You are on page 1of 10

MAKALAH TOKOH AGAMA DAN POLITIK

Santri Dalam Perpolitikan?


Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mandiri Dari Mata Kuliah Agama Dan Politik

Oleh: Hudan Mustakim (208.100.306) Sosiologi B/VI

JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2011

PENDAHULUAN Dalam teori politik modern, demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat1. Kemudian dari sisi lain, demokrasi sering diidentikan dengan suara mayoritas (suara terbanyak). Apabila seseorang terpilih oleh suara mayoritas, maka ia berhak untuk menjadi penguasa (presiden, dll), lain halnya dengan seseorang yang memiliki suara minoritas, ia tidak sah untuk menjadi seorang penguasa. Lain daripada itu, soekarno dan Hatta pernah membicarakan tentang demokrasi ini. Mnurut mereka, sebenarnya demokrasi tidak hanya membicarakan siapa yang berkuasa, suara mayoritas atau pun suara minoritas. Akan tetapi demokrasi ini adalah suatu cara untuk mencapai kesepakatan dari segenap bangsa dan masyarakat. Memang suara mayoritas turut menyertainya, tapi disamping itu harus ada musyawarah dengan tujuan untuk mencapai mufakat. Dalam Islam, yang menjadi satu-satunya yang harus dipercayai sebagai penguasa adalah Allah SWT. Karena, dialah yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya, sedangkan manusia hanya menjalankan apa yang menjadi kewajibannya kepada Allah. Dan menurunkan Adam sebagai manusia pertama yang diturunkan kebumi, serta Hawa untuk mendampinginya, juga Allah telah menciptakan dan menurunkan Nabi bagi umat Islam, yaitu Nabi Muhamad untuk menjadi suritauladan. Dan menjadikan ulama sebagai penerus para Nabi tersebut. Al-Quran dan Assunah menjadi sumber rujukan utama dalam agama ini, Baik dalam aturan hidup, hukum, atau pun yang lainnya. Kemudian apabila tidak ditemukan secara jelas dalam kedua rujukan tersebut, maka dapat diperoleh dari Kiyas (perumpamaan) dan Izma (hasil mufakat para Ulama). Itu membuktikan bahwa peran serta ulama dalam kehidupan bagi umat Islam sangat sentral, baik dalam menentukan fatwa atau pun yang lainnya.

Santri Dalam Perpolitikan?


1

Prof. Mujaba Lari, Budaya Yang Terkoyak, diantara Islam dan Barat, Islamic Center Jakarta Al-huda, 2001. Hal: 47

Dalam hal ini kiranya penting untuk mengetahui bagaimana cara anak muda sekarang itu berfikir, terutama pemuda Islam sendiri. Ada kalanya seseorang dianggap menyimpang karena tidak berjalan beriringan dengan mainstream, misalnya saja dalam mengertikan atau memahami teks-teks suci. Namun ada pula orang yang selalu mengyakan apa yang diberikan oleh guru dan pengajarnya, lalu merealisasikannya lewat perbuatan tanpa ia memikirkan kembali apa yang telah diberikan oleh gurunya tersebut. Kemudian, pesantren bukan semata-mata sebagai sebuah institusi pendidikan saja. Sejak kemunculannya, pesantren muncul sebagai sebuah institusi yang telah berakar kuat didalam masyarakat Indonesia. Pesantren merupakan produk dari sistem pendidikan pribumi yang memiliki akar sejarah, budaya dan sosial di Indonesia2. Oleh karena itu, pesantren merepresentasikan pendidikan yang unik yang mensintesakan dimensi sosial, budaya dan agama. Akar dan sintesis ini kemudian mempengaruhi fungsi pesantren baik secara internal maupun eksternal. Pesantren muncul sebagai sebuah komunitas kehidupan yang memiliki kemampuan untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas kreatif yang menggunakan pendidikan alternatif yang menggabungkan pendidikan dan pengajaran dengan pembangunan komunitas3. Wacana tentang fungsi sosial pesantren diperlukan, dengan menimbang ulang peranan dan dinamika pesantren dalam masyarakat indonesia modern, dimana dinamika modernitas mempengaruhi keberadaan pesantren secara fundamental sehingga mengakibatkan munculnya problem identitas kultural pesantren. Problem ini dapat dianggap sebagai konsekuensi dan implikasi logis ketika berhubungan dengan modernitas yang memiliki keharusan yang mempengaruhi secara khusus fungsi sosial dan budaya yang didasari atas kewajiban keagamaan. Akibatnya, modernitas memberi tantangan secara langsung terhadap asumsi tradisional dari dunia pesantren. Sudah saatnya untuk memikirkan kembali misi otentik dan peranannya ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Modernitas sendiri membawa perubahan-perubahan
2

