You are on page 1of 20

RESUME kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Sistem Refroduksi I

Di susun oleh Tsaalits Muharroroh

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2012

Konsep KDRT 1. Definisi Menurut Undang-Undang no. 23 tahun 2004 Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan yang melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Menurut BPKP 2004, Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Domestic Violence adalah suatu penyalahgunaan secara fisik, seksual, ekonomi, atau psikologis terhadap seseorang, pasangan, atau anggota keluarga yang lain dalam suatu rumah tangga. Pola sikap ini ditandai oleh adanya penyalahgunaan kekuatan dan kontrol/pengawasan oleh seseorang kepada orang lain yang masih memiliki hubungan yang dekat. Dapat terjadi dalam hubungan dalam gender yang sama dan berlainan. 2. Etiologi (Faktor Pencetus) Kekerasan dalam rumah tangga dapat timbul sebagai akibat dari kombinasi dan interaksi multifaktorial antara faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, budaya dan politis seperti riwayat kekerasan, kemiskinan, komflik bersenjata, namun dipengaruhi pula oleh beberapa faktor risiko dan faktor protektif. Beberapa faktor pencetus terjadinya kekerasan adalah: a) Faktor individu: Menurut survey di Amerika Serikat mereka yang mempunyai risiko lebih besar mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah: 1) Wanita yang single, bercerai atau ingin bercerai. 2) Berumur 17 28 tahun. 3) Mempunyai partner dengan sifat memiliki dan cemburu berlebihan. 4) Ketergantungan obat atau alkohol atau riwayat ketergantungan kedua zat itu. 5) Sedang hamil. b) Faktor keluarga: 1) Kehidupan keluarga yang kacau tidak saling mencintai dan menghargai, serta tidak menghargai peran wanita. 2) Kurang ada keakraban dan hubungan jaringan sosial pada keluarga. 3) Sifat kehidupan keluarga inti bukan keluarga luas. c) Faktor masyarakat: 1) Urbanisasi dan kesenjangan pendapatan di antara penduduk kota. 2) Kemiskinan. 3) Lingkungan dengan frekuensi kekerasan dan kriminalitas tinggi. 4) Masyarakat keluarga ketergantungan obat. d) Faktor idiologi dan kultur Budaya Menurut Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Erlangga Masdiana, kekerasan itu sangat dipengaruhi ideologi dan pemahaman budaya masyarakat setempat. Di hampir sebagian besar masyarakat Indonesia, perempuan dianggap orang nomor dua dalam rumah tangga sehingga memiliki hak yang kurang dibanding laki-laki. Kasus-kasus

kekerasan dalam rumah tangga dipengaruhi oleh multifactor. Faktor terpenting adalah soal ideologi dan culture (budaya), dimana perempuan cenderung dipersepsikan sebagai orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja. sedangkan menurut Strauss A. Murray yang mengidentifikasi penyebab KDRT dari hal dominasi pria dalam konteks struktur masya-rakat dan keluarga, penyebab kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) adalah sebagai berikut: 1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita. 2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan. 3. Beban pengasuhan anak Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga. 4. Wanita sebagai anak-anak konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib. 5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga. 3. Insidensi Catatan awal tahun 2004 yang dilansir oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), memperlihatkan pada tahun 2003 telah terjadi 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 2.703 di antaranya adalah kasus KDRT, dengan korban terbanyak adalah istri, yaitu 2.025 kasus (75%). Dibandingkan tahun 2009, kasus KDRT pada tahun 2010 ini meningkat sekitar 6,25%. Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) umumnya dilakukan oleh suami. Lembaga non pemerintah Mitra Perempuan mencatat sepanjang tahun 2005, 86,81% kasus kekerasan yang dialami perempuan adalah KDRT dan 77,36% dari kasus itu pelakunya

adalah para suami. Selain suami, KDRT juga dilakukan oleh mantan suami (3,08%), orang tua atau mertua serta saudara (6,15%), majikan (0,22%), dan pacar/teman dekat (9,01%).

