You are on page 1of 11

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Dalam sistem pembayaran pajak di Indonesia, dikenal Official Assesment System dimana pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak ditentukan sepenuhnya oleh fiskus atau pemungut pajak. Namun, setelah adanya reformasi perpajakan, Official Assesment System digantikan oleh Self Assesment System dimana jumlah yang harus dibayarkan oleh wajib pajak ditentukan sendiri oleh wajib pajaknya. Self Assesment System sebagai salah satu hasil dari reformasi perpajakan di Indonesia, berlandaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. 1.2. Identifikasi Masalah 1. Bagaimana kaitan antara pajak dan pancasila? 2. Apa yang dimaksud dengan reformasi perpajakan? 3. Bagaimana penggantian Official Assesment System menjadi Self Assesment System dalam reformasi perpajakan? 4. Bagaimana keterkaitan antara Self Assesment System dengan pancasila? 5. Bagaimana Self Assesment System apabila dikaitkan denan teori pemungutan pajak?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Reformasi Pajak Reformasi pajak adalah perubahan yang mendasar di segala aspek

perpajakan. Reformasi pajak dilakukan agar sistem perpajakan dapat lebih efektif dan efisien, sejalan dengan perkembangan globalisasi yang menuntut daya saing tinggi dengan negara lain. Tentu saja dengan memperhatikan prinsip-prinsip perpajakan yang sehat seperti persamaan (equality), kesederhanaan (simplicity), dan keadilan (fairness), sehingga tidak hanya berdampak terhadap peningkatan kapasitas fiskal, melainkan juga terhadap perkembangan kondisi ekonomi makro. Kemudian, reformasi pajak terdiri atas beberapa langkah yaitu: 1. Langkah-langkah pembaruan kebijakan (tax policy reform), dimana reformasi ini dilakukan melalui perubahan-perubahan dalam aturan-aturan hukum yang berlaku. Di Indonesia sendiri, perubahan dari aturan-aturan di bidang perpajakan lebih dititik-beratkan pada pemberian rasa keadilan dan kepastian hukum di bidang perpajakan, yang bertujuan untuk mendorong investasi, serta mengoptimalkan penerimaan perpajakan. Sementara langkah pembaruan kebijakan dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap beberapa aturan hukum pajak seperti Undang-undang Pajak Penghasilan, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan, Undang-undang Bea Materai, dan lain-lain. 2. Langkah-langkah pembaruan administrasi perpajakan (tax administrative reform) yang meliputi; (1) Penyempurnaan peraturan pelaksanaan undangundang perpajakan.; (2) Pembentukan dan perluasan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) khusus Wajib Pajak (WP) Besar (Large Taxpayer Office, LTO), diantaranya meliputi pembentukan organisasi berdasarkan fungsi,

pengembangan sistem administrasi perpajakan yang terintegrasi dengan pendekatan fungsi, dan implementasi dari prinsip-prinsip Good Corporate Governance.; (3) Pembangunan KPP khusus WP menengah, dan KPP khusus WP kecil di Kanwil VI Direktorat Jenderal Pajak. (4) Pengembangan basis data, pembayaran pajak dan penyampaian SPT secara online. (5)

Perbaikan manajemen pemeriksaan pajak; (6) Peningkatan efektivitas penerapan kode etik di jajaran Direktorat Jenderal Pajak dan Komisi Ombudsman Nasional.

