You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa sekarang, masa dimana globalisasai tidak bisa dihindari, akan
tetapi adanya perkembangan zaman itulah yang harus diterima dengan cara
memfilter apa yang seharusnya dipilih untuk maslahah bersama.
Belakangan ini banyak ditemukan pendidikan yang bobrok, realita ini
banyak ditemukan di wilayah kota-kota besar. Memang dalam keilmuan non
agama bisa dikatakan unggul, akan tetapi nilai spiritual yang ada sangatlah tidak
cocok bila dikatakan sebagai seorang muslim.
Pendidikan Islam adalah salah satu cara untuk merubah pola hidup
mereka. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah pendidikan Islam itu seperti apa.
Akankah pendidikan merupakan jalan keluar dari permasalahan ini.
Melihat kenyataan bahwa Pendidikan Islam merupakan disiplin ilmu,
maka asumsi bahwa pendidikan Islam dapat merubah hal itu bukanlah hal yang
mustahil dilakukan. Tetapi yang menjadi pertanyaan lagi adalah mengapa
pendididkan Islam sebagai disipin ilmu. Mungkin pertanyaan-pertanyaan ini akan
ddijelaskan dalam makalah ini.

B. Rumusan masalah
Dari latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang muncul adalah:
1. Apa definisi pendidikan Islam?
2. Apa hakikat pendidikan Islam?
3. Mengapa pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu?

C. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1. Mengetahui definisi pendidikan Islam,
2. Mengetahui hakekat pendidikan Islam, dan
3. Mengetahui hakekat pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Islam


Dari berbagai literatur terdapat berbagi macam pengertian pendidikan
Islam. Menurut Athiyah Al-Abrasy, pendidikan Islam adalah mempersiapkan
manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap
jasmaninya, sempurna budi pekertinya, pola pikirnya teratur dengan rapi,
perasaannya halus, profesiaonal dalam bekerja dan manis tutur sapanya. Sedang
Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah
bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum islam menuju kepada
terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Sedangkan menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas, pendidikan adalah
suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode
dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan
kandungan pendidikan tersebut.1
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk
pendidikan yaitu adanya proses, kandungan, dan penerima. Kemudian
disimpulkan lebih lanjut yaitu " sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke
dalam diri manusia".
Jadi definisi pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang
secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempat-
tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga
membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di
dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk
manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas
diperuntutukan untuk manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan
dalam At-ta'dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan
pengertian pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena

1 Kemas Badaruddin, Filsafat Pendidikan Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 36
pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut
Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa
pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa
tingkat dan tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat
dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi
jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam,
arti dari pengertian itu adalah, "pengenalan" adalah menemukan tempat yang tepat
sehubungan denagn apa yang dikenali, sedangkan "pengakuan" merupakan
tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan
adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka.
Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal maupun
amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang tepat adalah
kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya,
keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam
mengaktualisasikan dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu,
akal, dan kebaikan (ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu
pengetahuan secara positif, dipujikan serta terpuji.1
Dalam pandangan Al-Attas pendidikan Islam harus terlebih dahulu
diberikan kepada manusia sebagi peserta didik, pendidikan tersebut berupa
pengetahuan tentang manusia disusul dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya.
Dengan demikian dia akan tahu jati dirinya dengan benar, tahu "dari mana dia,
sedang dimana dia, dan mau kemana dia kelak". Jika ia tahu jati dirinya, maka ia
akan selalu ingat dan sadar serta mampu dalam memposisikan dirinya, baik
terhadap sesama makhluk, dan yang terlebih lagi kepada Allah SWT.
Ketiga realita yaitu, manusia, alam, dan Tuhan diakui keberadaannya,
dengan Tuhan sebagai sumber dari segalanya (alam dan manusia). Tuhan dapat
dipahami sebagaimana dinformasikan dalam Al-Quran sebagi Rabb al-Alamin,
dan Rabb al-Nass. Amrullah Ahmad menilai bahwa dalam definisi pendidikan Al-
Attas mengandung proses pengajaran seseorang dalam tatanan kosmis dan sosial
yang akan mengantarkannya untuk menemukan fungsinya sebagi kholifah.

