You are on page 1of 25

Bahasa adalah alat verbal yang digunakan untuk berkomunikasi, sedangkan berbahasa adalah proses penyampaian informasi dalam

berkomunikasi itu. Bahasa adalah objek kajian linguistic, sedangkan berbahasa adalah objek kajian psikologi. 1. Hakikat Bahasa Para pakar linguistik deskriptif mendefinisikan bahasa sebagai satu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidenfikasi diri. (Chaer, 1994). Satu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer menyatakan hakikat bahasa. Definisi bagian pertama ini menyatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem yang bersifat sistematis dan sistemis. Jadi bahasa bukan merupakan satu sistem tunggal, melainkan dibangun oleh sejumlah subsistem (fonologi, sintaksis, dan leksikon). Sistem bahasa ini merupakan sistem lambang yang berupa bunyi. Selain itu, sistem bahasa ini juga bersifat arbitrer. Artinya, antara lambang yang berupa bunyi itu tidak memiliki hubungan wajib dengan konsep yang dilambangkannya. Tidak ada alasan mengapa benda yang dipakai untuk duduk dinamakan kursi, dan yang diminum dinamakan air. Kata-kata tersebut tidak mempunyai alasan mengapa demikian wujudnya. Definisi tersebut juga menyiratkan bahwa setiap lambang bahasa, baik kata, frase, klausa, kalimat maupun wacana memiliki makna tertentu, yang bisa saja berubah pada satu waktu tertentu. Sistem simbol lisan yang arbitrer dipakai oleh masyarakat bahasa tersebut, yakni masyarakat yang memiliki bahasa itu. Orang dari masyarakat bahasa lain tentu tidak dapat memakai sistem ini. Pemakai bahasa 1 1 1 1 1

menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antara sesama mereka, tetapi dalam berinteraksi itu mereka secara tidak sadar dikendala oleh budaya yang mereka junjung. Perilaku bahasa mereka merupakan cerminan dari budaya mereka. Penolakan terhadap kalimat Tutik mengawini Ahmad bukan disebabkan oleh kekeliruan tatabahasa, tetapi ketidaklayakan pada budaya masyarakat Indonesia. Definisi tambahan yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidenfikasi diri menyatakan fungsi bahasa dilihat dari segi sosial, yaitu bahwa bahasa itu adalah alat interaksi atau alat komunikasi di dalam masyarakat. Definisi bahasa dari Kridalaksana bahwa: Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri, dan yang sejalan dengan definisi mengenai bahasa dari beberapa pakar lain, kalau dibutiri akan didapatkan beberapa ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa. Sifat atau ciri itu, antara lain: a. Bahasa sebagai sistem Sebagai sebuah sistem, bahasa itu sekaligus bersifat sistematis dan sistemis. Dengan sistemis, artinya, bahasa itu tersusun menurut suatu pola: tidak tersusun secara acak, secara sembarangan. Sedangkan sistemis, artinya, bahasa itu bukan merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri juga dari sub-sub sistem; atau sistem bawahan. Di sini dapat disebutkan, antara lain, subsistem fonologi, subsistem morfologi, subsistem sintaksis dan subsistem semantik. Tiap unsur dalam setiap subsistem juga tersusun menurut aturan atau pola tertentu, yang secara keseluruhan membentuk satu sistem. Jika tidak tersusun menurut aturan atau pola tertentu, maka subsistem itu pun tidak dapat berfungsi. b. Bahasa sebagai lambang 2 2 2 2 2

Lambang dengan berbagai seluk beluknya dikaji orang dalam kegiatan ilmiah dalam bidang kajian yang disebut ilmu semiotika atau semiologi, yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam kehidupan manusia, termasuk bahasa. Dalam semiotika atau semiologi (yang di Amerika ditokohi oleh Charles Sanders Peirce dan di Eropa oleh Fendinand de Saussure) dibedakan adanya beberapa jenis tanda, yaitu, antara lain tanda (sign), lambang (simbol), sinyal (signal), gejala (symptom), gerak isyarat (gesture), kode, indeks, dan ikon. Berbeda dengan tanda, lambang atau simbol tidak bersifat langsung dan alamiah. Lambang menandai sesuatu yang lain secara konvensional, tidak secara alamiah dan langsung. Karena itu lambang sering disebut bersifat arbiter, sebaliknya, tanda serperti yang sudah dibicarakan di atas, tidak bersifat arbiter. Yang dimaksud arbiter adalah tidak adanya hubungan langsung yang bersifat wajib antara lambang dengan yang dilambangkannya. Oleh karena itulah, Earns Cassier, seorang sarjana dan filosof mengatakan bahwa manusia adalah makhluk bersimbol (animal simbolicum). Hampir tidak ada kegiatan yang tidak terlepas dari simbol. Termasuk alat komunikasi verbal yang disebut bahasa. c. Bahasa adalah bunyi Kata bunyi, yang sering sukar dibedakan dengan kata suara, sudah biasa kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Secara teknis, menurut Kridalaksana (1983:27) bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Bunyi bahasa atau bunyi uajaran ( speech sound) adalah satuan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang di dalam fonetik diamati sebagai fon dan di dalam fonemik sebagai fonem. d. Bahasa itu bermakna 3 3 3 3 3

