You are on page 1of 16

LAPORAN PEMBUATAN SAUERKRAUT

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam nabati, salah satunya adalah sayuran. Telah banyak kita temui berbagai macam jenis sayuran salah satunya adalah sawi. Selain digunakan sebagai sayuran yang dikonsumsi biasa sebagai pendamping nasi. Sawi bisa dijadikan sebagai produk fermentasi yaitu sauerkraut yang nilai gizinya tidak kalah dengan produk fermentasi lainnya. Sayuran memiliki sifat cepat layu dan busuk akibat kurang cermatnya penanganan lepas panen. Untuk memperpanjang masa simpannya dapat dilakukan dengan berbagai pengolahan, misalnya acar, sauerkraut, sayuran asin, kerupuk, dan lain-lain. Tujuan pengolahan ini selain mengawetkan sayuran juga dapat meningkatkan rasa sayuran itu. Sawi hijau dalam bentuk segar merupakan bahan pangan yang mudah rusak. Oleh sebab itu untuk mengawetkan sekaligus meningkatkan nilai tambah sawi, seringkali dibuat sawi asin dengan fermentasi. Sauerkraut diolah dengan cara peragian dan menggunakan garam sebagi zat pengawetnya. Proses pembuatan sauerkraut sebenarnya tidak begitu jauh berbeda dengan sayur asin, hanya saja sayurannya setelah layu diiris tipis-tipis. Terjadi proses fermentasi spontan dalam pengolahan sauerkraut ini, dan banyak faktor yang dapat mempengaruhi gagal atau berhasilnya pembuatan sauerkraut. Oleh sebab itu, praktikum ini dilaksanakan untuk mengetahui cara pembuatan sauerkraut yang baik dan benar serta mengetahui pengaruh penambahan garam pada sauerkraut. B. Tujuan Praktikum Tujuan yang ingin dicapai pada praktikum ini adalah : 1. Untuk mengetahui cara pembuatan sauerkraut sebagai salah satu metode memperpanjang masa simpan sayuran. 2. Untuk mengetahui pengaruh penambahan garam pada pembuatan sauerkraut. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sawi hijau (Brassica rapa) Sawi hijau (Brassica rapa) convar. parachinensis; suku sawi-sawian atau Brassicaceae, merupakan jenis sayuran yang cukup populer. Dikenal pula sebagai caisim, caisin, atau sawi bakso, sayuran ini mudah dibudidayakan dan dapat dimakan segar (biasanya dilayukan dengan air panas) atau diolah menjadi asinan (kurang umum). Jenis sayuran ini mudah tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi. Bila ditanam pada suhu sejuk tumbuhan ini akan cepat berbunga. Karena biasanya dipanen seluruh bagian tubuhnya (kecuali akarnya), sifat ini kurang disukai. Pemuliaan sawi ditujukan salah satunya untuk mengurangi kepekaan akan suhu ini (Anonim, 2009a). Klasifikasi ilmiah dari sawi hijau berdasarkan Anonim (2011), yaitu : Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Sub Kelas : Dilleniidae Ordo : Capparales Famili : Brassicaceae (suku sawisawian) Genus : Brassica Spesies : Brassica rapa var. parachinensis L. B. Sauerkraut Sauerkraut merupakan produk hasil fermentasi sayur sawi yang memiliki karakteristik warna, tekstur, dan aroma khas yang diperoleh dari proses fermentasi dengan cara mengiris - iris sawi dan dicampur dengan larutan garam. Sama dengan produk sayur asin lainnya, sauerkraut merupakan sayuran yang telah diberi asam, akan tetapi asamnya diperoleh dari proses fermentasi sakarida (gula) yang terdapat dalam bahan baku oleh bakteri asam laktat. Asam yang dihasilkan berkisar pada

II.