4. Manifestasi Klinis (Dampak KDRT) KDRT yang dilakukan oleh suami menimbulkan berbagai dampak yang merugikan agi perempuan (istri) dan anak-anaknya. . Dampak kekerasan terhadap perempuan itu sendiri adalah: mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stres pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri. Dampak kekerasan terhadap pekerjaan perempuan adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari bantuan psikolog ataupun psikiater, dan merasa takut kehilangan pekerjaan. Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya. Selain itu, KDRT juga menambah resiko jangka panjang untuk terjadinya gangguan kesehatan lainnya sebagai dampak dari KDRT itu sendiri. Berbagai akibat kekerasan tersebut dikelompokkan sebagai berikut 1. Akibat Fisik a) Kematian akibat kekerasan fisik, pembunuhan atau bunuh diri. b) Trauma fisik berat: memar berat luar/dalam, patah tulang, kecacatan. c) Trauma fisik dalam kehamilan, yang beresiko terhadap ibu dan janin (abortus, kenaikan berat badan ibu tidak memadai, infeksi, anemia, BBLR). d) Kehamilan yang tak diinginkan dan kehamilan dini akibat perkosaan atau kebebasan dalam mengikuti KB, yang dapat diikuti dengan tindakan aborsi, tertular PMS, HIV/AIDS atau komplikasi kehamilan, termasuk sepsis, aborsi spontan, dan kehamilan prematur. e) Meningkatnya resiko terhadap kesakitan, misalnya gangguan ginekologis, perdarahan pervaginam berat, PMS, infeksi saluran kencing, dan gangguan pencernaan. 2. Akibat Nonfisik a) Gangguan mental, misalnya depresi, ketakutan dan cemas, rasa rendah diri, kelelahan kronis, sulit tidur, mimpi buruk, disfungsi seksual, gangguan makan, ketagihan alkohol dan obat, atau mengisolasikan dan menarik diri. b) Pengaruh psikologis terhadap anak karena menyaksikan kekerasan, misalnya kelak cenderung melakukan kekerasan terhadap pasangannya. 3. Pengaruh Terhadap Masyarakat a) Bertambahnya biaya pemeliharaan kesehatan untuk akibat fisik/nonfisik dari kekerasan terhadap perempuan.

b) Efek terhadap produktivitas, misalnya mengakibatkan berkurangnya kontribusi kepada masyarakat, kemampuan realisasi dan cuti sakit bertambah. c) Kekerasan terhadap perempuan di lingkungan sekolah dapat mengakibatkan putus pendidikan karena terpaksa keluar sekolah. Dampak kekerasan terhadap kesehatan reproduksi. Menurut Suryakusuma efek psikologis penganiayaan bagi banyak perempuan lebih parah dibanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan. Namun, tidak jarang akibat tindak kekerasan terhadap istri juga meng-akibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara biologis yang pada akhirnya meng-akibatkan terganggunya secara sosiologis. dampak kekerasan terhadap kesehatan reproduksi perempuan pada saat tidak hamil mengalami gangguan menstruasi seperti menorrhagia, hipomenorrhagia atau metrorhagia bahkan wanita dapat mengalami menopause lebih awal, dapat mengalami penurunan libido, ketidakmampuan mendapatkan orgasme, akibat tindak kekerasan yang dialaminya. Di seluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran / abortus, persalinan imatur dan bayi meninggal dalam rahim. Pada saat bersalin, perempuan akan mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus, persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat melahirkan bayi dengan BBLR, terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati. Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah tangga diantaranya adalah perubahan pola fikir, emosi klien, penurunan imunitas sehingga mudah terserang penyakit menular seksual. (www.depkes.go.id).

5. Bentuk-Bentuk KDRT Menurut UU No 23 tahun 2004, ada beberapa bentuk kekerasan dalam rumah tangga, yaitu: 1) Kekerasan fisik Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. 2) Kekerasan psikis Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. 3) Kekerasan seksual Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga dan/atau orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

4) Penelantaran rumah tangga Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. (http://kompas.com., 2006). Menurut Munin A (1997), kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikologis/emosional, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. 1) Secara Fisik Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian. Kekerasan dalam rumah tangga mencakup: menampar, memukul, menjambak rambut, menendang, menyundut dengan rokok, melukai dengan senjata, dan sebagainya. 2) Secara Psikologis Kekerasan psikologis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan psikologis juga dapat memicu dendam dihati istri.Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga termasuk penghinaan, komentar-komentar yang merendahkan, melarang istri mengunjungi saudara maupun teman-temannya, mengancam akan dikembalikan ke rumah orang tuanya, dan lain-lain. 3) Secara Seksual Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.Kekerasan dapat terjadi dalam bentuk pemaksaan dan penuntutan hubungan seksual. 4) Secara Ekonomi Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk dieksploitasi, sementara suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya.

