You are on page 1of 30

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Saliva atau air liur merupakan cairan yang kompleks serta tidak berwarna yang berasal dari sekresi kelenjar saliva. Manusia memproduksi sebanyak 10001500 cc air ludah dalam 24 jam, yang umumnya terdiri dari 99,5% air, dan 0,5% lagi terdiri dari garamgaram, zat organik, dan zat anorganik. Unsurunsur organik yang menyusun saliva antara lain protein, lipida, glukosa, asam amino, amoniak, vitamin, asam lemak, dan beberapa enzim. Enzim yang terdapat dalam saliva antara lain yaitu enzim amilase, enzim maltase, serta mukus. Unsurunsur anorganik yang menyusun saliva antara lain sodium, kalsium, magnesium, bikarbonat, khloride, rodanida, dan thiocynate (CNS), fosfat, serta potassium. Yang memiliki konsentrasi paling tinggi dalam saliva adalah kalsium dan natrium. Selain itu terdapat gas O2, gas CO2, NO2, Ig A, Ig G, dan Ig M (Sherwood, 2002). Saliva memiliki beberapa fungsi, antara lain : 1. Melicinkan dan membasahi rongga mulut sehingga membantu proses mengunyah dan menelan makanan. 2. Berperan dalam higiene mulut dengan membantu menjaga kebersihan mulut dan gigi. Aliran air yang terusmenerus membantu membilas residu makanan, melepaskan sel epitel, dan benda asing. 3. Pelarut molekulmolekul yang merangsang papil pengecap dan molekul dalam larutan yang bereaksi dengan papil pengecap. Hanya molekul dalam larutan yang dapat bereaksi dengan reseptor papil pengecap. 4. Membantu diagnosa penyakit. 5. Mempunyai aktivitas anti bakterial dan sistem buffer. 6. Membantu proses pencernaan makanan melalui aktivitas enzim ptyalin (amilase ludah) dan lipase ludah. 7. Berpartisipasi dalam proses pembekuan dan penyembuhan luka karena terdapat faktor pembekuan darah dan epidermal growth factor pada saliva.

8. Jumlah sekresi air ludah dapat dipakai keseimbangan air dalam tubuh.

sebagai ukuran tentang

9. Membantu dalam berbicara (pelumasan pada pipi dan lidah) 10. Menjaga kelembaban pada mukosa mulut dan bibir. Manusia memiliki kelenjar ludah yang dibagi atas kelenjar ludah utama (mayor) dan kelenjar ludah tambahan (minor). 1. Kelenjar ludah utama atau mayor Kelenjarkelenjar ludah besar terletak agak jauh dari rongga mulut dan sekretnya disalurkan melalui duktusnya ke dalam rongga mulut. Kelenjar saliva mayor terdiri dari : a. Kelenjar parotis, terletak di bagian bawah telinga di belakang ramus mandibula. b. Kelenjar submandibularis, terletak di bagian bawah korpus mandibula. c. Kelenjar sublingualis, terletak dibawah lidah (Sherwood, 2002). 2. Kelenjar ludah tambahan atau minor Kebanyakan kelenjar ludah merupakan kelenjar kecil yang terletak di dalam mukosa atau submukosa (hanya menyumbangkan 5% dari pengeluaran ludah dalam 24 jam) yang diberi nama lokasinya atau nama pakar yang menemukannya. Semua kelenjar ludah mengeluarkan sekretnya ke dalam rongga mulut. Kelenjar minor dapat dibagi sebagai berikut (Guyton, 2004): a. Kelenjar labial (glandula labialis) terdapat pada bibir atas dan bibir bawah dengan asinusasinus seromukus. b. Kelenjar bukal (glandula bukalis) terdapat pada mukosa pipi, dengan asinus-asinus seromukus. c. Kelenjar BladinNuhn ( Glandula lingualis anterior) terletak pada bagian bawah ujung lidah disebelah menyebelah garis, median, dengan asinus asinus seromukus. d. Kelenjar Von Ebner (Gustatory Gland: albuminous gland) terletak pada pangkal lidah, dnegan asinusasinus murni serus.

e. Kelenjar Weber yang juga terdapat pada pangkal lidah dengan asinus asinus mukus. Kelenjar Von Ebner dan Weber disebut juga glandula lingualis posterior. f. Kelenjarkelenjar pada pallatum dengan asinus mukus.

B. Tujuan Tujuan praktikum kali ini dilaksanakan adalah supaya mahasiswa mengetahui dan melakukan percobaan seperti berikut ini: 1. Viskositas saliva 2. Buffer saliva 3. Reaksi reduksi gula pada saliva 4. Aktivitas enzim amylase saliva 5. Garam Ca pada saliva

C. Waktu dan Tempat Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 28 April 2010 pada pukul 13.0015.00 WIB di Laboratorium Jurusan Kedokteran Gigi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Viskositas Saliva adalah suatu cairan yang dalam keadaan istirahat memiliki kepekatan (kentaldapat mengalir) sehingga tetap lama berada di dalam mulut. Sifat kepekatan saliva ini terutama ditentukan oleh adanya musin. Molekul musin dalam keadaan istirahat merupakan suatu anyaman sehingga saliva menjadi sangat pekat, tetapi segera sesudah seseorang bicara, mengunyah atau menelan, anyaman ini terganggu dan kepekatan saliva turun dramatis (Amerongen, 1991). Viskositas saliva dipengaruhi oleh laju alir dan komposisi saliva. Viskositas saliva submandibula biasanya menurun dengan meningkatnya laju alir saliva, hal ini dikarenakan sel serosa memiliki respon lebih besar terhadap stimulasi dibandingkan sel yang mensekresikan musin. Kelenjar sublingual mengandung predominan sel yang mensekresikan musin sehingga sekresinya bersifat kental. Selain itu, peningkatan viskositas saliva dapat terjadi karena stress emosional. Viskositas juga bervariasi secara langsung dengan kandungan protein (Guyton, 2000). Sekresi saliva dapat distimulus baik dari stimulus mekanik maupun stimulus kimiawi. Stimulus mekanik tampak dalam bentuk gerak