2.2. Pajak dan Pancasila Pada dasarnya, pajak memiliki keterkaitan dengan pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia. Sehingga, reformasi pajak yang baik juga harus berdasarkan pancasila. Keterkaitan pajak dengan pancasila adalah sebagai berikut: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa Sistem perpajakan bukanlah hal yang bertentangan dengan ajaran agama dan prinsip ketuhanan. Hal ini dikarenakan dalam ajaran beberapa agama telah diperintahkan oleh Tuhan pada umatnya untuk menyisihkan sebagian harta yang dimiliki untuk digunakan bagi kepentingan masyarakat umum atau kepentingan orang yang tidak mampu tanpa mendapat imbalan. 2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Keadilan merupakan salah satu syarat yuridis dari pajak dan selain itu, pajak juga harus sesuai dengan peradaban manusia. Hal tersebut tercermin dalam prinsip daya pikul, artinya bahwa orang dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama, dan tidak dibenarkan mengadakan perlakukan yang berlainan terhadapnya,tidak pandang bangsa, golongan, aliran, ideologi dan lain sebagainya. Kemudian, apabilan dilihat dari segi kemanusiaan, dapat diartikan bahwa perlakukan wajib harus secara manusiawi tidak boleh melanggar HAM dan harus layak bagi manusia dan tindakan sewenangwenang terhadap wajib pajak harus dihindarkan. 3. Persatuan Indonesia Pajak merupakan salah satu sumber keuangan negara, dimana keuangan negara pada akhirnya berfungsi untuk mempertahankan persatuan yang telah diproklamirkan. 4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan Kerakyatan disini dapat diartikan bahwa rakyat ikut menentukan adanya pungutan yang disebut pajak. Rakyat dalam ikut menentukan pajak-pajak tidak bertindak secara langsung, melainkan melalui wakil-wakilnya dalam DPR yang dipimpin secara langsung dan demokratis oleh rakyat sendiri.

5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Pajak merupakan suatu alat untuk membiayai pengeluaran yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat umum. Pembangunan yang sebagian besar dibiayai dari hasil pajak dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, tidak melihat apakah rakyat itu turut membayar pajak atau tidak.

2.3. Self Assesment 2.3.1. Pengertian Self Assesment Self Assessment System merupakan wewenang, kepercayaan,

tanggungjawab untuk wajib pajak menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besar pajak yang harus dibayar setiap tahun sesuai dengan undang-undang perpajakan yang berlaku.
Self assessment system dapat dikatakan sebagai metode yang memberikan tanggungjawab yang besar kepada wajib pajak. Hal ini dikarenakan semua proses dalam pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan sendiri oleh wajib pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak bersifat Aktif mulai dari menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Fiskus pun tidak ikut campur dan hanya bertugas untuk mengawasi.

Namun, untuk mencapai keberhasilan dalam penerapan Self Assesment System, maka harus ada syarat-syarat yang dipenuhi yaitu: Kesadaran Wajib Pajak (tax consciousness), Kejujuran Wajib Pajak, Kemauan atau hasrat untuk membayar pajak (tax mindness), dan Kedisiplinan Wajib Pajak (tax discipline) dalam melaksanakan peraturan perpajakan.

2.3.2. Perubahan dari Sistem Official Assesment Menuju Sistem Self Assesment Self Assesment system mulai diberlakukan sejak adanya reformasi perpajakan pada tahun 1983. Sebelum Self Assesment system diberlakukan, sistem yang dikenal adalah Official Assesment. Pada sistem Official Assessment, besarnya pajak yang seharusnya dibayarkan oleh wajib pajak telah ditetapkan sepenuhnya oleh fiskus atau pemungut pajak. Sementara tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintahan yang diwakili oleh fiskus