6. Pemeriksaan Fisik Korban biasanya tampak depresi, sangat takut pada pengunjung/pasien lainnya dan yang merawatnya, termasuk pegawai rumah sakit. Perhatikan perubahan sikap korban. Mereka akan cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya. Mereka umumnya tak ingin orang sekitarnya melihat tanda-tanda kekerasan pada diri mereka. Kontak mata biasanya buruk. Korban menjadi pendiam. Korban harus diperiksa secara menyeluruh untuk memeriksa dengan teliti tanda-tanda kekerasan yang pada umumnya tersembunyi. Sebagai contoh, kulit kepala dapat menunjukkan tanda-tanda kekerasan. Korban juga akan mencoba untuk menyembunyikan atau menutupi luka-lukanya dengan memakai riasan wajah tebal, leher baju yang tinggi, rambut palsu atau perhiasan. a. Karakteristik Luka .Karakteristik luka yang disebabkan oleh adanya KDRT, biasanya menunjukkan gambaran sebagai berikut: 1) Luka bilateral, terutama pada ekstremitas. 2) Luka pada banyak tempat. 3) Kuku yang tergores, luka bekas sundutan rokok yang terbakar, atau bekas tali yang terbakar. 4) Luka lecet, luka gores minimal, bilur. 5) Perdarahan subkonjungtiva yang diduga karena adanya perlawanan yang kuat antara korban dengan pelaku. b. Bentuk-Bentuk Luka 1) Kekerasan Tumpul Kekerasan tumpul yang melukai kulit merupakan luka yang paling sering terjadi, berupa luka memar, lecet dan luka goresan. 2) Memar Beberapa petunjuk dasar tentang penampakan luka memar sebagai berikut: a. Waktu merah, biru, ungu, atau hitam dapat terjadi kapan saja dalam waktu 1 jam setelah trauma sebagai resolusi dari memar. Gambaran warna merah tidak dapat digunakan untuk memperkirakan umur memar. b. Memar dengan gradasi warna kuning umurnya lebih dari 18 jam. c. Meskipun warna memar kuning, coklat, atau hijau merupakan indikasi luka yang lama, tetapi untuk mendapatkan waktu yang spesifik sulit. 3) Bekas Gigitan Merupakan bentuk luka lain yang sering ada pada domestic violence. Beberapa bentukan gigitan ini sulit untuk dikenali, misalnya penampakan memar semisirkuler yang non spesifik, luka lecet, atau luka lecet memar. 4) Bekas Kuku Ada 3 macam tanda bekas kuku yang mungkin terjadi, bisa tunggal atau kombinasi, yaitu sebagai berikut: 1) Impression marks: Bentukan ini merupakan akibat patahnya kuku pada kulit. Bentuknya seperti koma atau setengah lingkaran.

2) Scratch marks: Bentuk ini superficial dan memanjang, kedalamannya sama dengan kedalaman kuku. Bentukan ini terjadi karena wanita yang menjadi korban berkuku panjang. 3) Claw marks: Bentukan ini terjadi ketika kulit terkoyak, dan tampak lebih menyeramkan. c. Distribusi Luka Luka-luka pada KDRT biasanya mempunyai distribusi tertentu, sebagai berikut: 1. Luka pada domestic violence biasanya sentral. 2. Tempat luka yang umum adalah daerah yang biasanya tertutup oleh pakaian (misalnya dada, payudara dan perut). 3. Wajah, leher, tenggorokan dan genitalia juga tempat yang sering mengalami perlukaan. 4. Lebih dari 50% luka disebabkan karena kekerasan pada kepala dan leher. Pelaku laki-laki menghindari untuk menyerang wajah, tetapi kemudian memukul kepala bagian belakang. 5. Luka pada wajah dilaporkan pada 94% korban domestic violence. 6. Trauma pada maxillofacial termasuk luka pada mata dan telinga, luka pada jaringan lunak, kehilangan pendengaran, dan patah pada mandibula, patah tulang hidung, orbita dan zygomaticomaxillary complex. Luka karena perlawanan, misalnya patah tulang, dislokasi sendi, keseleo, dan atau luka memar dari pergelangan tangan atau lengan bawah dapat mendukung adanya tanda dari korban untuk menangkis pukulan pada wajah atau dada. Luka lecet yang banyak atau luka memar pada tempat yang berbeda sering terjadi memperkuat kecurigaan adanya domestic violence. Peta tubuh dapat membantu penemuan fisik adanya kekerasan termasuk dengan memperhatikan kemungkinan tanda-tanda kekerasan pada daerah-daerah yang tersembunyi. Terdapatnya luka yang banyak dengan tahap penyembuhan yang bervariasi memperkuat dugaan adanya KDRT yang berulang. d. luka Selama Kehamilan Kekerasan umumnya meningkat selama kehamilan. Luka-luka kekerasan yang terjadi selama kehamilan biasanya terdapat pada bagian payudara atau perut. Pasien juga dapat memperlihatkan trauma pada genitalia, nyeri yang tidak dapat dijelaskan, serta kekurangan gizi. Kekerasan selam kehamilan dapat membawa dampak yang fatal bagi ibu maupun janin, seperti aborsi spontan yang tidak dapat dijelaskan, keguguran, atau kelahiran premature. e. Penganiayaan Seksual Penganiayaan seksual merupakan salah satu bentuk KDRT yang kerap terjadi. Penganiayaan seksual dilaporkan oleh 33% - 46% wanita yang mengalami kekerasan fisik. Beberapa bukti dari luka genital seperti hematom vagina, luka lecet kecil pada vagina, atau benda asing pada rectovagina, Adanya darah yang mengering dan semen juga harus dicatat. Perlu diindentifikasi pula adanya penyakit menular seksual yang dapat diduga akibat kekerasan seksual.

