You are on page 1of 24

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara tropis mempunyai beragam jenis tumbuhan yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan obat. Salah satu tumbuhan yang banyak tumbuh di Indonesia dan dimanfaatkan untuk obat tradisional adalah pepaya (Carica papaya L.). Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa daun pepaya mengandung senyawa alkaloid karpain, flavonoid dan tannin (OGTR, 2008). Alkaloid adalah suatu golongan senyawa basa bernitrogen yang kebanyakan heterosiklik dan paling banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan Konsentrasi senyawa alkaloid ini paling banyak terdapat pada bagian hijau dari tumbuhan pepaya (daun) dan bijinya (C.P. Khare, 2004). Golongan alkaloid ini diketahui dapat mempengaruhi spermatogenesis dengan menekan sekresi hormonhormon yang diperlukan untuk berlangsungnya spermatogenesis (Winarno dan Sundari, 1997). Spermatogenesis adalah proses pembentukan sperma yang terjadi di tubulus seminiferus testis. Spermatogenesis normal tergantung pada kadar LH (Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicle stimulating hormone). LH merangsang sel-sel leydig untuk memproduksi testosteron. Sedangkan FSH merangsang sel sertoli untuk menghasilkan protein pengikat androgen yang mengikat testosteron. Kadar testosteron tinggi diperlukan untuk spermatogenesis normal. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa golongan alkaloid biji pepaya dapat menurunkan kadar LH dan testosteron serum (P.B. Udoh et al, 2009), mencegah

fertilisasi ovum, mengurangi jumlah sel sperma dan menyebabkan degenerasi sel sperma (F.V. Udoh dan E.E. Umoh, 2005). Peningkatan jumlah penduduk yang cukup pesat membuat pemerintah Indonesia terus berupaya untuk meningkatkan kualitas program Keluarga Berencana. Namun kita tidak bisa menutup mata bahwa selama kurun waktu 30 tahun terakhir, keberhasilan program KB masih banyak didukung oleh peran serta wanita dalam penggunaan alat dan metode kontrasepsi. Hal ini dibuktikan dengan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 bahwa persentase peserta KB pria secara nasional baru mencapai sekitar 2,5%, sedangkan yang 97,5% adalah peserta KB wanita. Untuk itu, keterlibatan pria dalam program ini harus diupayakan secara intensif oleh semua pihak dengan mencari bahan untuk kontrasepsi. Saat ini alat kontrasepsi pria hanya terbatas pada kondom dan vasektomi (BKKBN, 2008). Sejauh penelusuran kepustakaan penulis, belum ditemukan hasil penelitian mengenai pengaruh alkaloid daun pepaya terhadap spermatogenesis. Berdasarkan hal tersebut, maka timbullah keinginan penulis untuk meneliti pengaruh ekstrak daun pepaya terhadap spermatogenesis tikus, mengingat daun pepaya merupakan bagian yang paling tinggi kandungan alkaloid karpainnya disamping biji pepaya. Apabila dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa konsumsi daun pepaya juga dapat menurunkan spermatogenesis tikus, diharapkan lebih dapat memberikan sumbangan pikiran sebagai salah satu pertimbangan dalam pengembangan program KB terutama pada pria sekaligus meningkatkan pendayagunaan sumber daya alam nabati sebagai bahan obat.

1.2. Rumusan Masalah Apakah pemberian ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) berpengaruh pada spermatogenesis tikus putih (Rattus novergicus L.) ?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) terhadap spermatogenesis tikus putih (Rattus novergicus L.) 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui spermatogenesis tikus putih yang tidak diberikan ekstrak daun pepaya. 2. Mengetahui spermatogenesis tikus putih yang diberi ekstrak daun pepaya. 3. Mengetahui pengaruh variasi dosis ekstrak daun pepaya yang diberikan pada tikus putih terhadap spermatogenesis.

1.4.

Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi apakah alkaloid yang terkandung dalam daun pepaya berpengaruh terhadap spermatogenesis. 2. Memberi masukan kepada pengembangan Keluarga Berencana untuk menggali lebih banyak lagi informasi yang berhubungan dengan daun pepaya dan efeknya terhadap fertilitas. 3. Sebagai bahan dasar dan acuan pada penelitian selanjutnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Spermatogenesis Spermatogenesis adalah proses pertumbuhan dan perubahan dari

spermatogonia sampai spermatozoa yang terjadi di tubulus seminiferus testis. Epitel tubulus seminiferus terdiri atas dua jenis sel yaitu sel sertoli yang

berfungsi untuk menunjang, melindungi, dan mengatur nutrisi spermatozoa yang berkembang, dan sel yang kedua, sel spermatogenik yang akan menjadi spermatozoa. Celah diantara tubulus seminiferus dalam testis berisi jenis sel lain yang disebut sel leydig. Sel ini merupakan sel pensekresi steroid (Junqueira dan Carneiro, 1997). Proses spermatogenesis meliputi tiga fase yaitu : 1) Spermatositogenesis, selama fase ini spermatogonium membelah secara mitosis, menghasilkan generasi sel baru yang nantinya akan menghasilkan spermatosit primer. 2) Meiosis, Terdiri dari miosis I dan miosis II. Selama fase miosis I, spermatosit primer mengalami pembelahan serta mereduksi sampai setengah jumlah kromosom dan jumlah DNA per sel, menghasilkan spermatosit sekunder, kemudian spermatosit sekunder mengalami meiosis II menghasilkan spermatid. 3) Spermiogenesis, spermatid mengalami proses sitodiferensiasi menghasilkan spermatozoa (Junqueira dan Carneiro, 1997).

Gambar 2.1. Histologi testis (Junqueira dan Carneiro, 1997)

Proses

spermatogenesis

dimulai

dengan

sel

benih

primitif,

yaitu

spermatogonium, yang berkumpul tepat di tepi lamina basal dari epitel germinativum. Sel spermatogonium relatif kecil, bergaris tengah sekitar 12 m, dan intinya mengandung kromatin pucat. Pada keadaan kematangan kelamin, sel ini mengalami sederetan mitosis, dan sel-sel yang baru dibentuk dapat mengikuti satu dari dua jalur yaitu mereka dapat berlanjut, setelah satu atau lebih pembelahan mitosis, sebagai sel induk yang disebut spermatogonium tipe A, atau mereka dapat berdiferensiasi selama siklus mitotik yang progresif menjadi spermatogonium tipe B (Junqueira dan Carneiro, 1997). Spermatogonium tipe A adalah sel induk untuk garis keturunan

spermatogenik, sementara spermatogonium tipe B merupakan sel progenitor yang berdiferensisasi menjadi spermatosit primer. Segera setelah sel spermatogonium A dan B, sel tersebut memasuki tahap profase dari pembelahan miosis pertama. Pada saat ini, spermatosit primer memiliki 46 kromosom dan diploid (2N). Dalam 5

tahap profase ini, sel melewati 4 tahap yaitu leptoten, zigoten, pakiten, dan diploten. Kemudian mengalami diakinesis, yang menghasilkan pemisahan dari kromosom (Junqueira dan Carneiro, 1997). Persilangan gen kromosom terjadi pada tahap miosis I ini. Sel kemudian memasuki metafase, dan kromosom bergerak menuju kutub masing-masing pada tahap anafase berikutnya. Karena profase pembelahan ini memakan waktu lebih kurang 22 hari, maka hampir seluruh sel yang tampak pada potongan berada dalam fase ini. Spermatosit primer adalah sel terbesar dalam garis turunan spermatogenik ini dan ditandai adanya kromosom dalam tahap proses penggelungan yang berbeda di dalam intinya (Junqueira dan Carneiro, 1997). Dari pembelahan miosis I ini timbul sel yang lebih kecil disebut spermatosit sekunder dengan hanya 23 kromosom dan haploid (1N). Spermatosit sekunder sulit diamati dalam sedian testis karena merupakan sel berumur pendek yang berada dalam fase interfase yang sangat singkat dan dengan cepat memasuki pembelahan miosis II. Pembelahan spermatosit sekunder menghasilkan

spermatid, sel yang mengandung 23 kromosom dan haploid. Spermatid ini dapat dikenali melalui ukurannya yang kecil (garis tengah 7-8 m), inti dengan daerahdaerah kromatin padat dan lokasi jukstaluminal di dalam tubulus seminiferus. (Junqueira dan Carneiro, 1997). Proses selanjutnya adalah spermiogenesis, yang mencakup pembentukan akrosom, pemadatan dan pemanjangan inti, pembentukan flagelum, dan pengurangan sebagian besar sitoplasmanya. Hasil akhirnya adalah spermatozoa matang, yang kemudian dilepaskan ke dalam lumen tubulus seminiferus (Junqueira dan Carneiro, 1997). 6