sebagaimana tercermin dalam sistem penetapan pajak yang sepenuhnya menjadi wewenang administrasi perpajakan. Wajib pajak hanya berperan sebagai pembayar jumlah pajak yang sebelumnya telah ditetapkan oleh fiskus dan wajib pajak bersifat pasif. Seperti yang telah disebutkan diatas, perubahan sistem dari Official Assesment menjadi Self Assesment dimulai sejak adanya reformasi perpajakan tahun 1983. Perubahan tersebut menggantikan peraturan perpajakan yang dibuat oleh kolonial Belanda (misalnya: ordonansi PPs 1925 dan ordonansi PPd 1944), Indonesia telah mengganti sistem pemungutan pajaknya pula dari sistem official-assessment menjadi sistem self-assessment yang masih diterapkan sampai dengan sekarang. Sejak pertama kali dilakukannya reformasi perpajakan hingga saat ini, sudah dilakukan empat kali perubahan terhadap Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu pada tahun 1994, 1997, 2000 dan terakhir 2007. Perubahan tersebut membawa dampak bagi pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak, terutama perubahan-perubahan yang berhubungan dengan kewajiban Wajib Pajak dalam menghitung atau memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajaknya. Namun, dalam praktiknya wajib pajak sering dihadapkan dengan keterbatasan informasi mengenai perubahan tersebut sehingga tidak sedikit yang akhirnya mendapat teguran dari Dirjen Pajak (DJP) karena tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Indonesia yang telah menganut sistem Self Assesment mau tidak mau memaksa wajib pajak untuk aktif mencari informasi terkait perpajakan. Akan tetapi, pencarian informasi oleh wajib pajak pun tidak akan efektif jika tidak diikuti dengan kebijakan Dirjen Pajak dalam mensosialisasikan setiap informasi yang dipublikasikan kepada masyarakat. Hal ini patut diperhatikan karena tidak semua wajib pajak mengerti peraturan perpajakan tanpa adanya penjelasan dari Dirjen pajak, sehingga dapat mencegah timbulnya kesalahpahaman antara wajib pajak dengan fiskus.

2.3.3. Aturan-aturan yang Mendasari Self Assesment a. Undang-undang Dasar 1945

Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi : kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-undang Dasar. Pasal 23A yang berbunyi : pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara daiatur dengan undang-undang.

b. Undang-undang nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan Pasal 12 ayat (1) yang berbunyi : setiap wajib pajak membayar pajak yang terutang pajak. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan

c. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Pasal 25 yang berbunyi :

(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan: - Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan - Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. (2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu. Dari pasal diatas menunjukan bahwa Wajib Pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghitung, memperhitungkan, memotong atau memungut, menyetor dan melaporkan besarnya jumlah pajak yang harus dibayar dan melaporkannya sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

d. Undang-Undang No. 20 tahun 2007 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1977 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi: Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak Maka dari pasal tersebut Sistem pemungutan BPHTB adalah self assessment, dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB) dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak

BAB III ANALISA


3.1. Hubungan antara Self Assesment dengan Reformasi Pajak yang berdasarkan Pancasila Self Assessment System, apabila melihat hubungannya dengan Pancasila, maka kentara sekali hubungannya dengan Sila Ke-4 Pancasila yaitu, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan. Hubungan yang dimaksud adalah berupa kedaulatan rakyat. Dalam hal ini, Self Assessment System yang menghendaki Wajib Pajak untuk menghitung sendiri jumlah pajaknya merupakan salah satu bentuk dari kedaulatan rakyat yang tidak dapat disanggah. Rakyat berhak untuk menghitung sendiri utang pajaknya dan diberi kepercayaan penuh untuk membayarkan utang pajaknya sesuai dengan perhitungan tersebut. Pertanggungjawaban keuangan sepenuhnya berada di tangan rakyat karena Kerakyatan mengandung arti bahwa rakyat ikut menentukan adanya pungutan berupa jumlah utang pajak tersebut.

3.2. Hubungan antara Self Assesment dengan Teori Daya Pikul dalam Pemungutan Pajak Teori gaya pikul adalah teori yang menyatakan bahwa pemungutan pajak didasarkan atas kemampuan seseorang. Menurut Ir.Mr.Aj. Cohen Stuart, seseorang diibaratkan layaknya seperti jembatan yang harus mampu menahan bebannya atau bobotnya sendiri sebelum dicoba dibebani. Dalam artian seseorang harus mampu memenuhi kebutuhan minimum standar nya terlebih dahulu, barulah ia dibebani kewajiban membayar pajak kepada negara. Banyak pihak yang menyatakan bahwa gaya pikul diukur dari kekayaan atau penghasilan seseorang atau justru diukur dari penghasilan ditambah kekayaan yang dimiliki seseorang. Namun, Undang-undang Pajak yang sesungguhnya menyatakan bahwa gaya pikul seseorang berbeda-beda meskipun keadaan mereka sama, baik dari harta kekayaan maupun penghasilan yang diperoleh karena yang membedakan gaya pikul seseorang adalah besar-kecilnya tanggungan keluarga.