7. Peran Perawat (Penatalaksanaan) Merekomendasikan tempat perlindungan seperti crisis center, shelter dan one stop crisis center. Memberikan pendampingan psikologis dan pelayanan pengobatan fisik korban. Disini perawat dapat berperan dengan fokus meningkatkan harga diri korban, memfasilitasi ekspresi perasaan korban, dan meningkatkan lingkungan sosial yang memungkinkan. Perawat berperan penting dalam upaya membantu korban kekerasan diantaranya melalui upaya pencegahan primer terdiri dari konseling keluarga, modifikasi lingkungan sosial budaya dan pembinaan spiritual, upaya pencegahan sekunder dengan penerapan asuhan keperawatan sesuai permasalah-an yang dihadapi klien, dan pencegaha tertier melalui pelatihan/pendidikan, pem-bentukan dan proses kelompok serta pelayanan rehabilitasi. Memberikan pendampingan hukum dalam acara peradilan. Melatih kader-kader (LSM) untuk mampu menjadi pendampingan korban kekerasan. Mengadakan pelatihan mengenai perlindungan pada korban tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai bekal perawat untuk mendampingi korban. Upaya Penanganan KDRT 1. Pendekatan Promotif a. Menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk dapat menerapkan cara mendidik dan memperlakukan anak-anaknya secara humanis. b. Memberikan keterampilan tertentu kepada anggota keluarga untuk secepatnya melaporkan ke pihak lain yang diyakini sanggup memberikan pertolongan, jika sewaktuwaktu terjadi KDRT. c. Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan yang mengundang terjadinya KDRT. d. Membangun kesadaran kepada semua anggota keluarga untuk takut kepada akibat yang ditimbulkan dari KDRT. e. Membekali calon suami istri atau orangtua baru untuk menjamin kehidupan yang harmoni, damai, dan saling pengertian, sehingga dapat terhindar dari perilaku KDRT. f. Melakukan filter terhadap media massa, baik cetak maupun elektronik, yang menampilkan informasi kekerasan. g. Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan anak sesuai dengan jenis kelamin, kondisi, dan potensinya. h. Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli terhadap siapapun yang terkena KDRT, tanpa sedikitpun melemparkan kesalahan terhadap korban KDRT. i. Mendorong dan menfasilitasi pengembangan masyarakat untuk lebih peduli dan responsif terhadap kasus-kasus KDRT yang ada di lingkungannya.

2. Pendekatan kuratif: a. Memberikan sanksi secara edukatif kepada pelaku KDRT sesuai dengan jenis dan tingkat berat atau ringannya pelanggaran yang dilakukan, sehingga tidak hanya berarti bagi pelaku KDRT saja, tetapi juga bagi korban dan anggota masyarakat lainnya. b. Memberikan incentive bagi setiap orang yang berjasa dalam mengurangi, mengeliminir, dan menghilangkan salah satu bentuk KDRT secara berarti, sehingga terjadi proses kehidupan yang tenang dan membahagiakan. c. Menentukan pilihan model penanganan KDRT sesuai dengan kondisi korban KDRT dan nilai-nilai yang ditetapkan dalam keluarga, sehingga penyelesaiannya memiliki efektivitas yang tinggi. d. Membawa korban KDRT ke dokter atau konselor untuk segera mendapatkan penanganan sejak dini, sehingga tidak terjadi luka dan trauma psikis sampai serius. e. Menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang dilandasi dengan kasih sayang dan keselamatan korban untuk masa depannya, sehingga tidak menimbulkan rasa dendam bagi pelakunya. f. Mendorong pelaku KDRT untuk sesegera mungkin melakukan pertaubatan diri kepada Allah swt, akan kekeliruan dan kesalahan dalam berbuat kekerasan dalam rumah tangga, sehingga dapat menjamin rasa aman bagi semua anggota keluarga. g. Pemerintah perlu terus bertindak cepat dan tegas terhadap setiap praktek KDRT dengan mengacu pada UU tentang PKDRT, sehingga tidak berdampak jelek bagi kehidupan masyarakat. Pilihan tindakan preventif dan kuratif yang tepat sangat tergantung pada kondisi riil KDRT, kemampuan dan kesanggupan anggota keluarga untuk keluar dari praketk KDRT, kepedulian masyarakat sekitarnya, serta ketegasan pemerintah menindak praktek KDRT yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sikap Korban a. Bicarakan persoalan ini dengan orang yang anda percaya. b. Mintalah bantuan dari organisasi atau lembaga yang mengerti dan menangani persoalan ini seperti: LSM, KOMNAS HAM,KOMNAS perempuan,P2TP2A,Polsek dll. (P2TP2A) adalah Pusat Kegiatan Terpadu yang menyediakan Pelayanan bagi Perempuan dan anak korban kekerasan di provinsi Kalimantan Timur yang meliputi : Pelayanan Informasi, Konsultasi Psikologis, Hukum, Pendampingan dan Advokasi, serta Pelayanan Medis dan Rumah Aman (Shelter) melalui rujukan secara gratis.