Ismail SM dkk (ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Pustaka Pelajar , Yogyakarta, 2002, Hal: xiv.
3

Soetjipto

Wirosardjono,

The

Impact

of Pesantren

in

Education

and

Community

Development in Indonesia, (Berlin: Fredrich-Naumann Stiftung. Indonesian society for Pesantren and community Development (P3M), and Technical University Berlin, 1987), Hal: 218.

dalam banyak aspek kehidupan, khususnya institusi agama seperti pesantren itu sendiri. Akhirakhir ini, usaha untuk mereformulasi peranan ideal pesantren di tengah masyarakat Indonesia dapat menjadi semacam usaha kultural yang cukup serius. Ini karena secara historis, pesantren identik dengan sekolah rakyat dan sekolah kehidupan khususnya di wilayah pedesaan di Indonesia. Santri merupakan sebutan bagi orang yang sedang menuntut ilmu di pesantren, baik di pesantren modern dan pesantren konvensional atau atau pun modern. Dalam hal ini, pesantren tidak dapat dilepaskan dari guru, dan kebanyakan guru dipesantren adalah seorang Kyai. Seperti halnya seorang murid yang harus mematuhi dan menjadikan guru tersebut sebagai suritauladan baginya, begitu pun dengan para santri ini. Mereka selalu menjadikan para Kyai tersebut sebagai sumber ilmu bagi mereka, karena kalau mereka mendapatkan kesulitan dalam mengartikan pelajaran, baik pelajaran yang diperolehnya dari Al-Quran atau pun Al-Hadits, maka ia akan bertanya kepada gurunya (yaitu Kyai tadi). Kyai disini mempunyai peran yang cukup sentral dalam membimbing para santrinya, disamping mengajarkan ilmu pengetahuan, ia pun harus menjelaskan arti hidup kepada meraka. selain itu ia juga haru memiliki pengetahuan tentang Agama, budaya dan Negara, juga harus menerangkan kaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Sama halnya dengan masalah perpolitikan. Akan tetapi tidak semua Kyai berperan dalam bidang perpolitikan, secara garis besar kita bagikan saja Kyai tersebut menjadi tiga tipe. Pertama, Kyai pasif yaitu Kyai yang sama sekali tidak aktif dalam atau bahkan tidak memperdulikan masalah politik itu sama sekali. Kedua, Kyai aktif yaitu Kyai yang memang aktif dalam perpolitikan dan ikut serta dalam panggung politik, misalnya seperti Kyai yang tidak hanya berperan sebagai pengajar akan tetapi ia juga ikut dalam perpolitikan dan ikut pula menjadi pengurus dalam suatu partai. Ketiga, Kyai aktif pasif yaitu Kyai yang memiliki pemahan tentang perpolitikan, namun ia tidak terjun langsung dalam bidang ini (politik), misalnya seperti Kyai yang mengajarkan peta perpolitikan dunia atau khususnya Indonesia dan juga menjelaskan pentingnya mengetahui peta perpolitikan sekarang ini terutama politik Islam Indonesia, akan tetapi ia tidak ikut dalam menjadi seorang pengurus dalam sebuah partai politik.

