You are on page 1of 25

sejarah perkembangan psikolinguistik SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLINGUISTIK A.

PENDAHULUAN Psikolinguistik merupakan ilmu yang dikaji secara terpisah baik oleh pakar linguistik maupun pakar psikologi. Istilah psikolinguistik sendiri pertama kali digunakan oleh Thomas A. Sebeok dan Charles E. Osgood pada tahun 1954 pada sebuah buku yang berjudul Psycholinguistik : A Survey of Theory and Research Problems. . Dasar-dasar ilmu psikologi menurut Osgoods dan Sebeok adalah : a. Psikolinguistik adalah suatu teori linguistik berdasarkan bahasa yang dianggap sistem elemen yang saling berhubungan erat. b. Psikolinguistik adalah satu teori pembelajaran yang berdasar pada bahasa yang dianggap sebagai sistem tabiat. c. Psikolinguistik adalah satu teori informasi yang menganggap bahasa sebagai alat untuk menyampaikan suatu benda. Psikolinguistik adalah ilmu gabungan antara dua ilmu: psikologi (kejiwaan) dan linguistik (kebahasaan). Maka psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari proses-proses mental yang dilalui oleh manusia dalam rangka bahasa. Secara rinci psikolinguistik mempelajari empat topik utama: a) Komprehensi, yakni proses mental yang dilalui oleh manusia sehingga dapat menangkap apa yang dikatakan orang dan memahami apa yang dimaksud. b) Produksi, yakni proses-proses mental pada diri manusia yang membuatnya dapat berujar seperti yang ujarkan. c) Landasan biologis serta neurologis yang membuat manusia bisa berbahasa. d) Pemerolehan bahasa, yakni bagaimana cara seseorang memperoleh bahasa.

B. PEMBAHASAN Pada perkembangannya, ada beberapa pakar psikologi yang juga tertarik untuk mengkaji psikologi secara linguistis. Mereka adalah: 1. Watson (1878-1958), menyamakan antara perilaku berbahasa dengan perilaku lainnya seperti makan, berjalan, dll. Perilaku bahasa menurut Watson adalah hubungan stimulus-respons yang menyamakan perilaku kata dengan benda. 2. John Dewey (1859-1952), menafsirkan bahasa anak-anak berdasarkan prinsip-prinsip psikologi. Beliau menyarankan agar penggolongan kata untuk anak-anak berdasarkan pada makna yang dipahami anak-anak. 3. Wundt (1932-1920), mengjelaskan bahasa alat untuk melahirkan pikiran. Hal ini terjadi karena terdapat perasaanperasaan serta gerak-gerak yang melahirkan bahasa secara tidak sadar. Menurut Wund, satu kalimat merupakan suatu kejadian akal yang terjadi secara serempak. Wundt terkenal dengan teori performansi bahasa (language 4 performance). Teori ini menjelaskan dua aspek, yakni fenomena luar (citra bunyi) dan fenomena dalam (rekaman pikiran). 4. Karl Buchler, menyatakan bahwa bahasa manusia memiliki tiga fungsi yang disebut Organon Modell der Saprch yaitu, Kungabe adalah tindakan komunikatif berwujud verbal. Appell adalah permintaan yang ditujukan kepada orang lain. Darstellung adalah penggambaran masalah pokok yang dikomunikasikan. 5. Weiss, mengakui adanya aspek mental dalam bahasa. Hanya saja, karena wujud bahasa tidak tampil secara fisik maka sukar dikaji dan diwujudkan kecuali bahasa berada pada konteks sosialnya. Masalah yang berhasil dipecahkn adalah: a. Bahasa merupakan satu kumpulan respons yang jumlahnya tidak terbatas terhadap suatu stimulus. b. Pada dasarnya, perilaku bahasa menyatukan anggota suatu masyarakat ke dalam organisasi gerak syaraf.

c. Perilaku bahasa adalah sebuah alat untuk mengubah dan meragamkan kegiatan seseorang sebagai hasil warisan dan hasil perolehan. d. Bahasa dapat merupakan stimulus terhadap suatu respons. e. Respons bahasa sebagai suatu stimulus pengganti untuk benda dan keadaan yang sebenarnya memungkinkan kita untuk memunculkan kembali suatu hal yang pernah terjadi, dan menganalisis kejadian ini dalam bagian-bagian. Perkembangan disiplin ilmu psikolinguistik telah merangsang Mehler dan Noizet (1974), menuliskan ada tiga generasi perkembangan psikolinguistik. 1. Psikolinguistik Generasi Pertama Ditandai oleh penulisan artikel Psycholinguistics : A Survey of Thery and Research Problems yang disunting oleh C. Osgoods dan Sebeok. Maka kedua tokoh ini dinobatkan sebagai tokoh psikolinguistik generasi pertama. Menurut Parera (1996) dalam Abdul Chaer generasi pertama memiliki tida kelemahan : a. Adanya sifat reaktif dari psikolinguistik tentang bahasa yang memandang bahwa bahasa bukanlah satu tindakan atau perbuatan manusiawi melainkan dipandang sebagai satu stimulus-respons. b. Psikolinguistik bersifat atomistik. Sifat ini nampak jelas ketika Osgoods mengungkapkan teori pemerolehan bahasa bahwa jumlah pemerolehan bahasa adalah kemampuan untuk membedakan kata atau bentuk yang berbeda, dan kemampuan untuk melakukan generalisasi. c. Bersifat individualis. Teorinya menekankah pada eprilaku berbahasa individu-individu yang terisolasi dari amsyarakat dan komunikasi nyata. 2. Psikolinguistik Generasi Kedua Psikologi generasi ini berpendapat bahwa dalam proses berbahasa bukanlah butir-butir bahasa yang diperoleh, melaikan kaidah dan sistem kaidahnya. Penggabungan antara Miller dan Chomsky merupakan penggabungan model linguistik tatabahasa yang relatif berbeda dengan proses psikologi. Tokoh fase ini lebih mengarah pada manifestasi ujaran sebagai bentuk linguistik. G.S. Miller dan Noam Chomsky menyatakan beberapa hal tentang psikolinguistik: a. Dalam komunikasi verbal, tidak semua ciri-ciri fisiknya jelas dan terang, dan tidak semua cirinya terang dalam ujaran. b. Makna sebuah tuturan tidak boleh dikacaukan dengan apa yang ditunjukkan. Makna adalah sesuatu yang sangat kompleks yang menyangkut antar hubungan simbol-simbol atau lambang-lambang c. Struktur sintaksis sebuah kalimat terdiri atas satuan interaksi antara makna kata yang terdapat dalam kalimat tersebut. d. Jumlah kalimat dan jumlah makna yang dapat dinyatakan tidak terbatas jumlahnya. e. Ada komponen biologis yang besar untuk menentukan kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa ini tidak tergantung pada intelegensi dan besarnya otak, melainkan bergantung pada manusia. 3. Psikolinguistik Gegerasi Ketiga Kekurangan analisis pada psikolinguistik generasi kedua kemudian diperbaharui oleh psikolinguistik generasi ketiga. G. Werstch dalam bukunya Two Problems for the New Psycholinguistics memberi karakteristik baru ilmu ini sebagai psikolinguistik baru. Beberapa ciri psiklonguistik generasi ketiga ini adalah : a. Orientasinya kepada psikologi, tetapi bukan psikologi perilaku. b. Keterlepasan mereka dari kerangka psikolinguistik kalimat, dan lebih mengarah pada psikolnguistik situasi dan konteks. c. Adanya pergeseran dari analisis proses ujaran yang abstrak ke satu analisis psikologis mengenai komunikasi dan

pikiran.

C. SIMPULAN

Psikolinguistik merupakan ilmu yang dikaji secara terpisah baik oleh pakar linguistik maupun pakar psikologi. Istilah psikolinguistik sendiri pertama kali digunakan oleh Thomas A. Sebeok dan Charles E. Osgood pada tahun 1954 pada sebuah buku yang berjudul Psycholinguistik : A Survey of Theory and Research Problems. Dan Pada perkembangannya, ada beberapa pakar psikologi yang juga tertarik untuk mengkaji psikologi secara linguistis. Pakar-pakar itu adalah John Dewey, Karl Buchler, Wundt, Watson, dan Weiss. Dalam Perkembangan disiplin ilmu psikolinguistik telah merangsang Mehler dan Noizet (1974), menuliskan ada tiga generasi perkembangan psikolinguistik. 1. Psikolinguistik Generasi Pertama ditandai penulisan artikel oleh C.Osgoods dan Sebeok. 2. Psikolinguistik Generasi Kedua yaitu penggabungan antara Miller dan Chomsky merupakan penggabungan model linguistik tatabahasa yang relatif berbeda dengan proses psikologi. 3. Psikolinguistik Gegerasi Ketiga yaitu oleh G. Werstch dalam bukunya Two Problems for the New Psycholinguistics.

