkan, implementasi KBK diharapkan dapat mengembangkan seluruh potensi yang menjadi sasaran pendidikan secara optimal. Mengingat KBK mengandung prinsip pembelajaran yang menerapkan pendekatan, antara lain: 1) student centered, 2) Integrated learning, 3) individual learning, 4) mastery learning, 5) problem solving, 6) Experince based learning, dan 7) peran guru sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan dan sekaligus mitra belajar. Meskipun dalam pelaksanaannya, KBK masih ditemukan banyak kelemahan-kelemahan. 2. Dari keseragaman pembelajaran bersama yang sentralistik menjadi keberagaman yang terdesentralisasi dan terindividulisasikan. Hal ini seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dimana informasi dapat diakses secara mudah melalui brbagai macam media pembelajaran secara mandiri, misalnya; internet, multimedia pembelajaran, dsb.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

Pembelajaran dengan model penjenjangan yang terbatas menjadi pembelajaran seumur hidup. Belajar tidak hanya terbatas pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi, namun belajar dapat dilakukan sepanjang hayat, yang tidak terbatas pada tempat, usia, waktu, dan fasilitas. 4. Dari pengakuan gelar kearah pengakuan kekuatan-kekuatan nyata (profesionalisme). Dilihat dari kualitas pendidik, secara kuantitatif jenjang pendidikan yang dimiliki guruguru SD, SLTP, SMU/SMK cukup menjanjikan, Sebagian besar sarjana atau D2. Hal ini ditunjukkan dengan gelar yang dimiliki pada pendidik, namun secara kualitas, sungguh memprihatinkan. Secara kualitatif bisa dilihat, motivasi belajar dan motivasi berprestasi dalam meningkatkan profesionalisme di kalangan pendidik sangat rendah. Sebagian besar guru malas belajar, malas mencari pengetahuan baru, dan berkarya (baca: tekun membaca, mengikuti pelatihan, menulis karya ilmiah). Pola pikir yang berkembang pada pendidik saat ini lebih loyal pada integrasi gaji dari pada loyalitas profesional, dengan nafsu mengejar pangkat, golongan, posisi dan tunjangan. Di antara pendidik ada yang melanjutkan kuliahnya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (S1, S2 dan S3), bukan untuk meningkatkan kualitas diri dan profesi, namun demi gengsi, posisi dan gaji, kesempatan kuliah yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas diri dan profesi secara mandiri mulai menghilang. Kondisi demikian sungguh memprihatinkan. Namun seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan persaingan global, kompetensi dan profesionalisme akan menjadi tolok ukur keberhasilan seseorang dalam memenang persaingan hidup. Prestasi kerja menempatkan seseorang pada posisi kerja yang sesungguhnya (saat ini muncul image posisi kerja adalah uang) 5. Pembelajaran yang berbasis pada pencapaian target kurikulum bergeser menjadi pembelajaran yang berbasis pada kompetensi dan produksi. Pencapaian target kurikulum bukan satu-satunya indikator keberhasilan proses pendidikan, keberhasil pendidikan hendaknya di lihat dari konteks, input, proses, output dan outcomes, sehingga keberhasilan pendidikan dapat dimaknai secara komprehensif. Masih banyak lembaga pendidikan kita yang masih menekankan pada pencapaian target kurikulum, contoh dilapangan: kita lihat kurikulum pendidikan dasar, pada jenjang pendidikan dasar (masa kanak-kanak dan SD) merupakan jenjang pendidikan yang menyenangkan (masa bermain), coba kita lihat setelah anak mulai masuk di TK atau di SD kesempatan bermain bagi anak sangat dibatasi. Sistem pembelajaran yang diterapkan membatasi gerak anak dengan dinding dan keangkuhan guru yang sangat kokoh di depan kelas. Anak-anak mulai dipola sekehendak gurunya yang dengan dalih agar sesuai dengan kurikulum yang telah dirumuskan oleh pejabat pendidikan, meskipun dengan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). peserta didik SD yang seharusnya masih menggunakan konsep pendidikan bermain sambil belajar. Dengan, namun mulai menghilang, yang muncul belajar sambil bermain. Sehingga anak-anak SD kurang mengenal nama-nama benda, tumbuhan, binatang yang ada disekitarnya.
3.

Kondisi ini wajar, karena beban pelajaran yang dipersyaratkan dalam kurikulum yang harus ditanggung peserta didik di SD begitu berat (9 mata pelajaran), belum lagi masih banyaknya pekerjaan rumah (PR) yang sebagian besar bersifat menghafal (mengkhayal) hal-hal yang terpisah dari kemampuan dan tuntutan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sejak masa kanak-kanak para peserta didik telah dikondisikan dengan pencapaian target kuantitif yang sangat berat. Untuk mengurangi jumlah pengkhayal dalam pendidikan, sebaiknya pada jenjang pendidikan dasar mulai dipikirkan menerapkan kurikulum dasar yang berbasis pada mata pelajaran Matematika, bahasa, sains, jasmani dengan memperhatikan pemberdayaan sistem nilai yang berkembang di daerahnya. Proses pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan kontektual.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

6.

Pendidikan sebagai investasi manusia dengan hight cost, yang dapat dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas, khususnya pendidikan tinggi.

Strategi Pengembangan Pendidikan Di Era Global Untuk membekali terjadinya pergeseran orientasi pendidikan di era global dalam mewujudkan kualitas sumber daya manusia yang unggul, diperlukan strategi pengembangan pendidikan, antara lain: 1. Mengedepankan model perencanaan pendidikan (partisipatif) yang berdasarkan pada need assessment dan karakteristik masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pendidikan merupakan tuntutan yang harus dipenuhi. 2. Peran pemerintah bukan sebagai penggerak, penentu dan penguasa dalam pendidikan, namun pemerintah hendaknya berperan sebagai katalisator, fasilitator dan pemberdaya masyarakat. 3. Penguatan fokus pendidikan, yaitu fokus pendidikan diarahkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat, kebutuhan stakeholders, kebutuhan pasar dan tuntutan teman saing. 4. Pemanfaatan sumber luar (out sourcing), memanfaatkan berbagai potensi sumber daya (belajar) yang ada, lembaga-lembaga pendidikan yang ada, pranata-pranata kemasyarakatan, perusahaan/industri, dan lembaga lain yang sangat peduli pada pendidikan. 5. Memperkuat kolaborasi dan jaringan kemitraan dengan berbagai pihak, baik dari instansi pemerintah mapun non pemerintah, bahkan baik dari lembaga di dalam negeri maupun dari luar negeri. 6. Menciptakan soft image pada masyarakat sebagai masyarakat yang gemar belajar, sebagai masyarakat belajar seumur hidup. 7. Pemanfaatan teknologi informasi, yaitu: lembaga-lembaga pendidikan baik jalur pendidikan formal, informal maupun jalur non formal dapat memanfaatkan teknologi informasi dalam mengakses informasi dalam mengembangkan potensi diri dan lingkungannya (misal; penggunaan internet, multi media pembelajaran, sistem informasi terpadu, dsb)

I.

KONSEP DASAR MANAJEMEN SEKOLAH

Pentingnya Manajemen Sekolah Sekolah tidak ubahnya sebagai sebuah institusi atau lembaga. Sebagai sebuah institusi atau lembaga, sekolah mengemban misi tertentu yaitu melakukan proses edukasi, proses sosialisasi, dan proses transformasi anak didik, dalam rangka mengantarkan mereka siap mengikuti pendidikan pada jenjang berikutnya. Oleh karena demikian misinya, maka sekolah dapat dikategorikan sebagai institusi atau lembaga pendidikan. Sebagai institusi atau lembaga pendidikan, sekolah menyelenggarakan berbagai aktivitas pendidikan bagi anak didik dan melibatkan banyak komponen, sehingga aktivitas maupun komponen pendidikan di sekolah menuntut adanya manajemen yang baik dalam rangka mencapai tujuan institusional sekolah. Secara garis besar aktivitas pendidikan di sekolah, baik negeri maupun swasta dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, aktivitas pembelajaran kurikuler, seperti pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PKN), pembelajaran Pendidikan Agama (PA), pembelajaran Bahasa Indonesia (BI), pembelajaran Matematika (Mat), pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS);
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

pembelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian (Kertakes), pembelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes), pembelajaran Muatan Lokal (Mulok). Kedua, aktivitas pembelajaran ekstrakurikuler, seperti kegiatan pramuka, usaha kesehatan sekolah (UKS), olah raga, kesenian, dan patroli keamanan sekolah (PKS). Ketiga aktivitas pembelajaran lainnya dalam bentuk upacara bendera yang diselenggarakan pada setiap hari senin dan senam pagi. Masing-masing jenis aktivitas pembelajaran tersebut memiliki tujuan kurikuler. Namun semua aktivitas pembelajaran harus dipadukan sedemikian rupa dan diarahkan kepada pencapaian satu tujuan, tepatnya tujuan institusional Sekolah. Demikian pula, agar antara aktivitas pembelajaran satu dan lainnya tidak tumpang tindih, dan fasilitas sekolah dapat didayagunakan secara optimal maka Sekolah menuntut adanya manajemen yang baik. Di sinilah letak pentingnya manajemen yang baik di sekolah. Tampaknya, tidak ada kesuksesan penyelenggaraan pendidikan di Sekolah tanpa adanya manajemen yang baik di dalamnya. Sementara dalam pelaksanaan semua aktivitas pembelajaran di atas dilibatkan banyak komponen, tidak saja komponen manusia melainkan juga komponen bukan manusia. Komponen manusia di Sekolah cukup banyak. Dalam kondisi normal komponen manusia Sekolah terdiri dari seorang kepala sekolah, enam orang guru kelas, seorang guru mata pelajaran Pendidikan Agama, seorang guru mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, dan seorang pesuruh sekolah. Jadi secara keseluruhan terdapat sepuluh personil Sekolah. Sedangkan komponen bukan manusia di Sekolah terdiri dari enam ruang kelas, satu ruang kepala sekolah yang juga difungsikan sebagai ruang administrasi, buku teks, buku penunjang, buku bacaan, berbagai alat peraga, dan uang. Agar dapat didayagunakan secara optimal dalam mencapai tujuan institusional Sekolah, semua komponen tersebut dikelola dengan sebaik-baiknya. Semakin banyak personil dan fasilitas yang didayagunakan semakin menuntut adanya manajemen Sekolah yang baik.

Pengertian Manajemen Sekolah Banyak pakar administrasi pendidikan yang berpendapat bahwa manajemen itu merupakan kajian administrasi ditinjau dari sudut prosesnya. Para pakar administrasi pendidikan, seperti Sergiovanni, Burlingame, Coombs, dan Thurston (1987) mendefinisikan manajemen sebagai process of working with and through others to accomplish organizational goals efficienctly, yaitu proses kerja dengan dan melalui (mendayagunakan) orang lain untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Manajemen itu merupakan proses, terdiri atas kegiatan-kegiatan dalam upaya mencapai tujuan kerjasama (administrasi) secara efisien. Pengertian tersebut sesuai dengan pendapat Gorton (1976) yang menegaskan bahwa manajemen merupakan metode yang digunakan administrator untuk melakukan tugastugas tertentu atau mencapai tujuan tertentu. Manajemen Sekolah pada dasarnya merupakan penerapan manajemen sekolah di Sekolah. Berdasarkan kedua definisi tersebut di atas manajemen Sekolah merupakan proses di mana kepala Sekolah selaku administrator bersama atau melalui orang lain berupaya mencapai tujuan institusional Sekolah secara efisien. Apabila definisi tersebut dikaji secara saksama, ada beberapa makna tersirat berkenaan dengan konsep manajemen Sekolah. 1. Manajemen Sekolah merupakan proses, dalam arti serangkaian kegiatan yang diupayakan kepala sekolah bagi kepentingan sekolahnya. 2. Rangkaian kegiatan yang diupayakan oleh kepala sekolah bersama orang lain dan atau melalui orang lain misalnya guru, dan mendayagunakan semua fasilitas yang ada. Jadi kepala sekolah tidak bekerja sendiri. Bahkan, yang baik adalah kepala sekolah selalu berusaha untuk menugaskan orang lain dalam menye-lesaikan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

3.

tugas-tugas di sekolahnya. Bukan kepala sekolah yang baik apabila segala sesuatu di sekolahnya dikerjakan sendiri. Dengan kata lain, pada hakikatnya manajemen Sekolah merupakan segala proses pendayagunaan semua komponen, baik komponen manusia maupun komponen bukan manusia yang dimiliki sekolah dalam rangka mencapai tujuan secara efisien. Tujuan manajemen Sekolah adalah mencapai tujuan institusional Sekolah, yaitu memberikan bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota ummat manusia serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan menengah. Dengan manajemen Sekolah yang baik diharapkan Sekolah menjadi lembaga pendidikan yang baik dalam segala aspek.