A B

25 days

28 days

21 days

Gambar 2.2. Urutan peristiwa dan waktu dalam spermatogenesis (GSNU, 2009). Keseluruhan proses spermatogenesis, dari spermatogonia menjadi

spermatozoa, membutuhkan waktu sekitar 74 hari pada manusia dan 36 hari pada tikus jantan (Guyton & Hall, 2007). Spermatogenesis dirangsang oleh faktor-faktor hormonal. Beberapa hormon yang mempengaruhinya antara lain : 1. Testosteron, yang disekresikan oleh sel-sel leydig yang terletak di intertisium testis, penting bagi pertumbuhan dan pembelahan sel-sel germinal testis, yang merupakan tahap pertama pembentukan sperma. 2. Luteinizing hormone, yang disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior, merangsang sel-sel leydig untuk menyekresikan testosteron. 7

3. Follicle stimulating hormone, yang juga disekresikan oleh sel-sel kelenjar hipofisis anterior, merangsang sel-sel sertoli, tanpa rangsangan ini, pengubahan spermatid menjadi sperma (proses spermiogenesis) tidak akan terjadi. 4. Estrogen, yang dibentuk dari testosteron oleh sel-sel sertoli ketika sel sertoli dirangsang oleh FSH, mungkin juga penting untuk spermiogenesis. 5. Hormon Pertumbuhan, diperlukan untuk mengatur latar belakang fungsi metabolisme testis. Hormon ini secara spesifik meningkatkan pembelahan awal spermatogonia (Guyton & Hall, 2007). Bila terjadi gangguan dalam hormon-hormon tersebut maka proses spermatogenesis akan terganggu dan kualitas sperma akan berubah. Misalnya, jika tidak ada FSH maka spermatogenesis tidak akan terjadi. Akan tetapi, FSH tidak dapat bekerja sendiri menyelesaikan spermatogenesis. Agar spermatogenesis berlangsung sempurna, memerlukan testosteron yang dihasilkan oleh sel interstisial leydig. Produksi testosteron sendiri dirangsang oleh LH. (Guyton & Hall, 2007). Kombinasi kadar FSH dan LH yang tinggi dan kadar testosterone yang rendah menyebabkan adanya kegagalan testis. Kadar FSH yang tinggi dengan kadar LH dan testosteron yang normal menyebabkan kegagalan sel germinal terisolasi, fungsi sel leydig yang normal dan terandrogenisasi normal tetapi mengalami azoospermia atau oligospermia (DeCherney et al, 1997). Selain hormon, suhu yang sesuai di dalam testis penting untuk spermatogenesis, biasanya sekitar 2-30 C dibawah suhu badan (Victor P.E, 2003). Malnutrisi, alkoholisme, dan kerja obat atau senyawa tertentu mengakibatkan gangguan pada spermatogonia, yang kemudian menyebabkan penurunan produksi 8

spermatozoa. Radiasi sinar-X dan garam kadmium cukup toksik terhadap sel turunan spermatogenik, dapat menyebabkan kematian sel tersebut dan sterilisasi. Akan tetapi, tidak perlu diragukan lagi, bahwa faktor endokrin mempunyai efek paling penting terhadap spermatogenesis (Junqueira dan Carneiro, 1997).

2.2. Tinjauan Umum Pepaya 2.2.1. Taksonomi Tanaman Pepaya Divisio Sub divisio Klassis Ordo Familia Genus Species : Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledonae : Cistales : Caricacecae : Carica : Carica papaya L. (Van Steenis, 2002).

2.2.2. Sejarah Singkat Tanaman Pepaya Tanaman pepaya (C. pepaya) aslinya berasal dari dataran rendah bagian timur Amerika Tengah, dari Mexico sampai ke Panama (Nakasone & Paull, 1998). Bijibijinya didistribusikan ke Karibia dan Asia Tenggara selama penjelajahan Spanyol di abad ke-16, kemudian menyebar dengan cepat ke India, Pasifik dan Afrika (Villegas 1997). Pepaya kini tumbuh di semua negara-negara tropis dan sub-tropis di dunia (OGTR, 2008). Pepaya asli dari Amerika tengah adalah tanaman yang tinggi dan ramping yang hampir tidak bisa dimakan. Selama penyebaran dan domestikasi, spesiesnya 9

mengalami perubahan ukuran buah, warna buah, sistem kawin dan perilaku tumbuh (Manshardt & Moore, 2003).

