You are on page 1of 18

5. KASUS KORUPSI DALAM INSTANSI PEMERINTAH, LEMBAGA LEGISLATIF, EKSEKUTIF, YUDIKATIF 5.1.

Kasus Korupsi dalam Instansi Pemerintah Inilah beberapa daftar kasus korupsi yang dilakukan instansi pemerintah di Indonesia : Kasus dugaan korupsi Soeharto: Dakwaan atas tindak korupsi di tujuh yayasan. Pertamina: Dalam Technical Assistance Contract dengan PT Ustaindo Petro Gas. Bapindo: Pembobolan di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) oleh Eddy Tansil. HPH dan dana reboisasi: Melibatkan Bob Hasan, Prajogo Pangestu, sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia: Penyimpangan penyaluran dana BLBI Kasus Abdullah Puteh: Korupsi APBD.

Pada 17 Oktober 2006, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mulai menayangkan foto dan menyebarkan data para buronan tindak pidana korupsi yang putusan perkaranya telah berkekuatan hukum tetap. Data dan foto 14 belas koruptor tersebut direncanakan ditayangkan di televisi dan media massa dengan frekuensi seminggu sekali. Mereka adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Sudjiono Timan - Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Eko Edi Putranto - Direksi Bank Harapan Sentosa (BHS) Samadikun Hartono - Presdir Bank Modern Lesmana Basuki - Kasus BLBI Sherny Kojongian - Direksi BHS Hendro Bambang Sumantri - Kasus BLBI Eddy Djunaedi - Kasus BLBI Ede Utoyo - Kasus BLBI Toni Suherman - Kasus BLBI Bambang Sutrisno - Wadirut Bank Surya

11. 12. 13. 14.

Andrian Kiki Ariawan - Direksi Bank Surya Harry Mattalata alias Hariram Ramchmand Melwani - Kasus BLBI Nader Taher - Dirut PT Siak Zamrud Pusako Dharmono K Lawi - Kasus BLBI Berdasarkan studinya Transparansi Indonesia IPK Indonesia termasuk rendah disebabkan oleh adanya praktek korupsi dalam urusan layanan pada bidang bisnis, antara lain meliputi ijin-ijin usaha (ijin domisili, ijin usaha, HGU, IMB, ijin ekspor, angkut barang, ijin bongkar muat barang,), pajak (restitusi pajak, penghitungan pajak, dispensasi pajak), pengadaan barang dan jasa pemerintah (proses tender, penunjukkan langsung), proses pengeluaran dan pemasukan barang di pelabuhan (bea cukai), pungutan liar oleh polisi, imigrasi, tenaga kerja, proses pembayaran termin proyek dari KPKN (Kantor Perbendaharaan Kas Negara). Secara de facto saat ini sudah ada empat badan institusi negara yang memiliki tugas dan kewenangan yang berhungan dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, yaitu: (1) kepolisian, (2) kejaksaan, (3) KPK (Komisi Pembarantas Korupsi), (4) Timtastipikor (Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi) Adapun tugas dan kewengan dari tiap institusi negara yang berhubungan dengan upaya pemberantasan korupsi adalah sebagai berikut: 1. Aparat Kepolisian Polisi merupakan salah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tugas dan wewenang kepolisian diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Dalam kaitannya dengan kasus korupsi polisi memiliki hak dalam penyelidikan, yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam

undang-undan dan penyidikan. Selain itu polisi juga memiliki hak penyidikan, yaitu serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Hal ini sebagimana yang dijelaskan dalam pasal 14 UU No 2 Tahun 2002 yang berbunyi melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Selain itu kepolisian juga berwenang untuk menghentikan penyidikan sebagaiman yang di ungkapkan dalam pasal 16 bahwa : Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : h. Mengadakan penghentian penyidikan. 2. Kejaksaan Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan serta kewenagan lain berdasarkan undang-undang. Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dalam kaitanya dengan upaya pemberantasan korupsi kejaksaan memiliki wewenang untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan sebagaimana yang tertuang dalam pasal UU No 16 Tahun 2004. Wewenang yang dimiliki kejaksaan menjadi lebih sempit sejak ditetapkan UU No 16 2004 yang pada undang-undang sebelumnya (Kepres No 55 Tahun 1991) selain memiliki wewenang penyelidikan dan penuntutan juga memiliki wewenang dalam penyidikan. Meskipun begitu, kejaksaan masih memilki kewenagan secara yuridis dalam penyidikan sebagaimana dalam pasal (27) PP No. 27 Tahun 1983 (tentang pelaksanaan KUHP Bab VII PenyidikanTerhadap Tindak PidanaTertentu) bahwa penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada UU tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, Jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang- undangan. Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, kejaksaan memiliki wewenang untuk membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainya. Dalam UU yang