pengunyahan sedangkan stimulus kimiawi tampak dalam bentuk efek kesan pengecapan. Stimulus mekanik yang berupa pengunyahan akan meningkatkan sekresi saliva yang tampak dalam kecepatan aliran saliva. Demikian juga dengan stimulus kimiawi dalam efek kesan pengecapan. Proses mengunyah merupakan stimulus mekanik yang merangsang peningkatan sekresi saliva sedangkan pengecapan merupakan informasi sensorik yang berhubungan dengan stimulus kimiawi yang dapat meningkatkan kecepatan aliran saliva. Stimulus kimiawi dalam rongga mulut berhubungan dengan kesan pengecapan dan sekresi saliva (Sherwood, 2002).

B. Buffer Saliva Sistem bufer asam karbonatbikarbonat, serta kandungan amonia dan urea dalam saliva dapat menyangga dan menurunkan pH yang terjadi saat bakteri plak sedang memetabolisme gula. Kapasitas bufer dan pH saliva erat hubungannya dengan kecepatan sekresinya. Peningkatan kecepatan sekresi saliva mengakibatkan naiknya kadar natrium dan bikarbonat saliva, sehingga kapasitas bufer saliva pun meningkat. Peningkatan kapasitas bufer dapat melindungi mukosa rongga mulut dari asam yang terdapat pada makanan saat muntah. Selain itu, penurunan pH plak sebagai akibat ulah organisme akan dihambat. Sistem bufer saliva membantu mempertahankan pH rongga mulut sekitar 7,0 (Ganong, 1995).

C. Reaksi Reduksi Gula pada Saliva 1. HCl (Asam klorida) Larutan asam klorida atau yang biasa kita kenal dengan larutan HCl dalam air, adalah cairan kimia yang sangat korosif dan berbau menyengat. HCl termasuk bahan kimia berbahaya atau B3 (www.usu.ac.id). 2. NaOH Natrium hidroksida (NaOH) merupakan basa kuat yang menerima proton dari Na+. Basa ini mengandung unsur dari golongan alkali, yakni Natrium (Na+). NaOH sering digunakan sebagai pelarut karena fungsi dan efektifitasnya sangat banyak untuk menetralkan asam. NaOH dihasilkan dari elektrolisis larutan NaCl dan merupakan basa kuat (Ansori dalam Fauzan, 2001). NaOH sangat reaktif ketika bereaksi dengan lautan asam. Natrium hidroksida (NaOH) merupakan basa kuat yang menerima proton dari Na+ dari golongan alkali (www.usu.ac.id). Ciriciri golongan alkali menurut Linggih (1998):
a. Reduktor kuat dan mampu mereduksi asam. b. Mudah larut dalam air. c. Merupakan penghantar arus listrik yang baik dan panas

d. Urutan kereaktifannya meningkat seiring dengan bertambahnya berat

atom 3. Larutan Benedict Larutan Benedict adalah varian dari larutan yang secara ensensial sama, yang mengandung ion-ion tembaga (II) yang dikompleks dalam sebuah larutan basa. Larutan Benedict mengandung ion-ion tembaga (II) yang membentuk kompleks dengan ion-ion sitrat dalam larutan natrium karbonat. Glukosa yang terlihat dari hasil positif pada uji benedict yang terbukti dengan terbentuknya warna merah bata pada tabung reaksi yang telah dipanaskan. Warna merah bata yang terbentuk disebabkan oleh glukosa memiliki gugus aldehid yang bebas sehingga dapat mereduksi ionion tembaga (Cu) yang terdapat pada larutan benedict menjadi Cu2O yang berwarna merah bata (www.gudangmateri.com). Pada prinsipnya benedict digunakan untuk mengetahui apakah suatu gula merupakan gula pereduksi atau bukan (mempunyai gugus aldehida bebas). Reaksi Benedict akan menyebabkan larutan yang berwarna biru akan berubah menjadi orange atau kuning (www.chem-istry.org).

D. Aktivitas Enzim Amilase Saliva 1. Tanpa stimulasi Amilum terdiri atas dua macam polisakarida yang kedua-duanya adalah polimer dari glukosa, yaitu amilosa (kira-kira 20-28%) dan sisanya amilopektin. Amilosa terdiri atas 250-300 unit D-glukosa yang terikat dengan ikatan 1,4-glikosidik, jadi molekulnya merupakan rantai terbuka. Amilopektin juga terdiri atas molekul D-glukosa yang sebagian besar mempunyai ikatan 1,4-glikosidik dan sebagian lagi ikatan 1,6-glikosidik. Adanya ikatan 1,6-glikosidik ini menyebabkan terjadinya cabang, sehingga molekul amilopektin berbentuk rantai terbuka dan bercabang. Molekul amilopektin lebih besar daripada molekul amilosa karena terdiri atas lebih dari 1.000 unit glukosa. Butir-butir pati tidak larut dalam air

