You are on page 1of 2

APA ITU KAYA?

Bismillahirrahmaanirrahiim,

DI era yang ditandai dengan materialisme ini, jika ada yang bertanya yang mana lebih baik, menjadi kaya
atau menjadi miskin, maka dapat dipastikan bahwa hampir semua orang akan manjawab, "menjadi kaya".
Akan tetapi, seperti tulis Al-Mawardi, dalam Adab Al-Dunya wa Al-Din, orang berbeda dalam menjawab
pertanyaan di atas, walaupun semuanya sepakat bahwa kebutuhan yang diakibatkan oleh kemiskinan
adalah tercela, dan keangkuhan yang menyertai kekayaan adalah buruk.

Dahulu ada yang berpendapat bahwa kekayaan lebih baik daripada kemiskinan, karena si kaya memiliki
kemampuan, sedang si miskin lemah, dan kemampuan selalu lebih baik daripada kelemahan. Pandangan
ini cukup beralasan bagi mereka yang mengandalkan logika. Akan tetapi, orang yang mendambakan
keselamatan berpendapat bahwa kemiskinan lebih baik. Karena, orang yang miskin "mengabaikan",
sedangkan yang kaya "terlibat". Maksudnya, yang miskin meninggalkan gemerlapan duniawi yang dapat
mengantar kepada kelengahan dan bahaya, sedangkan yang kaya terlibat dan dapat dilengahkan olehnya.
Maka, demi keselamatan, lebih baik miskin daripada kaya.

Banyak juga yang berpendapat bahwa yang terbaik adalah tidak kaya dan tidak pula miskin, sehingga yang
bersangkutan dapat meraih keistimewaan si kaya dan si miskin. Pertengahan dimaksud adalah keberadaan
pada tingkat tidak miskin tetapi masuk dalam kelompok tidak kaya, atau apa yang dinamai dengan
kecukupan. Nabi Saw pun berdoa agar diberi "kafa al-'aisy" [kehidupan yang berkecukupan]. Alquran dan
Sunah memberikan pengertian tersendiri tentang makna kekayaan yang cukup jauh bedanya dengan
pengertian populer di era materialisme ini. Alquran menggunakan istilah "ghina" yang terulang dalam
berbagai bentuknya sebanyak 73 kali, dan yang pada umumnya diterjemahkan dengan "kaya", serta
dipahami secara keliru dalam arti "memiliki materi yang banyak". Sementara ulama tafsir ada yang
terpengaruh dengan pengertian umum itu, sampai-sampai kebingungan menjelaskan kapan Nabi
Muhammad Saw memiliki kekayaan seperti yang diinformasikan QS.93, Al-Dhuha:8, "Wawajadaka 'a'ilan fa
aghna", yang biasa diterjemahkan dengan, "Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan,
maka Dia memperkaya kamu".

Yang demikian itu karena mereka memahami kata aghna dalam ayat tersebut sebagai "kekayaan materi",
padahal para pakar bahasa menjelaskan bahwa untuk menjelaskan secara khusus pada "kekayaan materi",
kata yang digunakan dalam bahasa Arab adalah "tsarwah". Di sisi lain, para pakar agama Islam
menjelaskan bahwa Nabi Saw tidak menilai kekayaan materi sebagai ghina. Beliau bersabda: "Yang
dinamakan kaya bukanlah dengan banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa," dan "Siapa
yang ingin menjadi orang yang paling kaya, hendaklah apa yang di tangan Allah lebih meyakinkannya
daripada apa yang berada dalam genggaman tangannya". (HR. Bukhari dan Muslim).