terakhir ini (UU No 16 Tahun 2004) juga mengurangi wewenang kejaksaan dalam pemberhentian penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana yang diatur dalam Kepres No 55 Tahun 1991. Meskipun begitu dalam pasal 32 kejaksaan diserahi tugas dan wewenang lain dalam undang-undang sehingga kejaksaan juga memilki wewenang untuk mengelurtkan suarat pemberhentian penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (SP3) berdasarkan pasal 109 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP). 3. KPK ( Komisi Pemberantas Korupsi) Pembentukan KPK merupakkan pola baru dalam menindak lajuti kasus korupsi yang sebelumnya ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan diniliai belum maksimal dalam menjalankan tugas sebagai lembaga pemberantas korupsi sehinga diperlukan suatu lembaga yang independen, profesional, dan akuntabel[7]. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 30 Tahun 2002 huruf b, yaitu bahwa Lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam dalam memberantas tidak pidana korupsi. KPK dalam menjalaskan tugasnya sebagai pemeberantas korupsi tidak bertanggung jawab terhadap presiden sebagaimana lembaga seniornya yaitu kepolisian dan kejaksaan tetapi bertanggung jawab langsung terhadap publik atau masyarakat. Adapun tugas, kewajiban dan wewenang KPK juga diatur dalam UU N0. 30 Tahun 2002. Dalam pasal 6 dijelaskan bahwa KPK memiliki tugas dan wewengan : (1) koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, (2) supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, (3) melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, (4) melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, (5) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Selain itu dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan dan penyidikan KPK diberi wewenang yang diatur dalam Melihat wewenang yang diberikan terhadap KPK menunjukkan bahwa ia adalah lembaga superbody yang memiliki wewenang yang dimliki oleh kepolisian dan

kejaksaan. Dalam melakukan tugas dan wewenang di atas, KPK juga memiliki wewenang dalam mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaiman yang tertuang dalam pasal 8. Adapun tugas dan wewenang KPK meliputi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam memberantas korupsi dibatasi melalui pasal 11, yaitu (1) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, (2) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, (3) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pembatasan yang lain bagi KPK adalah selama menjalankan wewenangnya KPK tidak berwenang mengeluarkan surat pemberhentian penyidikan dan penuntutan (Sp3). 4. Timtastipikor Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi merupkan lembaga pemerintah dalam menindak lanjuti kasus korupsi yang dibentuk dan bertanggung jawab secara langsung terhadap presiden berdasarkan Keppres No. 11 Tahun 2005. Adapun Timtaspikor ini keanggotaanya terdari dari Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Adapun tugas dan wewenang Timtastipikor adalah (1) melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai ketentuan hukum acara pidana yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi, (2) mencari dan menangkap para pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi, serta menelusuri dan mengamankan seluruh aset-asetnya dalam rangka pengembalian keuangan negara secara optimal, yang berkaitan dengan tugas sebagaimana dimaksud pada huruf, (3) Melakukan kerjasama dan/atau koordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Ombudsman Nasional dan instansi pemerintah lainnya dalam upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi, (4) Melakukan hal-hal

