You are on page 1of 6

Awasi Kebutaan Pada Pasien Kencung Manis

Seorang anak perempuan berusia 14 tahun datang dalam keadaan dehidrasi. Ia mengeluh poliuri dan polipdisi sejak 12 bulan yang lalu. Selama 6 bulan terakhir, berat badannya menurun drastis. Tubuh pun mudah lemas. Saat itu kadar gula darahnya 32,8 mmol/I, HbA1 15,1% dan Ph darah 7,02. maka diagmosis ketoasidosis diabetikum pun ditegakkan. Tiga minggu kemudian, ia mengeluh pandangan matanya kabur. Setelah diperiksa, kedua lensa matanya tampak kabur dan gambaran retina sulit dinilai. Visus kedua mata 6/9. oleh dokter spesialis mata, ia divonis menderita katarak posterior subkapsular bilateral stadium rimgan. Empat bilan kemudian, visus kembali menurun menjadi 6/24 (mata kanan), dan 2/24 (mata kiri). Kali ini, katarak yang dideritanya sudah nertambah parah. Akhirnya, ia pun menjalani operasi katarak. Dan, visusnya membauk menjadi 6/6 pada kedua mata.

Katarak & DM

Laporan kasus diatas membuktikan bahwa pasien diabetes meliyus sangat beresiko menderita katarak di kemudian hari. Katarak dalam bahasa Yunani= katarrha-kies berarti air terjun. Katarak ditandai oleh kekeruhan pada lensa sehingga menghalangi masuknya cahaya kedalam retina. Sebagian kasus besar katarak disebabkan proses degeneretif pada usia lanjut. Akan tetepi, penyebab lain tidak boleh dilupakan, diantaranya trauma mata, inflamasi dan penyakit sistematik. Dalam pidato pengukuran guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 2004, Prof. Dr. Istiantoro SpM(K) memaparkan bahwa katarak menjadi penyumbang terbesar kasus kebutaan di Indonesia. Berdasarkan survei kebutuhan dan penyakit mata di Indonesia tahun 1995-1997, angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,47% atau kurang lebih 3,5 juta orang. Dan, katarak menjadi penyebab kebutaan terbanyak yakni 0,76, diikuti oleh glakuoma dan gangguan refraksi. Data statistik menunjukan prevalensi katarak di Indonesia mencapai 210.000 kasus/tahun. Akan tetapi, kemampuan pelayanan kesehatan di Indonesia untuk menangani kasus katak hanya sebesar 70.000 kasus/tahun. Akibatnya terjadi penumpukan kasus katarak yang tak tertangani sebesar 140.000 juta/tahun. Oleh karena itu, lanjut Prof. Dr. Istiantoro, katarak bukan hanya menjadi tantangan oftalmologi komunitas tetapi juga tantangan sosial di Indonesia. Sementara itu, jumlah penderita diabetes melitus (DM) terus bertambah. Badan Kesehatan Dunia WHO memprediksi jumlah penderita DM di Indonesia pada tahun 2030 mencapai 21,3 juta. Kasus katak pada pasien DM pertama kali diteliti oleh John Rollo pada tahun 1798. sejak itu, penelitian mengenai katarak

nerkaitan dengan DM terus berkembang. Dilaprkan, dalam 5 tahun setelah diagnosa DM ditegakkan, lensa mata mulai mengalami kekeruhan.

Anatomi Lensa Mata

Lensa mata berbentuk lempeng cakram bilonveks dan terletak di dalam nilik mata belakang. Batas anterior berhubungan dengan cairan bilik mata, sedangkan batas posterior berhubungan dengan benda kaca. Lensa dibentuk oleh sel epitel yang membentuk serat lensa di dalam kapsul lensa. Serat lensa yang memadat dibagian sentral akan membentuk nukles lensa. Bagian nukleos ini merupakan serta lensa tertua dalam kapsul lensa. Bagian luar nukleos terdapat serat lensa yang lebih muda, disebut sebagai korteks lensa. Korteks disebelah depan nukleos dinamakan korteks anterior, sedangkan di belakang disebut korteks posterior, permukaan posterior lebih cembung daripada anterior.

