You are on page 1of 20

Bimbingan dan Konseling Sebagai Profesi

Posted: 13 Juni 2010 by chekie in Bimbingan dan Konseling Tag:makalah Bimbingan dan Konseling Sebagai Profesi, makalah profesi bimbingan dan konseling, pengembangan profesi bimbingan dan konseling

3 Oleh : Zulkifli Paputungan Yurniati Bulota A. PROFESI 1. Pengertian Istilah profesi memang selalu menyangkut pkerjaan, tetapi tidak semua pekerjaan dapat disebut profesi. Untuk mecegah kesimpang-siuran tentang arti profesi dan hal-hal yang bersangkut paut dengan itu, berikut ini dikemukakan beberapa istilah dan ciri-ciri profesi. Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para petugasnya. Artinya, pekerjaan yang disebut profesi, tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus terlebih dahulu untuk melakukan pekerjaan itu. 2. Ciri-ciri Profesi Suatu jabatan atau pekerjaan disebut profesi apabila ia memiliki syarat-syarat atau ciri-ciri tertentu. Sejumlah ahli seperti McCully, 1963; Tolbert, 1972; dan Nugent, 1981) telah merumuskan syarat-syarat atau ciri-ciri dari suatu profesi. Dari rumusan-rumusan yang mereka kemukakan, dapat disimpulkan syarat-syarat atau ciri-ciri utama dari suatu profesi sebagai berikut: 1. Suatu profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang memiliki fungsi dan kebermaknaan sosial yang sangat menentukan. 2. Untuk mewujudkan fungsi tersebut pada butir di atas para anggotanya (petugasnya dalam pekerjaan itu) harus menampilkan pelayanan yang khusus yang didasarkan atas teknikteknik intelektual, dan ketrampilan-ketrampilan tertentu yang unik. 3. Penampilan pelayanan tersebut bukan hanya dilakukan secara rutin saja, melainkan bersifat pemecahan masalah atau penanganan situasi kritis yang menuntut pemecahan dengan menggunakan teori dan metode ilmiah. 4. Pada anggotanya memiliki kerangka ilmu yang sama yaitu didasarkan atas ilmu yang jelas, sistematis, dan eksplisit; bukan hanya didasarkan atas akal sehat (common sense) belaka. 5. Untuk dapat menguasai kerangka ilmu itu diperlukan pendidikan dan latihan dalam jangka waktu yang cukup lama.

6. Para anggotanya secara tegas dituntut memiliki kompetensi minimum melalui prosedur seleksi, pendidikan dan latihan, serta lisensi atau sertifikasi. 7. Dalam menyelenggarakan pelayanan kepada pihan yanng dilayani, para anggota memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi dalam memberikan pendapat dan pertimbangan serta membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan berkenaan dengan penyelenggaraan pelayanan profesional yang dimaksud. 8. Para anggotanya, baik perorangan maupun kelompok, lebih mementingkan pelayanan yang bersifat sosial daripada pelayanan yang mengejar keuntungan yang bersifat ekonomi. 9. Standar tingkah laku bagi anggotanya dirumuskan secara tersurat (eksplisit) melalui kode etik yang benar-benar diterapkan; setiap pelanggaran atas kode etik dapat dikenakan sanksi tertentu. 10. Selama berada dalam pekerjaan itu, para anggotanya terus-menerus berusaha menyegarkan dan meningkatkan kompetensinya dengan jalan mengikuti secara cermat literatur dalam bidang pekerjaan itu, menyelenggarakan dan memahami hasil-hasil riset, serta berperan serta secara aktif dalam pertemuan-pertemuan sesama anggota. 1. B. PROFESI BIMBINGAN DAN KONSELING Diyakini bahwa pelayanan bimbingan dan konseling adalah suatu profesi yang dapat memenuhi ciri-ciri dan persyaratan tersebut. Namun, berhubung dengan perkembangannya yang masih tergolong baru, terutama di Indonesia, dewasa ini pelayanan bimbingan dan konseling belum sepenuhnya mencapai persyaratan yang diharapkan. Sebagai profesi yang handal, bimbingan dan konseling masih perlu dikembangkan, bahkan diperjuangkan. Pengembangan profesi bimbingan dan konseling antara lain melalui (a) standardisasi untuk kerja profesional konselor, (b) standardisasi penyiapan konselor, (c) akreditasi, (d) stratifikasi dan lisensi, dan (e) pengembangan organisasi profesi. 1. 1. Standardisasi Unjuk Kerja Profesional Konselor Masih banyak orang yang memandang bahwa pekerjaan dan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa pun juga, asalkan mampu berkomunikasi dan berwawancara. Anggapan lain mengatakan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling semata-mata diarahkan kepada pemberian bantuan berkenaan dengan upaya pemecahan masalah dalam arti yang sempit saja. Ini jelas merupakan anggapan yang keliru. Sebagaimana telah diuraikan pada Bab VI, pelayanan bimbingan dan konseling tidak semata-mata diarahkan kepada pemecahan masalah saja, tetapi mencakup berbagai jenis layanan dan kegiatan yang mengacu pada terwujudnya fungsi-fungsi yang luas. Berbagai jenis bantuan dan kegiatan menuntut adanyaunjuk kerja profesional tertentu. Di Indonesia memang belum ada rumusan tentang unjuk kerja profesional konselor yang standar. Usaha untuk merintis terwujudnya rumusan tentang unjuk kerja itu telah dilakukan oleh Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) pada Konvensi Nasional VII IPBI di Denpasar, Bali (1989). Upaya ini lebih dikonkretkan lagi pada Konvensi Nasional VIII di Padang (1991). Rumusan unjuk kerja yang pernah disampaikan dan dibicarakan dalam konvensi IPBI di Padang itu dapat dilihat pada lampiran.

