You are on page 1of 20

RESUME BUKU

“MENGAPA RASULULLAH BERPOLIGAMI”


Karya : Dr. Ahmad Al Hufy

Tugas Mata Kuliah


Pendidikan Agama Islam
Dosen : Drs. Daryono, MSI

Disusun Oleh :
Nama : Nurul Chotimah
NIM : B.231.08.0100

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEMARANG
2008
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
BAB I ANALISA DASAR ALASAN POLIGAMI NABI
BUKAN DEMI HAWA NAFSU ....................................................... 1
BAB II PERAN ISTRI NABI DALAM PENYEBARAN
AJARAN ISLAM .............................................................................. 7
BAB III SOPAN SANTUN PAKAIAN ISLAM ............................................. 9
BAB IV TANGGAPAN ................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 16

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah agama Islam dengan
judul : “MENGAPA RASULULLAH BERPOLIGAMI”.
Laporan ini tersusun berkat dorongan bimbingan dan bantuan dari berbagai
pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah
agama Islam ini.
Penulis menyadari bahwa makalah agama Islam masih jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna kesempurnaan makalah agama Islam ini, akhir kata semoga
makalah agama Islam ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Semarang, 14 Desember 2008

Nurul Chotimah
NIM. B.231.08.0100

iii
BAB I
ANALISA DASAR ALASAN POLIGAMI NABI
BUKAN DEMI HAWA NAFSU

Dalam formalitas syariah, poligami memang sah sebagaimana monogami.


Rasulullah SAW pun berpoligami di sepuluh terakhir usianya. Janganlah mudah-
mudah mengambil keputusan berpoligami karena syaratnya berat harus adil, dimana
adil itu tidaklah mudah.
Pernikahan Rasulullah semata-mata didasari faktor agama dan bukanlah untuk
kepentingan dunia. Pernikahan itu dilangsungkan untuk suatu hikmah dan bukan
untuk menuruti hawa nafsu belaka. Pernikahan itu dilangsungkan untuk suatu
hikmah dan bukan untuk menuruti hawa nafsu belaka. Pernikahan itu pula untuk
mengokohkan, memperkuat dan menyebarkan dakwah dan bukan untuk bersenang-
senang, menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi ataupun hanya sekedar suatu
hobi memperbanyak isteri saja.
Kemudian pernikahan beliau selanjutnya semata-mata adalah untuk kebaikan
Islam dan kaum muslimin.
Kadang pernikahan itu sengaja dilakukan oleh Nabi demi untuk menambah
keakraban orang yang sangat dekat di hatinya, kadang pula demi untuk menambah
kecintaan mereka yang sangat dicintainya. Dan pada kali yang lain pernikahan itu
bertujuan untuk melunakkan hati orang-orang yang sedang dijinakkan untuk
menerima agama Islam, sedangkan pada kesempatan yang lain lagi pernikahan itu
bermaksud untuk menambah keikhlasan kepada Allah dan Rasul-Nya bagi mereka
yang sejak awalnya telah berlaku ikhlas.
Tak jarang pula beliau mengharapkan dari pernikahan itu untuk
memperbanyak kaum kerabat dari jalur pernikahan. Agar mereka menjadi pembela-
pembelanya, serta pendukung-pendukung yang handal terhadap agama Allah. Hal itu
beliau lakukan dalam suatu masyarakat yang berasumsi bahwa hubungan
kekerabatan karena pernikahan adalah hubungan yang sangat kokoh sehingga
mengharuskan pembelaan dan kesetiaan.

