You are on page 1of 12

STRATEGI PROMOSI KESEHATAN 1.

Advokasi Advokasi (advocacy) adalah kegiatan memberikan bantuan kepada masyarakat dengan membuat keputusan ( Decision makers ) dan penentu kebijakan ( Policy makers ) dalam bidang kesehatan maupun sektor lain diluar kesehatan yang mempunyai pengaruh terhadap masyarakat. Dengan demikian, para pembuat keputusan akan mengadakan atau mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam bentuk peraturan, undang-undang, instruksi yang diharapkan menguntungkan bagi kesehatan masyarakat umum. Srategi ini akan berhasil jika sasarannya tepat dan sasaran advokasi ini adalah para pejabat eksekutif dan legislatif, para pejabat pemerintah, swasta, pengusaha, partai politik dan organisasi atau LSM dari tingkat pusat sampai daerah. Bentuk dari advokasi berupa lobbying melalui pendekatan atau pembicaraan-pembicaraan formal atau informal terhadap para pembuat keputusan, penyajian isu-isu atau masalah-masalah kesehatan yang mempengarui kesehatan masyarakat setempat, dan seminar-seminar kesehatan. .( Wahid Iqbal Mubarak, Nurul Chayantin2009 ). Advokasi Kesehatan, yaitu pendekatan kepada para pimpinan atau pengambil kebijakan agar dapat memberikan dukungan masksimal, kemudahan perlindungan pada upaya kesehatan ( Depkes 2001). Menurut para ahli retorika Foss dan Foss et. All 1980, Toulmin 1981 (Fatma Saleh 2004), advokasi suatu upaya persuasif yang mencakup kegiatan-kegiatan penyadaran, rasionalisasi, argumentasi dan rekomendasi tindak lanjut mngenai sesuatu. Organisasi non pemerintah (Ornop) mendefensisikan Advokasi sebagai upaya penyadaran kelompok masyarakat marjinal yang sering dilanggar hak-haknya (hukum dan azasi). Yang dilakukan dengan kampanye guna membentuk opini public dan pendidikan massa lewat aksi kelas ( class action) atau unjuk rasa. 1) Tujuan Advokasi

Tujuan umum advokasi adalah untuk mendorong dan memperkuat suatu perubahan dalam kebijakan, program atau legislasi, dengan memperkuat basis dukungan sebanyak mungkin. 2) Fungsi Advokasi

Advokasi berfungsi untuk mempromosikan suatu perubahan dalam kebijakan program atau peraturan dan mendapatkan dukungan dari pihak-pihak lain. 3) a) Persyaratan untuk Advokasi Dipercaya (Credible), dimana program yang ditwarkan harus dapat meyakinkan para penentu kebijakan

atau pembuat keputusan , oleh karena itu harus didukung akurasi data dan masalah. b) Layak (Feasible), program yang ditawarkan harus mampu dilaksanakan secara tehnik prolitik maupun

sosial. c) d) Memenuhi Kebutuhan Masyarakat (Relevant) Penting dan mendesak (Urgent), program yang ditawarkan harus mempunyai prioritas tinggi

4). Pendekatan kunci Advokasi a). Melibatkan para pemimpin/ pengambil keputusan b). Menjalin kemitraan c). Memobilisasi kelompok peduli. 2. Kemitraan

Di Indonesia istilah Kemitraan (partnership) masih relative baru, namun demikian prakteknya di masyarakat sebenarnya sudah terjadi sejak saman dahulu. Sejak nenek moyang kita telah mengenal istilah gotong royong yang sebenarnya esensinya kemitraan. Robert Davies, ketua eksekutif The Prince of Wales Bussines Leader Forum (NS Hasrat jaya Ziliwu, 2007) merumuskan, Partnership is a formal cross sector relationship between individuals, groups or organization who : Work together to fulfil an obligation or undertake a specific task Agree in advance what to commint and what to expect o Review the relationship regulary and revise their agreement as necessary, and

Share both risk and the benefits

Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kemitraan adalah suatu kerjasama formal antara individu-individu, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu. Dalam kerjasama tersebut ada kesepakatan tentang komitmen dan harapan masing-masing, tentang peninjauan kembali terhadap kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat,dan saling berbagi baik dalam resiko maupun keuntungan yang diperoleh. Dari definisi ini terdapat tiga (3) kata kunci dalam kemitraan, yakni: a) b) c) Kerjasama antar kelompok, organisasi dan Individu Bersama-sama mencapai tujuan tertentu ( yang disepakati bersama ) Saling menanggung resiko dan keuntungan

