You are on page 1of 7

Hukum Material dan Hukum Formal Kepabeanan Oleh : Syaiful Anwar

Pendahuluan Pajak adalah pungutan yang dilakukan oleh negara berdasarkan Undang-Undang secara paksa memindahkan daya beli/kekayaan dari sektor swasta kepada negara tanpa ada imbalan apapun secara langsung (Gunawan Wibisono, IIK 1972). Dengan demikian elemen utama dari konsep pajak adalah negara, memungut uang dari rakyat (mengurangi daya beli masyarakat), bersifat memaksa, berdasarkan UndangUndang, tanpa imbalan apapun secara langsung. Beberapa contoh pajak yang dipungut oleh Negara antara lain; bea masuk, bea keluar, cukai dan lain-lain. Dengan demikian negara dalam memungut bea masuk, bea keluar pada rakyat tidak boleh sewenang-wenang melainkan harus dengan peraturan setingkat Undang-Undang yaitu harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 23 UUD 1945. Dalam hukum pajak dikenal hukum pajak material dan hukum pajak formal. Untuk memberikan pemahaman mengenai kedua konsep tersebut, penulis akan menjabarkannya dalam uraian berikut.

Hukum Pajak Material Hukum pajak material adalah hukum pajak yang memuat peristiwa perikatan hukum pajak antara warga negara dengan negara, yang di dalamnya memuat perintah pembebanan pungutan pajak pada Subyek dan Obyek yang ditetapkan dalam UU Material, sehingga dalam hukum pajak material memuat halhal yang berkaitan dengan, subyek pajak, obyek pajak, tujuan pajak, saat timbul utang pajak, saat wajib bayar pajak, fasilitas pembebasan pajak, sanksi hukum.

Hukum Pajak Formal Hukum pajak formal adalah hukum pajak yang memuat tentang tata cara pembayaran atau pelunasan pajak oleh wajib pajak atau UU yang berisi aturan pelaksanaan agar tujuan UU Material Pajak dapat diwujudkan/dilaksanakan, oleh sebab itu dalam hukum pajak formal memuat hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban Wajib Pajak, hak dan kewajiban pejabat pajak (fiskus), cara mengajukan surat pemberitahuan pajak, cara menetapkan tarif pajak, cara menghitung pajak, cara menyetor pajak, surat ketetapan pajak dan penagihan pajak, banding dan keberatan, sanksi hukum pelanggaran pajak. Dengan demikian peristiwa hukum pajak yang mengikat rakyat bersifat sepihak (dilakukan oleh negara) dan oleh sebab itu apabila terjadi sengketa pajak adalah sengketa

