You are on page 1of 44

A.

Latar Belakang Masalah

Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah menurut sejarahnya adalah kombinasi dari Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. Kombinasi tarekat ini dirintis oleh Ahmad Khatib Ibn Abd Al-Ghaffar, seorang ulama dari Sambas Kalimantan Barat, pada pertengahan abad ke-19 di Mekkah.[1] Pada awal pengembangan tarekat, Syeikh Ahmad Sambas memperoleh pengikut terutama dari kalangan pelajar asal Nusantara yang menuntut ilmu agama di tanah suci. Kemudian atas dakwah mereka, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dapat tersebar di Nusantara dan memperoleh banyak pengikut khususnya di pulau Jawa. Perkembangan tarekat itu di pulau Jawa berlangsung sejak tahun 1870, atas jasa Abdul Karim asal Banten. Dalam perkembangan selanjutnya hampir semua guru Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di pulau Jawa menggabungkan silsilahnya kepada Abdul Karim, apalagi setelah ia menggantikan Syeikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pimpinan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.[2] Pada pertengahan abad ke-19, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah diperkenalkan oleh Syeikh Abdul Karim kepada masyarakat Banten dan sekitarnya. Di bawah pengaruhnya tarekat ini menjadi populer di Banten, khususnya di antara penduduk miskin di desa-desa (masyarakat petani). Pada tahun 1800-an, Tarekat telah berkembang menjadi golongan-golongan kebangkitan agama yang paling dominan, pada permulaannya Terekat-tarekat itu hanya merupakan gerakan-gerakan kebangkitan agama, akan tetapi secara berangsur-angsur berkembang menjadi badan politik keagamaan. Mereka membentuk alat-alat kelembagaan untuk kegiatan politik ekstrim. Mereka menolak proses westernisasi dan bertekad untuk mempertahankan lembaga-lembaga tradisional, terhadap pengaruh dan campur tangan Belanda, didorong oleh kebencian terhadap orang asing, mereka menggunakan kekerasan terhadap penguasa Belanda, dan terhadap sesama muslim yang bekerjasama dengan Belanda. Perkembangan proses kekerasan ini dapat ditafsirkan berdasarkan kondisi-kondisi sosial yang bersifat ekstrim dan rangsangan spesifik yang terdapat di Banten.[3] Pada abad ke-19 Masehi bagi sejarah Banten, merupakan fase bergolaknya rakyat Banten menghadapi penjajahan Belanda, meskipun sejak di awal abad ke-19 secara formal kesultanan Banten sudah dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda,[4] namun ketidak-puasan rakyat Banten atas penindasan dan pemerasan kekayaan rakyat terus berlangsung. Kepemimpinan tidak ada di tangan sultan, tetapi diambil alih oleh ulama dan pemimpin rakyat.[5] Eksploitasi kolonial yang terjadi pada abad ke-19 di Nusantara menciptakan kondisi yang bisa mendorong rakyat melakukan gerakan sosial. Dominasi ekonomi, politik, dan budaya yang berlangsung terus menimbulkan disorganisasi di kalangan masyarakat tradisional beserta lembaga-lembaganya.[6] Dalam menghadapi penetrasi Barat yang mempunyai kekuatan disintegratif, masyarakat tradisional mempunyai cara-cara sendiri. Karena dalam sistem pemerintahan kolonial tidak terdapat lembaga untuk menyalurkan rasa tidak puas ataupun untuk menyampaikan aspirasi masyarakat, maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah melakukan gerakan sosial

sebagai bentuk protes sosial. Hal ini terjadi di berbagai tempat di Banten. Dalam gerakan sosial yang marak di Banten ini peranan para ulama menduduki posisi sentral Para ulama Banten dengan semangat jihad, semangat anti kafir, bahkan kadang semangat nativisme dan revivalisme, menjadi motor penggerak untuk berbagai gerakan sosial yang marak pada abad ke-19. Gerakan pemberontakan bukan hanya ditujukan kepada pemerintah kolonial, melainkan juga kepada penguasa pribumi yang dianggap sebagai kaki tangan pemerintah. Seiring dengan semakin dalamnya kekuasaan kolonial, maka makin kelihatan pula bahwa kaum pamongpraja, yang terdiri dari para bupati dan aparatnya, hanya berperan sebagai perantara pemerintah kolonial dengan rakyat atau menjadi kepanjangan tangan pemerintah kolonial belaka. Maka tidaklah mengherankan bila terjadi gerakan sosial, pamongpraja ikut menjadi sasaran. Beberapa gerakan sosial terjadi di tanah partikelir.[7] Sepanjang abad ke-19 hingga awal abad ke-20, gerakan ini merupakan gejala historis masyarakat petani pribumi. Hampir semua gerakan sosial terjadi diakibatkan oleh tingginya pungutan pajak dan beratnya pekerjaan yang menekan petani. Berbeda dengan gerakan sosial lainnya, pergolakan di tanah partikelir lebih terarah pada rasa dendam tertentu. Sifat gerakan bersifat magico religious, seperti tercermin dari adanya harapan mellenaristis atau datangnya Ratu Adil.[8] Hampir sepanjang abad ke-19 hingga memasuki abad ke-20, fenomena ulama di Pulau Jawa sangat erat kaitannya dengan munculnya berbagai gejala sosial, politik, dan keagamaan yang hadir terus menerus. Gejala-gejala itu meliputi bermacam-macam bentuk dan jenis, di antaranya mengalirnya arus demam kebangkitan kehidupan agama Islam.[9] Hal ini ditandai dengan meningkatnya berbagai kegiatan keagamaan yang dilakukan dari waktu ke waktu. Kondisi semacam itu telah melahirkan perlawanan-perlawanan ulama dan santri yang ditujukan terhadap kekuasaan kolonial. Di antaranya adalah perlawanan kaum Paderi di Minangkabau (1825-1830). Perang Diponegoro (1825-1830), yang memperoleh dukungan luar biasa dari ulama Jawa beserta para santrinya.[10] Perlawanan rakyat Aceh (1837-1904).[11] Pada bagian lain di Jawa, yaitu Jawa Barat, terjadi pula beberapa perlawanan yang serupa. Pemberontakan sengit terjadi di daerah Banten, pemberontakan itu terjadi dari tahun (1839-1883),[12] merupakan pemberontakan ulama Banten yang berusaha melepaskan diri dari penindasan kolonial Belanda. Dan perlawanan rakyat Banten yang berskala agak besar dan terorganisasi, misalnya perlawanan-perlawanan yang terjadi di Cikandi Udik tahun 1845,[13] dan perlawanan di Ciomas terjadi pada tahun (1886). Peran ulama dalam kebanyakan perlawanan-perlawanan tersebut adalah sebagai penyangga kekuatan mental dan penggerak rakyat. Mereka terkadang juga memimpin langsung pertempuran, terutama di daerah-daerah yang kuat keislamannya.[14] Dalam perlawanan yang dipimpin oleh bangsawan muslim, ulama berperan sebagai penasehat dan pemberi landasan keyakinan untuk mempertebal semangat dan tekad berperang. Dengan demikian, para ulama sangat penting, sebab di samping persenjataan lahir, landasan kerohanian sangat diperlukan dalam pertempuran. Proses kekuasaan dan kehadiran penjajah yang demikian menyengsarakan rakyat, menjadi modal kebencian orang Banten terhadap penjajah. Karena itu, tidaklah heran selama penjajah masih

berada di Banten, selama itu pula rakyat Banten melakukan perlawanan. Di berbagai daerah banyak terjadi perlawanan secara sporadis, terselubung, bahkan terang-terangan, baik dalam skala besar maupun skala kecil. Perlawanan yang berskala besar dan menegangkan pihak kolonial terjadi lagi di daerah Cilegon, pada bulan Juli 1888, yang terkait erat dengan gerakan kaum sufi, karena kebanyakan mereka yang terlibat dalam pemberontakan adalah para haji dan kyai. Lebih dari itu, sebagian pengikut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ikut melakukan perlawanan terhadap Belanda dalam pertempuran tersebut. Faktor ekstern dari perlawanan tersebut adalah akibat penjajah sendiri yang dengan sewenangwenang memaksa kehendak, merampas hak-hak rakyat, dan mengubah tatanan politik yang mengarah pada keuntungan penjajah.[15] Di samping itu, faktor yang ikut menyebabkan terjadinya pergolakan-pergolakan, yaitu adanya disintegrasi tatanan tradisional dan proses yang menyertainya, yakni semakin memburuknya sistem politik dan tumbuhnya kebencian religius terhadap penguasa-penguasa asing. Dengan ambruknya Kesultanan Banten, sistem kontrol yang tradisional tidak dapat berfungsi lagi. Keadaan tidak menentu timbul di daerah-daerah yang menyebabkan munculnya unsur-unsur pembangkangan yang berulang-kali menimbulkan kerusuhan. Adapun faktor internal dari perlawanan tersebut adalah memuncaknya keresahan sosial karena bertubi-tubi rakyat Banten ditimpa kesusahan. Pada tahun 1882, meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda yang membawa malapetaka penduduk[16] di kawasan pesisir barat Banten. Selain itu, pada tahun 1882-1884, keadaan rakyat Banten, khususnya di Serang dan Anyer ditimpa malapetaka kelaparan dan penyakit binatang ternak. Tahun-tahun berikutnya, suasana sosial ekonomi dan politik semakin mencekik rakyat.[17] Musibah yang datang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya mempunyai dampak yang sangat luas, tidak hanya di bidang sosial ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosialpolitik dan kehidupan keagamaan, dalam kondisi demikian, ada di antara mereka yang lain lebih percaya ke takhayul, namun banyak pula di antara mereka mengikuti ajaran tarekat yakni ajaran yang menitik-beratkan pada penghayatan nilai-nilai batiniah (spiritual), guna mendapatkan ketenangan dan ketabahan batin dari pahitnya penjajah Belanda. Bertolak dari latar belakang masalah tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh mengenai motivasi pengikut tarekat yang sebagian besar terlibat dalam sebuah pemberontakan rakyat Banten, pada masa kolonial Belanda. B. Batasan dan Rumusan Masalah Dalam penelitian ini, masalah yang akan dibahas akan dibatasi seputar keterlibatan pengikut tarekat dalam pemberontakan rakyat Banten tahun 1888. Kajian keterlibatan pengikut tarekat ini difokuskan pada permasalahan yang meliputi kondisi Banten menjelang pemberontakan, asal usul dan perkembangan tarekat, bentuk-bentuk keterlibatan pengikut tarekat dalam pemberontakan rakyat Banten.

Untuk menjabarkan permasalahan tersebut, maka akan dipandu melalui pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kondisi Banten menjelang pemberontakan rakyat 1888 ? 2. Bagaimanakah perkembangan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten pada abad XIX ? 3. Mengapa kaum tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terlibat dalam pemberontakan rakyat di Banten ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui kondisi sosial-ekonomi, politik dan keagamaan menjelang meletusnya pemberontakan rakyat Banten. 2. Mengetahui sejarah perkembangan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten pada abad ke-19. 3. Untuk mengetahui seberapa besar keterlibatan pengikut Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam pemberontakan rakyat Banten Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah memperkaya kajian-kajian tentang keterlibatan pengikut tarekat dalam sebuah pemberontakan, dan juga untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan, khususnya kajian tentang sejarah sosial. D. Tinjauan Pustaka Studi tentang Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah pada dasarnya telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. Adapun studi yang lebih memperhatikan aspek-aspek sosiologis dari gerakan kaum sufi, tampaknya baru dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo, di dalam karyanya Pemberontakan Petani Banten 1888, memfokuskan pembahasannya mengenai gerakan sosial dalam pengertian yang umum,[18] tetapi jelas bahwa guru tarekat atau pemimpin mistik memainkan peranan utama dalam hampir seluruh serangkaian pemberontakan di Banten. Kartodirdjo menunjukkan peran-peran sosial mereka yang hanya berlangsung dalam peristiwa sejarah abad XIX, melalui jaringan sosial tarekat Qadiriyah dan dengan ajaran-ajaran mereka yang lebih bersifat mesianik. Padahal menurut prediksi penulis yang terlibat dalam pemberontakan di Banten itu bukanlah tarekat Qadiriyah, melainkan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang ajarannya berbeda dengan Qadiriyah saja, dan ajarannya tidak selamanya bermuatan nilai-nilai mesianik. Namun begitu, keluasan metodologi dan kekayaan faktual dalam buku tersebut dapat dijadikan pangkal bagi studi lanjutan gerakan sosial kaum tarekat. Meskipun kajian buku tersebut tidak menggambarkan secara luas sejarah perkembangan tarekat, dan faktor yang menyebabkan terjadinya pemberontakan tersebut berbeda dengan persepsi penulis, namun buku tersebut adalah buku pertama tentang gerakan sosial kaum sufi. Yang membuat perbedaan