dingin tetapi apabila suspensi dalam air dipanaskan, akan terbentuk suatu larutan koloid yang kental. larutan koloid ini apabila diberi larutan iodium akan berwarna biru. Warna biru tersebut disebabkan oleh molekul amilosa yang membentuk senyawa. Amilopektin dengan iodium akan memberikan warna ungu atau merah lembayung (Gilvery, 1996). Amilum dapat dihidrolisis sempurna dengan menggunakan asam sehingga menghasilkan glukosa. hidrolisis juga dapat dilakukan dengan bantuan enzim amylase. Dalam ludah dan dalam cairan yang dikeluarkan oleh pankreas terdapat amylase yang bekerja terhadap amilum yang terdapat dalam makanan kita. Oleh enzim amylase, amilum diubah menjadi maltosa dalam bentuk maltosa (Gilvery, 1996). Pada reaksi hidrolisis parsial, amilum terpecah menjadi molekulmolekul yang lebih kecil yang dikenal dengan nama dekstrin. jadi dekstrin adalah hasil antara proses hidrolisis amilum sebelum terbentuk maltosa. tahap-tahap dalam proses hidrolisis amilum serta warna yang terjadi pada reaksi dengan iodium adalah sebagai berikut : Amilum terdiri atas dua macam polisakarida yang kedua-duanya adalah polimer dari glukosa, yaitu amilosa (kira-kira 20-28%) dan sisanya amilopektin. Amilosa terdiri atas 250-300 unit D-glukosa yang terikat dengan ikatan 1,4-glikosidik, jadi molekulnya merupakan rantai terbuka. Amilopektin juga terdiri atas molekul D-glukosa yang sebagian besar mempunyai ikatan 1,4-glikosidik dan sebagian lagi ikatan 1,6-glikosidik. Adanya ikatan 1,6-glikosidik ini menyebabkan terjadinya cabang, sehingga molekul amilopektin berbentuk rantai terbuka dan bercabang. Molekul amilopektin lebih besar daripada molekul amilosa karena terdiri atas lebih dari 1.000 unit glukosa. Butir-butir pati tidak larut dalam air dingin tetapi apabila suspensi dalam air dipanaskan, akan terbentuk suatu larutan koloid yang kental. larutan koloid ini apabila diberi larutan iodium akan berwarna biru. Warna biru tersebut disebabkan oleh molekul amilosa yang membentuk senyawa. Amilopektin dengan iodium akan memberikan warna ungu atau merah lembayung (Gilvery, 1996).

Amilum dapat dihidrolisis sempurna dengan menggunakan asam sehingga menghasilkan glukosa. hidrolisis juga dapat dilakukan dengan bantuan enzim amylase. Dalam ludah dan dalam cairan yang dikeluarkan oleh pankreas terdapat amylase yang bekerja terhadap amilum yang terdapat dalam makanan kita. Oleh enzim amylase, amilum diubah menjadi glukosa dalam bentuk maltosa. (Gilvery, 1996). Tabel 1. Tahap hidrolisis:

2. Dengan pemanasan Enzim adalah suatu protein dan dihasilkan oleh sel hidup. Enzim adalah protein yang mempunyai fungsi khusus. Enzim bekerja dalam mengkatalisis reaksi kimia (biokimia) yang berlangsung di dalam sel itu sendiri. Amilase merupakan kelompok enzim hidrolase yang mengkatalisis reaksi hidrolisis suatu substrat. Enzim -amylase (dikenal juga sebagai enzim ptyalin) yang berperan dalam mengkatalisis reaksi pemecahan pati menjadi unsur penyusunnya yang lebih sederhana. Enzim ini dihasilkan secara alami di mulut bersamasama dengan saliva

(http://greenforce.files.wordpress.com). Amilase dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu: a. -amilase, yang memecah pati secara acak dari tengah atau dari bagian dalam molekul, karenanya disebut endoamilase.

b. -amilase, yang memecah pati secara acak dari tengah atau dari bagian dalam molekul, karenanya disebut eksoamilase. c. Glukoamilase, yang dapat memisahkan glukosa dari terminal gula non pereduksi substrat pati (Winarno, 1986).

Bagan 1.1 Pengaruh enzim -Amylase (http://www.bem.fmipa.its.ac.id)

Prinsip percobaan ini adalah terbentuknya warna biru tua antara amilum dan dengan yodium. Amilum setelah dihidrolisis oleh enzim Amylase secara berturutturut akan membentuk dekstrin dan oligosakarida dengan masingmasing tingkat kemampuan yodium yang berbedabeda. amilodekstrin dengan yodium membentuk warna biru. Eritodekstrin dengan yodium membentuk warna merah. Akrodekstrin dan maltosa tidak berwarna. Disamping kerjanya sangat spesifik, kerja enzim juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Diantaranya adalah faktor suhu dan pH (keasaman). Saliva yang mempunyai pH antara 6,0-7,4. Suatu kisaran yang menguntungkan untuk kerja pencernaan dari -amilase. Enzim ini bekerja secara optimal pada pH 6,6 (Guyton dkk, 1997). Amilase saliva mulai tidak aktif pada pH 4,0. Oleh karena itu, setelah makanan ditelan dan masuk ke dalam lambung, proses hidrolisis oleh enzim amilase saliva tidak

berjalan lebih lama lagi. Aktivitas enzim ternyata dipengaruhi banyak faktor. Faktor-faktor tersebut menentukan efektivitas kerja suatu enzim. Apabila faktor pendukung tersebut berada pada kondisi yang optimum, maka kerja enzim juga akan maksimal. Beberapa faktor yang mempengaruhi kerja enzim:
a. SubstratEnzim mempunyai spesifitas yang tinggi. Apabila substrat

cocok dengan enzim maka kinerja enzim juga akan optimal.


b. pH (keasaman)Enzim mempunyai kesukaan pada pH tertentu. Ada

enzim yang optimal kerjanya pada kondisi asam, namun ada juga yang optimal pada kondisi basa. Namun kebanyakan enzim bekerja optimal pada pH netral.
c. WaktuWaktu kontak/reaksi antara enzim dan substrat menentukan

efektivitas kerja enzim. Semakin lama waktu reaksi maka kerja enzim juga akan semakin optimum.
d. Konsentrasi atau jumlah enzimKonsentrasi enzim berbanding lurus

dengan efektivitas kerja enzim. Semakin tinggi konsentrasi maka kerja enzim akan semakin baik dan cepat.
e. SuhuSeperti juga pH. Semua enzim mempunyai kisaran suhu optimum

untuk kerjanya.
f. Produk Akhir Reaksi enzimatis selalu melibatkan 2 hal, yaitu substrat

dan produk akhir. Dalam beberapa hal produk akhir ternyata dapat menurunkan produktivitas kerja enzim

(http://greenforce.files.wordpress.com).

