You are on page 1of 28

1

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dalam dunia farmasi sangat erat hubungannya dengan farmakologi toksikologi Farmasi merupakan cabang ilmu terapan yang mengkaji segala sesuatu tentang obat-obatan, mulai dari pembuatannya hingga obat tersebut dimetabolisme di dalam tubuh. Obat-obatan diracik sedemikian rupa agar dapat memberikan efek yang diinginkan di dalam tubuh. Obat-obatan tertentu bekerja pada sistem saraf yang merupakan jaringan paling rumit dan paling penting yang terdiri dari jutaan sel saraf (neuron) yang saling terhubung dan vital. Sistem saraf terbagi atas sistem saraf perifer dan sistem saraf otonom. Sistem syaraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem syaraf vegetatif, sistem syaraf visceral atau sistem syaraf tidak sadar, sistem mengendalikan dan mengatur kemauan. Sistem saraf ini terdiri dari atas serabut saraf-saraf, ganglion-ganglion dan jaringan saraf yang mensarafi jantung, pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, alat-alat dalaman dan otot-otot polos. Obat-obat yang sanggup mempengaruhi fungsi sistem saraf otonom, bekerja berdasarkan kemampunannya untuk meniru atau memodifikasi aktivitas neurohimor-transmitor tertentu yang dibebaskan oleh serabut syaraf otonom di ganglion atau sel-sel (organ-organ) efektor. Termasuk kelompok ini pula adalah beberapa kelenjar (ludah, keringat dan pencernaan) dan juga otot jantung, yang sebagai pengecualian bukan merupakan otot polos, tetapi suatu otot lurik. Dengan demikian, sistem saraf otonom

tersebar luas di seluruh tubuh dan fungsinya adalah mengatur secara otomatis keadaan fisiologi yang konstan, seperti suhu badan, tekanan, dan peredaran darah, serta pernapasan. Untuk itu, perlu dilakukan percobaan dan penelitian terhadap obatobatan yang bekerja dalam sistem saraf otonom, untuk mengetahui efekefek yang ditimbulkan dari obat-obatan tersebut. I.2 Maksud dan tujuan percobaan

I.2.1 Maksud Percobaan Mahasiswa dapat mengamati dan mengetahui efek obat yang ditimbulkan dari obat adrenergik dan kolinergik terhadap hewan coba mencit (Mus musculus). I.2.2 Tujuan Percobaan 1. Mengamati pengaruh obat atropin sulfat yang diberikan secara intra muskular pada hewan coba. 2. Mengamati pengaruh obat domperidon yang diberikan secara per oral pada hewan coba.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Teori umum Sistem Saraf Otonom selanjutnya disebut SSO. Sistem ini merupakan sistem saraf eferen (motorik) yang mempersarafi organ-organ dalam seperti otot-otot polos, otot jantung, dan berbagai kelenjar. Sistem ini melakukan fungsi kontrol, semisal: kontrol tekanan darah, motilitas gastrointestinal, sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, proses berkeringat, suhu tubuh, dan beberapa fungsi lain. Karakteristik utama SSO adalah kemampuan memengaruhi yang sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saj denyut jantung dapat meningkat hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan detik, berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadp homeostasis dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian, SSO merupakan komponen dari refleks visceral (5). Sebagai konsekuensi bahwa ada keterlibatan sistem saraf pusat terhadap sistem saraf perifer, termasuk SSO, dikenal beberapa pusat integrasi dan pengendalian informasi sebelum diteruskan ke SSO, seperti medulla spinalis, batang otak, dan hipotalamus. Misalnya: medulla spinalis bertanggung jawab untuk persarafan otonom yang memengaruhi sistem kardiovaskular dan respirasi; hipotalamus berfungsi untuk mengintegrasikan persarafan otonom, somatik, dan hormonal (endokrin) dan emosi serta

tingkah laku (misal: seseorang yang marah meningkatkan denyut jantung, tekanan darah, dan laju respirasi).Di samping itu, daerah asosiasi prefrontal memengaruhi eksprei emosional, seperti wajah yang menampakkan kesan kemerahan apabila seseorang merasa malu (6) Pembagian SSO Kebanyakan organ visceral dipersarafi oleh dua jenis saraf otonom sekaligus (dual-innervation, persarfan ganda), yakni SSO divisi simpatis dan parasimpatis. Karakteristik kerja SSO divisi simpatis dan parasimpatis cenderung berlawanan, walaupun di beberapa organ malah saling menguatkan (5).

