You are on page 1of 31

1.

TEORI KONFLIK

Konflik adalah unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Karena konflik memliki fungsi positif, maka konflik menjadi dinamika sejarah manusia (karl marx 1880/2003; Ibnu Khaldum, 1332-1406), selanjutnya konflik beralaih sampai pada bagian proses pemenuhan kebutuhan manusia. Manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentang, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa. Dalam proses itulah terkadang kita diperhadapkan pada berbagai masalah baik itu menyangkut tentang diri pribadi maupun dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Dalam masyarakat tumbuh berbagai kepentingan yang begitu komplekss dan memerlukan tindakan tertentu dalam pemenuhannya. Keadaan yang saling berbenturan terkadang harus membutuhkan penyelesaian yang rumit dan membutuhkan waktu yang lama. Timbulnya perbedaan pandangan dan paradigma dari masingmasing kelompok yang ada memicu munculnya ertikaian dan sengketa dalam diri mereka. Kejadian itulah yang di subut konflik. Konflik selalu erat kaintannya dengan kehidupan manusia yang menganut paham sosialis. Sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia yang lainnya sering kali terjadi salah penafsiran terhadap simbol atau makna yang disampaikan. Karena melalui komunikasi yang kurang harmonis dari masing-masing anggota masyarakat itulah yang akan menjadi pemicu terjadinya konflik. Sejarah menunjukan bahwa sejak mulai dari proses penciptaan manusia pertama (Adam) konflik sudah mulai terjadi. Ketika itu iblis yang diperintah oleh sang Khalik untuk dan patuh kepada adam dengan lantang dan jelas iblis menolak dan tidak mengakui bahwa Adam adalah makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Iblis dengan beraninya bersumpah selama manusia ada di muka bumi maka selama itu pula ia akan menjadi musuh manusia yang nyata. Toeri konflik dipaparkan dalam rangka untuk memahami dinamika yang terjadi di dalam masyarakat. Dengan adanya perbedaan kekuasaan dan sumber daya alam yang langka dapat membangkitkan pertikaian (konflik) di masyarakat. Kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda dalam sistem sosial akan saling mengejar tujuan yang berbeda dan saling bertanding. Hal ini sesuai dengan pandangan Lock Wood, bahwa kekuatan kekuatan yang saling berlomba

dalam mengejar kepentingannya akan melahirkan mekanisme ketidakteraturan sosial (social disorder). Para teoritis konflik memandang suatu masyarakat terikat bersama adalah kekuatan kelompok atau kelas yang dominan. Para fungsionalis menganggap nilai-nilai bersama (consensus) sebagai suatu ikatan pemersatu, sedangkan bagi teoritis konflik, consensus itu merupakan ciptaan dari kelompok atau kelas dominan untuk memaksakan nilai-nilai. A. Sejarah Lahirnya Konflik Masyarakat selalu mengalami perubahan sosial baik pada nilai dan strukturnya baik secara revolusioner maupun evolusioner. Perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh gerakan-gerakan sosial dari individu maupun kelompok sosial yang menjadi bagian dari masryarakat. Gerakan sosial dalam sejarah masyarakat dunis bisa munculdalam bermacammacam bentuk kepentingan, seperti mengubah struktur hubungan sosial, mengubah pandangan hidup, dan kepentingan merebut kepentingan politik (kekuasaan). Sesungguhnya konflik itu dilahirkan oleh perubahan-perubahan sosial dan dinamika gerakan sosial dari masa klasik samapai masa kontemporer. Sumber konflik itu sendiri dapat dikaji dari teori perjuangan kelas yang dikemukakan oleh Karl Marx . Menurutnya sejarah manusia itu dipenuhi oleh perjuangan kelas. Antara kebebasan dan perbudakan, bangsawan dan kampungan, tuan dan pelayan, Kepala serikat pekerja dan tukang. Dengan kata lain posisi penekan dan yang ditekan selalu bertentangan (konflik) dan tidak terputus. (The Manifesto dikutip dari PPB A Suhelmi 269). Perjuangan kelas bersifat inheren dan terus menerus. Penekanan itu dapat berupa penindasan. Marx juga melihat bahwa perkembangan selalu terjadi dalam konflik kelas yang terpolarisasi antara kelas yang bersifat saling menindas. Hubungan antara kelas ini menurut Marx akan menciptakan Antagonisme kelas yang melahirkan krisis revolusioner. Revolusi yang dimaksud oleh Marx tentunya bukan revolusi damai, melainkan revolusi yang bersifat kekerasan. (PBB A Suhelmi 270). Konflik terjadi karena adanya penindasan yang dilakukan oleh kaum borjuis yang memiliki alatalat produksi kepada kaum proletar atau buruh yang bekerja untuk para borjuis. Penindasan ini akhirnya menyebabkan frustasi dan keteransingan. Keterasingan ini selanjutnya akan melahirkan revolusi proletariat yang berujung pada lahirnya konflik. B. TEORI KONFLIK KLASIK

Tokoh-tokoh sosiologi konflik klasik, seperti Ibnu Khladun (1332-1406), Karl Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1879-1912), Max Weber (1964-1920), dan George Simmel (1858-1981) mempunyai peran besar dalam meletakan mainstream teori sosial secar umum dan memperngaruhi mempengaruhi konflik keontemporer pada khususnya. Berikut diuraian gagasan pemikiran tokoh-tokoh tersebut. Ibnu Khaldun merupakan seorang ilmuan sosial dari Afrika di abad ke-14. masa Khaldun ditandai oleh dinamika konflik perebutan kekuasaan oleh kelompok-kelompok yang hidup di zaman itu. Masa itu ditandai kemunculan kelompok-kelompok yang memperebutkan kekuasaan dalam negara kekhalifahan. Sehingga negara sering berada dalam keadan ketidakstabilan politik. Kondisi inilah yang mempengaruhi pemikiran sosiologi konflik Ibnu Khladun. Ibnu Khaldun memperlihatkan bagaiman dinamika konflik dalamsejarah menusia sesungguhnya ditentukan oleh keberadaan kelompok sosial yang berbasis pada identitas, golongan, etnis, maupun tribal. Kelompok sosial dalam struktur sosial mana pun dalam masyarakat dunia memberi kontribusi terhadap berbagai konflik. Hal ini dipengaruhi oleh sifat manusia yang sama dengan hewan. Nafsu adalah kekuatan hewani yang mempu mendorong berbagai kelompok sosial menciptakan berbagai gerakan untuk memenangi (to win) dan menguasai (to rule) (Susan, 2009: 30). Wallace dan Wolf menengarai tiga prinsip utama dalam sosiologi konflik Marx, (1) manusia secara alamiah memilki angka kepentingan, (2) konflik dalam sejarah dan masyarakat kontemporer adalah akibat benturan kepentingan kelompok sosial, (3) marx melihat keterkaitan ideologi dan kepentingan. Max Weber sejalan dengan filsafat Marx yang melihat ada kepentingan alamiah dalam setiap diri manusia. kepentingan alamiah inilah yang menodorng manusai untuk terus bergerak menciptakan tujuan-tujuan dan nilai-nilai dalam masyarakat. Turrner dalam Susan (2009: 35) menyatakan bahwa perbedaan teoritis antara Weber dan Marx terlihat dari komitmen metodologi Weber yang mengikuti individualisme, sosiologi sebagai perspektif interpretatif pada tindakan sosial, sedangkan Marx mengacu pada epidemologi realis, strukturalisme, dan materialisme sejarah sebagai ilmu pengetahuan dari era produksi. Weber menciptakan tipe idel tindakan sosial untuk memahami pola dalam sejarah dan masyarakat kontemporer, ia menciptakan tipe ideal dan tindakan, hubungan sosial dan kekuasaan (Power). Weber mengklasifikasi tindakan individu kedalam empat tipe ideal yaitu : Zwecrational, Ini berkaitan dengan means, and ends, yaitu tujuan-tujuan dicapai dengan