E. Garam Ca pada Saliva Pada uji Kalsium diperoleh hasil warna putih keruh dan terdapat endapan putih pada dasar tabung. Endapan putih tersebut adalah kalsium oksalat. Saliva memiliki kandungan ion kalsium. Ion Ca+ dapat menggeser ion K+ yang terdapat dalam kalium oksalat (http://asic.lib.unair.ac.id). Dengan terdapatnya kalsium tersebut di atas dapat menyebabkan terjadinya kalkulus. Kalkulus Menurut Harty dan Ogston (1995), dahulu disebut tartar atau calcareous deposits terdiri atas deposit plak yang

10

termineralisasi , yang keras yang menempel pada gigi. Kalkulus juga dapat didefinisikan sebagai massa kalsifikasi yang terbentuk dan melekat pada permukaan gigi ataupun objek solid lainnya di dalam mulut., kalkulus berasal dari plak yang bercampur dengan zat kapur pada ludah sehingga lamakelamaan akan mengendap (usupress.usu.ac.id). Kalkulus dimulai dengan pembentukan plak pada gigi. Permukaan

kalkulus supragingival dan kalkulus subgingival selalu diliputi oleh plak gigi. Bakteri plak diperkirakan memegang peranan penting dalam pembentukan kalkulus, yaitu dalam proses mineralisasi, meningkatkan kejenuhan cairan di sekitarnya sehingga lingkungannya menjadi tidak stabil atau merusak faktor penghambat mineralisasi. Sumber mineral untuk kalkulus supragingival diperoleh dari saliva, sedangkan kalkulus subgingival dari serum darah. Kalkulus dapat dibersihkan dengan cara scalling (www.adln.lib.unair.ac.id). Beberapa teori pembentukan kalkulus : 1. Teori CO Berdasarkan teori ini pengendapan garam kalsium fosfat terjadi akibat adanya perbedaan tekanan CO dalam rongga mulut dengan tekanan CO dari ductus salivarius hal ini menyebabkan pH saliva meningkat sehingga larutan menjadi jenuh. 2. Teori Protein Pada konsentrasi tinggi, protein klorida saliva bersinggungan dengan permukaan gigi sehingga protein tersebut akan keluar dari saliva, sehingga mengurangi stabilitas larutannya dan terjadi pengendapan garam kalsium fosfat. 3. Teori Fosfatase Fosfatase berasal dari plak gigi, sel-sel epitel mati atau bakteri. Fosfatase membantu proses hidrolisa fosfat saliva sehingga terjadi pengendapan garam kalsium fosfat. 4. Teori Esterase Esterase terdapat pada mikrorganisme, membantu proses hidrolisis ester lemak menjadi asam lemak bebas yang dengan kalsium membentuk kalsiumfosfat.

11

5. Teori Amonia Saat tidur, aliran saliva berkurang, urea saliva akan membentuk ammonia sehingga pH saliva naik sehingga terjadi pengendapan garam kalsium fosfat. 6. Teori pembenihan Plak gigi merupakan tempat pembentukan inti ion-ion kalsium dan fosfor yang akan membentuk kristal inti hidroksi apatit dan berfungsi sebagai benih kristal kalsium fosfat dari saliva jenuh

(www.bem.fmipa.its.ac.id). Pada percobaan uji kalsium, semakin banyak larutan asam asetat encer dan K oksalat yang diteteskan pada saliva untuk membembentuk endapan putih pada dasar saliva, maka mengindikasikan bahwa kadar asam pada saliva tinggi dan kadar kalsium dalam salivanya rendah sehingga pembentukan kalkulus cenderung lebih lambat, sedangkan sebaliknya, apabila dengan sedikit tetesan larutan asam asetat dan K oksalat sudah mampu membentuk endapan putih pada dasar saliva, maka menunjukkan bahwa kadar asam pada saliva rendah dan kadar kalsium pada saliva tinggi, maka kondisi ini memudahkan pembentukan kalkulu (www.bem.fmipa.its.ac.id).

12

BAB III METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan 1. pH meter 2. Asam cuka encer 3. HCl 1n 4. NaOH 1n 5. Larutan K-oksalat 6. Larutan kanji 1% 7. Larutan yodium 8. Larutan benedict 9. Kain kasa 10. Tabung reaksi 11. Beker glass 12. Piring porselen 13. Penangas air 37oC 14. Penangas air mendidih 15. Akuades 16. Lampu bunsen

B. Cara Kerja 1. Viskositas saliva a. Kumurlah dengan akuades beberapa kali b. Kain kasa dikunyahkunyah c. Ludah yang keluar dikumpulkan dalam gelas yang tersedia d. Tingkat keasaman ludah diuji, dan e. Perhatikan viskositasnya 2. Buffer saliva a. Ambil saliva dan ukur menggunakan gelas ukur sebanyak 5 ml. b. Masukkan ke tabung reaksi. c. Tambahkan 5 tetes asam cuka encer.