1
Di lain kesempatan, Nabi memaksudkan dari pernikahannya untuk
melapangkan kesempatan di hadapan kaum muslimin yang telah memenangkan suatu
pertempuran, agar mereka bersedia untuk membebaskan para tawanan perang baik
laki-laki maupun perempuan yang berasal dari suku ataupun bangsa taklukan.
Adapun yang menjadi kebaikan bagi Islam dan kaum muslimin dari perbuatan ini
adalah keridhaan serta kekaguman para tawanan tersebut sehingga membuka peluang
bagi mereka untuk masuk Islam, dan selanjutnya berdiri dalam barisan pengibar serta
pembela panji-panji Islam.
Sesungguhnya diantara tujuan mulia dari pernikahan beliau adalah untuk
memuliakan dan memberi penghargaan bagi seorang wanita yang lanjut usia
sehingga tidak lagi menarik hati laki-laki. Sementara wanita itu telah menghibahkan
dirinya untuk Nabi. Maka Nabipun menikahi wanita tersebut dan menggolongkannya
dalam deratan isteri-isterinya, demi untuk memuliakan wanita itu sebagaimana yang
ia harapkan.
Serupa dengan hal di atas, sesungguhnya pernikahan Nabi kadang adalah
untuk memuliakan suatu kaum yang mengharapkan kemuliaan jika menjalin
kekerabatan dengan Nabi. Oleh karena itu, Umar bin Khaththab sangat sedih ketika
ia mendengar kabar bahwa Rasulullah satu-satunya isteri beliau yang masih gadis
adalah sayyidah Aisyah.
Mengapa beliau tidak memilih semua isteri-isterinya atau minimal mayoritas
daripada isterinya, gadis-gadis perawan yang cantik-cantik? Bukankah kita semua
mengetahui bahwa hal itu merupakan hal yang sangat mudah bagi beliau jika saja
beliau menghendakinya.
Manakah yang lebih utama bagi seorang laki-laki yang tengah haus terhadap
wanita, gadis-gadis perawankah atau justru wanita-wanita yang telah menjanda?
Atau manakah yang lebih menarik bagi seorang laki-laki yang dimabuk oleh wanita;
gadis-gadis yang muda beliakah atau malah wanita-wanita yang telah memasuki usia
senja?
Bukankah pernikahan beliau dengan wanita-wanita yang menjanda serta telah
memasuki usia tua merupakan bukti yang sangat jelas bahwa Nabi adalah manusia
yang sangat jauh dari keinginan untuk bersenang-senang dengan memenuhi

2
kebutuhan biologis semata? Bukankah hal itu merupakan bukti bahwa beliau
merupakan seorang yang tidak haus terhadap lawan jenisnya, sebagaimana yang
digembor-gemborkan oleh musuh-musuh beliau serta musuh-musuh Islam pada
umumnya.
Para ilmuwan klasik berpendapat bahwa Allah mengijinkan untuk menikahi
empat wanita. Menurut mereka kebolehan disini ditambah dengan sebuah kondisi
yang impossible ditunaikan, seperti keadilan dalam kasih sayang, perasaan, cinta, dan
semacamnya. Selama kemampuan berbuat adil di bidang pengadaan nafkah dan
akomodasi bisa diperoleh. Alasan yang mereka kemukakan untuk mendukung
pendapatnya adalah sabda nabi dalam hubungannya dengan ketidakmampuan
berbuat adil dalam kebutuhan batin. Nabi bersabda : “Ya Tuhanku inilah
kemampuanku dalam hal memberikan pembagian kepada isteri-isteriku, karena itu
janganlah memaksaku untuk berbuat sesuatu di luar kemampuanku” (HR Ahmad
Abu Dawud dan Al Nasa’i).
Bahkan Dawun al-Zahiri membolehkan menikahi lebih dari empat wanita.
Alasannya adalah bahwa kata-kata yang ada di ayat 3 surat Al-Nisa’ di bawah tidak
menunjukkan adanya larangan menikah wanita lebih dari empat. Mereka
berpegangan bahwa kata waw yang terdapat dalam firman tersebut berfungsi sebagai
penghubung (kata sambung). Disamping itu, Rasulullah SAW sendiri menikahi
wanita muslimah lebih dari empat orang.
Pandangan para modernist tidak membolehkan menikahi wanita lebih dari
seorang, kecuali dalam kondisi tertentu. Alasan mereka adalah bahwa kebolehan
menikahi wanita lebih seorang diikuti dengan sebuah kondisi yang tidak mungkin
dipenuhi oleh seorang suami yaitu kemampuan berbuat adil diantara isteri.
Seperti apa yang ada di surat An-Nisa 3 :
           
          
         
          
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-

3
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil,
Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.”