c. Mulailah mendekati keluarga atau teman yang sekiranya bisa menampung jika diperlukan. Untuk menjaga keselamatan anda sebaikanya keluarga atau teman yang tidak dikenal oleh pasangan. d. Menyusun rencana perlindungan diri, mempersiapkan kebutuhan anak-anak, uang , tabungan, baju, kunci rumah/mobil menyelamatkan surat-surat penting dan obat-obatan yang diperlukan. e. Laporkan ke polisi jika penganiayaan tersebut mengancam jiwa anda dan anakanak,setidaknya akan mendapatkan perlindungan hukum. f. Kalau anda memiliki luka-luka atau cidera karena penganiayaan, potretlah bagian tubuh yang terluka. Foto ini bisa dipakai sebagai bukti dikemudian hari. g. Pergilah ke pelayanan kesehatan untuk memeriksakan luka-luka yang diderita. Data-data yang ada di dokter akan berguna, jika kasusnya menjadi kasus hukum. 8. Undang-Undang yang Berkaitan dengan KDRT Dengan telah disahkan Undang-Undang No.23 tahun tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, diharapkan adanya perlindungan hukum bagi anggota keluarga khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan dalam rumah tangga. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga. KUHP hanya mengatur secara terbatas ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga, sebagai berikut: 1) Pasal 351 356 KUHP mengatur penganiayaan, yang berarti hanya terbatas pada kekerasan fisik.

2) Pasal 285 296 yang mengatur perkosaan dan perbuatan cabul, belum sepenuhnya mengakomodir segala bentuk kekerasan seksual. KUHP tidak mengenal lingkup rumah tangga. 1. Hak-Hak Korban a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis. c. Penganganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban. d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. e. Pelayanan bimbingan rohani. Selain itu, korban juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari: a. Tenaga kesehatan. b. Pekerja sosial. c. Relawan pendamping. d. Pembimbing rohani. 2. Kewajiban Pemerintah a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. b. Menyelenggarakan komunikasi informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga. c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga. d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standard dan akreditasi pelayanan yang sensitive gender. Selain itu, untuk pengelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan upaya: a. Penyediaan ruang pelayanan khusus (RPK) di kantor kepolisian. b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani. c. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerjasama program pelayanan yang mudah diakses korban. d. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban. 3. Kewajiban Masyarakat a. b. c. d. Mencegah berlangsungnya tindak pidana. Memberikan perlindungan kepada korban. Memberikan pertolongan darurat. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

4.

Ketentuan Pidana pada Pelaku Ketentuan pidana penjara atau denda diatur dalam BAB VIII mulai dari pasal 44 53. Lama waktu penjara dan juga besarnya denda berbeda-beda sesuai dengan tindak kekerasan yang dilakukan. 1. Pasal 47: Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000 atau denda paling banyak Rp. 300.000.000 2. Pasal 48: Dalam hal perbuatan kekerasan seksual yang mengakibatkan korban mendapatkan luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus-menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp. 25.000.000 dan denda paling banyak Rp. 500.000.000 Selain itu, pelaku KDRT dapat juga dijerat dengan KUHP terutama tentang penganiayaan. Dalam hal ini, penganiayaan yang menimbulkan luka, baik ringan, sedang, maupun berat. Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP), sedangkan korban dengan luka sedang dapat merupakan hasil dari tindak penganiayaan (pasal 351 (1) atau 353 (1)). Korban dengan luka berat (pasal 90 KUHP) dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan dengan akibat luka berat (pasal 351 (2) atau 353 (2)) atau akibat penganiayaan berat (pasal 354 (1) atau 355 (1)).1

