You are on page 1of 50

BAB I PENDAHULUAN

Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif bervariasi luas dan berbeda keparahannya. Identifikasi dari zat psikoaktif yang digunakan dapat dilaukan berdasarkan : 1. Data laporan individu 2. Analisis objektif dari spesimen urin, darah, dan sebagainya 3. Bukti lain(adanya sampel obat yang ditemukan pada pasien, tanda dan gejala klinis, atau dari laporan pihak ketiga) Selalu dianjurkan untuk mencari bukti yang menguatkan lebih dari satu sumber, yang berkaitan dengan penggunaan zat. Analisis objektif memberikan bukti yang paling dapat diandalkan perihal adanya pengguanaan akhir-akhir ini. Banyak pengguna menggunakan lebih dari satu jenis obat namun bila mungkin diagnosis gangguan harus diklasifikasikan sesuai dengan zat tunggal yag paling penting yang digunakannya. o Pedoman diagnostik 1. Intoksikasi akut sering dikaitkan dengan: tingkat dosis yang digunakan, individu dengan kondisi organik tertentu yang mendasarinya 2. Disinhibisi yang ada hubungannya dengan konteks sosial perlu dipertimbangkan 3. Intoksikasi akut merupakan suatu kondisi peralihan yang timbul akibat pengguanaan alkohol atau zat psikoaktif kain sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek atau perilakum atau fungsi dan respon psikofisiologis lainnya. 4. Intensitas intoksikasi berkurang dengan berlalunya waktu dan pada akhirnya efeknya menghilang bila tidak terjadi pengguanaan zat lagi. Dengan demikian orang tersebut akan kembali ke kondisi semula, kecuali jika ada jaringan yang rusak atau terjadi komplikasi lainnya. Menurut PPDGJ-III untuk menegakkan diagnosis ketergantungan zat mutlak diperlukan bukti adanya penggunaan dan kebutuhan terus menerus. Terdapatnya gejala
1

abstensi bukan satu-satunya bukti dan juga tidak selalu ada, misalnya pada penghentian pemakaian kokain dan ganja. Obat yang diberikan dokter tidak termasuk dalam pengertian ini selama pengguanaan obat tersebut berindikasi medis. Istilah ketergantungan zat mempunyai arti yang lebih luas daripada istilah ketagihan atau adiksi obat. WHO mendefinisikan ketagihan sebagai berikut: suatu keadaan keracunan yang periodik atau menahun, yang merugikan individu sendiri dan masyarakat dan yang disebabkan oleh penggunaan suatu zat yang berulang-ulang dengan ciri-ciri sebagai berikut, yaitu adanya: 1. Keinginan atau kebutuhan yang luar biasa untuk meneruskan penggunaan obat itu dan usaha mendapatkannya dengan segala cara 2. Kecendrungan menaikkan dosis 3. Ketergantungan psikologis dan kadang-kadang juga ketergantungan fisik pada zat itu o Faktor penyebab Faktor kepribadian seseorang cenderung mempengaruhi apakah ia akan tergantung pada suatu obat atau tidak. Orang yang merasa mantap serta mempunyai sifat tergantung dan pasif lebih cenderung menjadi ketergantungan pada obat. Faktor sosiobudaya juga tidak kalah penting dan saling mempengaruhi dengan faktor kepribadian. Di Indonesia banyak penderita ketergantungan obat berasal dari golongan sosioekonomi menengah. Faktor fisik dan badaniah seseorang menentukan efek fisik obat itu seperti hilangya rasa nyeri dan ketidakenakkan badaniah yang lain, berkurangnya dorongan sexual, rasa lapar dan mengantuk atau justru berkurangnya hambatan terhadap dorongandorongan. Faktor kebiasaan yang dikemukakan dalam hipotesis kebiasaan bekerja sebagai berikut: karena obat itu mengurangi ketegangan dan perasaan dan tidak enak, maka kebiasaan diperkuat dengan tiap kali pemakaian. Ketergantungan obat merupakan hasil saling pengaruh dan mempengaruhi yang komplex berbagai faktor tadi ditambah dengan mudah sukarnya obat itu diperoleh dan kesempatan untuk mengunakannya. Pemberian obat oleh dokter dapat meninmbulkan ketergantungan juga. o Sindrom ketergantungan
2

Pedoman diagnosis Diagnosis ketergantungan yang pasti ditegakkan jika ditemukan tiga atau lebih gejala dibawah ini dialami dalam masa 1 tahun sebelumnya: a. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa untuk menggunakan zat psikoaktif b. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat, termasuk sejak mulainya, usaha penghentian atau pada tingkat sedang menggunakan c. Keadaan putus zat secara fisiologis ketika penghentian pengguanaan zat atau pengurangan terbukti dengan adanya gejala putus zat khas , atau orang tersebut menggunakan zat atau yang khas atau dorongan tersebut mengguanakan zat golongan zat yang sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan atau menghindari terjadinya gejala putus zat d. Terbukti adanya toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang diperlukan guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis lebih rendah e. Secara progresif mengabaikan menikmati kesenangan atau minat lain disebabkan pengguanaan zat psikoaktif , menignkatnya jumlah waktu yang diperlukan untuk mendapatkan atau menggunakan zat atau untuk pulih dari akibatnya f. Tetap menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang merugikan kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati karena minum alkohol berlebihan, keadaan depresi sebagai akibat dari suatu periode penggunaan zat yang berat atau hendaya fungsi kognitif berkaitan dengan penggunaan zat, upaya perlu diadakan untuk memastikan bahwa penggunan zat sungguh-sungguh atau dapat diandalkan , sadar akan hakekat dan besarnya bahaya. o Keadaan Putus Zat Pedoman diagnostik 1. Keadaan putus zat merupakan salah satu indikator dari sindrom ketergantungan dan diagnosis sindrom ketergantungan zat harus turut dipertimbangkan

2. Keadaan putus zat hendaknya dicatat sebagai diagnosis utama, bila hal ini merupakan alasan rujukan dan cukup parah sampai memerlukan perhatian medis secara khusus 3. Gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan. Gangguan psikologis merupakan gambaran umum dari keadaan putus zat ini. Yang khas ialah pasien akan melaporkan bahwa gejala putus zat akan mereda dengan meneruskan penggunaan zat. o Keadaan Putus Zat dengan Delirium Pedoman diagnostik 1. Suatu keadaan putus zat disertai komplikasi delirium 2. Termasuk: De;irium Tremens yang merupakan akibat dari putus obat secara absolut atau relatif pada penguna ketergantungan berat dengan riwayat penggunaan yang lama. Onset biasanya terjadi sesudah putus alkohol. Keadaan gaduh gerlisah toksik yang berlangsung singkat tetapi adakalanya dapat membahayakan jiwa yang disertai gangguan somatik 3. Gejala prodormal khas berupa: insomnia, gemetar dan ketakutan. Onset dapat didahului oleh kejang setelah putus zat. Trias yang klasik dari gejalanya adalah kesadaran berkabut dan kebingungan, halusinasi dan ilusi yang hidup yang mengenai salah satu panca indera, tremor berat. Biasanya ditemukan juga waham, agitasi, insomnia atau siklus tidur yang terbakik, dan aktivitas otonomik yang berlebihan. o Gangguan Psikotik Pedoman diagnostik 1. Gangguan psikotik yang terjadi atau segera sesudah penggunaan sat psikoaktif (48 jam) bukan merupakan manifestasi dari keadaan putus zat dengan delirium atau suatu onset lambat . 2. Gangguan psikotik yang disebabkan oleh zat psikoaktif dapat tampil dengan pola gejala yang bervariasi. Variasi ini akan dipengaruhi oleh jenis zat yang digunkannya dan kepribadian pengguna zat. Pada penggunaan obat stimuilan seperti kokain dan

amfetamin gangguan psikotik yang diinduksi oleh obat umumnya berhubungan erat dengan tingginya dosis dan atau penggunaan zat yang berkepanjangan. o Sindrom Amnesik Pedoman diagnosis 1. Sindrom amnesik yang disebabkan oleh zat psikoaktif harus memenuhi kriteria umum untuk sindrom amnesik organik 2. Syarat utama untuk menentukan diagnosis adalah: a. Gangguan daya ingat jangaka pendek, gangguan sensai waktu b. Tidak ada gangguan daya ingat segera, tidak ada ganggaun keasadaran, dan tidak ada gangguan kognitif secara umum c. Adanya riwayat atau bukti yang objektif dari pengguanaan alkohol atau zat yang kronis

BAB II PEMBAHASAN
GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN ZAT Gangguan yang bervariasi luas dan berbeda keparahannya dari intoksikasi tanpa komplikasi dan penggunaan yang merugikan sampai gangguan psikotik yang jelas dan demensia, tetapi semua itu diakibatkan oleh karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan atau tanpa resep dokter). Sistem kode : zat yang digunakan = karakter ke 2 dan 3 keadaan klinis = karakter ke 4 dan 5 (misalnya, F10.03 = Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan Alkohol, intoksikasi akut dengan delirium) Pedoman Diagnostik Identifikasi dari zat psikoaktif yang digunakan dapat dilakukan berdasarkan : - data laporan individu, - analisis objektif dari spesirnen urin, darah, dan sebagainya - bukti lain (adanya sampel obat yang ditemukan pada pasien, tanda dan gejala klinis, atau dari laporan pihak ketiga). Selalu dianjurkan untuk mencari bukti yang menguatkan lebih dari satu sumber, yang berkaitan dengan penggunaan zat. Analisis objektif memberikan bukti yang paling dapat diandalkan perihal adanya penggunaan akhir-akhir ini atau saat ini, namun data ini mempunyai keterbatasan terhadap penggunaan zat di masa lalu atau tingkat
6

penggunaan saat ini. Banyak pengguna obat menggunakan lebih dari satu jenis obat, namun bila mungkin, diagnosis gangguan harus diklasifikasi sesuai dengan zat tunggal (kategori dan zat) yang paling penting yang digunakannya (yang menyebabkan gangguan yang nyata), sedangkan kode F19 (gangguan akibat penggunaan obat multipel) hanya digunakan bila pola penggunaan zat psikoaktif benar benar kacau dan sembarangan atau berbagai obat bercampur-baur. Penyalahgunaan obat lain selain zat psikoaktif, seperti pencahar atau aspirin, harus diberi kode F55.- (penyalahgunaan zat yang tidak menyebabkan ketergantungan), dengan karakter ke 4 menunjukkan jenis zat tersebut. Kasus gangguan mental (terutama delirium pada usia lanjut) akibat zat psikoaktif, tetapi tanpa salah satu gangguan dalam blok ini (misalnya, penggunaan yang merugikan atau sindrom ketergantungan) harus dimaksudkan dalam kode F00-F09. Bila keadaan delirium bertumpang tindih dengan suatu gangguan dalam blok ini, maka harus diberi kode Flx.3 atau FIx.4.Tingkat keterlibatan alkohol dapat ditunjukkan dengan menggunakan kode tambahan dari Bab XX ICD-10 : Y90- (ditetapkan dari kadar alkohol dalam darah) atau Y91(ditetapkan dengan derajat intoksikasinya). F1x.0 Intoksikasi Akut Suatu kondisi peralihan yang timbul akibat menggunakan alkohol atau zat psikoaktif lain sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek atau perilaku, atau fungsi dan respons psikofisiologis lainnya. Ini merupakan diagnosis utama hanya pada kasus intoksikasi yang semata-mata terjadi tanpa berkaitan dengan alkohol atau penggunaan zat yang lebih menetap. Bila ada masalah demikian, maka diagnosis yang didahulukan adalah: penggunaan yang merugikan (Flx.l), sindrom ketergantungan (Flx.2), atau gangguan psikotik (Flx.5). Pedoman Diagnostik Intoksikasi akut sering dikaitkan dengan : tingkat dosis zat yang digunakan (dosedependent), individu dengan kondisi organik tertentu yang mendasarinya (misalnya insufisiensi ginjal atau hati) yang dalam dosis kecil dapat menyebabkan efek intoksikasi berat yang tidak proporsional. Disinhibisi yang ada hubungannya dengan konteks sosial perlu dipertimbangkan (misalnya disinhibisi perilaku pada pesta atau upacara keagamaan).