Menurut mereka adil dalam surat ini berarti berlaku adil dalam segala hal yang
berhubungan dengan kehidupan keluarga baik kemampuan pengadaan akomodasi
seperti pakaian, makanan dan semacamnya maupun perasaan dan hati seperti rasa
cinta dan semacamnya yang berhubungan dengan kebutuhan batik isteri.
Poligami merupakan suatu tindakan yang tidak boleh (haram), kecuali dalam
hal-hal tertentu saja seorang suami boleh melakukan poligami, seperti karena
ketidakmampuan seorang isteri untuk mengandung atau melahirkan, menurut Al
Qur’an surat An-Nisa ayat 3 membolehkan poligami tetapi dengan syarat keharusan
mampu meladeni isteri dengan adil dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu
tinggalnya. Dan syarat ini menurutnya ada 3 kondisi yaitu :
• Kebolehan berpoligami disesuaikan dengan kondisi dan tuntutan zaman
• Syarat harus mampu berbuat adil merupakan syarat yang sangat berat. Karena
beratnya persyaratan ini Allah pun menyatakan : “Kalaupun manusia berusaha
keras untuk adil, ia tidaklah akan mampu terlebih dalam hal pembagian cinta dan
hal-hal yang berkaitan dengan hati (batin). Padahal ada hadits Nabi Muhammad
SAW yang menyatakan : “seorang pria yang mempunyai dua isteri tapi berbuat
ketimpangan terhadap salah satunya maka di hari kiamat nanti orang tersebut
akan datang dengan badan yang rusak”.
• Seorang suami yang tidak bisa melaksanakan syarat-syarat yang dituntut untuk
melakukan poligami haruslah melakukan monogami. Setelah mencatat
pentingnya kemampuan bisa berbuat adil, abduh kemudian mengatakan bahwa
tujuan dari syari’ah adalah perkawinan yang monogami. Agaknya, abduh
berpendapat bahwa asas monogami merupakan salah satu asas perkawinan dalam
Islam yang bertujuan untuk landasan dan modal utama guna membina kehidupan
rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.

4
Karena itu, setelah Abduh mencatat An-Nisa’ 129 yang berbunyi :
           

         

               


Artinya :“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu
Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”

Dia mengakui bahwa para sahabat nabi memang melakukan poligami, tapi hal
itu dilakukan karena kondisi menghendaki demikian, dimana wanita lebih banyak
daripada pria. Karena itu poligami dikatakan hanyalah menjaga wanita.
Adapun hikmah diijinkan berpoligami dalam keadaan darurat dengan syarat
berlaku adil antara lain :
1. Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan isteri yang
mandul.
2. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan isteri, meskipun
isteri tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai isteri atau ia menderita
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis
akhlak lainnya. Data statistik menunjukkan bahwa larangan berpoligami
yang dilakukan di beberapa negara barat mengakibatkan merajalelanya
prostitusi dan free sex yang berakibat pula anak-anak zina lahir mencapai

5
jumlah besar atau tinggi. Misalnya di Perancis 30%, Austria 50%, dan
Belgia 60%.
4. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di
negara / masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum
pria, misalnya akibat peperangan yang cukup lama seperti perang Irak dan
Iran.

Nilai akhlak dan adab juga mengajarkan sekadar sah atau halal tidaklah cukup
untuk melangkah. Dengan begitu, kemudharatan akan terhindarkan, kemanfaatan
akan teroptimalkan. Termasuk untuk melangkah berpoligami. Kepentingan anak-
anak dan kepentingan pasangan yang telah setia menyertai jatuh bangun membina
keluarga dari awal yang harus menjadi pertimbangan utama. Rasulullah pun
berpoligami setelah anak-anaknya dewasa dan setelah Khadijah yang menjadi
belahan jiwanya wafat.
Karena di Qur’an jelas ada, Allah jelas membolehkan maka kita sebagai umat
yang beriman tidak boleh menolak karena bisa mengkufuri ayat atau hanya memilih-
milih ayat yang disukai saja. Dalam beragama kita dilarang memilih-milih ajaran-
ajaran yang telah ditetapkan sebagaimana firman Allah QS. Al Baqarah ayat 208 :
            

        

 
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam
Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-
langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang
nyata bagimu.”