Pentingnya kemitraan (partnership) ini mulai digencarkan oleh WHO pada konfrensi internasional promosi kesehatan yang keempat di Jakarta pada tahun 1997. Sehubungan dengan itu perlu dikembangkan upaya kerjasama yang saling memberikan manfaat. Hubungan kerjasama tersebut akan lebih efektif dan efisien apabila juga didasari dengan kesetaraan. Mengingat kemitraan adalah bentuk kerjasama atau aliansi, maka setiap pihak yang terlibat didalamnya harus ada kerelaan diri untuk bekerjasama dan melepaskan kepentingan masing-masing, kemudian membangun kepentingan bersama.Oleh karena itu membangun kemitraan harus didasarkan pada hal-hal berikut: a) Kesamaan perhatian (Commont interest) atau kepentingan

b) Saling mempercayai dan menghormati c) Tujuan yang jelas dan terukur

d) Kesediaan berkorban baik waktu, tenaga maupun sumber daya yang lain. 2. Prinsip, Landasan dan Langkah Dalam Pengembangan Kemitraan Dalam membangun Kemitraan ada tiga (3) prinsip kunci yang perlu dipahami oleh masing-masing anggota kemitraan (NS Hasrat jaya Ziliwu, 2007), yakni : a) Equity (Persamaan) Individu, organisasi atau Individu yang telah bersedia menjalin kemitraan harus merasa duduk sama rendah berdiri sama tinggi.Oleh sebab itu didaam vorum kemitraan asas demokrasi harus diutamakan, tidak boleh satu anggota memaksakan kehendak kepada yang lain karena merasa lebih tinggi dan tidak ada dominasi terhadap yang lain. b) Transparancy (Keterbukaan)

Keterbukaan maksudnya adalah apa yang menjadi kekuatan atau kelebihan atau apa yang menjadi kekurangan atau kelemahan masing-masing anggota harus diketahui oleh anggota lainnya.Demikian pula berbagai sumber daya yang dimiliki oleh anggota yang Satu harus diketahui oleh anggota yang lain. Bukan untuk menyombongkan yang satu tehadap yang lainnya, tetapi lebih untuk saling memahami satu dengan yang lain sehingga tidak ada rasa saling mencurigai.Dengan saling keterbukaan ini akan menimbulkan rasa saling melengkapi dan saling membantu diantara anggota. c) Mutual Benefit ( Saling menguntungkan )

Menguntungkan disini bukan selalu diartikan dengan materi ataupun uang, tetapi lebih kepada Non materi.Saling menguntungkan disini lebih dilihat dari kebersamaan atau sinergitas dalam mencapai tujuan bersama. Tujuh (7) landasan, yaitu : saling memahami kedudukan, tugas dan fungsi (kaitan dengan struktur); saling memahami kemampuan masing-masing (kapasitas unit/organisasi); saling menghubungi secara proaktif (linkage); saling mendekati, bukan hanya secara fisik tetapi juga pikiran dan perasaan (empati, proximity); saling terbuka, dalam arti kesediaan untuk dibantu dan membantu (opennes); saling mendorong/mendukung kegiatan (synergy); dan saling menghargai kenyataan masing-masing (reward). Enam (6) langkah pengembangan : penjajagan/persiapan, penyamaan persepsi, pengaturan peran, komunikasi intensif, melakukan kegiatan, dan melakukan pemantauan & penilaian.

1. Peran Dinas Kesehatan dalam Pengembangan Kemitraan di Bidang Kesehatan.


Beberapa alternatif peran yang dapat dilakukan, sesuai keadaan, masalah dan potensi setempat adalah : a) b) c) d) e) f) g) Initiator : memprakarsai kemitraan dalam rangka sosialisasi dan operasionalisasi Indonesia Sehat. Motor/dinamisator : sebagai penggerak kemitraan, melalui pertemuan, kegiatan bersama, dll. Fasilitator : memfasiltasi, memberi kemudahan sehingga kegiatan kemitraan dapat berjalan lancar. Anggota aktif : berperan sebagai anggota kemitraan yang aktif. Peserta kreatif : sebagai peserta kegiatan kemitraan yang kreatif. Pemasok input teknis : memberi masukan teknis (program kesehatan). Dukungan sumber daya : memberi dukungan sumber daya sesuai keadaan, masalah dan potensi yang ada.