Bagaimana manusia memahami bahasa, memproduksi bahasa dan bagaimana mereka memperoleh kedua kemampuan tersebut. Pemahaman dapat didefinisikan dalam dua sudut pandang: dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit pemahaman berarti proses mental untuk menangkap bunyi-bunyi yang diujarkan seorang penutur untuk membangun sebuah interpretasi mengenai apa yang dia anggap dimaksudkan oleh si penutur, sedangkan dalam arti luas, hasil interpretasi tersebut digunakan untuk melakukan tindakan-tindakan yang relevan.

Produksi sering diidentikkan dengan berbicara, meskipun produksi juga mencakup menulis. Dalam berbicara, juga menulis, seorang penutur melakukan dua jenis kegiatan, yaitu merencanakan dan melaksanakan yang meliputi tatar wacana, tatar kalimat, tatar konstituen, program artikulasi dan artikulasi. b. Perbedaan antara kajian Psikolinguistik dan Sosio-linguistik Menurut Foos (dalam Herman J. Waluyo, 2006:1) psikolinguistik adalah ilmu yang menelaah tentang apa yang diperoleh seseorang, jika mereka melaksanakan proses perolehan bahasa (language acquisition); bagaimana mereka memperoleh bahasa (producing language and speech); bagaimana mereka menggunakan bahasa dalam proses mengingat dari memahami bahasa itu (comprehension and memory). Psikolinguistik berhubungan erat dengan psikologi kognitif, yakni psikologi yang membahasa tentang pemaman dan berfikir.

Dari pengertian yang dinyatakan Foos tersebut dapat dilihat, bahwa psikolinguistik berhubungan dengan: (1) proses perolehan bahasa, (2) proses produksi bahasa, dan (3) proses pemahaman dan ingatan. Dalam proses produksi bahasa dibahas juga proses kerja otak manusia. Dalam hal ini kita berhadapan dengan neorolinguistik. Dalam proses perolehan bahasa, kita dihadapkan juga dengan perkembangan bahasa anak. Dalam proses pemahaman bahasa, kita dihadapkan dengan proses mengingat bahasa, dan keduanya merupakan proses bagaimana seseorang mengerti bahasa. Psikolinguistik mempelajari faktor-faktor psikologis dan neurobiologis yang memungkinkan manusia mendapatkan, menggunakan, dan memahami bahasa. Kajiannya semula lebih banyak bersifat filosofis, karena masih sedikitnya pemahaman tentang bagaimana otak manusia berfungsi. Oleh karena itu psikolinguistik sangat erat kaitannya dengan psikologi kognitif. Penelitian modern menggunakan biologi, neurologi, ilmu kognitif, dan teori informasi untuk mempelajari cara otak memroses bahasa. Sosiolinguistik yang mengacu pada pemahaman terhadap konteks sosial tempat terjadinya peristiwa komunikasi. Kemampuan kewacanaan mengacu pada interpretasi terhadap unsur-unsur pesan secara individual, hubungan antara pesan-pesan itu dalam suatu wacana, (koherensi) serta keseluruhan makna wacana. c. Psikolinguistik cenderung bersifat mentalistik dan bukan behavouristik Karena berhubungan faktor-faktor penggunaan bahasa dengan factor-faktor diluar bahasa di dalam masyarakat bahasa. Faktor-faktor itu misalnya: sopan santun, kepantasan, kejelasan (tidak ambigu), kelayakan (cukup tidaknya ekspresi bahasa), kelucuan, dan sebagainya. Sejumlah konsep pendapat-pendapat para teorisi mengenai bagaimana seseorang memahami dan merespons terhadap apa-apa yang ada di alam semesta ini. Kita telah berbicara mengenai pandangan-pandangan kaum mentalis dan kaum bahavioris, terutama dalam kaitan dengan keterhubungan antara bahasa, ujaran dan pikiran. Menurut kaum mentalis, seorang manusia dipandang memiliki sebuah akal (mind) yang berbeda dari badan (body) orang tersebut. Artinya bahwa badan dan akal dianggap sebagai dua hal yang berinteraksi satu sama lain, yang salah satu di antaranya mungkin menyebabkan atau mungkin mengontrol peristiwaperistiwa yang terjadi pada bagian lainnya. Dalam kaitan dengan perilaku secara keseluruhan, pandangan ini berpendapat bahwa seseorang berperilaku seperti yang mereka lakukan itu bisa merupakan hasil perilaku badan secara tersendiri, seperti bernapas atau bisa pula merupakan hasil interaksi antara badan dan pikiran. Mentalisme dapat dibagi menjadi dua, yakni empirisme dan rasionalisme. Fenomena mentalistik yang dimaksud ialah proses berfikir yang dilakukan secara tidak sadar seperti pemerolehan bahasa pada anak-anak. Bahasa pada anak-anak didapat dari proses memperhatikan tata bahasa serta pembaharuan asli bahasa orangtuanya yang kermudian dia cocokkan rangkaian hipotesis tata bahasa tadi dengan ucapan-ucapan orangtuanya lalu ia apdukan dengan tata bahsa baru buatannya sendiri sebagai

tata bahasa tunggal. Pemerolehan bahasa oleh anak-anak dapat diketahui dengan mengadakan penelitian mengenai bahasa anak itu sendiri. Penelitina itu penting karena bahasa anak memang manarik untuk diteliti. Selain itu juga hasil penelitiannya pun dapat membantu mencari solusi pada aneka ragam masalah serta dari hasil penelitian itu pula jelaslah bahwa fenomena pemerolehan bahasa relevan bagi perkembangan teori linguistic. Walaupun demikian ditemukan pula adanya kesulitan-kesulitan dalam penelitian tersebut. Dari penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa meski agak jelas beda dalam permukaan struktur bahasa anak dengan orang dewasa, namun tidak begitu jelas hubungan komponen tata bahasa anak dengan tata bahasa orang dewasa.

Selain pemerolehan bahasa anak, bahasa sebagai satuan kognitif juga menerangkan bahwa bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi. Hubungan tersebut jelas sebab apabila kita ingin memandang miliki bahasa sebagai suatu ciri biologis manusia, maka haruslah kita menjelaskan bagaimana cara suatu system biologis seperti otak manusia dapat mewujukan kreativitas. Anggapan-anggapan kaum behavioris mengenai keterkaitan antara bahasa dengan pikiran, yang kemudian diikuti oleh argumen-argumen yang menentang anggapan tersebut. Namun, hanya dua anggapan yang paling penting yang disajikan. Dua anggapan lainnya hanya disarikan dan disajikan secara singkat. Anggapananggapan bahwa:(1) bahasa merupakan landasan bagi pikiran, (2) bahasa merupakan landasan utama bagi pikiran, (3) bahasa mempengaruhi pandangan, persepsi, dan pemahaman manusia mengenai dunia di sekelilingnya serta mengenai budaya tempat ia hidup memiliki argumen argumen yang kurang kuat. Buktibukti bahwa anak-anak yang belum bisa berbicara telah mampu memahami ujaran orang yang berbicara kepadanya, kenyataan bahwa orang tuli dapat memberi respons yang memadai terhadap orang yang berinteraksi dengannya, dan kenyataan bahwa multibahasawan hanya memiliki satu keyakinan dan pandangan hidup, serta kenyataan bahwa orang-orang yang memiliki bahasa yang sama memiliki persepsi yang berbeda mengukuhkan kelemahan argumen tersebut.

AWABAN PSIKOLINGUISTIK (Abdul Chaer)

BAB I PENDAHULUAN TUGAS DAN LATIHAN

1.

a. Jelaskan yang dimaksud dengan kajian bahasa secara internal dan secara eksternal! b. Mengapa diperlukan adanya kajian ilmu antardisiplin? Jelaskan! Jawab:

a. Kajian bahasa secara itnernal adalah kajian yang dilakukan terhadap struktur internal bahasa itu, mulai dari struktur fonologi, morfologi, sintaksis, sampai struktur wacana. Kajian secara eksternal adalah kajian yang berkaitan dengan hubungan bahasa itu dengan faktor-faktor atau hal-hal yang ada di luar bahasa, seperti faktor sosial, psikologi, etnis, seni, dan sebagainya.

b. Kajian ilmu antardisiplin diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan dalam kehidupan manusia yang semakin kompleks.

2.

a. Diskusikan dengan teman Anda mengapa istilah ilmu jiwa tidak dapat dipertahankan penggunaannya, sehingga harus diganti dengan istilah psikologi! b. Diskusikan dengan teman Anda konsep dasar tentang psikologi yang mentalistik, yang behavioristik, dan yang kognitifistik! Jawab: a. Istilah ilmu jiwa tidak dapat dipertahankan penggunaannya karena bidang ilmu ini memang tidak meneliti jiwa atau roh atau sukma, sehingga istilah itu kurang tepat. b. Psikologi yang mentalistik mencoba mengkaji proses-proses akal manusia dengan cara mengintrospeksi atau mengkaji diri. Psikologi yang behavioristik mencoba mengkaji perilaku manusia yang berupa reaksi apabila suatu rangsangan terjadi, dan selanjutnya bagaimana mengawasi dan mengontrol perilaku tersebut. Psikologi yang kognitifistik mencoba mengkaji proses-proses kognitif manusia secara ilmiah.