1 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya),
hal. 29

3
Peserta didik harus dibimbing untuk mengenali dan mengakui Allah sebagai
Tuhannya, pencipta, pemilik, pengatur, pengawas, pendidik, pemberi ni'mat dan
lain sebagainya. Pada gilirannya nanti lahirlah manusia-manusia 'abid yang penuh
kesadaran, memiliki kemampuan intelektual maupun spiritualnya.
Dengan demikian, akan lahirlah berbagai pendangan hidup tauhid, baik
rububiyyah, uluhiyyah, maupun ubudiyyah, yang meyakini kesatuan penciptaan
(unity of creation), kesatuan kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan tuntunan
hidup (unity of purpose of life), yang semua ini merupakan deriviasi dari kesatuan
ketuhanan (unity of Godhead).
Menurut Imam Bawani definisi Al-Attas tersebut terkesan abstrak dan
filosofis sekali, sehingga mengabaikan unsur-unsur praktis yang justru dipandang
sebagai suatu keharusan dalam dunia pendidikan dewasa ini, kendati ia tetap
mengakui bobot dari definisi tersebut. Karena itulah ia perlu dijabarkan terlebih
lanjut atau langsung dioperasionalisasikan oleh pakar-pakar pendidikan yang
lainnya.1
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengertian pendidikan
pendidikan Al-Attas bersifat luas (global), peserta didik tidak hanya dibebani oleh
pengajaran yang hanya digunakan untuk dirinya di dunia, melainkan ia dididik
sebagi seseorang yang mampu mengamalkannya untuk dunianya dan akhiratnya.
Bila dicermati, beberapa pengertian pendidikan yang ada memiliki benang
merah kesamaan pengertian dengan pengertian yang lain. Pengertian pendidikan
yang dirumuskan oleh M. Athiyah memiliki titik persamaan dengan pengertian D.
Marimba. Pengertian definisi ini hampir sama dengan apa yang didefinisikan oleh
An-Nahlawi bahwa "pendidikan Islam adalah pengembangan pikiran manusia dan
penataantingkah laku serta emosinya berdasarkan agama Islam, dengan maksud
merealisasikan tujuan Islam di dalam kehidupan individu dan masyarakat, yakni
dalam seluruh lapangan kehidupan". Namun hanya saja apa yang dirumuskan oleh
Al-Attas tersebut memang abstrak dan mengandung makna yang filosofis sekali,
akan tetapi kesemuanya itu semakin menambah perbendaharaan kekayaan
khazanah pendidikan Islam. Dari definisi-definisi itu jika ditelaah mengandung
tiga unsur, yaitu:

1 Kemas Badaruddin, opcit hal. 38


1. pendidik yang bertanggungjawab dan berwibawa,
2. peserta didik yang mempunyai kedaulatan, dan
3. tujuan akhir, berupa terciptanya manusia yang baik (insan kamil).1

B. Hakikat Pendidikan Islam


Proses pendidikan sebenarnya telah berlangsung lama, yaitu sepanjang
sejarah manusia itu sendiri, dan seiring pula dengan perkembangan sosial
budayanya. Secara umum memang aktivitas pendidikan sudah ada sejak manusia
diciptakan. Betapapun sederhana bentuknya manusia memerlukan pendidikan,
sebab manusia bukan termasuk makhluk instinkif.
Menurut pandangan Islam, pendidikan sebagai suatu prosesyang berawal
dari saat Allah sebagai Rabb al-Alamin menciptakan alam ini. Selanjutnya tugas-
tugas kependidikan itu dilimpahkan kepada Para Nabi dan Rasul untuk mendidik
manusia di muka bumi. Sehubungan dengan hal itu, maka para ahli didik muslim
kemudian berusaha menemukan kembali pedoman tersebut dengan menyusun
konsep pendidikan Islam dalam konteks zamannya.
Dalam pengertian umum pendidikan sering diartikan sebagai usaha
pendewasaan manusia. Tetapi merujuk kepada informasi Al-Quran pendidikan
mencakup segala aspek jagat raya ini, bukan hanya terbatas pada manusia semata,
yakni dengan menempatkan Allah sebagai pendidik Yang Maha Agung. Kosa kata
Rabba yang dirujuk sebagai akar kata dari konsep tarbiyah atau pendidikan, pada
hakikatnya merujuk kepada Allah sebagi Murabby sekalian alam. Kata Rabb dan
Murabby berasal dari akar kata seperti temuan dalam ayat Al-Quran yaitu:
ô Ù Ï ÿ ÷ z$ # u r $ y J ß g s9 yy$uZy_ É e A — % !$ # z` Ï B

Ï p y J ô m §  9 $ # @ è % u r É b > § ‘ $ y J ß g ÷ H x q ö ‘$ # $ y Jx . ’ Î T $ u ‹/u ‘