2.2.3. Nama Lain Pepaya Pepaya disebut juga gedang (Sunda), kates (Jawa), peute, batiak, ralempaya, punti kayu (Sumatra), pisang malaka, bandas, manjan (Kalimantan), kalujawa (Kalimantan) serta kapalaya kaliki dan uti jawa (Sulawesi). Selain nama daerah pepaya juga mempunyai nama asing yaitu : papaw tree, papaya, papayer, melonenbaum, fan mu gua (H. Wijayakusuma dan Dalimartha, 1998).

2.2.4. Syarat Tumbuh Tanaman pepaya tumbuh subur pada daerah yang memilki curah hujan 10002000 mm/tahun. Suhu udara optimum 22-26 derajat C dengan kelembaban udara sekitar 40% (Kemal Prihatman, 2000). Tanah yang baik untuk tanaman pepaya adalah tanah yang subur dan banyak mengandung humus. Tanah itu harus banyak menahan air dan gembur. Derajat keasaman tanah (pH tanah) yang ideal adalah netral dengan pH 6-7. Kandungan air dalam tanah merupakan syarat penting dalam kehidupan tanaman ini. Tinggi air yang ideal tidak lebih dalam dari pada 50150 cm dari permukaan tanah. Pepaya dapat ditanam di dataran rendah sampai ketinggian 700 m 1000 m dpl (Kemal Prihatman, 2000).

2.2.5. Morfologi Tanaman Pohon biasanya tidak bercabang, batang berbentuk bulat, berongga, tidak berkayu, dan terdapat benjolan-benjolan bekas 10

tangkai daun yang sudah rontok. Daun tunggal, berbentuk menjari, tangkai daun yang panjang dan terkumpul di ujung batang. Buah berbentuk bulat memanjang, bergantung di batang, saat muda berwarna hijau dan kuning kemerahan jika sudah matang, berongga besar di tengahnya dengan tangkai buah yang pendek. Di dalam buah terdapat biji dalam jumlah yang banyak dan diselimuti lapisan tipis, berwarna hitam, dan berbentuk bulat kecil. Bagian tanaman yang bisa dimanfaatkan sebagai obat adalah daun, buah, biji, dan getahnya (Yellia Mangan, 2003).

Gambar 2.3. Pohon pepaya (Carica papaya L.)

2.2.6. Kandungan Kimia

11

Bagian hijau dari tanaman dan biji pepaya mengandung alkaloid tetapi kandungan alkaloidnya lebih terkonsentrasi pada daun pepaya (C.P. Khare, 2004). Selain alkaloid, daunnya mengandung karpain, dehidrokarpain, flavonoid, dan tannin (OGTR, 2008). Bijinya juga mengandung saponin, flavonoid, polifenol, plobatanins dan hidroksimetil-antrakuinons (Udoh & Kehinde, 1999). Getahnya mengandung enzim papain dan pseudokarpain. Buahnya mengadung enzim proteolitik, papain dan kimopain. (C.P. Khare, 2004). Alkaloid pada biji pepaya telah diketahui memiliki efek antifertilitas. Pada penelitian sebelumnya, hasil uji efek alkaloid ekstrak biji pepaya terhadap kadar serum hormon seks tikus jantan menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar serum hormon testosteron selama 3 hari pemberian dengan dosis 10 mg/kg, 50 mg/kg, dan 150 mg/kg. Selain itu, kadar serum LH mengalami penurunan yang signifikan secara statistik (P.B. Udoh et al, 2009). Ekstrak alkaloid tersebut juga dapat mengurangi

jumlah sperma, menyebabkan degenerasi spermatozoa dan menekan spermatogenesis secara keseluruhan (F.V. Udoh dan E.E. Umoh, 2005).

2.2.7. Khasiat Tanaman Pepaya bersifat manis dan netral. Akar berguna sebagai peluruh kencing (diuretik), obat cacing, penguat lambung, serta 12

perangsang kulit. Biji dapat dipakai untuk obat cacing dan peluruh haid. Buah matang dapat memacu enzim pencernaan, peluruh empedu (cholagogue), menguatkan lambung (stomakik), dan anti skorbut. Buah mengkal bermanfaat sebagai pencahar ringan (laxative), peluruh kencing, pelancar keluarnya ASI, dan abortivum. Daun dapat menambah nafsu makan, meluruhkan haid dan menghilangkan sakit (H. Wijayakusuma dan Dalimartha, 1998).