skripsi ini dengan buku tersebut adalah bahwa skripsi ini menekankan kepada tarekat dan memberikan penjelasan secara mendetail tentang tarekat dan tokoh tarekat yang terlibat, yang mana dalam karya Sartono tidak dilukiskan secara jelas, dan dia tidak melihat dari segi agama, melainkan lebih ke sosial. Martin Van Bruinessen, dalamTarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (1992). Sudah menyajikan deskripsi tentang masalah politik dan tarekat, dia telah menyajikan data yang cukup komplit tentang keterlibatan guru-guru tarekat Naqsyabandiyah,[19] dalam persoalan-persoalan politik di Indonesia, pada zaman kolonial maupun zaman kemerdekaan. Van Bruinessen telah mendeskripsikan, secara historis, geografis dan sosiologis, keterlibatan guru-guru tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah dalam politik yang kemudian melahirkan berdirinya Partai Politik Tarekat Islam (PPTI). Partai ini telah membawa Dr. H. Jalal Al-Din, pendiri tarekat tersebut, menjadi anggota DPR Pusat pada zaman Orde Lama. Sedangkan guru-guru tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah melibatkan diri dalam beberapa pemberontakan terutama di Banten dan di Lombok. Hanya saja, Martin sedikit menggambarkan keterlibatan guru tarekat di Banten, ia hanya menggambarkan satu guru tarekat yaitu Abdul Karim yang diduga kuat memiliki peranan besar dalam pemberontakan Banten, menurut sumber-sumber Belanda. Dalam bukunya yang lain, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (1995).[20] Secara spesifik Van Bruinessen (1995) juga telah membahas keterlibatan beberapa guru tarekat dalam kegiatan politik di Indonesia. Ia juga menunjukkan keterlibatan guru-guru tarekat dalam masyarakat Madura dalam partai politik terbesar pada zaman Orde Baru (Golkar) sehingga melahirkan konflik dan perpecahan internal kelompok tarekat. Dalam buku ini, sedikit Van Bruinessen menyoroti tentang Qadhi, Tarekat serta struktur Lembaga Keagamaan di Banten pada Zaman Kesultanan, yang dibahas dalam bab II. Walaupun karya Van Bruinessen ini mempunyai lingkup yang terbatas, kehadirannya sangat berarti bagi studi lanjut tentang Naqsyabandiyah. Berbeda survei yang dilakukan Van Bruinessen. Mahmud Sujuthi dalam Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Jombang, (2001). Mengkaji tarekat Rejoso dan cabang-cabang yang berasal dari tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam konteks struktur dan sejarah politik,[21] yang begitu besar pengaruhnya, baik terhadap orang Madura maupun etnis Jawa. Mahmud melihat tarekat dalam pertarungannya melawan kekuasaan yang menganut model produksi kapitalis. Dari studi yang dilakukan terhadap salah satu tarekat muktabar, yaitu tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Jombang, bahwa tarekat bukanlah fenomena tunggal. Dalam kajian ini, ia mengambil subyek hubungan agama, negara dan masyarakat dengan fokus politik tarekat. Penulis lain, Zulkifli Zul Harmi, Sufi Jawa Relasi Tasawuf-Pesantren. (2003),[22] buku ini menawarkan sebuah tinjauan singkat yang istimewa tentang sepak terjang Sufisme di Jawa dan sebagian didasarkan atas pengalaman pribadi penulis tentang pendidikan pesantren di Jawa. Buku ini memberikan suatu pemahaman dasar tentang ciri-ciri utama pesantren dan gabungan makna Tasawuf-Tarekat di Indonesia. Studi banding yang dilakukan Zulkifli atas dua pesantren yang terpenting di Jawa, yaitu Pesantren Tebuireng di Jawa Timur dan Pesantren Suryalaya di Jawa Barat, dengan memfokuskan pada posisi intelektual para pendirinya dan peranan yang diberikan kepada Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah di masing-masing institusi, Zulkifli hanya menyinggung sepintas tentang tokoh tarekat yang terlibat dalam pemberontakan rakyat Banten,

yaitu Haji Tubagus Ismail dan Haji Marjuki, sebagai pengganti KH. Abdul Karim yang memainkan peranan signifikan dalam penyebaran tarekat sufi, hanya dalam satu paragraf kecil. Dan kajian yang diteliti Zulkifli sangat berbeda dengan penulis. Objek kajian yang diteliti difokuskan pada tarekat yang sama, di tempat yang berbeda pada abad XIX. Dudung Abdurrahman dalam tesis berjudul, Gerakan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Suryalaya dalam Perubahan Sosial di Tasikmalaya 1905-1992.[23] Dalam tesis ini dijelaskan tentang gerakan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah selama perkembangannya pada abad XX, terutama yang berlangsung melalui pusat pengembangannya di Suryalaya Tasikmalaya. Selain itu, juga dijelaskan tentang posisi tarekat Suryalaya dalam bidang pendidikan, bidang inabah, dan reformasi dakwah. Bidang-bidang tersebut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah pada abad XIX di Banten belum disentuh sama-sekali, maka dari itu, penelitian ini berbeda dengan tesis tersebut, meskipun objek penelitiannya sama yaitu mengangkat tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, tetapi waktu dan tempatnya tidak sama. Penulis mengarahkan objek penelitian ini pada abad XIX dan tepatnya di Banten. Berbeda dengan studi-studi di atas, studi ini secara teoritis menjelaskan pola-pola hubungan antara sufisme dan politik berdasarkan data yang sudah dikumpulkan dalam sumber-sumber tertulis. Studi ini mengambil sekop wilayah Banten. Dengan demikian, penelitian ini memiliki signifikansi yang tinggi dan memberi kontribusi yang besar bagi studi Islam dan masyarakat Indonesia.
E. Landasan Teori

Apabila diperhatikan dari segi perkembangan sejarahnya, bahwa gerakan tasawuf sudah menjadi budaya orang Islam. Walaupun sebenarnya faktor yang mendorong lahirnya tasawuf ini bersumber dari Islam itu sendiri, yaitu al-Quran dan al-Hadits. Sehubungan dengan judul skripsi tentang gerakan kaum tarekat, maka konsep tasawuf perlu diketengahkan. Tasawuf adalah kesadaran fitrah yang dapat mengarahkan jiwa kepada kegiatankegiatan tertentu untuk mendapatkan suatu perasaan berhubungan dengan wujud Tuhan yang mutlak (Al-Haq).[24] Hubungan manusia dan Tuhan digambarkan sebagai hubungan yang menunjukkan dekatnya Tuhan dan manusia, bahkan manusia merasa bersatu dengan Tuhan. Cara yang efektif untuk mendekatkan diri dengan Tuhan adalah melalui tarekat. Berkenaan dengan tarekat itu sendiri, sejarah banyak mencatat bahwa tarekat merupakan bagian keagamaan Islam yang berpengaruh dalam penyebaran Islam di Indonesia. Tarekat merupakan media yang penting untuk dakwah dan pembinaan agama Islam. Dalam pengertiannya secara bahasa, tarekat adalah jalan, yaitu berasal dari bahasa Arab, thariqah, dan seringkali diartikan sebagai jalan menuju Tuhan. Jalan yang dimaksud adalah cara atau metode para sufi, sehingga pada umumnya tarekat disebut sebagai sistem latihan meditasi dan amalan, baik zikir maupun wirid, yang dihubungkan dengan sejumlah guru sufi.[25] atau lebih lengkap di mana waktu melakukan amalan-amalan tarekat tersebut si pelaku berusaha mengangkat dirinya melampaui batas-batas kediriannya sebagai manusia dan mendekatkan dirinya ke sisi Allah SWT. Perkataan tarekat lebih sering dikaitkan dengan suatu organisasi tarekat, yaitu suatu kelompok organisasi (dalam lingkungan tradisional).[26] Pada masa-masa permulaan, setiap guru sufi dikelilingi oleh lingkaran murid mereka, dan beberapa dari murid ini akan menjadi guru pula. Seorang pengikut

tarekat akan mendapat kemajuan dengan melalui sederet ijazah berdasarkan tingkat pengetahuannya, yang diakui oleh semua pengikut tarekat, dari pengikut biasa (mansub) hingga murid, selanjutnya hingga pembantu syeikh atau khalifahnya, dan akhirnya menjadi guru yang mandiri (mursyid). Istilah pemberontakan petani (Peasants Revolt) dalam penelitian ini, memerlukan sedikit penjelasan. Istilah itu tidak berarti bahwa peserta-pesertanya terdiri dari petani semata-mata.[27] Sepanjang sejarah pemberontakan-pemberontakan petani, pemimpin-pemimpinnya jarang sekali petani biasa. Mereka berasal dari golongan-golongan penduduk pedesaan yang lebih berada dan lebih terkemuka, dan mereka adalah pemuka-pemuka agama, anggota-anggota ningrat atau orang-orang termasuk golongan penduduk desa yang terhormat. Pemimpin-pemimpinnya merupakan satu golongan elit pedesaan, yang mengembangkan dan menyebarkan ramalanramalan dan visi sejarah yang turun-temurun mengenai akan datangnya Ratu Adil atau Mahdi. Dalam banyak hal, pemuka-pemuka agamalah (Ulama) yang telah memberikan bentuk yang populer kepada ramalan-ramalan dan menerjemahkan ke dalam perbuatan dengan jalan menarik massa rakyat agar berontak. Anggota-anggota gerakan terdiri dari petani, akan tetapi pimpinan organisasi berada di tangan kaum elit agama yang terdiri dari ulama, haji, dan guru tarekat. Pemberontakan yang terjadi di Banten ditokohi oleh para ulama. Untuk itu, konsep ulama diperlukan dalam penelitian ini. Ulama di sini dikembangkan berdasarkan kategorisasi sosial yang berlaku pada zamannya. Sebagaimana dikatakan oleh Robert van Niel, bahwa ulama di Jawa pada masa kolonial Belanda terkelompok di dalam golongan Ulama Tradisi yang memperoleh perlindungan penguasa pribumi di bawah kekuasaan penguasa kolonial, dan golongan ulama lainnya adalah mereka yang tidak terikat oleh penguasa dan seringkali menjadi penggerak massa dalam perlawanannya terhadap pemerintahan kolonial.[28] Kedua golongan itu, dipertegas lagi perbedaannya dalam peristilahan G. F. Pijper, menjadi Ulama Birokrat dan Ulama Bebas. Menurut Adviseur Belanda ini, antara kedua kelompok Ulama tersebut sering terjadi persaingan serta perbedaan kecenderungan menghadapi Pemerintahan Kolonial.[29] Tanpa terikat dengan kategorisasi Ulama dari kedua ahli tersebut, konsep-konsep mereka di dalam penelitian ini dijadikan salah satu acuan. Dalam pembahasan sejarah sebagai kisah yang tidak semata-mata bertujuan menceritakan kejadian, tetapi bermaksud menerangkan faktor-faktor kausal maupun kondisional, masalah pendekatan sebagai bagian pokok ilmu sejarah harus diketengahkan. Penelitian ini termasuk dalam disiplin sejarah, sehingga pendekatan utama yang dipergunakan di dalam tema ini akan dikaji dengan pendekatan sejarah, pendekatan ini diharapkan dapat menghasilkan sebuah penjelasan yang mampu mengungkap gejala-gejala yang berkaitan erat dengan waktu dan tempat berlangsungnya gerakan pemberontakan yang dilakukan Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Kemudian dapat menjelaskan asal-usul, dan segi-segi dinamika sosial serta struktur sosial di dalam masyarakat yang bersangkutan.[30] Kemudian perubahan sosial yang terjadi menurut Sartono Kartodirdjo, dapat dilihat dari proses transformasi struktural, yaitu adanya proses integrasi dan disintegrasi, atau disorganisasi dan reorganisasi yang silih berganti. Dalam proses transformasi struktural yang terjadi mengubah secara fundamental dan kualitatif jenis solidaritas yang menjadi ikatan kolektif, dari ikatan komunal menjadi ikatan asosiasonal yang berupa organisasi komplek.[31] Gejala-gejala itulah yang terjadi dalam gerakan pemberontakan para pengikut tarekat di Banten yang menjadi objek skripsi ini.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang ingin menghasilkan proses-proses pengkisahan atas peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu suatu proses untuk menguji dan menganalisis secara kritis peninggalan masa lalu guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya serta melakukan sintesis terhadap data, agar menjadi cerita sejarah yang dapat dipercaya.[32] Metode sejarah bertujuan untuk merekonstruksi kejadian masa lampau secara sistematis dan objektif. Dalam hal ini penulis melakukan tahapan sebagai berikut: Pertama, heuristik atau pengumpulan sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan sebuah penelitian. Penelitian ini bersifat kepustakaan murni, karena sumber datanya adalah buku-buku dan artikel-artikel, baik buku-buku sejarah maupun artikel-artikel tentang pemberontakan dan tarekat yang berhubungan dengan penelitian yang akan ditulis, di samping itu, jurnal-jurnal yang membahas tentang kajian ini, serta kamus-kamus sebagai sumber pembantu. Kedua, verifikasi atau kritik sumber setelah pengumpulan data, baik kritik intern maupun kritik ekstern. Kritik intern, dilakukan untuk meneliti kebenaran isi yang membahas tentang tarekat dalam suatu pemberontakan, apakah sesuai dengan permasalahan atau tidak sama sekali, apabila kritik intern sudah dilakukan maka dilanjutkan dengan kritik ektern yaitu untuk mengetahui tingkat keaslian sumber data guna memperoleh keyakinan bahwa penelitian telah diselenggarakan dengan mempergunakan sumber data yang tepat.[33] Dalam hal ini, penulis menyelidiki bagaimana sumber data itu, baik gaya bahasanya maupun pembuatnya. Ketiga, interpretasi atau penafsiran sejarah yang seringkali disebut juga dengan analisis sejarah, yang bertujuan untuk melakukan sintesa atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama dengan teori-teori disusunlah fakta itu kedalam suatu interpretasi yang menyeluruh.[34] Maka untuk itu digunakan metode analisis deduktif untuk memperoleh gambaran tentang pemberontakan rakyat Banten dan politik kaum Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang menjadi objek penelitian. Langkah yang terakhir adalah historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan.[35] Peneliti berusaha menyajikannya secara sistematis agar mudah dimengerti.
G. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam bab ini terdiri dari lima bab pembahasan. Meskipun dari setiap bab itu tidak mengikuti urutan-urutan kronologis, tetapi di antara bab-bab itu saling berkaitan. Dalam bab pertama atau pendahuluan, memuat latar belakang permasalahan, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Pada bab kedua akan dijelaskan mengenai kondisi Banten menjelang pemberontakan 1888, yang meliputi kondisi sosial-ekonomi, politik dan keagamaan.

Bab ketiga akan menguraikan tentang Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Banten pada abad ke-19, dalam bab ini akan dibagi pembahasannya mengenai asal-usul Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan perkembangan di Banten, ajaran dan ritual tarekat, pengaruh Syeikh Abdul Karim bagi masyarakat Banten. Bab keempat akan menjelaskan tentang bentuk-bentuk keterlibatan kaum Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dalam pemberontakan rakyat Banten. Pada bab ini diawali dengan kaum tarekat dan protes sosial politik, kemudian diuraikan tentang kepemimpinan tarekat dalam pemberontakan, gerakan tarekat dalam peristiwa peristiwa geger Cilegon 1888. Bab kelima atau terakhir merupakan penutup dari penelitian ini, yang berisi kesimp

Konsep konsep yang dipakai dalam penulisan Sejarah

Konsepnya Hoshbawn : Konsepnya Hosbown mengenai gerakan gerakan kuno (archaic) dan gerakan gerakan urban atau industrial. Karakteristik karakteristik modern itu dapat modern itu dapat ditemukan dalam gerakan gerakan sosial modern seperti yang dimaksud oleh Heberte, umpamanya, gerakan buruh, gerakan petani, nazisme, zionisme, komunisme. Konsepnay mengenai gerakan sosial begitu luas sehingga mencakup pula gerakan gerakan petani. Dalam hal ini Prof. Sartono Kartodirjo selaku penulis menganggap bahwa gerakan gerakan itu mempunyai karakteristik yang sama. Dimana gerakan gerakan itu bersifat tradisional, lokan atau regional dan berumur pendek. Didalam gerakan gerakan itu tidak ditemui ciri ciri modern seperti organisasi, ideologi ideologi modern dan aktifitas yang meliputi seluruh negeri.

