You are on page 1of 18

SIAPKAH INDONESIA DENGAN SYARIAT ISLAM

MAKALAH
di ajukan untuk memenuhi mata kuliah pendidikan Agama Islam

Di susun oleh : Kelompok 5 : Ade Yulianti Ai Nuraini Dea Anisa Gita Amelia Giva Rina S Junjun Firmansyah M. Ilham Fauzi Mumun Maemunah Nur irma Untari Yuniar

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BAKTI TUNAS HUSADA TASIKMALAYA D III ANALIS KESEHATAN 2011/2012

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan Karunia- Nya alhamdulillah penulis mampu menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis sehingga makalah ini dapat selesai. Makalah ini berisi tentang syariat seperti apa yang baiknya di terapkan di Indonesia, yang tidak merugikan pihak manapun, berisi pula bagaimana sebenarnya syariat islam menurut pandangan manusia dan pandangannya di dalam Al- Quran. Penulis menyadari makalah ini memiliki banyak kekurangan, baik itu dari segi bahasa, isi, maupun karakteristik dari penulisan ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan dalam pembuatan tulisan selanjutnya. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat dan memanbah wawasan untuk kita semua. Amiin. . . .

Tasikmalaya, November 2011

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN a. Latar belakang b. Rumusan Masalah c. Tujuan Penulisan BAB II PEMBAHASAN a. Definisi Islam b. Syariat Islam c. Ideologi Pancasila d. Kontroversi Penetapan Syariat Islam BAB III PENUTUP a. Kesimpulan b. Saran

i ii 1 1 2 2 3 3 4 4 5 14 14 14

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini, Indonesia banyak di landa musibah, di antarnya :
o o

Indonesia kembali menjadi negara miskin Beban utang Indonesia lebih dari Rp 1400 trilyun rupiah (Rp. 742 triliun berupa utang luar negeri) ( Forum, 5 Maret 2002 ).

o o o o o o o o o

Puluhan juta orang dalam kemiskinan. Belasan juta orang kehilangan pekerjaan. 40 juta nganggur, 3 juta diantaranya sarjana. 4,5 juta anak putus sekolah. Jutaan orang mengalami malnutrisi. Kriminalitas meningkat 1000%. Perceraian meningkat 400%. Penghungi rumah sakit jiwa meningkat 300%. Sebagian besar hutan di Indonesia sudah dikuasai 12 grup besar melalui 109 perusahaannya :

Grup Kayu Lapis milik Hunawan Widjajanto 3,5 juta hektar HPH Grup Djajanti Djaja milik Burhan Uray yang menguasai 2,9 juta hektar Grup Barito Pacific milik Prajogo Pangestu memegang 2,7 hektar Grup Kalimanis milik Bob Hasan menguasai 1,6 juta hektar PT Alas Kusumah Group menguasai 1,2 juta hektar Sumalindo Group dengan luas 850.000 hektar PT Daya Sakti Group dengan luas 540.000 hektar

Raja Garuda Mas Group dengan luas 380.000 hektar

Walhi (1993) rata-rata hasil hutan 2,5 milyar US Dollar/tahun (kini diperkirakan mencapai sekitar 7 8 milyar US dollar -- Kompas, 10 Februari 2001 ), yang masuk ke dalam kas negara hanya 17 %

Konsesi kepada perusahaan asing untuk mengelola minyak (Caltex, Arco dan sebagainya), emas (Freeport, Newmont dan sebagainya)
1

2 Padahal . . .
o o o

Areal hutan paling luas di dunia. Tanahnya subur, alamnya indah. Potensi kekayaan laut luar biasa (6,2 juta ton ikan, mutiara, minyak dan mineral lain).

o o

Di darat terkandung barang tambang emas, nikel, timah, tembaga, batubara dsb. Di bawah perut bumi tersimpan gas dan minyak yang cukup besar.

B. Rumusan Masalah 1. Mengapa itu bisa terjadi? 2. Di mana letak kesalahannya? 3. 4. Pada sistem ataukah orangnya? Apa yang harus kita lakukan?