Dijaman sekarang politik sudah tidak asing lagi dikita. Politik merupakan sebuah kata yang sering dipergunakan dalam bahasa sehari-hari, jadi saya kira pengertian dari politik ini selalu berbeda-beda pada setiap orang, tergantung pada kepentingan si penggunanya. Jadi bisa diartikan bahwa politik adalah suatu cara untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Pada dasarnya, semua orang itu berpolitik dalam kesehariannya, namun untuk sekarang ini politik sering diidentikan dengan perebutan kekuasaan. Baik itu dikalangan masyarakat kecil atau pun dikalangan masyarakat yang sudah berkembang. Untuk di Indonesia sendiri kata politik ini memang tidak bisa dilepaskan dari suatu cara untuk memperoleh kekuasaan, dimulai dari pemilihan kepala desa, pemilihan kepada kecamatan, dan yang lainnya sampai pada pemilihan presiden.lain dari pada itu, tentunya setiap calon yang ingin menjadi calon dalam bidang-bidang tersebut membutuhkan suara. Dan tentunya suara itu harus berasal dari masyarakat banyak, karena konon katanya itulah yang disebut dengan demokrasi. dan untuk mendapatkan suara yang banyak itu si calon harus melakukan beberapa cara untuk mendapatkannya, dimulai dari pawai, mengadakan pertemuan di desa-desa, sekolah, atau pun pesantren, bahkan ada pula yang melakukannya dengan cara memberikan bantuan langsung pada masyarakat berupa uang tunai dan seperangkat pakaian (itulah demokrasi kita). Ketika calon tersebut menyadari bahwa massa yang paling banyak itu berasal dari orang yang memeluk agama, khususnya agama Islam (pemeluk Islam Indonesia merupakan mayoritas), tentunya mereka harus memiliki cara untuk mendapatkan suara dari mereka. Salah satunya memberikan santunan atau kunjungan ke pesantren-pesantren dan mendekati para pengajar dan para Kyainya (karena seperti yang sudah saya bilang tadi bahwa Kyai disini mempunyai peran yang cukup sentral). Menurut Ketzer, hal tersebut biasa dilakukan sebagai upaya untuk mengonstruksi (mengelabui) realitas social guna menggalang dan mendulang dukungan seluasluasnya4. Tidak tahu disadari atau tidak, ketika para Kyai tersebut memberikan pengetahuannya tentang politik kepada para santrinya, ia memberikan informasi tentang si calon tadi. Lain daripada itu, selayaknya santri yang tinggal di pesantren yang harus selalu mematuhi apa yang telah diberikan oleh pengajarnya, para santri tersebut akan melakukannya. Karena toh santri selalu melakukan
4

Masdar Hilmi, Nahdlatul Ulama, dinamika ideology dan politik kenegaraan, Kompas, Jakarta, 2010. Hal: 91

hal tersebut, karena pada dasarnya ada orang Islam yang menganggap apa keselamatan itu tergantung pada gurunya. Prinsipnya, apa kata Kyai saja5. Automatis ketika para Kyai tersebut mengulas tentang pengertiannya tentang seorang calon dari patai tertentu misalnya, para santri akan ikut-ikut saja. Karena toh pada dasarnya mereka mnganggap apa yang dikatakan oleh seorang Kyai itu adalah sebuah kebenaran. Meski pun patut di garisbawahi pula bahwa tidak semua santri mengyakan semua perkataan Kyai tersebut. Suara para Kyai dan santri merupakan basis utama dari pergerakan mereka untuk mendapatkan kekuasaan. Karena untuk saat ini santri masih merupakan suara mayoritas dalam setiap pembentukan kekuasaan. Itu lah peta pengaruh pemikiran para Kyai terhadap perpolitikan, sekaligus Sumbangsihnya terhadap suara si calon pemegangang kekuasaan. Jadi mungkin bisa diartikan bahwa peran santri disini sangat berpengaruh besar dalam bidang pemungutan suara ini (berpolitik kalau boleh saya bilang). Karena walau pun tidak secara langsung mereka memikirkan terlebih dahulu mana dan siapa yang akan mereka pilih, namun pikiran itu sudah diberikan dan diturunkan oleh para guru dan Kyai mereka di pesantren. Dan bisa disebut pula peran politik para santri ini sangat absurd dan sulit dijelaskan, karena mereka hanya melakukan apa para guru dan Kyai berikan pada para santri ini (dan tidak semua santri seperti ini karena ada pula santri yang diperbolehkan berfikir secara bebas dalam persfektif islam tentunya).

Budaya Apa dan Siapa?