antara negara dan rakyat dan oleh sebab itu penyelesaian sengketa tersebut masuk dalam kawasan hukum penyelenggaraan Pemerintahan Negara atau Hukum Administrasi Negara. Pelanggaran pada ketentuan yang terdapat pada hukum material pajak merupakan pelanggaran pidana kejahatan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan kekuasaan negara (crime againts state / sovereignty). Pelanggaran pada ketentuan yang terdapat pada hukum formal pajak merupakan pelanggaran pidana bukan kejahatan karena wajib pajak telah mematuhi ketentuan material UU Pajak, hanya dalam proses pembayaran ditemukan (setelah diperiksa) kekurangan bayar pajak dan oleh sebab itu wajib dilunasi dengan kemungkinan dikenakan sanksi (sebagai edukasi) dengan membayar denda. Kehadiran UU Formal adalah penting dalam proses pelaksanaan suatu UU Material karena UU Formal akan melindungi Wajib Pajak / Bea Masuk dari kesewenang wenangan Fiscus dan melindungi Fiscus dari kemungkinan berbuat salah. UU Formal memberi pedoman dan pegangan bagi Fiscus dalam membuat suatu keputusan publik (beschikking) di bidang fiskal. Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan proses pengawasan lalu lintas alat angkut, barang dan pemungutan bea masuk, bea keluar, dan oleh sebab itu UU Kepabeanan c.q UU No 17 / 2006 tentang Kepabeanan di dalamnya meliputi juga Hukum Pajak yaitu UU tentang Bea Masuk dan Bea Keluar. Keputusan Pejabat Publik Kepabeanan Beschikking adalah keputusan pejabat publik yang bersifat mengikat dan harus dilaksanakan dan harus dipertanggung jawabkan. Setiap kebijakan dan implementasi suatu kebijakan dalam bentuk program dan atau kegiatan pemerintahan, memerlukan keputusan pejabat (beschikking) sehingga mempunyai kekuatan hukum untuk membebani negara dalam bentuk tagihan uang ke negara dan atau mempunyai kekuatan hukum membebani rakyat dalam bentuk tagihan pajak. Contoh I keputusan pejabat publik (beschikking) yang membebani uang negara. Kepala satuan kerja pemerintahan (pusat maupun daerah) menerbitkan surat tugas yang berakibat penerbitan Surat Perintah Perjalanan Dinas atas nama Pegawai Negeri Sipil (PNS), mengakibatkan bebanpengeluaran uang negara dalam bentuk uang perjalanan dinas dan harus dipertanggung jawabkan oleh pegawai yang melaksanakan tugas tersebut. Contoh II keputusan pejabat publik (beschikking) yang membebani rakyat/wajib pajak. Kepala Kantor Pajak atau Bea Cukai menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah Denda, Surat Ketetapan Pajak tersebut akan membebani Subyek Pajak dengan tambahan kewajiban bayar kekurangan pajak/Bea Masuk ditambah denda bagaikan keputusan hakim yang bersifat eksekutorial. Berangkat dari kerangka pikir rumah tangga negara berbeda dengan kerangka pikir rumah tangga biasa yaitu kerangka pikir rumah tangga negara membuat asumsi-asumsi rencana pembangunan yang secara kuantitatif berujung pada besarnya pengeluaran negara

dalam bentuk belanja negara secara nasional, baru kemudian memikirkan penggalian sumber penerimaan negara. Mengingat pajak adalah penerimaan negara utama dan peran utama fiskus adalah sebagai pembuat keputusan atau beschikking menjadi sangat penting, disamping sebagai alat untuk meningkatkan penerimaan negara juga sebagai cermin dari terselenggaranya azas-azas penyelenggaraan pemerintahan yang baik atau good governance. Dengan demikian proses penyelenggaraan pemerintahan khususnya dibidang kepabeanan memerlukan transparansi, akuntabilitas serta rule of law secara tepat dalam konteksnya untuk mencegah terjadinya salah menerapkan ketentuan kepabeanan/perpajakan dalam proses penegakan hukum fiskal (public finance law) agar terjadi keseimbangan antara fairness dalam penegakan hukum dan berdampak positive pada perkembangan ekonomi bangsa. Perbandingan konten aturan Material dan Formal UU Kepabeanan Perbandingan Struktur UU Tarif (1876), Ordonansi Bea dengan UU Kepabeanan (2006)
UU Tarif / Indische Tarief Wet UU Kepabeanan / Dimensi Tarif

Pasal 1

Subyek Bea Masuk, Obyek Bea Masuk, Saat Timbul Utang Bea Masuk, Tarif Bea Masuk, Pembebasan Bersyarat Bea Masuk Subyek dan obyek bea keluar Pembebasan mutlak bea masuk (pembebasan yang diberikan oleh UU tanpa syarat apapun) seperti Barang barang yang berasal dari dalam daerah pabean Barang barang yang berasal dari luar daerah pabean dan sudah membayar bea masuk

Subyek dan Obyek Bea Masuk Pasal 2, Pasal 2A dan Pasal 14 s/d 16

Pasal 11 Tidak Dipungut, Pembebasan, Keringananan, dan Pengembalian Bea Masuk c/q Pembebasan Mutlak Pasal 24

Pasal 4 Pasal 2

Pasal 3

Pembebasan bersyarat bea masuk untuk tujuan meningkatkan perekonomian negara Barang barang yang dimasukkan dalam rangka memajukan perekonomian negara, bahan baku, bahan pembantu

Tidak Dipungut, Pembebasan, Keringananan, dan Pengembalian Bea Masuk c/q Pembebasan Bersyarat (Pasal 25 dan Pasal 26)