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

LH Ekstrak Daun Pepaya

Testosteron

Spermatogenesis

Hormon lain

Keterangan : = menurunkan = mempengaruhi 13

3.2. Hipotesis Pemberian ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) berpengaruh terhadap spermatogenesis tikus putih (Rattus novergicus L.).

14

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi UNAND dan Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNAND pada bulan Desember 2009-April 2010.

4.2. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitin eksperimental dengan rancangan Post-Test Randomized Control Group Design .

4.3. Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih ( Rattus novergicus L.) jantan, sehat, umur 1,5-2 bulan dengan berat antara 150-200 gram. Tikus putih diperoleh dari Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Andalas. Sampel penelitian yang digunakan adalah 28 ekor tikus putih yang diambil secara simple random sampling dari populasi dan dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu : 1. Kelompok I 2. Kelompok II : kontrol dengan pemberian akuades : perlakuan dengan pemberian ekstra daun Carica papaya L. dosis 10 mg/kgBB/hari

3. Kelompok III

: perlakuan dengan pemberian ekstra daun Carica papaya L. dosis 50 mg/kgBB/hari

4. Kelompok IV : perlakuan dengan pemberian ekstra daun Carica papaya L. dosis 150 mg/kgBB/hari Setiap satu ekor mencit yang diambil dimasukkan ke kelompok yang berbeda-beda sampai jumlah tiap kelompok mencukupi. Besar sampel pada penelitian ini didapatkan dengan rumus Federer, yaitu : ( t-1 ) ( n-1 ) 15 Keterangan : t = jumlah kelompok percobaan n = besar sampel setiap kelompok perlakuan Dengan rumus ini didapat n 6 untuk masing-masing kelompok. Penulis
mempertimbangkan adanya kemungkinan drop out sampel penelitian

sebesar 10% sehingga jumlah sampel menjadi 7 ekor tikus putih untuk masingmasing kelompok percobaan. Total besar sampel adalah 28 ekor tikus putih. Pemberian dosis ekstrak daun Carica papaya L. berdasarkan rumus Metoda Thomson yaitu metoda yang digunakan untuk menentukan tingkat dosis antara dosis tertinggi dan dosis terendah dalam suatu percobaan. Metoda thomson menggunakan rumus :

F=

Keterangan :

F N

= kelipatan dosis = jumlah kelompok yang mendapatkan perlakuan (3)

DT = dosis tertinggi (150 mg/kgBB)

DR = dosis terendah (10 mg/kgBB) Dari hitungan rumus di atas didapatkan bahwa kelipata dosis yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3,87.

4.4. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional 4.4.1. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : Pemberian ekstrak daun pepaya dengan dosis 10 mg/kgBB/hari, mg/kgBB/hari. 2. Variabel terikat 4.4.2. Definisi Operasional 1. Ekstraksi daun pepaya Sari pati dari daun pepaya yang diambil dengan teknik maserasi metanol yang dipekatkan dengan rotary evaporator. 2. Spermatogenesis Proses pembentukan sperma yang dinilai dari jumlah rata-rata sel spermatogenik per tubulus seminiferus yaitu sel spermatogonia, : Spermatogenesis tikus putih. 50 mg/kgBB/hari, dan 150

spermatosit, dan spermatid serta lapisan sel spermatogeniknya. 3. Maserasi Cara ekstraksi yang paling sederhana dimana daun pepaya yang telah halus direndam dengan bahan pengekstraksi (etanol 95%) sampai meresap dan melunakkan susunan sel daun sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut.

4.5. Bahan Penelitian 1. Ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) 2. Tikus putih (Rattus novergicus L.) jantan, sehat, umur 1,5-2 bulan, dengan berat 150-200 gram sebanyak 28 ekor. 3. Etanol 95% 4. Akuades steril 5. Pakan tikus putih berupa pelet 6. Eter anastetik 7. Minyak imersi 8. Pewarna Hematoksilin-Eosin 10.Parafin 11.Xilol dan xilol alkohol 12.Kloroform

4.6. Instrumen Penelitian 1. Kandang tikus putih 4 buah 2. Tempat makan dan minum tikus putih 4 buah 3. Spuit oral 4. Timbangan Ohaus untuk mengukur berat badan tikus putih 5. Rotary evaporator 6. Kapas 7. Botol bewarna gelap 8. Mikroskop cahaya 9. Kaca objek dan kaca penutup