Oleh karena lambang-lambang itu mengacu pada suatu konsep, ide, atau pikiran, maka dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna. Lebih umum dikatakan lambang bunyi tersebut tidak punya referen, tidak punya rujukan. Makna yang berkenaan dengan morfem dan kata disebut makna leksikal; yang berkenaan dengan frase, klausa, dan kalimat disebut makna gramatikal; dan yang berkenaan dengan wacana disebut makna pragmatik, atau makna konteks.

e. Bahasa itu arbiter Kata arbiter diartikan sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka. Yang dimaksud dengan istilah arbiter itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut. Ferdinand de Saussure (1966:67) dalam dikotominya membedakan apa yang disebut significant (Inggris: signifier) dan signifie (Inggris: signified). Signifiant adalah lambang bunyi itu, sedangkan signifie adalah konsep yang dikandung oleh signifiant. f. Bahasa itu konvensional Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkannya bersifat arbiter, tetapi penerimaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu yang bersifat konvensional. Artinya semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya. Jadi kalau kearbiteran bahasa pada hubungan antara lambanag-lamabang bunyi dengan konsep yang dilambangkannya, maka kekonvensionalan bahasa

4 4 4 4 4

terletak pada kepatuhan para penutur bahasa untuk menggunakan lambang itu sesuai dengan konsep yang dilambangkannya. g. Bahasa itu produktif Bahasa itu dikatakan produktif, maksudnya, meskipun unsur-unsur itu terbatas, tapi dengan unsur-unsur dengan jumlahnya yang terbatas terdapat di luar satuan-satuan bahasa yang jumlahnya yang tidak terbatas, meski secara relatif sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa. Keproduktifan bahasa Indonesia dapat juga dilihat pada jmumlah yang dapat dibuat. Dengan kosa kata yang menurut Kamus Besar Huruf Bahasa Indonesia hanya berjumlah lebih kurang 60.000 buah, kita dapat membuat kalimat bahasa Indonesia yang mungkin puluhan juta banyaknya, termasuk juga kalimat-kalimat yang belum pernah ada atau pernah dibuat orang. Keproduktifan bahasa memang ada batasnya dalam hal ini dapat dibedakan adanya dua macam keterbatasan, yaitu keterbatasan pada tingkat parole dan keterbatasan pada tingkat langue. Keterbatasan pada tingkat parole adalah pada ketidak laziman atau kebelumlaziman bentukbentuk yang dihasilkan. Sedangkan pada tingkat langue keproduktifan itu dibatasi karena kaidah atau sistem yang berlaku. h. Bahasa itu unik Unik artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh yang lain. Lalu, kalau bahasa dikatakan bersifat unik., maka artinya, setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi , sistem pembentukkan kata, sistem pembentukkan kalimat, atau sistem-sistem lainnya. Salah satu keunikkan bahasa Indonesia adalah bahwa tekanan kata tidak bersifat morfemis, melainkan sintaksis. Maksudnya, kalau pada kata

5 5 5 5 5

tertentu di dalam kalimat kita berikan tekanan, maka makna itu tetap. Yang berubah adalah makna keseluruhan kalimat. i. Bahasa itu universal Selain bersifat unik, yakni mempunyai sifat atau ciri masingmasing, bahasa itu bersifat universal. Artinya, ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Ciri-ciri yang universal ini merupakan unsur bahasa yang paling umum, yang biasa dikaitkan dengan ciri-ciri atau sifat-sifat bahasa lain. Karena bahasa itu berupa ujaran, maka ciri universal dari bahasa yang paling umum adalah bahwa bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan. Tetapi berapa banyak vokal dan konsonan yang dimiliki oleh setiap bahasa, bukanlah persoalan keuniversalan. Bukti dari keuniversalan bahasa adalah bahwa setiap bahasa mempunyai satuan-satuan bahasa yang bermakna, entah satuan yang maknanya kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Namun, bagaimana satuan-satuan itu terbentuk mungkin tidak sama. Kalau pembentukan itu bersifat khas, hanya dimiliki sebuah bahasa maka hal itu merupakan keunikan dari bahasa. Kalau ciri itu dimiliki oleh sejumlah bahasa dalam satu hukum atau satu golongan bahasa, maka ciri tersebut menjadi ciri universal dan keunikan rumpun atau subrumpun bahasa tersebut. j. Bahasa itu dinamis Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu, sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat tak ada kegiatan manusia yang tidak disertai oleh bahasa. Karena keterkaitan dan keterikatan bahasa itu dengan manusia, sedangkan dalam kehidupannya kegiatan manusia tidak tetap dan berubah, maka bahasa itu juga menjadi 6 6 6 6 6

ikut berubah, menjadi tidak tetap, menjadi tidak statis. Karena itulah, bahasa itu disebut dinamis. Perubahahan yang paling jelas, dan paling banyak adalah pada bidang leksikon dan semantik. Barang kali, hampir setiap saat ada kata-kata baru muncul sebagai akibat perubahan dan ilmu, atau ada kata-kata lama yang muncul dengan makna baru. Hal ini juga dipahami, karena kata sebagai satuan bahasa terkecil, adalah sarana atau wadah untuk menampung suatu konsep yang ada dalam masyarakat bahasa. Dengan terjadinya perkembangan kebudayaan, perkembangan ilmu dan teknologi, tentu bermunculan konsep-konsep baru, yang tentunya disertai wadah penampungnya, yaitu kata-kata atau istilah-istilah baru.