yang dianggap perlu guna memperoleh segala informasi yang diperlukan dari semua instansi Pemerintah Pusat maupun instansi Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, serta pihak-pihak lain yang dipandang perlu, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun karena keberadaan Timtastipikor dinilai kurang efektif dan tegas serta kewenagannya tumpang tindih dengan lambaga pemerintah lainnya seperti kepolisian, kejaksaan dan KPK sehingga dikeluarkan Keppres No 10 Tahun 2007 tentang Pengakhiran Tugas Dan Pembubaran Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Korupsi. 5.2. Kasus Korupsi di Lembaga Eksekutif Kasus korupsi yang ada di lembaga eksekutif itu bukan suap, karena dia bisa sampai mark up. Meski demikian, kasus korupsi baik mark up ataupun suap sama saja korupsi, sehingga perlu ditindak tegas. Hal tersebut cukup jelas terlihat dalam pidato Presiden pada tanggal 16 Agustus 2012 di DPR RI terkait keprihatinan perilaku korupsi di Indonesia. Contohnya, Kasus Korupsi Sumbar yang Didominasi Lembaga Eksekutif. Divisi Kebijakan Publik Lembaga bantuan Hukum (LBH) Kota Padang, Ardisal, mengatakan kasus korupsi yang terjadi pada Tahun 2009 di Sumatera Barat (Sumbar) didominasi dari lembaga eksekutif . Dari 106 kasus korupsi yang terjadi di Sumatera Barat selama tahun 2009, korupsi didominasi dari lembaga eksekutif. Kasus korupsi yang dilakukan dari lembaga ekskutif (pemerintahan) sebanyak 44 kasus. Dari 106 kasus korupsi yang terjadi di Sumatera Barat selama Tahun 2009, kerugian keuangan negara mencapai RP114.198 M. Dari Badan Umum Milik Negara (BUMN) ditemukan kasus korupsi sebanyak 3 kasus dan Badan umum milik daerah (BUMD) sebanyak 2 kasus. Sementara itu korupsi pada Tahun 2009 yang dilakukan dari pihak swasta yang ada yang terjadi di Sumatera Barat sebanyak 11 kasus. Para pemimpin rakyat di Sumatera Barat belum sungguh-sungguh dalam mewujudkan pemerintahan yang bebas dari korupsi. Dari hulu hingga hilir sektor-sektor pemerintahan dan swasta terindikasi melaksanakan praktek-praktek kolusi, korupsi dan nepotisme. Menurutnya, jika dilihat secara acak disetiap lapisan struktural kemasyarakatan dan pemerintahan telah terdapat lembaga dan mekanisme pemberantasan penyakit korupsi yang sangat besar.. Namun apa daya

sejak tahun 2009 (era reformasi,red) hingga sekarang tingkat korupsi yang terjadi di Sumatera Barat terus meningkat, hal terlihat pada Tahun 2008 sebanyak 103 kasus, sedangkan pada tahun 2009 sebanyak 106 kasus korupsi artinya naik sebanyak 3 kasus. Dari pengamatan LBH Padang, terdapat banyak sekali kasuskasus korupsi yang terdakwanya adalah pemimpin daerah yang ternyata dijatuhi putusan lepas atau bebas. Seperti kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Proyek Penyiapan Pemukiman Transmigrasi dengan berkas atas nama Achyarman. Kasus tindak pidana korupsi pada kegiatan Pengembangan Tanaman Kakao Tahun 2005 di Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Barat yang melibatkan mantan Kepala Dinas Perkebunan Sumbar Ir. Sohil Noer. Kemudian pada kasus tindak pidana korupsi penyalahgunaan kewenangan dengan cara melakukan penarikan uang milik BPR dengan berkas atas nama Samsurizal, kemudian tindak pidana korupsi penyelewengan keuangan negara berupa penyelewengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) oleh terdakwa Indriyati Yanimar yang juga di vonis bebas. Dia menambahkan, belum lagi saat ini masih terdapat beberapa kasus korupsi yang belum jelas nasibnya juga melibatkan pemimpin daerah di Sumatera Barat. Seperti kasus penerangan lampu jalan umum kota Padang yang melibatkan "FB" ternyata lenyap begitu saja setelah jadi perbicangan umum. Kasus korupsi pengadaan tanah dan pasar Banto di Bukittinggi yang juga melibatkan "J" tapi hanya berkutat pada bawahannya. Kasus pengadaan komputer dan tanah di Kabupaten Solok yang sesungguhnya melibatkan "G" tetapi belum juga tersentuh. Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat.Dari total 10 studi kasus terdapat 4 kasus dugaan korupsi lembaga Legislatif di tingkat Kabupaten; 4 kasus dugaan korupsi lembaga eksekutif di tingkat Kabupaten; dan 2 kasus dugaan korupsi lembaga legislatif di tingkat propinsi. Studi kasus dilakukan pada bulan Mei sampai Nopember 2006 dengan melakukan in-depth interview kepada lebih dari 200 responden dan 13 Focus Group Discussion yang melibatkan kurang lebih 150 peserta meliputi: warga