C. Tujuan Penulisan 1. Menambah wawasan mengapa Indonesia di landa hal- hal yang telah di sebutkan di atas.

2. Menelitik di mana penyebab terjadinya hal- hal tersebut, benarkah pada sistem nya. 3. Jika sistem yang di terapkan jalan keluar mengunakan syariat islam, kita akan mengetahui bagaimana aplikasinya. 4. Jika sistem yang di terapkan tetap menggunakan ideologi kita, yakni pancasila lalu apa yang harus di perbaikinya. 5. Memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam.

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Islam

Sebelum mengetahui ataupun membahas tentang syariat islam, kita harus tahu sebenarnya apa itu islam. 1. Al Maidah : 3 Pada hari ini, telah Kusempurnakan bagimu agama kamu dan telah Ku cukupkan nikmat Ku kepada kamu dan telah Ku ridhai Islam itu menjadi agama untuk kamu. 2. Ali' Imran : 19 & 85 Sesungguhnya agama (yang di ridhai) disisi Allah hanyalah Islam Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orangorang yang rugi Islam, mengatur :

1. Mengatur Hubungan Allah dengan hambaNya , meliputi aspek Aqidah dan

Ibadah mahdah :

Solat Puasa Zakat Haji Dsb

2. Mengatur hubungan individu dengan dirinya sendiri Merangkumi apa yang perlu

dia lakukan untuk keperluan dirinya seperti aspek pemakanan, pakaian, dan akhlak.
3. Mengatur hubungan manusia dengan manusia Meliputi aspek muamalah (sistem

ekonomi, sistem pemerintahan, sistem sosial, polisi pendidikan, dasar luar negeri dsb) dan Uqubat (Hudud, takzir, jinayat, dan mukhalafat). Adapun ruang lingkup ajaran Islam : 4 Aqidah Siyasiyyah (Politik) Mengatur urusan hidup : Makanan, pakaian, akhlak, muamalah dan uqubat (sistem penghakiman). B. Syariat Islam Setelah berbicara sedikit tentang islam, supaya bahasan ini menjadi lebih luas dan menarik, kita lihat dulu sebenarnya syariat islam itu bagaimana dan seperti apa. Syariah, secara literal adalah Mawrid al-Ma (sumber mata air). Syariah, secara terminologis berarti sistem yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, dirinya dan sesamanya (Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidatan wa Syariatan ). Ada pula yang mengatakan syariat adalah aturan-aturan yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunah. Sebagian lain, melihat apa yang tercantum dalam kitab-kitab fikih sebagai syariat. Pada hakikatnya, syariat Islam adalah tiap perkara yang telah ditentukan oleh Allah Swt untuk hamba-Nya, yang berupa hukum-hukum amaliah syariah ( seperti cara beribadah dan cara bertransaksi ), hukum-hukum pernikahan, hukum-hukum kriminal dan yang lainnya, karena keseluruhan misi dari hukumhukum tersebut adalah untuk kebaikan dan kebahagiaan hamba-Nya. Syariah pun 2 Doktrin asas Islam sebagai cara hidup (the way of life) Aqidah Ruhiyyah (Spiritual/Rohani) Hubungan langsung dengan Allah : Aqidah dan Ibadah