Konsepnya Talmon : terkait denga teori bunuh diri. Pemberontakan petani di Jawa merupakan hal yang inheren mereka. dengan Dari sini bentuk kita magis jumpai religius perbedaan dari antara

pengejawantahanperjuangan

pemberontakan petani Banten dengan gerakan politik modern dengan ideologi yang sekuler serta alat alat organisasi yang efektif . Namun, terdapat suatu kesinambungan

dari pemberontakan pemberontakan religius pra-modern sampai kepada gerakan revolusioner yang besar besaran dan sifatnya sekuler.

Konsepnya Van de venter : Van de venter terkenal dengan tiga teorinya yaitu Pendidikan, Transmigrasi dan Irigasi. Berdasarkan karya karya mengenai historiografi kolonial Indonesia penulis ( prof.Dr.Sartono Kartodirdjo) menganggap belum ada pemberontakan petani yang telah dibahas secara khusus, namun didalam catatan Van de venter telah disebutkan adanya irigasi merupakan bukti peranan historis yang telah dimainkan oleh kaum petani.

Konsepnya Indonesia sentris : dalam menulis sejarahnya prof.Dr.Sartono Kartodirdjo mencoba menggunakan konsep Indonesia-sentris. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Resink (1950) pendekatan Indonesia-sentris ini telah dibahas dalam seminar mengenai sejarah Indonesia di Yogyakarta tahun 1957. Sebaliknya sikap yang Belanda-sentris memandang sejarah Indonesia hanya sebagai sambungan sejarah Belanda, dan oleh karenanya, menurut pandangan itu, rakyat Indonesia tidak memainkan peranan yang aktif dan sangat esensial bagi sudut pandang Indonesia-sentris adalah peranan aktif. Manusia Indonesia dalam sejarah Indonesia yang merupakan kontras dengan peranan ekstra yang dikenakan kepadanya oleh ahli ahli kolonial sejarah kolonial dalam historiografi kolonial.

Konsepnya Multidimensional : Pendekatan ini dengan referensi khusus kepada sejarah nasional di Indonesia. Penulis buku ini (Prof.Dr.Sartono Kartodirdjo) sengaja menggunakan pendekatan ini. Yang berawal dari pendekatan struktural terhadap sejarah

Indonesia akan dapat memberikan sorotan yang lebih jelas mengenai berbagai segi masyarakat masyarakat Indonesia dan pola pola perkembangannya. Penggunaan pendekatan struktural akan berguna dalam usaha menemukan berbagai aspek perkembangan historis di Indonesia, dimana dramatis personal-nya adalah orang orang Indonesia sendiri.

Konsepnya Hosbown ( 1963 ) : terkenal dengan konsepnya tentang dikotomi gerakan gerakan sosial. Memandang berbagai bentuk gerakan sosial sebagai kasus kasus dalam suatu kontinum dari gerakan gearakan religious sampai kepada gerakan sekuler mengenai pemberontakan tahun 1888 di Banten, masalahnya adalah untuk mengidentifikasikan peranan yang telah dimainkan oleh gagasan gagasan magic Religi dan Mesionis di dalam geakan itu. Dalam studi mengenai gerakan gerakan sosial di Indonesia adalah penting sekali untuk mengadakan pembedan yang jelas antara gerakan gerakan yang kuno dan gerakan gerakan modern.

Konsep konsep sebab akibat dan kondisi sosial : sebagaimana yang telah dipakai oleh penulis penulis sepeti mc.Iver (1943), Morriscohem (1947), Dofring (1960), Aron (1961). Alat ini digunakan semata mata sebagai alat metodologis. Seluruh prosedur analisa dan sintesa harus didasarkan atas suatu rancangan teoritis,dimana konsep konsep merupakan unsur unsur utamanya. Didefinisikan sebcara luas, istilah kondisi mengacu kepada suatu motif, variabel atau sebab. Tujuan studi ini tidak hanya untuk melukiskan pa yang terjadi dan kapan. Melainkan juga bagaimana, apa yang terjdi dan kapan, melainkan juga bagaimana dan apa sebabnya hl itu terjdi. Persoalan persoalan itu jelas mengacu kepada masalah sebab musabab atau faktor faktor kondisional.

Pendekatan antara Sosiologi dan Sejarah sebagaimana dipakai oleh penulis penulis sepeti Worsely (1957), Wilson (1960), Cohn (1961), Hobsbown (1963). Pada umumnya

orang terpaksa menggunakan disiplin disiplin iu mengingat sifat pokok persoalannya itu sendiri serta bahan bahan yang tersedia. Satu satunya pokok persoalan yang jelas jelas memperlihatkan saling ketergantungan yang aktual atau potensial antara sejarah dan soiologi adalh gerakan sosial. Pilihan atas topik ini memberikan kesempatan yang luas untuk mengkombinasikan kedua garis penyelidikan.

Konsepnya Max Weber (1964) : konsep mengenai otoritas tradisional, karismatik dan legasl-rasional bisa diuji dlam kaitannya dengan perkembangan politik di Banten Abad XIX. Untuk memperoleh pemahaman yang lengkap mengenaui determinan deteminan gerakan sosial, kita perlu memperhitungkan proses politik sebagai suatu konsep yang mengacu kepada interaksi antara berbagai unsur sosial yang bersaing untuk memperoleh alokasi otoritas.

Konsep milenarisme : sebagaimana dituliskan oleh Bodrogi (1951), Belandier (1953), Emet (1956), worsley (1957), Kobben (1962), Lanternari (1963). Hal ini relevan bai studi ini karena mengacu kepada peristiwa peristiwa, proses dan kecenderungan kecederungan yang ikut membantu timbulnya aliran aliran anti Barat. Pemberontakan pemberontakan petani dapat dipandang sebagai gerakan gerakan protes terhadap masuknya perekonomian Brat yang tidak diinginkan di tahap pengawasan politik, dua hal yang merongrong tatanan masyarakat tradisional.

Konsep Transformasi dari Tradisional ke Modernitas : seperti karya karya Burger (1949 1950), Scrike (1955), Wertheim (1959). Dengan mulai berlakunya perekonomian uang, timbulnya buruh upah dan ditegakkannya administrasi pusat, maka terjadilah keruntuhan umum struktur ekonomi dan politik yang tradisional.

Konsep Dinamika Kultur Mengenai Aliran Aliran Mesianik : konsep ini sebenarny dipakai oleh Drewes dalam tulisannya dengan tujuan utamanya adalah analisa teks mengenai aliran aliran milenari dan mesionik. Konsep ini bertolak belakang dengan penulis buku ini lebih memperhatikan aspek aspek sosiologis dari gerakan gerakan sosial itu.

Konsep - konsep struktural mengenai gagasan gagasan mesianik : Sebagaimana karya Snouck Hugronje yang menyoroti tentang kehadiran Mahdi seperti yang berkembang di negeri negeri Islam. Gagasan gagasan ini membawa penulis buku ini (prof.Dr.Sartono Kartodirdjo) kepada kesimpulan bahwa mesianisme, dipandang sebagai filsafat sejarah, mengandung gagasan gagasan mengenai gerakan sejarah manusia linier dengan memasukkan kedalamnya unsurb siklis.

Konsep Gerakan Navistik : oleh penulis di manifestasikan seperti kultus kultus Cargo di Melanisea, Tari roh di Amerika Utara, Kimbangisme di Afrika, Mahdisme di Afrika Utara dan negeri negeri Islam lainnya. Semuaya telah dipelajari secara mendalam dan menyeluruh.

Konsep perubahan sosial : disintegrasi dan disorganisasi sosial serta hal hal yang menyertainya pergolakan, konflik dan mobilitas sosial telah diabaikan. Masalah konflik sosial diantara berbagai kelas dalam masyarakat Banten jelas merupakan salah satu masalah yang paling terasa dimana mana mengenai gerakan gerakan sosila itu telah

dipelajari dari sudut pandang sosiologis, umpamanya oleh Yoder ( 1927 1928), Meadows (1943), Steward J. Burger (1944), Heberte (1949), King (1956).

Konsep Konflik Sosial : sebagaimana ditulis oleh Leach (1954), Gluckman (1963), Firth (1964), Wertheim (1965). Masyarakat Banten dalam abad XIX merupakan suatu contoh darin situasi konflik yang kronis. Masyarakat Banten tidak lagi dalam kekuatan yang statis dan seimbang, melainkan terdiri dari gologan golongan yang saling bersaing, yang bersikap antagonistis dan bersengketa satu sama lain, sehingga menyeret masyarakat ketitik kekacauan.

Konsep sosio antropologis : menurut Evan Pritchard (1961. hal. 14 15) gerakan gerakan sosial karena sifat sifat dasarnya, menjadi suatu bidang bersama bagi beberapa disiplin. Konsep sosio antropologis yang dipakai oleh penulis buku ini (Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo) berusaha untuk menyatakan korelasi antara kecenderungan kecenderungan sosial dengan peristiwa. Peristiwa politik disatu pihak dan pola pola kultural dipihak lain melibatkan suatu pendekatan sosio antropologis, lingkup antropologis sosial adalah identik dengan lingkup apa yang oleh ilmuwan ilmuwan kontinental dinamakan sosiologi, ditinjau dari segi bidang dan metodenya. Sudut pandangan sosiologi dan antropologi sosial atas dasar suatu orientasi keagamaan atau ideologi golongan golongan yang merasa dirugikan, yang bertujuan memulihkan apa yang mereka anggap sebagai tatanan tradisional.

Konsep sosio ekonomis : Berdasar laporan Banten ( Benda Mc Vey. 1960) yang membahas pemberontakan komunis dalam 1926 1927, faktor faktor yang menyebabkan adanya kecenderungan untuk berontak harus dicarai, maka pertanyaannya adalah sampai sejauh mana antara korelasi antara penetrasi sistem ekonomi barat dan

ketidakstabilan pemberontakan.

situasi

sosial

yang

berkecenderungan

untuk

meletus

menjadi

Konsep korelasi antara milenarisme dan akulturasi : sebagaimana yang dipelajari oleh Barber (1941), Luiton (1948), Wallace (1956, Herkovits (1958), Mair (1958). Menurut penulis buku ini (Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo) pemberontakan itu sebagai hasil suatu gerakan sosial yang telah berlangsung lama, dapat dipandang dari segi akulturasi pada umumnya, dan milenarisme pada khususnya.

Kosep agama dan perubahan sosial : yang ditulis oleh Wallis (1943), Yinger (1957), menurut penulis buku ini (Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo). Kita dapat melihat proses proses perubahan sosial dan gejala gejala menyertai konflik sosial, disorganiosasi dan reintegrasi sosial. Berdasarkan sosiologi Agama akan menampilkan proses proses yang esensial seperti sekularisasi, identifikasi golongan dan escpism.

Pendekatan Konvensional dan Historiografi Kolonial : sebagaimana ditulis oleh (Meiinsma 1872 1875, Van de Venter 1886 1887, Veth 1896 : dapat dilihat dalam bab I pendekatan konvensional dalam histriografi kolonial berdasarkan atas fakta dalam pendekatan itu menganggap rakyat pada umumnya dan kaum tani pada khususya hanya memainkan peranan yang sangat pasif saja. Historiografi colonial mengenai abad XIV memberikan tekanan yang besar kepada susunan lembaga lembaga pemerintahan pada umumnya dan kepada soal pembuatan undang undang dan pelaksanaannya dan jarang melampaui tingkat struktur struktur formal.

Konsepnya Benda dalam JSAH Mengenai Pendekatan Struktural Terhadap Sejarah Asia Tenggara : Hal ini dapat dilihat dalam bab I : oleh karena dianggap sebagai pra politis, tidak artikulat, dan tidak ada hubungannya dengan peristiwa

peristiwa bersejarah yang besar fakta fakta yang berkaitan dengan gerakan gerakan sosial itu juga tak mempunyai arti yang besar bagi ahli ahli sejarah yang tidak menggali lebih dalam dari laporan laporan sejarah yang terutama bersifat politis, dan yang bertolak dari anggapan bahwa jaringan sejarah politik itu disanggah oleh keragka yang terdiri dari tokoh tokoh yang terkenal, badan badan politik dan peperangan. Sejarah yang terlalu mengutamakan politik itu nampaknya tak memuaskan karena perspektifnya sempit : kita harus meninggalkan pendekatan historiografi Kolonial yang mengikuti kecenderungan umum studi sejarah konvensional dengan hanya menyerap fakta fakta mengenai peristiwa dan episode politik yang besar. Kita harus menembus sampai ketingkat faktor faktor yang mengkondisikan peristiwa itu. Dilihat dari sudut pandang ini, peristiwa sejarah yang unik menjadi manifestasi kekuatan kekuatan yang lebih fundamental yang menampakkan diri di permukaan. Satu kelemahan lainnya aspek aspek struktural sejarah Inonesia, dengan demikian ia tidak dapat menyingkap bukan saja proses proses sosial dan politik masyarakat Indonesia dimasa lampau. Jelaslah bahwa suatu pendekatan terhadap sejarah Indonesia akan dapat memberikan sorotan yang lebih jelas mengenai berbagai segi masyarakat Indonesia dan pola pola perkembangannya.

Konsepnya Resink : yang menyususn beberapa konsep yang Indonesia sentris. Dapat dilihat dalam bab I : sikap yang Belanda sentris memandang sejarah Indonesia hanya sebagai sambungan sejarah Belanda, dan oleh karenanya, menurut pandangan itu rakyat Indonesia tidak memainkan peranan yang aktif.

Konsep Gerakan Milenarisme : Sebagaimana yang ditulis oleh Bodrogi ( 1951), Guiart ( 1951), Pieris (1962), sebuah tijauan yang kompeherensif mengenai gerakan gerakan milenarisme sebagai perjuangan melawan kekuasaan asing. Hal ini dapat dilihat dalam bab I : diantara studi studi mengenai gerakan gerakan itu, banyak yang membahas gerakan dalam situasi colonial yang melibatkan suatu penolakan terhadap dominasi penguasa asing.