Intoksikasi akut merupakan suatu kondisi peralihan yang timbul akibat penggunaan alkohol atau zat psikoaktif lain sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek atau perilaku, atau fungsi dan respons psikofisiologis lainnya. Intensitas intoksikasi berkurang dengan berlalunya waktu dan pada akhirnya efeknya menghilang bila tidak terjadi penggunaan zat lagi. Dengan demikian orang tersebut akan kembali ke kondisi semula, kecuali jika ada jaringan yang rusak atau terjadi komplikasi lainnya. Gejala intoksikasi tidak selalu mencerminkan aksi primer dari zat. Sebagai contoh, zat depresan dapat menimbulkan gejala agitasi atau hiperaktivitas, dan zat stimulan menimbulkan penarikan diri secara sosial atau perilaku introvert. Efek zat seperti anabis dan halusinogenika mungkin sukar diramal. Lebih-lebih, banyak zat psikoaktif mampu menimbulkan berbagai bentuk efek yang berbeda pada tingkat dosis yang berbeda. Sebagai contoh, alkohol rupanya dapat mempunyai efek stimulan pada perilaku dalam dosis yang lebih rendah, namun dapat menyebabkan agitasi dan agresi dengan meningkatnya dosis, dan menimbulkan sedasi yang jelas pada dosis yang sangat tinggi. Termasuk : mabuk akut pada alkoholisme Bad trips (akibat zat halusinogenik) Mabuk YTT (drunkenness NOS). Diagnosis banding Pertimbangkan kemungkinan adanya cedera kepala akut dan hipoglikemia. Pertimbangkan juga kemungkinan intoksikasi sebagai penggunaan zat campuran. Kode lima karakter berikut digunakan untuk menunjukkan apakah intoksikasi akut itu disertai dengan suatu komplikasi F1x.00 Tanpa komplikasi Gejala keparahannya sangat bervariasi, biasanya tergantung pada dosis (dose-dependent), terutama pada dosis tinggi. F1x.01 Dengan trauma atau cedera tubuh lainnya F1x.02 Dengan komplikasi medis lainnya Komplikasi seperti hematemesis, inhalasi dari muntahan. F1x.03 Dengan delirium F1x.04 Dengan distorsi persepsi F1x.05 Dengan koma F1x.06 Dengan konvulsi F1x.07 Intoksikasi patologis Hanya pada penggunaan alkohol.
8

Onset secara tiba-tiba dengan agresi dan sering berupa perilaku tindak kekerasan yang tidak khas bagi individu tersebut saat ia bebas alkohol. Biasanya timbul segera setelah minum sejumlah alkohol yang pada kebanyakan orang tidak akan menimbulkan intoksikasi. F1x.1 Penggunaan yang merugikan Adanya pola penggunaan zat psikoaktif yang merusak kesehatan, yang dapat berupa fisik (seperti pada kasus hepatitis karena menggunakan obat melalui suntikan diri sendiri) atau mental (misalnya episode gangguan depresi sekunder karena konsumsi berat alkohol). Pedoman diagnostik Untuk menegakkan diagnosis harus ada cedera nyata pada kesehatan jiwa atau fisik pengguna. Pola penggunaan ,yang rnerugikan sering dikecam oleh pihak lain dan seringkali disertai berbagai konsekuensi sosial yang tidak diinginkan. Bila suatu pola penggunaan atau suatu zat tertentu tidak disetujui oleh orang lain atau budaya setempat, atau menjurus pada kepada konsekuensi yang negatif secara sosial seperti penahanan atau cekcok dalam perkawinan bukanlah merupakan bukti dari adanya penggunaan yang merugikan. Intoksikasi akut (lihat F1x.O) atau hang-over sendiri bukanlah merupakan bukti cukup untuk pemberian kode penggunaan yang merugikan. Tidak ada sindrom ketergantungan (Flx.2), gangguan psikotik (Flx.S) atau bentuk spesifik lain dari gangguan yang berkaitan dengan penggunaan obat atau alkohol. F1x.2 Sindrom Ketergantungan Suatu kelompok fenomena fisiologis, perilaku, dan kognitif akibat penggunaan suatu zat atau golongan zat tertentu yang mendapat prioritas lebih tinggi bagi individu tertentu ketimbang perilaku yang pernah diunggulkan pada masa lalu. Gambaran utama yang khas dari sindrom ketergantungan ialah keinginan (sering amat kuat dan bahkan terlalu kuat) untuk menggunakan obat psikoaktif (baik yang diresepkan atau pun tidak), alkohol, atau tembakau. Mungkin ada bukti bahwa mereka yang menggunakan kembali zat setelah suatu periode abstinensia akan lebih cepat kambuh daripada individu yang sama sekali tidak ketergantungan.

Pedoman diagnostik Diagnosis ketergantungan yang pasti ditegakkan jika ditemukan 3 atau lebih gejala dibawah ini dialami dalam masa 1 tahun sebelumnya 1. adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi) untuk menggunakan zat psikoaktif 2. kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat, termasuk sejak mulainya, usaha penghentian, atau pada tingkat sedang menggunakan 3. keadaan putus zat secara fisiologis (lihat Flx.3 atau Flx.4) ketika penghentian penggunaan zat atau pengurangan, terbukti dengan adanya gejala putus zat yang khas, atau orang tersebut menggunakan zat, atau golongan zat yang sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan atau menghindari terjadinya gejala putus zat 4. terbukti adanya toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang diperlukan guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis lebih rendah (contoh yang jelas dapat ditemukan pada individu dengan ketergantungan alkohol dan opiat yang dosis hariannya dapat mencapai taraf yang dapat membuat tak berdaya atau mematikan bagi pengguna pemula 5. secara progresif mengabaikan menikmati kesenangan atau minat lain disebabkan penggunaan zat psikoaktif meningkatnya jumlah waktu yang diperlukan untuk mendapatkan atau menggunakan zat atau untuk pulih dari akibatnya 6. tetap menggunakankan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang merugikan kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati karena minum alkohol berlebihan, keadaan depresi sebagai akibat dari suatu periode penggunaan zat yang berat, atau hendaya fungsi kognitif berkaitan dengan penggunaan zat; upaya perlu diadakan untuk memastikan bahwa pengguna zat sungguh-sungguh, atau dapat diandalkan, sadar akan hakekat dan besarnya bahaya. Memperbanyak pola kebiasaan penggunaan zat psikoaktif telah dideskripsikan sebagai gambaran khas (misalnya kecenderungan minum minuman beralkohol pada hari kerja ketimbang akhir minggu dengan mengabaikan larangan sosial, yang menentukan pola). Ciri khas penting dari sindrom ketergantungan ialah penggunaan atau keinginan untuk menggunakan zat psikoaktif. Kesadaran subjektif adanya kompulsi untuk menggunakan zat biasanya ditemukan ketika berusaha untuk menghentikan atau mengatasi penggunaan zat. Syarat diagnostik ini mengecualikan pasien pasta bedah yang mendapatkan opioida untuk menghilangkan rasa nyeri dan kemudian menunjukkan tanda-tanda keadaan putus zat bila zat tidak diberikan, namun mereka sebenarnya tidak menginginkan untuk
10

melanjutkan penggunaan zat. Sindrom ketergantungan dapat juga terjadi terhadap bahan/zat yang spesifik (misalnya tembakau dan diazepam), atau pada golongan zat tertentu (misalnya opioida), atau pada aneka ragam zat (seperti pada individu yang cenderung ada dorongan kompulsif untuk menggunakan obat apa pun yang tersedia dan menunjukkan gejala "tertekan", agitasi, dan/atau tanda fisik dari keadaan putus zat ketika obat itu dihentikan). Termasuk: alkoholisme kronis dipsomania adiksi obat.

Diagnosis sindrom ketergantungan dapat ditentukan lebih lanjut dengan kode lima karakter berikut : - Flx.20 Kini abstinen - F1x.21 Kini abstinen, tetapi dalam suatu lingkungan yang terlindung (seperti dalam rumah sakit, komuniti terapeutik, lembaga pemasyarakatan, dll). - F1x.22 Kini dalam pengawasan klinis dengan terapi pemeliharaan atau dengan pengobatan zat pengganti (ketergantungan terkendali) (misalnya dengan methadone, penggunaan "nicotine gum" atau "nicotine patch") - F1x.23 Kini abstinen, tetapi sedang dalarn terapi obat aversif atau penyekat (misalnya naltrexone atau disulfiram) - F1x.24 Kini sedang menggunakan zat (ketergantungan aktif) - F1x.25 Penggunaan berkelanjutan - F1x.26 Penggunaan episodik (dipsomania) F1x.3 Keadaan Putus Zat Sekelompok gejala dengan aneka bentuk dan keparahan yang terjadi pada penghentian pemberian zat secara absolut atau relatif sesudah penggunaan zat yang terus-menerus dan dalam jangka panjang dan/atau dosis tinggi. Onset dan perjalanan keadaan putus zat itu biasanya waktunya terbatas dan berkaitan dengan jenis dan dosis zat yang digunakan sebelumnya. Keadaan putus zat dapat disertai dengan komplikasi kejang. Pedoman Diagnostik Keadaan putus zat merupakan salah satu indikator dari sindrom ketergantungan (lihat Flx.2) dan diagnosis sindrom ketergantungan zat harus turut dipertimbangkan. Keadaan putus zat hendaknya dicatat sebagai diagnosis utama, bila hal ini mentpakan alasan rujukan dan cukup parah sampai memerlukan perhatian medis secara khusus.
11

Gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat, yang digunakan. (.angguan psikologis (misalnya anxietas, depresi dan gangguan tidur) merupakan gambaran umum dari keadaan putus zat ini. Yang khas ialah pasien akan melaporkan bahwa gejala putus zat akan mereda dengan meneruskan penggunaan zat. Perlu diingat bahwa gejala putus zat dapat diinduksi dengan rangsang yang terkondisi/dipelajari walaupun tanpa penggunaan zat sebelumnya. Pada kasus yang demikian, diagnosis keadaan putus zat hendaknya dibuat hanya apabila taraf keparahan putus obatnya cukup berarti.