k. Bahasa itu bervariasi Anggota masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang dengan berbagai status sosial dan berbagai latar belakang budaya yang tidak sama. Oleh karena itu, karena latar belakang dan lingkungannya yang tidak sama, maka bahasa yang mereka gunakan menjadi bervariasi atau beragam, dimana antara variasi atau ragam yang satu dengan yang lain sering kali mempunyai perbedaan yang besar. Mengenai variasi bahasa ini ada tiga istilah yang perlu diketahui, yaitu idiolek, dialek, dan ragam. Idiolek adalah variasi atau ragam bahasa yang bersifat perseorangan. Setiap orang tentu mempunyai ciri khas bahasanya masing-masing. Dialek adalah variasi bahasa yang di gunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu. Variasi bahasa berdasarkan tempat ini lazim disebut dengan nama dialek regional , dialek area, atau dialek geografi. Sedangkan variasi bahasa yang digunakan sekelompok anggota masyarakat dengan status sosial tertentu disebut dialek sosial atau sosiolek. Ragam atau ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan, atau untuk 7 7 7 7 7

keperluan tertentu. Untuk situasi formal digunakan ragam bahasa yang disebut ragam baku atau ragam standar, untuk situasi yang tidak formal digunakan ragam yang tidak baku atau ragam nonstandar. Dari sarana yang digunakan dapat dibedakan adanya ragam lisan dan ragam tulisan. Untuk keperluan pemakaiannya dapat dibedakan adanya ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa jujrnalistik, ragam bahasa sastra, ragam bahasa militer, dan ragam bahasa hukum. l. Bahasa itu manusiawi Kalau kita menyimak kembali ciri-ciri bahasa, yang sudah dibicarakan dimuka, bahwa bahasa itu adalah sistem lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, bersifat arbitrer, bermakna, dan produktif, maka dapat dikatakan bahwa binatang tidak mempunyai bahasa. Bahwa binatang dapat berkomunikasi dengan sesama jenisnya, bahkan juga dengan manusia, adalah memang suatu kenyataan. Namun, alat komunikasinya tidaiklah sama dengan alat komunikasi manusia, yaitu bahasa.

Dari penelitian para pakar terhadap alat komunikasi binatang bisa disimpulkan bahwa satu-satuan komunikasi yang dimiliki binatang-binatang itu bersifat tetap. Sebetulnya yang membuat alat komunikasi manusia itu, yaitu bahasa, produktif dan dinamis, dalam arti dapat dipakai untuk menyatakan sesuatu yang baru, berbeda dengan alat komunikasi binatang, yang hanya itu-itu saja dan statis , tidak dapat dipakai untuk menyatakan sesuatu yang baru, bukanlah terletak pada bahasa itu dan alat komunikasi binatang itu, melainkan pada perbedaan besar hakikat manusia dan hakikat binatang. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa alat komunikasi manusia

8 8 8 8 8

yang namanya bahasa, adalah bersifat manusiawi, dalam arti hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia. Sementara itu, Tarigan (1990:2-3) mengemukakan adanya delapan prinsip dasar hakikat bahasa, yaitu (1) bahasa adalah suatu sistem, (2) bahasa adalah vokal, (3) bahasa tersusun daripada lambang-lambang arbitrari, (4) setiap bahasa bersifat unik, (5) bahasa dibangun daripada kebiasaankebiasaan, (6) bahasa ialah alat komunikasi, (7) bahasa berhubungan erat dengan tempatnya berada, dan (8) bahasa itu berubah-ubah. Pendapat ini tidak berbeda dengan yang dikatakan Brown juga dalam Tarigan (1990:2-3) yang apabila dilihat banyak sekali persamaan gagasan mengenai bahasa itu walaupun dengan kata-kata yang sedikit berbeda. Berikut ini merupakan hakikat bahasa menurut pendapat Brown yang juga dikutip dari Tarigan (1990:4), iaitu (1) bahasa adalah suatu sistem yang sistematik, barang kali juga untuk sistem generatif, (2) bahasa adalah seperangkat lambanglambang arbitrari, (3) lambang-lambang tersebut, terutama sekali bersifat vokal tetapi mungkin juga bersifat visual, (4) lambang-lambang itu mengandung makna konvensional, (5) bahasa dipergunakan sebagai alat komunikasi, (6) bahasa beroperasi dalam suatu masyarakat bahasa atau budaya, (7) bahasa pada hakikatnya bersifat kemanusiaan, walaupun mungkin tidak terbatas pada manusia sahaja, (8) bahasa diperoleh semua orang/bangsa dengan cara yang hampir/banyak persamaan dan (9) bahasa dan belajar bahasa mempunyai ciri kesejagatan. Bahasa dapat dilihat daripada dua aspek, iaitu hakikat dan fungsinya (Nababan, 1991:46). Hakikat bahasa mengacu pada pembicaraan sistem/struktur atau Langue, sedangkan fungsi bahasa menyangkut pula pembicaraan proses atau parole (Saussure, 1993, Kleden, 1997:34). Hubungan kedekatan yang tidak dapat dipisahkan antara sistem dengan proses ini dilukiskan oleh Kleden dengan kalimat: Tanpa proses sebuah struktur (sistem) akan mati, tanpa struktur (sistem) proses akan kacau. Jadi, antara