1. Indikator Keberhasilan
a) Indikator input

Jumlah mitra yang menjadi anggota. b) Indikator proses :

Kontribusi mitra dalam jaringan kemitraan, jumlah pertemuan yang diselenggarakan, jumlah dan jenis kegiatan bersama yang dilakukan, keberlangsungan kemitraan yang dijalankan. c) Indikator output :

Jumlah produk yang dihasilkan, percepatan upaya yang dilakukan, efektivitas dan efisiensi upaya yang diselenggarakan. 3. Pemberdayaan Masyarakat ( Empowerment )

Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata power (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekannkan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai suatu yang tidak berubah atau tidak dapat dirubah. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi. Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antara manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial. Karena itu, kekuasaan dan hubungan kekuasaaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal :

1. Bahwa kekuasaan dapat berubah, Jika kekuasaan tidak dapat berubah pemberdayaan tidak mungkin
terjadi dengan cara apapun.

2. Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak
statis, melainkan dinamis. Pemberdayaan (Empowernment) adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat, utamanya Eropa. Untuk memahami konsep pemberdayaan secara tepat dan jernih memerlukan upaya pemahaman latar belakang kontekstual yang melahirkannya. Konsep tersebut telah begitu meluas diterima dan dipergunakan, mungkin dengan pengertian presepsi yang berbeda satu dengan yang lain. Penerimaan dan pemakaian konsep tersebut secara kritikal tentulah meminta kita mengadakan telaah yang sifatnya mendasar dan jernih. Konsep pemberdayaan mulia Nampak disekitar decade 70-an, dan kemudian berkembang terus sepanjang decade 80-an dan sampai decade 90-an atau akhir abad ke-20 ini. Diperkirakan konsep ini muncul bersamaan dengan aliran-aliran seperti Eksistensialisme, Phenomelogi, Personalisme, kemudian lebih dekat dengan gelombang New-Marxisme, freudialisme, aliran-aliran seperti Sturktualisme dan Sosiologi Kritik Sekolah Frankfurt serta konsep-konsep seperti elit, kekuasaan, anti-astabilishment, gerakan populasi, anti-struktur, legitimasi, ideology, pembebasn dan konsep civil society (Pranarka & Moeljarto, 1996). Istilah Pemberdayaan masyarakat tidak menganut pendekatan mobilisasi tetapi partisipatif. Pada pendekatan partisipatif ini, perencana, agents dan masyarakat yang dijadikan sasaran pembangunan bersama-sama merancang dan memikirkan pembangunan yang diperlukan oleh masyarakat (Sairin, 2002) Pemberdayaan masyarakat (community empowerment) kini telah dijadikan sebuah strategi dalam membawa masyarakat dalam kehidupan sejahtera secara adil dan merata. Strategi ini cukup efektif memandirikan masyarakat pada berbagai bidang, sehingga dibutuhkan perhatian yang memadai. Oleh kerena itu, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Achmad Suyudi mengingstruksikan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menggerakkan masyarakat melakukan upaya-upaya pencegahan penyakit (http://www.depkes.go.id/ ). Pemberdayaan masyarakat secara umum lebih efektif jika dilakukan melalui program pendampingan masyarakat (community organizing and defelopment), karena pelibatan masyarakat sejak perencanaan (planning), pengorganisasian (Organising), pelaksanaan (Actuating) hingga evaluasi atau pengawasan (Controlling)

program dapat dilakukan secara maksimal. Upaya ini merupakan inti dari pelaksanaan pemberdayaan masyarakat (Halim, 2000). Pelibatan masyarakat melalui pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen; perencanaan (Planning),

pengorganisasiaa.n (Organising), pelaksanaan (Actuating) hingga evaluasi atau pengawasan ( Controlling) program atau biasa disingkat POAC telah diadopsi untuk program-program bidang kesehatan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan derajad kesehatan masyarakat (Notoadmojo, 2003). 1. Perencanaan (Planning) Perencanaan adalah suatu kegiatan atau proses penganalisaan dan pemahaman system, penyusunan konsep dan kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan demi masa depan yang baik (Notoadmojo, 2003) Beberapa batasan tentang perencanaan yang penting diketahui :

1. Perencanaan adalah kemampuan untuk memilih suatu kemungkinan yang tersedia dan yang dipandang
paling tepat untuk mencapai tujuan

2. Perencanaan adalah pekerjaan yang menyangkut penyusunan konsep serta kegiatan yang akan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan demi mas depan yang lebih baik

3. Perencanaan adalah upaya menyusun berbagai keputusan yang bersifat pokok yang dipandang paling
penting dan yang akan dilaksakan menurut urutannya guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan

4. Perencanaan adalah proses menetapkan pengarahan yang resmi dan menetapkan berbagai hambatan
yang dipikirkan dan dalam menjalankan suatu pogram guna dipakaisebagai pedoman dalam suatu organisasi