masyarakat, aparat penegak hukum, tersangka korupsi dan pengacaranya, aktor pendorong dan media massa. Lembaga eksekutif dinobatkan sebagai institusi terkorup di Provinsi Aceh selama 2011. Lembaga ini mendominasi kasus korupsi yang terjadi sepanjang tahun ini dan berkontribusi sebesar 96 persen terhadap kerugian negara. Berdasarkan hasil monitoring peradilan dilakukan Badan Pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) pada 2011, ada 75 kasus korupsi yang sedang dan sudah diproses penegak hukum.Pihak eksekutif paling banyak terlibat. Jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari 75 kasus tersebut mencapai Rp325,6 miliar. Ini belum termasuk delapan kasus yang nilai kerugian negaranya masih diaudit. Jumlah tersangka yang diproses sebanyak 161 orang, belum termasuk tujuh kasus yang belum ditetapkan tersangkanya. Dengan koleksi 59 kasus, eksekutif berkontribusi paling besar terhadap kerugian negara yakni senilai Rp316,4 miliar atau 96,59 persen. Sisanya disumbangkan oleh legislatif (Rp1 miliar), Komisi Daerah (Rp1,9 miliar), BUMN (Rp2,7 miliar), BUMD (Rp200 juta), Yayasan (Rp3 miliar) dan Swasta (Rp1,2 milyar). Korupsi terbanyak ditemukan di sektor infrastruktur yakni 20 kasus, disusul sektor keuangan daerah 15 kasus, sektor pendidikan 13 kasus, kesehatan delapan kasus, pengadaan barang lima kasus, dan olahraga tiga kasus. Alfian menyebutkan, korupsi pada sektor keuangan daerah merupakan penyumbang kerugian negara terbesar di Aceh selama 2011 yaitu mencapai Rp286,4 miliar atau 87 persen dari total kerugian negara. Kemudian sektor infrastruktur sebanyak Rp10,9 miliar atau 3,34 persen, pengadaan barang Rp10,4 miliar atau 3,20 persen. Berdasarkan daerah, Aceh Utara menempati posisi puncak sebagai kabupaten terkorup di Aceh dengan kasus korupsi yang menimbulkan kerugian negara

mencapai Rp221,7 miliar atau setara dengan 67,68 persen dari keseluruhan kasus. Disusul kabupaten Bireuen dengan besaran kerugian negara Rp60,5 miliar serta Aceh Tamiang dengan jumlah 10,4 miliar. Menurut Alfian, dari 75 kasus yang dimonitoring tersebut 39 di antaranya masih dalam proses penyidikan dan belum dilimpahkan ke pengadilan. Sementara 14 lainnya dalam proses persidangan. Kami mendorong jajaran kepolisian dan kejaksaan di Aceh untuk menuntaskan kasus korupsi yang selama ini belum terselesaikan secara hukum, katanya. 5.3. Kasus Korupsi di Lembaga Legislatif Kasus korupsi yang beredar di lembaga legislative hanyalah sebatas suap, yang dilakukan pihak luar demi melancarkan proyek dan memberikan putusan yang menguntungkan terdakwa seperti yang terjadi pada kasus suap hakim ad hoc Tipikor Semarang. Praktik korupsi di lembaga legislatif saat ini ditengarai semakin ganas. Politisi instan juga semakin banyak. Perbaikan partai politik, terutama terkait transparansi keuangan partai dan pengukuran kinerja kadernya, menjadi jalan utama memperbaiki kondisi Dewan Perwakilan Rakyat. Kondisi itu mengemuka dalam diskusi tentang DPR yang terbelit korupsi. Diskusi dipandu Teten Masduki dari Transparency International Indonesia. Narasumber yang tampil adalah Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso, Haryatmoko (ahli etika dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta), Akhiar Salmi (ahli hukum pidana korupsi dari Universitas Indonesia, Jakarta), Sebastian Salang (Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia), dan anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan DPR, Eva Kusuma Sundari. Narasumber dan pemandu sepakat, perilaku koruptif yang ganas di DPR itu terungkap jelas di media massa, dengan banyaknya anggota Dewan yang terjerat kasus korupsi. Semakin banyak dan beragam pula kasus korupsi yang terungkap di DPR.

