You are on page 1of 24

MALPRAKTIK

PENGERTIAN HUKUM KESEHATAN

Perkembangan hukum disuatu Negara tidak dapat dilepaskan dari sistem hukum yang dianut di Negara tersebut. Menurut H.J.J. Leenen : Hukum kesehatan melipiti semua ketentuan yang langsung berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan dan penerapan hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi dalam hubungan tersebut. Demikian pula dengan penerapan pedoman internasional, hukum kebiasaan dan juris prudensi yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, hukum otonom, ilmu, literature menjadi sumber hukum kesehatan. Sedangkan Anggaran Dasar PERHUKI (Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia) menyebutkan kesehatan adalah : Semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan dan pelayanan kesehatan dan penerapan hak dan kewajiban baik perseorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggaraan pelayanan kesehatan salam segala aspek organisasi, sarana, pedoman-pedoman medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lainya, sedangkan yang dimaksud dengan hukum kedokteran adalah bagian dari hukum kesehatan yang menyangkut pelayanan medis.
PENGERTIAN MALPRAKTEK

Henry campell black memberikan definisi malpraktek sebagai berikut: Malpractice is professional misconduct on the part of a professional person such as physician, dentist, vetenarian, malpractice may be the result of skill or fidelity in the performance of professional duties, intentionally wrong doing or illegal or unethical practice. (Malpraktek adalah kesalahan dalam menjalankan profesi sebagai dokter, dokter gigi, dokter hewan. Malpraktek adalah akibat dari sikap tidak peduli, kelalaian, atau kurang keterampilan, kurang hati-hati dalam melaksanakan tugas profesi, berupa pelanggaran yang disengaja, pelanggaran hukum atau pelanggaran etika). Sedangkan veronica komalawati menyebutkan malpraktek pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter. Selanjutnya herman hediati koeswadji menjelaskan bahwa malpraktek secara hafiah diartikan sebagai bad practice atau praktik buruk yang berkaitan dengan penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandunf ciri-ciri khusus. Pasal 11 UU 6 /1963 tentang kesehatan menyatakan: dengan tidak mengurangi ketentuan dalam KUHP dan UU lain terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan administrative dalam hal sebagai berikut:
a. Melalaikan kewajiban b. Melakukan suatu hal yang tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kerja kesehatan mengingat sumpah jabatan maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan

c. Melanggar ketentuan menurut undang-undang ini. JENIS-JENIS MALPRAKTEK

Berpijak pada hakekat malpraktek adalan praktik yang buruk atau tidak sesuai dengan standar profesi yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-macam malpraktek yang dapat dipiah dengan mendasarkan pada ketentuan hukum yang dilanggar, walaupun kadang kala sebutan malpraktek secara langsung bisa mencakup dua atau lebih jenis malpraktek. Secara garis besar malprakltek dibagi dalam dua golongan besar yaitu mal praktik medik (medical malpractice) yang biasanya juga meliputi malpraktik etik (etichal malpractice) dan malpraktek yuridik (yuridicalmalpractice). Sedangkan malpraktik yurudik dibagi menjadi tiga yaitu malpraktik perdata (civilmalpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktek administrasi Negara (administrative malpractice).
1. Malpraktik Medik (medical malpractice)

John.D.Blum merumuskan: Medical malpractice is a form of professional negligence in whice miserable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or omission by defendant practitioner. (malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian professional yang menyebabkan terjadinya luka berat pada pasien / penggugat sebagai akibat langsung dari perbuatan ataupun pembiaran oleh dokter/terguguat). Sedangkan rumusan yang berlaku di dunia kedokteran adalah Professional misconduct or lack of ordinary skill in the performance of professional act, a practitioner is liable for demage or injuries caused by malpractice. (Malpraktek adalah perbuatan yang tidak benar dari suatu profesi atau kurangnya kemampuan dasar dalam melaksanakan pekerjaan. Seorang dokter bertanggung jawab atas terjadinya kerugian atau luka yang disebabkan karena malpraktik), sedangkan junus hanafiah merumuskan malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut lingkungan yang sama.
2. Malpraktik Etik (ethical malpractice)

Malpraktik etik adalah tindakan dokter yang bertentangan dengan etika kedokteran, sebagaimana yang diatur dalam kode etik kedokteran Indonesia yang merupakan seperangkat standar etika, prinsip, aturan, norma yang berlaku untuk dokter.
3. Malpraktik Yuridis (juridical malpractice)

Malpraktik yuridik adalah pelanggaran ataupun kelalaian dalam pelaksanaan profesi kedokteran yang melanggar ketentuan hukum positif yang berlaku. Malpraktik Yuridik meliputi: a. malpraktik perdata (civil malpractice0