5. Perencanaan adalah proses kerja yang terus menerus yang meliputi pengambilan keputusan yang
bersifat pokok dan penting dan yang akan dilaksakan secara sistematik, melakukan perkiraan-perkiraan dengan mempergunakan segala pengetahuan yang ada tentang masa depan, mengorganosir secara sistematik segala upaya yang dipandang perlu untuk melaksanakan segala keputusan yang telah ditetapkan, serta mengukur keberhasilan dalam pelaksanaan segala keputusan tersebut dengan membandingkan hasil yang dicapai terhadap target yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan umpan balik yang diterima dan yang telah disusun secara teratur dan baik 2. Pengorganisasian (Organizing) Pengorganisasian adalah pengkordinasian kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan suatu institusi, guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perencanaan mencakup; hal yang diorganisasikan, proses pengorganisasian dan hasil pengorganisasian (Notoadmojo, 2003). Peranan fungsi pengorganisasian sangat penting karena apabila fungsi pengorganisasian telah berhasil dilaksakan, maka berbagai hal yang tercantum dalam suatu rencana ( paln), telah mendapat pengaturan, sehingga siap dilaksakan (Azwar, 1996). Beberapa batasan tentang pengorganisasian yang penting diketahui ialah:

1. Pengorganisasian adalah pengelompokan berbagai kegiatan yang diperlukan untuk melaksanakan suatu
rencana sedemikian rupa sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan memuaskan.

2. Pengorganisasian adalah pengaturan sejumlah porsonil yang dimilki untuk memungkinkan tercapainya
suatu tujuan yang telah disepakati dengan jalan mengalokasikan masing-masing fungsi dan tanggung jawab.

3. Pengorganisasian adalah pengkordinansiaan secara sosial bebagai kegiatan dari sejumlah orang tertentu
untuk mencapai tujuan bersama melalui pengaturan pembagian kerja dan fungsi menurut penjengjangannya secara bertanggung jawab.

1. Pelaksanaan (Actuating)
Setelah perencanaan (Planning) dan pengorganisasian (Organizing) selesai dilakukan, mak selanjutnya selanjutnya yang akan ditempuh adalah pelaksanaan (Actuating). Tahapan pelaksanaan ini tidak mudah karena dalam melaksanakan aktivitas yang dimaksud, memerlukan suatu keterampilan khusus (Azwar, 2003). Dalam pelaksanaan suatu rencana, seorang administrator dan ataupun menejer, perlu menguasai berbagai pengetahuan dan keterampilan yang jika disederhanakan dapat dibedakan atas enam macam, yakni:

1. Pengetahuan dan keterampilan motivasi (motivation) 2. Pengetahuan dan keterampilan komunikasi (communication) 3. Pengetahuan dan keterampilan kepemimpinan (leadership) 4. Pengetahuan dan keterampilan pengarahan (directing) 5. Pengetahuan dan keterampilan pengawasan (controlling) 6. Pengetahuan dan keterampilan supervise (supervition)
Pada tahapan ini keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan Karena masyarakat potensi yang siknifikanyang bias menggerakkan program. Di sisi lain,jika masyarakat tidak dilibatkan maka mereka akan apatis bahkan menghambat program yang dikembangkan.

1. Pengawasan (Conrolling)
Fungsi majemen yang tidak kalah pentingnya adala pengawasan (controlling). Perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan yang tidak diikuti pengawasan maka niscaya akan mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan pokok dan fungsi pengawasan adalah agar kegiatan-kegiatan dan orang-orang yang melakukan kegiatan yang telah direncanakan tersebut dapat berjalan dengan baik. Masyarakat dalam konteks pengawasan memiliki posisi strategis. Masyarakat adalah massa yang bias melakukan pengawasan yang ketat sekaligus yang bias mendukung kegiatan secara meyakinkan. Dalam era transisi selama ini, masyarakat adalah pengawas yangpaling diharapkan. Pengawasan adalah suatu proses untuk mengukur penampilan kegiatan atau pelaksanaan kegiatan suatu program yang selanjutnya memberikan pengarahan-pengarahan sehingga tujuanyang telah ditetapkan dapat tercapai. Agar pengawasan dapat berjalan dengan baik, sekurang-kurangnya tiga hal yang perlu diperhatikan, yakni; obyek pengawasan, metode pengawasan, dan proses pengawasan. Pemberdayaan masyarakat merupakan issu strategis dalam upaya kesehatan, namun pelaksanaan belum seprti yang diharapkan. Oleh karena itu, salah satu poin dalam visi pelaksanaan pembangunan kesehatan kita adalah

mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat, dengan pertimbangan bahwa kesehatan adalah tanggungjawab bersama setiap individu, masyarakat, pemerintah, dan swasta. Apapun peran yang dijalankan oleh perintah, tanpa kesadaran individu dan masyarakat untuk secara mandiri menjaga kesehatan mereka, hanya sedikit yang akan dicapai. Perilaku sehat dan kemampuan untuk memilih atau memanfaatkan pelayanan kesehatan yang bermutu sangat menentukan dalam pembangunan kesehatan. Oleh Karena itu salah satu upaya kesehatan pokok atau misi sector kesehatan adalah mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat (Depkes RI, 1999). Dalam bidang kesehatan, Pelaksanaan Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu upaya meningkatkan kemampuan masyarakat guna mengangkat harkat hidup, martabat dan derajat kesejahteraan, dan meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyrakat agar dapat mengembangkan diri dan memperkuat sumber daya yang dimiliki untuk mencapai kemajuan (Leksono, 2004). Dalam pelaksanaan program-program pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan, perlu diperhatikan karakteristik masyarakat setempat yang dapat dikelompokkan sebagai nerikut :

1. Masyarakat Pembina (Carring community)


Yaitu, masyarakat yang peduli keseatan, misalnya; LSM kesehatan, Organisasi Profesi yang bergerak dibidang kesehatan.

1. Masyarakat Setara (Coping Community)


Yaitu masyarakat yang karena kondisinya kurang memadai sehinnga tidak dapat memelihara kesehatannya. Misalnya seorang ibu sadar akan pentingnya pemeriksaan diri, tetapi karena keterbatasan ekonomi dan tidak adanya transportasi sehingga si ibu tidak pergi kesarana pelayanan kesehatan.

1. Masyarakat Pemuda ( Crisis Response Community)


Yaitu masyarakat yang tidak tahu akan pentingnya kesehatan dan belum didukung oleh fasilitas yang tersedia. Misalnya, masyarakat yang berdomisili di lingkungan kumuh dan daerah terpencil (Soekanto, 2002) Program pemberdayaan masyarakat pada bidang kesehatan kini telah banyak dikembangkan, baik oleh pemerintah maupun swasta terutama olek LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Pembangunan Indonesia Sehat 2010,yakni pengutamaan upaya-upaya promotif dan preventif. Pendekatan promosi kesehatan inovatif, berbasis trias epidemiologi dan proses psikologis komunikatif guna menyadarkan dan memotivasi masyarakat untuk mampu hidup sehat dan menghindari deritan disability serta ancaman kematian (Ngatimin, 2003) 2. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat

1. Pemerdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung
(Jim Ife, 1995 dalam Edi Suharto, 2006).

2. Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi
dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembagalembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh

keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Persons, 1994 dalam Edi Suharto 2006).

3. Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur
social (Edi Suharto 2006).

4. Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar
mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984). 3. Kelompok Lemah dan Ketidakberdayaan Tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi internal (misalnya persepsi mereka sendiri), maupun karena kondisi eksternal (misalnya ditindas oleh struktur social yang tidak adil). Guna melengkapi pemahaman mengenai pemberdayaan perlu diketahui konsep mengeni kelompok lemah dan ketidakberdayaan yang dialaminya. Beberapa kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah atau tidak berdaya meliputi : (Edi Suharto, 2006).

1. Kelompok lemah secara structural, baik lemah secara kelas, gender, maupun etnis. 2. Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, gay dan lesbian,
masyarakat terasing.

3. Kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah pribadi dan/ atau keluarga.
Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu masyarakat, seperti masyarakat kelas social ekonomi rendah, kelompok minoritas etnis, wanita, populasi lanjut usia, serta para penyandang cacat, adalah orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan. Keadaan dan perilaku mereka yang berbeda dari keumuman kerapkali dipandang sebagai deviant (penyimpang). Mereka seringkali kurang dihargai dan bahkan dicap sebagai orang yang malas, lemah yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal ketidakberdayaan mereka seringkali merupakan akibat dari adanya kekurangadilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu. Menurut Berger dan Nenhaus dan Nisbet (Edi Suharto, 2006), struktur-struktur penghubung (mediating structures) yang memungkinkan kelompok-kelompok lemah mengekspresikan aspirasi dan menunjukkan kemampuannya terhadap lingkungan social yang lebih luas, kini cenderung melemah. Munculnya industrialisasi yang melahirkan spesialisasi kerja dan pekerjaan mobile telah melemahkan lembaga-lembaga yang dapat berperang sebagai struktur penghubung antara kelompok masyarakat lemah dengan masyarakat luas. Organisasi-organisasi sosial, lembaga-lembaga keagamaan (mesjid, gereja), dan lembaga keluarga yang secara tradisional merupakan lembaga alamiah yang dapat member dukungan dan bantuan informal, pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan para anggotanya, cenderung semakin melemah peranannya. Oleh karena itu, seringkali sistem ekonomi yang diwujudkan dalam berbagai bentuk pembangunan proyek-proyek fisik, selain di satu pihak mampu meningkatkan kualitas hidup sekelompok orang, jnuga tidak jarang malah semakin meminggirkan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.