Konsepnya Evans Pritchard mengenai gerakan gerakan sosial : karena sifat sifat aslinya menjadi suatu bidang bersama bagi beberapa disiplin. Lingkup antropologi sosial adalah identik dengan lingkup apa yan oleh ilmuwan ilmuwan continental dinamakan sosiologi. Hal ini dapat dilihat dalam Bab I : yang esensial bagi jenis analisa ini adalah studi menegnai perubahan peruabahan yang terjadi dalam bentuk dan komposisi pola pola nilai dalam masyarakat Banten. Usaha untuk mengadakan korelasi antara kecenderungan sosial dan peristiwa peristiwa politik di satu pihak dan pola pola kultural di pihak lain melibatkan suatu pendekatan sosio antropologis. Gagasan milenari digunakan oleh pemimpin pemimpin agama untuk menghasut rakyat agar memberontak dapat dijelaskan dari sudut pandangan sosiologi dan antropologi sosial atas dasar suatu orientasi keagamaan atau ideologi golongan golongan yang merasa dirugikan yang bertujuan memulihkan apa yang mereka anggap sebagai tatanan tradisional.

PENDAHULUAN Masyarakat Islam Banten, dalam tradisi keislaman di Indonesia pada masa lalu, dikenal lebih sadar-diri dibandingkan dengan daerah lainnya di Jawa. Perbandingan itu mungkin juga berlaku terhadap kebanyakan wilayah di Nusantara. Beberapa hasil observasi menunjukkan kebenaran reputasi ini. [1] Demikian ungkap Martin van Bruinessen. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Islam sangat berpengaruh dalam pembentukan dan perkembangan masyarakat Banten. Pada awalnya Banten merupakan salah satu kerajaan Islam di Nusantara, setelah memisahkan diri dari kerajaan Hindu Padjadjaran pada paruh pertama abad ke-16. Karena daerahnya yang strategis, berada pada jalur pelayaran dan perdagangan Nusantara bahkan internasional dan kesuburan tanahnya, Banten berhasil mengalahkan negara induknya bahkan dapat menguasai sebagian wilayah kekuasaan Padjadjaran pada pertengahan abad ke-16. [2] Sebagian besar penduduk Banten berketurunan orang Jawa dan Cirebon. Dalam perjalanan waktu, penduduk ini berbaur dengan orang-orang Sunda, Bugis, Melayu dan Lampung. Perbauran yang begitu dalam menyebabkan penduduk Banten memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal bahasa dan adat istiadat dengan masyarakat asalnya. Begitu pula dalam hal penampilan fisik dan watak, orang Banten menunjukkan perbedaan yang nyata dengan orang Sunda, orang Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di antara

unsur-unsur yang membentuk kebudayaan mereka hampir tak terdapat ciri-ciri peradaban Hindu-Jawa. Karena Islam mengalami penetrasi yang sangat dalam pada masyarakat Banten. Di Banten yang pernah menjadi pusat kerajaan Islam dan penduduknya yang terkenal sangat taat terhadap agama, sudah sewajarnya kyai menempati kedudukan yang signifikan dalam masyarakat. Kyai yang merupakan gelar ulama dari kelompok Islam tradisional, tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama tetapi juga seorang pemimpin masyarakat. Kekuasaannya seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal, terutama di pedesaan. [3] Pengaruh kyai melewati batas-batas geografis pedesaan berdasarkan legitimasi masyarakat untuk memimpin upacara-upacara keagamaan, adat dan menginterpretasi doktrin-doktrin agama. Selain itu, seorang kyai dipandang memiliki kekuatan-kekuatan spiritual karena kedekatannya dengan Sang Pencipta. Kyai dikenal tidak hanya sebagai guru di pesantren, juga sebagai guru spiritual dan pemimpin kharismatik masyarakat. Penampilan kyai yang khas merupakan simbol-simbol kesalehan. Misalnya, bertutur kata lembut, berperilaku sopan, berpakaian rapih dan sederhana, serta membawa tasbih untuk berdzikir kepada Allah. Karena itu, perilaku dan ucapan seorang kyai menjadi panduan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Lanjutan dari tulisan ini>> Last Edit: 31/05/2007 09:06 by boencis Logged

boencis

Guest

Re: Studi tentang Kharisma Kyai & Jawara di Banten

Reply #1 on: 31/05/2007 08:58 0 Kedududukan dan perannya yang sangat strategis tersebut, menjadikan seorang kyai tidak hanya tinggal diam di pesantren yang ia pimpin, tetapi juga hidup di tengah-tengah masyarakat luas. Ia memiliki jaringan komunikasi yang sangat luas dengan berbagai lapisan masyarakat. Jaringan itu terbentuk melalui organisasi-organisasi keagamaan dan masyarakat, partai politik, guru-murid dan tarekat. Di samping kyai, Jawara merupakan kelompok lain yang juga menembus batas-batas hirarki pedesaan di Banten. [4] Jawara dikenal sebagai seorang yang memiliki keunggulan dalam fisik dan kekuatankekuatan untuk memanipulasi kekuatan supranatural (magic), seperti penggunaan jimat, sehingga ia

disegani oleh masyarakat. Sosok seorang jawara memiliki karakter yang khas. Ia cukup terkenal dengan seragam hitamnya dan kecenderungan terhadap penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan. Karena itu, bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang sebagai sosok yang memiliki keberanian, agresif, sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), terbuka (blak-blakan) dengan bersenjatakan golok, untuk menunjukan bahwa ia memiliki kekuatan fisik dan supranatural. [5] Kepala jawara memiliki padepokan sebagai tempat pengemblengan anak buah. Para jawara pun memiliki jaringan yang melewati batas-batas geografis daerah tempat tinggalnya. Bahkan, mereka memiliki organisasi tersendiri, seperti Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten yang dipimpin oleh Tb Chasan Shohib; dan Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir yang dipimpin oleh Maman Rizal. Dengan demikian, entitas kyai dan jawara dalam masyarakat Banten memiliki pengaruh yang melewati batas-batas geografis karena kharisma yang dimilikinya. Bagi peneliti, dua entitas tersebut merupakan fenomena yang menarik. Karenanya, sebagai permasalahan utama peneliti memunculkan pertanyaanpertanyaan berikut ini. Bagaimana kedudukan dan peran kyai dan jawara dalam budaya masyarakat Banten? Bagaimana jaringan kyai dan jawara di Banten dapat terbentuk? Bagaimana sifat dan karakteristik jaringan itu? Dan bagaimana hubungan kyai dengan jawara?

***** Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, peneliti menggunakan tiga pendekatan, yaitu: etnografis, historis dan teologis. Metode yang dipergunakan adalah pengamatan terlibat (participant observation) dan wawancara mendalam (indepth interview), untuk mengungkap unsur-unsur kebudayaan yang terdapat dalam interaksi sosial dan simbol-simbol yang dipergunakan oleh kyai dan jawara. Setelah melakukan eksplorasi literatur tentang permasalahan itu, sebagai acuan dalam membahas permasalahan, peneliti menggunakan teori bahwa subkultural ini bukan hanya sekedar sekelompok orang yang menempati wilayah tertentu, tetapi ia sangat komplek. Ia memiliki simbol, makna dan pengetahuan. Ia merupakan sistem norma, nilai, kepentingan atau perilaku yang membedakan antara individu, kelompok atau kesatuan dengan masyarakat yang lebih besar di mana mereka juga ikut berpartisipasi di dalamnya. [6] Teori ini menempatkan bahwa kyai dan jawara adalah subkultur, yang memiliki nilai dan norma tersendiri, namun tetap tidak terpisah dari kultur masyarakat Banten secara keseluruhan. Pandangan tersebut sangat mempengaruhi, bahkan seringkali menentukan, keberadaan subkultur. Kecurigaan, ketidakpercayaan dan ketakutan terhadap hal-hal yang tidak diketahui atau hal-hal yang menyimpang dapat mengakibatkan penolakan oleh masyarakat dominan. Sebuah lingkaran interaksi dapat menggerakkan mereka yang didefenisikan berbeda atau menyimpang untuk berpikiran dan

berperilaku seperti yang dituduhkannya itu, sehingga mereka yang dituduh itu berupaya untuk semakin banyak mengambil sumber-sumber mereka sendiri, mengangkat nilai-nilai, keyakinan, peran dan sistem status milik mereka sendiri. [7]

Banten dan Tradisi Islam Banten terletak di bagian Barat pulau Jawa yang melingkupi daerah kabupaten Lebak, Pandeglang, Serang, Cilegon dan Tangerang. Di sebelah Utara terdapat laut Jawa dan sebelah Barat terdapat selat Sunda. Sebelah Selatan terletak Samudera Indonesia dan sebelah Timur terbentang dari Cisadane sampai Pelabuhan Ratu. Pulau-pulau di sekitarnya yang masih termasuk wilayah Banten adalah: pulau Panaitan, pulau Rakata, pulau Sertung, pulau Panjang, pulau Dua, pulau Deli dan Pulau Tinjil. Kini jumlah penduduk Banten sekitar 8.098.277 orang dengan komposisi 95,89 % beragama Islam, 1, 03 % beragama Katolik, 1, 59 % beragama Protestan, 0,22 % beragama Hindu, 1,15 % beragama Budha. Sisanya memeluk agama lokal (sunda wiwitan), yakni orang-orang Baduy. [8] Sejarah Islam di Banten tidak sekedar soal konversi saja, tetapi juga mengenai pengaruh Islam sebagai agama resmi kesultanan, sehingga mengakibatkan hancurnya banyak kebudayaan Hindu-Budha yang pernah ada dan sebagai ideologi perjuangan untuk melawan pemerintah kolonial. Yang terakhir inilah mungkin, tanpa mengesampingkan adanya ulama Banten yang menekuni bidang intelektual seperti Syekh Nawawi al-Bantani, yang menyebabkan penyebaran Islam di Banten dalam bidang intelektual tidak begitu menonjol. [9] Para tokoh agama, kyai termasuk di dalamnya, lebih sibuk mengurusi soal bagaimana mengadakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Hal demikian menimbulkan kesan bahwa sentimen keislaman di Banten sangat kental, meskipun dalam pemahaman keislaman tidak begitu mendalam. Hal seperti ini juga dapat terlihat dalam perilaku para jawara. Sejarah masuknya Islam di Banten masih sangat kabur. Para sarjana mengakui adanya problem yang signifikan berkaitan dengan asal usul penyebaran Islam di Banten, yang mungkin tidak akan pernah terungkap secara utuh karena kurangnya sumber-sumber sejarah yang bisa dipercaya yang mencatat periode kontak dan konversi tersebut. Diakui memang sudah ada kalangan muslim, terutama para pedagang dari Arab dan India, yang singgah di pelabuhan Banten. Para pedagang tersebut yang kemudian membawa para guru agama (muballigh) setelah mereka mendirikan komunitas-komunitas yang permanen di Banten. Dengan demikian, jalinan antara perdagangan dan konversi sangatlah erat, meskipun tidak secara langsung. Kendati jalur perdagangan yang pertama membawa Islam ke Banten, akan tetapi para sufi, ulama dan tentunya para Sultan Banten memiliki peran penting dalam menyebaran Islam di seluruh wilayah Banten. [10] Dalam kesultanan Banten, para sultan bukan saja pemimpin politik tetapi juga pemimpin agama. Dalam kesultanan Banten politik dan agama memiliki kaitan yang erat. Tidak ada pemisahan yang tegas antara permasalahan agama dan permasalahan politik. Kekuasaan dan agama dalam kesultanan Banten saling menguatkan bukan bersaing. Islam menyebar ke seluruh wilayah Banten tidak lepas dari pengaruh kekuasaan kesultanan Banten. Demikian pula kekuasaan kesultanan Banten mendapat legitimasi kuat

dari agama Islam. Sebagai simbol kaitan yang erat antara kekuasaan dan keagamaan dapat dilihat dari letak keraton Surosowan yang berdampingan dengan mesjid Agung Banten. Dalam negara tradisional, keraton merupakan simbol dari kekuasaan yang bersifat duniawi, sedangkan mesjid merupakan simbol keagamaan yang bersifat keakhiratan [11] . Para Sultan Banten selain dikenal sebagai orang religius juga ahli agama. Bahkan Sultan Ke-3, Maulana Muhammad banyak menulis kitab-kitab tentang agama Islam yang kemudian dibagikan kepada orangorang yang membutuhkan. Ia pun sering menjadi imam dan khotib pada sholat Jumat dan hari-hari raya. Demikian pula Sultan Abu al-Maali Ahmad. Ia sering memberikan pengajaran tentang agama Islam kepada para bawahan dan keluarganya. Ia pun dikisahkan banyak menulis buku agama, salah satu karyanya, Insn Kmil, yang kemudian diambil oleh Snouck Hurgronye. [12] Sebagai simbol bahwa para Sultan Banten tidak hanya pemimpin politik tetapi juga pemimpin agama, mereka memakai gelar keagamaan, maulana atau sultan, di depan nama mereka. Maulana yang merupakan gelar yang dipakai oleh seseorang yang telah mencapai derajat wali, sedangkan sultan merupakan gelar yang diberikan oleh para ulama di Mekkah kepada penguasa Banten sebagai pengakuan akan kepemimpinannya terhadap orang-orang muslim seperti, pendiri dan penguasa kesultanan Banten, Pangeran Sedakinking, bergelar Maulana Hasanuddin. [13] Runtuhnya kesultanan Banten dan semakin memudarnya peran agama dalam sistem politik pemerintahan kolonial, telah mengalihkan loyalitas masyarakat ke para pemimpin agama yang selama ini bersifat independen, yakni para kyai. Para kyai memandang hina kekuasaan pemerintah kolonial karena mereka dipandang sebagai orang-orang kafir yang telah merebut kekuasaan orang-orang muslim dan dengan demikian mesti diperangi. Ide-ide keagamaan itu memasuki hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Pandangan ini mempunyai pengarauh signifikan di Banten yang penduduknya saat taat kepada agama. Pada masyarakat yang religius, tingkat keberagamaan setiap orang diukur dari segi kesalehannya, pengetahuannya atau keanggotannya dalam satu lembaga keagamaan seperti tarekat. Oleh karena itu, pada masa-masa ini para kyai atau pemimpin tarekat lebih dihormati daripada pamongpraja atau birokrat yang bekerja pada pemerintah kolonial. Karena itu, rakyat tidak memberikan dukungan politik kepada para bupati dan pamongraja, karena mereka dipandang telah bekerja pada pemerintahan yang kafir, sehingga derajat sosio-religius mereka pun dipandang rendah. [14] Dengan kedudukan seperti itu, para kyai memainkan peran penting dalam melakukan pemberontakanpemberontakan terhadap pemerintah kolonial, yang mendapat dukungan penuh dari rakyat dan dan elit-elit sosial lainnya, seperti para bangsawan dan para jawara. Semenjak runtuhnya kesultanan Banten, terjadi sejumlah pemberontakan yang sebagian besar dipimpin oleh tokoh-tokoh agama. Seperti, pemberontakan di Pandeglang tahun 1811 yang dipimpin oleh Mas Jakaria, peristiwa Cikande Udik tahun 1845, pemberontakan Wakhia tahun 1850, peristiwa Usup tahun 1851, peristiwa Pungut tahun 1862, kasus Kolelet tahun 1866, kasus Jayakusuma tahun 1868 dan yang paling terkenal adalah Geger Cilegon tahun 1888 yang dipimpin oleh Ki Wasid.