Sehingga hal ini meurpakan ujian keimanan terhadap ayat-ayat Allah. Yakinlah
jika Allah membolehkan pasti ada kebaikan dan hikmah di dalamnya. Kita tidak
perlu terlalu cemas dan khawatir karena laki-laki yang beriman tidak akan mudah-
mudah melakukan poligami jika tidak ada sebab yang darurat. Untuk itu carilah laki-

6
laki yang beriman. Namun, jika keputusan poligami ternyata harus terjadi maka
terimalah secara positif.

BAB II
PERAN ISTRI NABI DALAM PENYEBARAN AJARAN ISLAM

Tidak diragukan lagi bahwa isteri-isteri para Nabi telah menyumbangkan bagi
Islam sejumlah hakikat yang erat hubungannya dengan agama ini.
Sebagai contoh, bahwa isteri-isteri Nabi itulah yang telah mengabarkan
kepada kita tentang akhlak beliau serta amalannya yang umumnya tidak bisa dilihat
oleh orang lain selain isteri-isterinya.
Isteri-isteri nabi pula yang menjadi sumber dalam mengeluarkan hukum yang
berhubungan dengan masalah-masalah kewanitaan yang sangat prinsip, dimana hal-
hal seperti itu tidak dapat diketahui kecuali oleh wanita, dan tidak pula ada laki-laki
yang mengetahui problema kaum wanita tersebut kecuali suami mereka sendiri.
Sedangkan masalah-masalah seperti ini berbeda-beda antara wanita yang satu dengan
wanita yang lainnya.
Isteri-isteri Nabi adalah periwayat-periwayat yang menukil hadits-hadits
beliau yang mulia, khususnya hadits-hadits yang beliau ucapkan saat berada di
rumah sehingga tidak dapat didengar oleh orang lain. Demikian pula sebagian
daripada para isteri Nabi ada yang mengoreksi sejumlah hadits yang diriwayatkan
oleh selain mereka.
Sebagian daripada isteri-isteri Nabi ada yang menyumbangkan pemikirannya
di bidang fikih serta pandangan-pandanganyang berhubungan dengan sebagian
asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya) ayat-ayat Al Qur’an yang mulia.
Semua hal tersebut bukanlah perkara yang mengherankan bagi kita, sebab
isteri-isteri beliau adalah wanita-wanita yang sangat serius untuk meriwayatkan
segala sesuatu yang diucapkan maupun yang dilakukan oleh Nabi saat berada di
rumahnya. Hal itu mereka lakukan adalah sebagai realisasi daripada firman Allah,

7
           

          
Artinya : “Dan ingatlah apa yang dibacakan di
rumahmu dari ayat-ayat Allah dan Hikmah (sunnah nabimu).
Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha
mengetahui.”

Periwayatan yang dilakukan oleh isteri-isteri Nabi itu, juga merupakan


praktek sabda beliau, “Semoga Allah menjadikan cerah wajah seseorang yang
mendengar perkataanku lalu ia menghafalnya dan memahaminya, kemudian ia
menyampaikannya sebagaimana yang ia dengar. Sebab berapa banyak orang yang
meriwayatkan fikih tidak memahaminya, dan berpaa banyak orang yang
meriwayatkan fikih menyampaikan kepada orang yang lebih faham darinya”.
Oleh sebab inilah sehingga para periwayat yang tsiqah (dipercaya) telah
meriwayatkan ratusan hadits dari para isteri Nabi.