Becermin dari kasus korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang, Teten menilai, korupsi di DPR sudah amat memprihatinkan. Dari kasus itu terlihat, anggota DPR ikut mengatur pelaksanaan proyek di kementerian atau lembaga dan kemudian mendapatkan uang dari kegiatan itu. Korupsi di DPR, kata Sebastian, sekarang dilakukan dengan memborong berbagai proyek di APBN. Sejumlah calo memberikan uang kepada pejabat di kementerian atau lembaga untuk mendapatkan sejumlah proyek. Uang itu juga diberikan kepada sejumlah anggota DPR agar mereka menyetujui sejumlah proyek. Dalam kondisi ini, lelang hanya menjadi formalitas. Anggota Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rhenald Kasali, menuturkan tren korupsi di Indonesia kini beralih ke ranah legislatif, seperti lembaga DPR. Ada yang blur dari sisi penyediaan anggaran di sana. Penganggaran di wilayah legislatif dinilainya belum transparan. Penggoyang lembaga legislatif (DPR) itu bisa dari pengusaha maupun legislator yang menyaru menjadi pengusaha.

Di sisi lain, Sekretaris Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, Denny Indrayana, menuturkan korupsi yang merusak merupakan korupsi politik. Denny mencontohkan hulu korupsi seperti dalam pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, hingga pengadaan barang dan jasa. Sementara itu, hilirnya adalah korupsi hukum. Korupsi yang terjadi ketika ada kasus hokum. Antara hulu dan hilir, Denny menguraikan jembatannya adalah pebisnis. Pebisnis bisa membayar politikus maupun aparat penegak hukum demi kepentingan mereka Salah satu upaya mengurangi korupsi politik adalah memperbaiki partai politik. "Kita sudah on the track dengan menyederhanakan partai politik," kata Denny. Dengan semakin sedikitnya partai politik, kian mudah mengatur manajemen

kepentingan. Sebagai sebuah Negara tentunya indonesia memiliki tujuan, sebagaimana termaktub dalam dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahtetaan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Namun beragam persoalan yang tengah dialami bangsa Indonesia saat ini, pasca reformasi, apa yang menjadi tujuan dari Negara yaitu mensejahterakan, mencerdaskan rakyat nyatanya masih jauh panggang dari api, bahkan yang lebih menyakitkan hati rakyat adalah menyaksikan penghianatan oleh wakil-wakilnya yang dipilih langsung melalui pemilihan umum, padahal ketika masa kampanye rakyat dikenyangkan dengan janji-janji, yang berhasil menarik simpatik dari rakyat. Berbagai pemberitaan mengenai nasib bangsa yang semakin hari semakin tenggelam dan semakin terpuruk. Faktor utama penyebab dari semakin parahnya kondisi bangsa adalah mewabahnya salah satu penyakit yang sudah menjalar kemana-mana, bahkan menjangkiti para anggota legislator yang seharusnya menjadi wakil rakyat, membuat legislasi yang pro-rakyat, namun yang terjadi malah sebaliknya, mereka berlindung dibalik jubah lembaga legislatif yang bernama DPR, wabah itu adalah KORUPSI Catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama tahun 2007 ada 2 orang yang terjerat korupsi, 7 orang pada 2008, 8 orang pada 2009, 27 orang pada 2010, 5 orang pada 2011 dan sampai April 2012 ini 4 orang. Dari jumlah tersebut ada nama politisi yang disebut dua kali karena terlibat dalam dua kasus korupsi yang berbeda seperti Hamka Yandhu, Anthony Zeidra Abidin, dan Sofyan Usman. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota parlemen itu didominasi kasus