Diagnosis Banding Banyak gejala pada keadaan putus obat bisa disebabkan oleh keadaan psikiatrik lain, misalnya keadaan anxietas dan gangguan depresif. Gejala sisa ("hangover") sederhana atau tremor karena kondisi lain jangan dikacaukan dengan gejala putus zat. Diagnosis keadaan putus zat dapat ditentukan lebih lanjut dengan menggunakan kode lima karakter berikut : F1x.30 Tanpa komplikasi F1x.31 Dengan konvulsi F1x.4 Keadaan Putus Zat dengan Delirium Satu keadaan putus zat (lihat Flx.3) disertai komplikasi delirium (lihat kriteria untuk FO5.). Delirium tremens yang disebabkan oleh alkohol hendaknya digolongkan dalam kode ini. Delirium tremens adalah suatu keadaan gaduh gelisah toksik yang berlangsung singkat tetapi adakalanya dapat membahayakan jiwa yang disertai gangguan somatik. Delirium tremens biasanya merupakan akibat dari putus alkohol secara absolut atau relatif pada pengguna yang sangat tergantung akibat penggunaan yang lama. Onset biasanya terjadi sesudah putus alkohol. Pada beberapa kasus, gangguan ini muncul selama suatu episode minum yang berat, dan kasus demikian harus digolongkan dalam kode ini. Gejala prodromal khas berupa: insomnia, gemetar dan ketakutan. Onset dapat didahului oleh kejang akibat putus zat. Trias yang klasik dari gejalanya adalah kesadaran berkabut dan kebingungan, halusinasi dan ilusi yang nyata yang mengenai salah satu modalitas sensorik, dan tremor hebat. Biasanya ditemukan waham, agitasi, insomnia atau siklus tidur yang terbalik, dan aktivitas otonomik yang berlebihan. Tak Termasuk: delirium yang bukan disebabkan oleh alkohol dan zat lain

12

(F05,-) Diagnosis keadaan putus zat dengan delirium dapat ditentukan dengan penggunaan kode lima karakter berikut: F1x.40 Tanpa konvulsi F1x.41 Dengan konvulsi F1x.5 Gangguan Psikotik Sekelompok fenomena psikotik yang terjadi selama atau segera sesudah penggunaan zat psikoaktif dan ditandai oleh halusinasi nyata (khasnya auditorik, tetapi sering pada lebih dari satu gangguan modalitas sensorik), kekeliruan identifikasi, waham dan/atau gagasan yang menyangkut diri sendiri (ideas of reference) (sering yang bersifat paranoid atau kejaran), gangguan psikomotor (excitement atau stupor) dan afek yang abnormal, yang terentang antara ketakutan yang mencekam sampai ke ekstasi. Pada umumnya keadaan kesadaran jernih, kecuali adanya kesadaran berkabut walaupun tidak sangat bingung. Gangguan itu mereda setidaknya sebagian dalam sebulan dan hilang sama sekali dalam enam bulan. Pedoman Diagnostik Gangguan psikotik yang terjadi selama atau segera sesudah penggunaan obat (biasanya dalam waktu 48 jam) harus dicatat di sini, kecuali jika keadaan itu bukan merupakan manifestasi dari keadaan putus zat dengan delirium (lihat Flx.4) atau suatu onset lambat. Gangguan psikotik onset lambat (dengan onset lebih dari dua minggu setelah penggunaan zat) dapat terjadi, namun harus digolongkan dalam kode 4 F1x.75. Gangguan psikotik yang disebabkan oleh zat psikoaktif dapat tampil dengan pola gejala yang bervariasi. Variasi ini akan dipengaruhi oleh jenis zat yang digunakan dan kepribadian pengguna zat. Pada penggunaan obat stimulan seperti kokain dan amfetamin, gangguan psikotik yang diinduksi oleh obat umumnya berhubungan erat dengan tinggi dosisnya dan/atau penggunaan zat yang berkepanjangan. Diagnosis gangguan psikotik jangan hanya ditegakkan berdasarkan distorsi persepsi atau pengalaman halusinasi, bila zat yang digunakan ialah halusinogenika primer (misalnya lisergide (LSD), meskalin, kanabis dosis tinggi). Pada kasus demikian dan juga untuk keadaan kebingungan, suatu kemungkinan diagnosis intoksikasi akut (F1x.0) harus dipertimbangkan. Perlu diperhatikan untuk menghindari kesalahan diagnosis psikosis sebagai keadaan yang lebih berat (misalnya skizofrenia), padahal diagnosisnya ialah psikosis yang disebabkan oleh zat psikoaktif. Banyak keadaan psikotik yang disebabkan oleh zat psikoaktif
13

berlangsung singkat asal tidak ada lagi obat yang digunakan (seperti pada kasus psikosis akibat amfetamin dan kokain). Diagnosis yang salah pada kasus demikian dapat memberi dampak yang merugikan dan biaya tinggi baik bagi pasien maupun fasilitas petayanan kesehatan. Termasuk : halusinosis alkoholik, kecemburuan alkoholik, paranoia alkoholik, psikosis, alkoholik YTT.

Diagnosis Banding Pertimbangkan kemungkinan adanya gangguan jiwa lain yang dicetuskan dan diberatkan oleh penggunaan zat psikoaktif (misalnya skizofrenia (F20.-); gangguan suasana perasaan (mood [afektifl) (F30- F39); gangguan kepribadian paranoid atau skizoid (F60.0, F60.1)). Pada kasus demikian, diagnosis keadaan psikotik yang disebabkan oleh zat psikoaktif mungkin tidak memadai. Diagnosis suatu keadaan psikotik dapat ditentukan lebih lanjut dengan kode lima karakter berikut: F1x.50 Lir-skizofrenia F1x.51 Predominan waham F1x.52 Predominan halusinasi (termasuk halusinosis alkoholik) F1x.53 Predominan polimorfik F1x.54 Predominan gejala depresif F1x.55 Predominan gejala manik F1x.56 Campuran F1x.6 Sindrom Amnesik Satu sindrom yang berhubungan dengan hendaya/gangguan daya ingat jangka pendek (recent memory) yang menonjol; kadang terdapat gangguan daya ingat jangka panjang (remote memory), sedangkan daya ingat segera masih baik. Gangguan daya nilai berjalannya waktu dan urutan peristiwa biasanya menonjol, seperti juga kesulitan untuk mempelajari hal baru. Konfabulasi mungkin menonjol, tetapi tidak selalu harus ada. Fungsi kognitif lain biasanya relatif masih baik dan gangguan amnesik yang terjadi tidak sepadan dengan gangguan lain. Pedoman Diagnostik

14

Sindrom amnesik yang disebabkan oleh alkohol atau zat psikoaktif lain yang digolongkan dalam kode ini harus memenuhi kriteria umum untuk sindrom amnesik organik (lihat F04). Syarat utama untuk menentukan diagnosis adalah: gangguan daya ingat jangka-pendek (dalam mempelajari hal baru); gangguan sensasi waktu (menyusun kembali urutan kronologis, meninjau kejadian berulang kali menjadi satu peristiwa, dll.) tiadanya gangguan daya ingat segera, tiadanya gangguan kesadaran, dan tiadanya gangguan kognitif secara umum adanya riwayat atau bukti objektif penggunaan alkohol atau obat yang kronis (terutama dengan dosis tinggi). Perubahan kepribadian, yang sering disertai keadaan apatis dan hilangnya inisiatif yang nyata, dan kecenderungan untuk mengabaikan keadaan yang dibutuhkan untuk menentukan diagnosis. Meskipun konfabulasi mungkin nyata tetapi jangan dianggap sebagai persyaratan yang dibutuhkan untuk menentukan diagnosis. Termasuk : psikosis atau sindrom Korsakov, psikosis yang disebabkan oleb alkohol atau zat psikoaktif lainnya. Diagnosis Banding Pertimbangkan : sindrom amnesik organik (nonalkoholik) (lihat F04); sindrom organik lain yang meliputi gangguan daya ingat yang nyata (misalnya demensia atau delirium) ( F00-F03; F05.-); suatu gangguan depresif (F31-F33). F1x.7 Gangguan Psikotik Residual dan Onset Lambat Satu gangguan fungsi kognitif, afek, kepribadian, atau perilaku yang disebabkan oleh alkohol atau zat psikoaktif yang berlangsung melampaui jangka waktu khasiat psikoaktifnya. Pedoman Diagnostik Onset dari gangguan harus secara langsung berkaitan dengan penggunaan alkohol atau zat psikoaktif. Kasus dengan onset pertama yang berjarak jauh sesudah episode penggunaan zat hares digolongkan dalam kode ini hanya apabila ada bukti yang jelas dan kuat bahwa keadaan ini sebagai efek residual zat tersebut. Gangguan tersebut harus memperlihatkan suatu perubahan atau peningkatan yang nyata dari fungsi sebelumnya yang normal. Gangguan ini harus berlangsung melampaui suatu jangka waktu yang dianggap sebagai efek langsung zat psikoaktif tersebut (lihat Flx.0 intoksikasi akut). Demensia yang disebabkan oleh alkohol
15

atau zat psikoaktif tidak selalu bersifat ireversibel, sesudah suatu periode yang cukup lama dari abstinensia total, fungsi intelek dan daya ingatnya akan pulih. Gangguan ini harus secara hati-hati dibedakan dari kondisi yang berhubungan dengan peristiwa putus zat (lihat Flx.3 dan Flx.4). Harus diingat bahwa pada kondisi tertentu dan untuk zat tertentu, fenomena putus zat dapat terjadi beberapa hari atau minggu sesudah zat dihentikan penggunaannya. Kondisi yang disebabkan oleh zat psikoaktif, yang menetap sesudah penggunaannya, dan memenuhi kriteria untuk diagnosis gangguan psikotik, jangan digolongkan di sini (gunakan Flx.5, gangguan psikotik). Pasien yang menunjukkan keadaan akhir dari sindrom Korsakov kronik harus digolongkan dalam kode Flx.6. Diagnosis Banding Pertimbangkan: gangguan jiwa yang sudah ada terselubung oleh penggunaan zat dan yang muncul kembali setelah pengaruh zat tersebut menghilang (misalnya anxietas fobik, gangguan depresif, skizofrenia atau gangguan skizotipal). Pada kasus kilas balik, pertimbangkan adanya psikosis akut dan sementara (F23.-). Pertimbangkan juga cedera organik dan retardasi mental ringan atau sedang (F70-F71) yang mungkin terdapat bersama dengan penyalahgunaan zat psikoaktif. Rubrik diagnostik ini dapat dibagi lebih lanjut dengan menggunakan kode lima karakter berikut: F1x.70 Kilas balik (Flashback) Dapat dibedakan dari gangguan psikotik, sebagian karena sifat episodiknya, sering berlangsung dalam jangka waktu sangat singkat (dalam hitungan detik sampai menit) dan oleh gambaran duplikasi (dan kadang-kadang sangat mirip) dengan pengalaman sebelumnya yang berhubungan dengan penggunaan zat. F1x.71 Gangguan kepribadian atau perilaku Memenuhi kriteria untuk gangguan kepribadian organik (F07.0). F1x.72 Gangguan afektif residual Memenuhi kriteria untuk gangguan suasana perasaan (mood [afektif]) organik (F06.3) . F1x.73 Demensia Memenuhi kriteria umum untuk demensia seperti yang diuraikan dalam pendahuluan F00F09.