rentang 1,5 2,0 % pada akhir fermentasi dan di identifikasi berupa asam laktat. Pelunakan pada sauerkraut berawal dari kerusakan flavour karena penyebab kerusakan yaitu khamir dan kapang masuk ke dalam seluruh bagian sauerkraut sehingga menjadi lunak. Di Jerman, sauerkraut dengan rasanya yang asam-asam segar disajikan dengan hidangan utama berupa sosis bratwurst atau roti. Gula yang terkandung dalam sayur sawi terdiri dari 85% glukosa dan15% fruktosa. Komposisi zat gizi termasuk gula dalam sawi / kol bervariasi tergantung pada varietas dan kondisi lokasi penanaman (Frazier dan Westhoff. 1988). Kandungan gula dalam pembuatan sauerkraut, memainkan peranan yang penting karena pengaruhnya terhadap keasaman maksimal yang dihasilkan saat fermentasi. Perbedaan kandungan gula dengan kisaran 2,9 % - 6,4% pada kebanyakan jenis sawi, menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan gula maka produk yang dihasilkan juga akan mengandung kadar asam yang tinggi, jika tidak dilakukan proses penghentian fermentasi yakni dengan cara pendinginan atau pengalengan. sayuran yang digunakan berfungsi sebagai bahan utama yang digunakan untuk pembuatan sauerkraut, selain itu sayuran juga mengandung zat-zat gizi untuk pertumbuhan mikroba dan mengandung bakteri asam laktat secara alami, sehingga dalam pembuatan sauerkraut tidak di tambahkan inokulum atau ragi. Kadar garam yang ditambahkan dalam pembuatan sauerkraut berkisar antara 2,25 -2,5 % berat sawi untuk menghasilkan kraut dengan kualitas yang baik dan garam harus terdistribusi secara merata. Kadar garam untuk pembuatan produk asinan juga dapat berkisar antara 5-15%. Garam yang ditambahkan akan menarik keluar cairan dari jaringan sayur yang mengandung gula dan nutrisi lain, yang mengontrol mikroflora yang tumbuh. Garam juga akan merangsang pertumbuhan bakteri asam laktat dan mencegah pertumbuhan bakteri pembusuk (Tjahjadi, 2011). C. Faktor-Faktor Pengolahan Sauerkraut Faktor-faktor yang utama dalam fermentasi sayuran adalah konsentrasi garam yang cukup, distribusi garam yang merata, terciptanya keadaan mikroaerofilik, suhu yang sesuai, dan tersedianya bakteri asam laktat. Selanjutnya disebutkan bahwa kebersihan bahan baku juga merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam fermentasi sayuran. Mikroorganisme membutuhkan nutrien untuk kehidupan dan pertumbuhannya yang terdiri dari sumber karbon, sumber nitrogen, sumber energi dan faktor pertumbuhan yaitu vitamin dan mineral. Nutrien tersebut dibutuhkan untuk menghasilkan energi kimia dan untuk menyusun komponen-komponen sel (Buckle, et.all. 1987) Menurut Marta (2011), bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengolahan sauerkraut adalah: 1. Garam Garam menarik air dan zat-zat gizi dari jaringan sayuran. Zat-zat gizi tersebut melengkapi substrat untuk pertumbuhan bakteri asam laktat. Garam bersama dengan asam yang dihasilkan oleh fermentasi menghambat pertumbuhan dari organisme yang tidak diinginkan dan menunda pelunakan jaringan sawi yang disebabkan oleh kerja enzim oleh bakteri pektinolitik. Selain itu, garam juga memberikan cita rasa pada produk. Garam, dapat membantu memecahkan karbohidrat dan asam-asam amino secara anaerobik oleh mikroorganisme dalam proses fermentasi. Garam dan asam laktat inilah yang akan menghambat pertumbuhan organisme lain yang tidak diinginkan selama proses berlangsung. Selain itu juga dapat menghambat kerja enzim dalam hal pelunakan jaringan sawi. Jumlah garam yang ditambahkan harus memiliki perbandingan yang tepat yaitu berkisar

antara 2,25-2,5% berat sawi untuk menghasilkan suerkraut yang berkualitas baik karena jika terlalu tinggi akan menunda fermentasi ilmiah sehingga menyebabkan warna menjadi gelap. 2. Suhu Pengaturan suhu yang sesuai untuk fermentasi agar fermentasi berlangsung dengan baik, suhu ruang harus berkisar 300 C. Bila suhunya rendah maka pertumbuhan bakteri asam laktat berlangsung lambat, sehingga tidak cukup banyak asam dihasilkan sehingga produk menjadi busuk. Suhu selama proses fermentasi sangat menentukan jenis mikroorganisme dominan yangakan tumbuh. 3. Oksigen Ketersediaaan oksigen harus diatur selama proses fermentasi. Hal ini berhubungan dengan sifat mikroorganisme yang digunakan. Contoh khamir dalam pembuatan anggur dan roti biasanya membutuhkan oksigen selama proses fermentasi berlangsung, sedangkan untuk bakteri-bakteri penghasil asam tidak membutuhkan oksigen selama proses fermentasi berlangsung. D. Proses Pengolahan Sauerkraut adalah fermentasi sawi menggunakan bakteri asam laktat sehingga beras masam. Sawi dibersihkan dari bagian yang hijau, rusak dan kotor, dicuci kemudian diiris kecil-kecil selebar 1 mm. Irisan sawi ini kemudian dimasukkan ke dalam tangki atau wadah kemudian ditambahkan larutan garam 2,25% dan diaduk serata mungkin. Bakteri yang memulai fermentasi adalah Leuconostoc mesenteroides dan dilanjutkan oleh Lacotabacillus brevis, Lb. plantarum dan Pediococcus cerevisiae. Suhu optimal untuk fermentasi ini adalah 25-30C dengan waktu 2-3 minggu. Suhu di atas 30C mengakibatkan produksi asam berlebihan sedang jika suhu kurang dari 25C sering muncul flavor dan warna yang tidak diharapkan serta waktu fermentasi menjadi sangat lama (Anonim, 2009b). Menurut Margono (1993), proses pengolahan sauerkraut adalah sebagai berikut: BAHAN 1. Sayuran (Kol atau sawi) 1 kg 2. Garam 50 gram 3. Air secukupnya ALAT 1. Pisau 2. Ember plastik kecil dan tutup 3. Lilin atau lem plastik 4. Botol selai dan tutup yang sudah disterilkan 5. Panci 6. Baskom CARA PEMBUATAN SAUERKRAUT: a. Layukan sayuran (kol/sawi) selama 1 malam; b. Buang daun sayuran (kol/sawi) bagian luar dan bagian-bagian yang rusak serta hatinya, lalu cuci; c. Iris tipis-tipis 2~3 mm, tulang daun sedapat mungkin tidak disertakan. d. Campurkan dengan garam 25 gram, aduk hingga rata kemudian masukkan ke dalam ember kecil sambil ditekan-tekan agar padat. Tutup dengan plastik serta diberi beban diatasnya; e. Tutup ember dengan penutupnya, lalu sepanjang lingkaran penutup dilem atau diberi lilin agar tak ada udara yang masuk; f. Biarkan peragian selama 2~3 minggu pada suhu ruangan, setelah itu pisahkan cairannya; g. Segera masukkan padatan sauerkraut tersebut ke dalam botol selai; h. Buat larutan garam dengan melarutkan garam 25 gram dalam 1 liter air dan aduk sampai rata. Panaskan hingga mendidih; i. Dalam keadaan panas masukkan larutan garam tersebut ke dalam botol selai yang telah berisi padatan sauerkraut (untuk padatan 1 kg memerlukan cairan sebanyak 1 liter). Kemudian tutup rapat; j. Rebus botol selai tersebut dalam air mendidih selama 30 menit, kemudian angkat dan dinginkan. SAYURAN KOL atau SAWI Dilayukan Diiris tipis 2-3 mm Dicampur dengan garam Ditutup dengan ember rapat-rapat ( 2-3 minggu) Ditiriskan Cairan Padatan Disaring Didinginkan Dipanaskan Di masukkan botol Cairan pengisi Dimasukkan dalam botol Larutan atau kaleng sauerkraut garam panas Minuman sauerkraut Dipanaskan 30 menit Didinginkan SAUERKRAUT Gambar 01. Diagram alir proses pembuatan sauerkraut III. METODE PRAKTIKUM A. Waktu dan Tempat Praktikum Aplikasi

