You are on page 1of 13

PENERAPAN MANAJEMEN KINERJA KLINIK

PENGEMBANGAN (PMK)

BAGI PERAWAT DAN BIDAN PADA SISTEM REMUNERASI

Untuk memenuhi tugas UTS pada MA SIM Keperawatan

Disusun oleh:

MAYA RATNASARI

0906574814

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA 2010

PENERAPAN PENGEMBANGAN MANAJEMEN KINERJA (PMK) KLINIK BAGI PERAWAT DAN BIDAN PADA SISTEM REMUNERASI ABSTRAK Pengembangan Manajemen Kinerja (PMK) Klinik bagi perawat dan bidan telah menjadi kebijakan nasional dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan serta performa/ penampilan klinik perawat dan bidan. Indikator dari PMK adalah Standar Pelayanan Minimal yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan tahun 2004. Kebijakan Nasional ini sangat berarti apabila diaplikasikan dengan sistem penghargaan/ remunerasi di fasilitas kesehatan. PMK dapat menjadi dasar penghitungan poin penghargaan untuk sistem remunerasi. Pelaksanaan sistem remunerasi berbasis PMK saat ini hanya terdapat di sebagian kecil fasilitas kesehatan. Diharapkan dengan analisis dan kegiatan tahunan berkelanjutan dapat lebih mengembangkan penerapan PMK di fasilitas kesehatan seluruh Indonesia. I PENDAHULUAN Kinerja menjadi tolok ukur keberhasilan pelayanan kesehatan yang menunjukkan akuntabilitas lembaga pelayanan dalam kerangka tata pemerintahan yang baik (good governance). Dalam pelayanan kesehatan, berbagai jenjang pelayanan dan asuhan pasien (patient care) merupakan bisnis utama, serta pelayanan keperawatan merupakan mainstream sepanjang kontinum asuhan. Upaya untuk memperbaiki mutu dan kinerja pelayanan klinis pada umumnya dimulai oleh perawat melalui berbagai bentuk kegiatan, seperti: gugus kendali mutu, penerapan standar keperawatan, pendekatan-pendekatan pemecahan masalah, maupun audit keperawatan. Milestones upaya perbaikan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia diawali dengan uji coba penerapan gugus kendali mutu di Rumah Sakit (RS) Karawang dan Bekasi pada tahun 1988. Perkembangan selanjutnya tercermin dari penerapan berbagai pendekatan perbaikan mutu di Jawa Tengah yang dimulai pada tahun 1990 dengan pelatihan dan penerapan gugus kendali mutu di RSUD Tidar Magelang dan RSUD Purworejo. Total Quality Management (TQM) mulai diterapkan baik di rumah sakit maupun dinas kesehatan kabupaten dan puskesmas pada tahun 1994, dilanjutkan dengan penerapan jaminan mutu (quality assurance) di puskesmas, dan akreditasi RS untuk 5 pelayanan pada tahun 1997 yang ditindaklanjuti dengan penerapan manajemen kinerja pada tahun 1998. Akreditasi RS untuk 12 pelayanan diterapkan mulai tahun 2000, dan pada tahun 2004 mulai diterapkan akreditasi