13

d. Amati presipitasi. e. Tuangkan saliva yang tercampur dengan asam cuka ke tabung lain untuk melihat viskositasnya. 3. Reaksi reduksi gula pada saliva a. Mengambil 2 ml ludah dan masukan ke dalam tabung reaksi yang bersih. b. Menambahkan ke dalam tabung reaksi 1 atau 2 ml HCl. c. Panasi tabung itu selama 10 menit, dalam suatu penangas air mendidih. d. Menetralkan dengan 1 atau 2 tetes NaOH. e. Ujilah untuk reaksi reduksi gula dengan menambahkan ke dalam tabung reaksi tersebut sebanyak 10 ml larutan benedict f. Panasi sampai mendidh. g. Mengamati perubahan warna yang terjadi dalam tabung tersebut. 4. Aktivitas enzim amilase saliva tanpa stimulasi a. Tanpa stimulasi 1) Ambil 25 ml larutan kanji 1% , masukkan ke dalam beker. 2) Tambahkan 10 ml ludah kedalam gelas beker tadi dan aduk sampai ludah dan kanji tercampur rata. Tunggu sekitar 3 menit. 3) Ambil 5 tetes campuran ludah-kanji masukkan dalam porselen. 4) Tambahkan 1 tetes larutan yodium kedalam porselen dan amati perubahan yang terjadi. 5) Ulangi langkah no 4 dengan interval 1 menit sebanyak 5 kali sampai reaksi yodium dengan kanji menjadi negatif. 6) Ambil 5 ml larutan ludah-kanji, masukkan dalam tabung reaksi yang bersih. 7) Tambahkan larutan Benedict sebanyak 10 ml dan panasi beberapa menit 8) Amati perubahan warna yang terjadi dalam tabung reaksi.

14

b. Dengan pemanasan 1) Mengambil sebanyak 25 ml larutan kanji 1 % lalu memasukannya ke dalam gelas beker. 2) Menambahkan ke dalam gelas beker tersebut 10 ml ludah yang sudah dipanaskan selama 10 menit terlebih dahulu kemudian mengaduknya sampai tercampur rata kanji dengan ludah, lalu mendiamkannya selama 3 menit. 3) Mengambil 5 tetes campuran ludah dan kanji lalu memasukannya ke dalam piring porselen, kemudian menambahkan 1 tetes larutan yodium lalu mendiamkannya selama 1 menit, lalu mengulangi hal ini selama 5 tetes larutan yodium dengan jeda waktu tiap tetes 1 menit. 4) Mengambil sebanyak 5 ml campuran ludah kanji dan

memasukkannya ke dalam tabung reaksi, kemudian menambahkan larutan benedic sebanyak 10 ml kemudian memanaskannya beberapa menit. 5. Garam Ca pada saliva a. Mengambil 5 ml saliva segar dan kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi bersih. b. Menambahkan beberapa tetes larutan asam cuka dan beberapa tetes larutan K oksalat ke dalam saliva segar tersebut c. Amati perubahan yang terjadi pada tabung reaksi

15

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil No. 1. Percobaan Viskositas saliva Hasil Pengamatan Bersifat serous pH: 9 2. Buffer saliva Pada bagian bawah tabung dan

tersentuk

endapan

garam

viskositas saliva pada saat di tuang ke tabung lain menjadi lebih encer (serus) dari saliva murni. 3. Reaksi reduksi gula pada saliva Terjadi perubahan warna dari biru tua menjadi biru muda (warna lebih cerah), dan terdapat endapan yang melayang-layang setelah

dipanaskan. 4 a. Aktivitas enzim amilase saliva Yodium: biru keabu-abuan lamatanpa stimulasi lama menjadi lebih keruh Benedict: tidak ada perubahan karena benedictnya rusak 4 b. Aktivitas enzim amilase saliva Yodium: biru muda dengan pemanasan 5. Garam Ca pada saliva Benedict: biru tua Terbentuk endapan berwarna

putih dan konsistensi kental

16

B. Pembahasan 1. Viskositas Saliva

Gambar 4.1 viskositas saliva

Hasil percobaan yang kami lakukan menunjukkan bahwa saliva bersifat serous dengan nilai pH yaitu 9. Berdasarkan tinjauan pustaka, ketika terdapat rangsangan mekanik di dalam mulut dengan bentuk gerak pengunyahan, maka dapat meningkatkan sekresi saliva yang tampak dalam kecepatan aliran saliva. Selama proses mastikasi kecepatan sekresi bertambah 0,9 ml/menit dan 70% hasil sekresi diproduksi oleh kelenjar parotis yang mensekresi saliva bersifat serous sehingga viskositasnya encer. Hal ini dipengaruhi oleh karena kelenjar parotis terletak di dekat otot masseter serta letak duktus stensen yang bersilangan dengan otot masseter dan buccinator. Poses mastikasi merupakan refleks sederhana atau tidak terkondisi. Refleks saliva sederhana (tidak terkondisi) terjadi sewaktu kemoreseptor atau reseptor tekanan di dalam rongga mulut merespon terhadap adanya makanan. Sewaktu diaktifkan, reseptorreseptor tersebut memulai impuls diserat saraf aferen yaitu n. Glossofaringeus (CN.IX) yang membawa informasi ke pusat saliva di medula batang otak. Pusat saliva yaitu pada kelenjar submandibularis dan kelenjar sublingualis yang ada pada bagian nukleus salivatorius superior (NSS) dan pada glandula parotidea pada bagian nukleus salivatorius inferior (NSI). Pusat saliva kemudian mengirimkan impuls melalui saraf otonom ekstrinsik (eferen) ke kelenjar