Presiden berwenang mengatur luas daerah pabean yaitu daerah dimana berlaku pungutan bea masuk dan bea

Kewenangan Presiden tentang perluasan atau pemgurangan Daerah Pabean tidak ada

Pasal 4 Pasal 5

keluar Bea Keluar Kewenangan atributive / melekat pada jabatan Menteri Keuangan memberi pembebasan dan pengembalian bea keluar Bea Keluar (Pasal 2a) Kewenangan atributive Menteri Keuangan sebagai pengelola Kebijakan Fiskal hak memberi pembebasan dan pengembalian tidak ada

Pasal 7 Pemerintah / Presiden berhak mengatur kemungkinan pemungutan bea masuk / bea keluar pergerakan barang dalam daerah pabean (perlakukan pungutan sejenis bea masuk / bea keluar atas perdagangan antar pulau) Pasal 9 10 dan 11 Pasal 14 Memberlakukan ketentuan larangan dan pembatasan (dengan merujuk ketentuan yang berlaku) Pemungutan bea masuk untuk barang antar pulau ( sebagai bagian konsep) untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi antar daerah tidak ada

Bab X Larangan Pembatasan Impor dan Ekspor dan Barang Hasil Pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelectual (HAKI), Terorisme dan Kejahatan Lintas Negara (Pasal 53 s/d 63 A)

Ordonansi Bea / Customs Law

UU Kepabeanan / Dimensi Customs

Bab I

Tempat tempat dimana harus dipenuhi kewajiban Impor Ekspor (Pasal 1 s/d Pasal 6) Hak dan Wewenang Pegawai (Pasal 7 s/d Pasal 11) Barang Barang Tangkapan dan Barang Tidak Bertuan (Pasal 13 s/d 15)

Tempat dipenuhi kewajiban Impor Ekspor (Pasal 5 dan Pasal 6) Hak dan Wewenang Pegawai (Pasal 74 s/d Pasal 92A)

Bab II

Bab III

Barang Barang Yang Dinyatakan Tidak Dikuasai Negara dan Barang Yang Menjadi Milik Negara (Pasal 65 s/d 73) Tidak ada Tarif, Nilai Pabean,Bea Masuk Anti Dumping, Imbalan, Pengamanan dan Pembalasan (Pasal 14 s/d 24)

Bab IV

Dokumen Dokumen yang Harus Dibuat (Pasal 16 s/d 17) Hitungan Tagihan, Pengembalian dan Pembebasan Bea Bea dan Izin Izin (Pasal 18 s/d Pasal 24) Ketentuan Pidana (Pasal 25 s/d Pasal 29) Ketentuan Penutup (Pasal 30)

Bab V

Bab VI

Ketentuan Pidana (Pasal 102 s/d Pasal 113)

UU Formal Pabean / Reglemen A

UU Kepabeanan / Dimensi Hukum Acara / Reglemen

Bab I

Kedatangan (Barang dan Alat Angkut) dari Luar Daerah Pabean (Pasal 1 s/d 5) Kedatangan (barang dan Alat Angkut) dari Dalam Daerah Pabean (Pasal 6 s/d 9) Pembongkaran dan Pindah Kapal (Pasal 10 s/d 18)

Pengaturan kedatangan sarana pengangkut tidak jelas Pengaturan kedatangan sarana pengangkut tidak jelas

Bab II

Bab III

Pengaturan kedatangan sarana pengangkut tidak jelas Tempat Penimbunan Dibawah Pengawasan Pabean (Pasal 43 s/d 48)

Bab IV

Entrepot (19 s/d Pasal 26)

Bab V

Impor Untuk Dipakai dan Perhitungan Bea Masuk (Pasal 27 s/d 40) Khusus Masalah Banding Pada Pasal 39

Impor Untuk Dipakai (10B s/d 10D) Bab VI Pasal 28 s/d 35 (Pemberitahuan Pabean dan Tanggung Jawab Bea Masuk) Bab VII Pasal 36 s/d 43 (Pembayaran dan Penagihan Utang dan Jaminan) Bab XIII Keberatan dan Banding (Pasal 93 s/d 95)