16

F1x.74 Hendaya kognitif menetap lainnya Satu kategori residual untuk gangguan dengan hendaya kognitif yang menetap, tetapi tidak memenuhi kriteria untuk sindrom amnesik yang disebabkan oleh zat psikoaktif (Flx.6) atau demensia (F1x.73). F1x.75 Gangguan psikotik onset lambat F1x.8 Gangguan Mental dan Perilaku Lainnya Masukkan dalam kode ini sebarang gangguan sebagai akibat penggunaan zat yang dapat diidentifikasi berperan langsung pada keadaan tersebut, tetapi yang tidak memenuhi kriteria untuk dimasukkan dalam salah satu gangguan yang telah disebutkan di atas. Flx.9 Gangguan Mental dan Perilaku YTT PENGGUNAAN ALKOHOL Akibat Penggunaan Alkohol 1. Intoksikasi Alkohol Gejala intoksikasi alkohol meliputi gangguan kesadaran, kognitif, persepsi, afektif dan perilaku. Dapat disertai gangguan lain yaitu perubahan faal. Kematian biasanya diakibatkan oleh aspirasi isi lambung ke dalam paru-paru. Intoksikasi ringan ditandai euforia, cadel, kantuk, ataksia, nistagmus. Intoksikasi alkohol dapat menimbulka hipoglikemia, walaupun dalam konsentrasi yang relatif rendah. Intoksikasi berat dapat terjadi stupor, koma, dan berhentinya pernapasan. Umumnya dijumpai bradikardi, hipotensi, hipotermia, dan kejang. Intoksikasi sangat berat dapat tampak seperti sudah mati dengan reflekreflek negatif dan bahkan tanpa aktivitas EKG. 2. Keadaan Putus Alkohol Keadaan ini adalah problema medis yang mempuyai potensi darurat vital, karena itu perlu penanganan seksama. Keadaan gawat biasanya timbul bila pasien telah menghentikan minum alkhol yang telah diminumnya setiap hari selama beberapa bulan dengan dosis yang setara dengan 7-8 pints bir (284 gr - 320 gr alkohol absolut atau kira-kira 4-4,5 liter bir) atau 1 pints spirits (0,5683 liter). Onsetnya 12 jam sesudah minum yang terakhir, intensitas puncak terjadi 48-72 jam setelah konsumsi terakhir alkohol. Gejala-gejala yang dapat timbul pada keadaan ini: 1. Halusinasi, ilusi (bad dreams)
17

2. Kejang, dalam 12-48 jam 3. Delirium tremens (major withdrawal) 4. Gemetar (tremulousness) 5. Agitasi psikomotor (gerakan menjadi kacau) 6. Keluhan gastrointestinal (mual dan muntah) 7. Muka kemerahan seperti kepiting rebus (flushed face) 8. Konjungtiva mata kemerahan (injected conjunctivae) 9. Kelemahan umum (generalized weakness) 10. Insomnia 11. Mudah kaget, cemas, dan marah (iritabel) 12. Rindu dengan minuman beralkohol (craving for alcohol) 13. Mudah tersengal, nafas pendek (faintness) dan berkeringat (sweating) 14. Hipertensi 15. Kadang-kadang disritmia karena hipokalemia, hipomagnesemia, dan gangguan keseimbangan asam basa. 3. Penggunaan Alkohol yang Merugikan. Jangka Pendek: Lebih emosional (sedih, senang atau marah secara berlebihan). Gangguan motorik seperti: bicara cadel, pandangan menjadi kabur, sempoyongan, inkoordinasi motorik, sampai tidak sadarkan diri. Gangguan konsentrasi dan daya ingat Gangguan pengendalian diri Jangka lama: Perlemakan hati Kanker hati Perdarahan lambung Anemia Radang pankreas Polineuritis Miopati Kardiomiopati
18

Pikun (psikosis Korsakof) Cacat pada janin (pada ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol) Disfungsi seksual Ginekomastia 4. Delirium Tremens Akibat Intoksikasi atau Putus Alkohol Gejala berupa agitasi, kebingungan atau delirium, kadang-kadang disertai halusinasi visual atau taktil. Dapat terjadi kejang grand mal. 5. Amnesia (Psikosis Korsakof) Timbul sehubungan dengan defisiensi tiamin dalam vitamin B yang secara genetik berisiko tinggi. Gejala yang timbul antara lain: Ensefalopati Wernicke; ataksia dan kelumpuhan nervus cranialis VI. Sindroma Korsakoff yaitu amnesia retrograde dan anterograd serta gangguan visuospasial, abstrak dan kemampuan belajar yang lain. 6. Demensia Terjadi penurunan secara global dalam fungsi kognitif, fungsi intelektual dan memori. Penurunan fungsi otak disertai gangguan psikomotor serta gangguan memori jangka panjang dan gangguan berpikir yang menetap. 7. Gangguan Afektif Terjadi depresi atau mania yang cukup parah akibat putus alkohol beberapa saat sehingga mengganggu fungsi. 8. Gangguan Ansietas Pada gejala akut akibat putus alkohol terjadi gangguan panik. Putus alkohol yang lebih lama menyebabkan ketakutan sosial (fobia sosial) dan dapat menjadi parah sehingga timbul agorafobia. Gangguan ansietas yang paling sering terjadi adalah ganguan panik dan fobia sosial. Terapi Terapi Intoksikasi alkohol
19

Terapi umum: 1. Perkenalkan diri dan jelaskan bahwa terapi adalah bantuan (bukanlah hukuman) dan yakinkan bahwa pasien dalam keadaan aman, terapis tetap menjaga rahasia. 2. Tunjukkan perhatian terhadap masalah yang membahayakan kehidupan pasien. 3. Seringkali pasien datang dalam keadaan ketakutan, cemas ataupun panik. Sikap terapi harus tenang dan penuh percaya diri. Tenangkan pasien dengan mengajak bicara dan berilah pengertian bahwa terapis akan memberi bantuan, dengan harapan keadaan membaik. 4. Usahakan agar jalan nafasnya lancar. Pertahankan saluran nafas yang bebas, bila perlu dengan pernapasan buatan. 5. Tujukan pemeriksaan pada tanda-tanda vital. 6. Usahakan peredaran darahnya lancar. 7. Pasang alat infus, berikan cairan yang adekuat. 8. Lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat kemungkinan adanya perdarahan atau trauma fisik yang membahayakan. 9. Atasi koma, hipotensi, dan hipotensi. 10. Kosongkan lambung dengan emetika atau kuras lambung (bila konsumsi alkhol banyak sekali dan dalam 30 menit yang lalu). 11. Berikan 60-100 mg norit (activated charcoal) per oral (tidak boleh diberikan bila pasien stupor, koma atau kejang, kecuali personde dan saluran pernapasan telah dipertahankan dengan cuff endotracheal tube). Terapi khusus: 1. Berikan suntikan diazepam bila pasien kejang (5-10 mg i.v, bila perlu diulang sampai kejang hilang. Bilamana diazepam tidak tersedia, dapat diberikan fenobarbital/luminal 100-200 mg i.m. 2. Berikan 100 mg thiamin i.m atau i.v. 3. Berikan suntikan i.v 50-100 ml dextrose 50% bila dicurigai hipoglikemia. 4. Berikan suntikan i.v 0,45-2 mg naloxone bila dicurigai juga ada intoksikasi opioida. 5. Berikan haloperidol 5-10 mg i.m bila pasien agitatif. Bilamana haloperidol tidak tersedia dapat diberikan lorazepam, hydroxyzine, sulpiride. Terapi keadaan putus alkohol

20

1. Karena berpotensi kegawatan pasien harus dirawat inapkan dan diberikan dosis yang cukup salah satu penekan s.s.p. (misalnya benzodiazepin) untuk menetralisasi eksitabilitas yang diakibatkan oleh penghentian mendadak konsumsi alkohol. 2. Tanda-tanda vital dan kondisi elektrolit serta cairan tubuh harus dipantau secara ketat. 3. Obat-obat antipsikotik seperti khlorpromazin, fenotiazin tidak boleh diberikan karena menurunkan ambang kejang. 4. Pilihan obat sedatif yang digunakan tidak teramat penting dibandingkan dosis yang cukup untuk menimbulkan sedasi bertaraf sedang. Terapi sindrom ketergantungan alkohol 1. Pasien ketergantungan alkohol ringan cukup berobat jalan dengan medikasi benzodiazepin oral jangka pendek atau fenobarbital. 2. Pasien ketergantungan alkohol sedang sampai berat harus dirawat inapkan. Berikan per oral 10-15 mg diazepam setiap jam bergantung kebutuhan klinis yang ditentukan oleh gejala-gejala putus alkohol. 3. Pasien ketergantungan alkohol berat diberikan medikasi diazepam secara i.v. Sesudah tercapai stabilisasi, dosis diazepam yang diperlukan untuk mempertahankan pasien dalam keadaan sedasi dapat diberikan peroral setiap 8-12 jam. Bila kegelisahan, tremor dan tanda-tanda putus alcohol lainnya menetap, disis diazepam dinaikkan sampai terjadi sedasi taraf sedang. Kemudian dosis dikurangu 20% setiap 24 jam sampai gejala putus obat selesai. 4. Alternatif lain, dapat diberikan chlordiazepoxide sebagai dosis tunggal per oral sebanyak 200-400 mg atau diazepam 20-40 mg. sampai didapat didapat dosis total per 24 jam yang membuat pasien stabil. Dosis chlordiazepoxide dapat mencapai 600 mg per hari dan ditapering off dapat sampai 10 hari. 5. Pasien lanjut usia, pasien dengan penyakit hati, delirium, demensia atau gangguan kognitif lain sebaiknya diberikan benzodiazepine masa kerja singkat, tapi harus diberikan lebih sering. 6. Untuk mengatasi hiperaktivitas otonom dapat diberikan beta bloker. Bila dikombinasi dengan benzodiazepin, maka dosis benzodiazepin dapat dikurangi. 7. Pemberian klonidin 2-3 kali sehari 0,5 mg dapat menekan tandatanda kardiovaskuler keadaan putus alkohol. 8. Pemberian klonidin oral 400-800 mg karbamazepin setara dibandingkan benzodiazepin untuk prevensi kejang putus alkohol.
21

9. Alternatif lain untuk prevensi kejang dengan magnesium sulfat. 10. Fenitoin tampaknya tidak efektif untuk mengelola kejang putus alkohol. 11. Pemeriksaan seksama jika ada penyakit medis lain. 12. Vitamin dosis tinggi. 13. Larutan glukosa tidak boleh diberikan sebelum pemberian tiamin karena adanya kemungkinan timbul sindrom Wernike. 14. Sindrom otak organik yang kronis akibat konsumsi alkohol yang lama tidak jelas responnya terhadap pemberian tiamin maupun vitamin lain. 15. Halusinasi alkoholik ditangani dengan pemberian obat anti psikosis. 16. Terapi psikologis, sosial, dan tingkah laku. 17. Pemberian naltrexone sampai 1 tahun dapat mengatasi alkoholisme tanpa menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Dosis naltrexone 50 mg sehari. 18. Disulfiram 250 mg/hari (kontraindikasi pada penyakit jantung, trombosis serebral dan diabetes mellitus) untuk meningkatkan sensitivitas terhadap alkohol yang tujuannya memberikan rasa tidak nyaman pada penggunaan alkohol (sebagai shock terapi). 19. Acamprosate 2000 mg/hari untuk menekan gejala craving alkohol. 20. Rehabilitasi. Terapi keadaan putus alkohol dengan delirium 1. Sedasi harus cukup 2. Keseimbangan cairan dan elektrolit harus diawasi 3. Metabolisme karbohidrat 4. Suplemen vitamin B tiamin 5. Regimen anti kejang 6. Penggunaan antibiotika 7. Terapi terhadap trauma penyerta Terapi amnesia Suplemen tinggi vitamin terutama tiamin 50-100 mg/hari Terapi ansietas