3.

a. Jelaskan tujuan utama seorang linguis mempelajari bahasa!

b. Diskusikan mengenai pembidangan linguistik berdasarkan beberapa kriteria pembidangan! c. Bagaimana hubungan linguistik dengan psikolinguistik? Diskusikanlah! Jawab: a. Seorang linguis mempelajari bahasa dengan tujuan utama untuk mengetahui secara mendalam mengenai kaidah-kaidah struktur bahasa, beserta dengan berbagai aspek dan segi yang menyangkut bahasa itu. b. Secara umum pembidangan linguistik itu terbagi tiga, yaitu: (1) Menurut objek kajiannya, yaitu linguistik mikro (struktur internal bahasa sebagai objek kajian) dan linguistik makro (kajian bahasa dalam hubungannya dengan faktor di luar bahasa). (2) Menurut tujuan kajiannya, yaitu linguistik teoretis (ditujukan untuk mencari atau menemukan teori-teori linguistik dan membuat kaidah-kaidah linguistik secara deskriptif) dan linguistik terapan (ditujukan untuk menerapkan kaidah-kaidah linguistik dalam kegiatan praktis). (3) Linguistik sejarah (mengkaji perkembangan dan perubahan suatu bahasa dan sejumlah bahasa) dan sejarah linguistik (mengkaji perkembangan ilmu linguistik baik mengenai tokoh-tokohnya, aliran-aliran teorinya, maupun hasil kerjanya). c. Linguistik dan psikologi sama-sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya.

4.

a. Bahasa dapat menjadi objek kajian linguistik dan dapat juga menjadi objek kajian psikologi. Coba jelaskan di mana letak perbedaannya! b. Mengapa dirasakan perlu adanya kajian bersama antara psikologi dan linguistik? Jelaskan! c. Coba diskusikan dengan teman Anda apa yang menjadi tujuan utama dari kajian psikolinguistik! d. Bantuan ilmu antardisiplin apalagi yang diperlukan untuk dapat menerangkan hakikat bahasa itu?

Jawab: a. Dalam linguistik objek kaliannya adalah struktur bahasa, sedangkan dalam psikologi yang dikaji adalah perilaku berbahasa atau proses berbahasa. b. Kajian bersama antara psikologi dan linguistik dirasakan perlu untuk mengkaji bahasa dan hakikat bahasa. Hal ini dikarenakan meskipun cara dan tujuannya berbeda, tetapi banyak jgua bagian-bagian objeknya yang dikaji dengan cara yang sama dan dengan tujuan yang sama, tetapi dengan teori yang berlainan. Hasil kajian kedua disiplin ini pun banyak yang sama, meskipun tidak sedikit yang berlainan. c. Tujuan utama dari kajian psikolinguistik secara teoretis adalah mencari satu bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya. d. Bantuan ilmu antardisiplin yang diperlukan untuk dapat menerangkan hakikat bahasa, antara lain neurofisiologi, neuropsikologis, neurolinguistik, dan sebagainya.

5.

a. Sebutkan dan jelaskan secara singkat mengenai subdisiplin dalam psikolinguistik!

b. Subdisiplin psikolinguistik mana yang sangat diperlukan bantuannya dalam pengajaran bahasa? Jelaskan! Jawab: a. (1) Psikolinguistik teoretis: membahas teori-teori bahasa yang berkaitan dengan proses-proses mental manusia dalam berbahasa. (2) Psikolinguistik perkembangan: berkaitan dengan proses pemerolehan bahasa, baik pemerolehan bahasa pertama maupun bahasa kedua. (3) Psikolinguistik sosial: berkenaan dengan aspek-aspek sosial bahasa. (4) Psikolinguistik pendidikan: mengkaji aspek-aspek pendidikan secara umum alam pendidikan formal di sekolah. (5) Psikolinguistik-Neurologi (Neuropsikolinguistik): mengkaji hubungan antara bahasa, berbahasa, dan otak manusia. (6) Psikolinguistik Eksperimen: meliputi dan melakukan eksperimen dalam semua kegiatan bahasa dan berbahasa pada satu pihak dan perilaku berbahasa dan akibat berbahasa pada pihak lain. (7) Psikolinguistik terapan: berkaitan dengan penerapan dari temuan-temuan enam subdisiplin psikolinguistik di atas ke dalam bidang-bidang tertentu yang memerlukannya. b. Subdisiplin psikolinguistik yang sangat diperlukan bantuannya dalam pengajaran bahasa adalah psikolinguistik pendidikan karena mengkaji aspek-aspek pendidikan secara umum dalam mengajar terutama pada pendidikan formal di sekolah. a. Psikolinguistik katanya terbentuk dari psikologi dan linguistik. Cobalah bicarakan dengan teman Anda mengenai pendapat para pakar mana yang menjadi induk dari psikolinguistik itu! b. Bagaimana tanggapan Anda mengenai masasalah tersebut? Jawab:

6.

a. Beberapa pakar berpendapat, psikolinguistik berinduk pada psikologi karena istilah itu merupakan nama baru dari psikologi bahasa (psyschology of language) yang telah dikenal beberapa waktu sebelumnya. b. Psikolinguistik memang berinduk pada psikologi karena psikologi seseorang akan mempengaruhinya dalam berbahasa.

7.

a. Bicarakanlah dengan teman Anda mengenai masalah-masalah yang menjadi pokok bahasan psikolinguistik! b. Pokok bahasan mana yang sangat berkatian dengan pembelajaran bahasa? Jelaskan! Jawab: a. Masalah-masalah yang mejadi pokok bahasan linguistik, antara lain: (1) Apakah sebenarnya bahasa itu? Apakah yang dimiliki oleh seseorang sehingga dia mampu berbahasa? Bahasa itu terdiri dari komponen-komponen apa saja? (2) Bagaimana bahasa itu lahir dan mengapa dia harus lahir? Di manakah bahasa itu berada atau disimpan? (3) Bagaimana bahasa pertama (bahasa ibu) diperoleh seorang kanak-kanak? Bagaimana perkembangan penguasaan bahasa itu? Di manakah bahasa kedua itu dipelajari? Bagaimanakah seseprang menguasai dua, tiga, atau banyak bahasa? (4) Bagaimana proses penyusunan kalimat atau kalimat-kalimat? Proses apakah yang terjadi di dalam otak waktu berbahasa? (5) Bagaimanakah bahasa itu tumbuh dan mati? Bagaimana proses terjadinya sebuah dialek? Bagaimana proses berubahnya suatu dialek menjadi bahasa baru? (6) Bagaimanakah hubungan bahasa dengan pemikiran? Bagaimana pengaruh kedwibahasaan atau kemultibahasaan dengan pemikiran kecerdasan seseorang? (7) Mengapa seseorang menderita penyakit atau mendapatkan gangguan berbicara (seperti afasia), dan bagaimana cara menyembuhkannya? (8) Bagaimana bahasa itu harus diajarkan supaya hasilnya baik? dan sebagainya.

Pokok bahasan yang sangat berkaitan dengan pembelajaran bahasa adalah mengenai bagaimana bahasa itu harus diajarkan supaya hasilnya baik. Hal ini dikarenakan pembelajaran bahasa dapat dicapai dengan baik jika cara mengajarkannya juga baik, sehingga penting untuk mengetahui cara mengajarkan suatu bahasa.

Psikolinguistik: Psikologi dan Linguistik


Secara umum, psikologi lazim diartikan sebagai bidang ilmu yang mempelajari perilaku manusia melalui pengkajian terhadap hakikat rangsangan, hakikat reaksi terhadap rangsangan tersebut, dan hakikat proses-proses akal yang terjadi sebelum reaksi dimaksud. Secara sederaha dapat dikatakan bahwa psikologi mengkaji perilaku manusia yang timbul akibat adanya rangsangan tertentu. Di dalam perilaku manusia ini termasuklah perilaku bahasa.

Tidak banyak yang diketahui ahli psikologi mengenai bahasa. Karena itulah, dalam memerikan perilaku bahasa manusia, mereka memerlukan analisis kebahasaan dari ahli-ahli lingusitik. Linguistik adalah cabang ilmu yang mempelajari hakikat dan struktur bahasa. Hakikat bahasa yang dimasudkan meliputi bahasa sebagai system bunyi, system yang arbitrer, system makna, dan sebagainya. Struktur bahasa yang dimaksudkan adalah fonem, morfem, dan kalimat. Linguistic tidak membahas perilaku bahasa manusia, dalam pengertian bagaimana bahasa dipahami (decoding) dan diproduksi (encoding) oleh manusia. Perilaku, secara spesifik, menjadi objek kajian psikologi. Karena itulah, dalam rangka memehami perilaku bahasa manusia, linguistic memerlukan analisis psikologi.