Walaupun rumusan butir-butir (sebanyak 225 butir) itu tampak sudah terinci, namun pengkajian lebih lanjut masih amat perlu dilakukan untuk menguji apakah butir-butir tersebut memang sudah tepat sesuai dengan kebutuhan lapangan, serta cukup praktis dan memberikan arah kepada para konselor bagi pelaksanaan layanan terhadap klien. Hasil pengkajian itu kemungkinan besar akan mengubah, menambah merinci rumusan-rumusan yang sudah ada itu. 1. 2. Standardisasi Penyiapan Konselor Tujuan penyiapan konselor ialah agar para (calon) konselor memiliki wawasan dan menguasai serta dapat melaksanakan dengan sebaik-baiknya materi dan ketrampian yang terkandung di dalam butir-butir rumusan unjuk kerja. Penyiapan konselor itu dilakukan melalui program pendidikan prajabatan, program penyetaraan, ataupun pendidikan dalam jabatan (seperti penataran). Khusus tentang penyiapan konselor melalui program pendidikan dalam jabatan, waktunya cukup lama, dimulai dari seleksi dan penerimaan calon peserta didik yang akan mengikuti program sampai para lulusannya diwisuda. Program pendidikan prajabatn konselor adalah jenjang pendidikan tinggi. Seleksi/Penerimaan Peserta didik Seleksi atau pemilihan calon peserta didik merupakan tahap awal dalam proses penyiapan konselor. Kegiatan ini memegang peranan yang amat penting dan menentukan dalam upaya pemerolehan calon konselor yang diharapkan. Bukanlah bibit yang baik akan menghasilkan buah yang baik pula? Komisi tugas, standar, dan kualifikasi konselor Amerika Serikat (Dalam Mortensen & Schmuller, 1976) mengemukakan syarat-syarat pribadi yang harus dimiliki oleh konselor sebagai berikut: Untuk dapat melaksanakan tugas-tugas dalam bidang bimbingan dan konseling, yaitu unjuk kerja konselor secara baik (calon) konselor dituntut memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang memadai. Pengetahuan, ketrampilan, dan sikap tersebut diperoleh melalui pendidikankhusus. Untuk pelayanan profesional bimbingan dan konseling yang didasarkan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu, maka pengetahuan, sikap dan ketrampilan konselor yang (akan) ditugaskan pada sekolah tertentu itu perlu disesuiakan dengan berbagai tuntutan dan kondisi sasaran layanan, termasuk umur, tingkat pendidikan, dan tahap perkembangan anak. 1. C. HAL YANG PERLU DI PERHATIKAN DALAM PROFESI BIMBINGAN DAN KONSELING 2. Memahami secara mendalam konseli yang hendak dilayani 1. Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas, kebebasan memilih, dan mengedepankan kemaslahatan konseli dalam konteks kemaslahatan umum: (a) mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial, individual, dan berpotensi; (b) menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya; (c) peduli terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya dan konseli pada khususnya; (d) menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya; (e) toleran terhadap permsalahan konseli, dan (f) bersikap demokratis 3. Menguasai landasan teoritik bimbingan dan konseling.

4. Menguasai landasan teoritik bimbingan dan konseling; (b) menguasai ilmu pendidikan dan landasan keilmuannya; (c) mengimplementasikan prinsipprinsip pendidikan dan proses pembelajaran; (d) menguasai landasan budaya dalam praksis pendidikan 5. Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan: (a) menguasai esensi bimbingan dan onseling pada satuan jalur pendidikan formal, non formal, dan informal; (b) menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenis pendidikan umum, kejuruan, keagamaan, dan khusus; dan (c) menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenjang pendidikan usia dini, dasar dan menengah. 6. Menguasai konsep dan praksis penelitian bimbingan dan konseling: (a) memahami berbagai jenis dan metode penelitian; (b) mampu merancang penelitian bimbingan dan konseling; (c) melaksanakan penelitian bimbingan dan konseling; (d) memanfaatkan hasil penelitian dalam bimbingan dan konseling dengan mengakses jurnal pendidikan dan bimbingan dan konseling. 7. Menguasai kerangka teori dan praksis bimbingan dan konseling: (a) mengaplikasikan hakikat pelayanan bimbingan dan konseling; (b) mengaplikasikan arah profesi bimbingan dan konseling; (c) mengaplikasikan dasar-dasar pelayanan bimbingan dan konseling; (d) mengaplikasikan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja; (e) mengaplikasikan pendekatan/model/ jenis layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling; dan (f) Mengaplikasikan dalam praktik format pelayanan bimbingan dan konseling. 1. Menyelenggarakan bimbingan dan konseling yang memandirikan 1. Merancang program bimbingan dan konseling: (a) menganalisis kebutuhan konseli; (b) menyusun program bimbingan dan konseling yang berkelanjutan berdasar kebutuhan peserta didik secara komprehensif dengan pendekatan perkembangan; (c) menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan dan konseling; dan (d) merencanakan sarana dan biaya penyelenggaraan program bimbingan dan konseling. 2. Mengimplemantasikan program bimbingan dan konseling yang komprehensif: (a) Melaksanakan program bimbingan dan konseling: (b) melaksanakan pendekatan kolaboratif dalam layanan bimbingan dan konseling; (c) memfasilitasi perkembangan, akademik, karier, personal, dan sosial konseli; dan (d) mengelola sarana dan biaya program bimbingan dan konseling. 3. Menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling: (a) melakukan evaluasi hasil, proses dan program bimbingan dan konseling; (b) melakukan penyesuaian proses layanan bimbingan dan konseling; (c) menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi layanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait; (d) menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan mengembangkan program bimbingan dan konseling. 4. Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja: (a) memahami dasar, tujuan, organisasi dan peran pihak-pihak lain (guru, wali kelas, pimpinan sekolah/madrasah, komite sekolah/madrasah di tempat bekerja; (b) mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak-pihak lain di tempat bekerja; dan (c) bekerja sama dengan

pihak-pihak terkait di dalam tempat bekerja seperti guru, orang tua, tenaga administrasi). 5. Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling: (a) Memahami dasar, tujuan, dan AD/ART organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri.dan profesi; (b) menaati Kode Etik profesi bimbingan dan konseling; dan (c) aktif dalam organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri.dan profesi. 6. Mengimplementasikan kolaborasi antar profesi: (a) mengkomunikasikan aspekaspek profesional bimbingan dan konseling kepada organisasi profesi lain; (b) memahami peran organisasi profesi lain dan memanfaatkannya untuk suksesnya pelayanan bimbingan dan konseling; (c) bekerja dalam tim bersama tenaga paraprofesional dan profesional profesi lain; dan (d) melaksanakan referal kepada ahli profesi lain sesuai keperluan. DAFTAR BACAAN Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang. Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys. ABKIN. 2007. Naskah Akademik Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal dan Non Formal http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/17/kompetensi-konselorguru-bk/

Posisi Pengembangan Diri dalam Bimbingan dan Konseling


Posted: 13 Juni 2010 by chekie in Bimbingan dan Konseling Tag:Posisi Pengembangan Diri dalam Bimbingan dan Konseling

0 Pengembangan diri sebagaimana dimaksud dalam KTSP merupakan wilayah komplementer antara guru dan konselor. Penjelasan tentang pengembangan diri yang tertulis dalam struktur kurikulum dijelaskan bahwa : Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada konseli untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap konseli sesuai dengan kondisi Sekolah/Madrasah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir konseli.