Tabel 1 : Perbedaan saraf simpatis dan parasimpatis Pembeda Asal serabut praganglion Simpatis Medulla spinalis bagian torakal dan lumbal Ganglion symphatetic Asal serabut pascaganglion chain; atau ganglion kolateral (kira-kira di setengah jarak medulla spinalis dengan efektor) Pre pendek, termielinasi; Panjang Serabut* Post panjang, tak termielinasi Otot jantung, hampir Organ Efektor yang Dipersarafi semua otot polos, kebanyakan kelenjar eksokrin, beberapa kelenjar endokrin Pre melepaskan ACh; Post melepaskan sebagian besar Neurotransmiter* melepaskan norepinefrin, sebagian kecil ACh) Tipe Reseptor Pre: nikotinik; Post: untuk Neurotransmiter adrenergik 1, 1, 2, 2 Pre dan Post* Peranan Fight-or-Flight Pre panjang; Post pendek Otot jantung, banyak otot polos, hamper semua kelenjar eksokrin, beberapa kelenjar endokrin Ganglion terminal (berada dekat dengan organ efektor) Parasimpatis Batang otak (saraf kranial) dan medulla spinalis bagian sakral

Pre dan post melepaskan Ach

Pre: nikotinik; Post: muskarinik General Housekeeping

Kelebihan Persarafan Ganda Persarafan simpatis dan parasimpatis sesungguhnya bekerja

bersamaan. Namun demikian, ada suatu kondisi yang memungkinkan simpatis lebih dominan dari parasimpatis, atau sebaliknya. Keduanya bekerja dengan suatu aktivitas parsial yang dinamakan tonus simpatis dan parasimpatis, atau aktivitas tonus. Namun demikian, ada suatu situasi yang mampu memicu persarafan yang satu menjadi lebih aktif dari yang lain (2). Persarafan Otonom Parasimpatis Divisi parasimpatis, atau disebut divisi kraniosakral, berasal dari sistem saraf pusat melalui saraf kranial III (okulomotor), VII (fasial), IX (glosofaringeal), dan X (vagus). Selain berasal dari saraf kranial, saraf parasimpatis juga berasal dari medulla spinalis bagian bawah, yakni melalui S2 dan S3 (atau S4). Hampir serabut parasimaptis berada bersama-sama dengan saraf vagus (X), masuk ke daerah torakal dan abdominal untuk mempersarafi organ visceral ini (6). Divisi parasimpatis yang berasal dari n.III keluar dan mempersarafi sfingter pupil dan otot siliar mata, sementara yang berasal dari n.VII mempersarafi kelenjar lakrimal, nasal, dan submandibular, n.IX

mempersarafi kelenjar parotis, serta n.X mempersarafi jantung, paru-paru, esophagus, lambung, usus halus, hati, kantung empedu, pankreas, ginjal, bagian proksimal colon, serta bagian atas ureter. Divisi parasimpatis memiliki ganglion yang berada dekat dengan organ efektor, semisal ganglion siiar, sfenopalatina, submandibular, sublingual, otik, ganglionganglion yang berada di organ efektor (misalnya untuk organ jantung, otot

bronkus, lambung, kantung empedu). Bagian dari S2 dan S3 keluar membentuk jalinan splankik pelvis, serta mempersarafi bagian rectum, kandung kemih, ureter, dan alat kelamin wanita dan pria (6). Serabut preganglion parasimpatis melepaskan neurotransmitter

asetilkolin (ACh) yang ditangkap oleh reseptor kolinergik nikotinik badan sel pascaganglion. Efek dari penangkapan ACh oleh reseptor nikotinik menyebabkan pembukaan kanal ion nonspesifik, menyebabkan influx terutama ion Na+. Setelah itu, serabut pascaganglion parasimpatis menghasilan juga asetilkolin yang ditangkap oleh reseptor kolinergik muskarinik yang terdapat di semua organ efektor parasimpatis. Penempelan ACh dengan reseptor muskarinik mengaktifkan protein G, dan dapat menginhibisi atau mengeksitasi organ efektor (6). Persarafan Otonom Simpatis Divisi simpatis, atau disebut juga divisi torakolumbal, berasal dari sistem saraf pusat melalui segmen medulla spinalis T1 hingga L2.4 Dari segmen T1 hingga T2 mempersarafi organ visceral di daerah leher, T3 hingga T6 menuju daerah toraks, T7 hingga T11 menuju abdomen, dan T12 hingga L2 menuju ke ekstremitas bawah. Saraf simpatis lebih rumit dibandingkan saraf parasimpatis karena mempersarafi lebih banyak organ (6). Setelah meninggalkan medulla spinalis melalui akar ventral, serabut preganglion melewati white ramus communicans, lalu masuk ke rantai ganglion simpatik (sympathetic trunk ganglion). Karena letaknya dekat dengan vertebrae, disebut juga dengan ganglia paravertebral. Selanjutnya,