Sejarah Psikolingusitik
Pada tahun 1951, sebuah seminar diselenggarakan di Cornell University yang disponsori oleh The Social Science Research Council. Seminar ini menghadirkan 7 orang ahli psikologi dan linguistic, masingmasing: John Caroll, James Jenkins, George Miller, Charles Osgood (ahli psikologi), Joseph Grennsberg, Floyd Lounsbury, dan Thomas Sebeok (ahli linguistik). Pada tahun 1953, John Caroll bersama teman-teman dan sejumlah mahasiswanya mengadakan seminar psikolinguistik di Indiana University. Pada tahun 1954 terbit buku Psycholinguistics: A Survey of Theory and Research Problem. Inilah buku psikolinguistik pertama yang disunting oleh Charles Osgood (psikolog) dan Thomas Sebeok (linguis). Akar psikolinguistik sesungguhnya sudah terlihat pada awal abad ke-19 ketika Wilhelm von Humboldt, seorang ahli linguistic Jerman, mencoba mengkaji hubungan bahasa dengan pemikiran manusia. Dengan melakukan studi banding terhadap tata bahasa-tata bahasa yang berbeda, Humboldt sampai pada suatu kesimpulan bahwa tata bahasa suatu masyarakat menentukan pandangan hidup masyarakat penutur bahasa itu. Jejak langkah psikolinguistik menjadi lebih jelas lagi bila kita memperhatikan kategori-kategori bahasa yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure yang tertuang dalam konsep langue dan parole. Menurut Saussure, bahasa dalam konsep parole-lah yang menjadi objek kajian linguistic, sedangkan bahasa dalam wujud langue menjadi objek kajian psikologi. Edward Sapir , seorang ahli bahasa dan antropologi Amerika awal abad ke-20, juga telah mengkaji hubungan bahasa dan pemikiran manusia. Dia berkesimpulan bahwa struktur bahasa menentukan struktur pemikiran manusia. Jespersen, seorang ahli linguistic Denmark, mengungkapkan bahwa bahasa bukanlah sekedar entitas dalam pengertian satu benda, seperti seekor anjing atau tepian sebuah pantai. Bahasa adalah symbolsimbol di dalam otak manusia yang melambangkan dan membangkitkan pikiran.

Objek Psikolinguistik
Sebagaimana telah digambarkan pada uraian terdahulu, objek atau cakupan kajian psikolinguistik pada dasarnya merupakan gabungan dari objek kajian linguistic (bahasa) dan psikologi (gejala jiwa yang tercermin di dalam perilaku manusia). Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa objek kajian psikolinguistik sesungguhnya bahasa juga, yakni bahasa yang berproses di dalam jiwa manusia. Hasil perkerjaan seorang psikolinguis bukanlah deskripsi bahasa biasa, melainkan deskripsi bahasa yang berproses di dalam jiwa manusia . Proses ini tidak kelihatan; hanya hasil proses itu yang dapat diamati. Bahasa yang berproses di dalam jiwa manusia memiliki subkajian yang amat luas. Seperti diungkapkan Chaer (2002:8-9), hal itu mencakup: (1) Apakah sebenarnya bahasa itu ? Apa yang dimiliki seseorang sehingga dia mampu berbahasa ? Bahasa itu terdiri atas komponen-komponen apa saja ? (2) Bagaimana bahasa itu lahir ? Di manakah bahasa itu berada atau disimpan ? (3) bahasa kedua dipelajari ? (4) Bagaimanakah proses penyusunan kalimat ? Proses apakah yang terjadi di dalam otak manusia ketika dia berbahasa ? (5) Bagaimanakah hubungan bahasa dengan pikiran ? (6) Mengapa seseorang dapat menderita ngangguan berbicara (afasia) ? (7) Bagaimana bahasa harus diajarkan agar hasilnya baik ?

Hasil konferensi psikolinguistik di Mons, Belgia, pada tahun 1980 menjabarkan objek kajian psikolinguistik sebagai berikut: (1) proses bahasa dalam komunikasi dan pikiran (2) akuisisi bahasa (3) pola tingkah laku berbahasa (4) Asosiasi verbal dan persoalan makna (5) Proses bahasa pada orang yang abnormal (6) Persepsi ujaran dan kognisi

Betapa pun luas cakupan atau objek kajian psikolinguistik,dewasa ini psikolinguistik lebih diarahkan kepada pendidikan atau pembelajaran bahasa. Pendidikan dan pembelajaran bahasa ynag dimaksudkan di sini meliputi akuisisi bahasa, proses belajar bahasa pertama, kedua, dan juga belajar bahasa asing. Karena lebih diarahkan kepada pembelajaran bahasa, maka berbagai teori belajar yang berasal dari psikologi diarahkan untuk menguasai bahasa. Dari aktivitas inilah lahir teori belajar bahasa.

1. Psikologi dalam Linguistik

Dalam sejarahnya kajian linguistik ada sejumlah pakar linguistik yang menaruh perhatian besar pada psikologi.Diantara mereka yang diketengahkan adalah Wilhelm Von Humboldt, Ferdinand de Saussure, Edward Sapir, Leonard Bloomfield, dan Otto Jespersen. Von Humboldt (1767-1835), pakar linguistik berkebangsaan Jerman, telah mencoba mengkaji hubungan antara bahasa dengan pemikiran manusia. Caranya dengan membandingkan tata bahasa dari bahasa-bahasa yang berlainan dengan tabiat-tabiat bangsa-bangsa penutur bahasa itu. Ferdinand de Saussure (1858-1913), pakar linguistik berkebangsaan Swiss, telah berusaha menerangkan apa sebenarnya bahasa itu (linguistik), dan bagaimana keadaan bahasa itu di dalam otak (psikologi). Beliau memperkenalkan tiga istilah tentang bahasa yaitu langage (bahasa umumnya bersifat abstrak), Langue (bahasa tertentu yang bersifat abstrak), parole (bahasa sebagai tuturan konkret). Edward Sapir (1884-1939), pakar linguistik dan antropologi bangsa Amerika, telah mengikutsertakan psikologi dalam pengkajian bahasa. Menurut Sapir, psikolinguistik dapat memberikan dasar ilmiah yang kuat dalam pengkajian bahasa. Beliau juga mencoba mengkaji hubungan bahasa dengan pemikiran.Dari kajian itu beliau berkesimpulan bahwa bahasa terutama strukturnya merupakan unsur yang menetukan struktur pemikiran manusia. Leonard Bloomfield (1887-1949), pakar linguistik bangsa Amerika dalam usahanya menganalisis bahasa telah dipengaruhi oleh dua aliran psikologi yang saling bertentangan, yaitu mentalisme dan behaviorisme. Pada mulanya beliau menganalisis bahasa menurut prinsip-prinsip mentalisme yang sejalan dengan teori psikologi Wundt).Di sini beliau berpendapat bahwa berbahasa dimulai dari melahirkan pengalaman yang luar biasa, terutama sebagai penjelmaan dari adanya tekanan emosi yang sangat kuat.Kemudian, sejak tahun 1925, Bloomfield meninggalkan psikologi mentalisme Wundt, lalu menganut paham psikologi behaviorisme Watson dan Weiss.Beliau menerapkan teori psikologi behaviorisme dalam teori bahasanya yang kini dikenal sebagai linguistik structural atau linguistik taksonomi. Otto Jespersen, Pakar linguistik berkebangsaan Denmark, telah menganalisis bahasa menurut pikologi mentalistik yang juga sedikit berbau behaviorisme.Jespersen berpendapat bahwa bahasa bukanlah satu wujud dalam pengertian satu benda seperti sebuah meja atau seekor kucing melainkan merupakan satu fungsi manusia sebagai lambing-lambang di dalam otak yang melambangkan pikiran atau yang membangkitkan pikiran itu.Beliau juga berpendapat bahwa berkomunikasi haris dilihat dari sudut perilaku.

2. Linguistik dalam Psikologi Dalam sejarahnya perkembangan psikologi ada sejumlah pakar psikologi ada sejumlah pakar psikologi yang menaruh perhatian pada linguistik.Diantara mereka yang patut diketengahkan adalh John Dewey, Karl Buchler, Wundt, Watson, dan Weiss. John Dewey (1859-1952), pakar psikologi berkebangsaan Amerika, seorang empirisme murni. Beliau mengkaji behasa dan perkembangannya dengan cara menafsirkan analisis linguisti kanak-kanak berdasarkan prinsip-prinsip psikologi. Dengan cara inilah maka, berdasarkan prinsip-prinsip psikologi akan dapat ditentukan hubungan antara kata-kata adverbial dan preposisidistu pihak dengan kata-kata berkelas