Karakteristik Sekolah Yang Baik Secara umum, tujuan manajemen Sekolah adalah mewujudkan Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang baik, yaitu efektif dan efisien. Efektif berarti mencapai tujuan, sedangkan efisien dalam arti umum bermakna hemat. Jadi ada dua tujuan pokok dengan diterapkannya manajemen dalam suatu penyelesaian pekerjaan, organisasi, instansi, atau lembaga. Pertama, tujuan manajemen itu diupayakan dalam rangka mencapai efektivitas. Suatu program kerja dikatakan efektif apabila program kerja tersebut dapat mencapai tujuan. Dengan kata lain, tujuan diterapkannya manajemen pada sebuah program adalah agar program tersebut dapat mencapai tujuan. Kedua, manajemen itu dilakukan dalam rangka mencapai efisiensi dalam pelaksanaan setiap program. Efisiensi merupakan suatu konsepsi perbandingan antara pelaksanaan satu program dengan hasil akhir yang diraih atau dicapai. Menurut The Liang Gie (1983), perbandingan tersebut dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi pelaksanaan program dan segi hasil. Apabila ditinjau dari segi pelaksanaannya, sebuah program dapat dikatakan efisien apabila hasilnya dapat dicapai melalui upaya yang sekecilkecilnya dan sehemat-hematnya. Upaya yang dimaksudkan di sini adalah penggunaan komponen, seperti tenaga, waktu pelaksanaan, sarana prasarana, dan keuangan. Ditinjau dari segi hasil, penyelenggaraan sebuah program dapat dikatakan efisien apabila dengan usaha tertentu memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya. Sekali lagi dijelaskan bahwa yang dimaksudkan upaya di sini adalah penggunaan komponen, seperti: tenaga, waktu pelaksanaan, sarana prasarana, dan keuangan. Jadi apabila dengan tenaga, waktu, sarana, uang yang cukup dapat menghasilkan suatu produk yang banyak, maka itulah yang disebut dengan efisien. Jika sebaliknya, dengan tenaga, waktu, sarana, dan uang yang cukup menghasilkan produk yang sedikit, maka itulah yang disebut dengan tidak efisien atau inefisiensi. Perihal sekolah yang baik, ada juga pakar yang mengatakan bahwa manajemen sekolah dilakukan dalam rangka mewujudkan Sekolah yang bermutu. Sekolah dapat dikatakan bermutu baik apabila mampu mengemban misinya dalam rangka mencapai tujuan kelembagaannya. Sepanjang perkembangan teori manajemen pendidikan ada dua model teoritik sebagai pendekatan yang sangat berguna dalam menetapkan sekolah yang baik, sebagaimana dikemukakan oleh Hoy dan Ferguson (1985), yaitu model tujuan dan model sistem. Pertama adalah model tujuan, atau disebut juga dengan pendekatan pencapaian-tujuan. Model tersebut berdasarkan pada pandangan tradisional tentang keefektifan organisasi. Dalam pandangan tradisional organisasi dikatakan efektif apabila ia mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Sergiovanni, 1987), sehingga pengukurannya melalui cara melihat tujuan-tujuan operasional yang telah dicapai dari organisasi (Daft & Steers, 1986). Sekolah pada dasarnya juga merupakan sebuah organisasi. Dengan demikian, sekolah dapat dikatakan baik apabila mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Biasanya tingkat
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

pencapaian ditandai dengan prestasi lulusan sekolah dalam bidang ketrampilan dasar yang diukur melalui tes prestasi terstandar (Frymier, dkk., 1984; Sergiovanni, 1984). Dengan demikian, apabila digunakan pendekatan tujuan, maka prestasi siswa memainkan peranan penting dalam menetapkan baik tidaknya sebuah sekolah. Banyak sekali penelitian tentang keefektifan sekolah dengan menggunakan pendekatan atau model tujuan tersebut, yang menyandarkan penetapannya semata-mata kepada prestasi siswa, sebagaimana diukur melalui tes terstandar sebagai kriteria keefektifannya (Frymier, dkk., 1984; Hoy & Ferguson, 1985; Sergiovanni, 1987). Penelitian terkenal yang dilakukan oleh Edmons (1979), begitu pula oleh Brookover dan Lezotte (1979) tentang keefektifan Sekolah merupakan dua contoh di antaranya. Mereka (para penganjurnya) memiliki asumsi bahwa sekolah memang memiliki banyak tujuan. Namun berapapun banyaknya, menurut mereka sekolah tidak akan dikatakan baik oleh siswa, orang tua, dan masyarakat lainnya, selama sekolah tersebut tidak sukses dalam mengajarkan ketrampilan-ketrampilan dasar. Sementara satu lagi bagi popularitas model atau pendekatan tujuan ini adalah kemudahan peneliti dalam mendefinisikan dan mengukur keefektifan sekolah sebagai sebuah institusi (Sergiovanni, 1987). Namun penyandaran penetapan keefektifan suatu sekolah pada prestasi siswa semata, sebagaimana diukur melalui tes prestasi akademik terstandar, telah banyak dikecam. Kelemahan pertama terletak pada pendefinisian keefektifannya yang sangat sempit, dimana keefektifan sekolah diukur hanya dari satu dimensi, prestasi akademik siswa. Kedua, walaupun pendekatan tersebut didasarkan pada asumsi-asumsi yang logis dan dianggap penting, namun keberlangsungannya sangat terancam, sebab dalam rangka menerapkannya sekolah harus dalam kondisi: memiliki tujuan, tujuan tersebut harus diidentifikasi dan didefinisikan cukup tegas sehingga dimengerti dan disepakati oleh kepala sekolah, supervisor, dan guru; dan mereka sendiri harus mampu mengukur perkembangan pencapaiannya. Padahal dalam kenyataan sehari-hari kondisi tersebut sering kali tidak ditemukan di sekolah-sekolah. Model kedua adalah model sistem, atau disebut juga dengan pendekatan proses atau pendekatan multi-dimensional. Model tersebut berdasarkan pada konsep sistem terbuka, biasa digunakan khususnya oleh para analis yang memandang organisasi sebagai sebuah sistem terbuka yang terdiri dari masukan, transformasi, dan keluaran (Hoy dan Miskel, 1982). Dalam perspektif model sistem keefektifan organisasi dilihat dari bukan tingkat pencapaian tujuannya, sebagaimana dalam perspektif model tujuan di muka, melainkan konsistensi internal, efisiensi penggunaan semua sumber yang ada, dan kesuksesan dalam mekanisme kerjanya. Ada dua asumsi yang mendasarinya. Pertama, organisasi merupakan sebuah sistem terbuka yang harus mampu memanfaatkan dan merefleksikan lingkungan sekitarnya. Kedua, organisasi merupakan sebuah sistem yang dinamis, dan begitu menjadi besar maka kebutuhannya semakin kompleks, sehingga tidak mungkin didefinisikan hanya melalui sejumlah kecil tujuan organisasi yang bermakna. Berorientasi pada model sistem maka baik tidaknya sekolah dilihat bukan dari tingkat pencapaian tujuannya, melainkan proses dan kondisinya yang disebut dengan karakteristik sekolah. Dalam pada itu ada dua karakteristik sekolah sebagaimana dikemukakan oleh Owens (1987). Pertama, karakteristik internal sekolah, yang meliputi, antara lain: gaya kepemimpinan, proses komunikasi, sistem supervisi dan evaluasi, sistem pengajaran, kedisiplinan, dan proses pembuatan keputusan. Kedua, karakteristik eksternal. Karakteristik eksternal merupakan karakteristik situasi didalam mana sekolah sebagai sebuah organisasi berada dan terletak. Sudah barang tentu yang demikian itu mencakup karakteristik masyarakat, seperti kekayaan, tradisi sosio-kultural, struktur kekuatan politik, dan demografinya. Model sistem sebagai suatu perspektif dalam menentukan baik-tidaknya sekolah telah banyak dikenal dan diterima oleh peneliti administrasi pendidikan (Sergiovanni & Starratt, 1983). Asumsi mereka adalah bahwa ada hubungan antara karakteristik sekolah dengan kualitas keluaran siswa. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

10

demikian. Austin (1979) misalnya, dalam penelitiannya menemukan bahwa sekolah-sekolah yang kepemimpinan kepala sekolahnya terlibat dalam pemrograman pengajaran cenderung memiliki siswa dengan prestasi lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang tidak atau kurang memiliki karakteristik tersebut. Sementara Rutter (1979) pada akhir penelitiannya menyimpulkan bahwa iklim dan kepemimpinan sekolah adalah alat yang penting bagi peningkatan kualitas keluaran siswa. Oleh karena itu mereka (para peneliti administrasi pendidikan) menegaskan bahwa kepala sekolah memang bisa mempengaruhi kualitas keluaran siswa, tetapi harus melalui pemberian perhatian sebaik mungkin pada pembinaan proses dan kondisi yang mempertinggi kualitas keluaran siswa. Walaupun model sistem sebagai suatu pendekatan dalam menentukan baik-tidaknya sekolah telah diterima oleh banyak peneliti administrasi pendidikan, namun model sistem tersebut diduga keras memiliki beberapa kelemahan, terutama apabila diaplikasikan di dalam lembaga pendidikan (Hoy & Miskel, 1982). Pertama, dengan terlalu menekankan pada masukan, alat, dan proses di dalam melihat baik-tidaknya sekolah sebagaimana model sistem, maka masalah keluarannya cenderung terabaikan. Sejarah perkembangan teori administrasi pendidikan menunjukkan bahwa pada tahun 1960-an begitu banyak perhatian diberikan kepada proses dan alat, seperti iklim sekolah, gaya dan karakteristik kepemimpinan, praktek pembuatan keputusan, dan strategi pemecahan konflik, sehingga dengan tidak disadari topik-topik tentang belajar siswa dan keluaran siswa terabaikan (Sergiovanni, 1987). Kedua, karena memperhatikan peningkatan masukan merupakan tujuan operatif bagi organisasi, berarti model sistem itu pada dasarnya merupakan model tujuan. Di atas telah dipaparkan dua model teoretik dalam menetapkan sekolah yang baik atau efektif. Kedua model teoretik tersebut memang tampak berbeda. Model tujuan lebih menekankan pada keberhasilan pencapaian tujuan dalam menetapkan baik-tidaknya sekolah, sementara model sistem lebih memperhatikan karakteristik proses dan kondisi seperti konsistensi internal, kesuksesan mekanisme kerja, dan efisiensi dalam mendayagunakan semua sumber yang tersedia dalam menetapkan baik-tidaknya sekolah. Walaupun begitu keduanya tidak perlu dipertentangkan. Keduanya saling melengkapi satu sama lain, sehingga mungkin dan perlu dikombinasikan yang dapat menghasilkan satu konsep tentang sekolah yang baik. Sergiovanni (1987) pun menganjurkan agar para kepala sekolah, pakar, dan peneliti tidak memilih salah satu di antaranya melainkan keduanya. Lebih lanjut menurut Sergiovanni, apabila pendekatan tujuan dikombinasikan dengan pendekatan sistem, maka siapapun orangnya akan lebih komprehensif dalam memahami kesuksesan sekolah. Berikut ini dikedepankan dua teori yang mengkombinasikan model tujuan dan model sistem. Pertama dikembangkan oleh Parsons (1960) dan kedua dikembangkan oleh Postman dan Weingartner (1979). Parsons (1960) telah mengembangkan sebuah model keefektifan organisasi yang mengkombinasikan kedua model atau pendekatan tujuan dan sistem di atas. Model Parsons menegaskan bahwa keefektifan organisasi itu dapat dilihat dari empat dimensi, yaitu: (1) adaptasi; (2) pencapaian tujuan; (3) integrasi; dan (4) latensi. Asumsi dasarnya adalah bahwa semua sistem sosial, apabila ingin hidup dan berkembang, harus mampu memecahkan empat masalah, yaitu masalah-masalah pengakomodasian lingkungan, penetapan dan pencapaian tujuan, pemeliharaan solidaritas antar komponen sistem, dan penciptaan serta pemeliharaan sistem motivasional dan pola-pola nilai. Menurut Parsons, apabila organisasi mampu menyelesaikan dengan sebaik-baiknya keempat masalah tersebut, maka organisasi tersebut dapat dikatakan efektif atau baik. Berdasarkan kerangka berfikir Parsons di atas Hoy dan Miskel (1987) mengajukan empat dimensi keefektifan sekolah: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latensi. Dari dimensi adaptasi, baik-tidaknya sekolah dilihat dalam hubungan dengan penyesuaian diri
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