ada tiga cabang, yakni: (a) bersinaps dengan neuron orde dua di ganglion yang sama; (b) naik atau turun rantai ganglion simpatis dan bersinaps di sana; (c) tidak bersinaps, hanya melewati rantai ganglion simpatis dan keluar bersinaps dengan ganglion kolateral (ganglion pravertebra), yang secara khusus disebut saraf splanknik. Ganglion kolateral ini terletak di daerah abdomen dan pelvis dan tidak berpasangan seperti ganglia simpatis lain (6). Serabut preganglion yang bersinaps di rantai ganglia simpatis berlanjut dengan serabut pascaganglion yang masuk ke akar dorsal melalui saraf spinal yang berkesesuaian melalui gray rami communicantes. Dari sini, serabut pascaganglion meneruskan perjalanan untuk menuju organ efektor. Sepanjang jalur serabut postanglion dapat mempersarafi pembuluh darah dan otot polos sebelum tiba ke organ efektor akhir (6). Terdapat beberapa ganglion selain ganglion kolateral dan rantai ganglion simpatis, di antaranya ganglion servikal superior yang berasal dari T1-T4 yang naik untuk bersinaps di ganglion yang terletak di atas rantai ganglion simpatis ini. Menginervasi pembuluh darah dan otot polos di bagian kepala, otot dilator mata, lendir hidung dan kelenjar saliva, serta mengirimkan cabang yang menginervasi jantung. Ganglion servikal merupaan ganglion yangmempersarafi organ visceral di daerah toraks serta berasal dari T1 hingga T6. Ada yang membentuk jalinan pleksus kardiak dan mempersarafi jantung, beberapa lainnya mempersarafi kelenjar tiroid dan kulit. Ganglion kolateral seperti ganglion seliak, mesentrik superior, mesentrik inferior dapat ditemukan sebagai kelanjutan dari saraf splanknik

yang tidak bersinaps di rantai ganglion simpatisSerabut preganglion simpatis melepaskan neurotransmitter ACh yang ditangkap oleh reseptor nikotinik yang berada di badan sel neuron pascaganglion. Sementara itu kebanyakan serabut pascaganglion melepaskan noradrenalin (atau

norepinefrin) dan ditangkap oleh reseptor adrenergik (6). Tabel 2 : Macam-macam reseptor adrenergik untuk neurotransmitter Jenis Afinitas Efektor Reseptor neurotransmiter Hampir NE dari post semua simpatis; E dari 1 medulla adrenal; persarafan NE>E simpatis Organ 2 NE>E pencernaan 1 Inhibitori Mengaktivasi cAMP; NE~E Jantung Eksitatori Otot polos dari arteriol 2 Hanya E dan bronkiolus Aktivasi reseptor 1 cenderung menghasilkan efek positif, semisal konstriksi arteriol akibat peningkatan kontraksi otot di endotel. Aktivasi 2 justru menyebabkan respons inhibitori seperti pengurangan kontraksi otot Inhibitori Mengaktivasi cAMP; Menghambat cAMP; efektor eksitatori Mengaktifkan IP3/Ca2+; efek Mekanisme aksi dan