menggunakan alat atau cara (means), perhitungan cepat dan bersifat matematis. Wertrational, tindakan nilai yang berdasarkan pada alat atau caranya tetapi nilai atau moralitas misalnya.Tindakan afektif, individu didominasi oleh sisi emotional. Dan yang terakhir Tindakan traditional, traditional adalah tindakan pada suatu kebiasaan yang dijunjung tinggi sebagai system nilai yang diwariskan dan dipelihara bersama (Campbell, 1994) Konflik muncul dalam setiap entitas stratifikasi sosial. Setiap staratifikasi adalah posisi yang pantas diperjuangkan oleh manusia dan kelompoknya. Sehingga mereka memperoleh posisi yang lebih tinggi. Untuk itulah relasi-relasi sosial diwarnai oleh usaha-usaha untuk meraih posisi-posisi tinggi dalam stratifikasi sosial. Usaha tersebut bisa dibaca sebagai bentuk dan kombinasi berbagai tipe ideal tindakan. Weber berpendapat bahwa ada tiga tipe ideal relasi hubungan sosial, yaitu hubungan sosial tradisonal-komunal, sosial konflik, dan asosialisasi. (Susan, 2009: 36) Yang menarik dari sosiologi konflik Max Weber adalah unsur dasar dari setiap tipe hubungan sosial, yaitu power. Pada banyak kasus terjadi kombinasi kepentingan dari setiap unsur stratifikasi sosial sehingga menciptakan dinamika konflik. Berikut diuraikan pokok-pokok pikiran dari para tokoh yang melihat konflik sebagai tatanan kehidupan sosial. Pemikiran Marx cenderung determinis ekonomi dan Weber masuk menimbang aspek tindakan, kemudian di Perancis pada kurun waktu yang sama Emile Durkheim memberikan perhatian di luar pemikiran marx dan Weber, pada apa yang disebutnya sebagai fakta sosial (social fact). Fakta sosial bersifat eksterioti, yang berada di luar atau eksternal, dan memaksa terhadap tindakan individu-individu. Konsep pemikiran Durkheim dapat dipahami melalui pembagian masyarakat ke dalam masyarakat mekanik dan organik. Masyarakat mekanik mempunyai conscience colletive, kesadaran umum. Bentuk masyarakat yang berkesadaran kolektif ini seperti kelompok etnis tradisonal dan kelompok tribal. Sedangakan kesadaran organik bersifat lebih kompleks dimana individu-indivudu terhubung satu sama lain atas dasar fungsi kebutuhan. (Susan, 2009:38). Secara umum pandangan-pandangan para ahli tentang fenomena konflik fdapat disimpulka bahwa Ibnu Khaldun dan Karl Marx berhasil memperlihatkan konflik kelompok dan kelas sosial. Konflik ini mempengaruhi dinamika masyarakat dalam sejarah perkembangan masyarakat. Seperti pembagian struktur sosial Marx yang determinisme ekonomi. Max Webwer berhasil memberi analisis mengenai startifikasi yang lebih luas dalam bidang ekonomi, status,

dan politik. Weber memperlihatkan konflik adalah manifestasi tindakan manusia yang ingi meraih posisi-posisi dalam setiap stratifikasi sosial tersebut. Emile Durkheim memberi analisis pada fakta sosial. Selanjutnya, Simmel bisa dikategorikan sebagai pelopor sosiologi konflik melalui analisis akademisnya menganai sosialisasi dan fungsi konflik dalam masyarakat. C. TEORI KONFLIK KONTEMPORER Teori konflik kontemporer adalah refkleksi dari ketidakpuasan terhadap fungsioanalisme struktural Tallcot Parsons dan Robert K. Merton, yang berlebihan dalam menilai masyarakat dengan paham konsesus dan integralistiknya. Jika kalangan fungsionalis melihat adanya saling ketergantungan dan kesatuan di dalam masyarakat dan hukum atau Undang-undang sebagai sarana untuk meningkatkan integrasi sosial maka kalangan penganut teori konflik justru melihat masyarakat merupakan arena dimana satu kelompok dengan yang lain saling bertarung untuk memperebutkan power dan mengontrol bakan melakukan penekanan dan juga melihat hukum atau undang-undang itu tidak lain merupakan cara yang digunakan untuk menegakkan dan memperkokoh suatu ketentuan yang menguntungkan kelompok-kelompok lainnya. Menyadari beragamnya konlik yang timbul, maka konflik kontemporer dibagi menjadi empat aliran, yakni mazhab positivis, mazhab humanis, mazhab kritis, dan mazhab multidisipliner. 1. Mazhab Positivis Mazhab positivis di sebut sebagai sosiologi konflik makro. Ada dua ciri utama dari mazhab ini: (1) generalisasi teori bisa berlaku secara universal, (2) melihat konlik sebagi bagian dari dinamika gerakan struktural. A. Konflik Kekuasaan Ralf Dahrendorf membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu tentang elite dominan, dari pada pengaturan kelas dan managemen pekerja, dari pada modal dan buruh (Mc quarie, 1995:66) Bagi Dahrendorf konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Setiap individu atau kelompok yang tidak terhubung dengan sistem tidak akan mungkin terlibat dalam konflik. Ia menyebutnya sebagai integrated into a common frame reference lebih lanjut lagi ia

menyatakan bahwa unit analisis dalam sosiologi konflik karena keterpaksaan yang menciptakan organisasi-organisasi sosial bisa bersama sebagai sistem sosial (Dahrendorf 1959: 164-165). Selanjutnya, Dahrendorf menyebut teori konfliknya sebagai sosiologi konflik dialektis yang menjelaskan proses terus menerus distribusi kekuasaan dan wewenang diantara kelompokkelompok terkoordinasi. Sehingga kenyataan sosial bagi Dahendorf merupakan siklus tak berakhir dari adanya wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem sosial. B. Fungsi Positif konflik Lewis Coser adalah salah satu pelopor sosiologi konflik struktural. Ia lahir dari keluarga Yahudi di Jerman pada tahun 1913. Ia menjadi anggota gerakan mahasiswa sosialis di jerman pada masa Hitler dan arena itulah ia harus meninggalkan Jerman. Ia tinggal di Perancis tanpa pekerjaan dan selalu dalam kondisi kelaparan. Ia berinisiatif belajar studi komparatif di Universitas Sorbonne Perancis yang kemudian menjadikannya seorang sosiolog terkemuka Menurut Coser, koflik tidak hanya berwajah negatif. Konflik memiliki fungsi positif terhadap masyarakat melalui perubahan-perubahan yang diakibatkannya. Pendapat ini sesungguhnya berangkat dari sosiologi konflik Simmel,konflik itu sesunggunya menunjuk dirinya sebagai suatu factor positif bisa disebutkan bahwa dalam banyak kasus sejarah. Coser dalam (Susan, 2009: 56) memberikan perhatian terhadap asal muasal konflik sosial, sama seperti pendapat Simmel, bahwa ada keagresifan atau bermusuhan dalam diri orang (Hostile feeling) tetapi Coser Hostile feeling belum tentu menyebabkan konflik terbuka (over conflict) sehingga ia menambahkan unsur perilaku permusuhan (hostile behavior). Perilaku permusuhan inilah yang menyebabkan masyarakat mengalami situasi konflik. Coser membedakan dua tipe dasar konflik yaitu konflik realities dan non realistis. Konflik realistis memiliki sumber yang kongkret atau bersifat material seperti perebutan ekonomi dan wilayah sedangkan konflik non realistis adalah didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis. 2. Mazhab Humanis Teori sosiolgi humanis secara umum berkembang sebagai respons terhadap analisis makro fungsionalisme structural. Ritzer mentipekan aliran ini sebagai sosiologi mikro seperti aliran etnometodologi di Granfikel dan interaksionisme simbolis oleh Jon Dewey, Herbert Mead, dan Erving Goffman (Ritzer, 2000). Aliran ini sangat mungkin dimanfaatkan untuk menganalisis