11

terhadap tuntutan lingkungannya; dari dimensi pencapaian tujuan, baik tidaknya sekolah diukur dengan dicapainya tujuan pendidikan; dari dimensi integrasi, baik-tidaknya sekolah dikaitkan dengan dipertahankannya solidaritas dan kekohesifan unsur-unsur sistem; dan dari dimensi latensi, baik tidaknya sekolah dinilai pada terciptanya dan dipertahankannya komitmen organisasional sekolah. Dua orang pakar lainnya yang pernah mengemukakan secara lengkap dengan mengkombinasikan model tujuan dan model sistem tentang indikator sekolah yang baik adalah Postman dan Weingartner (1979). Menurut mereka sekolah sebagai institusi memiliki seperangkat fungsi esensial, yang harus dimiliki oleh setiap sekolah. Fungsi-fungsi esensial tersebut meliputi: (1) penstrukturan waktu; (2) penstrukturan aktivitas yang harus diikuti siswa; (3) pendefinisian kecerdasan, kemampuan intelektual, prestasi, dan perilaku yang baik; (4) penilaian; (5) pemisahan peran dan tanggung jawab antara guru dan siswa; (6) supervisi dan pengawasan terhadap siswa; dan (7) pertanggung-jawaban. Di samping fungsi-fungsi esensial, menurut Postman & Weingartner, ada juga konvensi, yaitu prosedur-prosedur yang diikuti sekolah untuk memenuhi ketujuh fungsi esensialnya. Konvensi ini pada dasarnya melayani fungsi-fungsi esensial sehingga fungsi-fungsi esensial tersebut betul-betul membuat sekolah mampu memberikan pengalaman belajar yang berharga bagi siswa. Sebagai contoh adalah penstrukturan waktu yang merupakan fungsi esensial pertama. Setiap sekolah memiliki waktu kapan sekolah mulai dan berakhir. Sekolah juga memiliki waktu kapan aktivitasaktivitas tertentu dilaksanakan dan waktunya pasti berbeda antara satu aktivitas dengan aktivitas lainnya. Tanpa pengaturan waktu kita tidak memiliki sekolah. Sedangkan konvensi adalah cara-cara khusus di sekolah untuk mengatur waktu sepuluh bulan dalam setahun, enam hari dalam seminggu, enam jam dalam sehari, dan empat puluh menit dalam satu jam pelajaran. Lebih lanjut, menurut Postman dan Weingartner, konvensilah yang sebenarnya merupakan obyek perubahan organisasional sekolah. Menurut mereka sebuah sekolah dinilai baik apabila konvensinya secara aktual meningkatkan pengalaman belajar yang berharga bagi siswa. Akhirnya berdasarkan semua inilah Postman dan Weingartner mendeskripsikan ciriciri sekolah yang baik sebagai berikut. 1. Ditinjau dari penstrukturan waktunya sekolah dapat dikatakan baik apabila: a. sekuensi waktu sehari di sekolah itu tidak sewenang-wenang (45 menit untuk ini, 45 menit untuk itu, dan seterusnya), melainkan didasarkan pada apa yang perlu dilakukan siswa; b. antara satu orang siswa dan siswa lainnya di sekolah tidak diharuskan mengerjakan hal yang sama dalam jangka waktu yang sama; c. siswa tidak dituntut semata-mata untuk mematuhi waktu dalam pelajaran, melainkan menguasai keterampilan; d. siswa diarahkan untuk mengorganisasi waktunya sendiri. 2. Ditinjau dari penstrukturan aktivitasnya, sekolah dapat dikatakan baik apabila: a. aktivitas-aktivitasnya disesuaikan dengan kebutuhan siswa secara perorangan; b. antara satu orang siswa dan siswa lainnya tidak dituntut untuk mengikuti aktivitas yang sama; c. sekolah mengakui bahwa proses belajar mengajar hampir tidak bernilai bagi siswa apabila dirinya kurang dilibatkan di dalamnya; d. aktivitasnya merupakan aktivitas siswa; e. aktivitasnya tidak terbatas pada sebuah gedung, melainkan juga mencakup semua sumber pada masyarakat; f. aktivitas-aktivitasnya memenuhi semua perbedaan latar belakang dan kemampuan siswa.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

12

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Ditinjau dari pendefinisian kecerdasan, pengetahuan, atau perilaku, sekolah dapat dikatakan baik apabila: a. proses belajar mengajar yang dikelolanya lebih menekankan pada proses inkuiri, pemecahan masalah, dan penelitian daripada memorisasi; b. siswanya dijauhkan dari kebiasaan menerima pelajaran secara pasif; c. berbagai keterampilan berkomunikasi dilatihkan kepada siswa; d. kepada siswanya selalu ditekankan untuk menggunakan ilmu dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar memperoleh ilmu demi ilmu; e. personilnya mengakui adanya perkembangan pengetahuan di berbagai bidang dan mencoba mempertimbangkannya dalam mendefinisikan pengetahuan; f. pengetahuan diri sendiri merupakan bagian dari definisi pengetahuannya. Ditinjau dari evaluasi, sekolah dapat dikatakan baik apabila dalam proses evaluasinya: a. lebih menekankan pada upaya memberikan balikan yang mendorong; b. digunakan pendekatan yang humanistik dan perorangan; c. mencakup aspek yang komprehensif; d. terlebih dahulu dibuatkan seeskplisit mungkin jenis perilaku yang diinginkan sekolah; e. kurang digunakan tes terstandar; f. khusus dalam mengevaluasi guru dan administrator digunakan prosedurprosedur yang konstruktif. Ditinjau dari supervisi dan pengawasan siswa, sekolah dapat dikatakan baik apabila: a. guru dan siswanya melakukan upaya-upaya yang kolaboratif; b. siswanya diberi kesempatan untuk mensupervisi dirinya sendiri; c. jumlah siswa yang ditangani seorang supervisor tidak banyak, sehingga masalah personalnya bisa ditangani. Ditinjau dari perbedaan peran sekolah dapat dikatakan baik apabila: a. semua gurunya selalu mengembangkan ide mengenai masyarakat belajar dimana fungsi guru lebih sebagai seorang koordinator dan fasilitator; b. berbagai peran mengajar didalamnya tidak dimainkan hanya oleh guru; c. berbagai peran mengajar diorganisasikan dan kemudian ditugaskan sesuai dengan kemampuan guru; d. siswanya dianggap bukan sebagai obyek pada setiap aktivitas, melainkan didorong untuk aktif membentuk pengalamannya sendiri; e. siswa tidak secara konstan ditempatkan dalam peran-peran konpetitif, melainkan juga kolaboratif. Di tinjau dari pertanggungjawaban terhadap masyarakat, sekolah dapat dikatakan baik apabila personelnya: a. lebih menekankan pada partisipasi masyarakat daripada paternalistik birokratik; b. tidak takut mempertanggungjawabkan performansinya. Ditinjau dari pertanggungjawaban terhadap masa depan, sekolah dapat dikatakan baik apabila personelnya: a. memiliki konsep tentang pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang diorientasikan pada masa depan; b. menginterpretasikan tanggung jawabnya pada masa depan sebagai tanggung jawab kepada siswa, baru kemudian kepada institusi sosial.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

13

Manajemen Sebagai Sebuah Proses Manajemen pada dasarnya merupakan sebuah proses. Menurut Sergiovanni dan kawan-kawannya (1987) proses manajemen meliputi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengerahan (leading), dan pengawasan (controlling). Menurut Gorton, manajemen itu pada hakikatnya merupakan proses pemecahan masalah, sehingga langkah-langkah manajemen tidak ubahnya sebagaimana langkah-langkah pemecahan masalah, yaitu: 1. identifikasi masalah 2. diagnosis masalah 3. penetapan tujuan 4. pembuatan keputusan 5. perencanaan 6. pengorganisasian 7. pengkoordinasian 8. pendelegasian 9. penginisian 10. pengkomunikasian 11. kerja dengan kelompok-kelompok 12. penilaian Sekilas, secara kuantitatif apa yang dikemukakan oleh Sergiovanni dan kawankawannya tentang langkah-langkah manajemen berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Gorton. Namun apabila dikaji secara seksama, terutama apabila dikaji hakikat konsepnya, ternyata keduanya sama. Jadi walaupun Sergiovanni dan kawan-kawannya mengedepankan hanya empat langkah manajemen, namun secara konseptual keempat langkah manajemen perencanaan, pengorganisasian, pengerahan, dan pengawasan tersebut sama dengan kedua belas langkah manajemen yang dikemukakan oleh Gorton. Dengan demikian, kedua belas langkah manajemen yang dikedepankan Gorton di atas dapat disederhanakan menjadi empat langkah manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengawasan. Kegiatan tersebut merupakan fungsi-fungsi organik manajemen. Artinya kegiatan tersebut, seperti perencanaan, pengorganisasian, pengerahan atau kepemimpinan, dan pengawasan tidak boleh tidak harus dilakukan dalam setiap administrasi. Perencanaan Salah satu fungsi manajemen adalah perencanaan. Program kegiatan apa pun perlu direncanakan dengan baik, sehingga semua kegiatan terarah bagi tercapainya tujuan. Perencanaan harus dibuat dengan sebaik-baiknya. Rencana merupakan pedoman kerja bagi para pelaksana terkait, baik manajer maupun staf dalam melaksanakan fungsi dan tugas masing-masing. Selain itu rencana merupakan acuan dalam upaya mengendalikan kegiatan lembaga, sehingga tidak menyimpang dari pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena begitu pentingnya perencanaan tersebut, maka seorang manajer harus memiliki kemampuan merencanakan program. Terkait dengan perencanaan, berikut dikemukakan: (1) definisi perencanaan; (2) ciri-ciri perencanaan yang baik; dan (3) proses perencanaan yang baik. Perencanaan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses pemikiran dan penentuan semua aktivitas yang akan dilakukan pada masa yang akan datang dalam rangka mencapai tujuan. Perencanaan merupakan langkah pertama dalam proses manajemen yang harus dilakukan oleh orang-orang yang mengetahui semua unsur organisasi. Keberhasilan perencanaan sangat menunjang keberhasilan kegiatan manajemen secara keseluruhan. Oleh karena itu, perencanaan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Menurut banyak pakar manajemen, perencanaan yang baik sebagai berikut.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