10

polos di sistem pencernaan. Stimulasi 1menimbulkan efek eksitatori di organ utama yang dipersarafinya, yakni jantung, menyebabkan kontraksi dan denyut yang meningkat. Sementara itu 2 menyebabkan pelebaran arteriol dan saluran pernapasan akibat relaksasi otot polos di dinding saluran ini. Beberapa serabut pascaganglion tidak menghasilkan NE, melainkan menghasilkan asetilkolin. Serabut pascaganglion ini mempersarafi kelenjar keringat (5). Fungsi dari saraf simpatis adalah untuk mempersiapkan diri dalam keadaan darurat, merespons situasi yang tidak menyenangkan dan penuh tekanan (stress), serta keadaan ancaman dari luar. Oleh karena itu, dengan mudah efek dominansi simpatis adalah adanya keadaan fight-or-flight. Dengan demikian, dapat ditingkatkan denyut jantung, tekanan darah, pelebaran pembuluh darah, diperkirakaan apa efek yang ditimbulkan akibat perangsangan simpatis, seperti peningkatan denyut dan kekuatan kontraksi jantung, pemecahan glikogen, pelebaran pembuluh darah, pelebaran pupil, berkeringat, dan penurunan sementara fungsi sistem pencernaan dan perkemihan. Pengaruh aktivasi sistem saraf simpatis terhadap kelenjar saliva adalah sekresi saliva yang kental dan kaya akan lendir (5).

11

Tabel 3 : Efek perangsangan simpatis dan parasimpatis Organ Jantung Hampir seluruh pembuluh darah Paru-paru Saluran pencernaan Kandung kemih Mata Penyimpanan glikogen di hati Penyimpanan lemak di sel adifose Pankreas Keringat Perangsangan Simpatis denyut, kekuatan kontraksi seluruhn jantung (1) Konstriksi (1) Dilatasi bronkiolus sekresi mukus () motilitas (2, 2) Kontraksi sfinger (1) mencegah pengeluaran feses Relaksasi (2) Dilatasi pupil (kontraksi otot radial) (1) Pemecahan glikogen (glikogenolisis) Pemecahan lipid (lipolisis) (2 ) Kelenjar eksokrin: sekresi (2) sekresi kebanyakan kelenjar keringat (1, dan kebanyakan adalah kolinergik) saliva kental dan kaya akan lendir (1) Kelenjar endokrin: epinefrin dan norepinefrin (kolinergik) sekresi insulin, sekresi glucagon (2) Ejakulasi dan orgasme (pria) Orgasme (wanita) (1) kesadaran Perangsangan Parasimpatis denyut, kekuatan kontraksi atrium jantung Dilatasi p.darah penis dan kiltoris bronkiolus sekresi mucus motilitas Relaksasi sfinger mengeluarkan feses Kontraksi (pengosongan) Konstriksi pupil (kontraksi otot sirkuler) Tidak dipersarafi parasimpatis Tidak dipersarafi parasimpatis sekresi sekresi beberapa kelenjar keringat saliva encer dan kaya akan enzim Tidak dipersarafi parasimpatis sekresi insulin, sekresi glukagon Ereksi penis (pria) Ereksi klitoris (wanita) Tidak dipersarafi parasimpatis Tidak dipersarafi parasimpatis

Saliva

Medulla adrenal Pankreas Genitalia Aktivitas otak Koagulasi darah

12

Obat-obat yang bekerja terhadap sistem saraf otonom dibagi ke dalam 5 kelompok, yaitu (2) : 1. Parasimpatomimetik (kolinergik), merupakan obat-obatan yang memiliki efek menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf parasimpatis. Contohnya adalah asetilkolin dan pilokarpin. 2. Parasimpatolitik (antikolonergik), merupakan obat-obatan yang memiliki efek yang menghambat efek saraf parasimpatis. Contohnya adalah atropin. 3. Simpatomimetik (adrenergik), merupakan onat-obatan yang memiliki efek yang menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas sisinan saraf simpatis. Contohnya adalah epineprin. 4. Simpatolitik (antiadrenergik), merupakan obat-obatan yang bekerja dengan menghambat efek aktivitas saraf simpatis. Contohnya adalah reserpin dan propanolol. 5. Obat ganglion, merupakan obat-obatan yang merangsang atau

menghambat penerusan impuls di ganglion. Contohnya adalah nikotin dan pentolinum. II.2 Uraian bahan 1. Na CMC (1) Nama resmi Nama lain : Natrii carboksimetilselulosa : Natrium karboksil metil selulosa, cethylone, thislose, selolax dan polise BM : 90.000-700.000 (8)

13

Rumus struktur :

Pemerian

: Serbuk atau butiran putih atau kering gading tidak berbau atau hampir tidak berbau hidrofobik

Kelarutan

: Mudah terdispersi dalam air membentuk seperti koloidal, tidak larut dalam etanol 95% dalam eter dan dalam organik lain.