Merujuk kepada Alquran dan Sunah, ditemukan uraian tentang pangkal tolak kekayaan dan penilaiannya,
yaitu bahwa kekayaan bersumber dari Allah serta bersama dengan Allah. "Wahai seluruh manusia, kamu
adalah orang-orang fakir [yang butuh] kepada Allah, sedangkan Allah adalah Yang Maha Kaya lagi Terpuji"
(QS.35, Fathir:15). Kepada Abi Dzarr, Nabi Saw pernah berpesan: "Ya Aba Dzarr, istahgni bi ghinallah,
yughnikallah" (Wahai Abu Dzarr, merasa cukuplah dengan kekayaan Allah, niscaya Allah akan
menjadikanmu berkecukupan). Nabi melanjutkan: "Siapa yang puas dengan apa yang dianugerahkan Allah,
maka ia adalah manusia yang terkaya".

Apakah kekayaan Allah itu? Tentu saja mustahil kita melukiskannya. Akan tetapi, sekali lagi, dari Alquran
dan Sunah kita dapat memperoleh secercah informasi tentang hal tersebut. Ketika berbicara tentang
kemurahan Al-Rahman, pada surah Al-Rahman, nikmat pertama yang disebut-Nya adalah "pengajaran
Alquran" (QS.55, Al-Rahman:2). Itulah kekayaan pertama dan utama. Karena itu, dalam satu riwayat
disebutkan bahwa "Siapa yang dianugerahi Allah [pemahaman] Alquran, kemudian ia beranggapan bahwa
ada orang yang dianugerahi lebih utama/baik daripada apa yang dianugerahkan kepadanya itu, maka ia
telah mengecilkan yang agung, dan mengagungkan yang kecil." Karena itu pula, Nabi Saw bersabda:
"Sebaik-baik kamu adalah yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya." (HR. Bukhari dan Muslim). Dari
sini kita dapat berkata bahwa tiada kekayaan sebelum Anda memiliki Alquran, dan siapa yang memilikinya
maka ia kaya. Sedang yang tidak memilikinya adalah miskin.

Pengetahuan dan hikmah, yakni "kemampuan melaksanakan yang terbaik dari apa yang diketahui dalam
rangka mendatangkan manfaat atau menolak mudharat", merupakan kekayaan lain yang bersumber dari
Allah. Karena itu, "Siapa yang dianugerahi hikmah, maka ia telah dianugerahi kebajikan yang banyak"
(QS.2, Al-Baqarah:269). Dan, "Tidak sama antara orang-orang yang berpengetahuan dan tidak
berpengetahuan" (QS.39, Al-Zumar:9). Karena itu pula, Ali bin Abi Thalib Kw menyatakan: "Kekayaan orang
berakal adalah ilmunya, dan kekayaan orang bodoh adalah hartanya." Dalam masyarakat yang dipengaruhi
oleh nilai-nilai materialisme, nilai-nilai tersebut di atas terasa aneh. Karena itu, Alquran dan Sunah
mengingatkan betapa nilai materialisme akan mempengaruhi manusia yang terlalu memperturutkan unsur
debu tanahnya (QS.20, Thaha:131), misalnya, mengingatkan Nabi Muhammad Saw dan umat beliau
dengan: "Janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada kelompok-
kelompok dari mereka [yang memperturutkan hawa nafsu menghimpun harta] sebagai bunga [hiasan]
kehidupan dunia untuk Kami uji mereka dengannya. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal."

Bunga [hiasan] kehidupan dunia itulah yang merupakan kekayaan bagi sementara orang, dan menurut
Alquran, harta benda dan anak-anak adalah bunga kehidupan dunia (QS.18, Al-Kahfi:46). Alquran dan
Sunah bukannya bermaksud -dengan nilai-nilai yang dipesankannya itu--mengikis habis kecenderungan
manusia pada harta benda. Sebab, jauh sebelumnya telah digariskan bahwa harta-benda, anak, lawan
jenis, emas perak, tunggangan dan ternak, sawah-ladang, adalah hal-hal yang telah "dihiaskan" kepada
manusia (lihat QS.3, Ali Imran:14). Hal-hal itulah yang menjadi pendorong yang tidak kecil perannya dalam
melaksanakan aktivitas manusia membangun dunia ini. Islam, dengan pemaparan pesan-pesannya di atas,
hanya bermaksud menyesuaikan manusia dengan kodratnya, yaitu bahwa manusia adalah makhluk
dwidimensi, yang tercipta dari ruh Ilahi dan debu tanah.