Malpraktik perdata terjadi jika dokter tidak melakukan kewajiban (ingkar janji) yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter yang dapat dikatagorikan sebagai melpraktik perdata antara lain :
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan b. Melakukan apa yang disepakati dilakukan tapi tidak sempurna c. Melakukan apa yang disepakati tetapi terlambat d. Melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan

b. Malpraktik Pidana (criminal malpractice) Malpraktik pidana terjadi, jika perbuatan yang dilakukan maupun tidak dilakukan memenuhi rumusan undang-undang hukum pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa perbuatan positif (melakukan sesuatu) maupun negative (tidak melakukan sesuatu) yang merupakan perbuatan tercela (actus reus), dilakukan dengan sikap batin yang slah (mens rea) berupa kesengajaan atau kelalauian. Contoh malpraktik pidana dengan sengaja adalah :
a. Melakukan aborsi tanpa tindakan medik b. Mengungkapkan rahasia kedi\okteran dengan sengaja c. Tidak memberikan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan darurat d. Membuat surat keterangan dokter yang isinya tidak benar e. Membuat visum et repertum tidak benar f. Memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan dalan kapasitasnya sebagai ahli

Contoh malpraktik pidana karena kelalaian:


a. Kurang hati-hati sehingga menyebabkan gunting tertinggal diperut b. Kurang hati-hati sehingga menyebabkan pasien luka berat atau meninggal

c. Malpraktik Administrasi Negara (administrative malpractice) Malpraktik administrasi terjadi jika dokter menjalankan profesinya tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum administrasi Negara. Misalnya:
a. Menjalankan praktik kedokteran tanpa ijin b. Menjalankan praktik kedokteran tidak sesuai dengan kewenangannya c. Melakukan praktik kedokteran dengan ijin yang sudah kadalwarsa. d. Tidak membuat rekam medik. ATURAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA YANG BERKAITAN DENGAN MALPRAKTIK

1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan

2. Pasal 359 360 KUHP Pidana Pasal 359 KUHP Barang siapa karena kesalahan (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun Pasal 360 KUHP (1) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka bert, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun (2) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjadikan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertemtu, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah. 3. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Sumber : http://paradipta.blogspot.com/2011_02_01_archive.html

2.2.1 Definisi Malpraktik dari Segi Medik dan Hukum Kata malpraktik berasal dari kata ''mal'' yang berarti buruk dan ''praktik'' yang berarti pelaksanaan profesi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, malpraktik diartikan sebagai praktik kedokteran yang dilakukan salah atau tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik. Malpraktik merupakan suatu tindakan medik yang dilakukan tidak memenuhi standar medik yang telah ditentukan maupun standar operasional prosedur, baik dengan sengaja maupun karena kelalaian berat yang membahayakan pasien dan mengakibatkan kerugian yang diderita oleh pasien.1,3 Hayat berpendapat bahwa malpraktik oleh dokter adalah: 3 a. kegagalan dokter atau ahli bedah mengerahkan dan menggunakan pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya sampai pada tingkat yang wajar, seperti biasanya dimiliki para rekannya dalam melayani pasien; b. atau kegagalannya dalam menjalankan perawatan serta perhatian (kerajinan, kesungguhan) yang wajar dan lazim dalam pelaksanaan ketrampilannya serta penerapan pengetahuannya; c. atau kegagalannya dalam mengadakan diagnosis terbaik dalam menangani kasus yang dipercayakan kepadanya;

d. atau kegagalannya dalam memberikan keterampilan merawat serta perhatian yang wajar dan lazim seperti biasanya dilakukan oleh para dokter atau ahli bedah di daerahnya dalam menangani kasus yang sama. Dalam Blacks Law Dictionary dikemukakan bahwa dalam mengartikan malpraktik oleh seorang dokter harus dipenuhi beberapa syarat yaitu: 3 a. Adanya hubungan dokter dan pasien. b. Kehati-hatian standar yang dapat dipakai dalam pelanggarannya. c. Kerugian yang dapat dituntut ganti rugi. d. Suatu hubungan kausal antara pelanggaran kehati-hatian dan kerugian yang diderita. Menurut Coughlin's Dictionary of Law, Malpractice is professional misconduct on the part of a professional person, such as physician, engineer, lawyer, accountant, dentist, veterinarian. Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of professional duties; intentional wrong doing or illegal or unethical practice. Terjemahan bebasnya yaitu, Malpraktik adalah sikap-tindak profesional yang salah dari seorang profesional, seperti dokter, insinyur, sarjana hukum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan. Malpraktik bisa sebagai akibat ketidaktahuan, kelalaian, atau kekurangan pengetahuan atau kesetiaan dalam pelaksanaan tugas-tugas profesional; kesalahan berbuat yang disengaja atau praktik yang tidak etis. 4 Malpraktik medik menurut World Medical Association (1992) adalah Medical malpractice involves the physician's failure to conform to the standard of care for treatment of the patient's condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient''. Berdasarkan hal itu dirumuskan kata malpraktik medik yang untuk pembuktiannya harus memenuhi empat kriteria yaitu 4 D: duty, deriliction of duty, damages, dan direct cause. Untuk menyatakan seorang dokter melakukan malpraktek medik maka di pengadilan harus terbukti keempat unsur tersebut dan tidak hanya berdasarkan somasi pengacara atau laporan pengaduan pasien saja.2,3,4 Sementara itu, Ikatan Dokter Indonesia menegaskan dokter bisa disebut melakukan malpraktik apabila melanggar prosedur standar. Prosedur standar sebelum melakukan tindakan medik, yaitu melakukan informed consent, memberi penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan termasuk risikonya, serta meminta persetujuan pasien atau keluarganya. Selain itu, menanyakan obat apa saja