konflik masyarakat. Terutama konflik mikro atau konflik antar individu dan individu terhadap kelompok. Hal ini tidak lepas dari kunci analisis interaksionisme simbolis menekankan pada individu, simbol (bahasa dan makna), dan dunia sosial. C. Konstruksi sosial konflik Studi konflik dalam perspektif konstruksi sosial merupakan langkah cukup menantag, dan beresiko. Karena analisis proses sosial ini akan mengeksplor konflik dengan memasukkan analisis proses sosial (historisme) dari kenyataan masyarakat atau proses dialektika kenyataan sosial. Konstruksi sosial dalam sosiologi merupakan kajian yang berkembang dari sosiologi pengetahuan yang melihat konflik sebagai manifestasi sosial dari dialektika kenyataan. Perspektif konstruksi sosial dikembangkan secara khusus oleh seseorang sosiologi perdamaian bernama John Paul Lederach. Lederach memusatkan analisis konfliknya pada dinamika bahasa dalam struktur hubungan sosial. Ada tujuh asumsi yang ditulisnya dalam Preparing fo rpeace conflict transformation across culture (1996:9-10) yaitu: 1. Konflik sosial dipahami sebagai hal yang alamiah: suatu pengalaman-pengalaman umum yang hadir di setiap hubungan dan budaya 2. Konflik dipahami sebagai kejadian konstruktif kebudayaan secara sosial 3. Konflik muncul melalui proses interaktif yang melandaskan pada pencarian dan penciptaan makna bersama 4. Proses interaktif disempurnakan melalui dan diakarkan dalam persepsi manusia, interpretasi, ekspresi dan niatan-niatan 5. Pemaknaan muncul sebagaimana manusia meletakkan diri mereka sendiri dan sesuatu sosial seperti situasi kejadian, dan tindakan di dalam pengetahuan terkumpul mereka 6. Kebudayaan berakar di dalam pengetahuan bersama dan skema-skem yang digunakan oleh sekelompok orang untuk merasakan, menafsirkn mengekspresikan dan merespons kenyataan sosial disekitar mereka. 7. Pemahaman hubungan konflik sosial dan budaya tidak hanya satu pertanyaan sensitif dari kesadaran.

D. Pendekatan Konflik Komunal Menurut Giddes dalam (Susan, 2009: 84) menyatakan persoalan konflik dalam

masyarakat juga mendapatkan perhatian dari para pengamat etnisitas dan ras sebagai satu kelompok identitas dan kepentingan mereka dalam struktur sosial. Analisis disebut pendekatan primodial yang melihat konflik sebgai akibat dari pergesaran kelompok kepentingan identitas, seperti identitas berbasis etnis dan keagamaan. Teori ini memahami konflik sebagai akibat bertemunya berbagai budaya, ras, dan geografis yang melahirkan identitas dan

ketidaksetiakawanan. Menurut isaach pendekatan konflik primodial melihat identitas etnis, ras, agama, bahasa, dan lain-lainnya adalah kuat atau stabil, tak bisa diubah, yang terbetuk melalui proses yang panjang sehingga hanya bisa hilang dalam waktu yang lama pula. Kesadaran budaya yang terbangun di dalam komunitas etnis melalui institusi dasar seperti keluarga, keyakinan kelompok, loyalitas dimana individu lahir sebagai anggotanya menjadi fondasi yang sangat kuat dan sulit untuk dihilangkan. E. JENIS DAN TIPE KONFLIK Pada dasarnya ada dua jenis konflik, pertama, dimensi vertikal atau konflik atas, yang dimaksud adalah konflik antara elit dan massa (rakyat). Elite di sini bisa para pengambil kebijakan di tingkat pusat, kelompok bisnin atau para militer. Hal yang menonjol dalam konflik ini adalah digunakannya instrumen kekerasan negara, sehingga timbul korban dikalangan massa. Kedua, konflik horizontal, yakni konflik yang terjadi di kalangan massa (rakyat) sendiri. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir (sejak pertengahan 90-an), setidak-tidaknya dirasakanada dua jenis konflik horizontal, yang tergolong besar pengaruhnya: (1) konflik antara agama, khususnya antara kelompok agama Islam dan dan kelompok agama Nasrani (protestan dan katolik). Konflik jenis mengemuka di berbagai daerah, seperti Ambon, jakarta, dan beberapa daerah lainnya. (2) konflik antara suku. Khususnya antara suku jawa dan di luar pulau jawa. Selain itu muncul pula kasus seperti konflik antara suku Madura dengan suku Melayu di Kalimantan Barat, dan lainlain. Selain jenis konflik kita perlu menganal istilah tipe konflik yang akan menggambarkan persoalan sikap, perilaku, dan situasi yang ada. Tipe-tipe konflik terdiri dari tanpa konflik, konflik laten, konflik terbuka, dan konflik dipermukaan (Fisher, 2001). Tanpa konflik

menggambarkan situasi yang tampak stabil, hubungan-hubungan antara kelompok bisa saing memenuhi dan damai. Konflik laten adalah suatu keadaan yang didalamnya terdapat banyak persoalaan, sifatnya tersembunyi dan, perlu diangkat kepermukaan agar bisa ditangani. Kehiudpan masyarakat yang tampak stabil belum merupakan jaminan bahwa di dalam masyarakat tersebut tidak terdapat permusuhan atau pertentangan. Kenyataan ini kita temukan dalam masyarakat Orde Baru. Masyarkat Orba tampak harmonis, damai dan kecilnya tingkat pertentangan diantara angotaanggota masyarakat baik dalam dimensi ekonomi, etnis, maupun agama. Akan tetapi, di balik stabilitas, keharmonisan, dan perdamaian tersebut ternyata tedapat konflik laten yang begitu besar. Hal ini terbuktikan ketika Orba dan struktur kekuasaanya runtuh, berbagai konflik laten dalam dimensi etnis, keaagamaan, dan separatisme merbak seperti jamur di musim hujan. Konflik terbuka adalah situasi ketika konflik sosial telah muncul kepermukaan yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. Kasus konflik di Ambon (1999), di Kalimantan Barat (1999) dan juga di Poso Sulawesi. Pada situasi konflik terbuka muncul pihak-pihak berkonflik yang semakin banyak dan aspirasi yang berkembang cepat bagaikan epidemi. Konflik dipermukaan: memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi (dialog terbuka). Contoh dari konflik dipermukaan ini bisa kita lihat perkelahian antar SMA, kekerasan yang muncul sering kali hanya disebabkan kesalhpahaman komunikasi. Saling melirik ketika mereka berpapasan di jalan bisa menjadi permasalahan yang berkembang ke tawuran massal.