suap. Misalnya, sebanyak 30 anggota DPR periode 1999-2004 terjerat kasus suap cek pelawat pemilihan Dewan Gubernur Senior BI. Kasus cek pelawat ini terjadi pada 2004 yang terungkap karena nyanyian bekas anggota Komisi IX DPR dari PDIP, Agus Condro pada 2008 ke KPK. Lalu, ada juga kasus suap terkait alih fungsi hutan lindung dan pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu Kementerian Kehutanan tahun 2007-2006Kasus ini menjerat anggota Komisi IV DPR tahun 2004-2009. Sebanyak 50 anggota Komisi IV DPR tahun 2004-2009 diduga menerima suap terkait alih fungsi hutan lindung menjadi Pelabuhan Tanjung Api-Api, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Namun, hanya 6 anggota Komisi IV DPR 2004-2009 yang terbukti di Pengadilan Tipikor pada tahun 2008, menerima suap alih fungsi hutan lindung dan SKRT Dephut. Teranyar, KPK tengah memproses indikasi tindak pidana korupsi dalam proses pengadaan proyek Wisma Atlet SEA Games senilai Rp 191 miliar. Pengadaan proyek ini setidaknya melibatkan DPR, Kementerian Pemuda dan Olahraga, serta pemerintah daerah. Muhammad Nazaruddin, telah divonis 4 tahun 10 bulan sedangkan Angelina Sondakh, anggota Fraksi Partai Demokrat, telah ditetapkan sebagai tersangka. Mengapa anggota DPR rentan korupsi? karena anggota DPR mempunyai kekuatan yang sangat dominan disamping tugas pokok sebagai lembaga legislasi, pengawasan dan anggaran. Ini membuat banyak transaksi saat mereka membuat Undang-Undang. Bahkan perubahan (amandemen) UUD NRI tahun 1945 yang ke-empat, seolah membatasi kekuasaan Presiden namun Tirani DPR dimulai.Becermin dari kasus korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang, Teten menilai, korupsi di DPR sudah amat memprihatinkan. Dari kasus itu terlihat, anggota DPR ikut mengatur pelaksanaan proyek di kementerian atau lembaga dan kemudian mendapatkan uang dari kegiatan itu. Menurut sebastian Korupsi di DPR sekarang dilakukan dengan memborong berbagai proyek di APBN. Sejumlah calo memberikan uang kepada pejabat di kementerian atau lembaga untuk mendapatkan sejumlah proyek. Uang itu juga diberikan kepada sejumlah anggota DPR agar mereka menyetujui sejumlah proyek. Dalam

kondisi ini, lelang hanya menjadi formalitas Tentunya sangatlah sulit untuk mengatasi wabah korupsi ini, mengingat yang melakukannya adalah para penyelenggara Negara, apalagi dilakukan secara terorganisir, bahkan kolektifitas, yang seharusnya kolektifitas dalam kebaikan tapi malah kolektifitas dalam melakukan kejahatan yang luar biasa (korupsi). Sudah menjadi rahasia umum bahwa para koruptor merampok uang Negara yang sama saja merampok hak-hak masyarakat, merampas harta milik masyarakat. Korupsi bahkan menjadi sesuatu yang membanggakan bagi koruptor, kita menyaksikan betapa mereka tidak takut akan hukumannya, karena sangatlah ringan, beberapa kasus korupsi yang sudah diputuskan pengadilan, rata-rata hukumannya adalah 2 tahun setengah, sangatlah ironis dibandingkan dengan hukuman pencurian biasa yang dalam KUHAP pasal 362 yang hukumannya selama 5 tahun. Penyakit korupsi di Indonesia sudah mewabah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tentu sudah saatnya di berantas dengan cepat, agar penyakit korupsi tidak menular di segala aspek kehidupan secara universal. Sebab kalau penyakit korupsi di biarkan, tentu tidak menutup kemungkinan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tinggal menunggu hitungan waktu menuju sebuah lubang kehancuran. Karena tidak ada sebuah bangsa abadi di alam semesta, semua punya umur dan jangka waktu dalam membangun sebuah peradaban bangsa. Ini akan menjadi BOM waktu bagi bangsa Indonesia yang bisa meledak kapan saja, bahkan efek terburuknya adalah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itu artinya bangsa Indonesia akan tutup usia, jika persoalan korupsi ini tidak serius ditangani, karena mengingat bahwa korupsi adalah salah satu extra ordinary crime, seharusnya pemerintah juga harus melakukan usaha yang sangat ekstra untuk mengatasi wabah penyakit korupsi. Karena jika tidak, maka legislatif yang korup menyuburkan sinisme.sebagai contoh berbagai skandal korupsi yang terus terbongkar di Eropa Barat merangsang munculnya kekuatan politik partai-partai ekstrem kiri dan kanan. Partaipartai politik ekstrem ini mendapat manfaat dari aib yang dibuat oleh anggota legislatif yang terpilih dan