puskesmas dan sistem manajemen mutu menurut ISO 9001:2000, serta audit klinis di RS. Perbaikan mutu dan profesionalisme pelayanan keperawatan dan kebidanan dimulai pada tahun 1989 dengan diperkenalkannya proses keperawatan dan manajemen kebidanan yang diikuti dengan pelatihan-pelatihan proses keperawatan dan manajemen kebidanan bagi perawat dan bidan yang bekerja di RS maupun puskesmas. Sistem Pengembangan Manajemen dan Kinerja Klinis (SPMKK) untuk perawat dan bidan mulai diperkenalkan oleh WHO pada tahun 2001 di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang kemudian diadopsi di provinsi yang lain dan akan dikembangkan di seluruh Indonesia. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 836/2005, SPMKK yang kemudian berubah menjadi Pengembangan Manajemen Kinerja Perawatan dan Bidan (PMK) menjadi kebijakan nasional untuk peningkatan mutu dan kinerja pelayanan keperawatan baik di rumah sakit maupun di puskesmas. Kebijakan nasional ini akan menjadi sangat berarti bila didukung dengan sistem penghargaan yang sesuai, dalam hal ini dapat diterapkan pada sistem remunerasi yang tengah marak diselenggarakan oleh fasilitas kesehatan sesuai taraf kemampuannya masing- masing. II DASAR PEMIKIRAN Pengembangan Manajemen Kinerja Klinik (PMK) perawat dan bidan adalah suatu upaya peningkatan kemampuan manajerial dan kinerja perawat dan bidan dalam memberikan pelayanan keperawatan dan kebidanan di sarana/institusi pelayanan kesehatan untuk mencapai pelayanan kesehatan yang bermutu. PMK sangat berperan untuk tercapainya indikator Standar Pelayanan Minimal (SPM) kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh Perawat dan Bidan di sarana pelayanan kesehatan, mengingat perawat dan bidan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan menduduki jumlah yang cukup besar (40%) dari seluruh kategori tenaga kesehatan. Tujuan umum dari sistem ini adalah untuk memperbaiki kinerja dan performa perawat serta bidan di fasilitas pelayanan kesehatan. The WHO Regional Office for South-East Asia (2002) menyatakan bahwa perawatan kesehatan global saat ini sudah mencapai ke arah kualitas yang tinggi dalam pelayanannya antara lain ditinjau dari performa pemberi pelayanan dan sistem pelayanan yang mudah. Selain itu dengan adanya faktor peningkatan lansia yang membutuhkan pelayanan akurat tanpa harus mengikuti sistem yang sifatnya lama/ berbelit- belit, tuntutan konsumen yang semakin besar serta kecanggihan teknologi di bidang kesehatan yang memaksa fasilitas kesehatan harus memiliki tenaga kesehatan yang kompeten untuk dapat menggunakan kecanggihan teknologi. Beberapa indikator kualitas yang dituntut

dari pelayanan kesehatan antara lain adalah keamanan, keefektivan, berfokus pada kebutuhan pasien, memiliki rentang waktu yang lebih singkat dalam memberi pelayanan, efisien, kesetaraan. Dalam hal kesetaraan ini lebih ditekankan untuk tidak memilih- milih pasien/ konsumen, sehingga segenap masyarakat dapat terlayani optimal. Di Indonesia, berdasarkan penelitian dari SEA-NURS, 2001 disebutkan bahwa untuk mencapai kualitas pelayanan kesehatan yang optimal dapat melalui salah satunya performa klinik perawat dan bidan. Performa klinik yang dimaksud adalah penampilan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat terhadap pemberi pelayanan kesehatan dalam hal ini perawat dan bidan. Dimana mereka melayani sesuai standar, penampilan klinik yang kompeten dalam memberi asuhan, memiliki uraian tugas yang jelas, adanya indikator kunci dalam memberi pelayanan, monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan terhadap pelayanan yang diberikan serta peningkatan pengetahuan melalui diskusi refleksi kasus. Awal perjalanan hingga timbulnya program PMK ini adalah didapatkannya hasil penelitian WHO & Depkes RI terhadap Perawat & Bidan di DKI, Sumut, Sulut dan Kaltim (2001) yaitu: ; ; ; ; ; ; 3 thn terakhir tidak pernah mengikuti pelatihan (70,9%) Banyak melakukan tugas-tugas kebersihan (39,85%) Belum memiliki uraian tugas (47,4%) Tidak menggunakan STANDAR Tidak dibina kinerjanya secara teratur Belum dikembangkan sistem Monev kinerja

Pengembangan Manajemen Kinerja (PMK) merupakan pendekatan perbaikan proses pada sistem mikro yang mendukung dan meningkatkan kompetensi klinis perawat dan bidan untuk bekerja secara profesional dengan memperhatikan etika, tata nilai, dan aspek legal dalam pelayanan kesehatan. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kinerja klinis perawat dan bidan melalui kejelasan definisi peran dan fungsi perawat atau bidan, pengembangan profesi, dan pembelajaran bersama (Kuntjoro, 2005).