Bab VI

Pengangkutan Terus Dan Pengangkutan Barang Barang dari Gudang Penimbunan dan dari Entrepot (Pasal 40 s/d 47) Pemuatan dan Pengangkutan Melalui Laut (dan atau Udara) Dari Barang Barang Berasal Dari Peredaran Bebas (Dalam Daerah Pabean), Ekspor dan Hitungan Bea Keluar (Pasal 48 s/d 56) Keberangkatan Kapal (Pasal 57 s/d Pasal 58 (Customs Clearance untuk Syahbandar sebagai dasar terbitnya izin berlayar / sailing permit

Pengangkutan Barang Impor Ekspor (Pasal 7A s/d 10A)

Bab VII

Pemuatan Ekspor (Pasal 11 s/d 13)

Bab VIII Kewajiban membuat outward (Pemberitahuan Umum) manifest

Analisis perbandingan antara UU Material Tarif / Indische Tarief Wet (1876) dan Ordonansi Bea (1882) dan Hukum Acara (Reglemen A) dengan UU Kepabeanan (UU No 17/2006) dilakukan karena UU Kepabeanan (UU No 17 / 2006) memuat semua materi hukum fiskal meliputi materi yang seharusnya dimuat dalam UU Material sampai materi yang seharusnya dimuat dalam UU Formal/Hukum Acara atau dengan perkataan lain UU Material dan UU Formal Kepabeanan berada dalam satu UU. Timbul pertanyaan apakah pelanggaran materi UU Formal yang terdapat dalam UU No 17 / 2006 (bila dipandang sebagai UU Material) merupakan suatu tindak pidana kejahatan? Bila jawabnya ya maka UU No 17 / 2006 tidak memenuhi syarat menjadi landasan hukum untuk menilai / menghakimi suatu peristiwa hukum kepabeanan karena ada kerancuan terhadap konsep pelanggaran UU Material dan pelanggaran UU Formal dan meyebabkan ketidak adilan yang nyata dalam proses penegakan hukum dalam kawasan Hukum Administrasi Keuangan Negara dibidang Kepabeanan, yaitu suatu pelanggaran pidana bukan kejahatan (kawasan Hukum Administrasi Negara) diklasifikasikan sebagai tindak pidana kejahatan (kawasan KUHP/Criminal Law), hal itu akan mendorong terjadinya penyalahgunaan wewenang (abuse de droit atau dtournoment du provoir) oleh Otoritas Pabean. Disamping itu sudah menjadi suatu dalil atau aksioma dibidang Ilmu Hukum bahwa pelanggaran Hukum Formal bukan suatu pelanggaran pidana kejahatan karena wajib pajak sudah memenuhi UU Material dan UU Formal. Pemisahan hukum pajak material dan hukum pajak formal adalah penting bagi penyelenggaraan pemerintahan negara yang baik (good governance) khususnya dibidang penegakan hukum kepabeanan. Restrukturisasi UU Kepaneanan dan Good Governance Hukum pajak/Bea Masuk material memuat prinsip-prinsip perikatan hukum pajak, sehingga isinya singkat, padat namun meliputi hal-hal mendasar tentang pajak seperti siapa pembayar pajak (wajib pajak), apa sasaran dari pungutan pajak apakah subyek (orang dan badan hukum) atau barang dan jasa (obyek pajak), apakah untuk budget negara atau mengatur (regulatory) untuk tujuan tertentu seperti jangan mabuk-mabukan (tujuan pajak), kejadian, perbuatan, keadaanapa yang menyebabkan timbul utang pajak seperti perbuatan melintasi negara, keadaan menerima gaji / honor (saat timbul utang pajak), saat wajib bayar pajak seperti saat terima gaji untuk Pajak Penghasilan (langsung dipotong bendaharawan gaji), saat mengeluarkan barang dari pelabuahan untuk bea masuk (saat wajib bayar pajak) Hukum pajak/Bea Masuk formal memuat tentang tatacara pembayaran pajak/Bea Masuk dan sistem administrasi yang melingkupinya oleh sebab itu dengan adanya hukum pajak formal disebut juga sebagai hukum acara perpajakan seperti UU Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UU KUP) akan memberikan pegangan tentang aturan main dalam membayar pajak kepada Wajib Pajak/Bea Masuk dan Fiscus sehingga dapat meminimalkan potensi terjadinya sengketa perpajakan/Bea Masuk. Hukum Acara dalam perpajakan/Bea Masuk adalah penting karena, didalamnya memuat Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, Hak dan Kewajiban Fiskus (Pemeriksa Pajak), Tatacara 6