Dari penjelasan yang disebutkan itu ada beberapa hal yang perlu memperoleh penegasan dan reposisi terkait dengan pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal, sehingga dapat menghindari kerancuan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor. 1. Pengembangan diri bukan sebagai mata pelajaran, mengandung arti bahwa bentuk, rancangan, dan metode pengembangan diri tidak dilaksanakan sebagai sebuah adegan mengajar seperti layaknya pembelajaran bidang studi. Namun, manakala masuk ke dalam pelayanan pengembangan minat dan bakat tak dapat dihindari akan terkait dengan substansi bidang studi dan/atau bahan ajar yang relevan dengan bakat dan minat konseli dan disitu adegan pembelajaran akan terjadi. Ini berarti bahwa pelayanan pengembangan diri tidak semata-mata tugas konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah bimbingan dan konseling. 2. Pelayanan pengembangan diri dalam bentuk ekstra kurikuler mengandung arti bahwa di dalamnya akan terjadi diversifikasi program berbasis minat dan bakat yang memerlukan pelayanan pembina khusus sesuai dengan keahliannya. Inipun berarti bahwa pelayanan pengem-bangan diri tidak semata-mata tugas konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah bimbingan dan konseling. 3. Kedua hal di atas menunjukkan bahwa pengembangan diri bukan substitusi atau pengganti pelayanan bimbingan dan konseling, melainkan di dalamnya mengandung sebagian saja dari pelayanan (dasar, responsif, perencanaan individual) bimbingan dan konseling yang harus diperankan oleh konselor (periksa gambar 2). Telaahan di atas menegaskan bahwa bimbingan dan konseling tetap sebagai bagian yang terintegrasi dari sistem pendidikan (khususnya jalur pendidikan formal). Pelayanan pengembangan diri yang terkandung dalam KTSP merupakan bagian dari kurikulum. Sebagian dari pengembangan diri dilaksanakan melalui pelayanan bimbingan dan konseling. Dengan demikian pengembangan diri hanya merupakan sebgian dari aktivitas pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan. Jika dilakukan telaahan anatomis terhadap posisi bimbingan dan konseling pada jalur pendidikan formal dapat terlukiskan sebagai berikut (lihat gambar 1). Gambar 1. Posisi Bimbingan dan Konseling dan Kurikulum (KTSP) dalam Jalur Pendidikan Formal Dapat ditegaskan di sini bahwa KTSP adalah salah satu subsistem pendidikan formal yang harus bersinergi dengan komponen/subsitem lain yaitu manajemen dan bimbingan dan konseling dalam upaya memfasilitasi konseli mencapai perkembangan optimum yang diwujudkan dalam ukuran pencapaian standar kompetensi. Dengan demikian pengembangan diri tidak menggantikan fungsi bimbingan dan konseling melainkan sebagai wilayah komplementer dimana guru dan konselor memberikan kontribusi dalam pengembangan diri konseli.

Tujuan Bimbingan dan Konseling


Posted: 12 Juni 2010 by chekie in Bimbingan dan Konseling Tag:Tujuan Bimbingan dan Konseling

0 Tujuan pelayanan bimbingan ialah agar konseli dapat: (1) merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupan-nya di masa yang akan datang; (2) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal mungkin; (3) menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya; (4) mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerja. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, mereka harus mendapatkan kesempatan untuk: (1) mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkem-bangannya, (2) mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungannya, (3) mengenal dan menentukan tujuan dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan tersebut, (4) memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri (5) menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat bekerja dan masyarakat, (6) menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari lingkungannya; dan (7) mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang dimilikinya secara optimal. Secara khusus bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu konseli agar dapat mencapai tugas-tugas perkembangannya yang meliputi aspek pribadi-sosial, belajar (akademik), dan karir. 1. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial konseli adalah:

Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, Sekolah/Madrasah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya. Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing. Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif antara yang menyenangkan (anugrah) dan yang tidak menyenangkan (musibah), serta dan mampu meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianut. Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan; baik fisik maupun psikis. Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain. Memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan secara sehat Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya. Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap tugas atau kewajibannya. Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang diwujudkan dalam bentuk hubungan persahabatan, persaudaraan, atau silaturahim dengan sesama manusia.

Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun dengan orang lain. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.

2. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek akademik (belajar) adalah :

Memiliki kesadaran tentang potensi diri dalam aspek belajar, dan memahami berbagai hambatan yang mungkin muncul dalam proses belajar yang dialaminya. Memiliki sikap dan kebiasaan belajar yang positif, seperti kebiasaan membaca buku, disiplin dalam belajar, mempunyai perhatian terhadap semua pelajaran, dan aktif mengikuti semua kegiatan belajar yang diprogramkan. Memiliki motif yang tinggi untuk belajar sepanjang hayat. Memiliki keterampilan atau teknik belajar yang efektif, seperti keterampilan membaca buku, mengggunakan kamus, mencatat pelajaran, dan mempersiapkan diri menghadapi ujian. Memiliki keterampilan untuk menetapkan tujuan dan perencanaan pendidikan, seperti membuat jadwal belajar, mengerjakan tugas-tugas, memantapkan diri dalam memperdalam pelajaran tertentu, dan berusaha memperoleh informasi tentang berbagai hal dalam rangka mengembangkan wawasan yang lebih luas. Memiliki kesiapan mental dan kemampuan untuk menghadapi ujian.

3. Tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek karir adalah :

Memiliki pemahaman diri (kemampuan, minat dan kepribadian) yang terkait dengan pekerjaan. Memiliki pengetahuan mengenai dunia kerja dan informasi karir yang menunjang kematangan kompetensi karir. Memiliki sikap positif terhadap dunia kerja. Dalam arti mau bekerja dalam bidang pekerjaan apapun, tanpa merasa rendah diri, asal bermakna bagi dirinya, dan sesuai dengan norma agama. Memahami relevansi kompetensi belajar (kemampuan menguasai pelajaran) dengan persyaratan keahlian atau keterampilan bidang pekerjaan yang menjadi cita-cita karirnya masa depan. Memiliki kemampuan untuk membentuk identitas karir, dengan cara mengenali ciri-ciri pekerjaan, kemampuan (persyaratan) yang dituntut, lingkungan sosiopsikologis pekerjaan, prospek kerja, dan kesejahteraan kerja. Memiliki kemampuan merencanakan masa depan, yaitu merancang kehidupan secara rasional untuk memperoleh peran-peran yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan kondisi kehidupan sosial ekonomi. Dapat membentuk pola-pola karir, yaitu kecenderungan arah karir. Apabila seorang konseli bercita-cita menjadi seorang guru, maka dia senantiasa harus mengarahkan dirinya kepada kegiatan-kegiatan yang relevan dengan karir keguruan tersebut. Mengenal keterampilan, kemampuan dan minat. Keberhasilan atau kenyamanan dalam suatu karir amat dipengaruhi oleh kemampuan dan minat yang dimiliki. Oleh karena itu, maka setiap orang perlu memahami kemampuan dan minatnya, dalam bidang pekerjaan apa dia mampu, dan apakah dia berminat terhadap pekerjaan tersebut.

Memiliki kemampuan atau kematangan untuk mengambil keputusan karir.

Bimbingan dan Konseling Sebagai Profesi


Posted: 12 Juni 2010 by chekie in Bimbingan dan Konseling Tag:Bimbingan dan Konseling Sebagai Profesi

0 Kehadiran layanan bimbingan dan konseling dalam sistem pendidikan di Indonesia dijalani melalui proses yang cukup panjang, sejak kurang lebih 40 tahun yang lalu, bersamaan dengan munculnya kebutuhan akan penjurusan di.SMA pada saat itu. Selama perjalanannya telah mengalami beberapa kali pergantian nama, semula disebut Bimbingan dan Penyuluhan (dalam Kurikulum 84 dan sebelumnya), kemudian pada Kurikulum 1994 berganti nama menjadi Bimbingan dan Konseling. sampai dengan sekarang. Akhir-akhir ini ada sebagaian para ahli meluncurkan sebutan Profesi Konseling, meski secara formal istilah ini belum digunakan. Bersamaan dengan perubahan nama tersebut, didalamnya terkandung berbagai usaha perubahan untuk memantapkan bimbingan dan konseling sebagai suatu profesi. Kendati demikian harus diakui bahwa untuk mewujudkan bimbingan dan konseling sebagai suatu profesi yang dapat memberikan manfaat banyak, hingga saat ini tampaknya masih perlu kerja keras dari semua pihak yang terlibat dengan profesi konseling. Dalam tataran teoritis, teori-teori bimbingan dan konseling hingga saat ini boleh dikatakan sudah berkembang cukup mantap, dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya dan bahkan relatif mendahului teori-teori yang dikembangkan dalam pembelajaran untuk mata pelajaran mata pelajaran di sekolah. Perkembangan teori bimbingan dan konseling terutama dihasilkan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi bimbingan dan konseling, baik yang bersumber dari penelitian maupun hasil pemikiran kritis para ahli. Sayangnya, teori-teori itu pun sepertinya tersimpan rapih dalam gudang perguruan tinggi yang sulit diakses oleh para konselor di lapangan. Di sisi lain, teori-teori bimbingan dan konseling yang dihasilkan melalui penelitian oleh para praktisi di sekolah-sekolah tampaknya belum berkembang sepenuhnya sehingga kurang memberikan kontribusi bagi perkembangan profesi bimbingan dan konseling. Kendala terbesar yang dihadapi untuk mewujudkan bimbingan dan konseling sebagai profesi yang handal dan bisa sejajar dengan profesi-profesi lain yang sudah mapan justru terjadi dalam tataran praktis. Manfaat bimbingan dan konseling sepertinya masih belum dirasakan oleh masyarakat, karena penyelenggaraannya dan pengelolaannya tidak jelas. Kesan lama, konseling sebagai polisi sekolahpun hingga kini masih melekat kuat pada sebagaian masyarakat, khususnya di kalangan siswa. Menurut pandangan penulis, setidaknya terdapat dua faktor dominan yang diduga menghambat terhadap laju perkembangan profesi konseling di Indonesia , yaitu :

1. Kelangkaan Tenaga Konselor Tenaga konselor yang berlatar bimbingan dan konseling memang masih belum memenuhi kebutuhan di lapangan. Selama ini masih banyak sekolah yang menyelenggarakan Bimbingan dan Konseling tanpa didukung oleh tenaga konselor profesional dalam jumlah yang memadai. Sehingga, tenaga konseling terpaksa banyak direkrut dari nonkonseling, yang mungkin hanya dibekali pengetahuan dan keterampilan tentang bimbingan dan konseling yang minimal atau bahkan sama sekali tanpa dibekali pengetahuan dan keterampilan tentang konseling, yang tentunya hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja bimbingan dan konseling itu sendiri, baik secara personal maupun lembaga. Meminjam bahasa ekonomi, kelangkaan ini diduga disebabkan oleh ketidakseimbangan antara demand dan supply. Tingkat produktivitas dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan penghasil tenaga konselor tampaknya relatif masih terbatas jumlahnya dan belum mampu memenuhi kebutuhan pasar. Demikian pula dalam distribusinya relatif tidak merata. Contoh kasus, di beberapa daerah ketika melakukan rekrutment untuk tenaga konselor dalam testing Calon Pegawai Negeri Sipil ternyata tidak terisi, bukan dikarenakan tidak ada peminatnya, tetapi memang tidak ada orangya ! Boleh jadi ini merupakan dampak langsung dari otonomi daerah, dimana kewenangan rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil diserahkan kepada daerah, dan tidak semua daerah mampu menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan, termasuk di dalamnya kebutuhan tenaga konselor di daerahnya. Oleh karena itu, ke depannya perlu dipikirkan bagaimana Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dapat bekerja sama dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan pencetak tenaga konselor untuk dapat memproduksi lulusannya, dengan memperhitungkan segi kuantitas, kualitas dan distribusinya., sehingga kelangkaan tenaga konselor dapat segera diatasi. 2. Kebijakan Pemerintah yang kurang berpihak terhadap profesi konseling Banyak terjadi kejanggalan dan ketidakjelasan kebijakan dari pemerintah pusat tentang profesi bimbingan dan konseling. Ketidakjelasan semakin dirasakan justru pada saat kita sedang berupaya mereformasi pendidikan kita. Contoh kasus terbaru, ketika digulirkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga saat ini sama sekali belum memberikan kejelasan tentang bagaimana bimbingan dan konseling seharusnya dilaksanakan. Dalam dokumen KTSP, kita hanya menemukan secuil informasi yang membingungkan tentang bimbingan dan konseling yaitu berkaitan dengan kegiatan Pengembangan Diri. Begitu juga, dalam kebijakan sertifikasi guru, banyak konselor dan pengawas satuan pendidikan yang kebingungan untuk memahami tentang penilaian perencanaan dan pelaksanaan konseling, karena format penilaian yang disediakan tidak sepenuhnya cocok untuk digunakan dalam penilaian perencanaan dan pelaksanaan bimbingan dan konseling. Tentunya masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan yang dirasakan di lapangan, baik yang bersifat konseptual-fundamental maupun teknis operasionalnya. Ketidakjelasan kebijakan tentang profesi bimbingan dan konseling pada tataran pusat ini akhirnya mengimbas pula pada kebijakan pada tataran di bawahnya (messo dan mikro), termasuk