yang diminum dalam waktu dekat untuk mengetahui adanya obat yang bisa berinteraksi dengan obat anestesi. Jika ada keraguan, darah pasien perlu diperiksa untuk mengetahui adanya sisa obat.5 Definisi malpraktik masih beragam tergantung dari sudut pandang mana malpraktik itu dinilai apakah dari sudut pandang hukum ataukah dari segi medik sendiri. Ada kalanya tindakan seorang dokter dikategorikan malpraktik medik jika memberikan pelayanan di bawah, atau yang bertentangan dengan standar pelayanan medik yang berlaku, melakukan kelalaian berat sehingga membahayakan pasien, atau mengambil tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.5,6 Malpraktik juga menunjuk pada tindakan-tindakan secara sengaja dan melanggar undangundang terkait, misalnya UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan.1,5 2.2.2 Jenis-jenis Malpraktik Medik Ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum, malpraktik dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu: 5,6 a. Malpraktik Etik Malpraktik etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Etika Kedokteran yang dituangkan di dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan, atau norma yang berlaku untuk dokter. Malpraktik ini merupakan dampak negatif dari kemajuan teknologi, yang bertujuan memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosis dengan cepat, lebih tepat, dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan. Contoh di bidang diagnostik misalnya pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti, namun karena laboratorium memberikan janji untuk memberikan hadiah kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut. Sementara di bidang terapi, berbagai perusahaan menawarkan antibiotik kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau mengunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien.6

Albert R. Jonsen dkk, menganjurkan empat hal yang harus selalu digunakan sebagai pedoman bagi para dokter untuk mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral, yakni menentukan indikasi medisnya, mengetahui apa yang menjadi pilihan pasien untuk dihormati, mempertimbangkan dampak tindakan yang akan dilakukan terhadap mutu kehidupan pasien serta mempertimbangkan hal-hal kontekstual yang terkait dengan situasi kondisi pasien, misalnya aspek sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan sebagainya.6,7 b. Malpraktik Hukum Malpraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam tiga kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar sebagai berikut: 7-9 1) Malpraktik Pidana (Criminal Malpractice) Perbuatan seseorang dimasukkan dalam kategori malpraktik pidana jika perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness), atau kealpaan (negligence). Malpraktik pidana yang bersifat kesengajaan (intensional): a) Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi: (1) Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahuluj diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah. (2) Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu. b) Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP mengatakan:

Seorang

wanita

yang

sengaja

menggugurkan

atau

mematikan

kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. c) Pasal 348 KUHP menyatakan: (1) Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (2) Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. d) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan, atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.

e) Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi: (1) Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. (2) Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun. (3) Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (4) Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. (5) Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Malpraktik pidana yang bersifat kecerobohan (recklessness)

misalnya melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan standar profesi atau melakukan tindakan medik tanpa persetujuan pasien.

a) Pasal 347 KUHP menyatakan: (1) Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (2) Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun. b) Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan. Malpraktik pidana yang bersifat kelalaian (negligence) misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran. a) Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati: Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. b) Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat: (1) Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. (2) Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah. c) Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula. Pasal 361 KUHP menyatakan:

Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya diumumkan. Pertanggungjawaban didepan hukum pada malpraktik kriminal adalah bersifat individual / personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit / sarana kesehatan. 2) Malpraktik Perdata (Civil Malpractice) Seorang dokter akan disebut melakukan malpraktik sipil apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati. Tindakan dokter yang dapat dikategorikan malpraktik sipil antara lain: a) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan. b) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya. c) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna. d) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan. Pertanggungjawaban malpraktik perdata dapat bersifat individual atau korporasi serta dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit / sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (dokter) selama dokter tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya. Dasar hukum malpraktik sipil adalah transaksi dokter dengan pasien, yaitu hubungan hukum dokter dan pasien, di mana dokter bersedia memberikan pelayanan medis kepada pasien dan pasien bersedia membayar honor kepada dokter tersebut. Pasien yang merasa dirugikan berhak menggugat ganti rugi kepada dokter yang tidak melaksanakan kewajiban kontraknya dengan melaksanakan kesalahan professional.

Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian dokter, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsur, yaitu: a) Dengan adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien. b) Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan. c) Pengugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya. d) Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar. Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi res ipsa loquitor yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter, terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien. Akibat tertinggalnya kain kasa di perut pasien tersebut, timbul komplikasi paska bedah, sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam hal demikian dokterlah yang harus membuktikan tidak ada kelalaian pada dirinya. 3) Malpraktik Administratif Dokter dikatakan telah melakukan malpraktik administratif manakala dokter tersebut telah melanggar hukum administrasi. Dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi dokter untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban dokter. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi. 2.2.3 Kriteria dan Unsur Malpraktik Medik Untuk menembus kesulitan dalam menilai dan membuktikan apakah suatu perbuatan itu termasuk kategori malpraktik atau tidak, biasanya dipakai empat kriteria, antara lain: 10 a. Apakah perawatan yang diberikan oleh dokter cukup layak (aduty of due care). Dalam hal ini standar perawatan yang diberikan oleh pelaksana kesehatan dinilai apakah sesuai dengan apa yang diharapkan.