# Z Ž  É ó |¹ Ç ËÍ È
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, sayangilah
keduanya sebagaimana mereka mendidikku waktu kecil”.(QS. Al-Isro’:24)
Menelusuri makna ayat tersebut terlihat kedudukan Allah SWT sebagai
pendidik Yang Maha Agung tidak dapat dilepaskan dari kajian filsafat pendidikan
1 Ibid, hal. 39

5
Islam. Sebagai Tuhan Pencipta dan Pemelihara alam semesta, aktivitas dan proses
kependidikan-Nya meliputi seluruh ciptaan-Nya. Allah yang Maha Pencipta
adalah juga Tuhan mengatur, memelihara, memberi rizqi seluruh makhluk
ciptaan-Nya yang ada di alam semesta. Dia adalah dzat yang memiliki kekuasaan
sebagai Rabb Al-Alamin.
Sementara menurut Imam Al-Baidlowi, tarbiyah bermakna menyampaikan
sesuatu sehingga mencapai kesempurnaan secara bertahap. Sedangkan Syed
Naquib Al-Attas menjelaskan bahwa tarbiyah mengandung pengertian mendidik,
memelihara, menjaga, dan membina semua ciptaan-Nya termasuk manusia,
binatang, dan tumbuhan. Kosa kata Rabb dijadikan salah satu rujukan dalam
menyusun konsep pendidikan Islam oleh para ahli didik.
Kemudian sebagai landasan pemikiran berikutnya dalam pendidikan Islam
dapat dirujuk dari kata ta’dib. Sebagai unsur rujukan dari kata ta’dib adalah hadits
yang merupakan pernyataan Rasul Allah SAW.:
‫أدبني ربي فأحسن تأديبي‬
“Aku dididik oleh Tuhanku maka Ia memberikanku sebaik-baik
pendidikan”
Menurut pandangan Al-Attas, ta’dib mengandung pengertian mendidik
dan juga sudah merangkum pengertian tarbiyah dan ta’lim, yaitu pendidikan bagi
manusia. Di samping itu juga pengertian itu mempunyai hubungan erat dengan
kondisi pendidikan ilmu dalam Islam.
Dari pemahaman Al-Attas memperjelas bahwa sumber utama pendidikan
adalah dari Allah. Rasul sendiri menegaskan bahwa Beliau dididik oleh Allah
SWT Sehingga pendidikan yang Beliau peroleh adalah sebaik-baik pendidikan.
Dengan demikian dalam pendangan filsafat pendidikan Islam, Rasul merupakan
pendidik utama yang dijadikan teladan.
Berbeda dengan Al-Attas, maka M. Athiyah Al-Abrasy menjelaskan
bahwa kata ta’dib mengandung pengertian pendidikan yang khusus kepada
seseorang. Meskipun demikian, mengacu kepada makna yang terkandung di
dalamnya, maka kedua konsep tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan untuk
menyusun pemahaman tentang pendidikan Islam, termasuk para pendidik sebagai
pelakunya. Pendidik, pendidikan, dan peserta didik merupakan rangkaian yang
menyatu dalam kegiatan pendidikan.1

C. Hakikat Pendidikan Islam Sebagai Disiplin Ilmu


Sebelum membahas menganai hakikat pendidikan Islam sebagai disiplin
Ilmu, terlebih dahulu kita bahas arti pendidikan dalam syarat-syarat suatu ilmu
pengetahuan. Karena dari pembahasan ini akan muncul adanya benang merah
antara pendidikan, maupun pendidikan Islam dengan ilmu pengetahuan.
Menurut Dr. Sutari Barnadib ilmu pengetahuan adalah suatu uraian yang
lengkap dan tersusun tentang suatu obyek2. Berbeda dengan Drs. Amir Daien yang
mengartikan bahwa ilmu pengetahuan adalah uraian yang sistematis dan metodis
tentang suatu hal atau masalah.
Oleh karena itu ilmu pengetahuan itu menguraikan tentang sesuatu, maka
haruslah ilmu itu mempunyai persoalan, mampunyai masalah yang akan
dibicarakan. Persoalan atau masalah yang dibahas oleh suatu ilmu pengetahuan
itulah yang merupakan obyek atau sasaran dari ilmu pengetahuan tersebut.
Dalam dunia ilmu pengetahuan ada dua macam obyek yaitu obyek
material dan obyek formal3. Obyek material adalah bahan atau masalah yang
menjadi sasaran pembicaraan atau penyelidikan dari suatu ilmu pengetahuan.
Misalnya tentang manusia, tentang ekonomi, tentang hukum, tentang alam dan
sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan obyek foramal adalah sudut
tinjauan dari penyelidikan atau pembicaraan suatu ilmu pengetahuan. Misalnya
tentang manusia. Deri segi manakah kita mengadakan penelaahan tentang
manusia itu? Dari segi tubuhnya atau dari segi jiwanya? Jika mengenai tubuhnya,
mengenai bagian-bagian tubuhnya atau mengenai fungsi bagian-bagian tubuh itu.
Dua macam ilmu pengetahuan dapat mempunyai obyek material yang
sama. Tetapi obyek formalnya tidak boleh sama, atau harus berbeda. Contoh ilmu
psikologi dengan ilmu biologi manusia. Kedua macam ilmu pengetahuan ini
mempunyai obyek material yang sama yaitu manusia, tetapi, kedua ilmu itu
mempunyai obyek formal yang berbeda.
Obyek formal dari ilmu psikologi adalah keadaan atau kehidupan dari jiwa