Penyimpanan Kegunaan 2. Air Suling (1) Nama resmi Nama lain RM/BM Pemerian Penyimpanan Kegunaan

: Dalam wadah tertutup rapat : Sebagai kontrol

: Aquadestillata : Aqua,Air suling : H2O/18,02 : Cairan Jenih,tidak berwarna,dan berasa : Dalam wadah tertutup baik : Sebagai pelarut

3. Atropin sulfat (1) Nama resmi Nama lain RM/BM Pemerian : Atropini sulfas : Atropina sulfat : C23H46N2O6.H2SO4.H2O/694,85 : Hablur tidak berwarna atau serbuk putih, tidak berbau, sangat pahit dan sangat beracun

14

Kelarutan

: Larut dalam kurang dari 1 bagian air dan dalam lebih kurang dari 3 bagian etanol (90%), sukar larut dalam kloroform, praktis tidak larut dalam eter dan dalam benzen

Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup rapat dan terlindung dari cahaya

Kegunaan

: Sebagai parasimpatolitikum (7)

II.3 Klasifikasi hewan coba Klasifikasi Mencit (4) Kingdom Phylum Subphylum Class Ordo Family Genus Spesies : Animalia : Chordata : Vertebrata : Mamalia : Rodentia : Muridae : Mus : Mus musculus

15

BAB III METODE PERCOBAAN III. 1 Alat dan Bahan III.1.1 Alat Dispo 1 mL, Gelas kimia 100 mL Pyrex, Gelas ukur 10 mL Pyrex, Lumpang dan Alu, Neraca analitik Ohaus, Sendok tanduk, Stopwatch, Sudip, dan Waterbath Shellab. III.1.2 Bahan Alkohol 70%, Aquadest, Atropin sulfat, Domperidon 10 mg, Kertas perkamen, Na-CMC 0,25 mg/mL, dan Tissue. III.2 Cara Kerja a. Pembuatan Na-CMC 1% 1. 2. 3. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan Disterilkan alat yang digunakan dengan alkohol 70% Ditimbang Na-CMC sebanyak 0,25 g dan diukur aquades sebanyak 25 mL 4. 5. Dipanaskan aquades pada waterbath Dimasukkan Na-CMC sedikiti demi sedikit kedalam lumpang dan ditambahkan aquades hangat, digerus cepat hingga terbentuk mucilago 6. b. Dimasukkan Na-CMC kedalam gelas kimia

Penanganan Domperidon pada Mencit 1. 2. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan Disterilkan alat yang digunakan dengan alkohol 70%

16

3.

Ditimbang berat badan mencit dan dihitung dosis pemberian serta volume pemberiannya

4. 5.

Digerus domperidon kedalam lumpang hingga halus Ditimbang domperidon sebanyak 0,7 mg, dan diletakkan pada kertas perkamen

6.

Disuspensikan domperidon kedalam mucilago Na-CMC 1% hingga homogen

7.

Diambil suspensi tersebut dengan menggunakan dispo sebanyak 0,5 mL

8. 9.

Diberikan secara oral pada mencit Setelah perlakuan, diamati mencit tersebut meliputi pengamatan pada pupil mata, diare, tremor kejang, warna daun telinga dan grooming pada menit ke-15, 30, 45, dan 60

10. Dicatat hasil pengamatan c. Dengan menggunakan obat atropin sulfat 1. 2. 3. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan Disterilkan alat yang digunakan dengan alkohol 70% Ditimbang berat badan mencit dan dihitung dosis pemberian serta volume pemberiannya. 4. Mencit dengan berat badan 22,05 gram diberikan 0,05 mL atropin sulfat secara intrvena. 5. 6. Mencit diletakan diatas penutup kandang yang kasar Diamati respon setelah pemberian atropin sulfat pada menit 15, 30, 45, dan 60.

17

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Hasil Percobaan IV.1 Hasil pengamatan Tabel 4 : Hasil pengamatan domperidon per oral No 1 2 3 4 5 Pengamatan Pupil mata (Midriasis) Diare Tremor Warna daun telinga (Pucat) Groming 15 + + + + 30 + + + 45 + 60 + -

Tabel 5 : Hasil pengamatan atropin sulfat intra muskular No 1 2 3 4 5 Pengamatan Pupil mata (Midriasis) Diare Tremor Warna daun telinga (Pucat) Groming 15 + + + + 30 + + + 45 60 -

IV.2 Perhitungan a. Domperidon Domperidon 10 mg untuk manusia (70 kg) dikonversi ke mencit (20 g) 0,0026