melakukan tindakan korupsi. Melihat akhir-akhir ini wabah korupsi sudah menjalar ke lembaga legislasi, maka menurut saya perlu dilakukan satu tindakan tegas terhadap anggota DPR yang terlibat korupsi, bahkan sebelum menjadi anggota DPR seharusnya partai politik yang berpartisipasi dalam pemilihan anggota legislatif tidak sembarangan untuk memilih calon, bukan dari sisi pendidikan saja, namun perlu diperhatikan juga persoalan moral dari bakal calon. Jika sudah terpilih dan melakukan korupsi maka harus ditindak tegas terhadap partai politik yang mengusungnya, walaupun tergolong ekstrim, mungkin mahkamah konstitusi bisa membubarkan partai politik tersebut, dengan kuota apabila lebih dari 3 orang anggota partai politik tersebut terbukti terlibat korupsi. 5.4. Kasus Korupsi di Lembaga Yudikatif Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, menyayangkan makin merambahnya tindakan korupsi ke lembaga Yudikatif atau lembaga penegak hukum. Padahal lembaga itu seharusnya bisa memberantas para koruptor di Indonesia. Sangat disayangkan tindakan korupsi saat ini lebih banyak terjadi di yudikatif. Indikasi terjadinya hal itu bisa dilihat dari fenomena jual beli keputusan yang sering dilakukan para penegak hukum. Tidak usah tanyakan apa buktinya, sudah jelas terlihat baik dari pengambilan keputusan maupun yang sudah jadi masih saja bisa diperjual belikan. Alangkah berbahayanya jika lembaga yudikatifnya sudah tidak bersih. (Kalau) Lembaga eksekutif penuh korupsi tidak usah lagi banyak dibuktikan, semuanya mulai dari legislatif, yudikatif. Yudikatif lebih gila, lebih rusak lagi. Bisa jual beli perkara. Semuanya saya bilang sedang dalam kondisi sakit semua. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, korupsi kini mulai melanda lembaga yudikatif. Menurut dia, hal itu terindikasi dari adanya dugaan praktik jual beli putusan yang dilakukan oleh oknum di lembaga peradilan.

Yang lebih berbahaya adalah korupsi melanda lembaga yudikatif. Bentuknya dengan jual beli putusan. Mahfud mengatakan, praktik korupsi di lembaga yudikatif banyak dilakukan oleh hakim dan panitera salah satunya dengan memanfaatkan keberadaan Pasal 67 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal itu memuat ketentuan putusan bebas tidak dapat diajukan kasasi baik oleh terdakwa maupun penuntut umum. Akibatnya, hakim dan panitera bisa dengan leluasa mengubah putusan dan membebaskan koruptor.

Selanjutnya, Mahfud memaklumi apabila korupsi terjadi di lembaga eksekutif dan legislatif. Tetapi, apabila praktik korupsi di lembaga yudikatif masih berjalan dan semakin banyak, hal itu dapat berbahaya bagi keberlangsungan negara. Jika negara dalam kondisi seperti ini sangat berbahaya. Jika dibiarkan, maka sebenarnya kita sedang menjerumuskan diri ke dalam jurang kehancuran," terang Mahfud. Mahfud menambahkan, sepakat dengan langkah Mahkamah Agung atas peraturan yang tetap memperbolehkan putusan bebas dikasasi. "Sehingga banyak koruptor dinyatakan bersalah dalam putusan Kasasi," ujar dia. Lembaga paling rawan terjadinya korupsi adalah Yudikatif, atau lembaga penegak hukum yang seharusnya bersih. Sangat disayangkan tindakan korupsi saat ini lebih banyak terjadi di Yudikatif. Menurut Mahfud, hal tersebut saat ini jelas terlihat dari fenomena jual beli keputusan yang sering dilakukan oleh para penegak hukum.

Tidak usah tanyakan ke saya apa buktinya, sudah jelas terlihat baik dari pengambilan keputusan maupun yang sudah jadi masih saja bisa diperjual belikan.

Mahfud sangat menyayangkan ketika tindakan korupsi tersebut makin merambah ke lembaga Yudikatif sebagai lembaga yang seharusnya bisa memberantas para koruptor di Indonesia. Alangkah berbahayanya jika lembaga Yudikatifnya sudah tidak bersih. Lembaga Ekskeutif penuh korupsi tidak usaha lagi banyak dibuktikan, semuanya mulai dari Legislatif, Yudikatif, tandasnya. Maraknya praktik korupsi (suap) tidak hanya terjadi di lembaga eksekutif dan legislatif, tetapi juga yudikatif. Salah satu modus korupsi di yudikatif adalah jual beli putusan. Ketua MK Moh Mahfud MD mengatakan lembaga peradilan, bahkan termasuk MK sangat rawan disusupi perilaku korupsi. Menurut Mahfud, praktik korupsi di lembaga yudikatif banyak dilakukan oleh hakim dan panitera, salah satunya dengan memanfaatkan keberadaan Pasal 67 KUHAP. Pasal itu mengatur larangan putusan bebas diajukan upaya hukum banding atau kasasi oleh terdakwa atau penuntut umum. Ketentuan itu, bisa menjadi celah bagi hakim dan panitera leluasa mengubah dengan cara membebaskan koruptor. Makanya, lanjut Mahfud, pihaknya sepakat dengan pendapat MA lewat putusannya (yurisprudensi) yang tetap memperbolehkan putusan bebas bisa diajukan dikasasi. Tidak sedikit koruptor yang dinyatakan bersalah di tingkat kasasi yang sebelumnya dinyatakan bebas. Pasal 67 KUHAP menyebutkan terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Namun, sejak diterbitkannya Kepmenkeh No. M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tertanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, pengajuan kasasi atas putusan bebas dimungkinkan. Kemudian, hal ini diperkuat