14

Dibuat bersama-sama oleh orang-orang yang memahami organisasi dan perencanaan. b. Disertai dengan rincian yang teliti; c. Tidak terlepas dari pemikiran pelaksanaan; d. Terdapat tempat pengambilan resiko; e. Sederhana, luwes, dan praktis; f. Didasarkan pada keadaan nyata masa kini dan masa depan; g. Direkomendasi oleh penguasa tertinggi. Telah ditegaskan bahwa perencanaan merupakan sebuah proses yang memikirkan dan menetapkan kegiatan untuk masa yang akan datang. Oleh karena perencanaan merupakan sebuah proses, maka ada beberapa langkah yang harus ditempuh dalam membuat perencanaan, yaitu: a. meramalkan masa depan; b. menganalisis kondisi lembaga; c. merumuskan tujuan secara operasional; d. mengumpulkan data atau informasi; e. menganalisis data atau informasi; f. merumuskan dan menetapkan alternatif program; g. menetapkan perkiraan pelaksanaan program; h. menyusun jadwal pelaksanaan program. Pengorganisasian Pengorganisasian merupakan keseluruhan proses pengelompokan semua tugas, tanggung jawab, wewenang, dan komponen dalam proses kerjasama sehingga tercipta suatu sistem kerja yang baik dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengorganisasian dilakukan berdasarkan tujuan dan program kerja sebagaimana dihasilkan dalam perencanaan. Menurut Siagian (1981) pengorganisasian suatu program dapat dilakukan melalui prosedur sebagai berikut. a. Mengidentifikasi pekerjaan atau tugas yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan. b. Mengelompokkan pekerjaan atau tugas yang sama dan memiliki fungsi yang sama. c. Memberikan nama tertentu bagi setiap kelompok pekerjaan atau tugas dengan nama yang kurang lebih menggambarkan fungsinya masingmasing. d. Menentukan orang-orang yang akan ditunjuk menyelesaikan setiap kelompok kerja atau tugas. Apabila ada kelompok kerja atau tugas tertentu harus dikerjakan oleh lebih dari satu orang, maka salah satu di antara mereka perlu ditunjuk sebagai penanggung jawabnya (pendistribusian tugas dan tanggung jawab). e. Mendistribusikan fasilitas atau peralatan yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan f. Menetapkan aturan kerja g. Menetapkan hubungan kerja Komponen-komponen organisasi kepala sekolah Berdasarkan hakikat dan tugas-tugas pengorganisasian di atas, maka seorang kepala Sekolah perlu memiliki kompetensi-kompetensi sebagai berikut. Menguasai konsep dasar dan teori organisasi. 1) Memahami konsep dasar organisasi, yang menjadi landasan dalam penyusunan organisasi sekolah. 2) Mengidentifikasi unsur-unsur organisasi sekolah.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

a.

15

Menguasai kebijakan dan teori-teori dasar organisasi. Memahami prinsip-prinsip dasar, fungsi, dan keuntungan organisasi. Memahami teori hubungan kerja dan batas kemampuan pengawasan dalam organisasi. Menguasai teknik pengorganisasian. 1) Memahami teknik pengorganisasian sebagai proses. 2) Memahami dasar penyusunan struktur organisasi. 3) Menerapkan langkah-langkah pengorganisasian kegiatan sekolah baik melalui ragam organisasi formal maupun informal. 4) Memahami dan menerapkan bentuk-bentuk pengorganisasian secara proporsional. 5) Mengembangkan struktur organisasi formal kelembagaan sekolah berdasarkan model struktur organisasi yang relevan. 6) Mengembangkan deskripsi tugas pokok dan fungsi setiap unit kerja yang ada di sekolah sesuai dengan pendekatan, strategi, dan proses pengorganisasian yang baik. 7) Mengembangkan standar operasional prosedur pelaksanaan tugas berdasarkan langkah-langkah operasional pengorganisasian yang baik. 8) Mengenal dan memahami bentuk struktur organisasi di lingkungan Depdiknas dan sekolah. Menguasai kemampuan sebagai organisator. 1) Memahami kecenderungan dan kebijakan pendidikan nasional dalam pengorganisasian sekolah. 2) Memahami fungsi kepala sekolah sebagai pemimpin organisasi. 3) Memahami perilaku anggota dalam organisasi sekolah. 4) Menguasai kemampuan penempatan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan prinsip-prinsip pembentukan kelompok kerja dan tim yang efektif dan tepat persebaran. 5) Menerapkan strategi peningkatan efektivitas kelompok. 6) Melaksanakan proses pengambilan keputusan secara efektif. 7) Menerapkan model-model pengambilan keputusan dalam proses pemecahan masalah. 8) Menerapkan ketrampilan-ketrampilan dasart berkomunikasi sebagai pemimpin organisasi di sekolah. Kepemimpinan Keberhasilan suatu institusi dalam menjalankan program yang telah direncanakan atau diorganisasikan perlu didukung dengan sebuah kepemimpinan yang efektif. Segenap sumber daya yang ada harus dikerahkan sedemikian rupa. Semua sumber daya manusia perlu dikerahkan secara efektif. Kehadiran kepemimpinan sangat esensial, mengingat kepemimpinan merupakan motor penggerak bagi sumber daya yang dimiliki lembaga. Karena itu, kepemimpinan disebut sebagai fungsi organik dalam proses manajemen. Terkait dengan kepemimpinan tersebut berikut dikemukakan: (1) definisi kepemimpinan; (2) jenis kepemimpinan; dan (3) syarat-syarat untuk menjadi pemimpin yang efektif. Secara sederhana kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses mempengaruhi, mendorong, mengajak, menggerakkan, dan menuntun orang lain dalam proses kerja agar berfikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hakikat kepemimpinan adalah kegiatan seseorang menggerakkan orang lain, agar orang lain itu berkenan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

3) 4) 5)

16

melaksanakan tugas-tugasnya. Dalam rangka memperoleh gambaran yang sederhana tentang kepemimpinan, perlu didistribusikan berikut ini dengan pengalaman praktis, yang pernah dirasakan di dalam proses kehidupan kelompok. Proses kepemimpinan seseorang dapat muncul dalam bentuk usaha mempengaruhi orang lain agar bertindak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Marilah kita amati di lingkungan Sekolah, kepala sekolah berusaha mempengaruhi para guru kelas, guru mata Pendidikan Agama atau guru mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, pesuruh sekolah. Agar mereka mau melakukan tugasnya masing-masing demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan definisi dan ilustrasi kepemimpinan tersebut, proses kepemimpinan pada hakikatnya dapat muncul kapan dan dimanapun, apabila ada unsurunsur : orang yang memimpin. orang-orang yang dipimpin. kegiatan atau tindakan penggerakkan untuk mencapai tujuan. tujuan yang ingin dicapai bersama. Sepanjang sejarah perkembangan teori kepemimpinan, ditemukan banyak jenis kepemimpinan, tergantung dari mana memandangnya. Pertama, bilamana ditinjau dari status hukum, maka dua jenis kemimpinan, yaitu kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal. Seseorang yang secara resmi diberi tugas dan tanggung jawab sebagai pemimpin disebut pemimpin formal atau pemimpin resmi (formal leader atau structural leader). Seseorang yang secara resmi tidak ditunjuk sebagai pemimpin, namun dalam kesehariannya ia selalu mampu mendorong, memotivasi, atau menggerakkan orang lain, maka orang tersebut dinamakan pemimpin tidak resmi atau pemimpin informal (informal leader atau functional leader). Orang-orang yang digerakkan atau didorong berarti orang-orang yang dipimpin. Ditinjau dari karakteristik pemimpin, lahir tiga jenis kepemimpinan, yaitu kepemimpinan simbolik, kepemimpinan formal, dan kepemimpinan fungsional. Pemimpin simbolik adalah pemimpin yang ramah, jujur, bersemangat, kreatif, tabah, bijaksana, cerdas, humoris, lemah-lembut. Pemimpin formal adalah pemimpin yang memiliki posisi, gelar, jabatan, puncak hierarki, kuasa. Sedangkan pemimpin fungsional adalah pemimpin yang lahir dari peranan, fungsi dan kemanfaatannya bagi kelompok. Sedangkan ditinjau dari tipenya, kepemimpinan dapat dibagi menjadi empat tipe, yaitu kepemimpinan otoriter, kepemimpin laizess-fire, kepemimpinan demokratis; dan kepemimpinan pseudo-demokratis. Kepemimpinan otoriter diwarnai dengan serba tergantungan kepada pemimpin. Kepemimpinan leizess-faire adalah kepemimpinan yang semuanya bergantung bawahan; kepemimpinan demokratis diwarnai dengan tindakan kerjasama pemimpin dan bawahan. Sedangkan kepemimpinan pseudodemokratis merupakan kepemimpinan yang secara supervisial tampak, namun sebenarnya otoriter atau demi kepentingan kelompok kecil/klik; semu, manipulatif. Telah ditegaskan di muka bahwa kepemimpinan merupakan fungsi organik dalam proses manajemen. Konsekuensinya, siapapun yang menjadi pemimpin harus memenuhi syarat-syarat kepemimpinan, baik kepribadian, pengetahuan, dan ketrampilan, sebagaimana diuraikan berikut ini. a) Seorang pemimpin harus dapat memiliki sifat-sifat pribadi yang terpuji, antara lain ramah, periang, antusias, berani, murah hati, spontan, percaya diri, dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi, menerima pendapat orang lain.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

17

Seorang pemimpin harus dapat memikirkan, merumuskan tujuan visi, misi, kondisi, dan aksi yang ingin dicapai, dan menginformasikannya kepada staf agar mereka sepenuhnya memahami yang ingin dicapai bersama. c) Seorang pemimpin harus memiliki keterampilan dalam bidang yang dipimpinnya. Pemimpin pendidikan harus terampil dalam bidang pendidikan. Dengan keterampilan tersebut diharapkan pemimpin dapat membantu stafnya dalam mengatasi masalah-masalah yang sedang dihadapi. Pengawasan Pengawasan merupakan istilah yang cukup populer. Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen. Fungsi tersebut mutlak harus dilakukan dalam setiap organisasi atau lembaga. Ketidakmampuan atau kelalaian melakukan fungsi tersebut sangat mempengaruhi pencapaian tujuan lembaga. Dalam hubungannya dengan pengawasan dalam manajemen, berikut dikemukakan: (1) definisi pengawasan; (2) perspektif pengawasan; (3) pentingnya pengawasan; (4) prinsip-prinsip pengawasan yang baik; dan (5) proses pengawasan yang baik. Kimbrough dan Nunnery (1983) mengartikan pengawasan sebagai proses memonitor kegiatan-kegiatan. Tujuannya untuk menentukan harapan-harapan yang secara nyata dicapai dan melakukan perbaikan-perbaikan terhadap penyimpanganpenyimpangan yang terjadi. Harapan-harapan yang dimaksud tersebut adalah tujuantujuan yang telah ditetapkan untuk dicapai dan program-program yang telah direncanakan untuk dilakukan dalam periode tertentu. Dengan demikian, pengawasan dalam konteks pendidikan itu merupakan proses memonitor kegiatan-kegiatan untuk mengetahui program-program lembaga pendidikan yang telah diselesaikan dan tujuantujuannya yang telah dicapai. Pengertian di atas menyisyaratkan, bahwa sebelum dilakukan pengawasan pada sebuah lembaga tertentu perlu terlebih dahulu ditetapkan tujuan-tujuan lembaga yang ingin dicapai dan program-program lembaga yang akan dilakukan. Tiada seorang pimpinan lembaga tertentu dapat mengadakan pengawasan dengan sebaik-baiknya tanpa adanya tujuan-tujuan lembaga yang ditetapkan dan program-program lembaga yang direncanakan dengan sebaik-baiknya. Dengan kata lain, tidak ada seorangpun di antara kepala Sekolah yang bisa melakukan pengawasan terhadap sekolahnya tanpa terlebih dahulu memahami tujuan-tujuan dan program-program kerja sekolahnya. Kimbrough dan Nunnery (1983) menegaskan, bahwa perencanaan program dan pengawasan organisasi merupakan dua kegiatan manajemen yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lainnya. Adanya perencanaan yang baik memungkinkan ditetapkannya standar keberhasilan yang baik. Semakin baik perencanaan yang dibuat maka kemungkinannya semakin baik pula standar keberhasilan yang dapat ditetapkan. Adanya standar yang baik memungkinkan dilakukannya pengawasan yang baik. Pengawasan yang baik mampu memonitor pelaksanaan program-program organisasi, sehingga apabila terjadi beberapa penyimpangan yang berarti, dapat segera dilakukan perbaikan seperlunya dan sekaligus masukan bagi perencanaan berikutnya (Robbins, 1984). Pengertian pengawasan sebagaimana diajukan oleh Kombrough dan Nunnery tersebut di atas sesuai dengan pengertian pengawasan yang dikemukakan oleh Mockler (1972). Pengertian yang dikemukakan oleh Mockler lebih operasional yang menunjukkan langkah-langkah pengawasan sebagai suatu proses yang sistematis. Menurut Mockler, pengawasan merupakan usaha sistematis untuk menetapkan standar berdasarkan tujuan dan perencanaan, merancang sistem umpan balik, membandingkan performansi nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menetapkan ada
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

b)