5. Pembuktian Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat yang sah lainnya. Adapun alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, yang diatur dalam pasal 184 adalah sebagai berikut: 1) Keterangan saksi 2) Keterangan ahli 3) Surat resmi yang dibuat oleh pejabat resmi atau yang dibuat dengan sumpah jabatan. 4) Petunjuk: baik perbuatan,kejadian atau keadaan yang berkaitan dengan kasus tsb 5) Keterangan terdakwa 6) Visum et repertum 9. Kendala dalam KDRT Menghadapi kasus KDRT yang insidennya makin meningkat dari tahun ke tahun masih memiliki berbagai hambatan. Hambatan muncul dari berbagai pihak termasuk korban, masyarakat, dan penyelenggara hokum itu sendiri. Belum tersosialisasinya UU No. 23 tahun 2004 terhadap para penegak hukum dan masyarakat menyebabkan

pengertian akan perlindungan terhadap korban KDRT masih sangat minimal. Korban kurang paham bahwa perbuatan pelaku adalah merupakan tindak pidana. Di samping itu, mengingat kekerasan terjadi di dalam rumah tangganya sendiri,korban sering merasa ragu-ragu untuk melaporkan ke polisi. Adanya dilemma batin pada korban antar keinginan untuk melapor dengan rasa sayang terhadap pelaku sering menyebabkan tenggang waktu antara kejadian dengan saat korban melakukan ke polisi cukup lama, sehingga bekas luka atau hasil Visum et repertum tidak mendukung. KDRT masih dianggap sebagai suatu hal yang privat dan korban sering merasa malu untuk melaporkan karena dianggap merupakan aib keluarga. Korban juga merasa pelaku adalah tulang punggung keluarga, sehingga apabila dilaporkan maka tidak ada yang membiayai korban/keluarga untuk kelangsungan hidupnya. 10. Mitos KDRT Menurut Deborah Sinclair, dan disunting oleh Kristi Poerwandari, psikolog dan Ketua Program Kajian Wanita Universitas Indonesia, merumuskan sejumlah mitos yang membuat pelaku kekerasan dimanfaatkan dan dibebaskan begitu saja. Mitos: Lelaki pelaku kekerasan memiliki penyakit mental Realitas: Jika lelaki benar-benar sakit mental, dia tidak memiliki kemampuan untuk memilih sasaran atau mengendalikan pola perilaku kekerasan. Sementara yang terjadi dalam KDRT, sebagian besar lelaki yang melakukan kekerasan akan menyembunyikan tindakan di dalam rumah. Serangan diarahkan ke bagian yang tidak terlihat bekasnya. Artinya pelaku sudah memiliki perencanaan dan pemikiran tentang pola kekerasannya. Suami pelaku KDRT juga tidak akan menyerang orang lain, misalnya teman kerja, bila mengatami frustrasi dan hanya menyasar istrinya di rumah. Mitos: Alkohol menyebabkan lelaki memukul pasangannya Realitas: Alkohol memfasilitasi penggunaan kekuatan fisik dengan memungkinkan pelaku melepaskan tanggungjawab perilakunya pada hal lain. Mitos: Hanya perempuan miskin yang dipukuli Realitas: Kekerasan terhadap perempuan terjadi di semua kalangan dan kelas sosial. Korban kekerasan yang kebanyakan perempuan tak hanya perempuan putus sekolah, namun juga berpendidikan tinggi, ibu rumah tangga, hingga pekerja di perkotaan. Kekerasan yang dialami perempuan dari kelas sosial atas seringkali disembunyikan atau tersembunyi. Karena pihak perempuan akan mengalami banyak kehilangan jika membuka situasi yang dialaminya. Mitos: Pihak perempuan yang memprovokasi sehingga pantas memperoleh perlakuan kekerasan Realitas: Tidak ada seorangpun yang pantas dipukuli. Provokasi hanyalah sekadar alasan dari pelaku untuk melepaskan diri dari tanggungjawab tindakannya. Pandangan ini hanya mencari kesalahan korban. Jika pelaku dibenarkan tindakannya dan dimaklumi, kekerasan akan terus meningkat dan membuat kekerasan menjadi metode penyelesaian masalah yang dapat diterima. Pelaku lantas semakin yakin bahwa ia boleh dan berhak menggunakan kekerasan.