Kedudukan & Peran Kyai dan Jawara Kyai dan jawara merupakan sub-kelompok masyarakat yang memainkan peran penting di Banten hingga saat ini. Meskipun peran dan kedudukan tradisional mereka terus digerogoti arus modernisasi yang semakin hegemonik. Desakan modernisasi telah merubah tata kehidupan dan moralitas masyarakat Banten, sehingga dampaknya tidak hanya berpengaruh pada pendapatan dan produksi, tetapi juga pada perubahan identitas, aspirasi dan otoritas. [15] Namun demikian, perubahan-perubahan tersebut tidak sampai menghancurkan semua kedudukan dan peran sosial mereka secara menyeluruh. Kyai sampai kini tetap merupakan salah satu orang yang dihormati oleh masyarakat. Di samping tokoh-tokoh lain, seperti tokoh politik para pejabat pemerintah dan pengusaha. Demikian pula jawara, selain berusaha untuk tampil lebih ramah sehingga bisa diterima masyarakat, mereka kini tidak hanya memainkan peran tradisional mereka, tetapi juga merambah pada sektor-sektor ekonomi dan politik di Banten. Apalagi setelah Banten menjadi sebuah propinsi yang mandiri, lepas dari wilayah Jawa Barat, peran jawara dalam percaturan bidang politik dan ekonomi memainkan peran yang sangat besar.

Kyai dan Jawara sebagai Elit Sosial Pada masyarakat yang sangat kental nuansa keagamaan, seperti Banten, peran tokoh agama sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, kyai di Banten memiliki status sosial yang dihormati oleh masyarakat. Kehidupan masyarakat religius didasarkan kepada suatu kesakralan, Tuhan atau Allah, sehingga ketertiban sosial pun dipandang memiliki hubungan yang erat dengan kekuasaan di atasnya. Karena itu mereka memiliki ketergantungan terhadap tokoh-tokoh agama dalam memandu kehidupan yang penuh ketidakpastian ini. [16] Jawara pada masa-masa sulit banyak membantu peran para kyai terutama berkaitan dengan persoalan keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, terkadang mereka justru banyak merugikan masyarakat. Seperti kisah ketokohan Ce Mamat alias Muhamad Mansur yang mendirikan Dewan Rakyat. Anggota Dewan Rakyat yang anggotanya kebanyakan dari para jawara, mengadakan serangkaian kerusuhan sosial dan pembunuhan di berbagai tempat di wilayah Banten. Sehingga K.H. Ahmad Khatib memerintahkan K.H. Syamun untuk menangkap Ce Mamat dan menumpas gerombolannya.

Peran Sosial Kyai

Peran kyai dalam masyarakaat Banten pada masa kini tidak sepenting masa-masa yang lalu. Arus modernisasi yang banyak mengagungkan kepada materi dan menuntut profesionalisme dalam segala bidang, telah menempatkan kyai hanya pada peran-peran yang berkaitan langsung dengan masalah keagamaan. Sudah tidak banyak kyai yang memiliki peran yang menentukan di luar masalah keagamaan, seperti pada masa kolonialisme atau pada masa awal kemerdekaan RI dan zaman revolusi fisik tahun 1945-1950. Berdasarkan perannya, kyai di Banten sering dibedakan menjadi kyai kitab dan kyai hikmah. *17+ Kyai kitab ditujukan kepada kyai atau guru yang banyak mengajarkan ilmu-ilmu tekstual Islam, khususnya yang dikenal dengan kitab kuning. Seperti kitab-kitab tafsir al-Quran, kitab-kitab Hadits, kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh, kitab-kitab akidah akhlak serta kitab-kitab gramatika Bahasa Arab. Sedangkan, kyai hikmah adalah para kyai yang mempraktekkan ilmu magis Islam. Yakni yang mengajarkan wird, zikr dan rtib, untuk keperluan praktis, seperti permainan debus, pengobatan, kesaktian dan kewibawaan. Meskipun demikian, pembedaan tersebut pada praktiknya tidak memisahkan secara tegas. Banyak kyai yang mengkombinasikan kedua peran tersebut dengan campuran yang berbeda-beda. Peran-peran sosial keagamaan kyai di Banten dapat dirincikan dengan beberapa bagian, yaitu: a. Guru Ngaji

Peran kyai yang paling awal adalah mengajarkan pembacaan al-Quran dengan baik kepada para santrinya. Tugas kyai dalam hal ini adalah mengajarkan pembacaan huruf-huruf hijiyyah dan kaidahkaidah pembacaan al-Quran yang benar, yang dikenal dengal ilm tajwd. Dalam tahapan yang lebih maju kyai mengajarkan tentang beberapa metode pembacaan ayat-ayat al-Quran dengan suara indah, yakni untuk para qri dan qriah yang memiliki bakat suara yang baik. Selain itu juga para qri dan qriah diajarkan aliran-aliran atau madzhab-madzhab pembacaan ayat-ayat al-Quran. Sekarang ini, peran guru ngaji tidak hanya dilakukan oleh seorang kyai yang memiliki pesantren, tetapi juga oleh para santri, yang biasanya dipanggil ustdz, yang pernah mengeyam pendidikan pesantren dan memiliki kemampuan membaca al-Quran dengan baik sesuai dengan kaidah-kaidah pembacaannya dalam lmu tajwd. Pelaksanaan pengajarannya biasanya diselenggarakan di rumah ustdz atau di mushola yang terdekat dengan kediamannya. Pengajaran al-Quran dilakukan pada waktu-waktu selesai sholat lima waktu, seperti: setelah sholat magrib, subuh dan ashar. Para pesertanya biasanya anak-anak dan kaum remaja di sekitar kediaman ustdz tersebut.

b.

Guru Kitab

Seorang santri yang telah lancar membaca ayat-ayat al-Quran, mulai berkenalan dengan kitab-kitab Islam klasik. Memang tugas utama seorang kyai di pesantren adalah mengajarkan kitab-kitab Islam

klasik, terutama karangan-karangan ulama fiqh yang bermadzhab Syafii. Pengajaran membaca alQuran, meskipun dilaksanakan di pesantren-pesantren, yang biasanya masih kecil dan belum terkenal, sebagai dasar dari suatu proses pendidikan, bukan tujuan utama sistem pendidikan pesantren. Tujuan utamanya adalah setiap santri diharapkan memiliki kemampuan dalam memahami kitab-kitab Islam klasik, yang dikenal dengan kitab kuning. Kemashuran seorang kyai dan pesantren ditentukan dari kemampuannya dalam memahami isi dan memberikan pengajaran tingkatan kitab-kitab klasik tersebut. Seorang kyai yang memimpin sebuah pesantren yang kecil dan kurang terkenal mengajar sejumlah kecil santri tentang beberapa kitab dasar. Sedangkan kyai yang terkenal dan kharismatik biasanya memiliki sebuah pesantren yang cukup besar dengan mengajarkan sejumlah santri yang cukup banyak tentang kitab-kitab besar.

Logged

boencis

Guest

Re: Studi tentang Kharisma Kyai & Jawara di Banten

Reply #2 on: 31/05/2007 08:59 0

c.

Guru Tarekat

Seorang kyai yang kharismatik selain mengajarkan kitab-kitab klasik, seperti yang telah diterangkan terdahulu, juga mengajarkan praktek tarekat. Pengajaran tarekat di Banten memiliki sejarah yang sangat panjang. Sebuah pesantren tua yang terkenal bernama Karang, yang terletak di sekitar Gunung Karang, sebelah barat kota Pandeglang sekarang diduga telah mengajarkan tarekat Qodariyah. Dalam Serat Centhini, dijelaskan bahwa sang pertapa yang bernama Dandarma, mengaku telah belajar tiga tahun di Karang di bawah bimbingan seorang guru Seh Kadir Jalena; yang diduga dimaksudkan ia belajar ilmu atau ngelmu yang dikaitkan dengan sufi besar Abd al-Qadir Al- Jailani. Hal tersebut juga dikuatkan dengan tokoh utama dalam Serat Centhini, Jayengresmi alias Among Raga yang berguru di sebuah perguron di Karang di bawah bimbingan seorang guru yang berasal dari Arab

bernama Syaikh Ibrahim bin Abu Bakar, yang lebih dikenal sebagai Ki Ageng Karang. [18] Oleh karena itu wajar apabila para tarekat sudah sangat dikenal di lingkungan istana kesultanan Banten semenjak awal didirikannya kesultanan itu. Pendiri kerajaan Banten, Maulana Hasanuddin, telah dibaiat untuk menganut dan mempraktekkan wirid tarekat Naqsabandiyah. [19]

d. Guru Ilmu Hikmah (Ilmu Ghaib) Para kyai yang menjadi mursyid suatu tarekat tidak hanya dikenal sebagai pemimpin atau guru tarekat tetapi juga dikenal sebagai guru ilmu hikmah atau ilmu-ilmu ghaib. Banten hingga kini memiliki reputasi yang cukup dikenal sebagai daerah tempat bersemayamnya ilmu-ilmu gaib sehingga tidak sedikit orang Banten yang memanfaatkan reputasi ini dengan bertindak sebagai juru ramal, pengusir setan, pengendali roh, pemulih patah tulang, tukang pijat dan tabib, pelancar usaha untuk mendapat kekayaan, kedudukan dan perlindungan supranatural serta kedamaian jiwa. Kyai yang dikenal sebagai guru ilmu hikmah di Banten adalah Ki Armin (K.H. Muhamad Hasan Amin) dari Cibuntu, Pandeglang. Beliau adalah kemenakan dari Kyai Asnawi Caringin, guru tarekat Qodariyyah wa Naqsabandiyah yang sangat terkenal di Banten. Banyak cerita yang tersebar di kalangan rakyat tentang kekuatan-kekuatan ajaib diseputar kyai ini, seperti kemampuannya untuk melihat apa yang belum terjadi, karier yang cepat atau kekayaan yang datang secara tiba-tiba yang terjadi kepada beberapa orang yang telah mendapatkan restunya. Kyai lain yang juga dikenal memiliki ilmu hikmah adalah Ki Dimyati, yang memimpin sebuah pesantren di Cisantri, Pandeglang.

e.

Mubaligh

Seorang kyai tidak hanya tinggal diam di pesantren mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santrinya atau menetap di suatu tempat dan umatnya datang untuk minta nasehat, doa dan kebutuhan praktis lainnya. Kyai juga aktif melakukan ceramah agama kepada masyarakat luas secara berkeliling, sehingga disebut dengan mubligh (orang yang menyampaikan pesan agama Islam). Dalam pemberontakan di Cilegon yang terjadi pada tahun 1888, peran para mubligh sangat penting dalam memobilisasi massa untuk melakukan pemberontakan. Para kyai, yang terdiri dari para guru tarekat, para syarf dan sayyid, banyak berkhutbah secara berkeliling untuk melakukan pembinaan kerohanian masyarakat. Disadari, hal tersebut turut memberikan pengaruh yang sangat besar dalam meningkatkan kehidupan kerohanian rakyat. [20] H. Udi Mufrodi, salah seorang kyai, sering memberikan ceramah keagamaan pada berbagai acara keagamaannya di wilayah Banten dan daerah-daerah lain seperti Lampung dan Jakarta. Menurutnya bahwa untuk menjadi penceramah/mubligh tidak hanya memiliki kemampuan memahami pesan-pesan

agama, retorika yang baik tetapi juga harus mampu memahami kehendak masyarakat dan memiliki ilmu-ilmu batin. Sebab, menurutnya menjadi mubligh itu penuh dengan tantangan, karena mungkin pesan-pesan yang disampaikan itu banyak bersinggungan dengan kepentingan seseorang atau kelompok tertentu. Logged

boencis

Guest

Re: Studi tentang Kharisma Kyai & Jawara di Banten

Reply #3 on: 31/05/2007 09:01 0 Peran Sosial Jawara Perubahan sosial yang cukup besar yang terjadi pada rakyat Banten telah merubah persepsi masyarakat tentang peran-peran jawara. Bahkan, sebagian masyarakat ada yang menginginkan istilah jawara dihilangkan, sehingga citra budaya kekerasan yang selama ini melekat pada orang luar terhadap masyarakat Banten bisa dihilangkan. Meskipun demikian, peran-peran sosial dan politik yang dimainkan oleh orang-orang yang selama ini dikenal jawara saat ini sangat besar di wilayah Banten. Para tokoh jawara, yang kini menamakan dirinya pendekar, menduduki sektor-sektor penting dalam bidang ekonomi, sosial dan politik di Banten. [21] Peran-peran tradisional sosial jawara dalam masyarakat Banten berlangsung turun naik. Hal ini pula yang merubah persepsi masyarakat terhadap jawara. Pada waktu situasi sosial yang kurang stabil, peran jawara biasanya sangat penting, tetapi ketika masyarakat dalam keadaan damai peran mereka kurang diperlukan. Bahkan sering dipandang negatif karena perilakunya yang sering melakukan kekacauan dan kekerasan dalam masyarakat dan melakukan tindakan kriminal. [22] Namun demikian peran-peran sosial yang sering dimainkan oleh para jawara adalah di seputar kepemimpinan seperti menjadi jaro (lurah), penjaga keamanan desa (jagakersa) dan guru silat dan guru ilmu magis. a. Jaro

Di daerah pedesaan di wilayah Banten terdapat pengurus desa yang dikepalai oleh seorang kepala desa yang sering disebut jaro. [23] Seorang jaro memimpin sebuah kejaroan (kelurahan). Pada zaman Kesultanan Banten, kepala desa (jaro) diangkat oleh Sultan. Tugas utama jaro adalah mengurus

kepentingan kesultanan, seperti memungut upeti dan mengerahkan tenaga untuk kerja bakti. [24] Dalam pekerjaan sehari-harinya, seorang jaro dibantu oleh pejabat-pejabat, yakni: carik (sekretaris jaro), jagakersa (bagian keamanan), pancalang (pengantar surat), amil (pemungut zakat dan pajak), merbot atau modin (pengurus masalah keagamaan dan mesjid). [25]

b. Guru silat Sejarah ilmu persilatan di Banten memiliki akar yang sangat panjang. Di dalam Serat Centhini disebutkan bahwa pada masa pra-Islam telah dikenal istilah paguron atau padepokan di daerah dekat sekitar Gunung Karang, Pandeglang. [26] Dalam masyarakat Banten dikenal berbagai macam perguron, seperti Terumbu, Bandrong, Paku Banten, Jalak Rawi, Cimande, Jalak Rawi, si Pecut dan sebagainya. [27] Setiap perguron memiliki jurus-jurus dan karakteristik yang berbeda-beda bahkan sejarah kelahirannya. Kini semua perguron tersebut ada dalam sebuah P3SBBI (Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia) di bawah pimpinan H. Tb. Chasan Sochib.

c.