Ketidakberdayaan merupakan hasil dari pembentukan interaksi terus menerus antara individu dan lingkungannya yang meliputi kombinasi antara sikap penyalahan diri sendiri, perasaan yang tidak dipercaya, keterasingan dari sumber-sumber sosial dengan perasaan tidak mampu dalam perjuangan. Ketidakberdayaan dapat bersumber dari faktor internal maupun eksternal. ketidakberdayaan dapat berasal dari penilaian diri yang negative, interaksi negative dengan lingkungan yang lebih besar ( Edi Suharto, 2006).

1. Penilaian diri yang negative. Ketidakberdayaan dapat berasal dari adanya sikap penilaian negative yang
ada pada diri seseorang yang terbentuk akibat adanya penilaian negative dari orang lain. Misalnya wanita atau kelompok minoritas merasa tidak berdaya karena mereka telah disosialisasikan untuk melihat diri mereka sendiri sebagai orang yang tidak memiliki kekuasaan tidak setara dalam masyarakat.

2. Interaksi negative dengan orang lain. Ketidakberdayaan dapat bersumber dari pengalaman negative
dalam interaksi antara korban yang tertindas dengan system di luar mereka yang menindasnya. Sebagai contoh, wanita atau kelompok minoritas seringkali mengalami pengalaman negative dengan masyarakat di sekitarnya. Pengalaman pahit ini kemudian menimbulkan perasaan tidak berdaya, misalnya rendah diri, merasa tidak mampu, merasa tidak patut bergabung dengan organisasi social dimana mereka berada.

3. Lingkungan yang lebih luas dapat menghambat peran dan tindakan kelompok tertentu. Situasi ini dapat
mengakibatkan tidak berdayanya kelompok yang tertindas tersebut dalam mengekspresikan atau menjangkau kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Misalnya kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok gay atau lesbian dalam memperoleh pekerjaan dan pendidikan. 4. Indikator Keberdayaan Menurut Kieffer (1981), pemberdayaan mencakup tiga dimensi yang meliputi kompetensi kerakyatan, kemampuan sosiopolitik, dan kompetensi partisipatif. Parsons (1994) juga mengajukan tiga dimensi pemberdayaan yang merujuk pada : (Edi Suharto, 2006)

1. Sebuah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual yang kemudian berkembang
menjadi sebuah perubahan social yang lebih besar.

2. Sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya diri, berguna dan mampu mengendalikan
diri dan orang lain.

3. Pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan social, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi
orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menekan (Parsons,1994). 5. Konsep Pemberdayaan Masyarakat (Empowerment) a. Konsep Masyarakat Terdapat dua kelompok teori, yaitu : a). Kelompok teori dengan perspektif sistem ekologi, b). Kelompok teori dngan perspektif system social. Perspektif sistem ekologi mengarah pada penjelasan tentang masyarakat sebagai kesatuan individu yang tinggal pada wilayah geografis tertentu. Oleh karena itu , fokus penjelasan persfektif