Mitos: Jika perempuan terganggu oleh kekerasan, harusnya bicara tak hanya diam Realitas: Korban kekerasan merahasiakan apa yang dialaminya. Mereka percaya bahwa mereka dan orang-orang yang dicintai, termasuk anak-anak, akan berada dalam risiko besar jika berbicara tentang kejadian yang dialami. Korban juga sangat malu membicarakannya dan berpikir kekerasan terjadi karena kesalahan perempuan sendiri. Posisi perempuan semakin rentan karena mereka kerapkali pasif dan penurut, karena peran yang dibentuk sejak lama yang dilabelkan pada perempuan. Patofisiologi (Terlampir) 11. Asuhan Keperawatan Pasien Korban KDRT Uraian Kasus seorang wanitaberusia 30 tahun dating ke P2TP2A untuk melaporkan tindakan suaminya yang sering memukulinya. sang istri sudah tidak kuat lagi karena sering dipukuli dengan tangannya atau benda yang disekitarnya,suaminya sering memukuli jika istrinya tidak memenuhi kebutuhan suaminya dan terkadang suaminya melakukan kekerasan hubungan seksual. selain itu ucapan kasar kerap kali dilontarkan. Mata pencaharian suami seorang beca yang sudah sering tidak bekerja karena sepi penumpang.istri sudah tidak menerima nafkah lagi. mereka tinggal diperkampungan pinggiran sungai ciliwung dan mempunyai 5 anak yang tidak melanjutkan sekolah karena masalah biaya.sang istri menceritakan suaminya memukulinya karena masalah sepele dari tiga tahun yang lalu.saat dilakukan pemeriksaan terdapat luka lebam disekujur badan,tampak sering menangis dan ketakutan,sering menyendiri dan tampak murung. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN 1. PENGKAJIAN 1) Identitas Klien a. Nama : Ny.NN b. Umur : 30 Tahun c. Pekerjaan : IRT d. Jenis Kelamin : perempuan e. Alamat : kampung pinggiran sungai ciliwung f. Agama :g. Suku Bangsa :h. Status pernikahan : nikah 2) Keluhan Utama Klien mengeluh sering dipukuli oleh suaminya dengan tangan atau benda yang disekitarnya dan terkadang suami melakukan kekerasan hubungan seksual dan sering mendapat ucapan kasar dari suaminya. 3) Riwayat Kesehatan a. Riwayat Kesehatan Sekarang Klien mengalami luka lebam disekujur badan. b. Riwayat Kesehatan Masa Lalu klien mengaku sudah 3 tahun yang lalu mendapat perlakuan kasar dari suaminya.

c. Riwayat Kesehatan Keluarga d. Riwayat pengobatan e. Riwayat Psikososial klien tampak sering menangis dan ketakutan,sering menyendiri dan tampak murung 4) Pemeriksaan Fisik a. Keadaan umum : Compos mentis Antropometri: BB : TB : b. TTV: perlu dikaji c. pemeriksaan system integument: kondisi luka: karakteristik luka: bentuk luka: distribusi luka: d. pemeriksaan sitem refroduksi: 5) Pemeriksaan Diagnostik : Visum et repertum 6) Penatalaksanaan : tindakan yang dilakukan saat mengalami perilaku kekerasan 2. Analisa Data No. Data 1. DS: Klien mengeluh sering dipukuli oleh suaminya dengan tangan atau benda yang disekitarnya dan terkadang suami melakukan kekerasan hubungan seksual DO: terdapat luka lebam disekujur tubuh klien

Etiologi Suami tidak bekerja Timbul berbagai masalah kecilbesar Tidak bisa mengontrol emosi Diluapkan dengan kekerasan fisik,psikis dan dalam hubungan seksual Memukul istri Luka lebam di seluruh tubuh Gangguan integritas kulit Klien menjadi korban KDRT Berlangsung sudah 3 tahun Koping mekanisme kurang efektif klien tampak sering menangis dan ketakutan

Masalah Gangguan integritas kulit

2.

DS: DO: klien tampak sering menangis dan ketakutan

Ansietas

3.

DS: DO: klien tampak sering menyendiri dan murung

Ansietas Klien menjadi korban KDRT Berlangsung sudah 3 tahun Klien tidak mendapatkan hak sebagai seorang istri Terganggunya peran di keluarga Koping mekanisme kurang efektif Berbeda dengan keluarga yang harmonis Malu oleh sekitar dan tidak berani menceritakan penderitaannya Klien sering menyendiri dan tampak murung Gangguan Konsep diri: harga diri rendah

Gangguan Konsep diri: harga diri rendah

3. Diagnosa dan Intervensi No. Diagnosa Tujuan 1. Gangguan Tupan: integritas integritas kulit kulit klien terjaga. berhubungan dengan luka Tupen: dalam pukulan yang 2x24 jam kulit berulang ditandai klien membaik, dengan luka luka lebam lebam seluruh sedikit-sedikit tubuh hilang,klien tidak mengeluh kesakitan

Intervensi Rasional 1. Observasi kondisi 1. Untuk kulit,karakteristik menentukan luka, distribusi luka intervensi dan jenis luka selanjutnya yang efektif. 2. kaji penyebab semua 2. Menghindari luka terjadinya infeksi. 3. Kompres dengan menggunakan air 3. Air dingin es/air dingin mengurangi nyeri dan mempercepat 4. Berikan perawatan penyembuhan kulit (lotion). 5. Pertahankan kuku 4. Menjaga tetap pendek. kelembaban kulit.

2.

Ansietas b.d koping individu tid efektif d.d klien tampak sering menangis dan ketakutan

Tujuan Umum: Klien dapat mengurangi ansietasnya sampai tingkat sedang atau ringan. Khusus: Klien percaya terhadap perawat, ketakutan mulai menghilang dan tampak tegar menghadapi masalahnya.