Muhammad telah meninggalkan warisan rohani yang agung, yang telah menaungi dunia dan memberi arah kepada kebudayaan dunia selama dalam beberapa abad yang lalu. Ia akan terus demikian sampai Tuhan menyempurnakan cahayaNya ke seluruh dunia. Warisan yang telah member pengaruh besar pada masa lampau itu, dan akan demikian, bahkan lebih lagi pada masa yang akan datang, ialah karena ia telah membawa agama yang benar dan meletakkan dasar kebudayaan satu-satunya yang akan menjamin kebahagiaan dunia ini. Agama dan kebudayaan yang telah dibawa Muhammad kepada umat manusia melalui wahyu Tuhan itu, sudah begitu berpadu sehingga tidak dapat lagi terpisahkan.
5

DR. Nurcholish Madjid, Dialog keterbukaan, artikulasi Nilai Islam dalam wacana Sosial Politik, Paramadina, Jakarta, 1998. Hal: 286

Kalau pun kebudayaan Islam ini didasarkan kepada metode-metode ilmu pengetahuan dan kemampuan rasio, - dan dalam hal ini sama seperti yang menjadi pegangan kebudayaan Barat masa kita sekarang, dan kalau pun sebagai agama Islam berpegang pada pemikiran yang subyektif dan pada pemikiran metafisika namun hubungan antara ketentuan-ketentuan cara pemikiran agama dengan dasar kebudayaan itu erat sekali. Soalnya ialah karena

yang metafisik dan perasaan yang subyektif di satu pihak, dengan kaidah-kaidah logika dan kemampuan ilmu pengetahuan di pihak lain oleh Islam dipersatukan dengan satu ikatan, yang mau tidak mau memang perlu dicari sampai dapat ditemukan, untuk kemudian tetap menjadi orang Islam dengan iman yang kuat pula. Dari segi ini kebudayaan Islam berbeda sekali dengan kebudayaan Barat yang sekarang menguasai dunia, juga dalam melukiskan hidup dan dasar yang menjadi landasannya berbeda. Perbedaan kedua kebudayaan ini, antara yang satu dengan yang lain sebenarnya prinsip sekali, yang sampai menyebabkan dasar keduanya itu satu sama lain saling bertolak belakang. Hakikat kebudayaan adalah usaha pemanusiaan manusia melalui pemanusiaan kehidupan. Maka, meskipun pada level cara-baca dan konteks sosial, telah terjadi banyak perubahan kebudayaan, arah dari kebudayaan itu sendiri haruslah tetap mengacu pada kemanusiaan6. Karena pemanusiaan adalah nilai, maka di dalam nilai, terdapat struktur. Artinya, ketika arah filosofis kebudayaan adalah nilai (pemanusiaan), maka perbincangan atas struktur nilai menjadi keniscayaan. Hal ini searah dengan pendekatan strukturalis yang mendaulat kebudayaan sebagai pemikiran. Artinya, (perilaku) budaya merupakan wujud dari struktur inheren yang ada pada ranah pemikiran. Maka, struktur nilai mistik akan melahirkan perilaku mistik, struktur pemikiran hukum Islam akan melahirkan perilaku yang sarwa fiqh, dan struktur rasionalisme akan melahirkan perilaku rasional7. Untuk saat ini saya kira hal tersebut memang sedang terjadi, akan tetapi memanusiakan manusia dalam arti demi keuntungan individu semata demi memperoleh kekuasaan. Dengan segala embel-embelnya mereka (para calon-calon pemegang kekuasaan) menyulap kita anak muda agar mau atau ikut dalam percaturan politik mereka, bahkan sampai melibatkan ilmu pengetahuan yang mereka kemas dalam sajian lain dan juga mistifikasi politik di pesantren.
6

Syaiful Arif, Memanusiakan Kembali Kebudayaan, Refilosofi Kebudayaan, Pergeseran Pascastruktural, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2010
7