Patogenesis Katarak Diabetik

Penjelasan bagaimana terjadinya katarak diabetik pada manusia masih belum diketahui. Namun ada 3 mekanisme yang diduga berperan yaitu glikasi non-en-zimatik, sters oksidatif, dan jalur polyol. Dalam kondisi hiperglikemia, sebagian glokosa yang berlebih akan bereaksi secara non-enzimati dengan protei, jaringan serta darah. Proses yang disebut glikasi non-enzimatik ini akan menghasilkan advanced glycation end products (AGEs). Terbentuknya AGEs diawali penggabungan gugus karbonil glukosa dengan gugus amiro dari protein atau asam amino sehingga membentuk basa Schiff itu akan terus bertambah, dan pada suatu saat mencapi titik equilibrium.lama-kelamaan setelah serangkaian proses kimiawi, basa Schiff membentuk produ Amadori. Selanjutnya, melalui serangkaian proses kaskade dehidrasi, kondensasi, fragmentasi dan oksidasi terbentuklah AGEs. Penbelitian menunjukan penumpukan AGEs pada lensa mata akan mempercepat proses kataraktogenesis baik pada hewan eksperimrn maupun penderita diabetes. Dalam kondisi fisiolo9gis tubuh akan dpat melakukan kompensasi terhadap glukosa yang berlebih dengan cara mematobolismenya melalui jalut glikolitik dan pentose shunt. Pada keadaan hiperglekimia, pembuangan glukosa melalui kedua jalur tersebut bertambah banyak. Akan tetapi glikosa yang berlebihan akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose rekdurase (AR) melalui jalur polyol. Sorbitol akan menumpuk di dalam sel karena sulit menembus membrane sel. Akibatnya terjadi gangguan pada homeostatis osmotik dan terjadilah hiperosmotik di dalam sel lensa. Lensa milai membengkak. Permeabilitas membran berubah. Kadar natrium meningkat, sedfangkan kadar kalium menurun. Terjadi pula penurunan kadar glutation,myoinositol, ATP dan asam amino bebas. Selm epitel lensa di bagian sentral akan

bertambag besar, terlihat seperti vakuol. Kemidian diikuti dengan pembengkakan serat kortikal superfisial. Degenerasi lensa selanjutnya, korteks menjadi opak, selanjutnya inti sel ikut menjadi opak seiring pencairan pada gerio kortikal. Enzim aldose reduktase memerlukan NADPH sebagai kofaktor. Padahal NADPH juga diperlukan oleh intrasel untuk regerasi molekul antuoksidan seperti glutation dan vitamin C. Akibatnya kadar antioksidsan menurun.

Bedah Katarak pada DM

Sampai saat ini belum ada terapi obat dalam penatalaksanaan katarak. Pembedahan merupakan terapi definitif. Ada 3 macan bedah katarak yaitu ekstraksi katarak intrakapsular (EKIK), katarak iekstrakapsular (EKEK), dan fakoelmusifikasi. Menurut Prof Istiantoro srjak mtahun 1980 teknik EKIK mulai tergeserkan oleh EKEK dengan penanaman lensa intraokuler/ IOL. Dengan teknik EKEK +IOL, penderita tidak perlu memakai kaca nata afakasia untuk mengoreksi visusnya. Akan tetapi baik EKIK maupun EKEK+IOL sering menimbulkan efek samping pasca pembedahan astigmatisme. Astigmatisme itu terjadi karena luka sayatan pada kedua teknik itu cukup lebar, 8-10 mm sehingga memerlukan 8-010 jahitan. Kekurangan itu diatasi dengan teknik terbaru saat yaitu fakeomulsifikasi. Meskipun teknik fakeomulsifikasi sudah bisa dilakukan di Indonesia, pada kenyataanya masih menemui beberapa hambatan seperti peralatan mesin fakeomulsifikasi yang mahal, terbatasnya tenaga ahli, tahapan pembelajaran yang panjang dan memerlukan bahan habis pakai yang mahal. Maka dari itu, Prof Istiantoro mengemukakan bahwa saat ini telah dikembangkan teknik SICS (small incision cataracst surgery). SICS ini adalah modifikasi dari teknik EKEK+IOL, modifikasi dilakukan pada arsitektur sayatannya yang menyerupai sayatan pada fakeomulsifikasi sehimgga lebih kecil dari biasanya. Akibatnya hanya memerlukan satu jahitan. Prof Istiantoro melanjutkan hasil visus akhir dan keamanan antara SICS dan fakeomulsifikasi tidak mempunyai perbedaan. Penelitian di RS UP Dr Sardjito, Yogyakarta oleh dr Suhardjo dari Sub bagian Uvea-Lensa FK UGM terhadap 37 penderita DM tipe 2 yang dilakukan EKEK+IOL memberikan hasi sebagai berikut, pada kelompok DM terjadi penyulit perdarahan bilik mata depan sebanyak 3 kasus, dan pupil capture 4 kasus. Sementara itu pada kelo,pok komtrol hanya ditemukan reaksi fibrinoid 1 kasus dan pupil capture 1 kasus. Meskipun terlihat bahwa penyulit lebih banyak ditemukan pada kelompok DM , statistik menyatakan tidak ada perbedaan bermakna diantara keduanya. Hasil penelitian diatas memberi jawaban bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari pembedahan katarak pada pasien DM. Hanya saja, persiapan pra dan pasca opersi hendaknya meliputi pemeriksaan