Modifikasi tingkah laku Pengobatan: Benzodiazepin Terapi gangguan afektif


22

Edukasi Terapi kognitif Antidepresan, antimania atau antipsikotik bila diperlukan

TERAPI PENGGUNAAN OPIOIDA Intoksikasi Opioida Intoksikasi opioida terjadi karena penggunaan opioida dengan cara dihisap dengan bibir melalui gulungan kertas atau plastic di atas aluminium foil yang dipanaskan, dihirup melalui lubang hidung, dimasukan ke dalam rokok, dan melalui suntikan jarum suntik. Intoksikasi opioida dapat menjurus ke overdosis yang dapat menyebabkan kematian. Opioida mempunya efek menekan terhadap susunan saraf pusat. Tanda tanda objektif intoksikasi opioida adalah 1. penekanan ssp: sedasi, tenang, sedikit apatis, euphoria, berkurangnya tingkat kesadaran sampai delirium 2. berkurangnya motilitas gastrointestinal sampai konstipasi 3. penekanan respirasi 4. analgesia 5. mual, muntah 6. bicara cadel 7. hipotensi ortostatik 8. bradikardia 9. konstriksi pupil/miosis 10. kejang, khusus petidin 11. pasien-pasien toleransi sering tetap menunjukkan kontriksi pupil dan konstipasi perhatikan sungguh-sungguh apakah pasien menggunakan polidrug untuk intoksikasi. Keadaan putus opioida Keadaan yang terjadi sesudah menghentikan sama sekali penggunaan opioida atau menurunkan dosis penggunaan setelah penggunaan jangka lama. Gejala putus opioida ditandai dengan:

23

Tanda objektif: 1. mengantuk 2. pilek sampai bersin 3. lakrimasi 4. dilatasi pupil 5. vasodilatasi umum pembuluh darah sehingga pasien merasa panas dingin, merian dan berkeringat berlebihan 6. piloereksi 7. takikardia 8. meningginya tekanan darah 9. meningkatnya respirasi secara mencolok 10. suhu badan meninggi tajam 11. mual dan muntah 12. diare 13. insomnia Tanda subjektif: 1. mengeluh ingin menggunakan kembali opioida 2. cemas, gelisah, mudah tersinggung 3. mialgia 4. artralgia 5. sakit dank ramp perut 6. tidak ada selera makan 7. gemetar 8. kejang-kejang kecil 9. lemas Penyalahgunaan opioid dan Ketergantungan opioid Penyalahgunaan opioid adalah pengguanaan maladaptive opioid yang secara signifikan menunjukan kelainan klinik atau distress dan terjadi dalam periode waktu 12 bulan, tetapi gejala yang ditimbulkan tidak memenuhi criteria ketergantungan opioid. Ketergantungan opioid adalah penurunan kemampuan mengontrol diri untuk tidak menggunakan obat opioid secara berlebihan.

24

Intoksikasi Opioid dengan Delirium Terjadi jika opioid digunakan dalam dosis tinggi, dicampur dengan psikoaktif lainnya, atau digunakan dengan preexisting brain damage. Opioid , seperti meperidine, memiliki metabolit toksik yang dapat berakumulasi, menyebabkan delirium dan kadang-kadang kejang. Akibat akumulasi ini juga dapat terjadi keruskan fungsi ginjal.

Opioid-Induced Psikotik Disorder Kelainan ini dapat terjadi selama intoksikasi opioid, terjadi halusinasi atau delusi yang mendominasi gejala. Opioid-Induced Mood Disorder Dapat terjadi selama intoksikasi opioid, atau putus obat dan hasil dari penggunaan yang kronik. Kelainan ini bisa berupa tipe manic, depresi atau gabungan. Biasanya pasien datang dengan gejala campuran, kombinasi iritabilitas, expansiveness dan depresi Opioid-Induced Sleep Disorder dan Opioid-Induced Disfungsi Seksual Biasanya terjadi hipersomnia pada penggunaan opioid untuk terapi, tetapi pada pengguanaan agonis opioid sebagai maintenance seperti methadone keluhan utama adalah gangguan tidur (insomnia). Disfungsi seksual yang terjadi adalah impoten, pada penguanaan agonis opioi seperti methadone pasien lebih mengeluhkan ketidakmampuan mencapai orgasme daripada keluhan impoten. Opioid-Related Disorder Not Otherwise Specified Situasi klinik yang tidak memenuhi gejala-gejala yang telah disebut diatas. Terapi Intosikasi Opioida 1. periksa tanda vital 2. apakah pasien menggunakan obat lainnya 3. apakah pasien memiliki problema medis sebelumnya 4. pasien dengan gejala berad dirawat di ICU dan berikan caiaran intra vena untuk mempertahankan tanda vital ` 5. bila terjadi gejala overdosis, dapat dilakukan Naloxone Challenge Test: a. beri naloxone i.v 0,8 mg dan tunggu selama 15 menit

25

b. bila belum menunjukkan respon beri lagi naloxon i.v 1,6 mg dan tunggu selama 15 menit c. bila belum menunjukkan respon beri lagi naloxon i.v 3,2 mg dan tunggu 15 menit d. bila telah berhasil diatasi, lanjutkan pemberian naloxon i.v 0,4 mg setiap jam.

Terapi detoksifikasi opioida 1. tentukan diagnosis yang tepat 2. metadon, dan diturunkan dosisnya secara bertahap. Dosis yang diberikan 20-40 mg perhari. Dosis 1 mg metadon setara dengan 23 mg heroin atau 4 mg morfin 3. cara lain, pemberian metadon 10 mg p.o diulang tiap 4-6 jam. Total dosis 24 jam harus sama dengan dosis hari berikutnya. Kemudian dosis diturunkan 5 mg perhari 4. klonidin dapat juga diberikan dalam dosis 0,3 mg 0,6 mg perhari selama 1-3 hari pertama. 5. lofeksidin merupakan analog klonidin yang dapat juga diberikan 6. guanfasin merupakan jenis lain yang dapat diberikan 7. surprenorfin bermanfaat untuk gejala putus opioida yang ringan. Pemberiannya hanya 1 kali sehari 8. ketergantungan pentazocin diberikan pentazosin dengan dosis yang diturunkan pula Terapi pemeliharaan opioida 1. agonis opioida seperti metadon dan levacetylmetadol 2. campuran agonis-antagonis opioida seperti burprenorfin 3. antagonis opioida seperti naltrexon PENGGUNAAN KANABINOIDA Reaksi Panik Segera setelah menggunakan ganja pasien merasa kehilangan control. Pemeriksaan fisik mencerminkan adanya rasa khawatir dan cemas yang ditunjukkan oleh aktivitas berlebihan saraf simpatik. Gangguan cemas terkait kanabinoid merupakan diagnosis yang sering didapatkan pada pengguna kanabioid, terutama dengan intoksikasi akut. Pada keadaan ini, penderita akan mengalami stress cemas mendadak dan singkat yang biasanya timbul akibat pengaruh pikiran paranoid. Terkait dengan hal ini, serangan panik dapat pula terjadi. Gejala cemas yang timbul berhubungan dengan dosis dan terutama frekuensi reaksi kanabinoid.
26

Kilas Balik Merupakan suatu keadaan berulangnya secara spontan perasaan dan persepsi seperti ketika mengalami intoksikasi, meskipun yang bersangkutan tidak menggunakan ganja. Pengalaman yang dirasakan adalah perubahan penglihatan, objek berubah disertai dengan pengalaman yang mirip tapi tidak sama dengan efek yang ditimbulkan oleh ganja. Dapat pula timbul perasaan cemas, sedih dan paranoid. Intoksikasi Kanabinoid/Ganja Kriteria diagnostik untuk intoksikasi kanabinoid adalah sesuai dengan DSM-IV yang ditandai dengan adanya gangguan persepsi. Bila gangguan persepsi ini disertai penilaian realita terganggu, maka diagnosis akan diubah menjadi gangguan psikotik terkait kanabinoid. Kriteria diagnostik intoksikasi kanabinoid, antara lain: a) Riwayat menggunakan kanabinoid b) Adanya perubahan psikologik atau tingkah laku maladaptif yang signifikan (misalnya gangguan koordinasi motorik, euforia, cemas, gangguan membuat pernyataan, kemunduran sosial, yang semuanya berhubungan dengan penggunaan kanabinoid jangka pendek) c) Dua atau lebih tanda berikut, setidaknya 2 jam setelah menggunakan kanabinoid: - Infeksi konjungtival - Peningkatan rasa lapar - Mulut kering - Takikardia d) Gejala yang ada tidak disebabkan oleh kondisi medis tertentu dan bukan merupakan gangguan mental lainnya Intoksikasi akut kanabinoid pada penggunaan dosis tinggi, mungkin dapat pula ditemukan depersonalisasi, derealisasi, ilusi, halusinasi, dan ide paranoid dan curgia. Gejala-gejala: 1. perasaan waktu berjalan lambat, apatis, bingung 2. perasaan melambung 3. perubahan proses fakir, inkoheren 4. percaya diri meningkat 5. depersonalisasi, derealisasi, disorientasi 6. gangguan daya ingat jangka pendek 7. tertawa, tampak tolol
27

8. daya nilai realita terganggu, halusinasi auditorik dan visual 9. mudah disugesti, emosi labil 10. menurunnya perhatian dan konsentrasi 11. merasa pisah dari lingkungannya 12. waham kejar dan paranoid 13. merasa identitas diri berubah 14. mual, diare, nafsu makan meningkat 15. parestesi 16. perasaan seksual berubah Tanda-tanda 1. tremor 2. takikardia 3. mulut kering 4. meningkatnya kepekaan terhadap sentuhan 5. nistagmus 6. banyak keringat 7. gelisah 8. mata merah 9. ataksia 10. sering kencing 11. fungsi sosial terganggu Psikosis/gangguan psikotik akibat penggunaan ganja Biasanya timbul bila takaran pemakaian sangat berlebihan dengan akibat timbulnya paranoid dan halusinasi visual yang bersifat sementara. Penggunaan kanabioid dosis tinggi dapat menimbulkan gejala psikotik, seperti waham, halusinasi auditorik dan visual, terutama pada orang yang memiliki kelainan dasar psikotik. Gangguan psikotik terkait kanabinoid relatif jarang. Ide paranoid sesaat merupakan yang tersering ditemukan. Belum ada laporan mengenai psikosis menetap yang berhubungan dengan penggunaan kanabioid, namun kanabinoid dapat menimbulkan cetusan baru skizofrenia. Sindrom otak organic

28

ditandai terutama oleh proses mental berkabut yang terdiri dari kesulitan berpikir dan pikiran tumpul terganggunya kemampuan mencari sesuatu menurunnya daya ingat jangka pendek menurunnya konsentrasi dan kemampuan belajar Keadaan putus ganja Keadaan putus zat kanabinoid pada DSM-IV masih belum ada, namun keadaan ini lebih disamakan dengan ill-defined syndrome yang merupakan kriteria diagnostik untuk gejala cemas, iritabel, tremor terutama di tangan, berkeringat, dan nyeri otot. Gejala Putus Kanabinoid/ganja: 1. insomnia 2. mual 3. mialgia 4. cemas 5. gelisah 6. mudah tersinggung 7. demam 8. berkeringat 9. nafsu makan turun 10. fotofobia 11. depresi 12. bingung 13. menguap 14. diare 15. kehilangan berat bada 16. tremor Gangguan Non-Spesifik lain terkait kanabinoid DSM-IV tidak mencantumkan keadaan klinis lain pada penggunaan kanabioid, misalnya gangguan afektif terkait kanabioid. Intoksikasi kanabioid dapat berhubungan dengan depresi, meskipun gejala serupa didapatkan pada penggunaan kanabioid jangka panjang. Gejala hipomania juga dapat ditemukan pada intoksikasi kanabinoid.