Atas dasar itu, kekayaan dan kemiskinan pun memiliki dua dimensi, dimensi debu tanah atau kekayaan
materi, dan dimensi ruh Ilahi, yakni kekayaan ruhani. Kemiskinan materi adalah ketiadaan sarana duniawi
akibat kegagalan menggunakan potensi yang dianugerahkan Allah pada diri manusia dan alam raya,
sedangkan kekayaan ruhani adalah terwujudnya sarana pengembangan ruhani dan kemampuan
memanfaatkannya. Kemiskinan ruhani lebih berbahaya daripada kemiskinan materi karena kemiskinan
ruhani menghambat manusia mencapai tujuan hidupnya yang hakiki. Dengan penekanan kepada kekayaan
ruhani, Islam mewujudkan "Aku" manusia dari "unsur-unsur dalam" yang ada pada dirinya, berbeda dengan
pandangan materialisme yang menjadikan "Aku" manusia bersumber dari "luar" dirinya, yakni pada alam
materi, harta benda, kedudukan, pengikut, dan lain sebagainya.

Pandangan materialisme ini melahirkan sekian banyak dampak negatif yang tidak serasi dengan jati diri
manusia sehingga yang bersangkutan tidak mengenal dirinya serta keistimewaan yang dimiliki jiwanya. Hal
ini, pada gilirannya menjadikan manusia tidak dapat mengembangkan diri dalam dimensi-dimensi yang
amat luas karena potensi batiniah yang dimilikinya terabaikan, bahkan terkubur di alam materialisme yang
sempit. Perlu dicatat dua hal pokok berkaitan dengan nilai-nilai yang diamanatkan Alquran dan Sunah di
atas. Pertama, bahwa penekanan nilai-nilai seperti diisyaratkan di atas, bukan dimaksudkan untuk
mengantar manusia kepada pengabaian sisi material dalam kehidupannya, atau mendorongnya untuk
menjauhi dunia. Bukankah seperti dikemukakan di atas bahwa harta-benda dan semacamnya telah
dihiaskan Allah pada manusia, dalam arti telah menjadi salah satu fitrah bawaannya sejak lahir. Dan jangan
lupa, Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia (baca QS.30, Al-Rum:30). Di sisi lain, harta
dijadikan Allah sebagai qiyam atau pokok kehidupan (baca QS.4, Al-Nisa':5), dan dinamainya dengan al-
khair, yaitu sesuatu yang baik (QS.100, Al-Adiyat:8).

Kedua, Alquran dan Sunah, bersamaan dengan penekanan-penekanannya di atas, tetap memerintahkan
manusia untuk berjuang meraih kehidupan duniawi. Bukankah sang Muslim, antara lain, diajari berdoa dan
berusaha meraih hasanah fid dunya dan hasanah fil akhirat? Bukankah Allah SWT memerintahkan manusia
untuk menjelajahi bumi yang terhampar untuk mencari rezekinya? Bukankah istilah yang digunakannya,
menunjuk anugerah-Nya, adalah fadhl yang berarti "kelebihan"? Jika demikian itu halnya, maka pemilahan
kemiskinan dan kekayaan pada dua sisi -material dan spiritual bukanlah berarti mengalihkan perjuangan
meraih kekayaan hanya semata-mata pada kekayaan spiritual, tetapi perjuangan tersebut adalah untuk
mengingatkan manusia agar tidak larut dalam memperbanyak dan menumpuk harta benda, sebagaimana
yang, antara lain, diingatkan oleh surat Al-Takatsur. Perjuangan yang dilakukan itu, mencakup pelurusan ide
tentang makna hakiki dari kekayaan, sekaligus perjuangan untuk penerapannya dalam kehidupan dunia.
Demikian, raihlah kekayaan Anda. [Edisi Juli '05].

You might also like