bermakna perundang-undangan yang diturunkan Allah Swt melalui Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia baik menyangkut masalah ibadah, akhlak, makanan, minuman pakaian maupun muamalah (interaksi sesama manusia dalam berbagai aspek kehidupan) guna meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Menurut pengertian lain, Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, Syariat Islam juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini. Sementara Yahya Arias dalam ceramahnya mengatakan, bagian dari pelaksanaan syariat Islam adalah bagaimana mengemas hidup yang sederhana dan qanaah dalam menerima setiap rezeki maupun sabar dalam setiap cobaan dan ujian sebagai seorang muslim. C. Ideologi Pancasila Ketika berbicara tentang ideologi, ideologi bangsa dan negara Indonesia adalah pancasila. Istilah ideologi berasal dari kata idea yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita- cita, dan logos yang berarti ilmu. Kata idea berasal 5 dari Bahasa Yunani eidos yang artinya bentuk. Di samping itu ada kata idein yang artinya melihat. Maka secara harafiah, ideologi berarti ilmu pengertianpengertian dasar. Pengertian ideologi secara umum dapat di katakan sebagai kumpulan gagasan- gagasan, ide- ide, keyakinan- keyakinan, kepercayaankepercayaan, yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut : 1. Bidang politik ( termasuk di dalamnya bidang pertahanan dan keamanan) 2. Bidang sosial 3. Bidang kebudayaan 4. Bidang keagamaan Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia, maka pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau sekelompok orang, namun Pancasila di angkat dari nilai- nilai adat istiadat, nilai- nilai kebudayaan, sera nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara, dengan perkataan lain di angkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini merupakan kausa materialis ( asal bahan ) pancasila.

Maka ideologi negara dalam arti cita- cita negara atau cita- cita yang menjadi basis bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa yang bersangkutan pada hakikatnya merupakan asas kerokhanian yang antara lain memiliki ciri- ciri sebagai berikut : 1. Mempunyai derajat yang tinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan. 2. Oleh karena itu, mewujudkan suatu asas kerokhanian, pandangan dunia, pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang di pelihara, di kembangkan, di amalkan, di lestarikan kepada generasi berikutnya, di perjuangkan, di pertahankan dengan kesediaan berkorban (Notonegoro, Pancasila Yuridis Kenegaraan, hal. 2,3) D. Kontroversi Penetapan syariat Islam Wacana penerapan Syariat Islam (SI) yang di tiarap-kan pada masa ORBA kembali muncul ke permukaan. Seolah memutar ulang fragmen sejarah, perdebatan tentang Piagam Jakarta kembali mengemuka di sidang umum MPR. 6 a) Tentang Pro Penetapan Syariat Islam Ketika bebicara pro, berarti ada suatu nilai- nilai yang menjadikan syariat islam pantas di laksanakan di Indonesia. Ada beberapa persepsi mengenai hal ini, di antaranya : 1. Syariat Membawa Rahmah Bagi Semua. Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al-Anbiya: 107) 2. Syariat Islam Mengatur semua warga. Syariat Islam jelas bisa dan pasti bisa diterapkan sekalipun dalam masyarakat heterogen, karena syariah Islam memang diturunkan untuk mengatur seluruh umat manusia. semua warga harus tunduk pada syariah Islam. 3. Syariah Melindungi Warga Non-Muslim. - Dalam sistem Islam, warga non-muslim sebagai ahl-dzimmah, harta, jiwa dan kehormatan mereka dilindungi. - Hukuman pun setimpal bagi yang mencederai, mengambil harta atau menodai kehormatannya meski pelakunya Muslim.