2. TEORI SISTEM
Teori merupakan seperangkat pernyataan-pernyataan yang secara sistematis berhubungan atau sering dikatakan bahwa teori adalah sekumpulan konsep, definisi, dan proposisi yang saling kait-mengait yang menghadirkan suatu tinjauan sistematis atas fenomena yang ada dengan menunjukkan hubungan yang khas di antara variabel-variabel dengan maksud memberikan eksplorasi dan prediksi. Di samping itu, ada yang menyatakan bahwa teori adalah sekumpulan pernyataan yang mempunyai kaitan logis, yang merupakan cermin dari kenyataan yang ada mengenai sifat-sifat suatu kelas, peristiwa atau suatu benda.

Teori harus mengandung konsep, pernyataan (statement), definisi, baik itu definisi teoretis maupun operasional dan hubungan logis yang bersifat teoretis dan logis antara konsep tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori di dalamnya harus terdapat konsep, definisi dan proposisi, hubungan logis di antara konsep-konsep, definisidefinisi dan proposisi-proposisi yang dapat digunakan untuk eksplorasi dan prediksi. Kata sistem dipergunakan untuk menunjukkan banyak hal. Namun secara garis besarnya Shrode dan Voich (1974) melihat bahwa suatu sistem memiliki konotasi penting. Pertama, menunjuk pada suatu benda (entitas) atau benda yang memiliki tata aturan atau susunan struktural dari bagian-bagiannya, seperti mobil, lembaga pemerintahan. Kedua, menunjuk pada suatu rencana, metode, alat, atau tata cara untuk mencapai sesuatu (Amrin, 1986). Shrode dan Voich (1974 : 122) mengemukakan pengertian sistem sebagai berikut: : a sistem is a set of interrelated parts, working independently and joinly, in pursuit of common objectives of the whole , within a complexs environment. (Amrin, 1974 : 11).

Suatu sistem adalah serangkaian bagian-bagian yang saling berhubungan, bekerja dengan bebas dan bersama-sama dalam pencapaian tujuan umum keseluruhan, dalam suatu lingkungan yang kompleks. Pengertian yang dikemukakan oleh Shrode dan Voich ini merupakan pengetian yang cukup lengkap, mengungkapkan unsur-unsur penting sebagai berikut: 1) Sistem merupakan serangkaian bagian-bagian; 2) yang saling berhubungan: 3) bagian bagian tersebut bekerja dengan bebas dan bersama-sama; 4) untuk mencapai tujuan bersama; 5) di dalam lingkungan yang rumit. Ciri-ciri penting sebuah sistem adalah: 1) Sistem terdiri dari subsistem; 2) Mempunyai tujuan atau sasaran; 3) Di antara subsistem mempunyai hubungan saling tergantung (saling membutuhkan) dan merupakan satu kebulatan yang utuh; 4) Mempunyai kemampuan mengatur dan menyesuaikan diri sendiri; mempunyai batas (boundaries) dengan lingkungannya. Batas ini tidak berarti bahwa sistem tersebut tertutup dari pengaruh luar, melainkan untuk menunjukkan keberadaannya di antara lingkungan. A. Teori Sistem Argument dari teori sistem adalah bahwa hubungan dari bagian-bagian tidak dapat diperlakukan diluar konteks keseluruhan. Teoritisi sistem menolak ide bahwa masyarakat atau komponen masyarakat berskala luas lainnya harus diperlakukan sebagai fakta sosial yang menyatu. Sebaliknya, fokusnya adalah pada hubungan dari proses-proses pada tingkat yang bervariasi di dalam sistem sosial. Buckley mendefinisikan fokus tersebut: Jenis sistem yang kami minati bisa dideskripsikan secara umum sebagai susunan elemen-elemen

atau komponen-komponen secara langsung atau tidak langsung berkaitan didalam jaringan kausal sedemikian rupa sehingga masing-masing komponen dikaitkan dengan setidaknya beberapa komponen lain dalam cara yang kurang lebih stabil didalam periode waktu (Buckley, 1967:41). Pengertian tentang sistem yang telah diuraikan sebelumnya diharapkan dapat membantu untuk memahami teori sistem yang ada di dalam sosiologi, paling tidak mengetahui tokoh-tokoh sosiologi yang menggunakan pendekatan sistem. Tokoh-tokoh sosiologi yang menggunakan pendekatan sistem antara lain adalah Aguste Comte, Herbert Spenser, Emile Durkheim, Karl Mark, Talcott Parsons, dan lain-lain. Berikut akan dikemukakan beberapa tokoh sosiologi yang menggunakan pendekatan sistem. 1. Auguste Comte. Comte melihat sistem dalam hal adanya saling ketergantungan, kerjasama, ikatan-ikatan sosial, misalnya yang terjadi di dalam pembagian kerja ekonomi. Semakin luas pembagian kerja, maka semakin tinggi individualisme, tetapi juga semakin tinggi saling ketergantungan. Di dalam analisis masyarakat, Comte mengatakan bahwa masyarakat seperti organisme hidup. Ini dapat diartikan bahwa di dalam dinamika hidup, tumbuh dan berkembangnya masyarakat itu berlaku konsep sistem sehingga masyarakat itu terus berlangsung dan dapat bertahan sebagaimana kelangsungan hidup organisme. Setiap bagian unsur akan saling mempengaruhi, saling memerlukan, saling mengisi, saling melengkapi dalam satu kesatuannya. Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik yang kenyataannya lebih daripada sekedar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung (Johnson, 1986: 82). Perspektif organik tersebut berpendapat bahwa masyarakat sebagai suatu organisme hanya dapat dimengerti secara totalitas bukan pada saat sebagai suatu kenyataan kumolan individu-individu. Adanya saling ketergantungan dan interaksi menghasilkan fenomena-fenomena dan arti

yang lebih tinggi karena individu-individu yang berkumpul menjadi lebur dalam kesatuan kelompok masyarakat. Tentang stabilitas sosial, Comte berpendapat bahwa saling ketergantungan yang harmonis diantara bagian-bagian yang terdapat dimasyarakat memberikan sumbangan pada stabilitas sosial. Keteraturan sosial akan terancam oleh berbagai hal seperti anarkhi sosial, moral, intelektual, akan tetapi stabilitas sosial akan selalu diperkuat kembali. Dasar utama keteraturan sosial menurut Comte adalah keluarga, bukan individu. Sebab, individu-individu tersebut terisolasi sejak kecil didalam keluarga sehingga keluargalah yang memberikan pengaruh nilai-nilai yang paling besar. 2. Spenser Spenser didalam bahasannya tentang evolusi masyarakat, menganalogikan masyarakat dengan suatu organisme. Menurut Spenser, sistem pemerintahan ibarat urat nadi yang mempunyai fungsi koordinasi (penyelarasan) dan pemersatuan. Pemerintahan sebagai suatu sistem organisme berdiri sendiri serta berevolusi dibawah suatu hukum. Masyarakat didalam suatu pemerintahan sebagai suatu organisme menghasilkan kebutuhan-kebutuhannya untuk memelihara, menjaga, dan

mempertahankan kehidupannya. Dalam hal ini masyarakat mempunyai ekonomi untuk mempertahankan dan mengembangkan dirinya. Untuk itu masyarakat juga mempunyai sistem didtribusi seperti fungsi pembuluh, atau seperti infrastruktu jaringan komunikasikomunikasi. Menurut spenser perubahan pada suatu bagian di masyarakat maupun organisme akan membawa dampak secara keseluruhan. Perubahan ekonomi, atau perubahan politik Negara yang cukup drastis akan merubah kesejahteraan keluarga, sistem pendidikan, lembaga sosial yang ada, dan lain-lain.