b. Apakah terdapat pelanggaran kewajiban (the breach of the duty). c. Apakah itu benar-benar merupakan penyebab cidera (causation). d. Adanya ganti rugi (damages). Para dokter dianggap melakukan suatu kesalahan profesi (malpraktek) apabila dalam menjalankan profesinya tidak memenuhi Standar Profesi Kedokteran, hal ini disebut juga kunstfout.10,11 Standar Profesi Kedokteran menurut rumusan Leneen: 11 a. Berbuat secara teliti atau seksama dikaitkan dengan culpa (kelalaian). Bila seorang dokter yang bertindak onvoorzichteg, (tidak teliti, tidak berhati-hati) maka ia memenuhi unsur kelalaian; bila ia sangat tidak berhati-hati ia memenuhi culpa lata. b. Sesuai ukuran ilmu medik. c. Kemampuan rata-rata dibanding kategori keahlian medik yang sama. d. Situasi dan kondisi yang sama. e. Sarana upaya yang sebanding atau proporsional dengan tujuan konkrit tindakan atau perbuatan tersebut. Apabila ada dugaan malpraktik yang dilakukan oleh dokter maka kelima unsur dari standar ini harus dipakai untuk menguji apakah suatu perbuatan medik merupakan malpraktek atau tidak.11 Hukum Kedokteran mengenal empat unsur malpraktik medik, yaitu: 12 a. Adanya duty (kewajiban) yang harus dilaksanakan; b. Adanya dereliction (breach) of that duty (penyimpangan kewajiban); c. Terjadinya damaged (kerugian); d. Terbuktinya direct causal relationship (berkaitan langsung) antara pelanggaran kewajiban dengan kerugian. Apabila ada dugaan malpraktik medik maka harus dapat dibuktikan adanya keempat unsur di atas yang dilakukan dokter dalam menangani pasien. Dalam pembuktian itu dipakai lima unsur standar profesi kedokteran yang dirumuskan Leneen.11,12

2.1.4 Pembuktian Pidana Kasus Malpraktik Medik Terdapat perbedaan penting antara perbuatan pidana biasa dan perbuatan pidana di bidang medik. Pada perbuatan pidana biasa yang terutama diperhatikan adalah

akibatnya, sedangkan perbuatan pidana di bidang medik yang terpenting bukanlah akibatnya, tetapi kausanya. Tanpa unsur kelalaian atau kealpaan ataupun bisa saja kesengajaan, dokter tidak dapat dipersalahkan.13 Pada tahap pembuktian akan dilakukan identifikasi untuk menilai apakah seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana benar-benar terbukti atau tidak. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP terdapat larangan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman kecuali jika didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang dengan itu hakim dapat mempunyai keyakinan bahwa suatu perbuatan pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukan. Apabila kasus itu ternyata benar secara kode etik, maka masalahnya selesai. Namun bila terjadi pelanggaran, maka diberikan peringatan. Kalau memang badan independen menilai bahwa kasus tersebut malpraktik dan melanggar hukum, maka bisa saja diserahkan ke peradilan umum pidana.12,13 Ketidakseragaman pengertian malpraktik medik sangat berpengaruh dalam proses pembuktian kasus malpraktek itu sendiri. Apalagi dikaitkan dengan beban pembuktian untuk kasus malpraktik itu sendiri dan sistem pembuktian yang dianut di Indonesia. Fakta tersebut di atas yang menjadi kendala dalam pembuktian kasus malpraktik, di antaranya adalah beban pembuktian biasa yang diatur dalam KUHAP mengingat pembuktian kasus malpraktik ini membutuhkan pengetahuan dan keahlian khususnya menyangkut dunia kedokteran itu sendiri.13

2.1.5 Sistem Pembuktian dan Beban Pembuktian Kasus Malpraktik Medik Beberapa sistem pembuktian kasus malpraktik medik sebagai berikut: a. Dasar pembuktian menurut keyakinan hakim semata-mata (conviction-in time). Artinya jika dalam pertimbangan keputusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani atau sifat bijaksana seorang hakim, maka dapat dijatuhkan putusan.8 b. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis (conviction- raisonee). Menurut teori ini hakim dalam memakai dan menyebutkan alasan-alasan untuk mengambil keputusannya, sama sekali tidak terikat pada alat-alat bukti sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang, melainkan hakim secara bebas diperkenankan memakai alat-