8
BAB III
SOPAN SANTUN PAKAIAN ISLAM

Allah telah mengharamkan apa yang membahayakan dan yang buruk, lalu
menghalalkan yang baik dan yang memberi manfaat. Sebagai contoh, kita coba
terapkan pada firman Allah, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,
“Hendaklah mereka menahan pandangan.” Dan firman Allah, “Katakanlah kepada
wanita-wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan.”
Apabila kita mencoba mempraktekkan apa yang terdapat dalam ayat itu
sebagaimana makna harfiahnya, tanpa mengerti duduk persoalan yang sebenarnya,
maka kita didapati ayat tersebut jika hendak kita terapkan pada zaman kita ini, yang
dikenal dengan jaman edan serta serba boleh, dimana pakaian hampir menampakkan
seluruh tubuh atau lebih tepatnya setengah telanjang, rambut-rambut wanita terbuka
dan terurai di depan pelupuk mata serta berbagai kejadian yang kita saksikan sehari-
hari, niscaya kita dapati bahwa untuk mengaplikasikan ayat tersebut merupakan
perkara yang sangat rumit. Bagi seseorang yang ingin berjalan di jalanan lalu
mempraktekkan apa yang dikandung oleh syari’at adalah merupakan hal mungkin
yang sangat sulit dilakukan. Dan sesungguhnya jika sekedar melayangkan pandangan
tidaklah menjadi persoalan, namun yang menjadi permasalahan adalah apa yang
tergores di dalam hati dan akal sebagai akibat memandangi dengan hikmat terhadap
suatu pemandangan yang buruk, bahkan kadang kita melihat wajah yang cantik lalu
hati kita berbisik mengaguminya seraya berucap “Subhanallah.” Dan yang kita
maksudkan dengan pujian itu adalah Sang Pencipta yang telah menciptakannya, dan
bukan ciptaan itu sendiri. Maka sesungguhnya pandangan seperti ini tidak hanya
dihukumkan sebagai pandangan yang halal, bahkan pandangan seperti ini dapat
dituliskan baginya suatu pahala.
Allah menegakkan syari’at-Nya di atas rasa cinta dan rahmat, bukan di atas
kekuasaan dan kekerasan. Maka apabila bahaya itu tidak didapatkan berarti anda
berada di daerah yang halal. Tidaklah mungkin keutamaan itu diukur dengan meteran
pakaian, dimana keutamaan bertambah dengan bertambah panjangnya pakaian yang

9
dipakai, dan sebaliknya keutamaan itu berkurang dengan pendeknya pakaian yang
digunakan.
Tidak diragukan lagi bahwasanya Al Qur’an telah mewasiatkan bagi wanita
untuk memanjangkan jilbab-jilbab mereka, dan bahwasanya membuka aurat itu
adalah dosa. Namun perlu diingat bahwa dosa itu bertingkat-tingkat. Sesungguhnya
membuka aurat untuk tujuan syahwat itulah yang termasuk dosa, adapun sekedar
untuk memilih pakaian yang sesuai dengan mode yang sedang trend adalah
perbuatan yang dapat diperkenankan. Jika pada kenyataannya pakaian lengan pendek
menjadi suatu perbuatan yang telah menjadi kebiasaan manusia, maka selesailah
persoalannya. Karena dengan demikian pakaian itu telah menjadi suatu adat
kebiasaan yang lumrah bagi pandangan mata.
Mungkin saja bagi seseorang yang ingin menikmati panorama alam untuk
membuka berjemur di bawah terik matahari di tepi pantai sambil mengenakan
pakaian seadanya, sedang ia asyik terbuai oleh keindahan laut, warna jingga di langit
serta keindahan alami.
Namun perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan yang sangat besar antara
membuka pakaian karena dorongan syahwat dengan membuka pakaian karena ingin
berjemur di bawah terik matahari, menikmati udara dan laut. Perbedaan hati (niat)
dalam kedua hal itu sangatlah menentukan posisi kita antara berdosa atau tidak.
Bahwasanya hukum asal bagi adat kebiasaan adalah halal dan mubah. Tidak
ada yang diharamkan dari adat tersebut kecuali yang ditetapkan oleh syari’at bahwa
ia adalah haram.
Sudah menjadi hikmah dalam agama Islam, apabila ia mengharamkan sesuatu
maka ia mengharamkan segala sarana yang dapat menciptakan terjadinya pekerjaan
tersebut, mendorong serta memperdayakan seseorang untuk melakukannya. Karena
sesungguhnya jiwa ini kadang mengalami masa dimana ia dalam keadaan yang
lemah, sehingga bisa saja merespon seruan yang mempesona, lalu iapun mencoba-
coba untuk mendekati hal-hal yang terlarang hingga pada saatnya nanti tanpa
disadarinya iapun telah terperosok ke dalam perbuatan yang diharamkan.
Oleh sebab itu, dosa perbuatan haram tidak hanya terbatas bagi pelaku yang
mengerjakannya secara langsung, bahkan dosa itu akan mengenai semua orang yang