Analogi organisme Spenser terhadap masyarakat diatas menurut Spenser sendiri bukan suatu yang dapat diterima bigitu saja. Namun dapat diakui bahwa masyarakat mempunyai berbagai aspek yang dapat dianalogikan dengan organisme. 3. Karl Mark Mark menggunakan konsep sistem antara lain dalam pandangannya tentang masyarakat dan kapitalis yang mempunyai hubungan antar kelas. Tentang stuktur sosial, Mark menekankan saling ketergantungan yang tinggi antara struktur sosial dan kondisi material dimana individu harus menyesuaikan dirinya supaya tetap hidup dan memenuhi berbagai kebutuhannya, (Johnson, 1986 : 162). Mark memandang perubahan kemungkinan sosial. terjadinya konflik antar kelas yang

mengakibatkan

Kepentingan-kepentingan

kelas

berbeda,

sertakontradiksi antara kekuatan-kekuatan produksi material dan hubungan-hubungan produksi adalah kontradiksi-kontradiksi internal yang terdapat didalam masyarakat yang selanjutnya membawa perubahan sosial. Adanya pembagian kerja dan pemilikan pribadi di masyarakat merupakan sumber pertentangan antara kepentingan-kepentingan material dalam kelas-kelas sosial yang berbeda. Konflik-konflik yang terjadi tersebut tidak dapat dihilangkan didalam suatu sitem. Akan tetapi sesuai dengan pandangan pendekatan sistem, masing-masing bagian akan mampu menyesuaikan diri kembali, meskipun dapat berlangsung ada kalanya dalam waktu yang panjang. 4. Talcott Parson Parson dan pengikutnya merupakan orang-orang yang telah berhasil membawa pendekatan fungsionalisme struktural kedalam petumbuhan teori-teori sosiologi. Dipihak lain, Parson menerima banyak kritik pula atas teori fungsionalismenya tersebut. Parson dipandang tidak proporsional didalam membahas masyarakat. Dia terlalu berpusat pada peran bagi unsur-unsur normatif yang akan mengatur perilaku sosial.individu yang akan menjamin stabilitas sosial. Parson terlalu percaya bahwa sistem sosial memiliki

kecenderungan mencapai stabilitas sosial (equilibrium) melalui consensus-konsensus yang dicapai anggota. Disfungsi dan penyimpangan-penyimpangan terjadi karena faktor luar. Pandangan seperti ini telah mengabaikan pandangan bahwa disfungsi, konflik, dan penyimpangan-penyimpangan yang bersifat internal juga terjadi. Penggunaan pendekatan sistem oleh Parsons yang lainnya antara lain mengenai pendapatnya tentang realitas sosial. Pada mulanya Parsons berpendapat bahwa realitas sosial adalah action yang berarti tindakan manusia yang disertai adanya kesadaran, kemauan. Ini berbeda dari arti behavior yang hanya mengandung satu gerak fisik saja. Kemudian parsons mengubah pandangannya. Dia mengemukakan bahwa perilaku sosial seseorang bukan merupakan satu-satunya realitas dalam kehidupan sosial. Akan tetapi situasi sosial pelaku (aktor) , yakni seluruh variabel-variabel bebas seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, kelas sosial, nilai-nilai dan sebagainya menjadi sasaran analisis. Pendapat ini menunjukan bahwa konsep relasional, yaitu sistem sosial berlaku. Parsons berpandangan bahwa setiap kehidupan bersama atau masyarakat merupakan jaringan dari peranan-peranan sosial yang terdapat dalam kelompok atau masyarakat seperti peran dokter, ibu rumah tangga, petani, dosen, dan lain-lainnya. Dengan mengambil bagan masyarakat sebagai sistem sosial dari Cannon yang mengemukakan bahwa tiap-tiap sistem biologis bersifat homeostatis. Parsons mengintrodusir kedalam sosiologinya dua cirri khas: a) konsep fungsi yang dimengerti sebagai sumbangan kepada keselamatan dan ketahanan sistem sosial. Dan b) konsep pemeliharaan

keseimbangan, adalah cirri utama dari tiap-tiap sistem sosial, (Veeger, 1990: 202).

3. TEORI INTRAKSI SIMBOLIK

Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang sosiologi dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40). Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat humanis (Ardianto. 2007: 40). Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna buah pikiran yang disepakati secara kolektif. Dan pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik. Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007). Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia. Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi. Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain:

(1) Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain, (2) Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya, dan (3) Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.Mind, Self and Society merupakan karya George Harbert Mead yang paling terkenal (Mead. 1934 dalam West-Turner. 2008: 96), dimana dalam buku tersebut memfokuskan pada tiga tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi simbolik. `Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain: 1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia, 2. Pentingnya konsep mengenai diri, 3. Hubungan antara individu dengan masyarakat. Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer (1969) dalam West-Turner (2008: 99) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut: 1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka, 2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, 3. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif. Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya Konsep diri atau Self Concept. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya.

Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut LaRossan & Reitzes (1993) dalam WestTurner (2008: 101), antara lain: 1. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain, 2. Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku. Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah: 1. Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, 2. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial. Rangkuman dari hal-hal yang telah dibahas sebelumnya mengenai tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang berkaitan dengan interaksi simbolik, dan tujuh asumsiasumsi karya Herbert Blumer (1969) adalah sebagai berikut: Tiga tema konsep pemikiran Mead Pentingnya makna bagi perilaku manusia, Pentingnya konsep diri, Hubungan antara individu dengan masyarakat.

Tujuh asumsi karya Herbert Blumer Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka, Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif, Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain, Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku, Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

4. TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan penggerak analisa fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, Studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim

mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya terdapat bagian bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern. Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah

Visi substantif mengenai tindakan sosial dan Strateginya dalam menganalisa struktur sosial.

Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan. Teori fungsional dan struktural adalah salah satu teori komunikasi yang masuk dalam kelompok teori umum atau general theories (Littlejohn, 1999), ciri utama teori ini adalah adanya kepercayaan pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur yang berada di luar diri pengamat. Fungsionalisme struktural atau lebih popular dengan struktural fungsional merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khusunya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang caracara mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Dan pendekatan strukturalisme yang berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan sistem sosial. Fungsionalisme struktural atau analisa sistem pada prinsipnya berkisar pada beberapa konsep, namun yang paling penting adalah konsep fungsi dan konsep struktur. Perkataan fungsi digunakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, menunjukkan kepada aktivitas dan dinamika manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Dilihat dari tujuan hidup, kegiatan manusia merupakan fungsi dan mempunyai fungsi. Secara kualitatif fungsi dilihat dari segi kegunaan dan manfaat seseorang, kelompok, organisasi atau asosiasi tertentu. Fungsi juga menunjuk pada proses yang sedang atau yang akan berlangsung, yaitu menunjukkan pada benda tertentu yang merupakan elemen atau bagian dari proses tersebut, sehingga terdapat perkataan masih berfungsi atau tidak berfungsi. Fungsi tergantung pada predikatnya, misalnya pada fungsi mobil, fungsi rumah, fungsi organ tubuh, dan lain-lain termasuk fungsi komunikasi politik yang digunakan oleh suatu partai dalam hal ini Partai Persatuan Pembangunan misalnya. Secara kuantitatif, fungsi dapat menghasilkan sejumlah tertentu, sesuai dengan target, proyeksi, atau program yang telah ditentukan. Menurut Michael J. Jucius (dalam Soesanto, 1974:57) mengungkapkan bahwa fungsi sebagai aktivitas yang dilakukan oleh manusia dengan harapan dapat tercapai apa yang diinginkan. Michael J. Jucius dalam hal ini lebih menitikberatkan pada aktivitas manusia dalam