17

liur untuk meningkatkan sekresi air liur karena adanya reseptor tekanan yang terdapat di mulut. Jaras eferen pada glandula submandibula dan glandula sublingual diinervasi oleh n. Facialis (CN.VII) sedangkan glandula parotis diinervasi olah n. Glossofaringeus (CN. IX) (Sherwood, 2002). Pada proses mastikasi dengan diikuti oleh stimulus seperti pengunyahan kasa akan meningkatkan saliva sekitar tiga kali dari semula. Reseptor yang ada pada otot mastikasi, temporo mandibular joint, ligamen periodontal dan mukosa akan melanjutkan proses mastikasi sehingga nuklei salivarius meningkat dan saraf parasimpatik bekerja. Adanya kerja dari saraf parasimpatik menyebabkan saliva yang disekresikan bersifat serous (encer). Pada hasil praktikum yang telah dilaksanakan dihasilkan bahwa sekresi dengan stimulasi kasa memiliki pH 9. Hal ini menunjukan bahwa dengan stimulasi mekanis (kasa) dapat mempengaruhi kecepatan sekresi saliva yang mana dapat meningkatkan konsentrasi ion bikarbonat sehingga dapat menaikkan pH saliva. 2. Buffer Saliva

Gambar 4.2 Endapan yang terbentuk

Larutan penyangga (buffer) adalah larutan yang dapat menjaga (mempertahankan) pH-nya dari penambahan asam, basa, maupun pengenceran oleh air. pH larutan buffer tidak berubah (konstan) setelah

18

penambahan sejumlah asam, basa, maupun air. Larutan buffer mampu menetralkan penambahan asam maupun basa dari luar (Raymond,2007). Semua cairan tubuh harus merupakan larutan buffer, agar pH selalu konstan saat metabolisme berlangsung. Ada dua jenis larutan buffer yaitu buffer asam dan buffer basa, komponen buffer asam adalah asam lemah dan basa konyugasinya, sedang buffer basa terdiri dari basa lemah dan konyugasinya. Sifat larutan buffer adalah: a. pH larutan tidak berubah jika diencerkan b. pH larutan tidak berubah jika ditambahkan kedalamnya sedikit asam atau basa (www.dikmenum.go.id). Enzim memiliki sifat bekerja pada pH tertentu dan enzim akan menjadi inaktif atau rusak jika pHnya melebihi atau kurang pada pH yang seharusnya. Pada enzim di saliva misalnya enzim amylase akan bekerja pada kondisi pH mulut yang normal yaitu kurang lebih 7 dan pH optimum adalah 9. Penurunan atau kenaikan pH akan mempengaruhi aktivitas enzim (www.woodrow.org). Saat saliva diberi asam cuka, secara otomatis keadaan pH akan terpengaruh secara tiba-tiba dan mempengaruhi kinerja dari enzim tersebut. Hal ini mengakibatkan terjadinya denaturasi enzim di mana sifat enzimatik dan biologis dari enzim mengalami gangguan, sehingga mengakibatkan terjadinya presipitasi garam yang akhirnya mempengaruhi konsistensi atau viskositas dari saliva menjadi lebih kental

(www.woodrow.org). Di dalam saliva juga terdapat proteinprotein. Selain kerja enzim yang terhambat oleh penambahan asam asetat encer, pada saat itu protein juga akan mengalami denaturasi sehingga terbentuk suatu endapan. Hasil pengamatan yang kita peroleh berupa larutan yang semakin keruh jika dibandingkan dengan larutan semula. Kekeruhan ini merupakan indikasi jika di dalam larutan tersebut terbentuk endapan dan pada beberapa saat kemudian akan terbentuk endapan pada bagian bawah tabung. Endapan tersebut merupakan protein (www.biochemia.amb.edu.pl).

19

Pada percobaan didapatkan hasil yang berbeda yaitu viskositas saliva menjadi lebih encer (serus) dari sebelumnya. Hal tersebut disebabkan karena komponen utama dari penuyusun serus yang mempunyai sifat lebih encer adalah protein dan enzim. Dengan adanya protein dan enzim yang mengendap, maka konsentrasi dari serus menjadi rendah sehingga viskositasnya juga menjadi lebih encer. 3. Reaksi reduksi gula pada saliva Penambahan HCl pada saliva dalam reaksi reduksi gula berfungsi dalam menghidrolisis laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Galaktosa memiliki sifat mereduksi pereaksi Benedict. Untuk menetralkan asam ditambahkan NaOH (www.adln.lib.unair.ac.id). Menurut Harper (2009), saliva setelah diuji dengan Benedict, maka warna larutan menjadi kuning keruh dan terdapat endapan yang menandakan bahwa glukosa memiliki gugus reduksi yang dapat mereduksi ion Cu2+ menjadi Cu+ dengan menghasilkan endapan Cu2O. Pada percobaan reduksi gula pada saliva yang telah dilakukan menggunakan larutan benedict terjadi perubahan warna dari biru tua menjadi biru muda atau warna larutan menjadi lebih cerah dan terdapat endapan berwarna biru keputih-putihan yang melayang-layang. Seharusnya dalam saliva yang telah ditambahkan larutan benedict warna larutan berubah menjadi kuning-orange (www.chem-is-try.org). Dengan adanya perbedaan antara hasil percobaan dengan tinjauan pustaka yang ada, maka dilakukan percobaan menggunakan aquades yang dicampur gula dan ditambahkan 4 tetes larutan benedict. Kemudian dipanaskan sampai mendidih. Namun hasilnya tetap saja, larutan tetap berwarna biru muda tidak berubah warna menjadi kuning. Dapat disimpulkan bahwa terdapat kerusakan pada benedict yang digunakan untuk percobaan tersebut, sehingga saliva yang telah ditambah larutan benedict tidak berubah warna menjadi kuning.