9 9 9 9 9

hakikat bahasa dan fungsi bahasa itu sendiri merupakan suatu konsep dua fungsi bahasa. 2. Fungsi-Fungsi Bahasa Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 1997: 3). a. Bahasa sebagai Alat Ekspresi Diri Pada awalnya, seorang anak menggunakan bahasa untuk mengekspresikan kehendaknya atau perasaannya pada sasaran yang tetap, yakni ayah-ibunya. Dalam perkembangannya, seorang anak tidak lagi menggunakan bahasa hanya untuk mengekspresikan kehendaknya, melainkan juga untuk berkomunikasi dengan lingkungan di sekitarnya. Setelah kita dewasa, kita menggunakan bahasa, baik untuk mengekspresikan diri maupun untuk berkomunikasi. Seorang penulis mengekspresikan dirinya melalui tulisannya. Sebenarnya, sebuah karya ilmiah pun adalah sarana pengungkapan diri seorang ilmuwan untuk menunjukkan kemampuannya dalam sebuah bidang ilmu tertentu. Jadi, kita dapat menulis untuk mengekspresikan diri kita atau untuk mencapai tujuan tertentu. Sebagai contoh lainnya, tulisan kita dalam sebuah buku, merupakan hasil ekspresi diri kita. Pada saat kita menulis, kita tidak memikirkan siapa pembaca kita. Kita hanya menuangkan isi hati dan perasaan kita tanpa memikirkan apakah tulisan itu dipahami orang lain atau tidak. Akan tetapi, pada saat kita menulis surat kepada orang lain, kita mulai berpikir kepada siapakah surat itu akan ditujukan. Kita memilih cara berbahasa yang

10 10 10 10 10

berbeda kepada orang yang kita hormati dibandingkan dengan cara berbahasa kita kepada teman kita. Pada saat menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan diri, si pemakai bahasa Ia tidak perlu mempertimbangkan bahasa hanya atau untuk memperhatikan siapa yang menjadi pendengarnya, pembacanya, atau khalayak sasarannya. menggunakan kepentingannya pribadi. Fungsi ini berbeda dari fungsi berikutnya, yakni bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi. Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurangkurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antara lain : 1) agar menarik perhatian orang lain terhadap kita, 2) keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi Pada taraf permulaan, bahasa pada anak-anak sebagian berkembang sebagai alat untuk menyatakan dirinya sendiri (Gorys Keraf, 1997 :4). b. Bahasa sebagai Alat Komunikasi Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain. Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita, serta apa yang dicapai oleh orang-orang yang sezaman dengan kita. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita (Gorys Keraf, 1997 : 4).

11 11 11 11 11

Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki tujuan tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang lain. Kita ingin menyampaikan gagasan yang dapat diterima oleh orang lain. Kita ingin membuat orang lain yakin terhadap pandangan kita. Kita ingin mempengaruhi orang lain. Lebih jauh lagi, kita ingin orang lain membeli hasil pemikiran kita. Jadi, dalam hal ini pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi perhatian utama kita. Kita menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan khalayak sasaran kita. Pada saat kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, antara lain kita juga mempertimbangkan apakah bahasa yang kita gunakan laku untuk dijual. Oleh karena itu, seringkali kita mendengar istilah bahasa yang komunikatif. Misalnya, kata makro hanya dipahami oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu, namun kata besar atau luas lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum. Kata griya, misalnya, lebih sulit dipahami dibandingkan kata rumah atau wisma. Dengan kata lain, kata besar, luas, rumah, wisma, dianggap lebih komunikatif karena bersifat lebih umum. Sebaliknya, kata-kata griya atau makro akan memberi nuansa lain pada bahasa kita, misalnya, nuansa keilmuan, nuansa intelektualitas, atau nuansa tradisional. Bahasa sebagai alat ekspresi diri dan sebagai alat komunikasi sekaligus pula merupakan alat untuk menunjukkan identitas diri. Melalui bahasa, kita dapat menunjukkan sudut pandang kita, pemahaman kita atas suatu hal, asal usul bangsa dan negara kita, pendidikan kita, bahkan sifat kita. Bahasa menjadi cermin diri kita, baik sebagai bangsa maupun sebagai diri sendiri. c. Bahasa sebagai Alat Integrasi dan Adaptasi Sosial Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman12 12 12 12 12

pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokanbentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya (Gorys Keraf, 1997 : 5). Cara berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang yang kita hormati. Pada saat kita mempelajari bahasa asing, kita juga berusaha mempelajari bagaimana cara menggunakan bahasa tersebut. Misalnya, pada situasi apakah kita akan menggunakan kata tertentu, kata manakah yang sopan dan tidak sopan. Bilamanakah kita dalam berbahasa Indonesia boleh menegur orang dengan kata Kamu atau Saudara atau Bapak atau Anda? Bagi orang asing, pilihan kata itu penting agar ia diterima di dalam lingkungan pergaulan orang Indonesia. Jangan sampai ia menggunakan kata kamu untuk menyapa seorang pejabat. Demikian pula jika kita mempelajari bahasa asing. Jangan sampai kita salah menggunakan tata cara berbahasa dalam budaya bahasa tersebut. Dengan menguasai bahasa suatu bangsa, kita dengan mudah berbaur dan menyesuaikan diri dengan bangsa tersebut. 13 13 13 13 13

d. Bahasa sebagai Alat Kontrol Sosial Sebagai alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif. Kontrol sosial ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat. Berbagai penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku pelajaran dan buku-buku instruksi adalah salah satu contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Ceramah agama atau dakwah merupakan contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Lebih jauh lagi, orasi ilmiah atau politik merupakan alat kontrol sosial. Kita juga sering mengikuti diskusi atau acara bincang-bincang (talk show) di televisi dan radio. Iklan layanan masyarakat atau layanan sosial merupakan salah satu wujud penerapan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Semua itu merupakan kegiatan berbahasa yang memberikan kepada kita cara untuk memperoleh pandangan baru, sikap baru, perilaku dan tindakan yang baik. Di samping itu, kita belajar untuk menyimak dan mendengarkan pandangan orang lain mengenai suatu hal. Contoh fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk meredakan rasa marah kita. Tuangkanlah rasa dongkol dan marah kita ke dalam bentuk tulisan. Biasanya, pada akhirnya, rasa marah kita berangsur-angsur menghilang dan kita dapat melihat persoalan secara lebih jelas dan tenang. 3. Struktur Bahasa Struktur secara bahasa adalah kaedah bagaimana sesuatu disusun, cara penyusunan (sesuatu), susunan (sesuatu), rangka. Sedangkan struktur bahasa adalah susunan bagian-bagian kalimat atau konstituten kalimat secara linear. Adapun Struktur luar adalah susunan kalimat atau himpunan kalimat suatu teks atau bagian teks yang akan dibaca atau didengar. Pendek kata, struktur 14 14 14 14 14

luar sama dengan struktur yang tersurat sebagaimana yang tersaji dalam kondisi siap-pakai, siap-baca. Sedangkan struktur dalam dapat disebut sebagai struktur tersirat. Struktur dalam belum mengalami proses lebih lanjut dalam perumusannya. Untuk mudahnya, dapat dikatakan bahwa struktur dalam berhubungan dengan isi. Sebagai sebuah istilah, transformasi dalam teori teks ialah perubahan struktur dalam menjadi struktur luar. Jadi, dari bentuk tersirat menjadi bentuk tersurat. Melalui transformasi, struktur dalam menjelma menjadi struktur luar. Tahap transformasi ini menjadi bagian utama dalam teori teks. Dalam teori teks, parafrase dipergunakan untuk mengembalikan struktur dalam, mengembalikan struktur bergaya menjadi struktur yang sederhana. Parafrase membuka jalan untuk mengetahui deviasi dan foregrounding yang terdapat pada struktur luar. Apa yang tersirat dalam struktur luar tidak senantiasa dapat diterangkan melalui parafrase saja. Penjelasan lebih lanjut masih diperlukan mengenai konteks dan situasi serta kondisinya, yakni hal-hal yang ada sangkut-pautnya dengan struktur luar dan struktur dalam tersebut. Oleh karena itu, interpretasi diperlukan. Hal ini disebabkan bahwa interpretasi merupakan penjelasan struktur dalam berdasarkan atau memperhatikan konteksnya. Oleh karena itu, dengan kata lain struktur luar adalah struktur kalimat itu ketika diucapkan yang dapat kita dengar. Jadi, bersifat konkrit Menurut teori ini di dalam otak kita terdapat satu peringkat representasi yang abstrak untuk kalimat yang kita lahirkan. Representasi struktur dalam yang abstrak ini dihubungkan oleh rumus-rumus transformasi dengan representasi struktur luar, yaitu kalimat-kalimat yang kita dengar atau kita lahirkan. Perhatikan bagan berikut: STRUKTUR-LUAR (Representasi fonetik kalimat)