Guru Ilmu Batin (Magis)

Seorang jawara yang terkenal biasanya selain memiliki kemampuan bela diri yang baik juga memiliki ilmu batin atau magis, yakni kemampuan untuk memanipulasi kekuatan supranatural untuk memenuhi keputusan praktisnya, seperti kebal dari berbagai senjata tajam, tahan dari api, juru ramal, pengusir jin atau setan, pengendali roh dan pengobatan, seperti patah tulang dan tukang pijit. Kecenderungan terhadap kekuatan supranatural seperti di daerah Banten ini, memang memiliki akar yang sangat dalam. Sebelum Islam datang ke daerah ini sudah ada para resi yang melakukan tapa, yakni sebuah praktik meditasi untuk mendapatkan kesaktian. Bahkan, diceritakan pula bahwa Sultan Hasanuddin sebelum menguasai daerah Banten ini melakukan tapa di tempat-tempat yang selama ini dianggap sebagai pusat kosmis di Banten, yakni Gunung Pulosari, Gunung Karang dan Pulau Panaitan sebelum ia berangkat ke Mekkah untuk melakukan ibadah haji. [28] Bentuk-bentuk elmu yang sering dipergunakan para jawara adalah brajamusti (kemampuan untuk melakukan pukulan dahsyat), ziyad (mengendali sesuatu dari jarak jauh), jimat atau rajah untuk mencari kewibawaan, kekayaan atau dicintai seseorang, putter gilling (untuk memutar kembali atau menemukan kembali orang yang hilang atau kabur), elmu (untuk menaklukan binatang yang berbisa atau berbahaya) dan sebagainya. [29]

d.

Pemain Debus (Seni Budaya Banten)

Peran jawara yang masih dekat dengan kesaktian adalah permainan debus. Permainan debus ini banyak dilakukan oleh para jawara, yang dianggap sudah memiliki kesaktian yang cukup. Jadi tidak semua jawara dapat melakukan permainan debus, karena bagi yang tidak mampu justru akan mendatangkan bencana atau kecelakaan. Di Banten ada beberapa macam debus, yakni debus al-madad, surosowan dan langitan. Dinamakan debus al-madad (artinya meminta bantuan atau pertolongan) karena para pemainnya setiap kali melakukan aksinya selalu mengucapkan kata-kata al-madad, yang seolah menggambarkan bahwa tindakan ini didasarkan atas pertolongan dari Allah SWT. Debus al-madad merupakan debus yang paling berat karena untuk melakukan permainan ini khalifahnya (pemimpin group) harus melakukan amalan yang sangat panjang dan berat. Amalan-amalan khalifah debus ini diambil dari tarekat Rifaiyah atau Qodariyah. Sehingga seseorang yang mendapat ijazah untuk menjadi khalifah dari permainan debus ini adalah mereka yang telah dianggap mampu atau lulus menempuh suatu perjalanan panjang dalam mengamalkan suatu doa-doa tertentu, melaksanakan puasa dan meditasi lama. *30+ Sedangkan, debus surosowan adalah permainan debus yang tidak memerlukan kemampuan yang tinggi. Karena itu, permainan debus ini bisa dilakukan oleh para remaja. Nama surosowan berkaitan dengan nama istana Kesultanan Banten. Nampaknya semenjak awal debus ini memang ditujukan untuk pertunjukan di Istana Surosowan pada masa Kesultanan Banten bukan untuk mendapatkan kesaktian. Hal ini berbeda dengan debus al-madad yang selain dipergunakan untuk pertunjukan juga dipergunakan untuk kesaktian atau pengobatan. Adapun, debus langitan adalah pertunjukan debus yang mempergunakan anak-anak remaja yang dijadikan obyek sasaran benda-benda tajam tanpa yang bersangkutan merasa sakit atau menderita luka-luka. Permainan debus langitan ini pun nampaknya ditujukan hanya untuk permainan belaka, bukan untuk mendapatkan kekebalan tubuh atau kesaktian.

e.

Tentara Wakaf dan Khodim Kyai

Peran jawara sebagai tentara wakaf ini dikoordinir oleh P3SBBI. Mereka biasanya diterjunkan pada acara-acara yang dilaksanakan oleh suatu organisasi atau partai politik. Pada masa Orde Baru tentara wakaf ini dijadikan alat oleh Golkar sebagai satuan pengamanannya di Banten. Bahkan, ketua umumnya sendiri dijadikan pengurus partai politik tersebut. Namun, perubahan politik yang besar yang terjadi di negeri ini pasca reformasi, juga ikut merubah pandangan politiknya. Mereka sekarang nampaknya ingin bersifat lebih netral, dengan tidak berafiliasi pada partai tertentu. Oleh karena itu, apabila ada tawaran-tawaran untuk menjaga keamanan atau membantu polisi, mereka lebih terbuka dan menerima tawaran tersebut tanpa lagi melihat afiliasi politik. Jawara yang sebenarnya adalah khodim kyai. Itulah suara-suara yang sering muncul dari para warga yang tidak setuju dengan peran-peran dan perilaku jawara sekarang ini. Peran sebagai khodim kyai maksudnya berperan sesuai yang diajarkan para kyai, yakni: membela kebenaran, berpihak kepada

masyarakat yang lemah, berperilaku santun dan tidak sombong dan sejumlah aturan normatif lainnya. Peran-peran yang ideal itu semakin kurang dilakukan oleh para jawara di tengah kepungan kehidupan yang materialistik.

Logged

boencis

Guest

Re: Studi tentang Kharisma Kyai & Jawara di Banten

Reply #4 on: 31/05/2007 09:03 0 Jaringan & Hubungan Kyai & Jawara Kedudukan dan peran sosial kyai dan jawara tersebut tidak bisa dilepaskan dari adanya jaringan sosial antar mereka. Jaringan sosial tersebut terbentuk dari hubungan adanya hubungan emosional yang dekat, yakni melalui jalur kekerabatan, hubungan guru-murid (seguru; seelmu) dan berbagai lembagalembaga sosial lainnya. Dalam masyarakat yang tradisional atau yang sedang dalam transisi, seperti masyarakat Banten, jaringan sosial itu terbentuk dengan cara-cara yang alamiah sehingga memiliki derajat hubungan emosional dan solidaritas yang tinggi. Jaringan-jaringan sosial itu terbentuk melalui hubungan kekerabatan, guru-murid dan lembaga-lembaga sosial tradisional lainnya. Hubungan sosial yang demikian dalam istilah Durkheim disebut dengan solidaritas mekanis. *31+ Untuk mempertahankan hubungan sosial tersebut muncul mitos-mitos bagi para pelanggarnya. Sehingga setiap individu dari komunitas tersebut tetap mematuhi aturan sosial tersebut. Pelanggaran terhadap norma sosial dalam masyarakat tradisional dipandang akan merusak tatanan sosial yang lebih luas, yang akhirnya akan menimbul chaos atau kekacauan. Demikian pula dengan kyai dan jawara dalam mempertahankan status sosial mereka. Mereka membuat aturan-aturan tertentu yang dapat mempertahankan status sosial mereka yang diiringi dengan mitos-mitos tertentu bagi para pelanggarnya. Aturan-aturan adalah ijazah dan kawalat. [32] Ijazah adalah pernyataan restu dari seorang guru kepada muridnya untuk mengamalkan atau mempergunakaan serta mengajarkan suatu ilmu tertentu kepada orang lain. Ijazah ini sangat penting karena diyakini dapat menentukan berguna atau tidaknya ilmu yang diberikan oleh seorang guru

terhadap muridnya. Pemberian ijazah ini merupakan bentuk legitimasi bagi sang murid dari gurunya bahwa ia telah dianggap menguasai ilmu (elmu) yang dipelajarinya. Dalam lingkungan jawara, istilah ijazah juga diperlukan dalam mendapatkan atau mengajarkan ilmu-ilmu yang bersifat magis. Tanpa ijazah dari sang guru ilmu-ilmu magis itu tidak akan manjur. Sedangkan, kawalat (kualat) atau katulah adalah mendapat bencana, celaka atau terkutuk karena telah melanggar suatu larangan (tabu) dari aturan-aturan sosial yang telah ditetapkan. Seorang murid akan kawalat apabila dia dianggap membangkang perintah gurunya. Bentuk-bentuk kawalat itu bermacammacam, seperti sakit yang tidak bisa diobati, gila, kecelakaan, bangkrut usahanya dan sebagainya.

Jaringan Kyai Kyai pada masyarakat Banten sebagai elit sosial dalam melakukan peran-peran kemasyarakatannya memiliki jaringan sosial. Karenanya, nilai-nilai yang diajarkan tersebar secara luas dan tetap lestari dalam kehidupan masyarakat. Jaringan sosial itu terbentuk melalui sistem kekerabatan, perkawinan hubungan intelektual guru-murid, kerjasama antar pesantren dan lembaga-lembaga sosial. [33] Melalui jaringan tersebut para kyai dapat berperan secara maksimal dan juga status sosialnya selalu terjaga.

a.

Kekerabatan

Seorang kyai yang memimpin sebuah pesantren memiliki garis keturunan yang selalu dijaga, yang sebagai besar para pendahulunya adalah para kyai dan keturunan Sultan Banten. K.H. Asytari, seorang kyai keturunan Imam Nawawi Tanara, Tirtayasa, Serang Banten. [34] Garis keturunannya tersebut apabila dicermati adalah para kyai, sultan Banten, para tokoh-tokoh ulama tasawuf sampai dengan Nabi Muhmmad Saw. Lebih lengkapnya sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. K.H. Asytari Imam Nawawi Kyai Umar Kyai Arabi Kyai Ali Kyai Jamad Kyai Janta

8. 9.

Kyai Masbugil Kyai Masqun

10. Kyai Masnun 11. Kyai Maswi 12. Kyai Tajul Arusy Tanara 13. Maulana Hasanuddin Banten 14. Maulana Syarif Hidayatullah 15. Raja Atamuddin Abdullah 16. Ali Nuruddin 17. Maulana Jamaluddin Akhbar Husain 18. Imam Sayyid Akhmad Syah Jalal

19. Abdullah Adzmah Khan 20. Amir Abdullah Malik 21. Sayyid Alwi 22. Sayyid Muhammad Mirbath 23. Sayyid Ali Khali Qasim 24. Sayid Alwi 25. Imam Ubaidiilah 26. Imam Ahmad Muhajir Ilallahi 27. Imam Isa al-Naqib

28. Imam Muhmmad Naqib 29. Imam Ali Ardhi 30. Imam Jafar al-Shadiq 31. Imam Muhammad al-Baqir 32. Imam Ali Zainal Abidin 33. Sayyidina Husain 34. Sayyidatuna Fathimah Zahra 35. Nabi Muhammad Saw.

Seorang kyai dan keturunannya sering dipercayai oleh masyarakat mendapat karamah dan berkah dari Allah. Karamah dan berkah ini merupakan hal penting bagi seorang kyai dan keturunan untuk mengembangkan dan melanjutkan kepemimpinan pesantrennya. Dengan adanya hal tersebut para kyai dan keturunannya mendapat legitimasi kuat untuk tetap mempertahankan kedudukannya sebagai pemimpin pesantren dan elit sosial di masyarakatnya dengan segala prestise sosial yang dimilikinya.

b. Guru-Murid Perkembangan Islam di Indonesia tidak lepas dari terjalinannya ikatan jaringan intelektual antara para ulama di pusat-pusat intelektual Islam, seperti Mekkah dan Madinah di Arab Saudi dan Kairo Mesir, dengan para muridnya di Nusantara. Jaringan intelektual itu sedemikian penting, sehingga setiap ada gerakan keagamaan di pusat-pusat Islam itu akan memiliki pengaruh dalam kehidupan keagamaan di Nusantara. Demikian pula kejadian-kejadian di Nusantara akan menjadi perhatian para ulama atau syaikh-syaikh yang tinggal di negeri-negeri Arab tersebut [35] . Berikut ini contoh dari jaringan intelektual seorang murid dengan para guru-gurunya. Kyai Tb. Khodim, putra K.H. Asnawi, yang telah menjadi seorang mursyid dari tarekat Qodariyah wa Naqsabandiyah memiliki silsilah guru-guru tarekat yang memang diakui oleh kyai-kyai lain yang seangkatan dengannya. Silsilah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Nabi Muhammad Saw.

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.