29

Terapi reaksi panik 1. dilakukan pemeriksaan fisik untuk membedakan intoksikasi akibat obat lain 2. periksa toksikologis adari darah 3. tentukan dosis yang digunakan dan lama pemakaian ganja 4. yakinkan masalah ini akan teratasi 4-8 jam 5. tempatkan pasien dalam ruangan yang tenang 6. derajat intoksikasi mungkin berfluktuasi dalam 5 jam atau lebih 7. tidak ada pengobatan yang khusus. Bila ansietas tidak bias diatasi, boleh diberikan obat anti ansietas seperti khlordiazepoksida 10-50 mg per oral. Terapi kilas balik terapi seperti reaksi panic Terapi intoksikasi ganja 1. jarang menyebabkan kematian. Reaksi toksis terjadi pada pemakaian ganja dalam jumlah yang besar 2. penangan seperti reaksi panic Terapi psikosis/gangguan psikotik akibat penggunaan ganja 1. bila ditemukan pasien kehilangan kontak dengan realitas, perlu rawat inap jangka pendek 2. hendaklah diterangkan kepada keluarga pasien bahwa masalah ini sifatnya sementara dan agar membatu yang bersangkutan untuk mengembalikan penilaian realitasnya 3. antipsikotika dapat diberikan untuk jangka pendek dalam rangka mengatasi perilaku yang tidak diinginkan, boleh diberikan haloperidol 5 mg per hari dosis terbagi atau khlorpromazin 25-150 mg per oral 4. reaksi psikotik yang tidak hilang dalam sehari hendaklah dievaluasi tentang kemungkinan gangguan jiwa yang berat. Yang paling sering adalah skizofrenia atau gangguan afektif. Terapi sindrom otak organik terapi sama dengan reaksi panic Terapi keadaan putus ganja

30

kondisi klinis akibat putus ganja pada umumnya ringan dan segera menghilang dengan sendirinya dalam waktu yang tidak terlalu lama. TERAPI PENGGUNAAN SEDATIVA HIPNOTIKA Ketergantungan dan Penyalahgunaan Ketergantungan sedative atau hipnotika adalah penurunan kemampuan mengontrol diri untuk tidak menggunakan obat sedative atau hipnotika secara berlebihan. Intoksikasi sedativehipnotika antara lain : gejala neurologis: pembicaraan cadel, gangguan koordinasi motorik, cara jalan yang tidak stabil, nistagmus. Gejala psikologis: afek labil, hilangnya hambatan impuls seksual dan agresif, iritabel, banyak bicara, gangguan dalam memusatkan perhatian, gangguan daya ingat dan daya nilai. Pada keadaan overdosis: pernafasan lambat atau cepat tetapi dangkal, tekanan darah turun, nadi teraba lemah dan cepat, kulit berkeringat dan teraba dingin, hematokrit meningkat. Keadaan putus sedative hipnotika Gejala-gejala pada keadaan putus sedative hipnotika adalah mual-muntah tampak lemah dan letih, takikardia,berkeringat, tekanan darah meningkat, cemas, depresi atau iritabel, tremor kasar pada tangan, lidah dan kelopak mata, kadang terjadi hipotensi ortostatik dan dapat pula timbul delirium. Terapi intoksikasi sedative-hipnotika Pada dasarnya merupakan terapi simptomatik menjaga penekanan pernapasan dan menjaga fungsi kardiovaskuler tetap berjalan baik. Pada penggunaan oral perlu dilakukan kumbah lambung bila sedative-hipnotika ditelah tidak lebih dari 6 jam. hindari penekanan pernapasan. beri infus NaCl. bila pasien koma dan diduga juga memakai opioida dapat diberikan antagonis opioida seperti naloxon HCl (Narcan). Terapi Keadaan Putus sedative-hipnotika. bila dosis pemakaian diketahui dan tidak terdapat komplikasi medik lain atau adanya psikosis yang belum terobati, pasien bisa dirawat jalan dengan penurunan dosis perminggu. bila dirawat inap, penurunan dosis bisa lebih cepat. pada ketergantungan benzodiazepine, bila pasien menggunakan dalam dosis terapeutik yang dianjurkan oleh pabrik pembuatnya setiap hari selama lebih dari 1 bulan maka detoksifikasi
31

dapat dilakukan dengan cara rawat jalan, dimana dosis diturunkan secara bertahap dalam waktu 4 minggu. bila dosis benzodiazepine ekuivalen dengan 40 mg diazepam setiap harinya selama lebih dari 8 bulan maka penurunan dosis adalah sebesar 10% dan harus dirawat inap. bila jumlah sedative-hipnotika yang dipakai tidak diketahui, maka perlu diberikan dosis percobaan. Bila seseorang diberi 200 mg pentobarbital lalu tertidur, maka pasien belum ketergantungan sedative-hipnotika. Bila seseorang diberi 200 mg pentobarbital lalu tampak intoksikasi, maka ia perlu diberi pentobarbital setiap 6 jam 100-200 mg. jumlah pentobarbital yang menyebabkan intoksikasi dihitung serta dipertahankan selama 2 hari, lalu pada hari ketiga dan seterusnya dosis diturunkan 10% setiap harinya. Delirium Delirium jenis ini tidak dapat dibedakan dengan delirium Tremens akibat putus alcohol. Lebih sering dijumpai pada putus Barbiturat daripada putus obat Benzodiazepin. Delirium yang berhubungan dengan intoksikasi dapat terlihat pada penggunaan barbiturate atau benzodiazepine jika dosis yang digunakan cukup tinggi. Persisting Dementia Persisting Amnestik Disorder Banyak kejadian yang dilaporkan akibat penggunaan jangka pendek Benzodiazepin. Psychotic Disorder Gejala psikotik akibat putus obat barbiturate tidak dapat dibedakan dengan delirium treman akibat penggunaan alcohol. Gambaran agitasi, delusi, dan halusinasi biasanya visual, tapi kadang taktil atau auditori terjadi setelah 1 minggu abstinensi. Gejala psikotik yang dihubungkan dengan intoksikasi atau putus obat akibat barbiturate lebih sering terjadi dari pada akibat obat benzodiazepine. Gejala yang dominan adalah delusi atau halusinasi. Kelainan Lainnya Penggunaan sedativa, hipnotika dan anticemas juga dapat mengakibatkan gangguan afek, ansietas, gangguan tidur, disfungsi seksual. TERAPI PENGGUNAAN KOKAIN Intoksikasi kokain
32

Intoksikasi kokain adalah sindrom mental organic yang terjadi beberapa menit sampai satu jam setelah menggunakan kokain. Sindrom tersebut dapat menyebabkan gangguan fisik dan perilaku. Lamanya kerja kokain dalam tubuh sangat singkat, eliminasi paruh waktu kokain hanya satu jam. Kecuali pada kasus-kasus overdosis, sebagian besar kokain sudah hilang dari tubuh pada saat pasien sampai ke IGD. Tanda klinis: 1. takikardi 2. dilatasi pupil, midriasis 3. meningkatnya tekanan darah 4. panas dingin berkeringat 5. tremor 6. mual muntah 7. meningkatnya suhu badan 8. aritmia nadi 9. halusinasi visual dan taktil 10. sinkop 11. nyeri dada Bila overdosis dapat menyebabkan kejang dan meninggal gejala-klinis meliputi: 1. euphoria, disforia 2. agitasi psikomotor 3. agresif dan menantang berkelahi 4. waham paranoid 5. halusinasi 6. delirium 7. eksitasi 8. penilaian realita yang kurang wajar 9. meningkatnya aktivitas dan kewaspadaan 10. mulut kering 11. meningkatnya percaya diri 12. selera makan kurang 13. grandiositas 14. perilaku repetitive dan stereotipik 15. panic

33

Keadaan putus kokain Keadaan ini ditandai dengan adanya perasaan disforik yang menetap selama lebih dari 24 jam setelah menurunnya konsumsi kokain dan diikuti gejala-gejala berikut: Keletihan Insomnia atau hipersomnia Agitasi psikomotor Ide-ide bunuh diri dan paranoid Iritabel Depresif Gejala utama putus kokain adalah menagih kokain. Terapi intoksikasi kokain Yakinkan pasien bahwa gejala hanya terjadi dalam beberapa waktu Tempatkan pasien pada keadaan yang tenang Lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital pasien Pastikan apakah pasien menggunakan zat additive lainnya Fiksasi jika diperlukan Pertimbangkan rawat inap untuk selanjutnya rehabilitasi Persiapkan pasien tentang adanya keadaan putus kokain Terapi psikofarmaka o Bila agitasi, galak, membahayakan lingkungan atau delusi dapat diberikan derivate benzodiazepine ringan peroral o Jiga agitasi masih terjadi dapat diberikan antipsikotik berkekuatan tinggi o Jika terjadi takikardi dan hipertensi dapat diberikan propanolol o Masukan ICU jika ada indikasi (kejang, gangguan elektrolit, gangguan respirasi, gejala overdosis) Terapi keadaan putus kokain Pastikan apakah ada resiko bunuh diri Beri ketenangan, dan tanyakan berapa jumlah kokain yang masuk dan sudah berapa lama serta tanyakan apakah pasien menggunakan zat additive lainnya Motivasi pasien agar ikut program rehabilitasi Evaliasi apakah pasien menderita gangguan psikotik atau menggunakan zat additive lain

34

Terapi psikofarmaka o Agitasi berat dapat diberikan benzodiazepine ringan peroral o Antidepresif jika diperlukan Berikan bromokriptin untuk mengendalikan emosi

PENGGUNAAN KAFEIN Akibat penggunaan kafein: 1. Reaksi Panik Gangguan cemas dapat berupa gangguan panik, gangguan ansietas general, phobia sosial, atau gangguan obsesif kompulsif. Pasien tidak perlu untuk memenuhi semua kriteria, cukup satu untuk mendiagnosis kafein menginduksi gangguan ansietas. Reaksi panik timbul pada jumlah kafein lebih 500-600 mg. Selain itu dapat meningkatkan ansietas pada depresi, fobia sosial dan obsesi kompulsi. 2. Intoksikasi Kafein Overdosis kafein gejalanya ringan dan jarang menimbulkan kematian. Dosis letal akut pada orang dewasa antara 5-10 gram. Reaksi yang tidak diinginkan mulai terlihat pada kafein 1 gram atau 20 gelas kopi, yaitu sebagai berikut: - Gelisah - Eksitasi (penuh gairah) - Sulit tidur - Muka merah - Mioklonus - Poliuria - Mual - Arus pikir cepat, banyak bicara - Takikardi, aritmia - Agitatif

35

3. Psikosis/ Gangguan Psikotik Akibat Penggunaan Kafein Jarang terjadi sebagai akibat langsung pemakaian kafein, tetapi kafein dapat memicu terjadinya kembali gejala gangguan psikotik pada pasien yang sebelumnya telah menderita psikosis. 4. Sindrom Otak Organik Pada kafein dosis tinggi (lebih 500-800 mg per hari) dapat menimbulkan kebingungan agitatif.