pada tataran operasional yang dilaksanakan oleh para konselor di sekolah. Jadi, kalau ada pertanyaan mengapa Bimbingan dan Konseling di sekolah kurang optimal, maka kita bisa melihat sumber permasalahannya, yang salah-satunya adalah ketidakjelasan dalam kebijakan pemerintah terhadap profesi bimbingan dan konseling. Jika ke depannya, bimbingan dan konseling masih tetap akan dipertahankan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, kiranya perlu ada komitmen dan good will dari pemerintah untuk secepatnya menata profesi konseling, salah satunya dengan berupaya melibatkan Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) selaku wadah yang menaungi para konselor dan para pakar konseling untuk duduk bersama merumuskan bagaimana sebaiknya kebijakan konseling untuk hari ini dan ke depannya. Walaupun dalam hal ini mungkin akan terjadi tawarmenawar yang cukup alot di dalamnya, tetapi keputusan yang terbaik demi kemajuan profesi bimbingan dan konseling tetap harus segeradiambil. ! Dengan teratasinya kelangkaan tenaga konselor dan keberhasilan upaya pemerintah dalam menata profesi bimbingan dan konseling, niscaya pada gilirannya akan memberikan dampak bagi perkembangan konseling ke depannya, sehingga profesi konseling bisa tumbuh dan berkembang menjadi sebuah profesi yang dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat dan kemajuan negeri ini. Jika tidak, maka profesi bimbingan dan konseling tetap saja dalam posisi termarjinalkan.

Layanan Bimbingan dan Konseling sarat Nilai


Posted: 12 Juni 2010 by chekie in Bimbingan dan Konseling Tag:Layanan Bimbingan dan Konseling sarat Nilai

0 Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, Ketua Umum Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), menulis sebuah artikel yang dimuat dalam harian Pikiran Rakyat, 6 September 2006, hal. 20 dengan judul tulisan Layanan Bimbingan dan Konseling Sarat Nilai. Isi tulisan kiranya dapat disarikan sebagai berikut : Bahwa tugas seorang konselor adalah menyelenggarakan layanan kemanusiaan pada kawasan layanan yang bertujuan memandirikan individu dalam menavigasi perjalanan hidupnya melalui pengembilan keputusan tentang pendidikan, pilihan dan pemeliharaan karier untuk mewujudkan kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi warga masyarakat yang peduli kemaslahatan umum.melalui pendidikan. Makna melalui pendidikan mengandung penekanan keharusan sinergi antara guru dan konselor. Seorang konselor sebagai pengampu layanan bimbingan dan konseling selalu digerakkan oleh motif altruistik, menggunakan penyikapan yang empatik, menghormati keragaman serta mengedepankan kemaslahatan pengguna layanannya, dilakukan dengan selalu mencermati

kemungkinan dampak jangka panjang dari tindakan layanannya itu terhadap pengguna layanan, dan selalu menyadari batas kemampuan dan kewenangan yang dimilikinya sebagai seorang profesional. Pekerjaan bimbingan dan konseling adalah pekerjaan berbasis nilai, layanan etis normatif, dan bukan layanan bebas nilai. Seorang konselor perlu memahami betul hakekat manusia dan perkembangannya sebagai makhluk sadar nilai dan perkembangannya ke arah normatif-etis. Seorang konselor harus memahami perkembangan nilai, namun seorang konselot tidak boleh memaksakan nilai yang dianutnya kepada konseli (peserta didik yang dilayani), dan tidak boleh meneladankan diri untuk ditiru konselinya, melainkan memfasilitasi konseli untuk menemukan makna nilai kehidupannya. Dengan karakteristik keunikan konteks tugas dan ekspektasi kinerjanya, seorang konselor dipersyaratkan memiliki kompetensi : (1) memahami secara mendalam konseli yang dilayani; (2) menguasai landasan dan kerangka teoritik bimbingan dan konseling; (3) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan; (4) mengembangkan profesionalitas profesi secara berkelanjutan, (5) yang dilandasi sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung. Berkenann dengan komponen Pengembangan Diri dalam KTSP, Sunaryo mengingatkan untuk tidak menyeret layanan bimbingan dan konseling ke arah pembelajaran seperti bidang studi. Menurutnya, bahwa Pengembangan Diri dalam KTSP merupakan wilayah kerja semua pendidik di sekolah dan bukan hanya wilayah kerja konselor. Misalnya, pengembangan bakat dan minat peserta didik lebih banyak merupakan tugas guru bidang studi karena akan menyangkut substansi yang terkait dengan bakat anak. Konselor akan berperan membantu peserta didik untuk memahami bakat dan minat yang ada pada dirinya., misalnya melalui asesmen psikologis, dan memilih alternatif pengembangan yang paling mungkin bagi dirinya, baik terkait dengan pendidikan maupun karier. Selebihnya adalah tugas guru untuk membantu peserta didik mengembangkan bakatnya, baik melalui kegiatan intra maupun ekstra kurikuler. Tidak mungkin seorang konselor mengajarkan subtansi yang yang terkait dengan pengembangan bakat dan minat peserta didik. Layanan bimbingan dan konseling di sekolah tidak bisa digantikan dengan komponen pengembangan diri, melainkan tetap sebagai sebuah layanan utuh yang berorientasi kepada upaya memfasilitasi kemandirian peserta didik. Jika acuan guru bidang studi adalah pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL), acuan konselor adalah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK) yang basisnya adalah tugas-tugas perkembangan yang harus dikuasai peserta didik dalam perkembangan moral, akademik, pribadisosial, dan karier. SKK ini sesungguhnya yang harus dirumuskan oleh konselor dan setiap satuan pendidikan sebagai dasar pengembangan program layanan bimbingan dan konseling. Pengembangan program layanan Bimbingan dan Konseling merentang mulai dari tingkat TK sampai dengan Perguruan Tinggi. Pada jenjang TK dan SD layanan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh Roving Counselor (Konselor Kunjung) untuk membantu guru menyusun Program BK yang terpadu dengan proses pembelajaran dan mengatasi perilaku yang mengganggu, melalui direct behavioral consultation.