sistem ekologi meliputi : besar masyarakat, kepadatan, keanekaragaman, lingkungan fisik, organisasi dan struktur sosial, serta tehnologi yang digunakan masyarakat. Adapun persfektif sistim sosial menjelaskan tentang sistim pengorganisasian dalam masyarakat, menggali interaksi antara subsistem dalam masyarakat (yang meliputi aspek ekonomi, politik), secara horizontal didalam masyarakat, secara vertikal dengan masyarakat yang lain, dengan masyarakat yang lebih besar . Pemberdayaan masyarakat telah menjadi arus utama dalam model pembangunan dibanyak Negara dan masyarakat. Berdasarkan telaah tentang model-model pembangunan yang dialami banyak Negara termasuk Indonesia, terdapat 6 pendekatan utama pembangunan, yaitu pendekatan pertumbuhan, pendekatan pertumbuhan dan pmerataan, paradigma ketergantungan, tata ekonomi internasional baru, pendekatan kebutuhan pokok, dan pendekatan kemandirian. (Notoatmodjo, 2005). Berbagai pendekatan pembangunan diatas, selain menunjukkan adanya hasil-hasil tertentu, tetapi ternyata juga masih ada keterbatasan. Apalagi bahwa jika ditelaah terdapat berbagai sumber keterbelakangan, yang tidak mudah untuk dinyatakan apakah factor tersebut sebagai hasil, sebagai penyebab,atau variable antara. Meskipun demikian , bias dikatakan terdapat paling tidak 6 sumber keterbelakangan masyarakat, yaitu :1) Kebodohan, 2) Kekakuan tradisi, 3) Penduduk yang tidak terampil, 4) Konsumtif, 5) tidak mampu alih teknologi/waralaba, dan salah penempatan/penggunaan dibawah kemampuan. Dalam negara yang sedang berkembang terdapat siklus keadaan yang merupakan suatu lingkaran yang tidak berujung yang menghambat perkembangan masyarakat secara keseluruhan. Secara sederhana lingkaran tersebut terdiri dari keadaan sosial ekonomi rendah yang mengakibatkan ketidakmampuan dan ketidaktahuan, yang secara otomatis mengakibatkan produktifitas juga ikut rendah. Dan selanjutnya juga membuat keadaan sosial ekonomi semakin rendah dan seterusnya. (Notoatmodjo, 2005). Dalam masyarakat itu sendiri sebenarnya terdapat suatu dinamika yang membuat mereka mampu bertahan dalam keadaan yang sulit dan hal itu sebenarnya merupakan potensi yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sampai seberapa jauh potensi ini berkembang dapat terlihat dari keadaan perkembangan masyarakat itu sendiri. Pada masyarakat yang sudah berkembang maka hal ini menunjukkan bahwa mereka telah dapat memanfaatkan potensi yang mereka miliki, sedangkan pada masyarakat yang belum berkembang berarti mereka belum banyak memanfaatkan potensi yang mereka miliki. Secara sederhana dinamika masyarakat ini dapat digambarkan sebagai sebuah piringan berputar. Kecepatan tertentu akan membuat pringan tersebut bergerak naik dan kecepatan di bawah batas tertentu akan membuat pringan tersebut bergerak naik dan kecepatan di bawah batas tertentu akan membuat piringan tersebut bergerak turun. Proses pengembangan masyarakat merupakan usaha untuk memberikan percepatan kepada piringan tersebut agar bergerak naik. Dari perumpamaan secara sederhana tersebut dapat dibayangkan bahwa gerakan naik akan terjadi jika daya putar piringan tersebut ditingkatkan atau diberi daya dari luar pada saat dan dengan cara yang tepat. Dan jelaslah pula kiranya bahwa proses pengembangan masyarakat harus bertitik tolak dari dinamika yang sudah dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, setiap usaha yang bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan dinamika masyarakat, hendaknya menempuh langkah-langkah sebagai berikut : a) Ciptakan kondisi agar potensi setempat dapat dikembangkan dan dimanfaatkan. Potensi ini serigkali tidak

dapat digunakan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatkarena adanya berbagai hambatan. Diperlukan

kemampuan mengenal hambatan-hambatan ini untuk selanjutnya bersama masyarakat menciptakan suatu kondisi agar potensi yang sudah ada dapat dimanfaatkan untuk peningkatan taraf hidup. b) Pertinggi mutu potensi yang ada. Tergalinya potensi setempat harus diikuti dengan peningkatan mutu agar dapat diperoleh manfaat yang optimal. Ini dapat dilakukan dengan jalan mengikutsertakan masyarakat setempat sejak awal kegiatan hingga pelaksanaan dan perluasan kegiatan, dengan mengadakan kegiatan pendidikan non formal. c) Usahakan kelangsungan kegiatan yang sudah ada. Terjemahanya kegiatan sebagai wujud pemanfaatan

potensi yang ada bukanlah suatu tujuan akhir. Harus diusahakan agar kegiatan tersebut tidak berhenti di sana saja tetapi diikuti dengan kegiatan lain sebagai hasil daya cipta masyarakat. Untuk itu maka setiap kegiatan harus menimbulkan kepuasan agar timbul gairah dan daya cipta; harus dipilih kegiatan-kegiatan yang mempunyai kelanjutan; serta diadakan latihan untuk pembentukan kader dan diikuti dengan usaha meningkatkan keterampilannya. d) Tingkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Tujuan akhir daripada usaha meningkatkan