5. Agar tidak 6. Gunakan pakaian mengiritasi kulit yang longgar ketika menggaruk kulit. 7. perhatikan jadwal 6. Menjaga kulit istirahan klien dari gesekan antara kulit dan pakaian. 7. mempercepat penyembuhan luka 1. Sapa klien dengan 1. menciptakan ramah, baik verbal kesan yang baik maupun nonverbal di awal (lakukan pertemuan komunikasi 2. menghilangkan terpetik) kecurigaan 2. Yakinkan klien klien pada dalam keadaan perawat aman dan perawat 3. klien lebih siap menolong dan mudah untuk mendampinginya terbuka 3. Yakinkan bahwa 4. Keterbukaan kerahasiaan klien dan akan tetap terjaga meningkatkan 4. Tunjukkan sikap rasa percaya terbuka dan jujur klien terhadap 5. Perhatikan perawat kebutuhan dasar 5. meningkatkan dan beri bantuan kepercayaan untuk dan kerjasama memenuhinya klien sehingga 6. Kurangi stimulus lebih lingkungan dan memudahkan batasi interaksi perawat dalam klien dengan klien memberikan lain. intervensi 7. diskusikan semua 6. Kondisi masalah yang lingkungan dialami klien dapat 8. berikan penjelasan memengaruhi dan respon positif tingkat terhadap masalah ansietas klien 7. menurunkan ansietas dan

1. membuka jaan penyelesaian masalah klien 3. Gangguan 1. tujuan umum: Konsep diri: 2. konsep diri baik harga diri rendah dan mampu b.d mengkomunikasi kan perasaannya. d.d klien tampak 3. khusus: sering mengendiri 4. Membina dan murung hubungan saling percaya.mampu 5. Menyebutkan penyebab menarik diri,melakukan hubungan sosial secara bertahap, klien perawat, klien kelompok, klien keluarga. 1. 1.memberikan rasa nyaman klien 1. Berikan perhatian terhadap perawat dan penghargaan positif terhadap klien 2.meningkatkan hub trust antara perawat 2. Dengarkan klien dank lien dengan empati : berikan kesempatan 3.mengetahui apa yang dipikirkan bicara (jangan di klien mengenai buru-buru), masalahnya tunjukkan perawat 4.memberikan mengikuti pengetahuan dan pembicaraan klien. 3. Bicara dengan klien motivasi yang bisa memperbaiki penyebab sering konsep diri klien mengendiri. 5. Kemampuan 4. Diskusikan akibat klien yang dirasakan dari mengidentifikasi menarik diri. penyebab menarik 5. Diskusikan diri akan keuntungan meningkatkan berinteraksi dengan kesadaran dan orang lain. kerjasama klien 6. Bantu klien mengidentifikasi 6.interaksi singkat kemampuan yang dan sering melatih dimiliki klien untuk klien berani bergaul. berinteraksi dengan 7. Lakukan interaksi yang lain sering dan singkat 8.Berkenalan / dengan klien berkomunikasi 8. Motivasi / temani dengan orang-orang klien untuk di sekitar klien berinteraksi dengan membantu klien orang yang untuk memulai dipercaya dan hubungan sosial mampu membantu 10.Keluarga permasalahan klien merupakan bagian 9. Bantu klien melakukan aktivitas terdekat klien yang sangat berperan hidup sehari-hari dalam upaya dengan interaksi.

10. Fasilitas hubungan klien dengan keluarga secara terapeutik. 11. Diskusikan dengan klien setiap selesai interaksi atau kegiatan 12. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannnya

peningkatan kesehatan klien 11.Pengetahuan perawat mengenai kondisi klien dalam berhubungan social memudahkan perawat dalam mengukur keberhasilan intervensi 12.Pujian atas pengungkapan perasaan membuat merasa dihargai sehingga semakin termotivasi

Daftar Pustaka

John Lelan, Wanita : Makhluk yang tercecer dalam peradaban manusia, mahasiswa pasca sarjana Universitas Nagayo-Jepang, April 2004 Komnas Perempuan (2002). Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia. Jakarta: Ameepro. http://www.detik.com/ Kompas. (2006). Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dipengaruhi Faktor Idiologi. Kompas. (2007). Kekerasan Rumah Tangga Bukan Lagi Urusan Suami Istri. WHO. (2006). Menggunakan Hak Asasi Manusia Untuk Kesehatan Maternal dan Neunatal: Alat untuk Memantapkan Hukum, Kebijakan, dan Standar Pelayanan. Jakarta: Dep. Kes. RI. Dari www.depkes.go.id. ____ . (2007). Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Bagi Wanita. Diambil pada tanggal 25 Maret 2007 dari www.depkes.go.id. __________. (2006). Sekilas Tentang Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Diambil pada tanggal 26 Oktober 2006 dari http://www.depkes.co.id

You might also like