10
memberikan andil dalam perbuatan tersebut. Sebagai contoh bahwasanya orang yang
meminum khamr terlaknat, dan terlaknat pula orang yang membuat khamr itu, dan
terlaknat orang yang mendistribusikannya serta orang yang menjadi penjualnya.
Agama Islam telah mengharamkan perbuatan zina, dan tak lupa pula
mengharamkan segala sarana yang dapat menunjang serta memperdaya seseorang
untuk dapat melakukan perbuatan zina tersebut. Seperti apabila seorang laki-laki
yang normal hanya berduaan dengan seorang wanita yang tidak diharamkan untuk
dinikahinya di tempat yang jauh dari keramaian atau di tempat yang sepi. Adapun
sebabnya perbuatan ini diharamkan untuk dinikahinya di tempat yang jauh dari
keramaian atau di tempat yang sepi. Adapun sebabnya perbuatan ini diharamkan
adalah untuk melindungi kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan, dan
untuk menjaga kehormatan keluarga serta mengukuhkan hubungan yang harmonis
antara suami isteri, berupa raas ketenangan dan kasih sayang.
Demikian pula Islam mengharamkan pandangan orang yang buas, karena yang
demikian itu merupakan jalan yang menuntun seseorang untuk terjerumus ke dalam
kejahatan, dan diharamkan untuk mengintip atau mencari-cari kesempatan agar dapat
melihat aurat orang, karena perbuatan itu dapat membangkitkan emosi seksual serta
melemahkan pertahanan diri.
Diharamkan tabarruj (berhias diri), berpakaian mini, menampakkan aurat serta
sengaja memperlihatkan perhiasan dan bagian-bagian tubuh yang sensitif. Karena
semua perbuatan ini bertentangan dengan rasa malu, menjaga diri dan kehormatan,
serta membuka jalan bagi keburukan dan menarik seseorang untuk melakukan
keburukan tersebut.
Sesungguhnya sesuatu yang diharamkan akan tetap saja haram hukumnya
meskipun pelakunya menjadikan perbuatan itu untuk mencapai hal yang terpuji.
Karena sesungguhnya agama Islam disamping ia berusaha untuk menciptakan hasil
yang baik dan mulia, juga sangat memperhatikan dengan sungguh-sungguh agar
supaya sarana yang dipergunakan untuk mencapai hasil tersebut mestilah sesuatu
yang mulia pula. Dalam ajaran Islam sama sekali tidak dikenal apa yang dinamakan
dengan tujuan adalah segalanya, sehingga tujuan itu dapat menghalalkan segala
sarana yang dapat menghasilkan tujuan.

11
Bahwasanya wajib bagi setiap muslimah agar tidak menyingkap perhiasannya
di hadapan laki-laki kecuali mereka yang disebutkan oleh Al Qur’an. Karena mereka
adalah mahram bagi wanita tersebut ataupun berada pada status yang sama dengan
hukum mahram. Adapun yang dimaksudkan dengan perhiasan dalam ayat-ayat
tersebut adalah bagian-bagian tubuh yang sangat indah serta memiliki daya tarik
tersendiri bagi laki-laki. Yang mana bagian-bagian tersebut tidak diperkenankan bagi
wanita untuk menampakkannya kepada seorangpun, kecuali hal-hal yang sejak
asalnya telah biasa nampak, seperti wajah, kedua telapak tangan serta kedua kaki.
Al Qur’an yang mulia memerintahkan kaum wanita untuk menjulurkan atau
memanjangkan pakaian mereka agar tidak tersingkap sedikitpun dari bagian tubuh
mereka yang terlarang untuk ditampakkan kepada laki-laki yang bukan mahram.
Lalu Al Qur’an menyebutkan alasan bagi pelarangan ini bahwasanya hal itu adalah
untuk menjaga kaum wanita, serta memelihara mereka daripada gangguan kaum laki-
laki yang rusak. Sesungguhnya seorang wanita yang menampakkan perhiasan pada
laki-laki yang bukan mahramnya, memperlihatkan kepada manusia bagian-bagian
tubuhnya yang indah dan mempesona, membuka auratnya saat berjalan di jalanan,
berlenggak-lenggok dalam gerakannya, sengaja membuat suaranya mendesah saat ia
berbicara, maka sesungguhnya wanita seperti ini dapat mengobarkan fitnah serta
melecehkan kehormatan kaum wanita. Akhirnya orang-orang pun akan memperbin-
cangkannya serta memperbincangkan tentang keluarganya.
Oleh sebab itu Al Qur’an tidak mengecualikan seorang wanita pun dari hukum
tersebut kecuali wanita-wanita yang telah tua dan tidak lagi memiliki ketertarikan
dengan laki-laki. Dan kaum laki-laki juga telah berpaling serta tidak lagi tertarik
padanya. Maka tidak ada dosa bagi wanita jenis ini untuk menampakkan diri di
keramaian tanpa menggunakan hijab seperti jaket, jas, dan sebagainya. Dengan
syarat agar mereka tidak memaksudkan dengan perbuatan ini untuk melakukan
tabarruj serta meniru para gadis remaja. Namun meskipun demikian, yang terbaik
bagi mereka adalah tidak menampakkan diri serta tidak menyingkap perhiasan
mereka dan tidak pula meletakkan pakaian mereka.
Suatu ketika sekelompok wanita masuk menemui Aisyah, wanita-wanita
tersebut mengenakan pakaian yang tipis. Maka sayyidah Aisyah berkata, “Jika kamu