5. Keadaan Putus Kafein Gejala-gejala: - Gelisah - Gugup - Mudah tersinggung - Nyeri kepala - Gemetar - Letargi - Tidak mampu bekerja efektif - Hidung beringus - Mual muntah - Depresi 6. Gangguan Tidur Dapat menyebabkan hipersomnia, insomnia, parasomnia atau campuran. Pada dosis 200 mg kafein sebelum tidur dapat memperlambat onset tidur sampai 4 jam dan mengurangi kualitas tidur. 7. Ketergantungan Kafein 'Ketergantungan' kadang digunakan untuk mengindikasikan ketergantungan secara psikis, yang ditandai dengan adaptasi psikologis terhadap efek dari zat, dan biasanya diindikasikan dengan sindrom putus zat jika konsumsi obat dihentikan. Ada bukti kuat yang membuktikan bahwa kafein dapat mengakibatkan ketergantungan psikis, yang

36

diindikasikan lewat sindrom putus kafein. 'Ketergantungan' dapat juga diartikan lain sebagai cara mengindikasi diagnosis klinis dari ketergantungan. Ketergantungan klinis secara khas dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis yang secara bebas dihubungkan oleh masalah penggunaan zat. Termasuk dalam kriteria ini ketergantungan psikis, meskipun ketergantungan psikis biasanya tidak begitu cukup untuk mendiagnosis sindrom ketergantungan klinis. Meskipun banyak studi dan laporan tentang ketergantungan psikis terhadap kafein, namun hanya sedikit penelitian tentang sindrom ketergantungan klinis. Ketergantungan secara psikologis bila penggunaan kafein dihentikan. Mempunyai gejala seperti putus kafein, terjadi toleransi dosis kafein, ketidakmampuan untuk menghentikan penggunaan kafein. 8. Penggunaan Kafein yang Merugikan Penggunaan kafein berhubungan dengan penyakit jantung, kanker payudara, osteoporosis dan penyakit lain. Penggunaan kafein harus dikurangi atau dihentikan pada takikardi aritmia, hernia atau hiatal esofagus dan penyakit fibrokistik. Kafein juga dapat menghambat konsepsi dan menyebabkan berat badan bayi lahir rendah sehingga penggunaannya perlu dihindari pada kehamilan. Terapi Terapi Reaksi Panik Waktu paruh kafein antara 3-7 jam dan gejala relatif ringan sehingga cukup diobservasi, berbagi rasa tentang kafein, lalu tunggu beberapa jam sampai gejala mereda (umumnya tidak diperlukan pengobatan antiansietas). Terapi Intoksikasi Kafein - Simtomatis - Observasi pernapasan, suhu tubuh, kemungkinan kejang dan hipertensi (pada penderita penyakit jantung). Terapi Psikosis/ Gangguan Psikotik Akibat Penggunaan Kafein - Edukasi mengenai kondisi psikotik sebagai efek dari kafein. - Menghentikan kebiasaan minum kopi Terapi Sindrom Otak Organik
37

Penghentian konsumsi kafein. Terapi Keadaan Putus Kafein - Terjadi pada konsumsi lama yang dihentikan secara mendadak - Intervensi dan edukasi bahwa keluhan akan berakhir beberapa waktu. Terapi Gangguan Tidur Mengurang atau menghentikan penggunaan kafein. Terapi Ketergantungan Kafein Sama dengan terapi putus kafein. Terapi Pengunaan Kafein yang Merugikan - Hentikan pemakaian kafein - Edukasi dan motivasi Terapi Rujukan - Kardiologi - Penyakit Dalam - Neurologi PENGGUNAAN HALUSINOGENIKA Akibat Penggunaan Halusinogenika 1. Intoksikasi Halusinogenika - Perubahan perilaku maladaptif - Perubahan persepsi (dalam keadaan sadar dan terjaga) - Tanda-tanda fisiologis: Takikardi Dilatasi pupil Palpitasi Peningkatan tekanan darah Berkeringat Suhu badang meningkat Mual Pusing
38

Penglihatan kabur Tremor Kelemahan Gangguan koordinasi - Gejala-gejala psikologi: Perubahan suasana perasaan (mood) Gangguan persepsi Gangguan proses pikir Gangguan perilaku Euforia Keras kepala Paranoia Serangan panik Waham Ide bunuh diri Anestesia Derealisasi Depersonalisasi Disorientasi Gambaran khas intoksikasi halusinogen adalah onsetnya yang cepat dalam mempengaruhi mood, kognitif, dan persepsi. Memori umumnya tetap terpelihara. Distress psikologik menandakan seseorang yang menggunakan halusinogen perlu mendapat pertolongan psikiatrik. Kriteria diagnostik untuk intoksikasi halusinogen adalah: a) Riwayat baru saja menggunakan halusinogen b) Gangguan atau perubahan psikologikal atau perilaku maladaptif yang signifikan, yang meningkat dengan penggunaan halusinogen c) Perubahan persepsi yang terjadi pada keadaan sadar penuh dan awas-waspada, misalnya depersonalisasi, persepsi subjektif, derealisasi, ilusi, halusinasi, sinkronisasi, yang terjadi dan meningkat selama atau sesaat sesudah menggunakan halusinogen. d) Dua atau lebih gejala berikut, yang muncul selama atau sesaat setelah penggunaan halusinogen: - Dilatasi pupil
39

- Takikardi - Berkeringat - Palpitasi - Gangguan penglihatan - Tremor - Inkoordinasi gerak Gejala yang ada tidak disebabkan oleh kondisi medis tertentu dan bukan merupakan gangguan mental lainnya.

2. Gangguan Persepsi Menetap Halusinogenika (Kilas Balik/Flashback Akibat Gangguan Halusinogenika Kriteria diagnostik untuk gangguan persepsi menetap akibat halusinogen, yaitu: a) Adanya pengalaman yang sama, saat menggunakan halusinogen, satu atau lebih gejala persepsi terkait halusinogen (misalnya halusinasi geometrik, persepsi adanya gerakan pada lapang pandang perifer, disorientasi warna, gambar bergerak, makropsia dan mikropsia. b) Gejala pada kriteria a) menyebabkan distres atau gangguan dalam interaksi sosial, pekerjaan, atau fungsi lainnya. c) Gejala yang ada bukan merupakan akibat medikasi lain. Selain kriteria ini, dapat pula ditemukan: Delirium Intoksikasi Halusinogenika (Intoksikasi Halusinogenika Akut dengan Delirium) Penggunaan halusinogenika bersama zat lain dapat menimbulkan delirium tetapi relatif jarang. 3. Gangguan Psikotik Akibat Penggunaan Halusinogenika Apabila terdapat gejala psikotik dengan hilangnya daya realitas, maka diagnosis psikosis dapat ditegakkan. Selain itu, adanya waham dan halusinasi juga dapat menjadi pertimbangan tambahan. Karena halusinogen dapat memicu toksisitas mental yang serupa dengan psikosis, maka perlu adanya pembeda antara keduanya, yaitu bahwa gangguan psikotik paskapenggunaan halusinogen berlangsung lebih dari 48 jam setelah obat dikonsumsi. Pasien dapat mengalami psikosis sesaat setelah menggunakan halusinogen atau dapat pula mengalami periode tanpa gejala hingga beberapa bulan sebelum onset timbul.
40

Ditandai terutama oleh gejala halusinasi atau waham. Selain itu juga ada bad trip, berkhayalan buruk, reaksi panik yang berakhir bila efek halusinogenika hilang. Gangguan Suasana Perasaan (Mood) Akibat Penggunaan Halusinogenika Gejalanya mirip gejala gangguan manik dan depresi. Gejala-gejalanya mereda setelah efek halusinogenika hilang. Gangguan Ansietas Akibat Penggunaan Halusinogenika Gangguan ansietas bervariasi. Pasien-pasien yang datang ke ruang gawat darurat menunjukkan gejala panik dengan agorafobia. 4. Ketergantungan Halusinogenika - Toleransi dosis - Peningkatan konsumsi zat - Kegagalan penghentian penggunaan zat - Craving halusinogenika - Penurunan fungsi psikososial Pasien yang mengkonsumsi zat halusinogen dapat memberikan gambaran klinis yang muncul mendadak, adanya halusinasi visual, dan ide-ide paranoid terkait toksisitas halusinogen. Gambaran klinis ini sering kali sulit untuk dibedakan dengan gambaran klinis akibat toksisitas agen lainnya, misalnya fensiklidin, antikolinergik, inhalansia, dan sejumlah obat lainnya. Skrining laboratorium untuk amfetamin, tetrahidrokanabinol, opiat, kokain, bezodiazepin, dan barbiturat sudah dapat dilakukan untuk membedakan jenis agen. Halusinasi visual atau pseudohalusinasi hampir selalu terjadi pada berbagai toksisitas, metabolik, vaskular, epileptik, atau neoplastik pada susunan saraf pusat, disamping skizofrenia. Hal ini penting untuk membedakan halusinasi yang terjadi adalah akibat bahan halusinogen atau dari agen lainnya. 5. Gangguan Kepribadian dan Afektif Gejala maniakal dengan waham kebesaran atau depresi atau berupa campuran keduanya. Juga dapat menimbulkan keinginan untuk bunuh diri. Kategori diagnostik untuk gangguan ini sesuai dengan kriteria untuk gangguan afektif. Semua gejala yang ada berkenaan dengan penggunaan halusinogen. Tidak seperti gangguan afektif yang dipicu kokain dan amfetamin, gejala gangguan afektif pada pengguna halusinogen dapat bervariasi. Pengguna dapat mengalami gejala manik dengan waham kebesaran, atau mengalami keadaan depresi dengan

41

gejala campuran. Seperti gangguan psikotik akibat halusinogen, gangguan afektif biasanya mereda bila zat dieliminasi dari tubuh. 6. Gangguan Ansietas Setelah menimbulkan efek yang menyenangkan, halusinogenika menyebabkan ketakutan dan gangguan panik. 7. Delirium Jarang terjadi akibat penggunaan halusinogenika tunggal, biasanya akibat interaksi dengan penggunaan zat lain dan timbulnya bersamaan dengan intoksikasi.

8. Gangguan Non-spesifik lainnya Penggunaan obat halusinogen secara kronis dapat menimbulkan sejumlah gejala dan perilaku yang tidak umum. Edem serebri, dilaporkan dapat terjadi paska-penggunaan halusinogen jenis MDMA. Penggunaan halusinogen jenis LSD juga dilaporkan menyebabkan gangguan lobus temporal, termasuk hiperreligius, disfungsi seksual, dan halusinasi pada umumnya. Terapi Terapi Intoksikasi Halusinogenika - Konseling suportif Mengajak pasien untuk berbicara, meyakinkan pasien, melindungi pasien terhadap perbuatan yang membahayakan dirinya dan orang lain. Meyakinkan pasien bahwa gejala-gejala yang disebabkan oleh zat yang digunakannya akan mereda. Berikan semangat dengan meyakinkan dan memberitahu tentang orientasi secara terusmenerus. - Tempatkan pasien dalam ruangan yang tenang dan ditemani. - Observasi tanda vital dan pemeriksaan laboratorium yang menunjang, khususnya berkaitan dengan skrining toksikologis urine dan darah - Terapi simtomatis terhadap gejala fisik - Fiksasi bila pasien agitatif

42

- Terapi psikofarmaka: Obat penenang bila perlu: derivat benzodiazepin misalnya Lorazepam 1-2 mg per oral untuk pasien yang tidak begitu gelisah, dan secara parenteral untuk pasien yang sangat agitatif atau paranoid karena biasanya menolak minum obat. Bila agitasi tetap bertahan: antipsikotik Haloperidol 2-5 mg per oral/im. Terapi Ketergantungan Halusinogenika Edukasi dan motivasi. Terapi gangguan ansietas Seperti terapi intoksikasi halusinogenika dengan Benzodiazepin.