- Sepanjang sejarah, tidak tercatat pengusiran dan pembantaian warga minoritas non muslim oleh mayoritas muslim. - Amr bin Ash ketika menaklukkan Mesir dibantu oleh penduduk suku Koptik yang juga beragama Kristen. 4. Syariah Membentuk Masyarakat Modern yang Beradab - Islam tidak menolak modernisasi, modernisasi sebagai pengembangan madaniah (produk teknologi) guna peningkatan mutu, keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam kehidupan manusia baik dalam bidang komunikasi, transportasi, produksi, kesehatan, pendidikan, perumahan, makanan, pakaian dan sebagainya akan didorong oleh Islam. Anggapan bahwa syariat Islam tak relevan dengan dinamika kehidupan, sebenarnya hal ini adalah tuduhan lama yang dilontarkan oleh orientalis yang berusahakan menyentuh kesakralan bahasa langit yang sekarang diadopsi oleh sebagian pemikir Islam. Kekahwatiran ini sangat lemah, dari berbagai sudut pandang. Prof. Dr. Said Ramadan Buti membantah secara akurat tuduhan ini, beliau memaparkan dalam uraian panjangnya di sederhanakan dalam uraian dibawah ini : Dinamika adalah perubahan dari suatu bentuk kebentuk yang lain. 7 Artinya segala sesuatu itu tidak tetap dalam suatu bentuk tertentu, karena adanya pergerakan yang kontinyu. Sampel perubahan ini bisa kita temukan dalam tubuh manusia yang tersusun dari berbagai organ. Tubuh manusia sekarang adalah bukan tubuh manusia yang kemarin. Pakar filosof klasik dan ilmuwan kontemporer telah merumuskan dan menyepakati bahwa Dinamika( perubahan) hanya terjadi sebatas material alam, bukan dalam sistemnya. Bahkan kalau kita baca ulang hukum Indonesia, kita akan mendapati bahwa secara instrumental banyak yang mengadopsi dari syariat Islam, meskipun secara historis, sistem hukum nasional Indonesia bersumber dari berbagai sub sistem hukum, yaitu sistem barat, sistem hukum adat, dan sistem hukum Islam, plus praktek-praktek yang dipengaruhi oleh berbagai perkembangan hukum nasional sejak kemerdekaan dan perkembangan-perkembangan yang diakibatkan oleh pengaruh pergaulan bangsa Indonesia dengan tradisi hukum dari dunia internasional. Berangkat dari sini, syariat Islam menjadi salah satu tawaran guna mensukseskan agenda Indonesia dalam menentukan sistem Hukum Nasional yang sedang mengalami proses transformasi menuju ke masa depan yang diharapkan

akan menjadi satu kebijakan hukum yang mengandung satu kesatuan sistem yang supreme dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. b). Tentang Kontra Penetapan Syariat Islam Perdebatan mengenai peluang penerapan syariat (hukum Islam) di Indonesia, melalui Piagam Jakarta, tampaknya merupakan polemik yang tak pernah berkesudahan sejak sidang BPUPK/PPKI pada tahun 1945. Pada masa pasca Orde Baru, tema ini muncul kembali melalui perdebatan tentang perlunya amandemen pasal 29 UUD 1945 yang bergulir pada Sidang Tahunan MPR dalam dua tahun terakhir ini. Aceh yang menjadikan penerapan SI sebagai kartu tawar menawar politik dengan Jakarta (pemerintah pusat), mendapatkan kado istimewa dengan terbitnya UU Nomor 44/1999 tentang keistimewaan Aceh; sebuah undang-undang yang menandai mulainya pemberlakuan SI di Aceh. Melalui pintu otonomi daerah, banyak daerah-daerah lain yang kemudian menerbitkan peraturan-peratuaran daerah (perda) yang mengadopsi SI. 8 Belakangan, rancangan undang-undangan anti pornografi dan pornoaksi (RUU APP) ditengarai sebagai perwujudan SI. Pertanyaan yang segera muncul adalah : Ada apa dengan gairah besar dari sebagian komponen bangsa untuk menerapkan SI di Indonesia ? Apakah SI merupakan jalan keluar bagi bangsa Indonesia yang di dera seribu satu masalah itu ? Apa problem-problem krusial bagi penerapan SI di Indonesia ? Adakah jalan keluar yang rasional dan realistis bagi kontroversi penerapan SI di Indonesia ? dan yang terpenting mungkinkah memberlakukan syariat Islam tanpa negara Islam? Bukankah penerapan syariat Islam dengan sendirinya merupakan pembuka jalan masuk (akses) menuju negara Islam? pertanyaan-pertanyaan yang mesti dijawab oleh diri kita sendiri sebagai bangsa dan warga Negara Indonesia yang baik. Kata kontroversi adalah kata yang pas untuk mewakili wacana ini. Karena memang kontroversi penerapan SI di Indonesia terjadi di semua level. Paling tidak ada dua level yang paling tertera, yaitu level internal dan level eksternal. Pada level internal, menyangkut tentang isi tubuh syariat itu sendiri, pertanyaan-pertanyaan elementer-nya adalah: Apa yang dimaksud syariat dalam hal ini (ontologis) ?,