fundus, retinometri, dan tekanan bola mata. Kadar gula darah pra operasi juga harus terkontrol begitu juga pada saat pasca operasi. Perlu juga di pantau keadaan retina untuk mendeteksi ada tidaknya tanda-tanda retinopati diabetik. Dikutip dari majalah Farmacia edisi3Oktober2007 Diketik ulang oleh Rina Susanti Diposkan oleh Tugas Mahasiswi DHBdi 21:42

LAPORAN KASUS Seorang penderita wanita, umur 41 tahun, agama Kristen, dengan riwayat diabetes mellitus sejak 6 tahun yang lalu. Kurang lebih 2 tahun yang lalu penderita mulai merasakan keluhan mata kabur terutama pada mata kiri. Keluhan ini dialami oleh penderita secara perlahan-lahan, akan tetapi kira-kira 3 bulan terakhir ini penglihatannya terasa menurun sekali. Tidak disertai nyeri ataupun mata merah. Karena keluhan ini maka penderita datang ke bagian mata. Penderita tidak control secara teratur tentang penyakit gulanya. Diketahui gula darah penderita tertinggi sekitar 500 mg/dl. Dan gula darah terakhir adalah 487 mg/dl. Riwayat darah tinggi disangkal penderita, dan dalam keluarga hanya penderita yang sakit seperti ini. Secara umum tampak bentuk wajah simetris, tekanan darah penderita 120/80 mmHg, kekuatan otot tangan dan kaki normal. Keadaan organ lain dalam batas normal. Status psikiatrik dalam keadaan baik. Pada pemeriksaan khusus oftalmikus yang meliputi pemeriksaan obyektif yaitu meliputi bagian luar dan segmen anterior bola mata. Pada inspeksi umum ditemukan posisi bola mata dalam batas normal, silia dan supersilia bentuk teratur, palpebra kesan baik, fisura palpebra relative lebar, mata tidak kemerahan, tidak fotofobia dan tidak lakrimasi. Pada inspeksi khususditemukan apparatus lakrimalis, konjungtiva palpebra/bulbi/forniks dan gerakan bola mata dalam batas-batas normal. Kedua pupil berbentuk bulat, isokor dengan diameter kira-kira 3 mm dan refleks cahaya baik. Kornea jernih, sclera, iris serta COA dalam batas-batas normal juga. Pemeriksaan dengan slit lamp tampak vakuola-vakuola, kekeruhan subkapsuler posterior kapsula lentis, yang paling jelas terlihat pada mata kiri. Pada palpasi tidak ditemukan keluhan nyeri, tidak teraba tumor, tekanan intraokuler mata kanan dan kiri 14,6 mmHg. Pemeriksaan funduscopy terlihat refleks fundus nonuniform, papil bulat, batas tegas, warna vital, pada retina terlihat hard exudat, perdarahan bintik, perdarahan bercak, venous beading, cotton wool spots, IRMA, dan pada mata kiri tampak adanya jaringan ikat (fibrous retinitis proliferans), macula: terdapat hard exudat, foveal refleks (-). Pemeriksaan subyektif ketajaman penglihatan dengan optotype snellen ditemukan mata kanan 6/50gc, mata kiri 1/300gc, pinhole tidak ada kemajuan. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan di atas tadi maka penderita ini didiagnosa sebagai Retinopati Diabetika Proliferatif ODS dan Katarak Diabetika ODS dan Makulopati ODS. Diberikan terapi oral anti diabetika dari bagian penyakit dalam. Kemudian dilakukan tindakan laser fotokoagulasi panretinal pada mata kanan. DISKUSI

Retinopati diabetika merupakan salah satu komplikasi penyakit diabetes mellitus pada yang paling sering ditemukan dan berpotensi menyebabkan kebutaan. Retinopati diabetika ini adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh darah kecil, biasanya ditemukan bilateral, simetris dan progresif, dan diklasifikasikan sebagai: Retinopati diabetika nonproliferatif / retinopati background Retinopati diabetika proliferatif.