18

Dosis mencit (20 g) = 10 mg x 0,0026 = 0,026 mg/20 g BB Berat (16,76 g) = x 0.026

= 0.838 x 0.026 = 0.02 mg/16.76 g BB Volume pemeriannya = b. Atropin sulfat Mencit (22,05 g) = 22,05/20 x 0,0026 = 0,0028 mg Volume Suntik IM = 0,0028 mg/8 mg x 0,5 ml = 0,05 ml IV.3 Pembahasan Praktikum farmakologi dan toksikologi ini bertujuan untuk mengamati pengaruh berbagai obat kolinergik dan antikolinergik dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh dan mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada neoroefektor parasimpatikus. Sehingga digunakan obat antikolinergik dengan berbagai cara pemberian obat yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap sistem saraf otonom hewan coba yaitu mencit. Obat kolinergik yang digunakan yaitu domperidon dan obat antikolinergik yang digunakan yaitu atropin sulfat. Perlakuan yang dilakukan yaitu memberikan secara peroral dan intra muscular obat kolinergik dan antikolinergik pada mencit dan melihat efek atau reaksi yang dihasilkan pada menit ke-15, 30, 45, dan ke-60. Reaksi yang diharapkan pada pemberian secara peroral dan intramuskular obat Domperidon dan Atropin pada mencit yaitu adanya tremor, grooming, midriasi, warna daun telinga yang berubah, dan diare. x 1 mL = 0.8 mL

19

Domperidon dianjurkan pada terapi tukak lambung dengan jalan menghindarkan refluks empedu dari duodenum ke lambung (duodenogastric reflux). Dengan demikian pemborokan dari mukosa tidak memburuk dan tukak bisa sembuh dengan mudah. Efek samping yang sering terjadi adalah kejang-kejang (termor) usus sementara, dan reaksi kulit alergis (4). Atropin merupakan obat antikolinergik (obat simpatomimetik) yang akan diuji dengan diberikan pada mencit untuk dilakukan pengamatan terhadap pengaruhnya pada sistem saraf otonom. Atropin merupakan obat yang digolongkan sebagai antikolinergik atau simpatomimetik. Atropin termasuk dalam alkaloid beladona, yang bekerja memblokade asetilkolin endogen maupun eksogen. Atropin bekerja sebagai antidotum dari pilokarpin. Efek atropin pada saluran cerna yaitu mengurangi sekresi liur, sehingga pemberian atropin ini dilakukan agar produksi saliva menurun karena mukosa mulut mencit menjadi kering (serostomia). Atropin, seperti agen antimuskarinik lainnya, yang secara kompetitif dapat

menghambat asetilkolin atau stimulan kolinergik lain pada neuroefektor parasimpatik post ganglionik, kelenjar sekresi dan sistem saraf pusat, meningkatkan output jantung, mengeringkan sekresi, juga mengantagonis histamin dan serotonin. Pada dosis rendah atropin dapat menghambat salivasi. Hal ini dikarenakan kelenjar saliva yang sangat peka terhadap atropine (4). Percobaan ini diawali dengan mempersiapkan semua alat dan bahan yang akan digunakan dalam percobaan. Kemudian dilakukan pemilihan

20

hewan percobaan, yaitu mencit. Diambil Dipilih dua mencit jantan yang sehat. Mencit yang telah dipilih, lalu ditimbang. Penimbangan mencit ini dilakukan dengan meletakkan seekor mencit yang akan digunakan, diatas neraca Ohauss dan diamati angka yang menunjukkan berat badan mencit yang pertama adalah 16,76 g. Penimbangan mencit ini bertujuan untuk mengetahui perhitungan dosis yang tepat pada perlakuan percobaan, karena setiap individu yang memiliki berat badan yang berbeda akan mendapatkan pemberian dosis yang berbeda, mengingat berat badan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan pemberian jumlah dosis. Setelah ditimbang setiap mencit diberikan tanda pengenal yang berbeda. Hal ini bertujuan agar mempermudah mengenali mencit baik pada saat pemberian perlakuan maupun saat dilakukan pengamatan terhadap percobaan. Sebelum Domperidon diberikan secara peroral, terlebih dahulu dibuat muchilago Na-CMC. Tujuan pembuatan muchilago ini untuk membawa zat aktif sampai ke tempat dimana obat ini memberikan efek terapi. Selanjutnya dilarutkan domperidon yang sebelumnya telah di gerus kedalam muchilago Na-CMC dan diambil larutan muchilago tersebut dengan menggunakan dispo sebanyak 0,8 mL. Pemberian larutan dilakukan dengan cara memegang atau menjepit tengkuk diantara jari telunjuk dan jari tengah, dengan membuat posisi abdomen yang lebih tinggi dari kepala. Kemudian jarum dimasukkan dengan membentuk sudut 10. Penyuntikan harus sedikit menepi dari garis tengah, untuk menghindari terkenanya kandung kemih. Jangan pula terlalu