10.Gunting bedah dan alat bedah lainnya 11.Mikrotom 12.Mikrometer 13.Label

4.7. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data 1. Persiapan Hewan Percobaan Tikus putih (Rattus novergicus L.) jantan sebanyak 24 ekor dikelompokkan sesuai kategori kemudian dipelihara dahulu selama 15 hari untuk aklimatisasi. Selama masa ini, tikus percobaan diberi makanan dan minuman standar. Hewan dinyatakan sehat jika tidak mengalami perubahan berat badan lebih dari 10% dan secara visual menunjukkan perilaku normal. Sebelum perlakuan dimulai tikus percobaan ditimbang dan dilabel dengan spidol sebagai penanda agar tidak salah dalam memberikan perlakuan. 2. Proses Pembuatan Ekstrak Daun Pepaya (Ekstraksi) Satu kg sampel daun pepaya lokal yang ada di Sumatera Barat diiris tipis atau dihaluskan. Untuk ekstraksi sampel digunakan metode maserasi. Sampel yang telah diiris tipis dimaserasi dengan etanol 95% sehingga terendam seluruhnya selama 5 hari dengan sekali-kali diaduk, kemudian disaring dengan kapas. Hasil saringan disimpan dalam botol berwarna gelap terhindar dari cahaya. Ulangi maserasi ini selama 3 kali dengan sampel yang sama. Hasil maserasi dipekatkan dengan Rotary Evaporator sehingga didapat ekstrak daun pepaya.

3. Proses pengenceran ekstrak daun pepaya Ekstrak daun pepaya diencerkan dengan akuades. Pada kelompok II pengenceran dilakukan hingga kosentrasi ekstrak menjadi 1%, sehingga setiap 0,1 ml terdapat 1 mg ekstrak daun pepaya. Pada kelompok III pengenceran dilakukan hingga kosentrasi ekstrak menjadi 5%, sehingga setiap 0,1 ml terdapat dalam 5 mg ekstrak daun pepaya. Pada kelompok IV pengenceran dilakukan hingga konsentrasi ekstrak menjadi 15 % sehingga setiap 0,1 ml terdapat 15 mg ekstrak daun pepaya yang beratnya konstan. 4. Cara Kerja Tikus putih dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing terdiri dari 6 ekor tikus putih yang dikandangkan secara terpisah. Setelah itu tiap kelompok diberi perlakuan sesuai dengan kategorinya. Pemberian ekstrak daun pepaya dilakukan dengan spuit oral 1 x sehari pada jam yang sama selama 36 hari. Pada hari ke-37 tikus putih dimatikan dengan eter, kemudian tikus dibedah, diambil testisnya dan dibuat preparat histologis dengan metode parafin dan pewarnaan HE. Preparat ini digunakan untuk mengetahui jumlah rata-rata sel spermatogenik per tubulus seminiferus dengan menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 200 kali. Data diperoleh dari pemeriksaan terhadap 48 tubulus (24 tubulus dari testis kanan dan 24 tubulus dari testis kiri). Data tersebut berupa data kuantitatif meliputi jumlah rata-rata sel-sel spermatogonia, sel-sel spermatosit, sel-sel

spermatid dan lapisan sel spermatogenik. Evaluasi dilakukan pada stadium VII siklus spermatogenesis tikus dimana pada stadium tersebut telah terbentuk spermatid.

4.8. Pengolahan dan Analisa Data Data yang diperoleh diolah dengan komputer menggunakan program EpiData dan SPSS 13, kemudian dianalisis dengan menggunakan uji statistik berupa : 1. Uji normalitas Kolmogorov Smirnov Goodness of Fit Test dan uji homogenitas varians Barlett 2. Jika data berdistribusi normal dan homogen dilanjutkan dengan uji Analysis of Variance (ANOVA) untuk mengetahui perbedaan rerata antar kelompok, dan jika terdapat perbedaan bermakna dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT). Sebaliknya, jika data tidak berdistribusi

normal dan homogen dilakukan transformasi data (x=

). Jika dianalisis

kembali ternyata data tetap tidak normal dan homogen maka dilakukan uji statistik non parametrik Kruskal-Wallis untuk menentukan apakah data tersebut memperlihatkan perbedaan yang bermakna atau tidak. Taraf kemaknaan yang digunakan adalah 5%.

You might also like