nomina dan adjektiva dipihak lain. Jadi, dengan pengkajian kelas kata berdasarkan pemahaman kanak-kanak kita dapat menetukan kecendrungan akal (mental) kanak-kanak yang dihubungkan dengan perbedaanperbedaan linguistik. Pengkajian seperti ini, menurut Dewey akan memberikan bantuan yang besar kepada psikologi bahasa pada umumnya. Karl Buchler, pakar linguistik berkebanngsaan Jerman, Dalam bukunya Sprach Theorie (1934), beliau menyatakan bahwa bahasa manusia itu mempunyai tiga fungsi yang disebut Kungabe (kemudian disebut Ausdruck) Appell (yang sebelumnya disebut Auslosung), dan Darstellung. Yang dimaksud dengan Kungabe adalh tindakan komunikatif yang diwujudkan dalam bentuk verbal. Appell adalah permintaan yang ditujukan kepada orang lain. Sedangkan darstellung adalah penggambaran pokok masalah yang dikomunikasikan. Wundt (1832-1920) ahli psikologi berkebangsaan Jerman, orang pertama yang mengembangkan secara sistematis teori mentalistik bahasa.Beliau menyatakan bahwa bahasa adalah alat untuk melahirkan pikiran.Di samping itu, Wundt juga dikenal sebagai pengembang teori performansi bahasa (language performance).Teori ini didasarkan pada analisis psikologi yang dilakukannya terdiri dari dua aspek yaitu, 1.Fenomena luar yang berupa cipta bunyi, dan 2.Fenomena dalam yang berupa rentetan pikiran.Hal ini menujukkan bahwa analisis yang dibuat Wundt terhadap hubungan system fenomena linguistik (bahasa). Dengan kata lain, interaksi antara fenomena dalam akan dapat dipahami dengan lebih baik melalui pengkajian struktur bahasa. Watson (1878-1958) ahli psikologi behaviorisme berkebangsaan Amerika, Beliau menempatkan prilaku berbahasa sama dengan prilaku atau kegiatan lainnya, seperti makan, berjalan, dan melompat. Pada mulanya Watson hanya menghubungkan perilaku berbahasa yang implisit, yakni yang terjadi di dalam pikiran, dengan yang eksplisit, yakni yang berupa tuturan.Namun, kemudiandia telah menyamakan berbahasa itu dengan teori stimulus respons (S-R) yang dikembangkan oleh Pavlov. Weiss, ahli psikologi behaviorisme Amerika, Beliau mengakui adanya aspek mental dalam bahasa.Namun karena wujudnya tidak memiliki kekuatan bentuk fisik, maka terwujudnya itu sukar dikaji atau ditunjukkan.Oleh karena itu, Weiss lebih cenderung mengatakan bahwa bahasa itu sebagai satu bentuk prilaku apabila seseorang menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya.

3. Kerja sama Psikologi dan Linguistik Kerja sama secara langsung antara disiplin psikologi dan linguistik dimulai sejak 1860. Yaitu oleh Heyman Steinthal, seorang ahli psikologi yang yang beralih menjadi ahli linguistik, dan Moria Lazarus seorang ahli linguistik yang beralih menjadi ahli psikologi dengan menerbitkan sebuah jurnal yang khusus membicarakan masalah psikologi bahasa dari sudut linguistik dan psikologi. Menurut Steinthal, sebuah ilmu psikologi tidak mungkin dapat hidup tanpa sebuah ilmu bahasa. Juga dikatakannya bahwa satu-satunya jalan untuk masuk ke dalam akal manusia adalah melalui hukum-hukum asal bahasa dan bukan melalui pancaindra manusia. Kerja sama ini lebih erat dilakukanpada tahun 1901 di Jerman oleh Albert Thumb seorang ahli linguistik dengan Karl Marbe seorang ahli psikologi yang

memnerbitkan buku Experimentelle Untersuchungen iiber die Psychologishen Grundlagen der Sprachlichen ana logiebieldung sebagai hasil kerja samanya. Secara khusus Thumb dan Marbe telah melakukan kajian yang mendalam mengenai bahasa dengan cara melakukan kerjasama antara analisis linguistik dari analogi dengan analisis psikologi dari hubungan pertuturan bahasa. Dasar-dasar psikolinguistik menurut beberapa pakar di dalam buku yang disunting oleh Osgood dan Sebeok di atas adalah sebagai berikut: 1. Psikolinguistik adalah satu teori linguistik berdasarkan bahasa yang dianggap sebagai sebuah system elemen yang saling berhubungan. 2. Psikolinguistik adalah satu teori pembelajaran (menurut teori behaviorisme) berdasarkan bahasa yang dianggap sebagai satu system tabiat dan kemampuan kemampuan yang menghubungkan isyarat dengan perilaku. 3. Psikolinguistik adalah satu teori informasi yang menganggap bahasa sebagai sebuah alat untuk menyampaikan suatu benda. Perkembangan disiplin ilmu psikolinguistik telah merangsang Mehler dan Noizet (1974), menuliskan ada tiga generasi perkembangan psikolinguistik. 1. Psikolinguistik Generasi Pertama Ditandai oleh penulisan artikel Psycholinguistics : A Survey of Thery and Research Problems yang disunting oleh C. Osgoods dan Sebeok. Maka kedua tokoh ini dinobatkan sebagai tokoh psikolinguistik generasi pertama. Menurut Parera (1996) dalam Abdul Chaer generasi pertama memiliki tida kelemahan : a. Adanya sifat reaktif dari psikolinguistik tentang bahasa yang memandang bahwa bahasa bukanlah satu tindakan atau perbuatan manusiawi melainkan dipandang sebagai satu stimulus-respons. b. Psikolinguistik bersifat atomistik. Sifat ini nampak jelas ketika Osgoods mengungkapkan teori pemerolehan bahasa bahwa jumlah pemerolehan bahasa adalah kemampuan untuk membedakan kata atau bentuk yang berbeda, dan kemampuan untuk melakukan generalisasi. c. Bersifat individualis. Teorinya menekankah pada eprilaku berbahasa individu-individu yang terisolasi dari amsyarakat dan komunikasi nyata. 2. Psikolinguistik Generasi Kedua Psikologi generasi ini berpendapat bahwa dalam proses berbahasa bukanlah butir-butir bahasa yang diperoleh, melaikan kaidah dan sistem kaidahnya. Penggabungan antara Miller dan Chomsky merupakan penggabungan model linguistik tatabahasa yang relatif berbeda dengan proses psikologi. Tokoh fase ini lebih mengarah pada manifestasi ujaran sebagai bentuk linguistik. G.S. Miller dan Noam Chomsky menyatakan beberapa hal tentang psikolinguistik: a. Dalam komunikasi verbal, tidak semua ciri-ciri fisiknya jelas dan terang, dan tidak semua cirinya terang dalam ujaran. b. Makna sebuah tuturan tidak boleh dikacaukan dengan apa yang ditunjukkan. Makna adalah sesuatu yang sangat kompleks yang menyangkut antar hubungan simbol-simbol atau lambang-lambang

c. Struktur sintaksis sebuah kalimat terdiri atas satuan interaksi antara makna kata yang terdapat dalam kalimat tersebut. d. Jumlah kalimat dan jumlah makna yang dapat dinyatakan tidak terbatas jumlahnya.

e. Ada komponen biologis yang besar untuk menentukan kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa ini tidak tergantung pada intelegensi dan besarnya otak, melainkan bergantung pada manusia. 3. Psikolinguistik Generasi Ketiga Kekurangan analisis pada psikolinguistik generasi kedua kemudian diperbaharui oleh psikolinguistik generasi ketiga. G. Werstch dalam bukunya Two Problems for the New Psycholinguistics memberi karakteristik baru ilmu ini sebagai psikolinguistik baru. Beberapa ciri psiklonguistik generasi ketiga ini adalah : a. Orientasinya kepada psikologi, tetapi bukan psikologi perilaku. b. Keterlepasan mereka dari kerangka psikolinguistik kalimat, dan lebih mengarah pada psikolnguistik situasi dan konteks. c. Adanya pergeseran dari analisis proses ujaran yang abstrak ke satu analisis psikologis mengenai komunikasi dan pikiran.

Proses reseptif Proses dekode Begitu rangsang auditori masuk, formasi retikulum pada batang otak akan menyusun tonus untuk otak dan menentukan modalitas dan rangsang mana yang akan diterima otak. Rangsang tersebut diterima oleh talamus dan kemudian diteruskan ke area masingmasing korteks auditori pada girus Heschel. Sebagian besar signal saraf yang diterima oleh girus ini berasal dari telinga pada sisi berlawanan. Girus dan area asosiasi auditori memisahkan dan membedakan informasi bermakna yang masuk. Selanjutnya masukan linguistik yang sudah dikode akan dikirim ke lobus temporal kiri untuk diproses, sedangkan masukan paralinguistik (intonasi, tekanan, irama dan kecepatan) masuk ke lobus temporal kanan. Analisa linguistik dilakukan pada area Wernicke di lobus temporal kiri. Girus angular dan supramarginal akan membantu proses integrasi informasi visual, auditori dan raba serta perwakilan linguistik. Proses dekode dimulai dengan dekode fonologi berupa penerimaan unit suara melalui telinga. Dilanjutkan dengan dekode gramatika. Proses berakhir pada dekode semantik dengan pemahamn konsep atau ide yang disampaikan lewat pengkodean tersebut.

Proses ekspresif Proses encode Proses produksi berlokasi pada area yang sama pada otak. Struktur untuk pesan yang masuk ini diatur pada area Wernicke, pesan diteruskan melalui fasikulus arkuatum ke area Broca untuk penguraian dan koordinasi verbalisasi pesan tersebut. Signal kemudian melewati korteks motorik yang mengaktifkan otot-otot respirasi, fonasi, resonansi dan artikulasi. Ini merupakan proses aktif pemilihan lambang dan formulasi pesan. Proses enkode dimulai dengan enekode semantik yang dilanjutkan dengan enkode gramatika dan berakhir pada enkode fonologi. Keseluruhan proses enkode ini terjadi di otak pembicara. Terdapat proses transmisi

antara dekode dan enkode, yaitu pemindahan atau penyampaian kode atau disebut kode bahasa. Transmisi ini terjadi antara mulut pembicara dan telinga pendengar.