mencapai tujuan. Berbeda dengan Viktor A. Thomson dalam batasan yang lebih lengkap, tidak hanya memperhatikan pada kegiatannya saja tapi juga memperhatikan terhadap nilai (value) dan menghargai nilai serta memeliharanya dan meningkatkan nilai tersebut. Berbicara masalah nilai sebagaimana dimaksud oleh Viktor, nilai yang ditujukan kepada manusia dalam melaksanakan fungsi dan aktivitas dalam berbagai bentuk persekutuan hidupnya. Sedangkan benda-benda lain melaksanakan fungsi dan aktivitas hanya sebagai alat pembantu bagi manusia dalam melaksanakan fungsinya tersebut. Demikian pula fungsi komunikasi dan fungsi politik, fungsi dapat kita lihat sebagai upaya manusia. Hal ini disebabkan karena, baik komunikasi maupun politik, keduanya merupakan usaha manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Sedangkan fungsi yang didefenisikan oleh Oran Young sebagai hasil yang dituju dari suatu pola tindakan yang diarahkan bagi kepentingan (dalam hal ini sistem sosial atau sistem politik). Jika fungsi menurut Robert K. Merton merupakan akibat yang tampak yang ditujukan bagi kepentingan adaptasi dan penyetelan (adjustments) dari suatu sistem tertentu, maka struktur menurut SP. Varma menunjuk kepada susunan-susunan dalam sistem yang melakukan fungsifungsi. Struktur dalam sistem politik adalah semua aktor (institusi atau person) yang terlibat dalam proses-proses politik. Partai politik, media massa, kelompok kepentingan (interest group), dan aktor termasuk ke dalam infrastruktur politik, sementara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif termasuk ke dalam supra-struktur politik. Mengacu pada pengertian fungsi yang diajukan Oran Young dan Robert K. Merton, serta pengertian struktur oleh SP. Varma, maka fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah fungsi komunikasi politik sebagai salah satu fungsi input dalam sistem politik. Sementara struktur yang dimaksud adalah Partai Persatuan Pembangunan sebagai salah satu bagian dari infrastruktur dalam sistem politik. Selain fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan, serta fungsi sosialisasi politik, fungsi partisipasi politik dan rekruitmen politik, fungsi lain yang harus dijalankan oleh partai politik sebagai infrastruktur politik dalam sistem politik adalah fungsi komunikasi politik. Mungkin menjadikan fungsional bagi struktur lain akan tetapi partai politik menjadi disfungsional jika tidak dapat melaksanakan semua fungsi tersebut.

Lahirnya fungsionalisme struktural sebagai suatu perspektif yang berbeda dalam sosiologi memperoleh dorongan yang sangat besar lewat karya-karya klasik seorang ahli sosiologi Perancis, yaitu Emile Durkheim. Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat patologis. Sebagai contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.

5. TEORI PERTUKARAN SOSIAL Teori Pertukaran Sosial dari Thibault dan Kelley ini menganggap bahwa bentuk dasar dari hubungan sosial adalah sebagai suatu transaksi dagang, dimana orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Pada perkembangan selanjutnya, berbagai pendekatan dalam teori pertukaran sosial semakin fokus pada bagaimana kekuatan hubungan antar pribadi mampu membentuk suatu hubungan interaksi dan menghasilkan suatu usaha, untuk mencapai keseimbangan dalam hubungan tersebut. Teori pertukaran sosial ini juga digunakan untuk menjelaskan berbagai penelitian mengenai sikap dan perilaku dalam ekonomi (Theory of Economic Behavior). Selain itu, teori ini juga digunakan dalam penelitian komunikasi, misalnya dalam konteks komunikasi interpersonal, kelompok dan organisasi. Oleh karena itu, teori pertukaran sosial ini, selain menjelaskan mengenai sikap dalam ekonomi, juga menjelaskan mengenai hubungan dalam komunikasi. Thibault dan Kelley menyimpulkan model pertukaran sosial sebagai berikut, asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya. Ganjaran, biaya, laba dan tingkat perbandingan merupakan empat konsep pokok dalam teori ini (Rahmat, 2002: 121). Empat konsep tersebut antara lain: 1. Ganjaran ialah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dalam suatu hubungan. Ganjaran berupa uang, penerimaan sosial atau dukungan terhadap nilai yang dipegangnya. Nilai suatu ganjaran berbeda beda antara seseorang dengan yang lain, dan berlainan antara waktu yang satu dengan waktu yang lain. 2. Biaya adalah akibat yang dinilai negatif yang terjadi dalam suatu hubungan. Biaya itu dapat berupa waktu, usaha, konflik, kecemasan dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi lain yang dapat menghabiskan sumber kekayaan individu atau dapat menimbulkan efek-efek yang tidak menyenangkan. Seperti ganjaran, biaya pun berubah-ubah sesuai dengan waktu dan orang yang terlibat didalamnya.

3. Hasil dan laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Bila dalam suatu hubungan seorang individu merasa bahwa ia tidak memperoleh laba sama sekali, ia akan mencari hubungan lain yang mendatangkan laba. 4. Tingkat perbandingan menunjukkan ukuran baku (standar) yang dipakai sebagai kriteria dalam menilai hubungan individu pada masa lalu atau alternatif hubungan lain yang terbuka baginya. Bila pada masa lalu seorang individu mengalami hubungan yang memuaskan, tingkat perbandingannya menurun. Asumsi-asumsi dasar yang digunakan dalam teori ini adalah: 1. Individu yang terlibat dalan interkasi akan memaksimalkan rewards 2. Individu memiliki akses untuk informasi mengenai sosial, ekonomi, dan aspek-aspek psikologi dari interkasi yang mengizinkan mereka untuk mempertimbangkan berbagai alternatif. 3. Individu bersifat rasional dan memperhitungkan kemungkinan terbaik untuk bersaing dalam situasi menguntungkan. 4. Individu berorientasi pada tujuan dalam system kompetisi bebas. 5. Pertukaran norma budaya.

6. Teori Fenomenologi

1. Perspektif Fenomenologi Jika positivisme amat gila terhadap penyusunan teori, fenomenologi boleh dikatakan menolak teori. Fenomenologi sedikit alergi teori. Pendekatan ini lebih menekankan rasionalisme dan realitas budaya yang ada. Hal ini sejalan dengan penelitian etnografi yang menitikberatkan pandangan warga setempat. Realitas dipandang lebih penting dan dominan dibanding teori-teori melulu. Fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Menurut paham fenomenologi, ilmu bukanlah values free, bebas nilai dari apa pun, melainkan values bound, memiliki hubungan dengan nilai. Aksioma dasar fenomenologi adalah: (a) kenyataan ada dalam diri manusia baik sebagai indiividu maupun kelompok selalu bersifat majemuk atau ganda yang tersusun secara kompleks, dengan demikian hanya bisa diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas; (b) hubungan antara peneliti dan subyek inkuiri saling mempengaruhi, keduanya sulit dipisahkan; (c) lebih ke arah pada kasuskasus, bukan untuk menggeneralisasi hasil penelitian; (d) sulit membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara simultan; (e) inkuiri terikat nilai, bukan values free. Dalam pandangan Natanton (Mulyana, 2002:59) fenomenologi merupakan istilah generik yang merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap bahwa kesadaran manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Tentu saja, dalam kaitannya dengan penelitian budaya pun pandangan subjektif informan sangat diperlukan. Subjektif akan menjadi sahih apabila ada proses intersubjektif antara peneliti budaya dengan informan. Wawasan utama fenomenologi adalah pengertian dan penjelasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri ada (Amin uddin, macam, 1990:108). antara Dalam (a) perkembangannya, fenomenologi memang beberapa lain:

fenomenologi Edidetik dalam linguistik, (b) fenomenologi Ingarden dalam sastra, artinya pengertian murni ditentukan melalui penentuan gejala utama, penandaan dan pemilahan,

penyaringan

untuk

menentukan

keberadaan,

penggambaran

gejala

(refleksi),

(c)

fenomenologi transendental, dan (d) fenomenologi eksistnsial. Bagi fenomenologi transendental, keberadaan realitas sebagai objek secara tegas ditekankan. Kesadaran aktif dalam menangkap dan merekonstruksi kesadaran terhadap suatu gejala amat penting. Bagi fenomenologi eksitensial, penentuan pengertian dari gejala budaya semata-mata tergantung individu. Refleksi individual menjadi guru bagi individu itu sendiri dalam rangka menemukan kebenaran. Dalam penelitian budaya, perkembangan pendekatan fenomenologi tidak

dipengaruhi secara langsung oleh filsafat fenomenologi, tetapi oleh perkembangan dalam pendefinisian konsep kebudayaan. Dalam hal ini, fenomenolog Edmun Husserl (Muhadjir, 1998:12-13) menyatakan bahwa obyek ilmu itu tidak terbatas pada yang empirik (sensual), melainkan mencakup fenomena yang tidak lain terdiri dari persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subyek yang menuntut pendekatan holistik, mendudukkan obyek penelitian dalam suatu kontsruksi ganda, melihat obyeknya dalam suatu konteks natural, dan bukan parsial. Karena itu dalam fenomenologi lebih menggunakan tata pikir logik daripada sekedar linier kausal. Tujuan penelitian fenomenologi budaya adalah ke arah membangun ilmu ideografik budaya itu sendiri.Metode kualitatif fenomenologi berlandaskan pada empat kebenaran, yaitu kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik logik, kebenaran empirik etik, dan kebenaran empirik transenden. Atas dasar cara mencapai kebenaran ini, fenomenologi menghendaki kesatuan antara subyek peneliti dengan pendukung obyek penelitian. Keterlibatan subyek peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena yang dialami menjadi salah satu ciri utama. Hal tersebut juga seperti dikatakan Moleong (1988:7-8) bahwa pendekatan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Peneliti fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti. Maka dari itu, inkuiri dimulai dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang diteliti. Yang ditekankan adalah aspek subyek dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk ke dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang

mereka kembangkan di sekitar peristiwa dalam kehidupannya seharihari. Makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikam pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan. Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis ialah aspek subyektif dari perilaku budaya. Mereka berusaha masuk ke dalam dunia subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga peneliti mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian dikembangkan dalam hidup sehari-hari. Subyek penelitian dipercaya memiliki kemampuan untuk menafsirkan pengalamannya melalui interaksi. Peneliti fenomenologis tidak menggarap data secara mentah. Peneliti cukup arif dengan cara memberikan tekanan pada subyek untuk memaknai tindak budayanya, tanpa mengabaikan realitas. Hal tersebut dapat dipahami, karena menurut Phillipson (Walsh,1972:121) istilah fenomena itu berkaitan dengan suatu persepsi yaitu kesadaran. Fenomenologi akan berupaya menggambarkan fenomena kesadaran dan bagaimana fenomena itu tersusun. Dengan adanya kesadaran ini, tidak mengherankan jika pemerhati kebudayaan dan pelaku budaya juga memiliki kesadaran tertentu terhadap yang mereka alami. Pengalaman yang dipengaruhi oleh kesadaran itu, pada saatnya akan memunculkan permasalahan baru dan di antaranya akan terkait dengan ihwal seluk beluk kebudayaan itu sendiri. Akibat dari tumbuh kembangnya kesadaran tersebut, bukan tidak mungkin jika para ahli peneliti budaya fenomenologi mulai dihadapkan pada sejumlah permasalahan kebudayaan. Pada dasarnya, ada tiga permasalahan pokok ketika orang akan melukiskan kebudayaan yaitu: (1) mengenai ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat di kalangan ahli peneliti budaya, (2) masalah sifat data itu sendiri, artinya seberapa jauh data tersebut dapat diperbandingkan atau seberapa jauh data tersebut benar-benar dapat melukiskan gejala yang sama dari masyarakat yang berbeda, dan (3) menyangkut masalah klasifikasi data yang di antara para ahli masih sering berbeda kriterianya. Berdasarkan ketiga hal itu, dalam studi fenomenologi terutama sebagai upaya memahami sugesti Malinovski tentang to grasp the natives point of view, his relation to life to realize his vision of his world, Ahimsa-Putra (1985:106-109) menawarkan pendekatan etnosains sebagai salah satu alternatif. Pendekatan ini dipandang lebih fenomenologis karena dengan menerapkan model linguistik yang dikenal dengan pelukisan kebudayaan secara etik dan emik, pemaknaan

kebudayaan menjadi lebih lengkap. Dengan cara ini ini diberikan oleh pendukung kebudayaan pun turut diperhitungkan.

pendefinisian kebudayaan

merupakan akumulasi dari sistem pengetahuan atau sistem ide, dalam istilah makna yang

Implikasi dari pendekatan tersebut, penelitian budaya secara fenomenologi dapat digolongkan menjadi tiga yakni: Pertama budaya dipelajari oleh mereka yang berpendapat bahwa kebudayaan merupakan forms of things that people have mind, yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai model-model untuk mengklasifikasikan lingkungan atau situasi sosial yang dihadapi. Kedua, mereka yang mengarahkan perhatiannya pada bidang rule atau aturan-aturan. Mereka berpijak pada definisi pertama yaitu kebudayaan sebagai hal yang harus diketahui seseorang agar dapat mewujudkan tingkah laku (bertindak) menurut cara yang dapat diterima oleh warga masyarakat itu berada. Persoalan ketegorisasi masih diperhatikan, khususnya kategorisasi sosial yaitu untuk mengkategorisasikan interaksi sosial. Tujuan utamanya adalah mencari prinsip klasifikasi, seperti halnya klasifikasi dalam undha usuk bahasa Jawa, yaitu kowe, sapeyan, panjenengan. Ketiga, ahli peneliti budaya masih menggunakan definisi yang kedua, yaitu kebudayaan sebagai alat atau sarana yang dipakai untuk perceiving dan dealing with circumstances, yang berarti alat untuk menafsirkan berbagai macam gejala yang ditemui. Dalam hal ini, para ahli peneliti budaya beranggapan bahwa tindakan manusia mempunyai berbagai macam makna bagi pelakunya serta bagi orang lain. Untuk menjelaskan tingkah laku manusia makna tersebut harus diungkapkan. Tanpa memperhitungkankan makna ini maka peneliti tidak akan mampu mengungkap hakikat manusia yang sebenarnya. Penekanan si peneliti kemudian mencari tema budaya. Dari kaca pandang fenomenologis yang dipengaruhi oleh pendefinisian kebudayaan itu, pada gilirannya kebudayaan menjadi lebih kompleks. Kebudayaan menjadi sangat `tergantung siapa yang memandang. Jika warga setempat paham terhadap yang mereka lakukan, tentu pendefinisian akan berlainan dengan warga yang samar-samar terhadap budayanya. Kedua pandangan yang berbeda ini pun dalam perspektif fenomenologi harus tetap dihargai. Oleh karena perbedaan pendapat adalah khasanah fenomena budaya itu sendiri. 2. Sebagai Tonggak Arah Baru