Terapi gangguan afektif Hentikan pemakaian halusinogenika. Bila perlu diberikan antimaniakal atau anti depresan. Terapi Delirium Sama dengan terapi intoksikasi halusinogenika. PENGGUNAAN NIKOTIN Reaksi Panik Serangan panik dapat dipicu oleh peningkatan tekanan darah dan perubahan denyut jantung akibat merokok. Intoksikasi Nikotin Overdosis nikotin lebih dari 60 mg pada orang dewasa berakibat fatal, sedangkan pada anak-anak terjadi pada dosis yang lebih rendah. Intoksikasi ringan-sedang: mual, salivasi, nyeri abdomen, diare, muntah, nyeri kepala, pusing, penurunan denyut jantung dan kelemahan. Dosis lebih tinggi: pusing hebat, penurunan tekanan darah, penurunan frekuensi napas, kejang dan meninggal akibat depresi napas. Keadaan Putus Nikotin Timbul beberapa jam setelah berhenti merokok, lalu meningkat pada tengah hari dan memburuk pada sore hari. Keluhan yang ditemukan antara lain:
43

- Craving - Iritabel - Ansietas - Sulit konsentrasi - Gelisah - Nyeri kepala - Gangguan tidur - Perubahan kognisi dan perilaku: pikiran tumpul, hostil (bermusuhan) Sindrom Ketergantungan Nikotin Terjadi akibat pemakaian nikotin yang lama. Terdiri atas 3 gambaran yang mengakibatkan sulitnya berhenti merokok dan merupakan fokus perhatian dalam terapi, yaitu: - Penghentian pemakaian nikotin menimbulkan gejala putus zat yang mencapai puncaknya dalam 24-48 jam berupa ansietas, tidur terganggu, iritabel, hilang kesabaran, craving tembakau, gelisah, sulit konsentrasi, mulut kering, napsu makan meningkat dan nyeri kepala. Intensitas gejala akan mereda setelah 2 minggu, tetapi gejala seperti peningkatan napsu makan dan sulit konsentrasi akan menetap sampai beberapa bulan. - Perilaku memegang-megang rokok, membawanya ke mulut, lalu menghisap rokok. - Pengalaman menyenangkan akibat kadar nikotin yang cepat di dalam otak. Terapi Reaksi Panik Observasi dan terapi simtomatis Terapi Intoksikasi Nikotin - Terapi simtomatis: bantuan napas, stabilisasi tekanan darah, pertimbangkan bilas lambung. - Asidifikasi dengan Ammonium klorida 500 mg tiap 3-4 jam untuk mempercepat ekskresi nikotin. Terapi Keadaan Putus Nikotin - Konseling - Permen kunyah nikotin yang ditapering off dalam 3 minggu bila perlu. Terapi Sindrom Ketergantungan Nikotin - Non farmakoterapi
44

Modifikasi perilaku: pasien membuat catatan merokok dan mengontrol faktor lingkungan yang merupakan pencetus, mengganti dengan merek rokok yang kadar nikotinnya lebih rendah. - Farmakoterapi Terapi pengganti nikotin: Koyok nikotin (Nicotin patch) Diberikan selama 8 minggu dengan cara koyok diganti setiap hari. Permen kunyah nikotn Farmakoterapi lain Klonidin mampu mengurangi gejala putus nikotin karena merupakan antagonis nonreseptor nitkotin. Mekamilamin (doksepin) dan ansiolitika (buspiron) sebagai pembantu dalam program penghentian rokok. PENGGUNAAN INHALANSIA Akibat penggunaan inhalansia: 1. Intoksikasi Inhalansia Ditandai dengan adanya keluhan pusing, bicara cadel, jalan tidak stabil, gangguan koordinasi motorik, euphoria, agresif, aritmia jantung, sianosis, dan halusinasi 2. Psikosis Akibat Penggunaan Inhalansia Dalam dosis awal yang kecil inhalan dapat menginhibisi dan menyebabkan perasaan euforia, kegembiraan, dan sensasi mengambang yang menyenangkan. Gejala psikologis lain pada dosis tinggi dapat berupa rasa ketakutan, ilusi sensorik, halusinasi auditoris dan visual dan distorsi ukuran tubuh.. 3. Sindroma Putus Inhalan Sindroma putus inhalan tidak sering terjadi, kalaupun ada muncul dalam bentuk susah tidur, iritabilitas, kegugupan, berkeringat, mual, muntah, takikardia, dan kadang-kadang disertai waham dan halusinasi. 4. Penggunaan Inhalansia yang Merugikan Dapat menimbulkan gangguan neurologis seperti bicara yang tidak jelas (menggumam, penurunan kecepatan bicara, ataksia). Penggunaan dalam waktu lama dapat menyebabkan iritabilitas, labilitas emosi dan gangguan ingatan. Selain itu juga dapat menyebabkan
45

kerusakan hati dan ginjal yang ireversibel dan kerusakan otot yang permanen. Efek merugikan yang paling serius adalah kematian yang disebabkan karena depresi pernafasan, aritmia jantung, asfiksiasi, aspirasi muntah atau kecelakaan atau cedera. 5. Delirium Intoksikasi Inhalansia 6. Psikosis Terdapat halusinasi dan delusi yang langsung berhubungan dengan efek psikologis dari inhalansia. Terjadi gangguan yang jelas dalam beberapa hari sampai beberapa minggu setelah intoksikasi inhalansia. Tedapat gangguan panik, bingung, dan agitasi. 7. Gangguan Ansietas Terdapat satu dari gejala berikut: Gangguan ansietas secara umum Serangan panik Gejala obsesi kompulsi atau fobia 8. Gangguan Afektif Diakibatkan langsung oleh efek inhalansia terhadap psikologis. Terdapat satu gejala spesifik berikut: Depresi Maniak Campuran Sering timbul keinginan untuk bunuh diri. 9. Demensia Terjadi akibat defisit neurologis yang berhubungan dengan abnormalitas sel putih otak akibat penggunaan inhalansia. Gangguan memori yaitu terdapatnya sekurang-kurangnya satu dari gejala berikut: Afasia Apraksia Agnosia Gangguan fungsi eksekutif (planning, organizing, sequencing, abstracting) Gejala-gejala tersebut harus mempengaruhi fungsi social dan pekerjaan secara bermakna. Terapi Terapi intoksikasi inhalansia

46

Inhalansia merupakan obat penekan sistem saraf pusat seperti sedatifhipnotik. Terapi intoksi inhalansia pada dasarnya sama dengan terapi pada intoksikasi sedativa hipnotika, yaitu simtomatik. Terapi putus inhalansia Inhalansia jarang menimbulkan keadaan putus zat dan sindrom ketergantungan. Terapi diberikan secara simtomatik. Terapi Psikosis Akibat Inhalansia Antipsikotik Terapi pada Penggunaan Inhalansia yang Merugikan.

Terapi Delirium Intoksikasi Inhalansia Bila diperlukan: Haloperidol diberikan dalam waktu singkat. Jangan menggunakan benzodiazepin untuk menghindari depresi napas. Terapi Psikosis Cegah komplikasi seperti gagal napas atau cardiac arrest Haloperidol 5 mg/kgBB i.m. dan dapat diulang 20 menit bila perlu (pada agitasi) Jangan gunakan obat-obat sedatif seperti Benzodiazepin yang dapat memperburuk. Terapi Ansietas Antidepresan merupakan kontraindikasi. Terapi Gangguan Afektif Antidepresan dan anti mania jarang diperlukan. Usaha bunuh diri sering terjadi sehingga medikasi dapat diberikan bila perlu. Terapi Demensia Perubahan bersifat permanen sehingga upaya yang dapat dilakukan adalah pencegahan dan detoksifikasi.

47

BAB III KESIMPULAN


Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif bervariasi luas dan berbeda keparahannya. Analisis objektif memberikan bukti yang paling dapat diandalkan perihal adanya pengguanaan akhir-akhir ini. Banyak pengguna menggunakan lebih dari satu jenis obat namun bila mungkin diagnosis gangguan harus diklasifikasikan sesuai dengan zat tunggal yag paling penting yang digunakannya. Menurut PPDGJ-III untuk menegakkan diagnosis ketergantungan zat mutlak diperlukan bukti adanya penggunaan dan kebutuhan terus menerus. Terdapatnya gejala abstensi bukan satu-satunya bukti dan juga tidak selalu ada, misalnya pada penghentian pemakaian kokain dan ganja. Obat yang diberikan dokter tidak termasuk dalam pengertian ini selama pengguanaan obat tersebut berindikasi medis. Istilah ketergantungan zat mempunyai arti yang lebih luas daripada istilah ketagihan atau adiksi obat. WHO mendefinisikan ketagihan sebagai berikut: suatu keadaan keracunan yang periodik atau menahun, yang merugikan individu sendiri dan masyarakat dan yang disebabkan oleh penggunaan suatu zat yang berulang-ulang.

48

Faktor kepribadian seseorang cenderung mempengaruhi apakah ia akan tergantung pada suatu obat atau tidak. Orang yang merasa mantap serta mempunyai sifat tergantung dan pasif lebih cenderung menjadi ketergantungan pada obat. Faktor sosiobudaya juga tidak kalah penting dan saling mempengaruhi dengan faktor kepribadian. Di Indonesia banyak penderita ketergantungan obat berasal dari golongan sosioekonomi menengah. Faktor fisik dan badaniah seseorang menentukan efek fisik obat itu seperti hilangya rasa nyeri dan ketidakenakkan badaniah yang lain, berkurangnya dorongan sexual, rasa lapar dan mengantuk atau justru berkurangnya hambatan terhadap dorongandorongan. Faktor kebiasaan yang dikemukakan dalam hipotesis kebiasaan bekerja sebagai berikut: karena obat itu mengurangi ketegangan dan perasaan dan tidak enak, maka kebiasaan diperkuat dengan tiap kali pemakaian. Ketergantungan obat merupakan hasil saling pengaruh dan mempengaruhi yang komplex berbagai faktor tadi ditambah dengan mudah sukarnya obat itu diperoleh dan kesempatan untuk mengunakannya. Pemberian obat oleh dokter dapat meninmbulkan ketergantungan juga.

49

1. Departemen Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Departemen Kesehatan: Jakarta 2. Kaplan. H. I., Sadock. B. J., dan Greeb. J. A., 2010 Sinopsis Psikiatri. Binarupa Aksara Publisher: Tangerang 3. Penyalahgunaan Ecstasy dan Putau. Di unduh dari www.kalbe.co.id 4. Klasifikasi gangguan jiwa. Di unduh dari http://www.medicinesia.com/kedokteranklinis/neurosains-kedokteran-klinis/klasifikasi-gangguan-jiwa/ 5. www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=1299&Itemid=2

50

You might also like