Kedua proses berbahasa ini disimpulkan sebagai proses komunikasi. Dalam proses belajar berbahasa, kedua kemampuan menggunakan bahasa reseptif dan ekspresif harus berkembang dengan baik.

Banding Beza Pandangan Ahli Teori Behavioris Perkara J.B.Watson Ivan P.Pavlov E.L.ThorndikePengkaji/pelopor teori Pengkaji pembelajaranemosi manusiaPelopor konseppelaziman klasikPelopor psikologi Amerika dalampelaziman operan Pendapat Manusia mewarisi 3emosi semulajadi iaitutakut, marah dan kasihsayangSetiap ransangan akanmenimbulkan gerak balasPembelajara cuba jayadan hukum penting Hasil kajian Emosi manusia/perubahannya adalahdipelajari melalui prosespelazimanPembelajaran bolehberlaku akibat kaitanantara ransangan dangerak balasPembelajaran bolehBerjaya secara cuba jaya dan pengulangan Eksperimenmelibatkanproses/hukum Proses pelaziman Proses pelazimanProses penghapusanProses pembelajaransemulaProses pemulihansemertaProses generalisasiProses diskriminasiHukum kesedianHukum latihanHukum kesan Kajiandijalankankeatas Seorang bayi berumur 9bulan, seekor tikus putihyang jinak dandentuman yang kuatSeekor anjing, loceng danmakananSeekor kucing, sangkar,selak dan makanan

BAB II PEMBAHASAN 2.1 HUBUNGAN BERBAHASA, BERPIKIR, DAN BERBUDAYA Menurut Abdul Chaer, (Psikolinguistik; 2002) Berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaaan dari orang yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya. Jadi, kita lihat berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia Berbahasa, dalam arti berkomunikasi, dimulai dengan membuat enkode semantic dan encode gramatikal didalam otak pembicara, dilanjutkan dengan membuat encode fonologi. Kemudian di lanjutkan dengan penyusunan decode fonologi, decode gramatikal, dan decide semantic pada pihak pendengar yang terjadi di dalam otaknya. Di sini tidak akan dijawab masalah itu, melainkan hanya akan dikemukakan pendapat sejumlah pakar.

Kemudian dicoba membuat konklusi atau komentar terhadap teori-teori mengenai masalah tersebut yang telah ada sejak abad yang silam. 2.1.1 Teori Wilhelm Von Humboldt Wilman helm Von Humboldt, sarjana jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan pemikir manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota masyarakat ini ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Maka dengan demikian dia akan menganut cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat bahasa lain. Mengetahui bahasa itu sendiri Von Humbolt berpendapat bahwa substansi bahasa itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa bunyi-bunyi, dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform, dan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideeform atau innereform. Jadi, bahasa menurut Von Humboldt merupakan sintese dari bunyi(lautform) dan pikiran (ideeform).

Dari keterangan itu bias disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan bentuk-luar, sedangkan pikiran adalah bentuk-dalam. Bentuk-luar bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan bentuk dalam-bahasa berada di dalam otak. Kedua bentuk inilah yangmembelenggu manusia, dan menentukan cara berpikirnya. Dengan kata lain, Von Humboldt berpendapat bahwa struktur suatu bahasa menyatakan kehidupan dalam( otak,pemikir) penutur bahasa itu.

2.1.2 Teori Sapir-Whorf Edward Sapir (1884-1939) linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama dengan Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah belas kasih bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Menurut sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian didirikan diatas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua buah bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili satu masyarakat yang sama. Benjamin Lee Whorf (1897-1941), murid sapir, menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan bahwa bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri. Sama halnya dengan Von Humboldt dan sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Sebagai contoh, whorf yang bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan kaleng kosong bekas minyak bisa meledak. Kata kosong digunakan dengan pengertian tidak ada minyak di dalamnya. Setelah meneliti bahasa hopi, salah satu bahasa Indian di California Amerika Serikat, dengan mendalam, whorf mengajukan satu hipotesis yang lazim disebut hipotesis Whorf (atau juga hipotesis Sapir-Whorf)

mengenai relatifitas bahasa. Menurut hipotesis itu, bahasa-bahasa yang berbedamembedah alam ini dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah satu relatifitas sistem-sistem konsep yang tergantung pada bahasa-bahasa yang beragam itu. Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan bahwa hidup dan pandangan hidup bangsabangsa di Asia Tenggara( Indonesia, Malaysia, Filipina, dan lain-lain) adalah sama karena bahasa-bahasa mereka mempunyai struktur yang sama. Sedangkan hidup dan pandangan hidup bangsa-bangsa lain seperti Cina, Jepang, Amerika, Eropa , Afrika, dan lain-lain adalah berlainan karena struktur bahasa mereka berlainan. Untuk memperjelas hal ini Whorf membandingkan kebudayaan Hopi di organisasi berdasarkan peristiwa-peristiwa(event) , sedangkan kebudayaan eropa diorganisasi berdasarkan ruang(space) dan waktu (time).

2.1.3 Teori Jean Piaget Berbeda dengan pendapat Sapir dan Whorf, Piaget, sarjana perancis, berpendapat justru pikiranlah yang membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa tidak aka nada. Pikiranlah yang menentukan aspek-aspek sintaksis dan leksikon bahasa: bukan sebaliknya. Piaget yang mengembangkan teori pertumbuhan kognisi (Piaget, 1962) menyatakan jika seseorang anakanak dapat menggolongkan sekumpulan benda-benda tersebut dengan menggunakan kata-kata yang serupa dengan benda-benda tersebut, maka perkembangan kognisi dapat diterangkan telah terjadi sebelum dia dapat berbahasa. Mengenai hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan intelek (pikiran) Piaget mengemukakan dua hal penting berikut: 1) Sumber kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa, tetapi dalam periode sensomotorik, yakni satu sistem skema, dikembangkan secara penuh, dan membuat lebih dahulu gambaran-gambaran dari aspekaspek struktur golongan-golongan dan hubungan-hubungan benda-benda(sebelum mendahului gambarangambaran lain) dan bentuk-bentuk dasar penyimpanan dan opersai pemakaian kembali. 2) Pembentukan pikiran yang tepat dikemukakan dan berbentuk terjadi pada waktu yang bersamaan dengan pemerolehan bahasa. Keduanya miliki suatu proses yang lebih umum, yaitu konstitusi fungsi lambing pada umumnya. Fungsi lambing ini mempunyai beberapa aspek. Awal terjadi fungsi lambing ini ditandai oleh bermacam-macam perilaku yang terjadi serentak dalam perkembangannya. Ucapan-ucapan bahasa pertama yang keluar sangat erat hubungannya dan terjadi serentak dengan permainan lambing, peniruan,dan bayangan-bayangan mental. Piaget juga menegaskan bahwa kegiatan intelek (pemikiran) sebenarnya adalah aksi dan perilaku yang telah dinuranikan dan dalam kegiatan-kegiatan sensomotor termasuk juga perilaku bahasa. Yang perlu di ingat adalah bahwa dalam jangka waktu sensormotor ini kekelan benda merupakan pemerolehan umum. 2.1.4 Teori L.S. Vygotsky

Vygotsky, sarjana bangsa Rusia, berpendapat adanya satu tahap perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran, dan adanya satu tahap perkembangan pikiran sebelum adanya bahasa. Kemudian, kedua garis perkembangan ini saling bertemu, maka terjadilah secara serentak pikiran berbahasa dan bahasa berpikir. Dengan kata lain, pikiran dan bahasa pada tahap permulaan berkembang secara terpisah, dan tidak saling mempengaruhi. Jadi, mula-mula pikian berkembang tanpa bahasa, dan bahasa mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu pada tahap berikutnya, keduanya bertemu dan bekerja sama, serta saling mempengaruhi. Begitulah anak-anak berpikir dengan menggunakan bahasa dan berbahasa dengan menggunakan pikiran. Menurut Vygotsky dalam mengkaji gerak pikiran ini kita harus mengkaji dua bagian ucapan dalam yang mempunyai arti yang merupakan aspek semantic ucapan, dan ucapan luar yang merupakan aspek fonetik atau aspek bunyi-ucapan. Penyatuan dua bagian atau aspek ini sangat rumit dan kompleks. Pikiran dan kata, menurut Vygotsky (1962:116) tidak dipotong dari satu pola. Struktur ucapan tidak hanya mencerminkan, tetapi juga mengubahnya setelah pikiran berubah menjadi ucapan.