12
benar-benar wanita-wanita yang beriman, maka ini bukanlah pakaian kamu.” Dan
Rasulullah bersabda,

َ‫ َول‬،َ‫ لََيدْخُلْ َن اْلجَنّة‬،ٌ‫ل تٌ ُممِيْلَ ت‬


َ ِ‫إِنّ مِ نْ أَهْ ِل النّارِ نِ سَاءٌ كَا سِيَاتٌ عَارِيَا تٌ مَائ‬

.‫جدْ َن رِْيحَهَا‬
ِ ‫َي‬
“Sesungguhnya diantara penghuni neraka adalah wanita-wanita yang
memakai pakaian tipis, setengah telanjang, sanggul rambut mereka sangat tinggi
serta jika berjalan berlenggak-lenggok. Mereka tidak akan masuk surga serta tidak
akan mendapatkan baunya.”
Haram bagi seorang wanita untuk sengaja menarik pandangan laki-laki agar
melihat kecantikannya yang tersembunyi. Segala perbuatan ini terlarang meski
dilakukan dengan cara apapun diantara teori-teori untuk menarik perhatian orang
lain. Dan inilah makna yang tersirat daripada firman Allah, “Dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”
Sesungguhnya gelang-gelang yang ada di kaki wanita adalah perhiasan. Sehingga
bunyi gemerincingnya dapat menarik pendengaran serta memikat pandangan. Dan
kadang perbuatan itu memberitahukan maksud yang tidak baik serta keburukan niat
pelakunya.
Jika demikian halnya, maka telah jelas bagi kita kalau agama Islam
mengingkari tradisi telanjang seperti yang biasa tampak di tempat-tempat hiburan,
bioskop-bioskop serta tempat-tempat rekreasi dan sebagainya.
Untuk itu bagi kita ada beberapa point yang sangat penting, diantaranya;
a) Tidak boleh bagi kita, kaum muslimin untuk melegitimasi atau
menghalalkan tradisi telanjang tersebut, karena sangat jelas bertentangan
dengan ajaran Islam.
b) Bukanlah suatu tindakan yang dapat dibenarkan dari segi apapun jika kita
menundukkan syari’at ini hanya untuk memenuhi kemauan manusia serta
mengikuti keinginan sebagian yang lain. Bahkan yang seharusnya adalah
hendaklah mereka dengan segala kemauan serta keinginan mereka agar
tunduk kepada syari’at Islam. Sebab jika demikian, maka jadilah agama ini