Menghitung dan Membayar/Melunasi Pajak, Surat Ketetapan Pajak, Fasilitas Pajak, Keberatan dan Banding, Pelanggaran dan Sanksi Pajak. Hukum Pajak/Bea Masuk Formal adalah penting bagi Wajib Pajak dan atau Fiskus (Pemeriksa Pajak) karena dari hukum pajak/bea masuk formal mereka mengetahui tentang: Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, Hak dan Kewajiban Fiscus, Wajib pajak terlindungi dari kesewenang-wenangan pejabat pajak (fiskus), Fiskus secara hukum terlindungi dalam proses pengambilan keputusan karena berdasarkan ketentuan yang jelas, Fiskus bekerja berdasarkan aturan main yang jelas, Keseimbangan hak dan kewajiban antara wajib pajak dan fiskus akan meminimalkan potensi sengketa perpajakan. UU Kepabeanan saat ini (UU No 17/2006) memuat 2 (dua) materi besar yaitu UU Material Pajak/Bea Masuk (Tariff Law) dan UU Pabean (Customs Law) juga memuat secara tidak lengkap tentang UU Tatacara Pelunasan Bea Masuk (UU Formal) sehingga rawan penyalah gunaan penerapan materi pasal-pasal UU Material dan Formal pada kasus pelanggaran yang terjadi dan akan merugikan Wajib Bea Masuk dan Negara (berupa tertundanya peluang penerimaan bea masuk, denda) dan juga menimbulkan kerawanan dalam bentuk interpretasi sepihak (dalam bentuk kriminalisasi) pada peristiwa Hukum Administrasi Kepabeanan oleh penegak hukum eksternal (BPK, KPK, Kejaksaan dan Polisi) sebagai senjata untuk mempermasalahkan berbagai produk hukum kepabeanan berupa keputusan pejabat publik Kepabeanan. Kesimpulan Akhir-akhir ini peran media cetak dan elektronik sangat besar terutama dalam membangun dan membentuk pendapat publik (public opinion) dari suatu peristiwa hukum khususnya dibidang perpajakan/kepabeanan dan secara sistematik menggiring pendapat umum bahwa peristiwa hukum pajak/kepabeanan adalah peristiwa hukum kriminal dan menjadi kompetensi Polisi, Jaksa, KPK (criminal justice systems) bukan peristiwa hukum dalam kawasan Hukum Administrasi Negara.. Mengingat tugas besar Pajak, Bea Cukai sebagai pengemban misi fiskal (revenue collector) sekaligus pendorong pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran bangsa maka Kepastian Hukum adalah menjadi syarat mutlak (qonditio sein qua non) bagi tercapainya misi dan visi Keuangan Negara melalui Perpajakan / Kepabeanan. Agaknya pembenahan dan pemisahan struktur UU Material dan UU Formal Kepabeanan dan pemisahan materi UU Tarif (Tariff Law) dan UU Pabean (Customs Law) dalam kawasan Kepabeanan merupakan keniscayaan dan harus segera dilakukan untuk memberikan kepastian hukum bagi PNS Fiscus / Bea Cukai dalam mengemban Misi dan Visi sebagai Revenue Collector sekaligus fasilitator proses pertumbuhan ekonomi dan pembangunan serta memberikan kepastian hukum pada masyarakat usaha seperti Produsen, Importer, Eksporter sebagai bentuk perwujudan azas-azas berpemerintahan yang baik (good governance). Referensi: 1. UU No. 17/2006 2. UU Tarif 1876 dan Ordonansi Bea 1882

You might also like