Secara umum menurut Depkes (2005) terdapat 5 komponen PMK yang harus dipenuhi oleh setiap insan perawat dan bidan yaitu: 1 2 3 4 5 Standar dalam pelaksanaan pelayanan yang diberikan: Uraian tugas yang jelas untuk setiap jenjang perawat Indikator kunci dalam pelaksanaan kinerja klinik Monitoring kinerja klinik yang dilaksanakan secara berjenjang dan berkala Diskusi refleksi kasus

Menindaklanjuti masalah kualitas dan fasilitas, beberapa rumah sakit pemerintah maupun swasta yang ada saat ini memiliki kualitas layanan kesehatan yang sangat memprihatinkan dan fasilitas yang menyedihkan. Hal ini antara lain disebabkan adanya keterbatasan sumber daya (sumber daya finansial & non finansial). Tuntutan masyarakat terhadap peningkatan mutu jasa layanan rumah sakit (Hospital / Medical Services) membutuhkan dana investasi yang tidak sedikit. Peningkatan tuntutan terhadap kualitas jasa layanan rumah sakit harus diikuti pula dengan peningkatan profesionalitas pengelolannya dan pengelolaanya serta selalu dibarengi dengan niat tulus dan jujur tanpa ada keinginan untuk mendapatkan keuntungan baik secara pribadi, golongan maupun kelompok. Dalam membahas remunerasi terhadap jasa dan gaji upah, perlu dipahami makna dan tujuan dari remunerasi pada umumnya. Tujuan dari remunerasi adalah: 1. Memperoleh SDM yang qualified, 2. Mempertahankan karyawan yang baik dan berprestasi serta mencegah turnover karyawan, 3. Mendapatkan keunggulan kompetitif, 4. Memotivasi karyawan untuk memperoleh perilaku yang diinginkan, 5. Menjamin keadilan antara satu karyawan dengan yang lainnya berdasarkan kinerja dan prestasi kerja, 6. Mengendalikan biaya, 7. Sebagai sarana untuk mencapai sasaran strategis RS, dan 8. Memenuhi peraturan Pemerintah. Pemahaman definisi remunerasi jasa di kesehatan pada dasarnya adalah : Besaran nilai jumlah uang yang harus diterima oleh tenaga kesehatan sebagai kompensasi atas kinerja yang telah dilakukan, berkaitan dengan risiko dan tanggung jawab profesi dari pekerjaannya. Sedangkan gaji upah tenaga kesehatan adalah nilai total yang harus diterima oleh tenaga kesehatan dari nilai kompensasi ditambah dengan besaran keuntungan lain (tangible & intangible). Penjelasan dari definisi diatas, remunerasi terdiri dari: Kompensasi (komisi, keuntungan langsung) dan insentif (bonus, bagihasil) atas kinerja atau aktifitas tugas yang telah dilakukan (Kertadikara, 2008)

III

PENERAPAN KOMPONEN PMK DALAM SISTEM REMUNERASI Komponen PMK yang terdiri dari 5 poin di atas dapat diterapkan dalam penghitungan poin untuk penerapan uji kompetensi perawat sebagai salah satu tahap pelaksanaan sistem remunerasi. Berikut menurut Hennessy, 2008, diuraikan penerapan komponen tersebut kaitannya dengan uji kompetensi dimaksud: 1 Standar Pelayanan. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh perawat dan bidan harus dalam koridor standar yang ditetapkan baik secara lingkupnya nasional maupun institusi pelayanan. Standar ini sangat membantu perawat dan bidan untuk mencapai pelayanan yang berkualitas. Melalui pelayanan yang diberikan akan mencerminkan tujuan utama institusi yaitu pencapaian visi, misi, tujuan & falsafahnya. (Mulyana, 2006) SOP merupakan tolok ukur dlm menilai mutu & penampilan kinerja, memberi arah dan bimbingan langsung dalam asuhan sehingga dapat digunakan untuk menilai diri sendiri, inspeksi dan akreditasi. Berdasarkan fungsi tersebut, maka ada persyaratan SOP yang harus dipenuhi yaitu: secara berkala harus direvisi sesuai situasi, kondisi dan perkembangan IPTEK. Pada beberapa rumah sakit yang telah menerapkan sistem informasi berbasis komputer, SOP ini telah dikembangkan dengan sistem komputerisasi. Sehingga apabila pada pelaksanaan evaluasi seperti assessment competencies (uji kompetensi lokal/ uji kompetensi dengan standar rumah sakit tertentu saja), maka dapat dievaluasi secara langsung performa klinik perawat dan bidan. Nilai dari evaluasi penampilan klinik ini bisa diinput ke komputer dan dibandingkan dengan SOP yang berlaku di RS tersebut, sehingga didapatkan hasil apakah perawat tersebut memenuhi standar operasional yang berlaku di sana atau perlu dilakukan pengulangan evaluasi kinerja. 2 Adanya uraian tugas. Uraian Tugas/ pekerjaan adalah pernyataan tertulis untuk setiap tingkat jabatan dalam unit kerja yang mencerminkan fungsi, tanggung jawab dan kualitas yang dibutuhkan. Uraian tugas ini sangat bermanfaat untuk menyeleksi individu yang berkualitas, menyediakan alat evaluasi, menentukan budget, penentuan fungsi depertemen hingga klasifikasi fungsi depertemen. Untuk itu uraian tugas pun harus mengikuti perkembangan IPTEK dan perkembangan kebijakan organisasi. Uraian tugas perawat harus memperhitungkan segala aspek seperti beban kerja, waktu efektif bekerja (FTE), tugas- tugas keperawatan, tugas- tugas non keperawatan,