2.1.5 Teori Noam Chomsky Mengenai hubungan bahasa dan pikiran Noam Chomsky mengajukan kembali teori klasik yang disebut Hipotesis nurani (Chomsky, 1957, 1965, 1968). Sebenarnya teori ini tidak secara langsung membicarakan hubungan bahasa dengan pemikiran, tetapi kita dapat menarik kesimpulan mengenai hal itu karena Chomsky sendiri menegaskan bahwa pengkajian bahasa membukakan perspektif yang baik dalam pengkajian proses mental (pemikiran) manusia. Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasadalam adalah nurani. Artinya, rumus-rumus itu di bawa sejak lahir. Pada waktu seorang anak-anak mulai mempelajari bahasa ibu, dia telah dilengkapi sejak lahir dengan satu peralatan konsep dengan struktur bahasa-dalam yang bersifat unifersal.

Sebelum ini ada pandanagan dari Von Humboldt yang tampak tidak konsisten. Pada satu pihak Von Humboldt menyatakan keragaman bahasa-bahasa di dunia ini mencerminkan adanya keragaman pandangan hidup (weltanschauung); tetapi dipihak lain beliau berpendapat bahwa yang mendasari tiaptiap bahasa manusia adalah satu system- universal yang menggambarkan keunikan intelek manusia. Karena itu, Von Humboldt juga sependapat dengan pandangan rasionalis yang mengatakan bahwa bahasa tidaklah dipelajari oleh anak-anak dan tidak pula di ajakan oleh ibu-ibu, melainkan tumbuh sendiri dari dalam diri anak-anak itu dengan cara yang telah ditentukan lebih dahulu (oleh alam) apabila keadaankeadaan lingkungan yang sesuai terdapat. Pandangan Von Humboldt yang tidak konsisten itu dapat diperjelas oleh teori Chomsky. Menurut Chomsky yang sejalan dengan pandangan rasionalis, bahasa-bahasa yang ada di dunia adalah sama( karena didasari oleh satu system yang universal) hanyalah pada tingkat dalamnya saja yang di sebut struktur-dalam(deep

structure), pada tingkat luar atau struktur luar (surface structure)bahasa-bahasa itu berbeda-beda. Hipotesis nurani berpendapat bahwa struktur-struktur dalam bahasa adalah sama. Struktur dalam setiap bahasa bersifat otonom; dank arena itu, tidak ada hubungannya dengan system kognisi (pemikiran) pada umunya termasuk kecerdasan.

2.1.6 Teori Eric Lenneberg Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan berfikir, Eric mengajukan teori mengajukan teori yang disebut Teori Kemampuan Bahasa Khusus (Lenneberg, 1964). Menurut Lenneberg banyak bukti yang menunjukkan bahwa manusia menerima warisan biologi asli berupa kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang khusus untuk manusia, dan yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan pemikiran. Bukti bahwa manusia telah dipersiapkan secara biologis untuk berbahasa menurut Leeneberg adalah sebagai berikut: 1) Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fonologi manusia, seperti bagian-bagian, otak tertentu yang mendasari bahasa. 2) Jadwal perkembangan bahasa yang sama berlaku bagi semua anak-anak normal. Semua anak-anak bias dikatakan mengikuti strategi dan waktu pemerolehan bahasa yang sama, yaitu lebih dulu menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi. 3) Perkembangan bahasa tidak dapat dihambat meskipun poda anak-anak yang mempunyai cacat tertentu seperti buta, tuli, atau memiliki orang tua pekak sejak lahir. Namun, bahasa anak-anak ini tetap berkembang dengan hanya sedikit kelambatan. 4) Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain. Hingga saat ini belum pernah ada makhluk lain yang mampu menguasai bahasa, sekalipun telah di ajar dengan cara-cara yang luar biasa. 5) Setiap bahasa, tanpa kecuali, didasarkan pada prinsip-prinsip semantic, sintaksis, dan fonologi yang universal. Jadi, terdapat semacam pencabangan dalam teori Leenneberg ini. Dia seolah-olah bermaksud membedakan perkembangan bahasa dari segi ontogenetis (pemerolehan bahasa oleh individu) dan dari segi filogenetis (kelahiran bahasa suatu masyarakat). Dalam hal ini pemerolehan bahasa secara ontogenetis tidak ada hubungannya dengan kognisi; sedangkan secara filogenetis kelahiran bahasa suatu masyarakat sebagiannya ditentukan oleh kemampuan bahasa nurani, dan sebagian lagi oleh kemampuan kognitif nurani, bukan bahasa yang lebih luas. Lenneberg dalam Teori Kemampuan Bahasa Khusus telah menyimpulkan banyak bukti yang menyatakan bahwa upaya manusia untuk berbahasa didasari oleh biologi yang khusus untuk manusia dan bersumber pada genetik tersendiri secara asal. Namun, dalam bukunya yang ditulis kemudian (1967), beliau mulai cenderung beranggapan bahwa bahasa dihasilkan oleh upaya kognitif, bukan linguistik yang lebih luas, sehingga menyerupai pandangan Piaget.

2.1.7 Teori Bruner Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan pemikiran, Bruner memperkenalkan teori yang disebutnya Teori Instrumentalisme. Menurut teori ini bahasa adalah alat pada manusia untuk mengembangkan dan menyempurnakan pemikir itu. Dengan kata lain, bahasa dapat membantu pemikiran manusia supaya dapat berpikir lebih sistematis. Dalam bidang pendidikan, implikasi teori Bruner ini sangat besar. Memang dalam hubungan inilah beliau ingin mengembangkan teori ini. Di samping adanya dua kecakapan yang melibatkan bahasa, yaitu kecakapan linguistic dan kecakapan komunikasi, teori Bruner ini juga memperkenalkan adanya kecakapan analisis yang dimiliki oleh setiap manusia yang berbahasa. Kecakapan analisis ini akan dapat berkembang menjadi lebih baik dengan pendidikan melalui bahasa yang formal karena kemampuan analisis ini hanya mungkin dikembangkan setelah seseorang mempunyai kecakapan komunikasi yang baik. 2.1.8 Kekontroversian Hipotesis Sapir-Whorf Teori-teori atau hipotesis-hipotesis yang dibicarakan di atas tampak cenderung saling bertentangan. Teori pertama dari Von Humboldt mengatakan bahwa adanya pandangan hidup yang bermacam-macam adalah karena adanya keragaman sistem bahasa dan adanya system bahasa dan adanya system unifersal yang dimiliki oleh bahasa-bahasa yang ada di dunia ini. Teori kedua dari Sapir-Whorf menyatakan bahwa struktur bahasa nenentukan struktur pikiran. Teori ketiga dari Piaget Menyatakan bahwa struktur pikiran di bentuk oleh perilaku, dan bukan oleh struktur bahasa. Struktur pikiran mendahului kemampuankemampuan yang dipakai kemudian untuk berbahasa. Teori keempat dari Vygotsky menyatakan bahwa pada mulanya bahasa dan pikiran berkembang sendiri-sendiri dan tidak saling mempengaruhi; tetapi pada pertumbuhan selanjutnya keduanya saling mempengaruhi; bahasa mempengaruhi pikiran dan pikiran mempengaruhi bahasa. Teori kelima dari Chomsky menyatakan bahwa bahasa dan pemikiran adalah dua buah system yang bersaingan yang memiliki keotonomiannya masing-masing. Pada tingkat struktur-dalam bahasa-bahasa di dunia ini sama karena di dasari oleh system unifersal; tetpi pada tingkat struktur-luar bahasa-bahasa itu berbeda-beda. Teori ke enam dari Lennerberg mengatakan bahwa manusia telah menerima warisan biologi ketika dilahirkan, berupa kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang khusus untuk manusia; dan tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa ini mempunyai korelasi yang rendah dengan IQ manusia. Teori ketujuh dari Bruner menyatakan bahwa bahasa adalah alat bagi manusia untuk berpikir, untuk menyempurnakan dan mengembangkan pemikirannya itu. Diantara teori atau hipotesis di atas barangkali hipotesis Sapir-Whorf-lah yang paling controversial. Hipotesis ini yang menyatakan bahwa jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya, banyak menimbulkan kritik dan reksi hebat dari para ahli filsafat,

linguistik, psikologi, psikolinguistik, sosiologi, antropologi dan lain-lain. Untuk menguji hipotesis Sapir-Whorf itu, Farb (1947) mengadakan penelitian terhadap sejumlah wanita jepang yang menikah dengan orang Amerika yang tinggal di San Fransisko, Amerika. Dari penelitian itu Farb menarik kesimpulan bahwa bahasa bukan menyebabkan perbedaan-perbedaan kebudayaan, tetapi hanya mencerminkan kebudayaan tersebut. Bahasa Jepang mencerminkan kebudayaan jepang, dan bahasa Inggris mencerminkan kebudayaan Inggris. Satu masalah lagi dari persoalan hubungan bahasa, pemikiran, dan kebudayaan ini adalah apa bedanya kebudayaan dengan pemikiran atau pandangan hidup (weltanschauung). Bukankah kebudayaan itu sama dengan pandangan hidup? Masalah ini sukar di jawab; para sarjana pun berbeda pendapat mengenai hal ini. Namun, satu hal yang tidak dapat disanggah oleh sipapun, bahwa kebudayaan adalah milik suatu masyarakat, sedangkan pemikiran adalah milik perseorangan. Anggota-anggota masyarakat yang memiliki pemikiran atau pandangan hidup yang berbeda. Beberapa uraian para ahli mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran antara lain: 1. Bahasa mempengaruhi pikiran Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangannya terhadap realitas. Pikiran dapat manusia terkondisikan oleh kata yang manusia digunakan. Tokoh yang mendukung hubungan ini adalah Benyamin Whorf dan gurunya, Edward Saphir. Whorf mengambil contoh Bangsa Jepang. Orang Jepang mempunyai pikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang mempunyai banyak kosa kata dalam mejelaskan sebuah realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas. 2. Pikiran mempengaruhi bahasa Pendukung pendapat ini adalah tokoh psikologi kognitif yang tak asing bagi manusia, yaitu Jean Piaget. Melalui observasi yang dilakukan oleh Piaget terhadap perkembangan aspek kognitif anak. Ia melihat bahwa perkembangan aspek kognitif anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakannya. Semakin tinggi aspek tersebut semakin tinggi bahasa yang digunakannya. 3. Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Hubungan timbal balik antara kata-kata dan pikiran dikemukakan oleh Benyamin Vigotsky, seorang ahli semantik berkebangsaan Rusia yang teorinya dikenal sebagai pembaharu teori Piaget mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua pendapat di atas banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi kognitif