Ibid. Hal: 2

Atau mungkin karena dianggapnya kita masih kecil dan tidak bisa berfikir sendiri, makanya mereka memberikan dan mengharuskan kita ikut dalam percaturan politik mereka, atau sudah menjadi konsepan masyarakat bahwa santri harus selalu melakukan apa yang pelajarinya dari seorang Kyai, dan mengharuskan pemikirannya secara mentah-mentah. Karena toh pada kenyataannya ketika seseorang berada diluar pemikiran mainstream, maka mereka akan dianggap menyimpang dan juga dianggap bersalah pada umat. Dilain pihak saya juga merasa takjub karena sampai sekarang ternyata masih ada pesantren dan para Kyai yang memperbolehkan para santrinya untuk mencari dan mengatur kehidupan mereka sendiri, dimulai pelajaran yang mereka butuhkan, perlengkapannya, dan juga lain sebagainya. Walau pun memang kadang kala para santri tersebutpun ketuka mengalami kesulitan, tetap akan bertanya dan meminta petunjuk kepada gurunya atau kepada Kyai. Atau lebih tepatnya pesantren yang ada di Jombang. Tapi saya kira pesantren seperti ini sangat jarang ditemukan untuk sekarang ini. Lagi-lagi seakan sudah menjadi tradisi di Indonesia untuk sekarang ini, bila akan diadakan pemilihan caleg, maka para caleg pun mencari suara di pesantren-pesantren atau sekolah-sekolah (tentunya melalui para Kyai dan Gurunya). Yang tanpa memikirkan dampak yang akan diberikan pada setiap siswa atau santrinya para Kyai dan guru ini juga telah memberikan penjelasan tentang pemilihan tersebut.

Kesimpulan
Tak bisa disangkal lagi bahwa yang sebenarnya memiliki peranan penting dalam sebuah bentuk kekuasaan yang berlandaskan atas pemerintahan demokratis adalah memperoleh suara yang sebanyak-banyaknya (khususnya di Indonesia) dari masyarakat yang tingga di Negara tersebut.

Kyai mempunyai peran sentral dalam menentukan arah hidup setiap santrinya, dimulai ketika menjelaskan tentang agama, kebudayaan, dan Negara. Juga kaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Seakan sudah menjadi budaya bahwa setiap santri harus patuh terhadap apa yang telah dikatakan oleh para Kyai. Berkaitan dengan hal itu, maka tidak salah ketika ada kader suatu partai yang ingin memperoleh suara dari para santri dan Kyai. Karena pada dasarnya umat Islam merupakan masyarakat yang mayoritas di Indonesia. Meski patut digarisbawahi pula bahwa tidak semua Kyai selalu menutup dirinya dan tidak memperbolehkan pemikiran lain selain pemikiran dirinya sendiri. Dan begitu pula dengan santri, tidak semua santri selalu mengyakan apa yang dikatakan oleh Kyai. Bisa dikatakan bahwa yang memiliki suara paling berharga disini adalah suara yang berasal dari para santri, dikarenakan jumlahnya yang banyak itu.

Daftar Pustaka
Prof. Mujaba Lari, Budaya Yang Terkoyak, diantara Islam dan Barat, Islamic Center Jakarta Al-huda, 2001. Ismail SM dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah, Pustaka Pelajar , Yogyakarta, 2002.

Soetjipto Wirosardjono, The Impact of Pesantren in Education and Community Development in Indonesia, (Berlin: Fredrich-Naumann Stiftung. Indonesian society for Pesantren and community Development (P3M), and Technical University Berlin, 1987). Masdar Hilmi, Nahdlatul Ulama, dinamika ideology dan politik kenegaraan, Kompas, Jakarta, 2010 DR. Nurcholish Madjid, Dialog keterbukaan, artikulasi Nilai Islam dalam wacana Sosial Politik, Paramadina, Jakarta, 1998.
Syaiful Arif, Memanusiakan Kembali Kebudayaan, Refilosofi Kebudayaan, Pergeseran

Pascastruktural, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2010.


Piet H. Khaidir, Nalar Kemanusiaan, Nalar Perubahan Sosial, PT Mizan Publika,

Jakarta, 2006.
Asrori S. Kartini dkk, Hajatan Demokrasi, potret jurnalistik Pemilu Langsung Simpul

Islam Indonesia Dari Moderat Hingga Garis Keras, PT Era Media Informasi, Jakarta, 2006.

You might also like