1 Jalaluddin. Teologi Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2001), hal. 115
2 Abu Ahmadi. Ilmu Pendidikan (Jakarta: Reneka Cipta, 1991), hal.79
3 Amier Daien. Pengantar Ilmu Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional,1973), hal.10

7
manusia itu. Sedangkan, obyek formal dari ilmu biologi manusia adalah keadaan
atau kehidupan dari tubuh manusia itu. Selanjutnya dari batasan ilmu pengetahuan
di atas mengharuskan bahwa uraian dari suatu ilmu pengetahuan harus metodis.
Yang dimaksud dengan metodis di sini adalah bahwa dalam mengadakan
pembahasan serta penyelidikan untuk suatu ilmu pengetahuan itu harus
menggunakan cara-cara atau metode ilmiah, yaitu metode-metode yag biasa
dipergunakan untuk mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmu pengetahuan
secara modern. Metode-metode yang dapat dipertanggunagjawabkan, yang dapat
dikontrol dan dibuktikan kebenarannya.1
Mengenai metode-metode yang dapat dipergunakan dalam penyelidikan-
penyelidikan ilmiah ada brmacam-macam. Dapat disebut di sini beberapa di
antaranya:
1. metode observasi
2. metode eksperimen
3. metode angket dan questionnaire
4. metode test
5. metode pengumpulan data, dsb
Untuk penyelidikan suatu ilmu pengetahuan tertentu, belum tentu suatu
metode itu dapat digunakan. Suatu metode belum tentu cocok untuk
pennyelidikan suatu ilmu pengetahuan.
Misalnya dalam penyelidikan ilmu alam atau ilmu kimia, maka tidak
cocok kiranya kalau mempergunakan metode angket. Tetapi untuk penyalidikan
ilmu alam atau kimia, maka metode eksperimen kiranya lebih tepat.
Kemudian yang terakhir, bahwa dalam menguraikan sesuatu masalah
untuk disusun menjadi suatu ilmu pengetahuan harus teratur, harus sistematis,
harus menurut tata aturan tertentu. dengan kata lain, sistematika adalah uraian
sejumlah komponen atau unsur yang berrkaitan antara satu dengan yang lain
menurut susunan tertentu sehingga merupakan satu kesatuan yang berfungsi untuk
mencapai suatu tujuan.2
Dari uraian di atas kita dapat diambil kesimpulan bahwa suatu ilmu
pengetahuan haruslah memenuhi tiga syarat pokok yaitu:

1 Ibid, hal. 12
2 Abu Ahmadi, opcit hal. 80
1. suatu ilmu pengetahuan harus mempunyai obyek tertentu (khususnya obyek
formal).
2. suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan metode-metode tertentu yang
sesuai.
3. suatu ilmu pengetahuan harus mengggunakan sistematika tertentu.
Disamping ketiga macam syarat tersebut, maka dapat diajakukan syarat-
syarat tambahan bagi suatu ilmu pengetahuan ialah antara lain:
1. suatu ilmu pengetahuan harus mempunyai dinamika, artinya ilmu pengetahuan
harus senantiasa tumbuh dan berkembang untuk mencapai kesempurnaan diri.
2. suatu ilmu pengetahuan harus praktis, artinya ilmu pengetahuan harus berguna
atau dapat dipraktekkan untuk kehidupan sehari-hari.
3. suatu ilmu pengetahuan harus diabdikan untuk kesejahteraan umat manusia.
Oleh kerena itu penyelidikan-penyelidikan suatu ilmu pengetahuan yang
mempunyai akibat kehancuran bagi manusia selalu mendapat tantangan-
tantanan dan kutukan.1
Setelah mengetahui apa yang menjadi pesyaratan yang harus dipenuhi oleh
duatu ilmu pengetahuan, marilah kita mngadakan tinjauan terhada p ilmu
pendidikan Islam. Apakah ilmu pendidikan Islam itu telah memenuhi syarat-
syaratnya untuk menjadi suatu ilmu pengetahuan tersendiri
Dalam hal ini perlu diadakan penelaahan secara berturut-turut dimulai dari
obyeknya, metodenya, dan sistematikanya dan bila perlu kita bicarakan pula
tentang persyaratan tambahan.
a. tentang obyek
Seperti yang telah diterangkan di muka bahwa ada dua macam obyek ilmu
pengetahuan yaitu obyek material dan obyek formal. Dalam ilmu pendidikan
Islam obyek materialnya yaitu peserta didik (manusia). Sedangkan obyek
formalnya yaitu problema-problema yang menyangkut apa, siapa, mengapa,
dimana, bilamana yang berhubungan dengan usaha membawa peserta didik
kepada tujuan. Dengan kata lain, obyek formal dari ilmu pengetahuan Islam
adalah kegiatan manusia dalam usahanya membawa atau membimbing menusia
lain kepada daerah kedewasaan berdasarkan nilai-nilai Islam.

1 Amier Daien, opcit hal. 15

9
b. metode pengembangan
Banyak metode-metode yang dipergunakan dalam ilmu pengetahuan
Islam. Metode-metode yang digunakannya dapat dipertanggungjawabkan, dapat
dikontrol, dan dapat dibuktikan kebenarannya untuk mengembangkan pendidikan
Islam.
Metode pengembangan yang kiranya digunakan ilmu pengetahuan Islam
adalah metode test, metode interview, metode observasi, dan lain sebagainya.
c. sistematika
Mengenai sistematika pendidikan Islam dapat dapat diketahui dengan
adanya penggolongan-penggolongan suatu masalah dan pembahasan masalah
demi masalah di dalam pendidikan Islam, ini menunjukkan bahwa penyusunan
ilmu pendidikan Islam itu telah menggunakan sistematika.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu pendidikan Islam telah
memenuhi persyaratan-persyaratan pokok sebagai suatu ilmu pengetahuan yang
berdiri sendiri.
Untuk lebih menegaskan lagi bahwa ilmu pendidikan Islam termasuk
dalam disiplin ilmu, agaknya kita melihat syarat tambahan dalam ilmu
penegatahuan,yaitu:
1) suatu ilmu pengetahuan harus mempunyai dinamika, artinya ilmu pengetahuan
harus senantiasa tumbuh dan berkembang untuk mencapai kesempurnaan diri.
2) suatu ilmu pengetahuan harus praktis, artinya ilmu pengetahuan harus berguna
atau dapat dipraktekkan untuk kehidupan sehari-hari.
3) suatu ilmu pengetahuan harus diabdikan untuk kesejahteraan umat manusia
Ilmu pendidikan Islam dari tahun ke tahun mengalami pertumbuhan yang
sangat cepat, dikarenakan kalau ilmu pendidikan islam itu stagnan, maka tidak
akan bisa menjangkau kepada era yang semakin modern, di mana pengetahuan
Islam sangatlah sibutuhkan dan sangat urgen sekali.
Adanya pendidikan tidak hanya untuk sekali pakai, tetapi harus diterapkan
dan diamalkan. Dan juga ilmu pendidikan Islam, membawa peserta didik kepada
tujuan yang lebih baik, maka tidaklah benar kalau ilmu ini membawa kehancuran
kepada umat manusia.
D. Studi Kasus
Studi kasus ini diambil dari pondok pesantren "Manbail Futuh" Beji Jenu
Tuban. Dalam kaitannya dengan ilmu pendidikan Islam, semua orang pastilah
tahu kalau pendidikan dalam pesantren berdasarkan nilai-nilai Islam. Dalam
pesantren terdapat kyai sebagai pendidik maupun ustadz-ustadz yang membantu
Beliau dan santri-santri sebagai peserta didik dan juga adanya metode-metode
pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran.
Seorang pendidik, di sini kyai dan ustadz pastilah berusaha agar santrinya
menjadi seorang yang bisa mengembangkan pemikirannya dan bisa menata
tingkah laku serta emosinya berdasarkan ajaran agama Islam, dengan maksud
merealisasikan tujuan Islam. Tujuan yang diharapkan ini pasti membutuhkan
sebuah pendidikan maupun pengajaran yang intensifagar santri bisa mencapai
tujuan tersebut.
Dalam melakukan pengajaran yang dilakukan di pondok pesantren,
pendidik mempunyai metode-metode pengembangan pembelajaran antara lain
musyawarah, bahtsul masail, sorogan dan lain-lain, selain itu juga terdapat metode
pendidikan yang lebih mengarah kepada adab seperti metode keteladanan dan
metode pembiasaan.
Dari beberapa model pengajaran ini diharapkan pengembangan pemikiran
dan penataan tingkah laku akan terwujud.
Dalam pengembangan pendidikan di pesantren, sistematika pengajaran
pastilah sudah ada karena ilmu yang diajarkan oleh pendidik tidak hanya
berpegang dengan keadaan yang ada , tetapi ada ilmu yang harus bersistem atau
mempunyai kurikulum agar supaya penerimaan ilmu kepada santri berjalan
sesuai dengan urutan ilmu tersebut. Seperti ilmu nahwu, ilmu ini tidak bisa
diajarkan denagn seenak hati, dibutuhkan pemahaman yang ebruntun dari bab
yang pertama pertama sampai bab selanjutnya yang tidak bisa diloncat-loncat.
Dari studi kasus ini terlihat bahwa pendidikan Islam, khususnya di pondok
pesantren mempunyai obyek, baik itu material (santri) maupun formal.
Pendidikan Islam disini juga mempunyai metode baik menggunakan test kepada
santri, dsb, dan juga mempunyai sistematika walaupun sistem tersebut belum pasti
tersurat, adakalanya tersirat.