13
sebagai perkara yang selalu memenuhi keinginan hawa nafsu dan
mengikuti segala kehendak manusia. Sehingga pada akhirnya agama akan
kehilangan jati dirinya, hilanglah hukum-hukum serta hikmah-hikmah
yang dikandungnya dengan sia-sia. Sebagai bukti kebenaran akan frman
Allah, “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti
binasalah semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah
mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka
berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. Al Mu’minuun : 71).
c) Pencipta manusia yang Maha Mengetahui telah menetapkan berdasarkan
tabi’at dan rahasia jiwa manusia akan ukuran dan batas-batas ibadah yang
dapat memberikan manfaat dan kebaikan bagi mereka. Maka menjadi suatu
kemestian bagi mereka untuk tidak berpaling dari ketetapan yang telah
ditentukan oleh Sang pencipta tersebut. Bahkan Dia telah mengharuskan
bagi manusia untuk mencoba-coba mencari peraturan lain di luar dari apa
yang telah ditetapkan oleh-Nya.
Andaikata apa yang mereka katakan itu benar, yaitu bahwasanya dengan
berulang-ulangnya laki-laki memandangi bagian-bagian yang menjadi daya tarik
pada diri wanita, maka hal itu akan menyebabkan laki-laki itu terbiasa dan tidak
akan membangkitkan nafsunya. Apabila hal ini adalah benar, tentu Allah telah
mengetahuinya. Dan jika demikian maka pasti Allah tidak akan mensyari’atkan
peraturan jilbab, dan tidak ada ketetapan pembatasan jumlah laki-laki yang boleh
bagi wanita untuk menampakkan perhiasan di hadapan mereka.
Meskipun didapatkan diantara manusia orang-orang yang mampu mengendalikan
dan menguasai emosi seksualnya, atau bahkan ia menjadikan emosi seksual
tersebut sebagai sarana mencapai derajat yang tinggi, dimana jika ia melihat
wanita yang cantik jelita, ia tidak akan tergoda oleh kecantikan itu akan tetapi
justru memuji dan membesarkan sang Pencipta kecantikan itu sendiri.
Sesungguhnya jika orang-orang seperti itu benar-benar ada, mereka itu hanyalah
satu individu di tengah ratusan juta manusia yang lainnya.

14
BAB IV
TANGGAPAN

Masalah poligami menjadi konflik yang berkepanjangan baik dalam umat


Islam maupun dari luar Islam terutama dari musuh-musuhnya. Hal itu disebabkan
adanya sebagian individu umat Islam yang tidak begitu memahami akan urgensi
poligami dalam kehidupan insan secara naluri maupun urgensinya ditinjau dari segi
dakwah Islamiyah. Sehingga kita masih mendengar adanya nada-nada sumbang yang
ditujukan kepada mereka yang mempraktekkan sunnah Nabi yang merupakan
syari’at Ilahi.
Disamping itu masalah poligami ini telah dijadikan sasaran empuk oleh musuh
Islam untuk menghujat Islam dengan ajaran-ajarannya yang agung. Tuduhan dan
hujatan itu kadang langsung diarahkan kepada pembawa risalah ini, seorang Nabi
yang diakui kemuliaan akhlak dan kesucian kehormatannya, bukan saja diakui oleh
umat Islam itu sendiri tapi juga oleh mereka yang bersikap netral dan obyektif dari
luar Islam.
Poligami Nabi seringkali ditanggapi negatif oleh para musuh Islam, mereka
mengatakan bahwa hal itu merupakan bukti bahwa beliau adalah seorang yang
memiliki kelainan seksual atau seorang yang senang menuruti hawa nafsu. Padahal
bila kita telusuri dengan seksama, akan nampak bagi kita bahwa pernikahan Nabi
dengan isteri-isterinya itu tidak memiliki unsur pemuasan nafsu, akan tetapi
terkandung di dalamnya tujuan-tujuan yang mulia bagi umat Islam khususnya dan
sejarah kemanusiaan pada umumnya.
Maka menjadi kewajiban bagi kita semua untuk menjelaskan hakikat yang
sebenarnya agar keagungan kepribadian beliau tidak tercemari oleh isu-isu yang
senantiasa disebarkan oleh mereka yang benci jika ajaran Islam mendapatkan tempat
yang layak di hati para pemeluknya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Al Hufy, Dr. Ahmad. 1412 H. Mengapa Rasulullah Berpoligami. Jakarta: Pustaka


Azzam.

Nabil, Abu Mahmud. 2005. Aku Keluargaku. Ma’sum Press: Solo. Republika Edisi 8
Desember 2006. Jakarta.

Shihab, Quraisy. 2006. Dialog Jum’at: Ibarat Emergency Exit di Pesawat. Dalam
Tabloid Republika 8 Desember. Jakarta.

Uchrowi, Zaim. 2006. Resonasi: (Masih) Poligami. Dalam Republika 8 Desember.


Jakarta.

16

You might also like