Makulopati diabetika yang berupa makulopati eksudatif, edema macula dan makulopati iskemik dapat ditemukan pada setiap tingkatan retinopati diabetika. Gambaran klinis retinopati diabetika nonproliferatid berupa mikroaneurisma yang merupakan tonjolantonjolan kecil bulat pada kapiler. Pada vena terlihat mengalami dilatasi dan berkelok-kelok, venous beading. Dapat dilihat berbagai macam perdarahan, baik berbentuk bintik (dot hemorrhages) maupun berbentuk bercak (blot hemorrhages). Kapiler-kapiler yang bocor mengakibatkan edema retina terutama di macula, sehingga retina menebal dan terlihat berawan. Walaupun cairan serosa diserap, masih akan tetap ada presipitat lipid kekuningkuningan dalam bentuk eksudat keras (hard exudate). Jika fovea menjadi edema atau iskemik atau terdapat hard exudates, maka tajam penglihatan sentral akan menurun sampai derajat tertentu. Dengan bertambahnya progresinya sumbatan mikrovaskuler, gejala iskemik mungkin menjadi lebih hebat yaitu ditandai adanya sejumlah bercak mirip kapas (cotton wool spots) atausoft exudate. Sedangkan pada retinopati diabetika proliferatif dengan adanya iskemik retina yang progresif maka merangsang terbentuknya pembuluh-pembuluh darah baru (neovascularisasi) yang rapuh baik intra retinal dan pre retinal sehingga dapat mengakibatkan kebocoran serum dan protein dalam jumlah banyak.Neovaskularisasi ini dapat berproliferasi di permukaan posterior korpus vitreus dan terangkat bila korpus vitreus berkontraksi dan terlepas dari retina. Perdarahan yang berasal dari pembuluh darah ini bisa menyebabkan perdarahan korpus vitreus yang massif. Neovaskularisasi yang terangkat ini mengalami perubahan fibrosa membentuk fibrous retinitis proliferans yang bisa menarik retina sehingga dapat terjadi retinal detachment. Penderita ini kami diagnosa sebagai retinopati diabetika proliferatif didasarkan atas adanya riwayat sakit diabetes pada penderita ini yang sudah berlangsung sejak 6 tahun yang lalu, dengan gula darah yang tidak terkontrol (gula darah terakhir adalah 487 mg/dl). Selain itu pada pemeriksaan funduskopi didapatkan gejala-gejala klinis berupa hard exudates, perdarahan bintik, perdarahan bercak, venous beading, IRMA ( Intra-retinal microvascular abnormalities), cotton wool spots, neovaskularisasi intra retinal dan pre retinal, juga jelas terdapat fibrous retinitis proliferans pada mata kiri penderita ini. Terdapat beberapa factor yang mempengaruhi terjadinya retinopati diabetika yaitu antara lain lamanya diabetes mellitus, dimana lebih lama diabetes diderita, lebih besar kemungkinan timbulnya retinopati daibetika. Dikatakan setelah 7 tahun menderita diabetes, maka 50% penderita akan mengalami retinopati diabetika. Selain itu, factor lain yang dapat mempengaruhi terjadi retinopati diabetika ini adalah control terhadap diabetes mellitusnya. Pengawasan yang baik mengurangi frekuensi atau memperlambat timbulnya retinopati diabetika. Terutama bila pengawasan yang baik ini dilaksanakan pada tahun-tahun pertama membawa pengaruh baik yang lebih besar lagi. Dari hasil penelitian ternyata bahwa frekuensi retinopati pada penderita diabetes dengan pengawasan yang baik

yaitu 36 38%, sedangkan penderita yang tidak mendapat pengawasan yang baik 50- 60%. Dari hasil anamnesa terhadap penderita ini diketahui bahwa penderita ini diketahui menderita diabetes mellitus sudah 6 tahun dan selama ini tidak control teratur. Retinopati diabetika proliferatif merupakan indikasi untuk dilakukan argon laser fotokoagulasi panretinal. Fotokoagulasi ini bertujuan agar terjadi regresi jaringan neovaskularisasi yang ada dan mencegah neovaskularisasi progresif nantinya sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya perdarahan korpus vitreus yang massif dan retinal detachment, dan malahan pada beberapa kasus neovaskularisasinya menghilang. Pada retinopati diabetika proliferatif yang lanjut dengan jaringan fibrous atau sudah dengan komplikasi perdarahan vitreus dan retinal detachment dianjurkan untuk dilakukan vitrektomi. Penderita ini sudah dilakukan fotokoagulasi laser panretinal pada mata kanannya. Mata kiri penderita karena sudah terdapat jaringan ikat maka dianjurkan untuk dilakukan vitrektomi.

You might also like