Pada jenjang SMP dan SMA layanan bimbingan dan konseling dapat dilakukan olehkonselor untuk memfasilitasi peserta didik dalam mengaktualisasikan potensi peserta didik secara optimal dan salah satunya adalah kemandirian dalam mengambil keputusan perencanaan pendidikan dan karier. Pada jenjang SMP dan SMA, layanan Bimbingan dan Konseling untuk semakin mengokohkan pilihan dan pengembangan karier sejalan dengan bidang vokasi yang menjadi pilihannya.. Bimbingan Karier (soft skill) dan Bimbingan Vokasional (hard skill) harus dikembangkan secara sinergis, berkolaborasi dengan guru bidang vokasional. Pada jenjang Perguruan Tinggi layanan Bimbingan dan Konseling dimaksudkan untuk semakin memantapkan karier yang sebisa mungkin yang paling cocok, baik dengan rekam jejak pendidikan mahasiswa maupun kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai pribadi yang produktif, sejahtera, serta berguna untuk manusia lain. Selain itu, dikemukakan pula tentang layanan Bimbingan dan Konseling bagi anak berkebutuhan khusus dan anak berbakat. layanan Bimbingan dan Konseling bagi anak berkebutuhan khusus layanan Bimbingan dan Konseling lebih ditekankan pada upaya pengembangan kecakapan hidup sehari-hari (daily living activities), merupakan intervensi tidak langsung yang lebih terfokus upaya mengembangkan lingkungan perkembangan yang akan melibatkan banyak pihak, terutama guru pendidikan khusus. Sedangkan layanan Bimbingan dan Konseling bagi anak berbakat, pelayanan bimbingan dan konseling pada dasarnya sama dengan pelayanan umum lainnya. Dalam hal ini, konselor berperan dalam asesmen keberbakatan dan memilih alternatif pengembangan keberbakatan, yang tidak hanya dalam pengertian intelektual saja tetapi juga keberbakatan lainnya, seperti dalam olah raga, seni dan sebagainya Atas semua itu, saat ini Asosiasi Bimbingan dan Konseling (ABKIN) dengan dukungan Ditjen Dikti, Ditjen PMPTK, BSNP, Dijen Dikdasmen sedang merumuskan standar kompetensi konselor, pendidikan profesional konselor dan penyelenggaraan layanan Bimbingan dan Konseling dalam jalur pendidikan formal termasuk di dalamnya pengembangan Standar Kompetensi Kelulusan (SKK) sebagai rambu-rambu bagi konselor.

Sejarah bimbingan dan konseling di Indonesia, Pelayanan Konseling dalam system


pendidikan Indonesia mengalami beberapa perubahan nama. Pada kurikulum 1984 semula disebut Bimbingan dan Penyuluhan (BP), kemudian pada Kurikulum 1994 berganti nama menjadi Bimbingan dan Konseling (BK) sampai dengan sekarang. Layanan BK sudah mulai dibicarakan di Indonesia sejak tahun 1962. Namun BK baru diresmikan di sekolah di Indonesia sejak diberlakukan kurikulum 1975. Kemudian disempurnakan ke dalam kurikulum 1984 dengan memasukkan bimbingan karir didalamnya. Perkembangan BK semakin mantap pada tahun 2001. Perkembangan bimbingan dan konseling sebelum kemerdekaan

Masa ini merupakan masa penjajahan Belanda dan Jepang, para siswa didiik untuk mengabdi emi kepentingan penjajah. Dalam situasi seperti ini, upaya bimbingan dikerahkan. Bangsa Indonesia berusaha untuk memperjuangkan kemajun bangsa Indonesia melalui pendidikan. Salah satunya adalah taman siswa yang dipelopori oleh K.H. Dewantara yang menanamkan nasionalisme di kalangan para siswanya. Dari sudut pandang bimbingan, hal tersebut pada hakikatnya adalah dasar bagi pelaksanaan bimbingan. Dekade 40-an Dalam bidang pendidikan, pada decade 40-an lebih banyak ditandai dengan perjuangan merealisasikan kemerdekaan melalui pendidikan. Melalui pendidikan yang serba darurat mkala pada saat itu di upayakan secara bertahap memecahkan masalah besar anatara lain melalui pemberantasan buta huruf. Sesuai dengan jiwa pancasila dan UUD 45. Hal ini pulalaah yang menjadi focus utama dalam bimbingan pada saat itu. Dekade 50-an Bidang pendidikan menghadapi tentangan yang amat besar yaitu memecahkan masalah kebodohan dan keterbelakangan rakyat Indonesia. Kegiatan bimbingan pada masa dekade ini lebih banyak tersirat dalam berbagai kegiatan pendidikan dan benar benar menghadapi tantangan dalam membantu siswa disekolah agar dapat berprestasi. Dekade 60-an Beberapa peristiwa penting dalam pendidikan pada dekade ini : 1. Ketetapan MPRS tahun 1966 tentang dasar pendidikan nasional 2. Lahirnya kurikulum SMA gaya Baru 1964 3. Lahirnya kurikulum 1968 4. Lahirnya jurusan bimbingan dan konseling di IKIP tahun 1963 Keadaan diatas memberikan tantangan bagi keperluan pelayanan bimbinga dan konseling disekolah. Dekade 70-an Dalam dekade ini bimbingan di upayakan aktualisasi nya melalui penataan legalitas sistem, dan pelaksanaannya. Pembangunan pendidikan terutama diarahkan kepada pemecahan masalah utama pendidikan yaitu : 1. Pemerataan kesempatan belajar, 2. Mutu,