20

Gambar 4.3 Campuran saliva dan HCL setelah dipanaskan

Gambar 4.4 Campuran saliva, HCl, dan NaOH

Gambar 4.5 Saliva setelah dicampur benedict

21

Gambar 4.6 Campuran saliva dan benedict setelah dipanaskan

Gambar 4.7 Larutan gula yang dicampur benedict sebelum dipanaskan

Gambar 4.8 Larutan gula dan benedict setelah dipanaskan

22

4. Aktivitas enzim saliva a. Tanpa stimulasi Hasil yang didapat pada pemeriksaan yodium menujukkan adanya perubahan warna pada larutan kanji-saliva yang ditetesi yodium. Dari tetesan pertama yang berwarna biru keabuan menjadi lebih gelap pada tetesan-tesan berikutnya. Hal ini menunjukkan adanya rekasi antara amylum dalam kanji yang diubah menjadi maltosa oleh enzym amilase pada saliva. Hasil yang seharusnya didapatkan adalah dengan pengujian yod, adalah warna larutan menjadi sama dengan warna yod dengan melalui proses perubahan warna tertentu. Perubahan warna tersebut merupakan hasil antara hidrolisis amilum menjadi glukosa yang melalui tahap hidrolisis menjadi dekstrin.

Gambar 4.9 Larutan kanji-saliva ditambah yodium tetes 1

Amilum dapat dihidrolisis sempurna dengan menggunakan asam sehingga menghasilkan glukosa. Hidrolisis juga dapat dilakukan dengan bantuan enzim amylase. Dalam ludah dan dalam cairan yang dikeluarkan oleh pankreas terdapat amylase yang bekerja terhadap amilum yang terdapat dalam makanan kita. Oleh enzim amylase, amilum diubah menjadi maltosa dalam bentuk maltosa (Gilvery, 1996). Pemeriksaan dengan larutan benedict, seharusnya memberikan hasil perubahan warna dari biru menjadi oranye kekuningan setelah dipanaskan yang menunjukkan adanya reaksi glukosa dengan larutan benedict. Perubahan warna tidak terjadi karena larutan benedict yang digunakan sudah rusak dan tidak berfungsi.

23

Gambar 4.10 Larutan kanji-saliva ditambah benedict awal.

Gambar 4.11 Larutan kanji-saliva ditambah benedict setelah pemanasan

b. Dengan pemanasan Pada percobaan menggunakan saliva sebanyak 10 ml yang telah dipanaskan terlebih dahulu selama 10 menit kemudian mencampur dengan larutan kanji sebanyak 25 ml kemudian mendiamkannya selama 3 menit hasilnya berwarna jernih, sedangkan pada percobaan berikutnya yaitu mengambil 5 tetes dari campuran larutan kanji dan saliva lalu menuangkannya ke piring porselen kemudian menambahi 1 tetes larutan yodium lalu mendiamkannya selama 1 menit, dan terus seperti itu sampai 5 tetes, hasilnya berubah dari jernih menjadi biru tua ini

24

berarti amilum berubah menjadi maltosa. Sedangkan pada pengamatan 5 ml saliva yang menambahkan larutan benedic sebanyak 10 ml lalu memanaskannya selama beberapa menit hasilnya juga sama yaitu berubah dari jernih menjadi warna biru ini berarti amilum tidak berubah menjadi maltosa, seharusnya percobaan ini menghasilkan warna orange, ini disebabkan oleh larutan benedic nya mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pH, suhu dan konsentrasi substrat terhadap enzim. Jika semakin tinggi suhunya, enzim akan lebih mudah dijadikan inaktif. Suatu enzim dapat bekerja dengan baik bila faktor tersebut berada dalam keadaan optimum. Keadan optimum berbeda-beda untuk setiap enzim.Warna jernih dapat terbentuk disebabkan amilum yang berikatan dengan Iod membentuk warna biru telah mengalami proses hidrolisis menjadi maltosa dan dekstrin yang tidak menimbulkan warna apabila berada dalam larutan yodium. Pada perubahan suhu, kecepatan reaksi yang dikatalisis oleh enzim mula-mula meningkat karena adanya peningkatan suhu. Energi kinetik akan meningkat pada kompleks enzim dan substrat yang bereaksi. Namun, peningkatan energi kinetik oleh peningkatan suhu mempunyai batas yang optimum. Jika batas tersebut terlewati, maka energi tersebut dapat memutuskan ikatan hidrogen dan hidrofobik yang lemah yang mempertahankan struktur sekunder-tersiernya. Pada suhu ini, denaturasi yang disertai dengan penurunan aktivitas enzim sebagai katalis akan terjadi. Suhu optimal enzim bergantung pada lamanya pengukuran kadar yang dipakai untuk menentukannya. Semakin lama suatu enzim dipertahankan pada suhu dimana strukturnya sedikit labil, maka semakin besar kemungkinan enzim tersebut mengalami denaturasi.