alat bukti lain, asalkan semuanya itu dilandaskan alasan-alasan yang tetap menurut logika.14 c. Sebagaimana yang dianut dalam Pasal 183 KUHAP, Indonesia menganut sistem pembuktian yang disebut sistem pembuktian berdasar pada undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijstheori), yaitu sistem pembuktian yang didasarkan cara membuktikan berganda, yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-undang.15 d. Kebalikan dari sistem pembuktian negatief wettelijk bewijstheori, yaitu sistem pembuktian positif yaitu pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yaitu alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang maka terdakwa tersebut dinyatakan bersalah dan harus dipidana.15 Indonesia menganut sistem pembuktian undang-undang secara negatif yang mempunyai maksud sebagai berikut: 16 a. Untuk mempersalahkan seorang terdakwa (tertuduh) diperlukan suatu minimum pembuktian, yang ditetapkan dalam undang-undang. b. Namun demikian, biarpun bertumpuk-tumpuk, melebihi minimum yang ditetapkan dalam undang-undang tadi, jikalau hakim tidak berkeyakinan tentang kesalahan terdakwa ia tidak boleh mempersalahkan dan menghukum terdakwa tersebut. Berdasarkan dari uraian di atas, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen: 9 a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, b. Keyakinan hakim juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam pembuktian kasus malpraktik, apabila ada unsur pidana maka diselesaikan dalam suatu proses pemidanaan. Dalam UU Kesehatan tidak diatur mengenai beban pembuktian, maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara yang tercantum dalam KUHAP. Hal ini berarti beban pembuktiannya adalah beban pembuktian yang dianut oleh KUHAP, yaitu beban pembuktian biasa di mana yang harus membuktikan seorang terdakwa bersalah atau tidak adalah Jaksa Penuntut Umum. Hal ini sebagaimana terdapat juga dalam Pasal 66 KUHAP yang

menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Akan tetapi, ada beberapa permasalahan apabila menggunakan beban pembuktian biasa:10,15

a. Untuk membuktikan bahwa seorang dokter bersalah karena telah lalai atau sengaja melukai bahkan membunuh pasiennya, maka dibutuhkan pembuktian yang secara teknis. b. Akibat perlunya pembuktian teknis tersebut maka akan dibutuhkan pendapat saksi ahli yang tentu saja akan berasal dari profesi kedokteran juga. Masalahnya organisasi profesi para dokter sangat kuat, yaitu IDI, sehingga seorang dokter tidak akan memberikan pendapat yang akan merugikan dokter lainnya. Untuk beban pembuktian biasa ini maka perlu diingat adanya asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), bahwa seorang yang diadili wajib dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan di depan hakim.10,15

2.1.6 Kendala Pembuktian Kasus Malpraktik Medik Penyidik (polisi) menyatakan bahwa untuk dapat membawa suatu kasus malpraktik ke tingkat Peradilan Umum pidana harus ada putusan dari Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) terlebih dahulu bahwa kasus tersebut telah mengandung unsur kriminal (tergolong sebagai culpa lata atau kelalaian yang serius) dan bukan pelanggaran etik profesi semata. Dengan adanya putusan dari MKEK terlebih dulu maka penyidik memberikan keterangan bahwa hal tersebut akan mempermudah dalam melakukan pembuktian di persidangan nantinya.17 Wewenang untuk membuktikan adanya malpraktik atau tidak dinyatakan bukan sebagai tugas kepolisian tetapi merupakan wewenang MKEK di bawah IDI. Setiap kasus malpraktik pertama-tama ditangani oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), jika kemudian ada unsur kriminal baru diserahkan pada pihak kepolisian untuk diproses. Dalam hal ini MKEK hanya memutuskan persoalan etika profesi kedokteran, mengingat kapasitasnya yang bukan merupakan lembaga pengadilan medik yang berwenang secara hukum untuk memutuskan apakah suatu kesalahan diagnosis adalah tergolong malpraktik medik. MKEK hanya bisa memberikan pernyataan apakah seorang dokter yang melakukan kesalahan diagnosis telah melakukan tindakan medik sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau

belum, dalam hal ini berdasar pada UU Kesehatan, KODEKI, dan Standar Profesi Kedokteran.17 Untuk prosedur penyelesaian dugaan kasus malpraktik yang lain adalah langsung diproses melalui Peradilan Umum pidana tanpa harus melalui MKEK terlebih dulu. Hanya saja masalah penegakan hukum dalam kasus malpraktik, sangat erat kaitannya dengan unsur penegakan hukum itu sendiri. Di dalam Undangundang Praktik Kedokteran, dokter memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. Hal yang sering menjadi kendala yang ada pada penegak hukum terletak pada kurangnya ilmu dan pengetahuan medik. Tetapi hal ini bisa diatasi dengan adanya saksi ahli. Tanpa bekal ilmu dan pengetahuan medik, mustahil kiranya penegak hukum bisa memahami dan mengerti keterangan ahli.17 Hal lain yang menjadi masalah dalam penegakan hukum ini adalah birokrasi atau prosedur yang berlaku pada profesi kedokteran, yang berkaitan dengan berkas catatan tentang pelayanan medik atau Rekam Medik (RM). Kesulitan untuk memperoleh rekaman medik tersebut berbenturan dengan kewajiban dokter terhadap pasien yang tercantum dalam Pasal 13 Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang menyatakan bahwa setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia dan juga dalam Sumpah Dokter yang mengikrarkan akan merahasiakan segala sesuatu yang diketahui karena pekerjaan dan keilmuan sebagai dokter, sehingga seringkali tidak membantu usaha penegakan hukum.17 Pada dasarnya kasus malpraktik tergolong delik pidana biasa yang dapat dijerat dengan Pasal 89, 351, 359, 360, 361 KUHP, sehingga ada atau tidaknya aduan dari masyarakat, kepolisian harus memeriksa kasus malpraktik sesuai dengan hukum acara pidana yang tercantum dalam KUHAP. Namun, pada prakteknya terdapat perbedaan prosedur penanganan dugaan kasus malpraktek sebelum dibawa ke pengadilan yaitu pertama, harus melewati MKEK terlebih dulu dan kedua, dapat dibawa langsung ke pengadilan untuk diproses.17