Bagaimana merumuskan syariat yang hendak di undangkan itu (epistemologis) ?, Bagaimana syariat mesti diterapkan dalam kontek local dengan karakter yang berbeda-beda di Indonesia (aksiologis) ? Pada level ontologis, perdebatan tentang syariat Islam (SI) sebenarnya bukan khas Indonesia. Pemikiran Arab kontemporer banyak membicarakan hal ini. Persoalan poros-nya adalah bagaimana memandang kaitan antara teks (al-Quran dan hadis) dengan realitas. Setidaknya ada tiga aliran dalam hal ini: skriptual, moderat dan liberal. Kaum skriptualis memandang bahwa realitas harus tunduk kepada teks. Aliran moderat melihat bahwa teks dan realitas mesti berdialog untuk menghasilkan aturan yang disepakati. Sedangkan kelompok liberal memandang bahwa oleh karena teks diturunkan untuk kepentingan realitas, maka ia harus menyesuaikan diri terhadap realitas. Fakta aksiologis menunjukkan bahwa ketiga kelompok ini dengan segala perangkapnya masing-masing masih sedang bergulat dalam wacana Indonesia kontemporer. Tidakkah ini problematik ? Lantas pada level aksiologis-syariat Islam berhadapan dengan persoalan yang tidak sederhana. Ini mengantarkan kita untuk berpindah pada sisi eksternal dari problem penerapan SI di Indonesia. 9 Untuk mengambil beberapa sampel, kita bisa menyebut dalam konteks ini- : Problem pluralitas-kebhinnekaan Indonesia, transformasi sosial dan interaksibelajar dengan dan dari dunia luar yang meliputi Negara-negara Muslim ataupun Negara-negara Barat. Pada soal pluralitas-kebhinnekaan Indonesia, penerapan SI di Indonesia menghadapi tantangan (challenge) yang cukup serius. Masalahnya, Indonesia ditakdirkan lahir sebagai bangsa yang heterogen (warna-warni) bukan homogen (satu warna) dan itu direpresentasi oleh Pancasila dan UUD 1945 sebagai basic Negara dan konstitusi. Akibatnya, seluruh warga negara Indonesia berkedudukan dan berhak mendapat perlindungan dan perlakuan yang sama dari Negara tanpa memandang back ground/ latar belakang agama yang dianutnya, suku dan warna kulit. Persoalan yang cukup serius di sini adalah bagaimana penerapan syariat tidak melibas-menafikan keheterogenanan tersebut. Bahkan, Rashid Rida seorang ulama terkemuka di awal abad ke-20, yang dianggap paling bertanggung jawab dalam merumuskan konsep Negara Islam modern, menyatakan bahwa premis pokok dari konsep Negara Islam adalah bahwa syariat merupakan sumber hukum tertinggi.