18

atau tidaknya perbedaan antara performansi nyata dan standar, dan melakukan perbaikan-perbaikan tertentu untuk menjamin bahwa semua sumber daya digunakan secara efisien dalam mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, berdasarkan konsepsi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa pengawasan itu pada dasarnya merupakan pengendalian performansi sebuah lembaga. Tujuan agar performansi lembaga tersebut tidak menyimpang dari tujuan, program, prosedur-prosedur, aturan-aturan, dan prinsipprinsip kelembagaan. Namun tidak berarti bahwa dalam pengawasan itu pimpinan dan atau stafnya tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan perorangan anggota lembaganya. Sebab perlu disadari bahwa sebuah lembaga sebagai suatu sistem sosial itu tidak hanya menyangkut aturan-aturan dan harapan lembaga sebagai unsur institusional, melainkan juga terdiri dari personalitas dan kepentingan perorangan staf lembaga sebagai unsur individu untuk dikembangkan dan dicapai melalui kerjanya. Pengawasan yang baik itu adalah pengawasan yang mampu mengendalikan performansi organisasi menuju pencapaian tujuan organisasi, dengan tidak mengenyampingkan kepentingan-kepentingan individual anggota organisasi (Pidarta, 1988). Sementara ini ada dua perspektif teoretik mengenai pengawasan sebagai upaya pemodifikasian performansi seseorang (Wren & Voich, 1984), tetapi dari teori-teori tersebut banyak memberikan dukungan yang tidak ajek mengenai pengawasan. Pertama adalah perspektif "teori" X. Menurut "teori" X, kebanyakan manusia itu kurang memiliki motivasi dan pasif. Mereka kurang memiliki tanggung jawab. Tanpa intervensi dari pimpinan, mereka akan pasif, sehingga mereka harus dipimpin, diarahkan dan diawasi. Kedua adalah perspektif "teori" Y. Menurut "teori" Y, pada umumnya manusia itu memiliki motivasi dan tidak pasif. Mereka menyukai tanggungjawab, produktif dan kurang suka diawasi. Tanpa melalui intervensi dari atasannya, mereka tetap masih bisa melakukan dan menghasilkan sesuatu yang produktif. Dalam perkataan lain, "teori" X lebih mendukung dan mempercayai pengawasan eksternal sebagai upaya memodifikasi performasi seseorang, sedangkan "teori" Y lebih mendukung pengawasan internal dalam memodifikasi performansi seseorang (Carver & Sergiovanni, 1969). Paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan pengawasan dalam sebuah lembaga itu penting dan merupakan fungsi esensial dalam pengelolaan pada lembaga yang bersangkutan. Faktor pertama, terletak pada accountability. Agar semua tenaga atau karyawan pada sebuah lembaga mengemban tugas dan tanggung-jawabnya masing-masing, mereka perlu mengetahui secara pasti apa tugas dan tanggungjawabnya, bagaimana performansi mereka akan diukur, dan standar keberhasilan performansi yang digunakan sebagai kriteria di dalam pengukurannya. Pertanggungjawaban tersebut tidak mungkin terlaksana dengan sungguh-sungguh tanpa adanya suatu sistem pengawasan yang baik. Faktor kedua, terletak pada rapidity of change. Setiap lembaga merupakan institusi sosial yang tidak bisa terlepas dari lingkungannya. Seringkali lingkungan tersebut mengalami perubahan-perubahan dengan cepat sekali. Perubahan-perubahan tersebut menghendaki penyesuaian taktik dan strategi dari lembaga. Agar perubahanperubahan lingkungan bisa dipantau dan penyesuaian taktik dan strategi terhadap perubahan-perubahan itu bisa dilakukan maka perlu adanya sistem pengawasan. Sebagai faktor ketiga terletak pada complexity today's organization. Setiap lembaga yang besar dan maju mempunyai program-program yang bermacam-macam untuk mencapai tujuan yang juga besar dan kompleks. Bahkan banyak lembaga yang membuka cabang-cabangnya di beberapa tempat yang secara geografis terpencar dari
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

19

pusatnya. Lembaga yang demikian itu menghendaki adanya sebuah sistem pengawasan yang tepat dan mantap. Pengawasan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, sehingga pengawasan yang pada dasarnya dilakukan untuk memantau, mengarahkan, dan membina kinerja, serta tidak dipandang sebagai satu kegiatan yang menakutkan. Karena itu ada prinsip-prinsip yang sebaiknya dipegang teguh, yaitu sebagai berikut: (1) prinsip manajerial; (2) prinsip organisasional; (3) prinsip obyektif dan keterbukaan; (4) prinsip pencegahan dan perbaikan; dan (5) prinsip efisiensi dan fleksibilitas Walaupun antara ahli-ahli di atas berbeda-beda di dalam mendeskripsikan langkah-langkah pengawasan, namun kesemuanya memiliki kesamaan makna, bahwa ada empat langkah di dalam melakukan pengawasan, yaitu : (1) menetapkan standar performansi, (2) mengukur performansi aktual, (3) membandingkan performansi aktual dengan standar performansi yang telah ditetapkan, dan (4) melakukan perbaikan performansi apabila ternyata performansi aktual tidak sesuai dengan standar. Kegiatan Manajemen Di Sekolah Semakin besar sebuah Sekolah juga semakin banyak pula komponen orang yang dilibatkan atau fasilitas yang digunakan. Agar dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien, tentunya semua orang yang yang dilibatkan dan fasilitas perlu didayagunakan sedemikian rupa bagi keberhasilan pendidikan di Sekolah. Proses pendayaguaan semua komponen Sekolah itulah yang disebut dengan kegiatan manajemen Sekolah. Lebih lanjut apabila diidentifikasi terus akan didapatkan sekian banyak, ratusan atau bahkan menjadi ribuan permasalahan di Sekolah. DeRoche (985), sebelum menyusun bukunya yang berjudul How School Administrator Solve the Problem melakukan survey kepada dua ribu kepala sekolah. Dalam survey itu meminta setiap kepala sekolah menuliskan pada kartu pos masalah-masalah yang dihadapi disekolahnya masing-masing. Berdasarkan kartu pos yang dikirim kepala sekolah kepadanya, DeRoche berhasil mengidentifikasi dua ribu kegiatan manajemen sekolah. Namun para pakar administrasi pendidikan telah mencoba mengklasifikasi komponen-komponen tersebut menjadi beberapa gugusan substansi pendidikan. Mereka mengelompokkanya menjadi enam gugusan substansi, yaitu gugusangugusan substansi (1) kurikulum atau pembelajaran; (2) kesiswaan; (3) kepegawaian; (4) sarana dan prasarana; (5) keuangan; dan (6) lingkungan masyarakat. Demikianlah sehingga paling tidak enam manajemen di Sekolah, yaitu manajemen kurikulum dan pembelajaran, manajemen kesiswaan yang sering juga disebut dengan manajemen peserta didik, manajemen kepegawaian, manajemen sarana dan prasarana, manajemen keuangan, dan manajemen hubungan masyarakat. Manajemen Kurikulum dan Pembelajaran a. Penyusunan/Reviu KTSP dan silabus b. Penyusunan kalender pendidikan c. Penyusunan program tahunan d. Penyusunan rencana pembelajaran (RPP) e. Pembagian tugas mengajar dan tugas lain f. Penyusunan jadwal pelajaran g. Penyusunan jadwal kegiatan perbaikan h. Penyusunan jadwal kegiatan ekstrakurikuler i. Penyusunan progran jadwal kegiatan bimbingan dan penyuluhan j. Pengaturan pembukaan tahun ajaran baru k. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran l. Pelaksanaan kegiatan bimbingan dan penyuluhan m. Supervisi pelaksanaan pembelajaran
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

20

n. Supervisi pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan Kurikulum tingkat satuan pendidikan, sebagai jantung pembelajaran, pengembangannya tidak hanya didasarkan kepada kehendak kepala sekolah dan wakil kepala sekolah bidang kurikulum, melainkan juga harus memperhatikan tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan di provinsi, dan tujuan pendidikan lokal (kabupaten/kota). Tujuan-tujuan tersebut yang merupakan arah untuk dijabarkan menjadi kompetensi dasar dan kompetensi lulusan peserta didik. Selanjutnya, kedirian peserta didik sebagai manusia yang berkarakter, berharkat dan bermartabat harus menjadi bahan pertimbangan pula. Di samping itu, esensi dan profesionalisme guru sebagai pendidik, harus menjadi pemahaman yang komperhensif dan tepat dalam pengembangan kurikulum. Landasan pengembangan kurikulum tersebut adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan tersusunnya kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah dengan mengacu kepada standar isi dan standar kompetensi lulusan serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Di samping itu, ada Peraturan Menteri Pendidikan nasional No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar isi; dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2007 Tentang Standar Kompetensi Kelulusan yang harus dijadikan pondasi dalam mengembangkan KTSP. Berdasarkan kepada empat landasan tersebut ditambah Panduan Penyusunan KTSP dari BSNP, serta pemahaman terhadap kedirian peserta didik dan esensi dan tugas profesional guru sebagai pendidik, maka disusun dan dikembangkanlah menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan. Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari delapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum. Pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan kepada peserta didik untuk: a. belajar untuk bermain dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. belajar untuk memahami dan menghayatai; c. belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif; d. belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain; dan e. belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM). Manajemen Peserta Didik Manajemen peserta didik termasuk salah satu substansi manajemen pendidikan. Peserta didik ini juga mempunyai sebutan-sebutan lain seperti murid, subjek didik, anak didik, pembelajar, dan sebagainya. Oleh karena itu, sebutan-sebutan yang berbeda pada buku ini mempunyai maksud yang sama. Apapun istilahnya, yang jelas peserta didik adalah mereka yang sedang mengikuti program pendidikan pada suatu sekolah atau jenjang pendidikan tertentu. Manajemen peserta didik menduduki posisi strategis, karena sentral layanan pendidikan, baik dalam latar institusi persekolahan maupun yang berada di luar latar institusi persekolahan, tertuju kepada peserta didik. Semua kegiatan pendidikan, baik yang berkenaan dengan manajemen akademik, layanan pendukung akademik, sumber
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