Teknologi Pengolahan Hasil Nabati dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 06 Maret 2012 pukul 08.00-11.00 WITA. Bertempat di Laboratorium Pengolahan, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2012. B. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut : - pisau - toples - baskom timbangan analitik Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai berikut : - sawi hijau - garam - aluminium foil - air - plastik gula - tissue roll - sarung tangan plastik C. Prosedur Kerja Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum ini yaitu : 1. Didiamkan selama 1 malam sawi hijau yang telah dicuci bersih. 2. Dipisahkan bagian tengah sawi hijau dan diiris tipis-tipis daun sawi hijau. 3. Ditimbang daun sawi hijau 36,28 gram dan garam 4 % yaitu 1,45 gram. 4. Diremas daun sawi hijau bersama dengan garam sawi hijau hingga menjadi kering, tanpa air. 5. Dimasukkan kedalam kantong plastik. 6. Disiapkan kantong berisi air kemudian ditumpuklangsung dan menyentuh sawi. 7. Ditutup toples rapat dengan memastikan bahwa semua celahtelah diisi oleh kantong air. 8. Diinkubasi selama tiga hari. D. Parameter Pengamatan Parameter Pengamatan dari praktikum ini adalah - warna aroma - tekstur IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Hasil yang diperoleh dari praktikum dapat dilihat dari pada tabel sebagai berikut : Tabel 01. Hasil Pengamatan Sauerkraut setelah penyimpanan selama 3 hari Kelompok Parameter Warna Aroma Tekstur I Hijau Kehitaman Busuk Lunak II Hijau Busuk Keras III Hijau Sawi Lunak IV Hijau Busuk Keras V Hijau Busuk Lunak VI Hijau Busuk Lunak Sumber : Data Primer Hasil Praktikum Aplikasi Teknologi Hasil Nabati, 2012. Adapun perlakuan pada praktikum ini adalah sebagai berikut: I. Sawi hijau 45 gram + garam 2% II. Sawi hijau 21,57 gram + garam 2% III. Sawi hijau 37,13 gram + garam 3% IV. Sawi hijau 63,33 gram + garam 3% V. Sawi hijau 48,87 gram + garam 4% VI. Sawi hijau 36,28 gram + garam 4% B. Pembahasan Sawi yang digunakan pada pembuatan sauerkraut ini menjadi medium pertumbuhan bagi bakteri asam laktat. Sawi ini akan melakukan fermentasi bersama dengan garam yang akan menarik air dan zat gizi dari jaringan sayuran sebagai pelengkap subsrat untuk petumbuhan bakteri asam laktat yang terdapat pada permukaan daun-daun sawi. Bakteri asam laktat pada sawi ini akan memfermentasi gula-gula menjadi asam laktat melalui jalur glikolisis secara anaerob. Hal ini sesuai pernyataan (Tjahjadi, 2011), bahwa sayuran yang digunakan berfungsi sebagai bahan utama yang digunakan untuk pembuatan sauerkraut, selain itu sayuran juga mengandung zat-zat gizi untuk pertumbuhan mikroba dan mengandung bakteri asam laktat secara alami, sehingga dalam pembuatan sauerkraut tidak di tambahkan inokulum atau ragi. Proses pembuatan sauerkraut dimulai dengan, sawi dibersihkan dari bagian yang hijau,rusak atau yang kotor, dicuci dan kemudian diiris kecil-kecil selebar 1 mm. Bagian tengah (core) sawi dapat dibuang atau dibiarkan sebelum pemotongan kecil-kecil. Irisan sawi ini kemudian dimasukkan ke dalam tempat atau toples kaca yang selanjutnya ditambahkan 1,45 gram garam dan diaduk serata mungkin. Toples kemudian ditutup kantong yang berisi air yang cukup lebar untuk menutupi bagian tepi dari toples kaca. Air dimasukkan kedalam plastik ini yang berfungsi sebagai pemberat dan penutup yang efektif. Hal ini sesuai pernyataan Anonim (2009b),