21

tinggi agar tidak mengenai hati. Tetapi pada praktikum ini terjadi kesalahan dalam pemberian peroral yang mengakibatkan mencit yang digunakan, mati. Hal ini dikarenakan adanya beberapa faktor kesalahan seperti pada saat diberikan peroral dispo yang digunakan tersangkut pada organ dalam mencit dan berat mencit yang belum memenuhi bobot ideal untuk pemberian peroral. Sehingga untuk melihat efek dari domperidon digunakan mencit yang baru. Setelah pemberian peroral, diamati mencit tersebut meliputi pengamatan pada pupil mata, diare, tremor kejang, warna daun telinga dan gruming pada menit ke-15, 30, 45, dan 60. Hasilnya, pada menit ke 15, mencit menampakkan adanya grooming, termor, midriasis mata dan warna telinga pada mencit berubah menjadi pucat tetapi tidak tampak adanya diare pada mencit yang artinya obat domperidon yang di berikan secara peroral telah memberikan efek, hal ini seperti yang telah diharapkan pada saat pemberian obat tersebut yaitu adanya reaksi alergis atau grooming pada mencit dan kejang-kejang atau tremor. Pada menit ke 30 tidak tampak adanya grooming pada mencit, tetapi ciri-ciri yang lainnya masih ada, yang artinya bahwa obat ini sudah mencapai waktu paruhnya. Pada menit ke 45, ciri-ciri yang di tampakkan pada mencit sudah mulai hilang yang artinya efek obat ini setelah melewati waktu paruhnya sudah mulai mengalami penurunan efek terapi dan setelah 60 menit kemudian efek terapinya sudah hilang yang artinya obat ini sudah mengalami metabolisme di hati dan akan diekskresikan ke ginjal untuk dikeluarkan.

22

Pada mencit yang kedua dengan berat 22,19 diberikan obat atropin sulfat yang diberikan dalam bentuk larutan sebanyak 0,05 mL, melalui intramuskular artinya obat disuntikkan pada paha posterior dengan menggunakan jarum suntik. Setelah mencit dilakukan perlakuan tersebut mencit diletakkan diatas penutup kandang yang kasar kemudian diamatimidriasi mata, diare, tremor, warna daun telinga dan grooming setelah pemberian atropin sulfat pada menit 15, 30, 45, dan 60. Hasilnya sebelum menit ke 15 mencit mulai memperlihatkan tandatanda seperti grooming, tremor, midriasis, dan warna daun telinga yang berubah menjadi pucat, tetapi tidak terjadi diare pada mencit. Artinya obat atropin yang di berikan secara intramuskular telah memberikan efek, hal ini seperti yang telah diharapkan pada saat pemberian obat tersebut menurut Obat-Obat Penting yaitu adanya reaksi alergis atau grooming pada mencit dan kejang-kejang atau tremor dan tidak menyebabkan efek samping yang fatal seperti diare. Pada menit ke 30 warna daun telinga padamencit muli kembali menjadi warna telinga pada mencit yang tidak diberi perlakuan. Tetapi masih tampak adanya grooming, tremor, maupun midriasi mata. Yang artinya atropin yang diberikan masih memberikan efek. Setelah mengamati sampai menit ke 45, efek obat sudah mulai mengalami penurunan, hal ini dikarenakan atropin yang telah diberikan sudah mencapai waktu paruhnya yaitu pada menit ke 30 dan menurun efek terapinya pada menit ke 45. Pada menit ke 60, mencit menjadi tampak lesu dan susah untuk melakukan gerakan-gerakan yang lincah seperti mencit pada biasanya. Hal

23

ini diakibatkan karena atropin memiliki efek toksik yang sangat keras bagi tubuh, sehingga apabila pemakaiannya tidak di atur sesuai dosisnya maka akan mengakibatkan kematian. Seperrti yang terlihat pada mencit ke dua. Tetapi dalam hal ini tidak sampai mengakibatkan kematian karena dosis yang digunakan masih pada batasan normal.