25

Gambar 4.12 Campuran larutan kanji dan saliva sebelum Ditetesi larutan yodium dan benedic

Gambar 4.13 ditetesi 1 tetes larutan yodium

Gambar 4.14 Ditetesi 2 tetes larutan yodium

Gambar 4.15 Ditetesi 3 tetes larutan yodium

Gambar 4.16 Ditetesi 4 tetes larutan yodium

Gambar 4.17 Ditetesi 5 tetes larutan yodium

26

Gambar 4.18 Ditetesi larutan benedic setelah dipanaskan

5. Garam Ca pada saliva

Gambar 4.19 Sebelum : belum tampak endapan

27

Gambar 4.20 Sesudah : telah tampak endapan putih di dasar saliva

Pada percobaan uji kalsium pada saliva ini diperoleh hasil bahwa terjadi endapan berwarna putih pada dasar saliva dan konsistensi saliva lebih kental daripada sebelumnya setelah saliva segar sebanyak 5ml diberi beberapa tetes larutan asam asetat encer dan diberi beberapa tetes larutan K- Oksalat. Pengendapan tersebut terjadi setelah saliva ditetesi masing masing 5 tetes larutan asam asetat encer dan juga 5 tetes larutan K oksalat. Sesuai dengan tinjauan pustaka di atas, endapan putih tersebut adalah kalsium oksalat. Saliva memiliki kandungan ion kalsium. Ion Ca+ dapat menggeser ion K+ yang terdapat dalam kalium oksalat

(http://asic.lib.unair.ac.id). Jadi, pada percobaan ini, semakin banyak larutan asam asetat encer dan K oksalat yang diteteskan pada saliva untuk membembentuk endapan putih pada dasar saliva, maka mengindikasikan bahwa kadar asam pada saliva tinggi dan kadar kalsium dalam salivanya rendah sehingga pembentukan kalkulus cenderung lebih lambat, sedangkan sebaliknya, apabila dengan sedikit tetesan larutan asam asetat dan K oksalat sudah mampu membentuk endapan putih pada dasar saliva, maka menunjukkan bahwa kadar asam pada saliva rendah dan kadar kalsium pada saliva tinggi, maka kondisi ini memudahkan pembentukan kalkulus.

28

BAB V SIMPULAN

Dari beberapa percobaan yang dilakukan, maka dapat disimpulkan antara lain adalah sebagai berikut: 1. Viskositas saliva pada percobaan dengan stimulasi pengunyahan kasa menghasilkan pH 9 dan encer. Viskositas saliva akan menurun apabila sekresi saliva semakin meningkat. Volume saliva dapat meningkat akibat adanya rangsangan mekanik misalnya pengunyahan. 2. Saliva mempunyai fungsi sebagai buffer ketika kondisi saliva asam terbukti adanya endapan. 3. Hasil reaksi reduksi gula saliva terjadi perubahan warna dari biru tua menjadi biru
muda dan terdapat endapan yang melayang-layang pada. Fungsi HCl adalah

menghidrolisis laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Galaktosa memiliki sifat mereduksi pereaksi benedict. setelah diuji dengan benedict, warna larutan seharusnya kuning keruh dan terdapat endapan yang menandakan glukosa memiliki gugus reduksi yang dapat mereduksi ion Cu2+ menjadi Cu+ dan akan mengendap sebagai Cu2O. 4. Kecepatan reaksi enzimatik akan meningkat seiring peningkatan suhu sampai batas optimum. Suhu optimum enzim amilase salivarius adalah 37 oC, sama dengan suhu normal tubuh. Enzim memiliki aktivitas maksimal pada pH optimum yaitu 9. Penurunan atau kenaikan pH akan mempengaruhi aktivitas enzim. Apabila keadaan suhu maupun pH tidak sesuai keadaan normal, maka akan terjadi denaturasi enzim, dimana fungsi enzimatik dan biologi dari enzim mengalami kerusakan. Hal ini mempengaruhi fungsi dari saliva adalah fungsi dari enzim amilase yang memecah polisakarida menjadi disakarida, yang dapat diamati melalui indikator iodium. 5. Pada uji kalsium diperoleh hasil warna putih keruh dan terdapat endapan putih pada dasar tabung. Endapan putih tersebut adalah kalsium oksalat. Saliva memiliki kandungan ion kalsium. Ion Ca+ dapat menggeser ion K+ yang terdapat dalam kalium oksalat.

29

DAFTAR PUSTAKA

Amerongen, A.N., 1991, Ludah dan Kelenjar Ludah: Arti Penting bagi Kesehatan Gigi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Chang, Raymond. 2007. Chemistry Ninth Edition. New York: Mc Graw Hill. Ganong, 1995. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Gilvery, Goldstein. 1996. Biokimia Suatu Pendekatan Fungsional. Edisi 3. Airlangga University Press: Surabaya. Guyton, dan Hall. 2004. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Harper. 2009. Biokimia. Jakarta: EGC. Harty, F. J., R. Ogston.1995. Kamus Kedokteran Gigi. Jakarta : EGC Sherwood, Lauralee. 2002. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC. http://asic.lib.unair.ac.id/journals/abstrak/Kus%20%3B%20Peran%202.pdf, diakses pada tanggal 29 April 2011. http://greenforce.files.wordpress.com, diakses 29 April 2011. http://usupress.usu.ac.id/files/Menuju%20Gigi%20dan%20Mulut%20Sehat%20_ Pencegahan%20dan%20Pemeliharaan__Normal_bab%201.pdf, pada tanggal 29 April 2011. www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-s2-2004-probosarin1108&PHPSESSID=633b, diakses pada tanggal 29 April 2011. www.bem.fmipa.its.ac.id/download/SAINTEK/Jurnal/praktikum-enzim-petunjukkerja.pdf, diakses pada tanggal 29 April 2011. www.biochemia.amb.edu.pl/stoma.html, diakses tanggal 28 April 2011. www.chem-istry.org/tanya_pakar/bagaimana_prinsip_kerja_reaksi_fehling_tollens_da n_benedict/, diakses tanggal 29 April 2011. www.dikmenum.go.id, diakses tanggal 28 April 2011. www.gudangmateri.com/2010/02/biokimia-karbohidrat.html, diakses tanggal 28 April 2011. www.woodrow.org/teachers/ci/1988/starch.html. diakses tanggal 28 April 2011. diakses

30

You might also like