Kehadiran Jackson (1996) dalam fenomenologi telah menghasilkan arahan-arahan baru dalam penelitian budaya secara etnografi. Arahan-arahan tersebut oleh Jackson ditunjukkan secara samar, berupa kritik dari sisi peneliti budaya terhadap pendekatan fenomenologi. la dengan tajam mengritik pandangan empirisme radikal William James, naturalis John Dewey, dan fenomenolog MarleauPcenty. Dari ulasannya, akan ditemukan beberapa arahan baru bidang kajian peneliti budaya fenomenologi dan penulisan etnografinya. Dalam pengkajian dapat dikemukakan arahan baru fenomenologi bagi penelitian budaya sebagai berikut: Pertama, adanya kajian terhadap penyakit. Kajian ini lebih menekankan fenomena yang ditunjukkan oleh pasien daripada yang dikonsepsikan oleh ilmu kesehatan. Hal ini berarti bahwa kajian yang dilakukan telah ke arah fenomenologi karena telah mempertimbangkan perilaku dan makna yang ditunjukkan pasien sebagai subjek penelitian. Dalam kaitan ini, Arthur Kleinman menggunakan istilah dunia moral lokal untuk menunjukkan latar belakang ekonomi, sosial, dan politik dalam kaitannya dengan penyakit pasien. Latar belakang ini selanjutnya dihubungkan dengan pengalaman pasien sehingga akan terpahami realita moral khusus yang ada di dalamnya. Pengkajian lebih jauh lagi juga dikaitkan dengan latar belakang budaya pasien. Pandangan semacam inilah yang `mungkin dikenal dengan peneliti budaya kesehatan. Kedua, adanya kajian peneliti budaya fenomenologi yang tetap memperhatikan dunia moral lokal terhadap masalah ekologi. Seperti halnya ditunjukkan oleh Sartre, seorang eksistensialis yang mulai menekankan pengkajian terhadap masalah situasi dan lingkungan. Situasi dan lingkungan adalah bagian dari hidup manusia yang akan membentuk dan dibentuk oleh budaya setempat dan atau oleh budaya lain. Pandangan terhadap manusia yang mulai sadar terhadap situasi dan lingkungan ini, pada gilirannya menjadi perhatian ekologi budaya yang pernah dicetuskan oleh Julian Steward (Bennett, 1971:24). Hal serupa sebagaimana pernah dilakukan penelitian oleh Rene Davisch terhadap pelaku pemujaan suku Yaka di Zaire. la berhasil mengungkap bagaimana kiasan merupakan jaringan hubungan dunia kehidupan. Bagi orang Yaka, lingkaran kehidupan menurut kiasannya dipadukan dengan irama musim dan matahari. Pengkajian semacam ini, dapat

mengaitkan hubungan ekologis dengan faktor kultural setempat. Peneliti tentunya akan mengaitkan pandangan masyarakat lokal sebagai akumulasi interaksi di antara mereka. Permasalahan semacam ini, diakui atau tidak lalu menarik perhatian para ahli peneliti budaya yang menekankan pada budaya ekologi. Misalkan, manusia (peneliti) mulai sadar mengapa masyarakat tertentu ada yang memanfaatkan limbah menjadi hal yang istimewa. Ketiga, arahan baru terhadap pengkajian peneliti budaya fisik. Sebagaimana ditunjukkan oleh Merleau-Ponty bahwa subyektivitas adalah merupakan kehidupan fisik di dunia, bahkan sikap simpati dan empati merupakan sifat dasar kehidupan fisik pula: Karena itu pemahaman fenomenologi perlu mendasarkan kehidupan fisik ini karena fisik merupakan aspek primordial dari subyektivitas manusia sebagai makhluk sosial. Keempat, arahan baru terhadap penelitian historiografi, yaitu memandang fenomena dalam kaitannya kehidupan dan sejarah. Hal ini seperti dicontohkan Jackson, yaitu penelitian terhadap sejarah petani di India. Dalam bidang penulisan etnografi, dapat diketengahkan arahan baru fenomenologis sebagai berikut: Pertama, arahan-arahan baru dalam penulisan etnografi. Seperti halnya yang diungkapkan Abu Lughod, etnografer dapat menyusun kesadaran `subyektivitas yang selanjutnya diarahkan pada penulisan biografi individu. Etnografi individu ini digambarkan melalui ceritera seorang individu tentang keunikan kehidupannya. Kedua, arahan baru dalam penulisan etnografi secara `naratif. Sebagaimana ditunjukkan Jurgen Hubermas bahwa dunia kehidupan sehari-hari adalah dunia wacana, permainan bahasa, dan aktivitas komunikasi. Kenyataan ini sarat dengan penulisan ceritera naratif yang disertai dialog-dialog hidup. Kemungkinan besar etnografi semacam ini akan lahir seperti halnya novel. Dari menunjukkan arah-arahan kecerahan. baru fenomenologi budaya tersebut, dapat penelitian budaya semakin

Penelitian

memanfaatkan-

pendekatan

fenomenologis, terutama untuk model penelitian etnografi. Dari pendekatan tersebut peneliti budaya akan mampu menampilkan realitas dan keaslian budaya yang diteliti. Campur tangan peneliti terhadap konsep-konsep budaya akan relatif kecil, sehingga ilmu budaya pada gilirannya akan semakin berkembang. Dalam penjelasan Phillipson (Walsh, 1972:135-137) tampak bahwa ada dua paham metodologi fenomenologi, pertama fenome-

nologi yang berusaha untuk menjelaskan bagaimana fenomena itu tersusun. Kedua, fenomenologi yang berusaha memahami fenomena sebagai obyek kesadaran. Ketika fenomenologi mulai menjelaskan bagaimana fenomena itu tersusun, ini berarti masih fenomenologi murni. Secara alamiah peneliti budaya akan menanyakan persepsi subyek budaya terhadap apa yang dialaminya. Dari interaksi subyek budaya itu, baik kesadaran subyek sebagai kesadaran makna dan fungsi dari suatu fenomena itu merupakan tonggak terjadinya penafsiran. Dari paham kedua tersebut tampak bahwa dalam fenomenologi pun telah terjadi penafsiran terhadap fenomena: Fenomena budaya tidak lagi dijelaskan sebagaimana adanya, melainkan telah melalui penafsiran. Baik penafsiran yang dilakukan oleh partisipan maupun peneliti ketika memberikan umpan balik, tetap telah terjadi sebuah pemahaman. Dalam kaitan ini, kesadaran partisipan maupun peneliti telah bermain di dalamnya, sehingga memungkinkan terjadinya pemahaman yang lebih baik. Terlebih lagi Goodenough (Geertz (1980:13) menyatakan bahwa kebudayaan (ditempatkan) dalam pikiran-pikiran dan hati manusia. Pemikiran dan hati ini hanya akan dapat nampak dalam suatu tindakan. Tindakan inilah yang dapat dilihat sebagai fenomena yang jelas. Pada saat peneliti dan partisipan berhadapan dengan tindakan mau tidak. mau harus memahaminya. Inilah yang kelak akan berkembang ke arah tumbuhnya tafsir kebudayaan.

You might also like