jabatan termasuk predikat/ kriteria perawat seperti PK I-V. Selanjutnya setelah semua poin perhitungan itu dijabarkan, maka dapat dimasukkan data dari kriteria penilaian untuk masing- masing personil perawat. Uraian tugas ini secara langsung dapat cepat mendeteksi beban kerja perawat/ bidan. Bila terjadi tingginya beban kerja maka dapat segera diantisipasi dengan pelimpahan tugas non keperawatan/kebidanan kepada petugas lain ( Pekarya, Administrasi), jika memungkinkan penambahan jumlah petugas (Perawat, Administrasi, Pekarya), ataupun bila terdeteksi beban masih rendah maka dilakukan pengarahan bimbingan kepada staf untuk melakukan tugas-tugas keperawatan dan kebidanan yang belum dilakukan.

Adanya indikator kunci dalam kinerja klinik Adalah variabel untuk mengukur suatu perubahan untuk melihat mutu pelayanan keperawatan dan kebidanan ke arah yang lebih baik. Indikator ini lebih menitik beratkan pada hasil akhir dari semua tindakan pelayanan yang telah dilakukan oleh perawat dan bidan (outcome). Biasanya variabel ini merupakan pelengkap yang harus ada dari uraian tugas serta SOP yang telah disusun. Indikator kunci ini tidak secara langsung menjadi perhitungan poin dari sistem remunerasi yang ada, namun lebih terkait erat dengan kualitas/ mutu rumah sakit yang bersangkutan. Dengan adanya indikator kunci yang telah disepakati, maka itu dapat mencerminkan mutu rumah sakit termasuk baik/ tidak. Sebagai contoh adalah angka plebitis di rumah sakit:

X 100% =

Jumlah pasien dengan pemberian infus yang terkena plebitis Jumlah semua pasien yang menggunakan infus

X 100% = 30%

150 orang plebitis 500 org dgn infus Dari data tersebut, dapat dianalisis bahwa terdapat 30% yang menderita plebitis, ini merupakan temuan untuk memacu rumah sakit mengevaluasi bagaimana pelayanan tis

keperawatan dan kebidanan yang dilaksanakan, apakah sesuai dengan standar rumah sakit atau tidak. Selain itu juga dapat menjadi tujuan tambahan bagi rumah sakit untuk menurunkan angka plebitis tersebut dengan berbagai upaya, seperti perbaikan SDM keperawatan, mengkaji ulang kompetensi perawat dan bidan, pelatihan tambahan dan lain sebagainya. Apapun yang menjadi tujuan rumah sakit untuk ke arah kualitas yang lebih baik, akan berkorelasi langsung dengan perbaikan kualitas dan performa inputnya dalam hal ini adalah perawat dan bidan. 4 berkala Monitoring dan evaluasi merupakan kelanjutan dari dari penentuan indikator kinerja yang telah diuraikan di atas. Monitoring dan evaluasi ini sangat berperan dalam mengidentifikasi masalah keperawatan dan kebidanan, mengambil langkah korektif untuk perbaikan secepatnya serta mengukur pencapaian sasaran/target. Monitoring dan evaluasi inipun dapat bermanfaat untuk memvalidasi poin perhitungan yang dicapai oleh tiap personil perawat dan bidan, sehingga poin remunerasi yang didapat benar- benar mencerminkan performa klinik yang berkualitas dan reward yang didapatpun sesuai dengan performa yang ditampilkan tersebut. 5 Adanya diskusi refleksi kasus Diskusi Refleksi Kasus (DRK) adalah suatu metode pembelajaran dalam merefleksikan pengalaman perawat dan bidan yang aktual dan menarik dalam memberikan dan mengelola asuhan keperawatan dan kebidanan di lapangan melalui suatu diskusi kelompok yang mengacu pemahaman standar yang ditetapkan. DRK ini merupakan wahana untuk masalah dengan mengacu pada standar keperawatan/kebidanan yang telah ditetapkan. Selain itu, DRK ini pun dapat Adanya monitoring kinerja klinik yang dilaksanakan secara berjenjang dan

meningkatkan profesionalisme perawat dan bidan.