15 15 15 15 15

Mulut

Rumus-rumus Transformasi Otak

STRUKTUR-DALAM (Representasi dalam : Abstrak) Untuk Memahami bagan tersebut, simaklah dua kalimat berikut : (1) Murid itu mudah diajar (2) Murid itu senang diajar Kalimat (1) dan kalimat (2) memiliki struktur luar yang sama Kalimat (1) K

FN

FV

N Murid Kalimat (2)

Art itu

A Mudah

V diajar

FN

FV 16 16 16 16 16

N Murid Keterangan : K FN FV A Art

Art itu

A Senang

V diajar

= Kalimat = Frase Nominal = Frase Verbal = Adjektiva = Artikel Dari kedua diagram pohon itu tampak bahwa struktur luar kalimat 1 dan

kalimat 2 adalah percis sama. Namun, kita, sebagai penutur bahasa indonesia dapat merasakan bahwa yang mengalami sesuatu sebagai akibat murid itu diajar adalah dua pihak yang berlainan. Pada kalimat 1 yang mengalami sesuatu yang mudah adalah yang mengajar murid itu. Sedangkan pada kalimat 2 yang mengalami rasa senang adalah muriditu, bukan yang mengajar. Suatu tata bahasa yang memadai harus mampu memberi keterangan struktural mengapa kedua kalimat itu berbeda sebagaimana yang dirasakan oleh penutur asli bahasa itu. Maka, dalam hal kalimat 1 dan kalimat 2 di atas, meskipun struktur luarnya sama, tetapi struktur dalamnya jauh berbeda. 4. Proses Berbahasa Proses berbahasa merupakan gabungan berurutan antara dua proses, yaitu proses produktif dan proses reseptif (Chaer, 2003:45). Proses produktif terjadi pada penutur yang menghasilkan kode-kode bahasa yang memiliki makna. Sedangkan proses reseptif terjadi pada mitra tutur yang ditandai 17 17 17 17 17

dengan menangkap kode-kode bahasa dari penutur, lengkap dengan maknanya. Penutur yang menghasilkan kode-kode melalui organ tutur dan diterima oleh mitra tutur melalui organ pendengaran. Proses produksi atau juga bisa disebut enkode memiliki tahapan proses berawal dari enkode semantik, yakni proses penyusunan konsep, ide, atau pengertian. Dilanjutkan dengan enkode gramatikal, yakni menyusun enkode semantik ke dalam susunan gramatikal. Selanjutnya adalah enkode fonologi, yakni penyusunan unsur bunyi dari kode itu. Proses reseptif atau disebut juga dekode memiliki tahapan dari dekode fonologi, dekode gramatikal, dan dekode semantik. Dekode fonologi merupakan proses menerima bunyi-bunyi tersebut melalui organ pendengaran. Kemudian lanjut dengan dekode gramatikal, yakni memahami bunyi sebagai satuan gramatikal. Selanjutnya adalah dekode semantik, yakni memahami konsep, ide, atau pengertian dari kode-kode bahasa tersebut. Proses berbahasa produktif dan reseptif dapat dianalisis dengan pendekatan perilaku dan pendekatan kognitif. Dalam psikolinguistik, aspek reseptif lebih banyak disorot dan dibicarakan oleh pakar psikolinguistik (Parera dalam Chaer, 2003: 46). Reseptif merupakan aspek yang lebih mudah dikenali daripada aspek produktif, yakni dengan cara mengamati reseptif setelah menerima isyarat bahasa. Konsep dari enkode dan dekode ini adalah pengomunikasian makna dari penutur ke mitra tutur. Dengan demikian dapat diartikan bahwa, setiap orang yang sedang berkomunikasi, pada dasar sama-sama menyampaikan makna dengan dikemas secara berurutan, yakni bagi penutur 1) enkode semantik, 2) enkode gramatikal, dan 3) enkode fonologi. Sedangkan bagi mitra tutur 3) dekode fonologi, 2) dekode gramatikal, dan 1) dekode semantik. a. Komponen Sintaksis Sintaksis adalah cabang linguistik yang membicarakan hubungan antar kata dalam tuturan Zainal Ariffin (2008:1). Sintaksis merupakan 18 18 18 18 18

komponen sentral dalam pembentukan kalimat disamping komponen semantik dan komponen fonologi. Tugas utama komponen sintaksis adalah menentukkan hubungan antar pola-pola bunyi bahasa itu dengan maknamaknanya dengan cara mengatur urutan kata-kata yang membentuk frase atau kalimat itu agar sesuai dengan makna yang diinginkan penuturnya (.:39). Cara kerja komponen sintaksis, misal pada kalimat (1) Mobil itu menabrak pemulung itu. Setiap penutur bahasa Indonesia dengan kompetensinya mengenai bahasa Indonesia yang telah dinuranikan akan mampu menentukkan hal berikut. a. Kalimat (1) di atas tergolong baik dan lengkap b. Kalimat (1) terdiri dari beberapa kata c. Dalam kalimat (1) mobil dan pemulung tergolong nominal, menabrak tergolong verba, dan itu adalah menunjukkan sesuatu yang dimaksud. d. Setiap penutur bahasa Indonesia jika akan memanggal suatu kalimat pastilah cara pemenggalannya sebagai berikut: Mobil itu/ menabrak pemulung itu Tidak mungkin menjadi Mobil itu menabrak/ pemulung itu atau Mobil/ itu menabrak pemulung itu