21

daya manusia, sumber daya keuangan, sarana prasarana dan hubungan sekolah dengan masyarakat, senantiasa diupayakan agar peserta didik mendapatkan layanan pendidikan yang andal. Kata manajemen peserta didik merupakan penggabungan dari kata manajemen, peserta didik dan berbasis sekolah. Manajemen sendiri diartikan bermacam-macam sesuai dengan sudut tinjau para ahlinya. Sedangkan secara stimologis, kata manajemen merupakan terjemahan dari management (bahasa Inggris). Kata management sendiri berasal dari kata manage atau magiare yang berarti melatih kuda dalam melangkahkan kakinya. Dalam pengertian manajemen, terkandung dua kegiatan ialah kegiatan pikir (mind) dan kegiatan tindak-laku (action) (Sahertian, 1982). Sedangkan Terry (1953) mendefinisasikan manajemen sebagai pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya melalui usaha orang lain (Management is the accomplishing of the predertemined objective throug the effort of other people). Sementara itu, Siagian (1978) mendefinisikan manajemen sebagai kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh suatu hasil dalam rangka mencapai tujuan. Di lain pihak, The Liang Gie (1978) memberikan batasan manajemen sebagai segenap perbuatan menggerakkan sekelompok orang atau mengarahkan segala fasilitas dalam suatu usaha kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Dari semua pendapat itu, jelaslah bahwa manajemen adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih yang didasarkan atas aturan tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan. Dua orang atau lebih yang bekerjasama tersebut, karena adanya aturan-aturan tertentu, ada yang bertindak selaku manajernya ada yang bertidak sebagai yang dimanajerinya. Orang yang mengelola tersebut ketika mengerjakan pekerjaannya tidak dengan menggunakan tangan sendiri melainkan tangan orang lain; sementara orang-orang yang dimanaj dalam bekerja dengan menggunakan tangan sendiri. Dalam bekerja tersebut, baik yang menjadi manajernya maupun yang dimanaj, dapat mendayagunakan prasarana dan sarana yang tersedia. Apa yang dimaksud dengan Manajemen Peserta Didik? Knezevich (1961) mengartikan manajemen peserta didik atau pupil personnel administration sebagai suatu layanan yang memusatkan perhatian pada pengaturan, pengawasan dan layanan siswa di kelas dan di luar kelas seperti: pengenalan, pendaftaran, layanan individual seperti pengembangan keseluruhan kemampuan, minat, kebutuhan sampai ia matang di sekolah. Manajemen peserta didik dapat diartikan sebagai usaha pengaturan terhadap peserta didik mulai dari peserta didik tersebut masuk sekolah sampai dengan mereka lulus sekolah. Yang diatur secara langsung adalah segi-segi yang berkenaan dengan peserta didik secara tidak langsung. Pengaturan terhadap segi-segi lain selain peserta didik dimaksudkan untuk memberikan layanan yang sebaik mungkin kepada peserta didik. Sementara itu, manajemen peserta didik adalah manajemen peserta didik yang memberikan tekanan pada empat pilar manajemen berbasis sekolah, ialah: mutu, kemandirian, partisipasi masyarakat dan transparansi. Jadi, seluruh aktivitas manajemen peserta didik, haruslah diaksentuasikan pada penonjolan empat pilar manajemen berbasis sekolah tersebut. Tujuan umum manajemen peserta didik adalah: mengatur kegiatan-kegiatan peserta didik agar kegiatan-kegiatan tersebut menunjang proses belajar mengajar di sekolah; lebih lanjut, proses belajar mengajar di sekolah dapat berjalan lancar, tertib dan teratur sehingga dapat memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan sekolah dan tujuan pendidikan secara keseluruhan. Tujuan khusus manajemen peserta didik, yaitu (1) meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan psikomotor peserta didik; (2)
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

22

menyalurkan dan mengembangkan kemampuan umum (kecerdasan), bakat dan minat peserta didik; (3) menyalurkan aspirasi, harapan dan memenuhi kebutuhan peserta didik; (4) dengan terpenuhinya 1, 2, dan 3 di atas diharapkan peserta didik dapat mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang lebih lanjut dapat belajar dengan baik dan tercapai cita-cita mereka. Fungsi manajemen peserta didik secara khusus dirumuskan sebagai berikut. a. Fungsi yang berkenaan dengan pengembangan individualitas peserta didik, bertujuan agar dapat mengembangkan potensi-potensi individualitasnya tanpa banyak terhambat. Potensi-potensi bawaan tersebut meliputi: kemampuan umum (kecerdasan), kemampuan khusus (bakat), dan kemampuan lainnya. b. Fungsi yang berkenaan dengan pengembangan fungsi sosial peserta didik yang bertujuan agar mereka dapat mengadakan sosialisasi dengan sebayanya, dengan orang tua dan keluarganya, dengan lingkungan sosial sekolahnya dan lingkungan sosial masyarakatnya. Fungsi ini berkaitan dengan hakekat peserta didik sebagai makhluk sosial. c. Fungsi yang berkenaan dengan penyaluran aspirasi dan harapan peserta didik, yang bertujuan agar peserta didik tersalur hobi, kesenangan dan minatnya. Hobi, kesenangan dan minat peserta didik demikian patut disalurkan, oleh karena ia juga dapat menunjang terhadap perkembangan diri peserta didik secara keseluruhan. d. Fungsi yang berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan peserta didik yang bertujuan agar peserta didik sejahtera dalam hidupnya. Kesejahteraan demikian sangat penting karena dengan demikian ia akan juga turut memikirkan kesejahteraan sebayanya. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa manajemen peserta didik adalah suatu pengaturan terhadap peserta didik di sekolah, sejak peserta didik masuk sampai dengan peserta didik lulus. Ruang lingkup manajemen peserta didik, sebenarnya meliputi pengaturan aktivitas-aktivitas peserta didik sejak yang bersangkutan masuk ke sekolah hingga yang bersangkutan lulus, baik yang berkenaan dengan peserta didik secara langsung, maupun yang berkenaan dengan peserta didik secara tidak langsung: kepada tenaga kependidikan, sumber-sumber pendidikan, prasarana dan sarananya. Secara rinci, ruang lingkup peserta didik adalah sebagai berikut. a. Perencanaan peserta didik, termasuk di dalamnya adalah: school census, school size, class size dan efektive class. b. Koordinasi kegiatan peserta didik, yang meliputi: komunikasi , integrasi dan singkronisasi. c. Penerimaan peserta didik, meliputi penentuan: kebijaksanaan, sistem, kriteria, prosedur, dan pemecahan problema-problema penerimaan peserta didik. d. Orientasi peserta didik baru, meliputi pengaturan: hari-hari pertama peserta didik di sekolah, pekan orientasi peserta didik, pendekatan yang dipergunakan dalam orientasi peserta didik, dan teknik-teknik orientasi peserta didik. e. Mengatur kehadiran, ketidak-hadiran peserta didik di sekolah. Termasuk di dalamnya adalah: peserta didik yang membolos, terlambat datang dan meninggalkan sekolah sebelum waktunya. f. Mengatur kenaikan tingkat peserta didik. g. Mengatur kode etik, pengadilan dan peningkatan disiplin peserta didik. Dalam versi lain, manajemen peserta didik meliputi:
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

23

a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.

perencanaan daya tampung perencanaan penerimaan peserta didik baru penerimaan peserta didik baru pengelompokan peserta didik berdasarkan pola tertentu pembinaan disiplin belajar peserta didik pencatatan kehadiran peserta didik pengaturan perpindahan peserta didik pengaturan kelulusan peserta didik pemantauan peserta didik penilaian peserta didik

Manajemen Kepegawaian Dalam lembaga apapun keberadaan pegawai menempati kedudukan yang paling vital. Memang diakui bahwa biaya itu penting, demikian pula sarana, prasarana dan teknologi. Namun ketersediaan sumber daya itu menjadi sia-sia apabila ditangani oleh pegawai yang tidak kompeten dan kurang komitmen. Upaya-upaya untuk merencanakan kebutuhan pegawai (SDM), mengadakan, menyeleksi, menempatkan dan memberi penugasan secara tepat telah menjadi perhatian penting pada setiap organisasi yang kompetitif. Demikian pula kebijakan kompensasi (penggajian dan kesejahteraan) dan penilaian kinerja yang dilakukan dengan adil dan tepat dapat melahirkan motivasi berprestasi pada para pegawai. Fungsi-fungsi manajemen kepegawaian seperti itu masih belum cukup, apabila tidak disertai dengan kebijakan pengembangan dan pemberdayaan pegawai yang dilakukan secara sistematik. Dalam arti yang tradisional, konsep pengelolaan pegawai terbatas pada urusanurusan manajemen operatif, seperti mengelola data pegawai (record keeping), penilaian kinerja yang bersifat mekanistik (mechanical job evaluation), kenaikan pangkat dan gaji secara otomatis (automatic merit increase). Perhatian terhadap SDM pada masa kini mencakup aspek-aspek yang berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan pegawai (fisik, emosional dan sosial), yang akan berpengaruh secara signifikan terhadap caracara mereka bekerja, dan dengan sendirinya berpengaruh terhadap produktivitas mereka. Manajemen Sumber Saya Manusia (MSDM) adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan pengakuan pada pentingnya tenaga kerja pada organisasi sebagai sumber daya manusia yang vital, yang memberikan sumbangan terhadap tujuan organisasi, dan memanfaatkan fungsi dan kegiatan yang menjamin bahwa sumber daya manusia dimanfaatkan secara efektif dan adil demi kemaslahatan individu, organisasi, dan masyarakat. Pegawai pada masa kini memfasilitasi aktualisasi dan pengembangan kompetensi para pegawai melalui program-program pengembangan dan pemberdayaan yang dilakukan secara sistematik. Pengembangan dan pemberdayaan pegawai merupakan bagian dari MSDM yang memiliki fungsi untuk memperbaiki kompetensi, adaptabilitas dan komitmen para pegawai. Dengan cara demikian organisasi memiliki kekuatan bukan saja sekedar bertahan (survival), melainkan tumbuh (growth), produktif (productive), dan kompetitif (competitive). Dan dalam proses demikian, dukungan pegawai yang kuat melahirkan organisasi yang memiliki adaptabilitas dan kapasitas memperbaharui dirinya (adaptability and self-renewal capacity). Ada lima aspek kajian manajemen kepegawaian, yaitu (1) perencanaan kebutuhan, (2) rekrutmen dan seleksi, (3) pembinaan dan pengembangan, (4) mutasi dan promosi, dan (5) kesejahteraan. Namun demikian, dipertimbangkan akan lebih bermanfaat apabila para peserta diklat memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai manajemen sumber daya manusia (MSDM). Manajemen SDM merupakan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

24

proses sistematik yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan SDM sesuai dengan kebutuhan organisasi, memperlakukan pegawai secara adil dan bermartabat, serta menciptakan kondisi yang memungkinkan pegawai memberikan sumbangan optimal terhadap organisasi. Manajemen SDM mencakup kegiatan sebagai berikut. (1) Perencanaan SDM, (2) analisis pekerjaan, (3) pengadaan pegawai, (4) seleksi pegawai, (5) orientasi, penempatan dan penugasan, (6) konpensasi, (7) penilaian kinerja, (8) pengembangan karir, (9) pelatihan dan pengembangan pegawai, (10) penciptaan mutu kehidupan kerja, (11) perundingan kepegawaian, (12) riset pegawai, dan (13) pensiun dan pemberhentian pegawai. Manajemen Sarana dan Prasarana Keberhasilan program pendidikan melalui proses belajar mengajar sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu di antaranya adalah tersedianya sarana dan prasarana pendidikan yang memadai disertai pemanfaatan dan pengelolaan secara optimal. Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu sumber daya yang penting dan utama dalam menunjang kegiatan belajar mengajar di sekolah, untuk itu perlu dilakukan peningkatan dalam pendayagunaan dan pengelolaannya, agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Dewasa ini masih sering ditemukan banyak sarana dan prasarana pendidikan yang dimiliki oleh sekolah yang diterima sebagai bantuan, baik dari pemerintah maupun masyarakat yang tidak optimal penggunaannya dan bahkan tidak dapat lagi digunakan sesuai dengan fungsinya. Hal itu disebabkan antara lain oleh kurangnya kepedulian terhadap sarana dan prasarana yang dimiliki serta tidak adanya pengelolaan yang memadai. Seiring dengan perubahan pola pemerintahan setelah diberlakukannya otonomi daerah, maka pola pendekatan manajemen sekolah saat ini berbeda pula dengan sebelumnya, yakni lebih bernuansa otonomi. Untuk mengoptimalkan penyediaan, pendayagunaan, perawatan dan pengendalian sarana dan prasarana pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan, diperlukan penyesuaian manajemen sarana dan prasarana. Sekolah dituntut memiliki kemandirian untuk mengatur dan mengurus kepentingan sekolah menurut kebutuhan dan kemampuan sendiri serta berdasarkan pada aspirasi dan partisipasi warga sekolah dengan tetap mengacu pada peraturan dan perundangan-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Hal itu terutama ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan pada semua jenis dan jenjang pendidikan, khususnya pada pendidikan dasar dan menengah. Untuk mewujudkan dan mengatur hal tersebut, maka pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tetang Standar Nasional Pendidikan yang menyangkut standar sarana dan prasarana pendidikan secara nasional pada Bab VII Pasal 42 dengan tegas disebutkan bahwa; (1) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. (2) Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat bekreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. a. Rincian manajemen sarana prasarana di Sekolah meliputi berikut ini. 1) Analisis kebutuhan sarana dan prasarana sekolah 2) Perencanaan dan pengadaan sarana dan prasarana sekolah 3) Pendistribusian sarana dan prasarana sekolah
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