24

BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan Dari hasil percobaan dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Pemberian atropine sulfat secara intramuskular yang dilihat pada menit ke 15, 30, 45, dan 60 terhadap mencit, memberikan efek yang sangat cepat seperti tremor, midriasis, grooming, warna daun telinga pucat pada menit ke-15, pada menit ke-30 midriasis, tremor dan grooming pada percobaan ini tidak menimbulkan diare, pada menit 45 dan 60 efek terapinya sudah hilang yang artinya obat ini sudah mengalami metabolisme di hati dan akan diekskresikan ke ginjal untuk dikeluarkan. 2. Pemberian domperidon secara peroral yang dilihat pada menit ke 15, 30, 45 dan 60 terhadap mencit, memberikan efek seperti tremor, midriasis, warna daun telinga pucat dan grooming pada menit ke-15, pada menit ke-30 warna telinga pucat, tremor dan midriasis, pada menit ke 45 dan 60 menit efek terapinya sudah hilang yang artinya obat ini sudah mengalami metabolisme di hati dan akan diekskresikan ke ginjal untuk dikeluarkan. V.2 Saran Disarankan untuk laboratorium farmakologi dan toksikologi

kedepannya untuk lebih dilengkapi baik dari segi alat maupun bahan agar tercapainya praktikum yang efisien.

25

DAFTAR PUSTAKA 1. Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia edisi ketiga. Departemen Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta, Halaman 96, 98, 401. 2. Bertram G. 2001. Farmakologi Dasar Dan Klinik. Penerbit Salemba Medika : Jakarta, Halaman 53-56. 3. 4. M.J, Neal. 2006. Farmakologi medis. EGC : Jakarta, Halaman 22, 23. Malole, M.B.M, 1989. Penanganan hewan percobaan. ITB : Bandung, Halaman 11. 5. Pearce, C. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. 2002. Gramedia Pustaka Umum : Jakarta, Halaman 89-102. 6. 7. Sloane, E. 1995. Anatomi dan Fisiologi. EGC : Jakarta, Halaman 154-164. Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Gramedia Pustaka Umum: Jakarta, Halaman 273, 431. 8. Rowe, R.C., Sheckey, P.J., and Quinn, M.E., 2009, Handbook of Pharmaceutical Excipients, Sixth Edition, Pharmaceutical Press and American Pharmacists Association : London, Halaman 120.

26

LAMPIRAN I Foto Hasil Pengamatan

Gambar 1. Perubahan warna daun telinga pada mencit

Gambar 2. Tremor pada mencit

Gambar 3. Grooming pada menciti

Gambar 4. Midriasis pada menciti

27

LAMPIRAN II Skema Kerja a. Pembuatan Na-CMC 1% Aquadest - Diukur sebanyak 25 mL - Dipanaskan diatas penangas air (Waterbath) - Dimasukkan kedalam lumpang yang berisi NaCMC sedikit demi sedikit - Digerus cepat hingga membentuk mucilago Na-CMC - Ditimbang sebanyak 0,25 gram - Dimasukkan kedalam lumpang

Mucilago Na-CMC b. Pemberian Obat Domperidon Pada Hewan Coba Melalui Rute Peroral

Domperidon
- Digerus hingga halus - Ditimbang sebanyak 07, mg - Disuspensikan kedalam mucilago Na-CMC 1% Suspensi domperidon - Diambil sebanyak 0,5 mL - Diberikan pada mencit yang telah ditimbang melalui rute peroral - Diamati mencit tersebut meliputi pengamatan pada pupil mata, diare, tremor kejang, warna daun telinga dan grooming pada menit ke-15, 30, 45, dan 60 Mencit mengalami midriasis, tremor, grooming dan terjadi perubahan warna pada daun telinga (pucat)

28

c. Pemberian Obat Atropin Sulfat Pada Hewan Coba Melalui Rute Intramuskular Atropin sulfat - Diambil sebanyak 0,05 mL - Diberikan pada mencit yang telah ditimbang melalui rute intramuskular - Diamati mencit tersebut meliputi pengamatan pada pupil mata, diare, tremor kejang, warna daun telinga dan grooming pada menit ke-15, 30, 45, dan 60 Mencit mengalami midriasis, tremor, grooming dan terjadi perubahan warna pada daun telinga (pucat)

You might also like