bahwa tahapan pembuatan sauerkraut adalah penyiapan bahan baku, pelayuan agar air dari jaringan keluar, pemisahan bagian tidak terpakai, pencucian, penirisan, penyiapan larutan garam, pemasukan sawi ke dalam toples yang bersih dan steril, penuangan larutan garam ke dalam toples berisi sawi, dan diinkubasi selama 20 hari. Faktor yang menyebabkan gagalnya sauerkraut yakni konsentrasi garam yang ditambahkan terlalu tinggi mengakibatkan penundaan fermentasi secara alamiah serta menyebabkan warna menjadi gelap dan memungkinkan pertumbuhan khamir. Selain itu, suhu juga dapat menentukan keberhasilan pada pembuatan sauerkraut tersebut, suhu yang lebih rendah mengakibatkan pertumbuhan bakteri asam laktat menjadi lambat sehingga tumbuh mikroba yang lain yang menyebabkan produk menjadi busuk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tjahjadi (2011), bahwa pengaturan suhu yang sesuai untuk fermentasi agar fermentasi berlangsung dengan baik, suhu ruang harus berkisar 300 C. Bila suhunya rendah maka pertumbuhan bakteri asam laktat berlangsung lambat, sehingga tidak cukup banyak asam dihasilkan sehingga produk menjadi busuk. Warna yang dihasilkan pada pembuatan sauerkraut perlakuan VI diperoleh warna hijau. Warna hijau gelap pada sauerkraut ini diakibatkan karena penambahan garam yang terlalu banyak yaitu 1,45 gram (4%) sehingga proses fermentasi tidak berlagsung baik dan menunda pertumbuhan bakteri asam laktat secara alami yang diperlukan dalam pembuatan sauerkraut. Warna sauekraut yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan warna alami sawi yaitu hijau pucat. Hal ini sesuai pernyataan Marta (2011), bahwa jumlah garam yang ditambahkan harus memiliki perbandingan yang tepat yaitu berkisar antara 2,25-2,5% berat sawi untuk menghasilkan suerkraut yang berkualitas baik karena jika terlalu tinggi akan menunda fermentasi ilmiah sehingga menyebabkan warna menjadi gelap. Aroma sauerkraut yang dihasilkan perlakuan VI yakni berbau busuk. Hal ini disebabkan karena bakteri asam laktat yang tidak tumbuh maksimal sehingga tumbuhnya bakteri lain. Tidak maksimalnya pertumbuhan bakteri asam laktat karena suhunya tidak terkontrol dan berada di bawah suhu ruang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Marta (2011), bahwa bila suhunya rendah maka pertumbuhan bakteri asam laktat berlangsung lambat, sehingga tidak cukup banyak asam dihasilkan sehingga produk menjadi busuk. Pengaturan suhu yang sesuai untuk fermentasi agar fermentasi berlangsung dengan baik, suhu ruang harus berkisar 300 C. Tekstur yang dihasilkan pada perlakuan VI yakni lunak. Hal ini disebabkan oleh tumbuhnya mikroorganisme selain bakteri asam laktat yaitu tumbuhnya kapang dan khamir. Kapang dan khamir ini kandungan air dan garam yang berlebihan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Frazier dan Westhoff (1988), bahwa pelunakan pada sauerkraut berawal dari kerusakan flavour karena penyebab kerusakan yaitu khamir dan kapang masuk ke dalam seluruh bagian sauerkraut sehingga menjadi lunak. V. PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan dari praktikum ini adalah: 1. Proses pembuatan sauerkraut adalah pelayuan, pemisahan bagian yang rusak, pencucian, pemotongan, penambahan garam, penyimpanan dalam toples, penumpukan air dan fermentasi. 2. Penambahan garam pada pembuatan sauerkraut mempengaruhi pertumbuhan bakteri asam laktat. B. Saran Saran untuk praktikum selanjutnya agar dalam pengolahan sauerkraut di kontrol suhunya agar didapatkan produk sauerkraut yang berhasil dan hasil olahan sauerkraut sebaiknya dilakukan uji pH. DAFTAR PUSTAKA

III.

Anonim,2009a. Sawi Hijau. http://www.plantamor.com/index.php?album=225. Di akses tanggal 10 Februari 2012. Makassar. Anonim, 2009b. Sauerkraut (Pengawetan Sayuran). http://musicnot mustsick.blogspot.com/. Di akses tanggal 10 Februari 2012. Makassar. Anonim, 2011. Sawi Hijau. http://id.wikipedia.org/wiki/sawi-hijau. Di akses tanggal 10 Februari 2012. Makassar. Buckle, Kenneth, A., Edwards, Ronald A., Fleet, Graham, H., dan Wooton, Michael. 1987. Ilmu Pangan (Terjemahan). Universitas Indonesia : Jakarta. Frazier, W.C. dan D.C. Westhoff. 1988. Food Microbiology. McGraw.Hill, Inc,New York. Marta, Herlina. 2011. Pengantar Teknologi Pangan. Universitas Padjajaran, Bandung. Margono, Tri, Detty Suryati dan Sri Hartinah, Buku Panduan Teknologi Pangan. Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation, 1993. Tjahjadi, 2011. Teknologi Pengolahan Sayur dan Buah Volume II. PenerbitWidya Padjadjaran, Bandung.

LAPORAN 8 (Pengawetan Dengan Fermentasi)


V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Laporan ini akan membahas hasil praktikum pengawetan dengan fermentasi yang telah dilaksanakan pada tanggal 27 April 2011. Fermentasi adalah metode pengawetan bahan pangan yang paling kuno. Menurut Tjahjadi, C. dan Marta, H (2011), definisi modern untuk fermentasi saat ini adalah :
1. Proses disimilasi anaerobik senyawa-senyawa organik oleh aktivitas mikroorganisme atau ekstrak dari sel-sel tersebut antara lain fermentasi alkohol dan fermentasi asam laktat. 2. Reaksi oksidasi-reduksi di dalam sistem biologi yang menghasilkan energi, dengan senyawasenyawa oragnik berperan sebagai donor dan akseptor elektron.