Hipotesis Bahasa Menurut Sapir - Whorf Sudah kita ketahui bahwa kelebihan manusia adalah berfikir. Selama dekade terakhir ini ada perdebatan sengit antara bahasa dan pikiran. Ada yang berpendapat bahwa bahasa dan pikiran adalah suatu etentitas yang berdiri sendiri-sendiri. Sebagian lagi ada yang berpendapat bahwa bahasa dan pikiran tidak

bisa dipisahkan satu sama lain. Banyak orang yang mendukung mengenai pendapat kedua ini. Salah satu gagasan yang terkenal mengenai hubungan antara perbedaan bahasa (antara peta dan realit as) secara antarbudaya adalah hipotesis Sapir Whorf yang sering disebut tesis Whorfian.[1] Edward Sapir adalah seorang antropolog linguistik yang mengajar di Universitas Yale, Sapir berpendapat bahwa bahasa dan budaya tidak bisa dipisahkan seperti koin yang tidak bsia dipisahkan diantara kedua gambarnya. Bahasa <----------> Budaya Ilustrasi di atas menunjukan kaitan timbal balik antara bahasa dengan budaya. Budaya adalah sebuah realitas yang ditentukan dengan bahasa, dan bahasa adalah sesuatu yang diwariskan secara kultural. Namun demikian, Sapir lebih menekankan bahwa bahasa yang menjadi penentu cara persepsi kita akan kenyataan. Lebih lanjut, Sapir menegaskan pendapatnya dengan menyatakan, hilangkan komunitas sosial, maka individu tidak akan pernah dapat belajar untuk berbicara, artinya mengkomunikasikan ide sesuai dengan tradisi dari masyarakat tertentu. Sapir memandang bahwa kajian-kajian dalam Linguistik yang umumnya berkisar tentang pemahaman mengenai simbol, istilah atau terminologi Linguistik sebaiknya mulai beralih dan lebih terfokus kepada upaya memahami elemen-elemen bahasa yang menunjang terjadinya kesepahaman antara pengujar dan pendengar. Hal ini diperkuat oleh pendapat Sapir yang berbeda dengan Sausurre yang menyatakan bahwa bahasa itu ada sejauh penggunaannya. Dikatakan dan didengar, ditulis dan dibaca.[2] Sedangkan Benjamin L. Worf adalah seorang ahli penanggulangan ahli, yang dikenal Sapir lewat kuliahnya yang diikuti Whorf. Karena minatnya sangat besar dalam bahasa, maka Whorf pun melakukan penelitian, antara lain tentang bahasa Indian Hopi. Hipotesis Sapir Whorf menyatakan bahwa dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa dalam budaya kita. Kramsch (2001:11, 77) juga mengemukakan bahwa orang berbicara dengan cara yang berbeda karena mereka berpikir dengan cara yang berbeda. Mereka berpikir dengan cara yang berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia luar di sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula[3] Menurut Edward Sapir dan Benyamin Whorf, bahasa tidak saja berperan sebagai suatu mekanisme untuk berlangsungnya komunikasi, tetapi juga sebagai pedoman ke arah kenyataan sosial.[4] Dengan kata lain, bahasa tidak saja menggambarkan persepsi, pemikiran dan pengalaman, tetapi juga dapat menentukan dan membentuknya. Dengan arti lain orang-orang yang berbeda bahasa : Indonesia, Inggris, Jepang, China, Korea, dan lain sebagainya cenderung melihat realitas yang sama dengan cara yang berbeda pula. Implikasinya bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan aksen tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya penekanan, mempertajam, memperlembut, mengagungkan, melecehkan dan lain sebagainya[5]. Prinsip demikian tidak jauh berbeda dari pokok bahasan bidang studi sosiolinguistik (sosiologi bahasa) yang mempelajari hubungan antara struktur bahasa atau tindakan berujar (speech performance) dengan struktur sosial (dalam bentuk interaksi). Hubungan itu dapat dilihat sebagai berikut[6] :

1.

Bahasa dan cara berujar (speech) merupakan indikator atau petunjuk atau pencerminan ciri-ciri struktur sosial. Misalnya status sosial atau posisi kelas sosial dapat ditunjukkan dari penggunaan kata-kata dalam bahasa. Dengan cara analisis demikian kita dapat menentukan kedudukan individu dalam struktur sosial.

2.

Struktur sosial yang menentukan cara berujar atau perilaku bahasa. Dalam hal ini terjadi perubahanperubahan pada standar bahasa baku dan dialek dengan berubahnya konteks dan topik pembicaraan. Para peneliti membagi hipotesis Whorf menjadi dua bagian, yaitu :

1.

Determinisme Linguistik Bahasa memandang bahwa struktur bahasa mengendalikan pikiran dan norma norma budaya. Dengan arti lain manusia hanyalah sekedar hidup disuatu bagian kecil dunia yang dimungkinkan bahasa yang digunakannya. Jadi dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa yang diajarkan oleh budaya kita. Maka perbedaan bahasa mempresentasiakn juga perbedaan dasar dalam pandangan dunia berbagai budaya.

2.

Relativitas Linguistik Bahasa mengasumsikan bahwa karakteristik bahasa dan norma budaya saling mempengaruhi. Dengan arti lain, budaya dikontrol dan sekaligus mengontrol bahasa. Berdasarkan interpretasi ini bahasa menyediakan kategori-kategori konseptual yang mempengaruhi bagaimana persepsi penggunaannya dikode dan disimpan. Beberapa uraian para ahli dalam hipotesis ini adalah sebagai berikut :

1.

Bahasa Mempengaruhi Pikiran Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangan terhadap realitas. Pikiran dapat terkondisikan oleh bahasa yang digunakan manusia.

2.

Pikiran Mempengaruhi Bahasa Pendukung pendapat ini adalah Jean Peaget, yang meneliti kognitif anak. Ia melihat bahwa aspek koginit anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakan oleh anak

3.

Bahasa dan Pikiran Saling Mempengaruhi Hubungan timbal balik antara pikiran dan bahasa ditemukan oleh Benyamin Vigotski. Seorang ahli semantik yang memperbaharui penelitian Jean Piageat yang mengatakan bahwa bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Hal ini diterima oleh ahli kognitif.[7] b. Implikasi Hipotesis Bahasa Sapir Whorf Bahasa memberikan pandangan perseptual dan sekaligus memaksakan pandangan konseptual tertentu. Bahasa pula merupakan kacamata untuk melihat realitas budaya. Maka hipotesis bahasa Sapir Whorf mempunyai implikasi dari pada kebudayaan saat ini, diantaranya : 1. Jika suatu komunitas budaya menggunakan banyak kosakata untuk suatu hal atau suatu aktivitas, maka hal atau aktivitas tersebut adalah penting dalam komunikasi budaya tersebut. Misalnya : kata salju dalam budaya Eskimo diantaranya, Qana (salju yang sedang turun, serpihan salju), Akilukak (salju lunak), Aput (salju diatas tanah), Kaguklaich (salju yang tertiup angin membentuk jajaran dam Qinuqsuq (timbunan salju)

2.

Lebih dari cara mempengaruhi mempersepsi objek dan lingkungan kita, bahasa dan pikiran juga mempengaruhi tindakan kita. Misalnya : salah satu temuan menunjukkan bahwa orang Inggris menekankan waktu dan jumlah sedangkan pembicara orang Navaho menekankan ciri-ciri bentuk.

3.

Adanya hubungan yang erat antara bahasa dan pikiran adalah sebenarnya bahasa (lewat penciptaan katakata, istilah-istilah, dan julukan-julukan baru) dapat digunakan oleh suatu rezim atau sekelompok orang untuk merendahkan, mendiskriminasi dan menguasai kelompok orang lainnya. Misalnya : Orang Amerika menggunakan kata Negro untu kelompok yang berkulit hitam.

You might also like