2.2.4 Kelalaian Medik Tuntutan terhadap dokter, pada umumnya dilakukan oleh pasien yang merasa tidak puas terhadap pengobatan atau pelayanan medik yang dilakukan oleh dokter yang

merawatnya. Ketidakpuasan tersebut terjadi karena hasil yang dicapai dalam upaya pengobatan tidak sesuai dengan harapan pasien dan keluarganya. Hasil upaya pengobatan yang mengecewakan pasien, seringkali dianggap sebagai kelalaian atau kesalahan dokter dalam melaksanakan profesinya.4 Hariyani (2005) mengemukakan bahwa dalam kaitan hubungan antara pasien dan dokter, penyebab dari ketidakpuasan tersebut pada umumnya karena kurangnya komunikasi antara dokter dengan pasiennya, terutama terkait masalah informed consent. Perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dokter dan pasien oleh Hariyani disebut dengan istilah sengketa medik. Beberapa unsur dari persetujuan tindakan medik yang sering dikemukakan pasien sebagai alasan penyebab sengketa medik ini adalah: 4,12 a. Isi informasi (tentang penyakit yang diderita pasien) dan alternatif yang bisa dipilih pasien tidak disampaikan secara jelas dan lengkap. b. Saat memberikan informasi seyogyanya sebelum terapi mulai dilakukan, terutama dalam hal tindakan medik yang beresiko tinggi dengan kemungkinan adanya perluasan dalam terapi atau tindakan medik. c. Cara menyampaikan informasi tidak memuaskan pasien, karena pasien merasa bahwa dirinya tidak mendapatkan informasi yang jujur, lengkap dan benar yang ingin didapatkannya secara lisan dari dokter yang merawatnya. d. Pasien merasa tidak diberi kesempatan untuk menentukan pilihan atau alternatif pengobatan yang telah dilakukan terhadap dirinya, sehingga hak pasien untuk menentukan dirinya sendiri (self determination) diabaikan oleh dokter. e. Kadang-kadang pasien hanya mendapatkan informasi dari perawat (paramedik), padahal menurut hukum yang berhak memberikan informasi adalah dokter yang menangani pasien tersebut. Kelalaian medik, atau yang biasa dikenal dengan istilah medical negligence, merupakan suatu istilah yang sering digunakan dalam menunjukkan kegagalan melakukan pelayanan yang adekuat oleh dokter, rumah sakit ataupun penyedia layanan kesehatan lainnya. Istilah ini sering disalahartikan dengan malpraktik medik. Selama akibat dari kelalaian ini tidak membawa kerugian atau mencederai orang lain, maka tidak ada akibat hukum yang dibebankan kepada orang tersebut, karena hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (de minimus not

curat lex, the law does not concern itself with trifles). Kelalaian yang terkena sanksi sebagai akibat hukum yang harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku, bila kelalaian ini sudah menyebabkan terjadinya kerugian baik kerugian harta benda maupun hilangnya nyawa atau cacat pada anggota tubuh seseorang.4 Menurut Blacks Law Dictionary, kelalaian didefenisikan sebagai

Negligence is the omission to do something which the reasonable man, guided by those ordinary consideration which ordinarily regulated human affair, would do or the doing of something which a reasonable and prudent man would not do. Negligence is a failure to use such care as a reasonably prudent and careful person would use under the similar circumstances; it is the doing of some act which a person of ordinary prudence would not have done under the similar circumstances or failure to do what a person of ordinary prudence would have done under the similar circumstances.1 Berdasarkan Yurisprudensi Keputusan Pengadilan Boston Tahun 1979, kelalaian didefenisikan sebagai Negligence is the lack of ordinary care. It is a failure to do what a reasonable careful and prudent person would done on the occasion in question.1 Dalam dunia kedokteran, kelalaian medis digolongkan sebagai professional negligence. Medical Injury Compensation Reform Act merumuskan Professional negligence is a negligence act or omission to act by a healthcare provider in the rendering of professional services, which is the proximate cause of personal injury or wrongful death, provided that the service are within the scope of service for which the provider is licensed and which are not within any restriction imposed by the licensing agency or licensed hospital.1,4 Bila kesalahan atau kelalaian tersebut dihubungkan dengan hukum pidana, maka Jonkers mengemukakan empat unsur yaitu: 12 a. Perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum (wederrechtelijkheid) b. Akibat dari perbuatan bisa dibayangkan (voorzeinbaarheid) c. Akibat perbuatan sebenarnya bisa dihindari (vermijdbaarheid)

d. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya (verwijtbaarheid), karena sebenarnya pelaku sudah dapat membayangkan dan dapat menghindarinya. Menurut hukum pidana, kelalaian terbagi menjadi dua yaitu: 10,12 a. "Kealpaan perbuatan" ialah perbuatannya sendiri sudah merupakan suatu peristiwa pidana, sehingga untuk dipidananya pelaku tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut (pasal 205 KUHP). b. "Kealpaan akibat" ialah akibat yang timbul merupakan suatu peristiwa pidana bila akibat dari kealpaan tersebut merupakan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya terjadinya cacat atau kematian sebagai akibat yang timbul dari suatu perbuatan (pasal 359, 360, dan 361 KUHP). Picard (1984) mengemukakan tentang tiga kategori yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk mengetahui apakah dokter telah berbuat dalam suasana dan keadaan yang sama sebagai berikut: 4 a. Pendidikan, pengalaman, dan kualifikasi-kualifikasi lain yang berlaku untuk tenaga kesehatan b. Tingkat resiko dalam prosedur penyembuhan / perawatan c. Suasana, peralatan, fasilitas, dan sumber-sumber lain yang tersedia bagi tenaga kesehatan. C. Berkhouwer dan L.D. Vorstman mengemukakan tiga faktor yang menjadi penyebab kesalahan dokter dalam melakukan profesi, yaitu kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman dan kurangnya pengertian.4 Dari semua pendapat diatas, ada dua pakar hukum yang memberikan kesimpulan sebagai berikut: 4,18 a. Guwandi (2005) menyatakan bahwa untuk menyebutkan bahwa seorang dokter telah melakukan kelalaian, maka harus dapat dibuktikan hal-hal sebagai berikut: 1) Bertentangan dengan etika, moral dan disiplin. 2) Bertentangan dengan hokum. 3) Bertentangan dengan standar profesi medic.

4) Kekurangan ilmu pengetahuan atau tertinggal ilmu didalam profesinya yang sudah berlaku umum dikalangan tersebut. 5) Menelantarkan (negligence, abandonment), kelalaian, kurang hati-hati, acuh, kurang peduli terhadap keselamatan pasien, kesalahan menyolok dan sebagainya. b. Nasution (2005) menyimpulkan untuk menentukan adanya kealpaan harus terpenuhi adanya 3 unsur sebagai berikut: 1) Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehingga ia sebenarnya telah melakukan suatu perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum. 2) Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir panjang. 3) Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggungjawab atas akibat perbuatan tersebut. Kecelakaan medik sering dianggap sama dengan kelalaian medik, karena kedua keadaan tersebut sama-sama dapat menimbulkan kerugian kepada pasien. Bila ditinjau dari segi hukum, dua keadaan tersebut harus dibedakan, karena didalam hukum medik yang menganut inspanning verbintenis (perjanjian upaya) yang harus dipertanggungjawabkan bukan akibat dari perbuatan, tetapi pertanggungjawaban lebih mengarah kepada cara bagaimana sampai akibat tersebut terjadi.4 Walaupun akibatnya pasien tidak bisa sembuh atau meninggal atau cacat, tetapi bila dokter telah melakukan upaya sungguh-sungguh sesuai dengan standar profesi medik, maka dokter tidak bisa dipersalahkan. Sebagai contoh, seorang pasien datang dengan nyeri kepala hebat, terus-menerus sehingga tidak dapat tidur. Ternyata hasil pemeriksaan menunjukkan pasien hipertensi berat. Dokter juga menemukan adanya kelainan neurologis kelumpuhan ringan pada tangan dan kaki kiri pasien. Dokter telah melakukan pengobatan sesuai prosedur, tetapi pasien tidak bisa sembuh, dan terjadi kelumpuhan ringan (parese) yang menetap dari kaki dan tangan tersebut. Dalam hal terjadi seperti ini, dokter tidak bisa dipersalahkan telah mengakibatkan kelumpuhan atau cacat pada pasien, karena perjalanan penyakitnya memang tidak bisa dicegah dan diobati oleh dokter yang bersangkutan. Demikian juga dalam kecelakaan medik

yang merupakan kecelakaan murni tanpa ditemukan adanya unsur kelalaian pada dokter, dokter tidak bisa dipersalahkan bila terjadi akibat yang tidak dikehendaki pasien yang akibat tersebut disebabkan oleh kecelakaan medik yang tidak dapat diduga sebelumnya.4 Untuk menentukan bahwa akibat yang diderita pasien merupakan kecelakaan medik dan bukan merupakan kelalaian medik, Guwandi (2004) memberikan ciri-ciri sebagai berikut: 18 a. Kecelakaan merupakan peristiwa yang tidak terduga, tindakan yang tidak disengaja (accident, misfortune, bad fortune, mischance, ill luck). b. Tidak ditemukan adanya unsur kesalahan (schuld) dalam kecelakaan. c. Dokter sudah melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar profesi medik dan etika profesi. d. Kecelakaan yang mengandung unsur yang tidak dapat dipersalahkan (verwijtbaarheid), tidak dapat dicegah (vermijdbaarheid), dan terjadinya tidak dapat diduga sebelumnya. e. Dokter sudah melakukan tindakan dengan hati-hati, melakukan upaya dengan sungguh-sungguh dengan menggunakan segala ilmunya,

keterampilan dan pengalaman yang dimilikinya. f. Dokter telah berusaha meminimalisasi risiko yang mungkin terjadi dengan melakukan anamnesis yang teliti, pemeriksaan pendahuluan yang adekuat, dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan. g. Dalam hal kasus pembedahan / pembiusan, dokter telah berusaha melakukan terapi awal terhadap kelalaian yang ditemukan atau telah melakukan konsultasi dengan spesialis lainnya yang berkompeten terhadap kelainan yang diderita pasiennya. Di Indonesia, hukum kedokteran belum dapat dirumuskan secara mandiri sampai saat ini, sehingga rumusan yang digunakan mengacu pada negara lain. Hal ini menyebabkan sering kacaunya batasan antara kelalaian dan malpraktik, yang sebenarnya berbeda. Bahasa Inggris lebih kaya dalam peristilahan tentang berbagai macam kelalaian.4,17-18