Seperti yang sudah disebutkan, dalam Self Assesment System, wajib pajak harus aktif menghitung dan melaporkan jumlah pajak terutangnya tanpa campur tangan fiskus. Sistem ini diberlakukan untuk memberikan kepercayaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam menyetorkan pajaknya. Metode pemungutan pajak dengan cara Self Assesment System ini dinilai selaras dengan teori gaya pikul, dimana wajib pajak sendiri lah yang mengetahui kemampuan dan keadaannya sendiri, baik penghasilannya maupun kekayaan yang dia miliki sehingga nantinya ia sendiri yang dapat menghitung apakah ia sudah mampu dibebani kewajiban untuk membayar pajak kepada negara dengan cara melihat terlebih dahulu apakah wajib pajak tersebut sudah mampu memenuhi kebutuhan minimum bagi dirinya sehingga dapat dibebani kewajiban membayar pajak, serta melalui sistem pemungutan pajak Self Assesment System ini dapat diketahui oleh wajib pajak sebanyak apa PTKP dirinya atau sebanyak apa penghasilannya yang akan kena pajak (dikenai pajak).

BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan Reformasi pajak adalah perubahan yang mendasar di segala aspek perpajakan. Reformasi pajak dilakukan agar sistem perpajakan dapat lebih efektif dan efisien, sejalan dengan perkembangan globalisasi yang menuntut daya saing tinggi dengan negara lain. Di Indonesia telah dilakukan reformasi pajak dimana pada reformasi tersebut dilakukan perubahan yang menggantikan peraturan perpajakan yang dibuat oleh kolonial Belanda (misalnya: ordonansi PPs 1925 dan ordonansi PPd 1944), dan Indonesia telah mengganti sistem pemungutan pajaknya dari sistem Official Assessment menjadi sistem Self Assessment yang masih diterapkan sampai dengan sekarang. Sistem Self Assesment mulai diberlakukan sejak adanya reformasi perpajakan pada tahun 1983. Sebelum sistem Self Assesment diberlakukan, sistem yang dikenal adalah Official Assesment. Dimana pada sistem Official Assessment, besarnya pajak yang seharusnya dibayarkan oleh wajib pajak telah ditetapkan sepenuhnya oleh fiskus atau pemungut pajak. Sementara pada sistem Self Assesment sendiri, wajib pajak diberikan wewenang, kepercayaan, tanggungjawab untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan

melaporkan sendiri besar pajak yang harus dibayar setiap tahun sesuai dengan undang-undang perpajakan yang berlaku. Kemudian, sistem Self Assesment sebagai cerminan dari reformasi pajak yang berlandaskan pancasila, memiliki hubungan dengan nilai yang terkandung dalam pancasila. Yaitu dengan nilai yang terdapat pada sila ke 4 Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan perwakilan. Dan bentuknya adalah kedaulatan rakyat. Self Assessment System yang menghendaki Wajib Pajak untuk menghitung sendiri jumlah pajaknya merupakan salah satu bentuk dari kedaulatan rakyat yang tidak dapat disanggah. Pertanggungjawaban keuangan sepenuhnya berada di tangan rakyat karena

Kerakyatan mengandung arti bahwa rakyat ikut menentukan adanya pungutan berupa jumlah utang pajak tersebut. Sistem Self Assesment juga berkaitan dengan teori daya pikul dalam pemungutan pajak dimana wajib pajak sendiri lah yang mengetahui kemampuan dan keadaannya sendiri, baik penghasilannya maupun kekayaan yang dia miliki sehingga nantinya ia sendiri yang dapat menghitung apakah ia sudah mampu dibebani kewajiban untuk membayar pajak kepada negara dengan cara melihat terlebih dahulu apakah wajib pajak tersebut sudah mampu memenuhi kebutuhan minimum bagi dirinya sehingga dapat dibebani kewajiban membayar pajak

You might also like