Dalam pandangannya, syariat mesti membutuhkan bantuan kekuasaan untuk tujuan implementasinya, dan adalah mustahil untuk menerapkan hukum Islam tanpa kehadiran Negara Islam. Kondisi inilah yang menjelaskan mengapa pendekatan politik-legal penerapan SI di Indonesia selalu mendapat tantangan, bukan hanya dari kalangan non-muslim, bahkan dari kalangan tokoh-tokoh Islam sendiri. Taruhannya sangat serius yaitu eksisnya Indonesia sebagai bangsa kokoh bersatu. Maka, banyak tokoh-tokoh Islam atau organisasi Islam yang mengambil jalan panjang dengan transformasi sosial. Artinya, masyarakat lewat lembaga-lembaga dan nilai-nilai social- terus dikondisikan untuk semakin Islami. Idealismenya, tanpa pendekatan politik-kenegaraan pun kelak, rakyat Indonesia akan menjalankan syariat Islam dengan sendirinya. Terma pemberlakuan syariat Islam tidak mesti berujud pemberlakuan fiqh Islam sebagai hukum positif Negara. Menurut M. Imdadun Rahmat, penerapan hukum fiqh bisa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus menjadi hukum Negara. Lebih lanjut, Imdadun Rahmat menyatakan bahwa bentuk Negara nation state dengan system demokrasinya cukup menyediakan peluang bagi terwujudnya 10 Negara yang Islami. Artinya Negara yang mampu melindungi kemaslahatan rakyatnya sehingga hak-hak mereka sebagai warga Negara terpenuhi, termasuk hak untuk mengekspresikan agamanya dengan leluasa. Mempelajari syariat itu penting. Sehubungan dengan hal ini, maka penting bagi kita mempertimbangkan perkataan Prof. TM. Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa maksud kita mempelajari syariat Islam ialah supaya kita bisa menyusun satu fiqh yang berkepribadian kita sendiri, seperti sarjana-sarjana Mesir sekarang ini berusaha memesirkan fiqhnya. Fiqh Indonesia ialah fiqh yang ditetapkan sesuai dengan tabiat dan watak serta kepribadian Indonesia. Sedangkan pada level eksternal, transformasi yang telah dilakukan, misalnya oleh NU sejak 1984, perlu terus dilakukan dengan kualitas yang terus ditingkatkan. Langkah ini kemudian dikemas dalam wacana yang santun, anti kekerasan, dialogis dan mengedapankan rahmat. Ketika terbukti di bumi realitas bahwa Islam benar-benar menjadi rahmatan lil- alamin, tanpa diformalkan sekalipun, Islam akan menjadi nilai obyektif di tengah-tengah masyarakat.

Dalam khazanah klasik, kita akan menjumpai pandangan seperti ini pada visi politik imam Malik yang belakangan mazdab fiqh-nya akrab dengan tradisi local dengan konsep mashlahah mursalah dan maqashid syariah-nya. Selanjutnya kesediaan untuk tunduk pada aturan main bersama (rule of the game) pada saat kekuatan Islam menjelma menjadi entitas politik berupa partai-partai harus terus dipupuk untuk dalam semangat menyemaikan demokrasi. Telah terbukti bahwa demokrasi sebagai perangkat bernegara tidak kontradiktif dengan Islam. Dan akhirnya, tetap perlu digalang konsolidasi global antar Negara dan komunitas muslim untuk mewujudkan tata dunia yang lebih adil dan damai. Adapun, jika di paksakan syariat islam di terapkan, ada 5 Level Penerapan Syariat : Adanya keterkaitan yang amat erat antara kekuasaan negara di satu sisi dengan syariat di sisi lain sebetulnya lebih karena karakteristik syariat itu sendiri yang diyakini sebagai seperangkat norma dan nilai yang total dan komprehensif mengenai kehidupan manusia hingga yang paling detail. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan syariat Islam oleh negara, totalitas atau the comprehensiveness syariat 11 itu, dengan mengadopsi Price (1999), dapat dipilah menjadi lima level penerapan hukum Islam sebagai berikut: 1. 2. 3. Masalah-masalah hukum kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian dan Urusan-urusan ekonomi dan keuangan, seperti perbankan Islam dan zakat. Praktek-praktek (ritual) keagamaan, seperti kewajiban mengenakan jilbab bagi kewarisan.

wanita Muslim; ataupun pelarangan resmi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti alkohol dan perjudian. 4. 5. Penerapan hukum pidana Islam, terutama bertalian dengan jenis-jenis sanksi Penggunaan Islam sebagai dasar negara dan sistem pemerintahan. yang dijatuhkan bagi pelanggar. Penting dicatat bahwa lima level penerapan hukum Islam di atas disusun secara hirarkis mulai dari yang terendah hingga yang paling tinggi bobotnya. Maka, tuntutan untuk menerapkan semua lima level hukum Islam di atas dengan sendirinya mengimplikasikan tuntutan langsung pembentukan Negara Islam.