Bentuk-bentuk kelalaian di dalam bahasa Inggris di antaranya sebagai berikut: 18 a. Malfeasance Apabila seseorang melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum atau melakukan perbuatan yang tidak patut (execution of an unlawful or improper act). b. Misfeasance Pelaksanaan suatu tindakan tidak secara benar (the improper performance of an act). c. Nonfeasance Tidak melakukan suatu tindakan yang sebenarnya ada kewajiban untuk melakukan (the failure to act when there is a duty to act). d. Malpractice Kelalaian atau tidak berhati-hati dari seorang yang memegang suatu profesi, seperti misalnya dokter, perawat, bidan, akuntan, dan profesi lainnya sebagainya dalam menjalankan kewajibannya (negligence or carelessness of professional person, such as nurse, pharmacist, physician, accountant, etc). e. Maltreatment Cara penanganan sembarangan, misalnya suatu operasi yang dilakukan tidak secera benar atau terampil (improper or unskillful treatement). Hal ini bisa disebabkan karena ketidaktahuan, kelalaian, atau secara acuh (ignorance, neglect, or willfulness). f. Criminal negligence Sifat acuh, dengan sengaja atau sikap yang tidak peduli terhadap keselamatan orang lain, walaupun ia mengetahui bahwa tindakannya itu bisa mengakibatkan cedera/merugikan kepada orang lain (reckless disregard for the safety of another. It is the willful indifference to an injury which could follow an act). Secara jelas dikatakan bahwa, malpraktik memiliki pengertian yang lebih luas daripada kelalaian, karena malpraktik mencakup pula tindakan yang sengaja (intentional, dolus) dan melanggar undang-undang yang akibat dari tindakan itu memang merupakan tujuan. Sedangkan kelalaian lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang hati-hati, tidak peduli dan akibat yang timbul sebenarnya bukan merupakan tujuan dari tindakan tersebut.4

Oleh hukum kelalaian hanya dibedakan 2 (dua) ukuran tingkat yaitu: 18 a. Yang bersifat ringan, biasa (slight, simple, ordinary) (Culpa levis), yaitu apabila seorang tidak melakukan apa yang seorang biasa, wajar dan berhatihati akan melakukan, atau justru melakukan apa yang orang lain wajar tidak akan melakukan didalam situasi yang meliputi keadaan tersebut. b. Yang bersifat kasar, berat (gross, serious) (Culpa lata), yaitu apabila seorang dengan sadar dan dengan sengaja tidak melakukan atau melakukan sesuatu yang sepatutnya tidak dilakukannya (the intentional or wanton omission of care which wold be proper to prived or the doing of that which would be improper to do).

DAFTAR PUSTAKA

1. Achadiat CM. Hukum Kedokteran. Dalam: Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007; h.1-59. 2. Yunanto. Tesis: Pertanggungjawaban dokter dalam transaksi terapeutik. Semarang: Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. 2009. h.14-23. 3. Komalawati V. Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1989; h.19-20. 4. Flynn M. Medical Malpractice: Negligence Duty of Care. Dalam: Encyclopedia of Forensic Medicine, Volume 4. Florida: Elsevier Ltd. Nova South Eastern University. 2005; h.324-5. 5. Astuti EK. Tesis: Hubungan Hukum Antara Dokter dengan Pasien dalam Upaya Pelayanan Medis. Medan: Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. 2003; h.34-42. 6. Lusiana KI. Skripsi: Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana di Bidang Medis. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2010; h.10-9. 7. Isfandyarie A. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. 2006, h.5-17. 8. Poernomo B. Pokok-pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang-undang RI, edisi kedua. Yogyakarta: Liberty. 1993; h.41. 9. Harahap Y. Pembahasan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding Kasasi, dan Peninjauan Kembali, edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika. 2000. h.279.

10. Maryanti N. Malpraktek Kedokteran. Jakarta: Bina Aksara. 1998. h.1-10. 11. Ameln F. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta: Grafika Tama Jaya. 1991. h.87. 12. Hariyani S. Sengketa Medik. Jakarta: Diadit Media. 2005; h.64. 13. Adi P. Tesis: Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Malpraktik Kedokteran. Semarang: Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. 2010; h.1-42. 14. Sutarto S. Hukum Acara Pidana. Semarang: Universitas Diponegoro. 2008; h.55. 15. Hamzah A. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2001; h.234-59. 16. Subekti. Hukum Pembuktian. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 2003; h.7. 17. Nugraha CI. 2011. Skripsi: Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Malpraktek Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran di Indonesia. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2011; h.1-55. 18. Guwandi. Berbagai Macam Kelalaian. Dalam: Dugaan Malpraktek Medik dan Draft RPP: Perjanjian Terapetik Antara Dokter dan Pasien. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. h.94-112.

You might also like