Menurut Tjahjadi, C. dan Marta, H (2011), fermentasi memiliki berbagai manfaat pada makanan, yaitu :
1. Pengawet makanan zat-zat metabolit yang dihasilkan seperti asam laktat, asam asetat, etanol dan sebagainya yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk. 2. Penganekaragaman pangan. 3. Menginhibisi pertumbuhan mikroorganisme patogen.

4. Meningkatkan nilai gizi makanan.

Menurut Tjahjadi, C. dan Marta, H (2011), prinsip pengawetan dari metode fermentasi didasarkan pada :
1. Menggiatkan pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme penghasil alkohol dan asam organik. 2. Menekan/mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme proteolitik dan lipolitik oleh alkohol atau asam organik yang dihasilkan dan bila populasinya sudah tinggi melaui persaingan akan zat gizi yang terdapat pada substrat.

Menurut Tjahjadi, C., dkk (2011), berdasarkan sumber mikroorganisme yang digunakan, fermentasi pangan dibedakan atas :
1. Fermentasi spontan, yaitu tanpa penambahan starter/inokulum. 2. Fermentasi tidak spontan, yaitu dengan penambahan starter/inokulum.

Menurut Buckle, K. A., dkk (1985), fermentasi timbul sebagai hasil metabolisme tipe anaerobik. Untuk hidup semua organism membutuhkan sumber energi-energi diperoleh dari metabolism bahan pangan dimana organisme berada didalamnya. Bahan baku energi paling banyak digunakan di antara mikroorganisme adalah glukosa. Dengan adanya oksigen beberapa mikroorganisme mencerna glukosa dan menghasilkan air, karbondioksida dan sejumlah besar energy (ATP) yang digunakan untuk tumbuh. Ini adalah metabolisme tipe aerobik. Akan tetapi beberapa mikroorganisme dapat mencerna bahan baku energinya hanya sebagian yang dipecah. Pertumbuhan yang terjadi tanpa adanya oksigen sering dikenal sebagai fermentasi. Praktikum ini akan dilakukan fermentasi spontan dan tidak spontan. Pada fermentasi spontan dilakukan percobaan dengan membuat sauerkraut (kubis asin). Pada fermentasi tersebut tidak ditambahkan starter/inokulum karena bakteri asam laktat sudah ada pada daun sawi hijau dan daun kol. Sedangkan pada proses fermentasi spontan dilakukan percobaan membuat tempe dan tape. Pada fermentasi spontan selalu ditambahkan starter/inokulum. Jumlah dan aktivitas starter sangat berpengaruh terhadap proses fermentasi dan produk yang dihasilkan. 5.1 Pembuatan Sauerkraut (Kubis Asin) Kubis sebagai suatu komoditi dapat diawetkan dalam keadaan alami untuk waktu yang pendek (tiga atau empat bulan) atau dapat dilakukan dengan fermentasi bakterial yang dikendalikan dengan garam. Selama fermentasi, asam yang terbentuk bertindak sebagai suatu pengawet selain untuk mengembangkan suatu cita rasa yang dikehendaki. Sauerkraut adalah perkataan Jerman yang menyatakan rajangan kubis bergaram yang difermentasi di Eropa Barat (Desrosier, N. W., 1969). Praktikum kali ini pembuatan sauerkraut harus dilakukan sesuai prosedur. Prosedur pembuatan suauerkraut adalah:
1. Kubis disimpan 1-2 hari di udara terbuka agar layu, sehingga waktu diiris-iris kubis tidak hancur.

2. Kubis ditimbang, bagian daun paling luar dibuang, lalu dipotong menjadi 4 bagian. Empulurnya dipotong dan dibuang, lalu diiris setebal 1-2 mm. Berat kubis yang sudah diiris ditimbang lagi. 3. Irisan kubis dimasukkan ke dalam wadah, lalu ditambahkan garam 2,5% dari berat kubis untuk tiap kg kubis iris. Diaduk hingga rata dan dibiarkan 3-5 menit. 4. Dimasukkan ke dalam stoples dan pengisisan harus padat. Bila diinginkan boleh ditaburkan sedikit merica butiran dalam campuran ini. 5. Ditutupi dengan lembaran plastik diatasnya, lalu diletakkan pemberat di atasnya (kantong plastik berisi air). Maksudnya untuk mengurangi udara dalam irisan kubis. Disimpan dalam lemari atau ruangan gelap. 6. Setelah 2-3 hari, diamati apakah terbentuk cairan atau tidak. Bila selama fermentasi cairan tidak menutupi kubis, tambahkan larutan garam pada kubis hingga kubis terendam. Sauerkraut sudah jadi apabila warnanya berubah menjadi putih kekuningan merata, tembus cahaya, dan bebas dari bintik-bintik putih.

Hasil pengamatan sauerkraut dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Pembuatan Sauerkraut (Kubis Asin) Dengan Penambahan Merica
Hari keBerat (gram) 122 Garam Suhu ruang Lama fermentasi Tekstur Cita rasa Agak pahit Asin Warna

(gram)
Sebelum 3,675 25-30C 2 minggu Keras ++ Putih kehijauan Putih kehijauan Pucat + Pucat + Pucat ++ Pucat ++ Pucat ++ Pucat ++

Sesudah iris 2-3 hari 5 hari 7 hari 9 hari 11 hari 13 hari

108

Berair

Layu + Layu + Layu ++ Layu ++ Layu ++ Layu ++

Asin Asin Asin Asin Asin Asin

Tabel 2. Pembuatan Sauerkraut (Kubis Asin) Tanpa Penambahan Merica


Hari keBerat (gram) 122 Garam Suhu ruang Lama fermentasi Tekstur Cita rasa Agak pahit Asin Warna