Ali bin Abi Thalib Husein bin Fatimah Al-Zahra Imam Zainal Abidin Syaikh Muhamad al-Baqir Syaikh Jafar al-Shadiq Syaikh Musa al-Kadzim Syaikh Abi Hasan Alif bin Musa al-Ridha Syaikh Maruf al-Karkhi Syaikh Sari al-Saqati Syaikh Abi al-Qasim Junayd Sayikh Abu Bakar al-Shibli Syaikh Abd al-Wahid al-Tamimi. Syaikh Abi al-Faraj al-Tartusi Syaikh Abi Hasan al-Hiraki Syaikh Abi Said Mubarak al-Mahzum Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani Syaikh Abd al-Aziz Syaikh Muhammad al-Hattaki

20. Syaikh Syams al-Din 21. Syaikh Syaraf al-Din

22. Syaikh Zayn al-Din 23. Syaikh Nur al-Din 24. Syaikh Waliyu al-Din 25. Syaikh Husham al-Din 26. Syaikh Yahya 27. Syaikh Abi Bakr 28. Syaikh Abd al-Rahim 29. Syaikh Ustman 30. Syaikh Kamal al-Din 31. Syaikh Abd al-Fattah 32. Syaikh Murod 33. Syaikh Syams al-Din 34. Syaikh Ahmad Khatib Sambas 35. Syaikh Abdul Karim Tanara 36. K.H. Asnawi 37. K.H. Ahmad Suhari 38. K.H. Khodim

c. Organisasi Massa Para kyai di Banten dalam membangun jaringan sosialnya tidak hanya terbatas pada kekerabatan dan intelektual tetapi juga pada organisasi-organisasi sosial yang ada. Lembaga-lembaga sosial keagamaan yang ada di Banten adalah yang paling banyak di pergunakan oleh para kyai untuk

membangun jaringan sosialnya. Jaringan sosial tersebut berskala baik nasional seperti Nahdatul Ulama (NU) maupun lokal, seperti Al-Khaeriyah, Mathlaul Anwar dan Masyarikul Anwar. Para pendiri Al-Khaeriyah, Mathlaul Anwar dan Masyarikul Anwar nampak dari awal tidak dimaksudkan untuk membentuk suatu organisasi sosial, tetapi lebih berorientasi kepada lembaga pendidikan yang dipimpinnya semata. [36] Pada tulisan ini akan dibahas salah satu dari ketiga organisasi lokal di daerah Banten, yakni Al-Khaeriyah. Hal ini dikarenakan ketiganya memiliki karateristik yang hampir sama. Maka, membahas salah satunya dianggap akan mewakili yang lain. Alumni dari pesantren ini, selain menjadi guru agama atau tokoh masyarakat, juga banyak yang mendirikan pesantren atau madrasah. Lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan biasanya diberi nama Al-Khaeriyah. Pemberian nama yang sama tersebut menyimbolkan bahwa jalinan dengan lembaga induk dan antar para santri yang pernah mengenyam pendidikan di Al-Khaeriyah tetap terjaga dengan baik. Dari ikatan-ikatan yang terjalin secara emosional itu para alumninya mendirikan organisasi massa dengan nama yang sama. [37] Para santri dari alumni pesantren Al-Khaeriyah yang mendirikan dan memimpin pesantren di daerahnya masing-masing adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. K.H. Amad dari Pulo Merak-Serang K.H. Ali Jaya dari Ciwandan-Cilegon. K.H. Mohammad Nur dari Keramat Watu, Serang. K.H. Muhamad dari Bojonegara Serang K.H. Mohamad Zein dari Kramat Watu Serang K.H. Mohamad Syadeli Kejayaan dari Keramat Watu Serang. K.H. Ismail dari Keragilan Serang. K.H. Karna dari Sumurwatu, Kragilan-Serang Kyai Rosyidin dari Kubang Benyawak, Pulo Merak-Serang Kyai Arifuddin dari Citangkil, Cilegon. K.H. Rafei dari Barugbug, Ciomas, Padarincang, Serang, K.H. Asyari dari Kadulesung, Pandeglang.

Logged

boencis

Guest

Re: Studi tentang Kharisma Kyai & Jawara di Banten

Reply #5 on: 31/05/2007 09:03 0 aringan Jawara Para jawara dalam membangun hubungan antar mereka dan dengan pihak lain membangun jaringan yang khas. Salah satu yang khas dari kehidupan antar mereka adalah rasa solidaritas yang tinggi. Apalagi kalau yang menghadapi masalah tersebut adalah orang yang memiliki hubungan emosional, seperti adanya hubungan kekerabatan, seguru-seelmu, pertemanan dan sebagainya. Jaringan yang dibentuk oleh para jawara tersebut kini tidak hanya bersifat non-formal atau tradisional tetapi juga kini memiliki organisasi masa yang tersendiri, yakni dengan terbentuknya P3SBBI (Persatuan Pendekar Pesilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia). Organisasi para pendekar ini kini menghimpung lebih dari 100 perguron yang tersebar di 17 propinsi di Indonesia. Orginsasi ini berpusat di Serang, Ibu Kota Propinsi Banten, yang kini masih dipimpin oleh H. Tb. Chasan Sochib.

a.

Kekerabatan

Meskipun jaringan kekerabatan dalam kehidupan para jawara tidak seketat dalam tradisi kehidupan para kyai, namun kekerabatan juga memiliki hal penting dalam membina hubungan solidaritas dan pengajaran elmu-elmu kesaktian dan magis. Para jawara akan membela sepenuhnya apabila ada salah seorang dari kerabatnya itu dihina atau disakiti orang lain. Begitu pula para jawara akan mengutamakan para kerabatnya, terutama anak laki-lakinya, dalam mengajarkan elmu yang dimilikinya dari pada ke orang lain. Rasa solidaritas yang tinggi terhadap keluarga itu tidak lepas dari nilai-nilai yang sering didengungkan

dalam kehidupan mereka. Para jawara sering menekankan bahwa kalau menjadi jawara harus (1) leber wawanen (berani dan militan), (2), silih wawangi (sikap kekeluargaan) dan (3) kukuh kana janji (memiliki komitmen yang kuat untuk menepati janji). [38]

b. Seguru-seelmu Dalam tradisi jawara hubungan dengan guru, terutama yang menurunkan elmu kesaktian atau magis, adalah sama kedudukannya dengan orang tua. Anak buah jawara menyebut para gurunya (kepala jawara) itu dengan panggilan abah, yang artinya sama dengan bapak. Panggilan itu menyimbolkan bahwa kedekatan hubungan guru-murid adalah seperti kedekatan hubungan orang tua dengan anaknya. Kini jaringan seguru-seelmu ini sebenarnya masih bertahan dengan baik dalam perguron-perguron persilatan yang masih tetap bertahan, bahkan mampu mengembangkannya sehingga satu perguron memiliki berapa cabang di daerah-daerah lain. Perguron-perguroan yang cukup terkenal karena memiliki jaringan yang cukup besar adalah Trumbu, Bandrong, TTKDH (Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir) dan Jalak Rawi.

c.

Organisasi Massa

Organisasi yang didirikan oleh para tokoh jawara adalah Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBI) pada tahun 1971, hampir bersamaan dengan didirikannya Satkar Ulama (Satuan Karya Ulama). [39] Pendirian organisasi ini nampaknya juga tidak lepas dari campur tangan pemerintah dalam rangka merangkul dan mengendalikan potensi politik yang ada di wilayah Banten. [40]

Hubungan Kyai dan Jawara Penjelasan di atas tentang peran-peran yang dimainkan oleh kyai dan jawara serta jaringan sosial yang dibangun oleh kedua menggambarkan dalam tahapan yang lebih lanjut bahwa kedua kelompok masyarakat tersebut memiliki kultur yang berbeda dalam lingkupan kebudayaan Banten. Kyai lebih banyak berperan sebagai tokoh masyarakat dalam bidang sosial keagamaan. Sedangkan, jawara lebih banyak berperan dalam lembaga adat pada masyarakat Banten. [41] Kyai dan jawara merupakan sumber kepemimpinan tradisional informal, terutama masyarakat pedesaan. Dalam masyarakat yang masih tradisional, sumber-sumber kewibawaan pemimpin terletak pada: (1) pengetahuan (baik tentang agama dan masalah keduniawian/sekuler atau kedua-duanya), (2), kesaktian, (3), keturunan dan (4) sifat-sifat pribadi. [42] Kyai mewakili kepemimpinan dalam bidang

pengetahuan, khususnya keagamaan. Sedangkan, jawara mewakili kepemimpinan berdasarkan kriteria keberanian dan kekuatan fisik (kesaktian). Dalam hubungan sosial bersifat integratif, jawara membutuhkan kyai sebagai sebagai tokoh agama dan sumber kekuatan magis. Sebagai tokoh, kyai merupakan alat legitimasi yang penting dalam kepemimpinan jawara. Tanpa dukungan dari para kyai jawara akan sulit untuk menjadi pemimpin formal masyarakat. Sedangkan, kepentingan kyai terhadap jawara adalah bantuannya, baik fisik atau materi. Seorang jawara yang meminta elmu (kesaktian dan magis) dari kyai, ia akan memberikan sejumlah materi, seperti uang atau benda-benda berharga, yang dinamakan dengan salawat. Pemberian salawat kepada kyai dipandang sebagai penebus berkah kyai yang telah diberikan kepadanya. [43]

PENUTUP Berdasarkan penelitian di atas peneliti dapat menyimpulkan, bahwa adanya kedudukan, peran dan jaringan membuat kyai dan jawara menciptakan kultur tersendiri yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarakat Banten, sehingga kyai dan jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok tetapi juga telah menjadi kelompok yang memiliki nilai, norma dan pandangan hidup yang khas. Itulah subkultur kyai dan jawara. Dengan kesimpulan tersebut kita dapat memahami: Pertama, kyai dalam masyarakat Banten adalah sebuah gelar tradisional yang diberikan kepada seorang terpelajar muslim yang telah membaktikan hidupnya demi mencari ridha Allah dalam menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran agama Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga pendidikan pesantren. Orang yang menyandang gelar kyai dipandang sebagai ahli kebatinan, ahli hikmah, memiliki kesaktian, guru dan pemimpin masyarakat yang berwibawa dan legitimite berdasarkan kepercayaan masyarakat. Karenanya, gelar kyai merupakan suatu tanda kehormatan dalam kedudukan sosial, bukan suatu gelar akademis yang diperoleh dalam pendidikan formal. Sementara itu, jawara adalah seorang atau sekelompok yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga bagi orang lain dapat membangkitkan rasa hormat dan takut, serta kagum dan benci. Karena kelebihannya itu, ia dapat menjadi seorang tokoh yang kharismatik, terutama pada saat-saat kehidupan sosial mengalami krisis. Kedua, kyai dalam masyarakat Banten merupakan elit sosial dalam bidang sosial-keagamaan. Ia merupakan tokoh masyarakat yang dihormati atas peran-peran yang dimiliki dalam mengarahkan dan menata kehidupan sosial. Sedangkan, jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat. Ia menjadi tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin sosial berkat penguasaannya terhadap sumber-sumber ekonomi. Keduanya merupakan sumber-sumber kepemimpinan tradisional masyarakat yang memiliki pengaruh melewati batas-batas geografis. Kebesaran namanya sangat

ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan (agama dan sekular), kesaktian dan keturunannya. Ketiga, peranan yang dimainkan oleh kyai dalam kedudukan sebagai elit sosial-keagamaan masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu hikmah (ilmu ghaib) dan sebagai mubligh. Peranan seorang kyai adalah selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi arah atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu, ia lebih bersifat memberikan penyerahan terhadap masyarakat. Bagi masyarakat yang memiliki religiusitas yang tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih bersifat agraris. Hal tersebut menjadi ancaman laten terhadap kepemimpinan formal, sehingga peran sosialpolitik kyai dalam masyarakat Banten mengalami turun naik, sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi. Sementara itu, peranan sosial jawara adalah lebih cenderung kepada pengolahan kekuatan fisik dan batin, sehingga dalam masyarakat Banten peran-peran tradisional yang sering dimainkan para jawara adalah menjadi jaro (kepala desa atau lurah), guru ilmu silat dan ilmu batin atau magis, satuan-satuan pengamanan. Peranan tersebut bagi masyarakat yang pernah ada dalam kekacauan dan kerusuhan yang cukup lama, memiliki signifikansi yang tinggi. Namun demikian, saat ini peranan para jawara dalam sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat Banten sangat menentukan. Tentunya, demikian ini mengalami peningkatan peranan yang signifikan dibandingkan dengan peranan masa-masa lalu dalam sejarah kehidupan masyarakat Banten, sehingga dapat menentukan masa depan kesejarahan masyarakatnya Keempat, jaringan tradisional yang dibangun kelompok kyai dan kelompok jawara adalah mengandalkan hubungan kedekatan emosional yang dalam. Karenanya, jaringan yang terbentuk pun melalui hubungan kekerabatan, baik melalui hubungan nasab atau perkawinan, hubungan guru dengan murid, lembaga sosial-keagamaan seperti perkumpulan pesantren atau perguron. Kelima, ketika membina hubungannya dengan sesama subkultur, kyai dan jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Karena itu, sifat hubungan keduanya tidak hanya bersifat simbiosis, saling ketergantungan, tetapi juga kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari kyai. Sebaliknya, kyai atas jasanya tersebut menerima uang salawat (bantuan material) dari jawara. Akan tetapi, juga banyak kyai yang tidak senang terhadap berbagai perilaku jawara yang sering mengedepankan kekerasaan dalam menjalin hubungan sosial. Berdasarkan kesimpulan di atas dan refleksi kritis peneliti, ada dua hal yang perlu diperhatikan: 1. Kyai sebagai salah satu sumber kepemimpinan tradisional dalam masyarakat Banten kini mengalami tantangan kehidupan modernisasi yang serius. Tak dapat dipungkiri bahwa peranan kyai dalam sejarah masa lalu masyarakat Banten sangat besar, namun ke depan menjadi sebuah tanda-tanya. Peranan kyai mungkin hanya akan menjadi catatan masa lalu, apabila pemberdayaan dan peningkatan wawasan terhadap mereka tidak dilakukan. Demikian pula dengan jawara. Kehidupan jawara yang sering

dipresepsikan masyarakat secara negatif perlu ada orientasi baru. Meskipun usaha-usaha itu telah dilaksanakan oleh kalangan mereka sendiri, namun perubahan itu baru dalam tahapan simbol, yakni perubahan nama dari jawara ke pendekar. Secara substantsial nampaknya belum banyak berubah, bahkan budaya tersebut justru digunakan oleh sekelompok orang untuk meraih kepentingankepentingan ekonomi dan politik. Maka, pencerahan melalui pendidikan terhadap para jawara justru akan menjadikan aset penting bagi peningkatan apresiasi terhadap kebudayaan Banten. 2. Penelitian ini hanya merupakan langkah kecil dalam mengungkap kehidupan sosial di Banten. Penelitian yang serius tentang Banten banyak jauh tertinggal dibanding dengan kajian-kajian yang serupa terhadap kebudayaan Jawa dan Sunda. Padahal, kebudayaan Banten sendiri memiliki kekhasan sendiri yang membutuhan keseriusan intelektual dalam mengeksplorasinya. Tentunya, persoalan ini merupakan tantangan intelektual bagi para peneliti dan ilmuan lainnya.