Jadi, setiap penutur bahasa Indonesia akan merasakan bahwa kata itu yang pertama lebih natural bergabung kata mobil dari pada dengan kata menabrak. Kemampuan seperti ini menunjukkan tata bahasa Indonesia yang dinuranikan secara tidak sadar. Bagian-bagian dari kalimat (1), yakni FN+V+FN dengan rincian sebagai berikut: Frase Nominal (FN) : Mobil itu 19 19 19 19 19

Verba

(V) :Menambrak

Frase Nominal (FN) : Pemulung itu Dengan demikian, organisasi kalimat (1), yang sesuai dengan kompetensi bahasa Indonesia merupakan satu hierarki sebagi berikut
1 2 3 4 5 N Mobil FN Art itu V menabrak (K) KALIMAT FV FN N pemulung Art itu

20 20 20 20 20

Hierarki Kalimat (1) jika digambarkan dengan diagram pohon sebagai berikut. K

FN N Art V

FV FN N Art

Kuda

Itu menendang

Petani

Itu

Dari bagan tersebut terlihat bahwa komponen sintaksis membentuk suatu kalimat berdasarkan urutan dan organisasi kata-kata yang diatur oleh rumus kebetulan sama dengan penanda frase (PF) struktur luarnya, sehingga kalimat itu mudah dipahami. Namun, pada umunya banyak praktik kebahasaan yang struktur dalam dan struktur luarnya berbeda. b. Komponen Semantik Teori linguistik generatif transformasi standar mengakui bahwa makna suatu kalimat sangat tergantung pada beberapa faktor yang saling berkaitan dengan lainnya. Faktor-faktor itu antara lain (a) makna leksikal kata yang membentuk kalimat, (b) urutan kata dalam organisasi kalimat, (c) intonasi, cara kalimat diucapkan atau dituliskan, (d) konteks situasi tempat kalimat itu diucapkan, (c) kalimat sebelum dan sesudah yang menyertai kalimat itu, dan (f) faktor-faktor lain. Umpamanya kalimat

21 21 21 21 21

kucing makan tikus mati dengan intonasi/jeda seperti berikut menjadi berbeda maknanya. (1) Kucing / makan tikus mati. (2) Kucing makan / tikus mati. (3) Kucing makan tikus / mati. Kalimat di atas menjadi semakin rumit karena banyak kata memiliki dari satu makna, dan makna ini pun bisa saja terlepas apabila kata itu berada dalam konteks frase yang berlainan. Umpamanya kata manis secara leksikal mengacu pada rasa seperti rasa gula; tetapi dapat juga bermakna baik, menarik, cantik dan sebagainya. Kata manis pada kalimat (4) masih bermakna ganda cantik, atau baik hati. Namun, pada kalimat (5) dan kalimat (6) sudah agak tertentu, yaitu cantik untuk kalimat (5) dan baik hati untuk kalimat (6). (4) Gadis itu sangat manis. (5) Gadis itu sangat manis rupanya. (6) Gadis itu sangat manis budinya. Untuk bisa menghasilkan kalimat yang gramatikal dan berterima secara semantik, teori linguistik generatif transformasi standar mengajukan teori fitur-fitur semantik (semantics features) atau disebut juga penanda semantik (semantics marker). Teori ini mengansumsikan bahwa setiap kata memiliki sejumlah fitur semantik yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Umpamanya kata bapak memiliki fitur [+benda], [+konkret], [+manusia], [+dewasa], [+laki-laki], [+menikah], dan [+beranak]. Sedangkan kata ibu memiliki fitur-fitur [+benda], [+konkret], [+manusia], [+dewasa], [-laki-laki], [+menikah], dan [+beranak]. Dari fitur-fitur yang yang disebut, tampak bedanya bapak dan ibu. Kalau bapak memiliki fitur

22 22 22 22 22

[+laki-laki], sedangkan ibu memiliki fitur[-laki-laki]. Karena itulah, makna kalimat (7) berterima, sedangkan kalimat (8) tidak berterima.