11
Metode Pengembangan
Ilmu Pengetahuan

Ilmu Pendidikan Islam

Obyek

material formal

pendidikan Islam memerlukan beberapa metodologi pengembangan, antara lain:


test,
ari pendidik memberikan
Pendidikan Islam adalahtest kepada anak didiknya untuk mengetahui perkembangan anak didik
manusia
interview,
observasi, dalam pendidikan Islam dibutuhkan observasi untuk mengetahui keadaan real dari dime
m usahanya membawa atau membimbing menusia lain kepada daerah kedewasaan berdasarkan ni

Perbedaan dengan Ilmu pengetahuan yang lain

Sistematika Berikut ini peta konsep pendidikan Islam sebagai disipin ilmu:

nusia dalam usahanya membawa atau membimbing menusia lain kepada daerah kedewasaan berd
ongan-penggolongan suatu masalah dan pembahasan masalah demi masalah di dalam pendidikan
BAB IV
KESIMPULAN

Menurut Dr. Sutari Barnadib ilmu pengetahuan adalah suatu uraian yang
lengkap dan tersusun tentang suatu obyek. Berbeda dengan Drs. Amir Daien yang
mengartikan bahwa ilmu pengetahuan adalah uraian yang sistematis dan metodis
tentang suatu hal atau masalah.
Suatu ilmu pengetahuan haruslah memenuhi tiga syarat pokok yaitu:
1. suatu ilmu pengetahuan harus mempunyai obyek tertentu (khususnya obyek
formal).
2. suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan metode-metode tertentu yang
sesuai.

13
3. suatu ilmu pengetahuan harus mengggunakan sistematika tertentu.
Pendidikan Islam masuk dalam disiplin ilmu dikarenakan telah memenuhi
persyaratan ilmu pengetahuan yaitu:
1. Pendidikan Islam mempunyai obyek material yaitu manusia sebagai peserta
didik, dan mempunyai obyak formal yaitu kegiatan manusia dalam usahanya
membimbing manusia lain kepada arah kedewasaan berdasarkan nilai-nilai
Islam.
2. Pendidikan Islam mempunyai metode, metode pengembangan yang kiranya
digunakan ilmu pengetahuan Islam adalah metode test, metode interview,
metode observasi, dan lain sebagainya.
3. Pendidikan Islam mempunyai sistematika, walaupun sistematika tersebut
kadang tidak tersurat. Sistematika pendidikan Islam dapat diketahui dengan
adanya penggolongan-penggolongan suatu masalah dan pembahasan masalah
demi masalah di dalam pendidikan Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 1991. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Rineke Cipta

Badaruddin, Kemas. 2007. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Daien, Amir. 1973. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Jalaluddin. 2001. Teologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tafsir, Ahmad. 1991. Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya.

You might also like