(gram)
Sebelum 1,6 25-30C 2 minggu Keras ++ Putih kehijauan Putih kehijauan Pucat + Pucat + Pucat ++ Pucat ++ Pucat ++ Pucat ++

Sesudah iris 46

Berair

2-3 hari 5 hari 7 hari 9 hari 11 hari 13 hari

Layu + Layu + Layu ++ Layu ++ Layu ++ Layu ++

Asin Asin Asin Asin Asin Asin

Pembuatan sauerkraut tidak perlu ditambahkan mikroorganisme sebagai starter/inokulum atau ragi, karena bakteri asam laktat sudah ada pada kubis. Pertumbuhan dan aktivitas bakteri asam laktat (leuconostoc mesentroides, Lactobacillus plantarum, dan Lactobacillus brevis) dapat dirangsang secara selektif dengan adanya penambahan garam sebelum proses fermentasi berlangsung. Garam menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk, tetap bakteri yang dikehendaki masih dapat tumbuh pada kondisi tersebut. Selain itu garam juga menyebabkan cairan yang terdapat dalam sel-sel sayuran tertarik keluar melalui proses osmosis. Gula-gula dalam cairan tersebut merupakan makanan bagi bakteri asam laktat, yang selanjutnya diubah menjadi asam laktat. Asam laktat inilah yang berfungsi sebagai pengawet kubis asin. Kubis asin yang busuk disebabkan oleh penyimpanan pada suhu ruang yang kurang dari 300C. Pada suhu di bawah 300C pertumbuhan bakteri asam laktat berlangsung lambat sehingga tidak cukup banyak asam yang dihasilkan untuk dijadikan sebagai pengawet pada kubis asin (Tjahjadi, C., dkk, 2011).

Selama proses fermentasi, setelah beberapa hari terdapat kubis yang belum terendam larutan garam. Hal ini dapat mengakibatkan pertumbuhan khamir dan kapang pada permukaan yang menimbulkan flavor yang tidak diinginkan yang dapat masuk ke dalam seluruh sauerkraut menghasilkan produk yang lunak dan berwarna gelap (Buckle, K. A., dkk, 1985). Ketika diamati, selama proses fermentasi tampak tumbuh selaput putih mycoderma di atas larutan garam. Selaput ini harus dibuang secara hati-hati karena mikroorganisme tersebut menggunakan asam yang dihasilkan dalam proses fermentasi untuk keperluanyya sendiri, dan akibatnya mkroorganisme pembusuk tumbuh. Penambahan larutan garam dilakukan pada kubis yang belum terendam oleh cairan yang tertarik keluar dari sel-sel kubis melalui proses osmosis. Setelah sauerkraut jadi, bila ingin dikonsumsi sauerkraut harus di pasteurisasi terlebih dahulu (Tjahjadi, C., dkk, 2011). Penambahan merica pada fermentasi kubis asin berfungsi sebagai zat antimikroba. Zat antimikroba adalah senyawa yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Zat antimikroba dapat bersifat membunuh mikroorganisme (microbicidal) atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme (microbiostatic). dalam industri pangan zat antimikroba digunakan dalam teknik pengawetan makanan. Hal ini dikarenakan makanan dan minuman mengalami kerusakan karena aktivitas mikroorganisme. aktivitas mikroorganisme ini selain menyebabkan kerusakan juga dapat menghasilkan toksin yang mengakibatkan keracunan (Anonim, 2010). Merica mempunyai kemampuan menghambat terhadap jamur dan bakteri. Antimikroba yang berperan pada merica yaitu jenis capcaisin. Capcaisin merupakan komponen aktif dominan yang berperan terhadap aktivitas antimikroba merica. Merica juga terbukti efektif dapat melawan penyakit kolera. Dosis atau konsentrasi yang diperlukan untuk menghambat mikroorganisme yaitu sebesar 125g/ml. (Anonim, 2010). Adapun struktur kimia dari capcaisin adalah sebagai berikut:

5.2 Pembuatan Tempe Tempe merupakan makanan hasil fermentasi kapang dengan bahan dasar kacang kedelai. Jenis makanan ini sangat popular di Indonesia, terutama sebagai makanan sumber protein pengganti daging. Nilai gizi tempe dan nilai cerna yang tinggi, bahkan diketahui mengandung senyawa anti-mikroorganisme tertentu. Selain itu tempe mudah dicerna dibandingkan dengan bahan dasarnya kacang kedelai. Jenis kapang yang aktif dalam fermentasi tempe adalah Rhizopus oryzae dan Rhizhopus oligosporus. Praktikum kali ini pembuatan tempe harus dilakukan sesuai prosedur. Prosedur pembuatan tempe adalah sebagai berikut:

1. Kacang kedelai dipilh yang utuh dan bebas dari benda-benda asing. Kemudian dicuci sampai bersih. 2. Kacang kedelai direbus selama 30 menit setelah air mendidih. Dibiarkan dalam air perebusannya semalaman atau sekitar 16-18 jam. Bila kacang kedelai tidak terendam seluruhnya ditambahkan air. 3. Kulit kacang kedelai dikupas dengan cara digesek dengan tangan, dibuang kulit arinya, dan dicuci berkali-kali. 4. Kacang kedelai dikukus selama 30 menit, kemudian ditiriskan dan dipindahkan ke dalam tampah, lalu dibiarkan dingin hingga mencapai suhu kamar. 5. Ditambahkan laru tempe sebanyak 1 kg/kg kacang kedelai matang (untuk laru murni) atau 10 gr tepung laru tempe per kg kacang kedelai matang. Diaduk-aduk sampai tercampur rata. 6. Dibungkus dengan daun pisang dan plastik yang telah ditusuk jarum, kemudian disimpan selama 1-2 hari dalam lemari dan ditutupi dengan karung goni agar hangat dan dibiarkan hingga seluruh permukaan kacang kedelai tertutup miselium kapang.