dengan praktik lewat yurisprudensi MA No. K/275/Pid/1983. Pasal 67 jo Pasal 244 KUHAP yang dihubungkan dengan yurisprudensi MA itu pun pernah dimohonkan pengujian mantan Gubernur BengkuluAgusrin M Najamudin. Tetapi, permohonannya kandas. MK menyatakan tidak berwenang mengadili permohonan pengujian pasal itu karena putusan MA No. 275K/Pid/1983 adalah suatu putusan dalam perkara konkret. Memang dalam praktik, ada beberapa terdakwa korupsi yang dinyatakan bebas di tingkat pertama, tetapi divonis bersalah di tingkat kasasi. Diantaranya, kasus Agusrin dan mantan Walikota Bekasi nonaktif, Mochtar Mohammad. Dimintai tanggapannya, Anggota Badan Pekerja ICW Emerson Juntho sepakat bahwa penerapan Pasal 67 KUHAP membuka peluang bagi hakim untuk melakukan praktik suap dengan terdakwa korupsi. Jika keberadaan Pasal 67 KUHAP diterapkan secara tegas, maka praktik suap terhadap vonis bebas bisa terkonsentrasi di tingkat pengadilan pertama. Koruptor bisa jor-joran, lebih baik menyuap di pengadilan negeri dengan harapan bisa bebas murni, sehingga tidak mungkin dikasasi. Menurutnya, persoalan ini harus menjadi catatan dalam revisi KUHAP ke depan. Pasal 67 KUHAP seharusnya direvisi mengikuti praktik yang berlaku saat ini, mengacu yurisprudensi MA. Seharusnya setiap vonis bebas tetap bisa diajukan kasasi, apalagi selama ini pengajuan kasasi vonis bebas masih dualisme, ada yang mengabulkan atau menolak. Sementara, Pakar Hukum Pidana Mudzakir mengatakan putusan pengadilan yang sifatnya final and binding, memang berpotensi korupsi sangat tinggi. Namun, menurut dia, yang penting, setiap putusan harus bisa diuji secara objektif dan ilmiah. Kalau bisa dibuktikan secara objektif dan ilmiah, saya tidak sependapat kalau putusan itu mengandung unsur suap atau korupsi, katanya.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50eb862db1233/kuhap-beripeluang-hakim-untuk-korupsi http://nasional.sindonews.com/read/2013/01/07/13/704388/mahfud-mdtuding-yudikatif-lembaga-terkorup http://m.merdeka.com/peristiwa/mahfud-md-bahaya-bila-membiarkanpraktik-korupsi-di-yudikatif.html http://nasional.kompas.com/read/2012/12/02/17073849/Mahfud.Eksekutif.Le gislatif.Yudikatif.Sakit.Semua http://coretanaceh.blogspot.com/2012/10/wabah-korupsi-menjalar-kelembaga.html http://www.tempo.co/read/news/2011/06/11/063340010/Tren-KorupsiBergeser-ke-Lembaga-Legislatif http://nasional.kompas.com/read/2012/02/29/09421864/Korupsi.di.DPR.Maki n.Ganas http://jakarta.okezone.com/read/2011/12/29/447/548662/eksekutif-lembagaterkorup-di-aceh-selama-2011 http://aanaufalrr.wordpress.com/2011/11/27/kasus-korupsi-dan-upayapemberantasannya-di-indonesia/ http://www.antaranews.com/print/170281/lbh-kasus-korupsi-sumbardidominasi-lembaga-eksekutif

You might also like