dinamika masyarakat adalah agar sebagai hasil proses pengembangan dapat ditingkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. b. Persiapan Sosial Kehidupan masyarakat desa yang tidak mempunyai media massa cenderung tidak menyadari waktu. Karena itu dalam masyarakat yang terisolir pengetahuan merupakan kekuatan dalam arti orang yang berumur dianggap orang yang berpengetahuan sehingga orang tersebut mendapatkan semacam kekuasaan karena merekalah yang mengetahui hal-hal yang sakral, serta norma-norma yang sudah merupakan hukum. Dalam masarakat demikian maka komunikasi terutama berfungsi untuk menyimpan dan meneruskan pengetahuan pada generasi berikutnya. Bila alat-alat media massa masuk ke desa maka akan terjadi revolusi yaitu revolusi konsep-konsep mengenai kehidupan, idea dan revolusi masyarakat itu sebagai sistem. Komunikasi merupakan suatu proses pemberian idea ataupun kebutuhan dari sikomunikator kepada sipenerima. Dalam komunikasi massa yang terjadi hanya komunikasi satu arah karena sipenerima tidak bisa memberikan umpan balik secara langsung sehingga tidak ada dialog. Dalam hal ini perlu sekali diperhatikan oleh komunikator apa-apa yang harus disampaikan yang kira-kira sesuai dengan keinginan penerima.Agar suatu program dapat berjalan dengan baik, persiapan-persiapan yang harus dilakukan bukan hanya pada aspek-aspek teknis program itu sendiri seperti misalnya biaya dan material yang diperlukan tetapi juga harus ikut dipersiapkan lingkungan masyarakat dimana program itu akan dilaksanakan. Tujuan dari persiapan sosial ini adalah agar masyarakat ikut berpatisipasi secara aktif sejak awal kegiatan hingga fase pelaksanaan dan pembinaan program. Dalam persiapan sosial ini, ada tiga tahap yang harus dilalui, yaitu:1). Tahap pengenalan masyarakat, 2). tahap pengenalan masalah, dan 3). Tahap penyadaran masyarakat. Dalam pelaksanaan ketiga tahapan tersebut, bukanlah merupakan tahap-tahap yang secara tegas terpisah satu sama lain, tetapi merupakan tahap yang saling tumpang tindih (over lapping). c. Partisipasi dan Peranan Organisasi Lokal Partisipasi yang bertanggung jawab sebaiknya dimiliki setiap organisasi lokal. Partisipasi dapat dicapai bila mengetahui dengan jelas apa yang diharapkan dari kegiatan yang dilakukan.Dengan sendiriya dibutuhkan pembagian tugas pada masing-masing anggota dalam organisasi tersebut. Setiap organisasi lokal memiliki massa, memiliki pimpinan dan program. Setelah dapat memberikan motivasi kepada pimpinan, serta memiliki

program yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat, maka dapatlah dilakukan penggerakan massa berdasarkan program tersebut. Pemberian tanggung jawab penuh pada organisasi lokal sangat penting dalam rangka partisipasi masyarakat dalam suatu program berupa pemberian fasilitas fisik seperti pemanfaatan ruang untuk pertemuan, alat-alat transportasi, pemondokan, dan sebagainya. Serta pemberian fasilitas non fisik seperti mekanisme kontrol, dukungan moral, bantuan tenaga dan pikiran, dan sebagainya.

Referensi: http://id.wikipedia.org/wiki/promosi kesehatan, diakses tanggal 25 September 2008 Iqi, Iqbal, 2008, Promosi Kesehatan, dalam http://iqbal-iqi.blogspot.com, diakses tanggal 15 Oktober 2008. Kapalawi, Irwandi, 2007, Tantangan Bidang Promosi Kesehatan Dewasa Ini , dalam Irwandykapalawi.wordpress.com, diakses tanggal 25 September 2008. Tawi, Mirzal, 2008, Pemberdayaan Masyarakat dalam Promosi Kesehatan , diambil tanggal dari 15

http://syehaceh.wordpress.com/2008/05/13/pemberdayaan-masyarakat-dalam-promkes, Oktober 2008 Taylor, Shelley E., 2003, Health Psychology, 5th edition, New York: McGraw Hill.

diakses

WHO, 1986, The Ottawa Charter for Health Promotion, Geneva: WHO, dari http://www.who.int/health promotion/conferences/previous/ottawa/en/, diakses tanggal 25 September 2008. WHO, 1998, Health Promotion Glossary, Geneva: WHO

You might also like