Hasil pengamatan pembuatan tempe dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengamatan Tempe


TEMPE Sebelum dikukus Kuning (+) Khas kacang kedelai agak berbau gosong Menyengat Keras (++)

(2A)
Sesudah dukukus Sesudah 3 hari Kuning (++)

Keras (+)

Kuning ada sedikit Beraroma tempe Agak lunak putih dan hitam Kuning kecoklatan Khas kedelai (menyengat) Kuning putih ++

TEMPE

Sebelum dikukus

(4A)
Sesudah dukukus Sesudah 3 hari Lebih menyengat + Khas tempe +++

Pembuatan tempe termasuk fermentasi tidak spontan. Pada fermentasi tidak spontan selalu ditambahkan mikroorganisme sebagai inokulum/starter/ragi. Jumlah dan aktivitas starter sangat berpengaruh terhadap proses fermentasi tempe. Dalam pembuatan tempe kapang Rhizopus oryzae dan Rhizhopus oligosporus sebagiknya digunakan keduanya, karena berdasarkan atas

tingkat kemurniannya, inokulum atau laru tempe dapat dibedakan atas: inokulum murni tunggal, inokulum campuran, dan inokulum murni campuran. Adapun perbedaannya adalah pada jenis dan banyaknya mikroba yang terdapat dan berperan dalam laru tersebut. Sementara itu Rhizopus oryzae dan Rhizopus oligosporus termasuk ke dalam inokulum murni campuran, oleh karena itu keduanya harus dicampur dalam pengunaannya agar mendapatkan hasil yang maksimal (Tjahjadi, C. dan Marta, H., 2011). Spora kapang Rhizhopus oligosporus tumbuh pada kedelai dan membentuk benang-benang (miselium) yang mengikat biji-biji kedelai satu dengan lain sehingga didapatkan massa yang kompak. Fermentasi pada tempe dapat menghilangkan bau langu dari kedelai yang disebabkan oleh aktivitas dari enzim lipoksigenase. Beberapa sifat penting dari Rhizopus oligosporus antara lain meliputi: aktivitas enzimatiknya, kemampuan menghasilkan antibiotika, biosintesa vitaminvitamin B, kebutuhannya akan senyawa sumber karbon dan nitrogen, perkecambahan spora, dan penertisi miselia jamur tempe ke dalam jaringan biji kedelai. Proses pengupasan kulit ari dapat dilakukan sebelum atau sesudah perendaman. Pengupasan kulit ari perlu dilakukan karena dalam kulit ari tersebut mengandung senyawa anti jamur. Bentuk senyawa ini tidak disebutkan tetapi bersifat larut dalam air perendaman dan pemasakan, sehingga bila kedelai dikupas sebelum direbus maka kapang akan menghasilkan miselia yang baik dan menghasilkan bau yang disukai. Pada pengupasan kulit ari diusahakan keping biji kedelai terpisah karena penetrasi miselium kapang banyak terjadi pada permukaan yang datar daripada permukaan lengkung kedelai. Perendaman merupakan tahapan yang penting dalam proses pembuatan tempe. Dalam pertumbuhan kapang tempe membutuhkan substrat yang asam atau pH rendah kisaran 3- 6. Dan selama perendaman pH air turun dari 6,5 sampai 4,5-5,0. Perendaman dimaksudkan untuk menginaktifkan bakteri yang tidak diinginkan. Kedelai mengandung senyawa rafinosa dan stakiosa yang dapat menyebabkan perut kembung. Namun selama proses perendaman beberapa bakteri mampu merombak rafinoso dan stakiosa menjadi senyawa yang lebih sederhana, sehingga dapat mencegah terjadinya gangguan pencernaan dan perut kembung. Ragi tempe yang dipergunakan saat praktikum adalah Rhizopus oligosporus. Dalam proses inokulasi dibutuhkan tingkat kebersihan yang tinggi, karena pada tahap ini rentan sekali terjadi kontaminasi. Setelah kedelai diinokulasi kemudian dikemas untuk mengkondisikan sedikit oksigen sesuai kebutuhan kapang. Syarat kemasan tempe antara lain: dapat memberikan cukup oksigen yang dibutuhkan kapang, dan dapat memungkinkan pengeluaran uap air, sehingga air tidak menempel pada kedelai yang dapat mendorong pertumbuhan bakteri kontaminan. Pemeraman atau fermentasi dipengaruhi oleh suhu dan konsentrasi ragi. Semakin tinggi suhu fermentasi semakin cepat pertumbuhan kapang namun apabila suhu fermentasi mencapai lebih dari 40oC akan menghambat pertumbuhan kapang. Kemasan yang dipergunakan ada 2 macam, yaitu plastik dan daun pisang.

Kegagalan dalam pembuatab tempe dapat disebabkan pemberian inokulum yang tidak dilakukan secara aseptis sehingga terjadi kontaminasi dengan mikroorganisme lain. Pemberian inokulum pada kedelai harus dilakukan sampai inokulum tersebar merata pada kedelai (Tjahjadi, C. dan Marta, H., 2011).