Meningkatkan aktualisasi diri

perawat dan bidan, membangkitkan motivasi belajar perawat dan bidan, belajar untuk menghargai kolega untuk lebih sabar dan meningkatkan kerja sama, memberikan kesempatan individu untuk mengeluarkan pendapat tanpa merasa tertekan serta memberikan
masukan kepada pimpinan sarana kesehatan untuk penambahan dan peningkatan SDM perawat dan bidan (pelatihan,pendidikan

berkelanjutan, magang, kalakarya), penyempurnaan SOP dan bila memungkinkan, pengadaan alat. Sebagai gambaran pelaksanaan DRK adalah: a Memilih/Menetapkan kasus yang akan didiskusikan topik yang didiskusikan antara lain : 1 Pengalaman pribadi perawat/ bidan yang aktual dan menarik dalam menangani kasus/pasien di lapangan baik di RS/Puskesmas 2 Pengalaman dalam mengelola pelayanan keperawatan/kebidanan dan isu strategis. 3 Pengalaman yang masih relevan untuk dibahas dan akan memberikan informasi berharga untuk meningkatkan mutu pelayanan. b Menyusun jadwal kegiatan. Seperti contoh di bawah ini: Topik Bahasan Kekeliruan memberi obat Askep TB Askep Tipoid Manajemen terapi cairan Perawatan luka bakar. Waktu 14 Jan 16 Feb Penyaji Salim Ita Aisyah Ani Titik Moderator Taslim Rike Jono Ida Ike Ket.

NO . 1 2 3 4 5

14 Maret 15 Apr 14 Mei

Pelaksanaan DRK minimal 60 menit sbb: Pembukaan Penyajian Tanya Jawab : 5 menit : 15 menit : 30 menit

Penutup/rangkuman: 10 menit d Membuat laporan hasil DRK, seperti contoh berikut:


CONTOH FORMAT

Laporan Diskusi Refleksi Kasus Nama Ruangan Keperawatan/Kebidanan Tanggal Topik Masalah/issue yang muncul Rencana Tindak Lanjut : : : : : :

NO 1

KEGIATAN
Pelatihan manajemen terapi cairan

NO
1

INDIKATOR
- Ada proposal pelatihan manajemen terapi cairan - Dilatih 100% perawat ruangan Seruni dst

dst

2
FLM Pandeglang

IV

PELAKSANAAN DI FASILITAS KESEHATAN Aplikasi pelaksanaan PMK di fasilitas kesehatan sampai saat ini masih terbatas hanya di beberapa institusi kesehatan saja. Tercatat sampai saat ini yang menerapkan PMK hingga sampai remunerasi berdasarkan PMK hanya di RS Tabanan Bali, puskesmas Karambitan Bali 1 dan puskesmas Karambitan Bali 2. Sedangkan yang hanya menerapkan PMK tanpa membuatnya sebagai dasar pemberian remunerasi, 50% RS dan puskesmas di prov Bali, 90% RS dan puskesmas di provinsi DIY dan 10% RS serta puskesmas di provinsi Jawa Barat (FK-UGM, 2007). Analisis lebih lanjut didapatkan bahwa PMK ini walaupun telah menjadi kebijakan nasional di bidang kesehatan, namun dengan adanya sistem desentralisasi/ otonomi daerah yang melegalkan suatu daerah mengatur serta memilih sendiri kebijakan yang dipakai di semua bidang pembangunan, membuat PMK ini tidak menjadi program utama. Banyak pengambil keputusan yang berpindah jabatan sehingga, pejabat berikutnya kurang terpapar dengan pentingnya PMK, selain itu profesi kesehatan lain pun menganggap bahwa perawat dan bidan bukanlah tombak utama pelayanan