Kalau kita membuka buku-buku sejarah Indonesia pada umumnya kita tidak akan menjumpai nama-nama tokoh pemuka agama, seperti Haji Rifangi, H. Wasit dari peristiwa Cilegon, atau H. Kasan Mukmin dari peristiwa Gedangan dan sebagainya, yang terlalu banyak untuk disebut satu persatu. Hal ini dapat dipahami oleh karena penulisan sejarah itu masih berwawasan yang berpusat dari Belanda atau terbatas pada tingkat nasional sehingga tidak mampu mengungkapkan peranan rakyat kecil atau pedesaan beserta pemimpinnya. Saya mengkaji peristiwa pemberontakan petani di Banten pada tahun 1988, sebagai usaha penulisan sejarah yang berwawasan Indonesia-sentris. Dalam studi itu, disamping perjumpaan dengan para petani, mau tak mau muncullah peranann tokoh-tokoh pemimpin agama yang memiliki otoritas kharisma terhadap rakyat. Tidak mengherankan apabila masyarakat mengalami krisis sebagai dampak penetrasi rejim kolonial beserta keresahan di lingkungan rakyat, kepemimpinan para ulamalah yang menonjol, antara lain untuk memobilisasi rakyat dalam pelbagai gerakan sosial. Gerakan itu umumnya terbatas ruang lingkupnya, meskipun ideologinya secara laten hidup di mana-mana, lagi pula gerakan itu berusia pendek, sebab pemerintah kolonial yang diliputi oleh haji-phobia atau islamo-phobia, segera bertindak untuk memadamkannya. Sesungguhnya seluruh abad ke-19 dan bagian pertama abad ke-20 ditandai oleh meledaknya gejolak atau protes sosial di kalangan petani secara silih berganti, maka tepatlah apabila dikatakan bahwa Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khususnya dilanda oleh gerakan yang beraneka ragam. Semua itu dapat dipahami sebagai konflik sosial dimana kekuatan tradisional menentang rezim kolonial beserta segala kelembagaannya. Proses itu lazim terjadi dan amat wajarlah apabila golongan-golongan sosial mengambil sikap sesuai dengan kedudukan sosialnya; para elite religius berada di pihak yang menolak, sedang elite birokrasi adalah pihak yang menerima. Dengan demikian konflik tidak dapat dihindari dan

konfrontasi mudah terjadi. Boleh dikata bahwa gerakan protes itu mencapai momentumnya apabila ada pemimpin muncul yang dipandang rakyat sebagai orang keramat, ratu adil dan tokoh-tokoh kharismatik lainnya. Gerakan yang amat banyak jumlahnya, lazimnya terbagi atas beberapa jenis, antara lain: 1) ada gerakan melawan pemerasan, 2) gerakan milenaristik, termasuk gerakan mesianistis atau Ratu adil, 3) gerakan revivalistis atau sektaris, 4) gerakan semi-modern, seperti Sarekat Islam. Berdasarkan ciri-ciri yang menonjol, gerakan H. Rifangi dapat dimasukkan sebagai gerakan ketiga, yaitu gerakan yang revivalistik. Dalam bagian berikut ini akan dibahas lebih lanjut.

Gerakan H. Rifangi
Uraian di atas dimaksud untuk memberi latar belakang sosial budaya serta politik gerakan itu. Pemahamannya secara lebih mendalam, khususnya mengenai sifat gerakan serta profil H. Rifangi perlu menempatkannya dalam konteks jiwa dan jaman beserta masyarakat. Salah satu aspek dari latar belakang sosial budaya itu ialah perkembangan kehidupan beragama secara luas dan penghayatan yang meningkat. Disini gejala itu disebut sebagai revivalisme. Dari angka-angka statistik tentang jumlah yang naik haji, tersebarnya pesantren dan terekat sudah cukup menjadi bukti cukup adanya revivalisme itu. Oleh karena itu para penguasa kolonial melakukan pengawasan ketat terhadap lembaga-lembaga tersebut, maka tidak mengherankan apabila data mengenai hal itu cukup memadai. Terlebih mengenai lembaga-lembaga yang memiliki potensi kuat untuk melakukan gerakan anti-kolonial. Di samping itu aliran atau lembaga yang lebih mengutamakan penghayatan agama yang lebih terarah ke arah dalam, seperti aliran tasawuf, politik kolonial pada umumnya memandang hal itu tidak berbahaya. Yang amat dicurigai ialah lembaga atau aliran yang militan dan yang dengan sendirinya merupakan ancaman terhadap kedudukan Belanda. Dibanding dengan gerakan-gerakan lainnya gerakan H. Rifangi secara eksplisit merumuskan ideologi anti Belanda dengan anti pemerintah kafir. Karya H. Rifangi yang berjudul Nalam Wikayah mengungkapkan perjuangan anti-kafir, mencela sikap para pejabat pamong praja yang cenderung berafiliasi dengan pemerintah kolonial. Dikecamnya bahwa kehidupan agamanya sudah merosot, kecuali menujukkan loyalitas kepada Belanda, mereka mempunyai gaya hidup kekafiran, antaa lain suka mengadakan pertunjukan wayang, main gamelan, berjudi dan lain-lain. Di sini tampak jelas-jelas usaha untuk memurnikan penghayatan beragama. Karena itu tepatlah kiranya apabila gerakan itu mewujudkan revivalisme. Dengan demikian jelaslah mengapa penguasa kolonial beserta kaum pamong praja berdayaupaya keras untuk menjatuhkan pemimpin gerakan, antara lain dengan memerintahkan penyelenggaraan debat antara H. Rifangi dengan penghulu Belanda. Menurut cerita dalam Serat Cebolek H. Rifangi menderita kekelahan, namun tidak seperti yang diharapkan oleh penguaa, kekalahan itu tidaa mengurangi popularitas serta otoritasnya di kalangan rakyat. Seperti dalam kasus-kasus sejenis penguasa menangkap dan membuangnya.

Rupanya gerakan tetap berkesinambungan dan selanjutnya tidak labi menghadapi intervensi Belanda, sehingga dalam tahun 1920-an masih berdiri tegak kelompok-kelompok penganutnya. Amat berbeda dengan gerakan mesianistis, di sini tidak terjadi konfrontasi dengan Kumpeni. Cerita saya berhenti di sini oleh karena tidak banyak sumber arsip yang mengungkapkan perkembangan selanjutnya. Mungkin para peneliti lain dapat meneruskan usaha pengumpulan data lewat tradisi lisan yang masih ada di kalangan mereka.

Beberapa Catatan
Pada waktu saya melakukan penelitian tentang pemberontakan Cilegon (1888), saya menjumpai daftar gejolak yang terjadi di Banten Utara, tetapi juha pelbagai gerakan protes di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur,diantaranya gerakan H. Rifangi. Hal ini dapat dikatakan sebagai suatu penemuan, artinya perjumpaan pertama kali dengan fakta tersebut seperti terungkapkan dari dokumen arsip. Sebelumnya peristiwa itu tidak dikenal oleh umum. Bila dibandingkan dengan gerakan protes lain-lainnya dalam gerakan H. Rifangi tidak terjadi benturan bersenjata dengan Kumpeni serta ada ruang bergerak bagi pengikut untuk meneruskan kegiatan revivalismenya. Kecuali H. Nawawi dari Banten, tidak terdapat pemuka agama yang menghasilkan karya amat banyak, yang terkenal sebagai Tarajumuh. Dengan demikian H. Rifangi juga diindetifikasikan sebagai ahli sastra (Man of letters). Meskipun tidak mencapai momentum konfrontasi dengan Kumpeni, namun agitasi antikolonialismenya mampu membangkitkan kesadaran religio-politik di kalangan murid-muridnya sehingga berkembang sebagai kekuatan sosial politik yang kuat. Maka dari itu pembangunan H. Rifangi tidak menghentikan gerakan tersebut dan ada kontinuitas seperti dewasa ini. Gerakan anti-kolonialisme H. Rifangi belum dapat digolongkan sebagai gerakan nasionalis seperti Muhammadiyah, Sarekat Islam dan lain sebagainya. Lebih tepatnya disebut sebagai gerakan proto-nasionalis.

Harapan
Penggalian sejarah Indonesia pada umumnya dan sejarah gerakan protes beserta kepemimpinannya, telah berhasil menemukan tokoh-tokoh sepeti H.Rifangi. H. Wasit, H, Kasan Mukmin dan sebagainya. Apa yang dikaji sampai kini belum tuntas, maka diharapkan agar setelah ini ada tindak lanjut, antara lain penerbitan karya-karya H. Rifangi, penelitian sumber sejarah lisan, dan lain sebagainya. Dengan demikian ada kelonggaran mengenal tokoh tersebut secara lebih bulat, khususnya segisegi kepahlawanannya. Dalam hal ini perspektif sejarah akan meluaskan cakrawala intelektual kita.

Jangan Sok Usial


Jamaah haji dari seluruh dunia berjumlah jutaan orang. Dalam praktek ibadahnya, tentu bermacam-macam. Misalnya, ada orang shalat sambil menggendong bayi. Ada pula orang shalat Subuh tak membaca kunut. Melihat perbedaan-perbedaan itu, hendaknya setiap jamaah haji tidak usil. Kembalikan saja kepada ajaran Allah: Lanaa Amaalunaa walakum amaalukum. Arti bebasnya, Kami akan mengerjakan amalan yang kami yakini kebenarannya dan Anda silakan mengerjakan amalan yang Anda yakini kebenarannya. Dalam protes perkembangan Islam di Indonesia, memang tidak sunyi dari orang-orang yang tidak senang melihat Islam berkembang maju. Karena itu, mereka selalu berusaha menghancurkan Islam. Menghantam Islam secara terang-terangan jelas mereka tidak berani. Sebab bagaimanapun bodohnya umat Islam, ada satu hal positif, yaitu fanatisme beragama. Biar dia tidak shalat, tapi jika agamanya dihina dia siap perang. Itu sebabnya, untuk menghantam Islam, mereka belajar dari Van Der Plaas dan Snouck Horgrounje, kemudian masuk ke tengah-tengah umat Islam, jika perlu pakai pici, mereka pakai pici. Jika belum bisa mengucapkan Assalaamualaikum, mereka latihan untuk mengucapkan Assalaamualaikum. Lihat saja Islam Sejati, Islam Jamaah, Islam Inkarussunah. Semuanya pakai label Islam, tapi bertujuan menghancurkan Islam. Dan jika cara ini tetap tidak berhasil, maka mereka memutar lagu lama, yaitu KHILAFIYAH. Soal-soal yang sepele dibesar-besarkan untuk menghancurkan Islam. Padahal, khilafiyah ini, sampai kiamat pun tak akan tuntas. Bukankah lebih baik mencari titik persamaan daripada memperbesar pola perbedaan, apalagi perbedaan itu tidak prinsip. Karena itu, setiap jamaah haji, sebaiknya tidak usah usil dengan amalan orang lain. Shalat Subuh pakai kunut itu betul. Tidak pakai kunut juga betul. Yang tidak betul itu adalah orang yang tidak shalat Subuh. Nah, mengapa kita tidak mengajak teman-teman kita yang belum shalat Subuh? Bukankah garapannya jelas dan sasarannya juga jelas? Ibadah haji itu, merupakann ibadah paling berat. Untuk bisa melakukan ibadah ini dengan baik, tentu dibutuhkan kesabaran. Karenanya, jamaah haji harus memperbanyak sabar selama di tanah suci. Sebab, gara-gara soal kecil saja, kadang-kadang orang mudah marah. Misalnya, soal air, soal makanan dansebagainya. Dalam Islam, sabar itu punya tiga tempat. Pertama, sabar dalam taat. Kedua, sabar dalam meninggalkan maksiat. Ketiga. Sabar menghadapi ujiam/cobaan. Sabar dalam taat, bisa dirasakan saat jamaah haji berihram. Dalam keadaan ihram, jamaah haji dilarang mencukur rambut, membunuh binatang,melakukan hubungan suami-istri dan sebagainya. Sabar dalam meninggalkan maksiat, misalnya seseorang yang semula hobi menenggak minuman keras, tibatiba berhenti. Selama berhenti meneggak minuman keras itu dia harus sabar, karena ada saja ejekan dari teman-temannya yang biasa menenggak minuman keras.

Pembangkangan Tarekat Rifaiyah Diseminarkan


Pembangkangan K.H. Ahmad RifaI, pendiri tarekat Rifaiyah, menjadi topik bahasan seminar nasional mengenai pembaruan Islam abad ke-19. Syaefudin Simon, selaku ketua penyelenggara, mengemukakan hal itu kepada . .. . kemarin, di Yogyakarta. Menurut Simon mengkaji keberadaan kisah pembangkangan agama dari Kalisalak, Batang, itu bisa dilakukan. Sebab dalam Serat cebolek, ulama itu dinilai pembangkang. Padahal pada kenyataannya KH. Ahmad Rifai mempunyai peran yang cukup besar, baik dalam menegakkan nilai-nilai Islam, maupun meruntuhkan Kolonialisme Belanda. Seminar dua hari, sejak hari ini di Balai Kajrahnitra, Yogyakarta, tersebut dikelola empat lembaga. Mereka terdiri dari Yayasan Rifaiyah, jurnal ilmu dan Kebudayaan Ulumul Quran, Balai Kajrahnitra, dan Masyarakat Sejarawan Indonesia. KH. Ahmad Rifai lahir 1786 di Desa Tempuran, Kendal Jawa Tengah. Ia ditinggal mati ayahnya, seorang penghulu priyayi Jawa, sejak usia tujuh tahun. Setelah itu kakak iparnyalah yang membantu mengarahkan kehidupannya. Karena kakak iparnya itu seorang kyai di Kaliwungu, ia pun dikader untuk menjadi seorang ulama. Pada usia 30 tahun, Rifai menunaikan ibadah haji. Ia bermukim di kota suci Mekah selama delapan tahun, bersama-sama dengan Khalil dari Madura dan Nawawi dari Banten. Setelah merasa mapan, ketiganya kembali ke tanah air. Dalam perjalanan pulang itu, mereka merencanakan untuk menyusun tiga kitab mengenai pokok-pokok agama Islam dalam bahasa Jawa. Pembagian tugas pun diatur. Rifai menyusun kitab mengenai fiqih (hukum), Khalil menyusun Kitab mengenai ushuluddin (teologi), dan Nawawi menyusun kitab mengenai tasawuf. Setibanya di Indonesia, penyusun 56 kitab ini segera memulai dakwahnya, dengan tujuan mengembalikan pelaksanaan amalan Islam pada Quran dan sunah Rasul. Rifai menekankan materi pelajarannya pada kesadaran sosial. Rifai juga sering menyampaikan kritik terhadap kaum priyayi yang feodal dan tradisonal. Menurut Rifai, kaum priyayi itu harus bertanggung jawab atas kebobrokan moral umat Islam. Sembilan materi sudah disiapkan dalam seminar. Bagian pertama berupa pengantar, bagian kedua berisi pandangan Rifai mengenai pokok-pokok ajaran Islam, bagian ketiga mengenai gerakan Rifaiyah dan bagian keempat membahas karya sastra Rifai. Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo akan menyampaikan makalah pertama. Bagian kedua disampaikan KH. Khairudin Hasbullah (Tauhid), Drs. Mukhlisin (Fiqih), dan Drs. Nurosyidin Romli (Tasawuf). oleh: Agus Nahrowi

You might also like