3. Relevansi, dan 4. Efisiensi. Pada dekade ini, bimbingan dilakukan secara konseptual, maupun secara operasional. Melalui upaya ini semua pihak telah merasakan apa, mengapa, bagaimana, dan dimana bimbingan dan konseling. Dekade 80-an Pada dekade ini, bimbingan ini diupayakan agar mantap. Pemantapan terutama diusahakan untuk menuju kepada perwujudan bimbingan yang professional. Dalam dekade 80-an pembangunan telah memasuki Repelita III, IV, dan V yang ditandai dengan menuju lepas landas. Beberapa upaya dalam pendidikan yang dilakukan dalam dekade ini: 1. Penyempurnaan kurikulum 2. Penyempurnaan seleksi mahasiswa baru 3. Profesionalisasi tenaga pendidikan dalam berbagai tingkat dan jenis 4. Penataan perguruan tinggi 5. Pelaksnaan wajib belajar 6. Pembukaan universitas teruka 7. Ahirnya Undang Undang pendidikan nasional Beberapa kecenderungan yang dirasakan pada masa itu adalah kebutuhan akan profesionalisasi layanan, keterpaduan pengelolaan, sistem pendidikan konselor, legalitas formal, pemantapan organisasi, pengmbangan konsep konsep bimbingan yang berorientasi Indonesia, dsb. Meyongsong era Lepas landas Era lepas landas mempunyai makna sebagai tahap pembangunan yang ditandai dengan kehidupan nasional atas kemampuan dan kekuatan sendiri khususnya dalam aspek ekonomi. Cirri kehidupan lepas landas ditandai dengan keberadaan dan berkembang atas dasar kekuatan dan kemampuan sendiri, maka cirri manusia lepas landas adalah manusia yang mandiri secara utuh dengan tiga kata kunci : mental, disiplin, dan integrasi nasional yang diharapkan terwujud dalam kemampuannya menghadapi tekanan tekanan zaman baru yang berdasarkan peradaban komunikasi informasi. Bimbingan berdasarkan pancasila Bimbingan mempunyai peran yang amat penting dan strategis dalam perjalanan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Manusia Indonesia yang dicita-citakan adalah manusia pancasila dengan cirri-ciri sebagaimana yang terjabar dalam P-4 sebanyak 36 butir bagi bangsa Indonesia, pancasila merupakan dasar Negara, pandangan hidup, kepribadian bangsa dan idiologi nasional. Sebagai bangsa, pancasila menuntut bangsa Indonesia mampu menunjukkan ciri-ciri kepribadiannya ditengah-tengah pergaulan

dengan bangsa lain. Bimbingan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan dan mempunyai tanggung jawab yang amat besar guna mewujudkan manusia pancasila karena itu seluruh kegiatan bimbingan di Indonesia tidak lepas dari pancasila. Sejarah bimbingan dan konseling di Dunia Internasional Sampai awal abad ke-20 belum ada konselor disekolah. Pada saat itu pekerjaan-pekerjaan konselor masih ditangani oleh para guru. Gerakan bimbingan disekolah mulai berkembang sebagai dampak dari revolusi industri dan keragaman latar belakang para siswa yang masuk kesekolah-sekolah negeri. Tahun 1898 Jesse B. Davis, seorang konselor di Detroit mulai memberikan layanan konseling pendidikan dan pekerjaan di SMA. Pada tahun 1907 dia memasukkan program bimbingan di sekolah tersebut. Pada waktu yang sama para ahli yang juga mengembangkan program bimbingan ini diantaranya; Eli Weaper, Frank Parson, E.G Will Amson, Carlr. Rogers. Eli Weaper pada tahun 1906 menerbitkan buku tentang memilih suatu karir dan membentuk komite guru pembimbing disetiap sekolah menengah di New York. Kamite tersebut bergerak untuk membantu para pemuda dalam menemukan kemampuan-kemampuan dan belajar tentang bimbingan menggunakan kemampuan-kemampuan tersebut dalam rangka menjadi seorang pekerja yang produktif. Frank Parson dikenal sebagai Father of The Guedance Movement in American Education. Mendirikan biro pekerjaan tahun 1908 di Boston Massachussets, yang bertujuan membantu pemuda dalam memilih karir uang didasarkan atas proses seleksi secara ilmiyah dan melatih guru untuk memberikan pelayanan sebagai koselor. Bradley (John J.Pie Trafesa et. al., 1980) menambah satu tahapan dari tiga tahapan tentang sejarah bimbingan menurut Stiller, yaitu sebagai berikut: 1. Vocational exploration : Tahapan yang menekankan tentang analisis individual dan pasaran kerja 2. Metting Individual Needs : Tahapan yang menekankan membantu individu agar meeting memperoleh kepuasan kebutuhan hidupnya. Perkembangan BK pada tahapan ini dipengaruhi oleh diri dan memecahkan masalahnya sendiri. 3. Transisional Professionalism : Tahapan yang memfokuskan perhatian kepada upaya profesionalisasi konselor 4. Situasional Diagnosis : Tahapan sebagai periode perubahan dan inovasi pada tahapan ini memfokuskan pada analisis lingkungan dalam proses bimbingan dan gerakan cara-cara yang hanya terpusat pada individu. Di Amerika Serikat Bimbingan dimulai pada abad 20 di amerika dengan didirikannya suatu vocational bureau tahun 1908 oleh Frank Parsons yang utuk selanjutnya dikenal dengan nama the father of guidance yang