kesehatan, sehingga dukungan dan komitmen para pengambil keputusan terhadap kemajuan perawat dan bidan memalui program ini, sangatlah kurang. Belum lagi dengan komitmen perawat dan bidan yang mulai berkurang untuk menerapkan PMK ini walaupun tanpa sistem remunerasi, sehingga bukti nyata yang dapat didipakai sebagai daya ungkit kualitas pelayanan dari perawat dan bidan pun tidak terlalu menonjol (Depkes, 2008). Untuk itu hingga saat ini Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan FK-UGM, Dinas Kesehatan provinsi Bali dan DIY, organisasi profesi, institusi pendidikan terkait serta WHO terus berupaya meningkatkan penerapan PMK yang secara nyata telah memberikan bukti peningkatan kualitas perawat dan bidan (FK-UGM, 2007). Penyelenggaraan monitoring evaluasi, penyegaran kompetensi perawat serta workshop PMK tahunan tetap diusahakan terselenggara setiap tahunnya, untuk menjaga kesinambungan program yang dapat menjadi daya ungkit terhadap kinerja perawat/ bidan, memberikan gambaran positif serta masukan yang membangun bagi peningkatan kualitas pelayanan kesehatan pada umumnya dan perawat/ bidan pada khususnya. Diharapkan melalui program ini perawat dan bidan tetap memegang kontribusi penting dan dapat meningkat pula kesejahteraannya. Fenomena baru yang dikembangkan Kementerian Kesehatan sejak tahun 2009 adalah menerapkan PMK untuk profesi lain termasuk administrasi. Namun hasil nyata dukungan serta komitmen pengambil keputusan belum tampak positif untuk mendukung hal ini di fasilitas pelayanan kesehatan (Kemkes, 2009). Untuk itu masih perlu ditinjau lebih lanjut dengan penelitian- penelitian terkait sebagai data dasar penerapan PMK berikutnya.

KESIMPULAN PMK merupakan suatu program berdasarkan penelitian yang mampu meningkatkan kualitas pelayanan perawat dan bidan. Melalui studi selanjutnya, PMK dapat diterapkan sebagai dasar penghitungan poin pada penerapan sisiim remunerasi bagi perawat dan bidan. Hal ini memberikan kemajuan yang positif pada fasilitas kesehatan yang menerapkannya meski belum semua mengaplikasikan PMK tersebut pada sistem remunerasi disebabkan berbagai faktor yang telah disebutkan di atas. Diharapkan untuk selanjutnya melalui berbagai kegiatan yang terkait PMK serta remunerasi bagi paerawat

dan bidan, dapat meningkatkan kualitas perawat dan bidan secara bertahap serta secara tidak langsung dapat meningkatkan pembangungan kesehatan di Indonesia. VI REFERENSI
DepKes RI (1998), National Strategic Plan of Action for Nursing and Midwiferu Workforce Development, POKJA Keperawatan dan Kebidanan, Jakarta

DepKes RI (2002), Studi Pengkajian Pengembangan Manajemen Kinerja Klinik Perawat dan Bidan, Direktorat Keperawatan dan Ketekneisian Medik Direktorat Jendral Pelayanan Medik Depkes RI, Jakarta.

DepKes RI (2002), Studi Pengkajian Pengembangan Manajemen Kinerja Klinik Perawat dan Bidan, Direktorat Keperawatan dan Ketekneisian Medik Direktorat Jendral Pelayanan Medik Depkes RI, Jakarta.

DepKes RI (2004), Standar Pelayanan Minimal, Depkes RI, Jakarta

DepKes RI (2005), Pengembangan Manajemen Kinerja Klinik Perawat dan Bidan , Direktorat Pelayanan Keperawatan Direktorat Jendral Pelayanan Medik Depkes RI, Jakarta.

DepKes RI & FK-UGM (2008), Evaluasi Pengembangan Manajemen Kinerja Klinik Perawat dan Bidan di 2 provinsi, Direktorat Pelayanan Keperawatan Direktorat Jendral Pelayanan Medik Depkes RI, Jakarta.

Hasanbari, M. (2007), Improving Trainers: The case of CPDMS Implementation in the Province of Yogyakarta. Final Report. Jakarta, WHO Hennessy D (2008), CPDMS Book, WHO-SEARO, (belum dipublikasikan)

Kuntjoro. H, (2005), Pengembangan Manajemen Kinerja Perawat dan Bidan sebagai Strategi dalam Peningkatan Mutu Klinis, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Jakarta
Mulyana (2006), Komponen PMK, Kumpulan Modul PMK (tidak dipublikasikan)

Kertadikara (2008), Sistem Remunerasi Rumah Sakit dan BLUD, Kumpulan artikel Rumah Sakit, Jakarta

You might also like