25

Penataan sarana dan prasarana sekolah Pemanfaat sarana dan prasarana sekolah secara efektif dan efisien Pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah Inventarisasi sarana dan prasarana sekolah Penghapusan sarana dan prasarana sekolah Pemantauan kinerja penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah 10) Penilaian kinerja penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah b. Manajemen sarana prasarana dapat juga difokuskan pada: 1) merencanakan kebutuhan fasilitas (bangunan, peralatan, perabot, lahan, infrastruktur) sekolah sesuai dengan rencana pengembangan sekolah; 2) mengelola pengadaan fasilitas sesuai dengan peraturan yang berlaku; 3) mengelola pemeliharaan fasilitas, baik perawatan preventif maupun perawatan terhadap kerusakan fasilitas sekolah; 4) mengelola kegiatan inventaris sarana dan prasarana sekolah sesuai dengan sistem pembukuan yang berlaku. Perencanaan merupakan suatu proses kegiatan menggambarkan sebelumnya hal-hal yang akan dikerjakan kemudian dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini perencanaan yang dimaksud adalah merinci rancangan pembelian, pengadaan, rehabilitasi, distribusi atau pembuatan peralatan dan perlengkapan sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian perencanaan sarana dan prasarana persekolahan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses perkiraan secara matang rancangan pembelian, pengadaan, rehabilitasi, distribusi atau pembuatan peralatan dan perlengkapan yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. Pada dasarnya tujuan diadakannya perencanaan sarana dan prasarana pendidikan persekolahan adalah: (1) Untuk menghindari terjadinya kesalahan dan kegagalan yang tidak diinginkan, (2) Untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi dalam pelaksanaannya. Salah rencana dan penentuan kebutuhan merupakan kekeliruan dalam menetapkan kebutuhan sarana dan prasarana yang kurang/tidak memandang kebutuhan ke depan, dan kurang cermat dalam menganalisis kebutuhan sesuai dengan dana yang tersedia dan tingkat kepentingan. Pengadaan adalah kegiatan yang dilakukan untuk menyediakan semua jenis sarana dan prasarana pendidikan persekolahan yang sesuai dengan kebutuhan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam konteks persekolahan, pengadaan merupakan segala kegiatan yang dilakukan dengan cara menyediakan semua keperluan barang atau jasa berdasarkan hasil perencanaan dengan maksud untuk menunjang kegiatan pembelajaran agar berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Pengadaan sarana dan prasarana merupakan fungsi operasional pertama dalam manajemen sarana dan prasarana pendidikan persekolahan. Fungsi ini pada hakikatnya merupakan serangkaian kegiatan untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan persekolahan sesuai dengan kebutuhan, baik berkaitan dengan jenis dan spesifikasi, jumlah, waktu maupun tempat, dengan harga dan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan adalah kegiatan untuk melaksanakan pengurusan dan pengaturan agar semua sarana dan prasarana selalu
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

4) 5) 6) 7) 8) 9)

26

dalam keadaan baik dan siap untuk digunakan secara berdayaguna dan berhasil guna dalam mencapai tujuan pendidikan. Pemeliharaan merupakan kegiatan penjagaan atau pencegahan dari kerusakan suatu barang, sehingga barang tersebut kondisinya baik dan siap digunakan. Pemeliharaan mencakup segala daya upaya yang terus menerus untuk mengusahakan agar peralatan tersebut tetap dalam keadaan baik. Pemeliharaan dimulai dari pemakaian barang, yaitu dengan cara hati-hati dalam menggunakannya. Pemeliharaan yang bersifat khusus harus dilakukan oleh petugas yang mempunyai keahlian sesuai dengan jenis barang yang dimaksud. Tujuan pemeliharaan adalah: (1) untuk mengoptimalkan usia pakai peralatan. Hal ini sangat penting terutama jika dilihat dari aspek biaya, karena untuk membeli suatu peralatan akan jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan merawat bagian dari peralatan tersebut; (2) untuk menjamin kesiapan operasional peralatan untuk mendukung kelancaran pekerjaan sehingga diperoleh hasil yang optimal; (3) untuk menjamin ketersediaan peralatan yang diperlukan melalui pencekkan secara rutin dan teratur; dan (4) untuk menjamin keselamatan orang atau siswa yang menggunakan alat tersebut. Manfaat pemeliharaan adalah: 1) jika peralatan terpelihara baik, umurnya akan awet yang berarti tidak perlu mengadakan penggantian dalam waktu yang singkat. 2) pemeliharaan yang baik mengakibatkan jarang terjadi kerusakan yang berarti biaya perbaikan dapat ditekan seminim mungkin. 3) dengan adanya pemeliharaan yang baik, maka akan lebih terkontrol sehingga menghindar kehilangan. 4) dengan adanya pemeliharaan yang baik, maka enak dilihat dan dipandang. 5) pemeliharaan yang baik memberikan hasil pekerjaan yang baik. Inventarisasi berasal dari kata inventaris ( dalam bahasa Latin: inventarium) yang berarti daftar barang-barang, bahan dan sebagainya. Inventarisasi sarana dan prasarana pendidikan adalah pencatatan atau pendaftaran barang-barang milik sekolah ke dalam suatu daftar inventaris barang secara tertib dan teratur menurut ketentuan dan tata cara yang berlaku. Barang inventaris sekolah adalah semua barang milik negara (yang dikuasai sekolah) baik yang diadakan/dibeli melalui dana dari pemerintah, DPP maupun diperoleh sebagai pertukaran, hadiah atau hibah serta hasil usaha pembuatan sendiri di sekolah guna menunjang kelancaran proses belajar mengajar. Tiap sekolah wajib menyelenggarakan inventarisasi barang milik negara yang dikuasai/diurus oleh sekolah masing-masing secara teratur, tertib dan lengkap. Kepala sekolah melakukan dan bertanggung jawab atas terlaksananya inventarisasi fisik dan pengisian daftar inventaris barang milik negara yang ada di sekolahnya. Secara umum, inventarisasi dilakukan dalam rangka usaha penyempurnaan pengurusan dan pengawasan yang efektif terhadap sarana dan prasarana yang dimiliki oleh suatu sekolah. Secara khusus, inventarisasi dilakukan dengan tujuan-tujuan sebagai berikut. 1) Untuk menjaga dan menciptakan tertib administrasi sarana dan prasarana yang dimiliki oleh suatu sekolah. 2) Untuk menghemat keuangan sekolah baik dalam pengadaan maupun untuk pemeliharaan dan penghapusan sarana dan prasarana sekolah. 3) Sebagai bahan atau pedoman untuk menghitung kekayaan suatu sekolah dalam bentuk materil yang dapat dinilai dengan uang.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

27

Untuk memudahkan pengawasan dan pengendalian sarana dan prasarana yang dimiliki oleh suatu sekolah. Daftar inventarisasi barang yang disusun dalam suatu organisasi yang lengkap, teratur dan berkelanjutan dapat memberikan manfaat, yakni sebagai berikut. 1) Menyediakan data dan informasi dalam rangka menentukan kebutuhan dan menyusun rencana kebutuhan barang. 2) Memberikan data dan informasi untuk dijadikan bahan/pedoman dalam pengarahan pengadaan barang. 3) Memberikan data dan informasi untuk dijadikan bahan/pedoman dalam penyaluran barang. 4) Memberikan data dan informasi dalam menentukan keadaan barang ( tua, rusak, lebih) sebagai dasar untuk menetapkan penghapusannya. 5) Memberikan data dan informasi dalam rangka memudahkan pengawasan dan pengendalian barang. Sedangkan penghapusan sarana dan prasarana merupakan kegiatan pembebasan sarana dan prasarana dari pertanggungjawaban yang berlaku dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara lebih operasional penghapusan sarana dan prasarana adalah proses kegiatan yang bertujuan untuk mengeluarkan/menghilangkan sarana dan prasarana dari daftar inventaris, karena sarana dan prasarana tersebut sudah dianggap tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan, terutama untuk kepentingan pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Penghapusan sarana dan prasarana dilakukan berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Penghapusan sebagai salah satu fungsi manajemen sarana dan prasarana pendidikan persekolahan harus mempertimbangkan alasan-alasan normatif tertentu dalam pelaksanaannya. Oleh karena muara berbagai pertimbangan tersebut tidak lain adalah demi efektivitas dan efisiensi kegiatan persekolahan. Penghapusan sarana dan prasarana pada dasarnya bertujuan untuk: 1) mencegah atau sekurang-kurangnya membatasi kerugian/ pemborosan biaya pemeliharaan sarana dan prasarana yang kondisinya semakin buruk, berlebihan atau rusak dan sudah tidak dapat digunakan lagi. 2) meringankan beban kerja pelaksanaan inventaris. 3) membebaskan ruangan dari penumpukan barang-barang yang tidak dipergunakan lagi. 4) membebaskan barang dari tanggung jawab pengurusan kerja. Ada beberapa alasan yang harus diperhatikan untuk dapat menyingkirkan atau menghapus sarana dan prasarana. Beberapa alasan tersebut yang dapat dipertimbangkan untuk menghapus sesuatu sarana dan prasarana harus memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat di bawah ini. 1) Dalam keadaan sudah tua atau rusak berat sehingga tidak dapat diperbaiki atau dipergunakan lagi. 2) Perbaikan akan menelan biaya yang besar sehingga merupakan pemborosan. 3) Secara teknis dan ekonomis kegunaannya tidak seimbang dengan besarnya biaya pemeliharaan. 4) Tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini. 5) Penyusutan di luar kekuasaan pengurus barang (misalnya barang kimia).

4)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

28

6) 7)

Barang yang berlebih jika disimpan lebih lama akan bertambah rusak dan tak terpakai lagi. Dicuri, terbakar, musnah sebagai akibat bencana alam.

Manajemen Keuangan Manajemen keuangan merupakan salah satu gugusan substansi administrasi pendidikan. Manajemen keuangan adalah salah satu bidang garapan administrasi pendidikan yang secara khusus menangani tugas-tugas yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan yang dimiliki dan digunakan di Sekolah. Pengertian manajemen keuangan a. Menurut para pakar administrasi pendidikan, manajemen keuangan pendidikan dapat diartikan sebagai keseluruhan proses pemerolehan dan pendayagunaan uang secara tertib, efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka memperlancar pencapaian tujuan pendidikan. Berdasarkan pengertian yang sangat sederhana tersebut ada dua hal yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan manajemen keuangan di Sekolah. 1) Manajemen keuangan itu merupakan keseluruhan proses upaya memperoleh dan mendayagunakan semua dana. Dengan demikian, paling tidak ada dua kegiatan besar dalam manajemen keuangan di Sekolah. Pertama, mencari sebanyak mungkin sumber-sumber keuangan dan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapalembaga pendidikanan dana dari sumber-sumber keuangan tersebut. Kedua, menggunakan semua dana yang tersedia atau diperoleh semata-mata untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan di Sekolah. 2) Penggunaan semua dana Sekolah harus efektif, dan efisien. Selain itu penggunaan semua dana Sekolah harus tertib, dan mudah dipertanggungjawabkan kepada semua pihak yang terkait. b. Tujuan manajemen keuangan di Sekolah adalah untuk mengatur sedemikian rupa sehingga semua upaya pemerolehan dana dari berbagai sumber dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Apabila dilakukan dengan sebaik-baiknya, maka semua upaya pemerolehan dana dapat berhasil. Sumber dana yang dimaksud di sini antara lain berasal dari Pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional, atau Kantor Dinas Pendidikan Nasional propinsi, kabupaten, kota), yayasan, atau pihak-pihak lainnya. Selain itu, tujuan pelaksanaan manajemen keuangan di Sekolah adalah untuk mengatur semua pemanfaatan dana yang tersedia atau diperoleh dari semua sumber. Dengan pengaturan yang sebaik-baiknya diharapkan semua dana yang ada dan tersedia dapat dimanfaatkan lembaga pendidikanan secara efektif, efisien, tertib, dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Prinsip dasar manajemen keuangan Ada beberapa prinsip yang perlu dipegang teguh dalam manajemen keuangan di Sekolah, yaitu sebagai berikut. 1) Sumber dana pendidikan di Sekolah tidak sedikit, tidak hanya dari Pemerintah atau yayasan yang menaunginya. Sekolah bisa secara kreatif mencari sumber-sumber dana pendidikan dalam rangka eksistensinya sebagai Sekolah prasekolah. Namun dalam upaya memperoleh dana pendidikan dari berbagai sumber dana, hendaknya dana yang tidak mengikat lembaga atau Sekolah.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

29

2)

3)

4)

Dana pendidikan yang tersedia atau ada harus dimanfaat Sekolah secara efektif dan efisien. Efektif berarti semua dana yang ada digunakan semata-mata untuk pendidikan Sekolah. Sedangkan efisien berarti dana yang tersedia, berapapun banyaknya, harus didayagunakan sehemat mungkin. Agar memenuhi prinsip tersebut, maka dianjurkan agar setiap pendayagunaan dana selalu didahului dengan kegiatan perencanaan anggaran. Semua manajemen keuangan di Sekolah hendaknya didasarkan pada peraturan perundang-undangan keuangan yang berlaku, sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Pelaksanaan manajemen keuangan di Sekolah merupakan tanggung jawab kepala Sekolah. Namun pelaksanaannya dapat melibatkan Sekolah guru-gurunya. Penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBT) misalnya, merupakan tanggung jawab kepala Sekolah. Namun kepala Sekolah dapat mengajar guru-guru dan pesuruhnya dalam rapat penyusunan anggaran untuk menyusun anggaran pendapatan dan Sekolahnya itu.