5.3 Pembuata Tape Tape adalah jenis makanan hasil fermentasi alcohol dari bahan makanan sumber pati seperti beras, singkong, dan lain-lain dengan bantuan ragi. Ragi yang digunakan umumnya terdiri dari Mucor chlamidosporus, Endomycopsis fibuligera, dan Saccharomyces cerevisiae. Praktikum kali ini pembuatan tape harus dilakukan sesuai prosedur. Prosedur pembuatan tape adalah sebagai berikut:
1. Beras ketan dicuci hingga bersih, kemudian direndam selama 45 menit supaya beras ketannya lebih mekar. 2. Beras ketan dikukus selama 10 menit, kemudian dicuci kembali dengan air bersih. 3. Beras ketan dikukud hingga setengah matang, kemudian didinginkan di atas tampah yang bersih. 4. Ditaburi dengan ragi tape sampai benar-benar merata. Jumlah ragi yang dipakai 1% (10 kg/kg beras ketan). 5. Beras ketan dimasukkan ke dalam stoples bersih, kemudian ditutup rapat. Disimpan selama 2 hari di tempat yang gelap.

Hasil pengamatan fermentasi tape dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengamatan Fermentasi Tape


Warna TAPE Sebelum dikukus Sesudah dukukus Putih gading Putih keruh Aroma Khas beras Kekerasan +++

Khas beras matang ++

(1A)

Sesudah 3 hari

Putih kekuningan Khas tape

Lunak, berair (+)

TAPE

Sebelum dikukus Sesudah dukukus Sesudah 3 hari

Putih gading Lebih cerah

Khas beras

+++

(3A)

Khas beras ketan ++ + Keras (+++), mudah hancur Keras (+++), mudah hancur

Putih kekuningan Khas tape Putih susu Khas beras

TAPE

Sebelum dikukus

(5A)
Sesudah dukukus Agak kecoklatan (++) Agak kecoklatan (+++) Khas beras

Sesudah 3 hari

Khas tape (aroma Lunak (++), sangat mudah alkohol) hancur

Praktikum kali ini fermentasi tape menggunakan ragi Saccharomyces cerevisiae dan menggunakan beras ketan. Cita rasa tape yang manis dan sedikit asam dibentuk melalui serangkaian proses. Mula-mula Saccharomyces cerevisiae memecah pati menjadi dekstrin dan senyawa gula sederhana. Selanjutnya glukosa dan fruktosa dihidrolisis menjadi alkohol. Pada fermentasi lebih lanjut, alkohol membentuk ester yang merupakan komponen pembentuk cita rasa tape (Tjahjadi, C., dkk, 2011).

VI.

KESIMPULAN

Kesimpulan dari praktikum pengawetan dengan fermentasi kali ini adalah sebagai berikut:

Pembuatan sauerkraut tidak perlu ditambahkan mikroorganisme sebagai starter/inokulum atau ragi, karena bakteri asam laktat sudah ada pada kubis. Penambahan merica pada fermentasi kubis asin berfungsi sebagai zat antimikroba. Pada fermentasi tidak spontan selalu ditambahkan mikroorganisme sebagai inokulum/starter/ragi. Fermentasi pada tempe dapat menghilangkan bau langu dari kedelai yang disebabkan oleh aktivitas dari enzim lipoksigenase. Cita rasa tape yang manis dan sedikit asam dibentuk oleh Saccharomyces cerevisiae memecah pati menjadi dekstrin dan senyawa gula sederhana.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Anti Mikroba Alami Pada Rempah-Rempah. Available at http://mikahnamkul.blogspot.com/2010/06/anti-mikroba-alami-pada-rempah-rempah.html (diakses tanggal 16 Mei 2011 pukul 20:23 WIB)

Buckle, K. A., dkk. 1985. Ilmu Pangan. Penerjemah : Hari Purnomo dan Afiono. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.

Desrosier, N. W. 1969. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah: Muchji Mulijohardjo. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.

Tjahjadi, C. dan Marta, H. 2011. Pengantar Teknologi Pangan. Universitas Padjadjaran, Jatinangor.

Tjahjadi, C., dkk. 2011. Bahan Pangan dan Dasar-dasar Pengolahan. Universitas Padjadjaran, Jatinangor.

JAWABAN PERTANYAAN

1. Apa sebabnya pada pembuatan sayur asin tidak ditambahkan inokulum/ragi?

Karena pada daun sawi hijau sudah ada bakteri asam laktat (Lueconostoc mesentroides, Lactobacillus plantarum, dan Lactobacillus brevis) yang dapat dirangsang secara selektif dengan adanya penambahan garam sebelum proses fermentasi berlangsung.

1. Mengapa selama fermentasi selaput/busa di permukaan harus dibuang?

Karena selaput tersebut merupakan kapang Mycoderma yang menggunakan asam hasil proses fermentasi untuk keperluannya sendiri dan akibatnya mikroorganisme pembusuk tumbuh.

1. Apa yang dimaksud dengan starter?

Starter adalah bakteri/mikroorganisme awal yang berfungsi untuk menjalankan proses fermentasi.

1. Mengapa dalam pembuatan tempe, kapang Rhizopus oryzae dan Rhizopus oligospurus sebaiknya digunakan keduanya?

Karena berdasarkan atas tingkat kemurniannya, inokulum atau laru tempe dapat dibedakan atas: inokulum murni tunggal, inokulum campuran, dan inokulum murni campuran. Adapun perbedaannya adalah pada jenis dan banyaknya mikroba yang terdapat dan berperan dalam laru tersebut. Sementara itu Rhizopus oryzae dan Rhizopus oligosporus termasuk ke dalam murni campuran,oleh karena itu keduanya harus dicampur agar mendapatkan hasil yang maksimal.

You might also like