menekankan pentingnya setiap individu diberikan pertolongan agar mereka dapat mengenal atau memahami berbagai perbuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya dengan tujuan agar dapat dipergunakan secara intelijensi denga memilih pekerjaan yang terbaik yang tepat bagi dirinya. Menurut Arthur E. Trax and Robert D North, dalam bukunya yang berjudul Techniques of Guidance, (1986), disebutkan beberapa kejadian penting yang mewarnai sejarah bimbingan diantaranya : 1. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Timbul suatu gerakan kemanusiaan yang menitik beratkan pada kesejahteraan manusia dan kondisi sosialnya. Geraka ini membantu vocational bureau Parsons dalam bidang keungan agar dapat menolong anak-anak muda yang tidak dapat bekerja dengan baik. 2. Agama Pada rohaniman berpandangan bahwa dunia adalah dimana ada pertentangan yang secara terus menerus antara baik dan buruk. 3. Aliran kesehatan mental Timbul dengan tujuan perlakuan yang manusiawi terhadap penderita penyakit jiwa dan perhatian terhadap berbagai gejala, tingkat penyakit jiwa, pengobatan, dan pencegahannya, karna ada suatu kesadaran bahwa penyakit ini bias diobati apabila ditemukan pada tingkat yang lebih dini. Gerakan ii mendorong para pendidik untuk lebih peka terhadap masalah-masalah gangguan kejiwaan, rasa tidak aman, dan kehilangan identitas diantra anak-anak muda. 4. Perubahan dalam masyarakat Akibat dari perang dunia 1 dan 2, pengangguran, depresi, perkembangan IPTEK, wajib belajar, mendorong beribu-ribu anak untuk masuk sekolah tanpa mengetahui untuk apa mereka bersekolah. Perubahan masyarakat semacam ini mendorong para pendidik untuk memperbaiki setiap anak sesuai dengan kebutuhannya agar mereka dapat menyelesaikan pendidikannya dengan berhasil. 5. Gerakan mengenal siswa sebagai individu Gerakan ini erat sekali kaitannya dengan gerakan tes pengukuran. Bimbingan diadakan di sekolah disebabkan tugas sekolah untuk mengenal atau memahami siswa-siswanya secara individual. Karena sulitnya untuk mengenal atau memahami siswa secara individual atau pribadi, maka diciptakanlah berbagai teknik dan instrument diantaranya tes psikologis dan pengukuran.

Prinsip dan Asas Bimbingan Konseling

Terdapat beberapa prinsip dasar yang dipandang sebagai fundasi atau landasan bagi pelayanan bimbingan. Prinsip-prinsip ini berasal dari konsep-konsep filosofis tentang kemanusiaan yang menjadi dasar bagi pemberian pelayanan bantuan atau bimbingan, baik di Sekolah/Madrasah maupun di luar Sekolah/Madrasah. Prinsip-prinsip itu adalah: * Bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli. Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan kepada semua konseli atau konseli, baik yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan dalam bimbingan lebih bersifat preventif dan pengembangan dari pada penyembuhan (kuratif); dan lebih diutamakan teknik kelompok dari pada perseorangan (individual). * Bimbingan dan konseling sebagai proses individuasi. Setiap konseli bersifat unik (berbeda satu sama lainnya), dan melalui bimbingan konseli dibantu untuk memaksimalkan perkembangan keunikannya tersebut. Prinsip ini juga berarti bahwa yang menjadi fokus sasaran bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan bimbingannya menggunakan teknik kelompok. * Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam kenyataan masih ada konseli yang memiliki persepsi yang negatif terhadap bimbingan, karena bimbingan dipandang sebagai satu cara yang menekan aspirasi. Sangat berbeda dengan pandangan tersebut, bimbingan sebenarnya merupakan proses bantuan yang menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan merupakan cara untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang. * Bimbingan dan konseling Merupakan Usaha Bersama. Bimbingan bukan hanya tugas atau tanggung jawab konselor, tetapi juga tugas guru-guru dan kepala Sekolah/Madrasah sesuai dengan tugas dan peran masing-masing. Mereka bekerja sebagai teamwork. * Pengambilan Keputusan Merupakan Hal yang Esensial dalam Bimbingan dan konseling. Bimbingan diarahkan untuk membantu konseli agar dapat melakukan pilihan dan mengambil keputusan. Bimbingan mempunyai peranan untuk memberikan informasi dan nasihat kepada konseli, yang itu semua sangat penting baginya dalam mengambil keputusan. Kehidupan konseli diarahkan oleh tujuannya, dan bimbingan memfasilitasi konseli untuk memper-timbangkan, menyesuaikan diri, dan menyempurnakan tujuan melalui pengambilan keputusan yang tepat. Kemampuan untuk membuat pilihan secara tepat bukan kemampuan bawaan, tetapi kemampuan yang harus dikembangkan. Tujuan utama bimbingan adalah mengembangkan kemampuan konseli untuk memecahkan masalahnya dan mengambil keputusan. * Bimbingan dan konseling Berlangsung dalam Berbagai Setting (Adegan) Kehidupan. Pemberian pelayanan bimbingan tidak hanya berlangsung di Sekolah/Madrasah, tetapi juga di lingkungan keluarga, perusahaan/industri, lembaga-lembaga pemerintah/swasta, dan masyarakat pada umumnya. Bidang pelayanan bimbingan pun bersifat multi aspek, yaitu meliputi aspek pribadi, sosial, pendidikan, dan

pekerjaan. Keterlaksanaan dan keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling sangat ditentukan oleh diwujudkannya asas-asas berikut. * Asas Kerahasiaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut dirahasiakanya segenap data dan keterangan tentang konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin. * Asas kesukarelaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan konseli (konseli) mengikuti/menjalani pelayanan/kegiatan yang diperlu-kan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan tersebut. * Asas keterbukaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik di dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan konseli (konseli). Keterbukaan ini amat terkait pada terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri konseli yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan. Agar konseli dapat terbuka, guru pembimbing terlebih dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpurapura. * Asas kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan pelayanan/kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing perlu mendorong konseli untuk aktif dalam setiap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling yang diperuntukan baginya. * Asas kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjuk pada tujuan umum bimbingan dan konseling, yakni: konseli (konseli) sebagai sasaran pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi konseli-konseli yang mandiri dengan ciri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan serta mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing hendaknya mampu mengarahkan segenap pelayanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian konseli. * Asas Kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar objek sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan konseli (konseli) dalam kondisinya sekarang. Pelayanan yang berkenaan dengan masa depan atau kondisi masa lampau pun dilihat dampak dan/atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan apa yang diperbuat sekarang. * Asas Kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi pelayanan terhadap

sasaran pelayanan (konseli) yang sama kehendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu. * Asas Keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis, dan terpadu. Untuk ini kerja sama antara guru pembimbing dan pihakpihak yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi segenap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. * Asas Keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar segenap pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan yang berlaku. Bukanlah pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai dan norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan konseli (konseli) memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai dan norma tersebut. * Asas Keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keprofesionalan guru pembimbing harus terwujud baik dalam penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan dan kegiatan dan konseling maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling. * Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan konseli (konseli) mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain ; dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalihtangankan kasus kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain.

You might also like