Sebagaimana telah ditegaskan bahwa beberapa kegiatan manajemen keuangan di Sekolah, yaitu: a. penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) b. pengadaan dan pengalokasian anggaran berdasarkan RAPBS c. pelaksanaan anggaran sekolah d. pembukuan keuangan sekolah e. pertanggungjawaban keuangan sekolah f. pemantauan keuangan sekolah g. penilaian kinerja manajemen keuangan sekolah Manajemen Hubungan Sekolah dan Masyarakat Keberhasilan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh proses pendidikan di sekolah dan tersedianya sarana prasarana saja, tetapi juga ditentukan oleh lingkungan keluarga dan atau masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah (sekolah), keluarga dan masyarakat. Ini berarti mengisyaratkan bahwa orang tua murid dan masyarakat mempumyai tanggung jawab untuk berpartisipasi, turut memikirkan dan memberikan bantuan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Partisipasi yang tinggi dari orang tua murid dalam pendidikan di sekolah merupakan salah satu ciri dari pengelolaan sekolah yang baik, artinya sejauh mana masyarakat dapat diberdayakan dalam proses pendidikan di sekolah adalah indikator terhadap manajemen sekolah yang bersangkutan. Pemberdayaan masyarakat dalam pendidikan ini merupakan sesuatu yang esensial bagi penyelenggaraan sekolah yang baik (Kumars, 1989). Tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan di sekolah ini nampaknya memberikan pengaruh yang besar bagi kemajuan sekolah, kualitas pelayanan pembelajaran di sekolah yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kemajuan dan prestasi belajar anak-anak di sekolah. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Husen (1988) dalam penelitiannya bahwa siswa dapat belajar banyak karena dirangsang oleh pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru dan akan berhasil dengan baik berkat usaha orang tua mereka dalam memberikan dukungan. Penelitian lain yang memperkuat apa yang dikemukakan di atas dinyatakan oleh Levine & Hagigust, 1988) yang menyatakan bahwa lingkungan keluarga, cara
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

30

perlakuan orang tua murid terhadap anaknya sebagai salah satu cara/bentuk partisipasi mereka dalam pendidikan dapat meningkatkan intelektual anak. Partisipasi orang tua ini sangat tergantung pada ciri dan kreativitas sekolah dalam menggunakan pendekatan kepada mereka. Artinya masyarakat akan berpartisipasi secara optimal terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah sangat tergantung pada apa dan bagaimana sekolah melakukan pendekatan dalam rangka memberdayakan mereka sebagai mitra penyelenggaraan sekolah yang berkualitas. Hal ini ditegaskan oleh Brownell bahwa pengetahuan masyarakat tentang program merupakan awal dari munculnya perhatian dan dukungan. Oleh sebab itu orang tua/masyarakat yang tidak mendapatkan penjelasan dan informasi dari sekolah tentang apa dan bagaimana mereka dapat membantu sekolah (lebih-lebih di daerah perdesaan) akan cenderung tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, bagaimana mereka harus melakukan untuk membantu sekolah. Hal tersebut sebagai akibat ketidak pengertian mereka. Di negara-negara maju, sekolah memang dikreasikan oleh masyarakat, sehingga mutu sekolah menjadi pusat perhatian mereka dan selalu mereka upayakan untuk dipertahankan. Hal ini dapat terjadi karena mereka sudah meyakini bahwa sekolah merupakan cara terbaik dan meyakinkan untuk membina perkembangan dan pertumbuhan anak-anak mereka. Mengingat keyakinan yang tinggi akan kemampuan sekolah dalam pembentukan anak-anak mereka dalam membangun masa depan yang baik tersebut membuat mereka berpartisipasi secara aktif dan optimal mulai dalam perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan sekolah. Nampak mereka selain merasa sebagai pemilik sekolah juga sebagai penanggung jawab atas keberhasilan sekolah. Kondisi ini dapat terjadi karena kesadaran yang tinggi dari masyarakat yang bersangkutan. Pentingnya keterlibatan orang tua/masyarakat akan keberhasilan pendidikan ini telah dibuktikan kebenarannya oleh Richard Wolf dalam penelitiannya yang menyimpulkan bahwa terdapat korelasi yang sangat signifikan (0.80) antara lingkungan keluarga dengan prestasi belajar. Penelitian lain di Indonesia juga telah membuktikan hal yang sama. Partisipasi yang tinggi tersebut nampaknya belum terjadi di negara berkembang (termasuk Indonesia). Hoyneman dan Loxley menyatakan bahwa di negara berkembang sebagian besar keluarga belum dapat diharapkan untuk lebih banyak membantu dan mengarahkan belajar murid, sehingga murid di negara berkembang sedikit waktu yang digunakan dalam belajar. Hal ini disebabkan banyak masyarakat/orang tua murid belum paham makna mendasar dari peran mereka terhadap pendidikan anak. Bahkan Made Pidarta menyatakan di daerah perdesaan yang tingkat status sosial ekonomi yang rendah, mereka hampir tidak menghiraukan lembaga pendidikan dan mereka menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan anaknya kepada sekolah. Keberhasilan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh proses pendidikan di sekolah dan tersedianya sarana dan prasarana saja, tetapi juga ditentukan oleh lingkungan keluarga dan atau masyarakat. Karena itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah (sekolah), keluarga dan masyarakat. Ini berarti mengisyaratkan bahwa orang tua murid dan masyarakat mempumyai tanggung jawab untuk berpartisipasi, turut memikirkan dan memberikan bantuan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Partisipasi yang tinggi dari orang tua murid dalam pendidikan di sekolah merupakan salah satu ciri dari pengelolaan sekolah yang baik, artinya sejauhmana masyarakat dapat diberdayakan dalam proses pendidikan di sekolah adalah indikator terhadap manajemen sekolah yang bersangkutan. Pemberdayaan masyarakat dalam pendidikan ini merupakan sesuatu yang esensial bagi penyelenggaraan sekolah yang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

31

baik (Kumars, 1989). Tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan di sekolah ini nampaknya memberikan pengaruh yang besar bagi kemajuan sekolah, kualitas pelayanan pembelajaran di sekolah yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kemajuan dan prestasi belajar anak-anak di sekolah. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Husen (1988) dalam penelitiannya bahwa siswa dapat belajar banyak karena dirangsang oleh pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru dan akan berhasil dengan baik berkat usaha orang tua mereka dalam memberikan dukungan. Partisipasi yang tinggi tersebut nampaknya belum terjadi di negara berkembang (termasuk Indonesia). Hoyneman dan Loxley menyatakan bahwa di negara berkembang sebagian besar keluarga belum dapat diharapkan untuk lebih banyak membantu dan mengarahkan belajar murid, sehingga murid di negara berkembang sedikit waktu yang digunakan dalam belajar. Hal ini disebabkan banyak masyarakat/orang tua murid belum paham makna mendasar dari peran mereka terhadap pendidikan anak. Bahkan Made Pidarta menyatakan di daerah perdesaan yang tingkat status sosial ekonomi yang rendah, mereka hampir tidak menghiraukan lembaga pendidikan dan mereka menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan anaknya kepada sekolah. Definisi hubungan sekolah dengan masyarakat yang lengkap diungkapkan oleh Bernays seperti dikutip oleh Suriansyah (2000), yang menyatakan bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat adalah: a. information given to the public (memberikan informasi secara jelas dan lengkap kepada masyarakat) b. persuasion directed at the public, to modify attitude and action (melakukan persuasi kepada masyarakat dalam rangka merubah sikap dan tindakan yang perlu mereka lakukan terhadap sekolah) c. effort to integrated attitudes and action of institution with its public and of public with the institution (suatu upaya untuk menyatukan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh sekolah dengan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat secara timbal balik, yaitu dari sekolah ke masyarakat dan dari masyarakat ke sekolah. Secara lebih lengkap Elsbree dan Mc Nally seperti dikutip oleh Suriansyah (2001) menyatakan bahwa kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat bertujuan untuk: a. to improve the quality of childrens learning and growing. b. to rise community goals and improve the quality of community living c. to develop understanding, enthusiasm and support for community program of public educations Sedangkan kegiatan-kegiatan manajemen hubungan sekolah dan masyarakat adalah sebagai berikut. a. Analisis kebutuhan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah b. Penyusunan program hubungan sekolah dengan masyarakat c. Pembagian tugas melaksanakan program hubungan sekolah dengan masyarakat d. Menciptakan hubungan sekolah dengan orang tua siswa e. Mendorong orang tua menyediakan lingkungan belajar yang efektif f. Mengadakan komunikasi dengan tokoh masyarakat g. Mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintah dan swasta h. Mengadakan kerjasama dengan organisasi sosial keagamaan i. Pemantauan hubungan sekolah dengan masyarakat j. Penilaian kinerja hubungan sekolah dengan masyarakat

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

32

DAFTAR RUJUKAN

Daft, R.L. dan Steers, R.M. (1986). Organization: A Micro/Macro Approach. Glenview: Scott, Foresman and Company. Flippo, Edwin B. (1961). Principles of Personnel Management. New York: McGraw-Hill Book Company. Gorton, Richard A. (1976). School Administration. New York: Wm. C. Brown Company Publishers. Hoy, W.K. dan Ferguson, J. (1985). A Theoretical Framework and Explanation of Organizational Effectiveness of Schools. Administration Quarterly. Volume XXI, No. 2 Spring, halaman 117132. Hoy, W.K. dan Miskel, C.G. (1982). Educational Administration: Theory, Research, and Practice. Second Edition. New York; Random House, Inc. Kimbrough, Ralph B. dan Nunnery, Michael Y. Educational Administration. New York: Macmillan Publishing Co. (1983). McPherson, R.B.; Crowson, R.L.; dan Pitner, N.T. (1986). Managing Uncertainty: Administrative Theory and Practice in Education. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company. Mockler, R. (1972). The Management Control Process. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall. Owens, R.G. (1987). Organizational Behavior in Education. Third Edition. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall Inc. Robbinns, Stephen P. Management: Concepts and Practice. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Sergiovanni, T.J. (1987). The Principalship: A. Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Sergiovanni, Thomas J.; Burlingame, Martin; Coombs, Fred S.; Thurston, Paul W. (1987). Educational Governance and Administration. Englewood Cliffs, New Jersey: PrenticeHall, Inc. Siagian, Sondang P. (1981). Filsafat Administrasi. Jakarta: Gunung Agung. Tead, Ordway (1963). Leadership. New York: McGraw-Hill Book Company. The Liang Gie (1983). Administrasi Perkantoran Modern. Yogyakarta: Penerbit Nur Cahaya. Wren, Daniel A. dan Voich JR., Dan. (1984). Management: Process, Structure and Behavior. New York: John Wiley & Sons

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR

33

You might also like