(7) Ibu itu sedang hamil. (8) *Bapak itu sedang hamil. Pengenalan fitur-fitur semantik ini sebenarnya juga telah ternuranikan oleh setiap penutur suatu bahasa sebagai bagian dari kompetensi bahasanya. Oleh karena itu, setiap penutur suatu bahasa dapat mengenal mana kalimat yang secara semantik berterima dan mana pula yang tidak berterima. Teori linguistik generatif transformasi standar dan yang diperluas menyatakan adanya komponen semantik ini sebagai komponen dalam otak yang terpisah dari komponen sintaksis dengan garis yang tegas. Namun, sejumlah pakar pengikut generatif transformasi yang lain menganggap kedua komponen itu, sintaksis dan semantik, tidak mempunyai garis pemisah yang tegas. c. Komponen Fonologi Yang dimaksud dengan komponen fonologi adalah sistem bunyi suatu bahasa. Komponen fonologi ini, sebagai komponen ketiga dalam tata bahasa generatif transformasi memiliki rumus-rumus fonologi yang bertugas mengubah struktur-luar sintaksis menjadi representasi fonetik yaitu bunyi-bunyi bahasa yang kita dengar yang diucapkan oleh seorang penutur. Untuk dapat memahami bagaimana cara kerja rumus-rumus fonologi itu kita perlu mengenal dulu representasi fonetik itu. Kalau kita mendengar kata-kata (bara), (bala), (bra), (para), (pala), dan (pra) diucapkan, maka kita dapat mencatat bahwa pada 23 23 23 23 23

ketiga kata pertama terdapat bunyi [b] pada awal katanya. Pada ketiga kata berikutnya terdapat bunyi [p] pada awal katanya. Kata pertama dan kata kedua bunyinya hampir sama. Perbedaannya terletak pada bunyi ketiga yaitu [r] pada kata pertama dan [l] pada kata kedua. Kata pertama dan ketiga bunyinya juga hampir sama, perbedaannya hanya terletak pada pada bunyi kedua, yaitu [a] kata pertama dan [] pada kata ketiga. Sedangkan kalau kita bandingkan kata kelima dan keenam, maka kita lihat ada 2 buah bunyi yang berbeda, yaitu pada kata kelima bunyi kedua dan ketiganya berupa [a] dan [l], sedangkan pada kata keenam bunyi kedua dan ketiganya berupa [e] dan [r]. Bunyi-bunyi yang membentuk kata ini disebut unit bunyi, segmen fonetik, atau dalam studi fonologi disebut fon. Unit bunyi, segmen fonetik, atau fon yang membentuk kata ini di dalam studi fonologi, dideskripsikan berdasarkan tempat dan cara artikulasinya. Misalnya kata [bara] dan [para] yang mirip, dan masingmasing dibangun oleh lima buah fon, letak bedanya hanya pada fon pertama yaitu [b] dan [p]. Kedua fon ini termasuk bunyi hambat bilabial. Bedanya bunyi [b] dalah bersuara dan bunyi [p] adalah bunyi tak bersuara. Dalam studi fonologi ciri-ciri bunyi itu disebut fitur-fitur, dan ciri bunyi yang membedakan disebut fitur distingtif. Pertanyaannya sekarang apa yang dimaksud dengan rumus-rumus fonologi? Untuk dapat memahaminya mari kita ambil contoh kata gerobak dalam bahasa Indonesia. Bunyi [k] pada akhir kata gerobak itu paling tidak dipresentasikan menjadi [k], [g], dan [?], sehingga lafalnya: <gerobak> ======> 1. [g robak] 2. [g robag] 3. [g roba?] Meskipun ucapannya berbeda, tetapi maknanya tidak berubah. Ketiga bunyi akhir itu [k], [g], dan [?] hanya dilambangkan sebagai satu bunyi saja di dalam otak manusia Indonesia, yaitu /k/ sebagai sebuah 24 24 24 24 24

fonem. Dalam kajian fonologi taksonomi, fonem dianggap sebagai satuan bunyi terkecil, tetapi didalam kajian fonologi generatif dianggap sebagai bunyi yang masih bisa dipecah atas beberapa fitur distingtif. Dari keterangan di atas bisa dikatakan komponen fonologi mempunyai 2 peringkat, yaitu dalam dan luar. Peringkat dalam berupa abstraksi dari representasi fonetik yang berada di peringkat luar. Kedua peringkat ini dihubungkan oleh rumus fonologi. Sebagai contoh kata gerobak dalam bahasa Indonesia yang bentuk pada peringkat dalamnya /grobak/, tetapi dalam bentuk peringkat luarnya seperti orang di Jakarta adalah [grobag].

DAFTAR REFERENSI Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta. Khairil. 2011. Hakikat dan Fungsi Bahasa dalam http://khairilusman.wordpress.com/2011/11/12/hakikat-dan-fungsibahasa/. Diakses pada tanggal 17 September 2012. Luthfi, Hikmatul. 2008. Struktur Luar dalam http://bebaslandas.blogspot.com/2008/11/struktur-luar-pengertian-strukturluar.html. Diakses pada tanggal 16 September 2012. Mustyka. 2011. Bahasa dan Berbahasa dalam http://mustykamustyka.blogspot.com/2011/12/contoh-makalah-bahasa-danberbahasa.html. Diakses pada tanggal 17 September 2012. Ramlan. 2010. Hakikat Bahasa dalam Diakses http://ramlannarie.wordpress.com/2010/06/09/hakikat-bahasa/. pada tanggal 17 September 2012.

25 25 25 25 25

You might also like