Mungkin cukup masuk akal pula jika dikatakan bahwa semakin tinggi level tuntutan penerapan hukum Islam, maka semakin dekat menuju perwujudan gagasan Negara Islam. Sebaliknya, semakin rendah level tuntutan maka semakin rendah pula tingkat komitmen untuk mewujudkan Negara Islam (Salim, 2000). Tidak Lebih dari Level 2 Sistem Hukum Nasional Indonesia dewasa ini paling tidak telah menerbitkan tujuh buah kategori peraturan perundang-undangan yang mengakomodasi materi hukum Islam di dalamnya, yaitu (1) UU no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, (2) PP no. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan, (3) UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (4) UU no. 7 tahun 1992 jo UU no 10/1998 dan UU no 23/1999 tentang Sistem Perbankan Nasional yang mengizinkan beroperasinya Bank Syariah, (5) Inpres no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, (6) UU no. 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji, dan (7) UU no. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Walaupun jenis kedua UU yang disebutkan terakhir ini dapat ditempatkan pada level tiga dari lima level penerapan hukum Islam yang sudah disebutkan di atas, tidak ada satupun ketentuan atau pasal di dalamnya yang mewajibkan ibadah haji 12 ataupun kewajiban mengeluarkan zakat bagi mereka yang telah mampu melaksanakannya. Kehadiran kedua UU tersebut tak lebih merupakan manual petunjuk bagi pemerintah untuk menjamin penyelenggaraan dan memfasilitasi dengan sebaik-baiknya pelaksanaan ibadah haji dan zakat oleh umat Islam sendiri. Ini berarti bahwa jika dilihat dalam perspektif lima level penerapan syariat, maka penerapan hukum Islam di Indonesia sesungguhnya tidak melewati lebih dari level dua. Lebih jauh, kenyataan ini pun dengan jelas menunjukkan bahwa sekalipun tanpa kehadiran Piagam Jakarta, beberapa jenis materi hukum Islam tertentu sudah terakomodasi dalam peraturan perundang-undangan nasional. Lalu, pertanyaan yang timbul, mengapa mesti butuh Piagam Jakarta, jika bukan bermaksud untuk menaikkan ke level yang lebih tinggi dari level dua penerapan hukum Islam di Indonesia? Mencermati aspirasi penerapan syariat Islam yang berkembang dewasa ini, seperti yang berlangsung di dalam gedung DPR/MPR pada Sidang Tahunan tahun 2000 lalu dan bulan Nopember 2001 ataupun yang terdengar dari seruan dan tuntutan

sementara kalangan umat Islam, maka pertanyaan kita, sampai pada tingkat atau level berapa mereka menghendaki penerapan hukum Islam oleh negara? Jika penegasan yang mereka sampaikan bahwa pemberlakuan syariat Islam tidak serta merta merupakan pembentukan Negara Islam dapat dijadikan ukuran atau patokan, maka sekurang-kurangnya dapat diprediksikan bahwa mereka akan berusaha memperjuangkan penerapan hukum Islam di Indonesia maksimal hingga pada level empat. Namun, pertanyaan yang masih cukup mengganjal, jika mereka berhasil, secara konstitusional tentunya, memperjuangkan pemberlakuan hukum Islam hingga ke level empat itu, misalnya, mampukah mereka menyumbat rapat-rapat aspirasi untuk mendirikan Negara Islam? Bukankah tinggal satu level atau selangkah lagi Negara Islam akan terwujud? Pertanyaan ini tentu saja tidak mungkin terjawab sekarang, dan karena itulah menjadi sangat wajar bila aspirasi memasukkan kembali Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945 tidak akan pernah memperoleh penerimaan secara luas. Adapun, kami di sini mengutip dari salah satu jejaring sosial, facebook : 13 Gigin : Gak bisa dua sistem di pakai di satu negara. Negeri ini memang mayoritas beragama islam, tapi apakah tidak terlalu naif untuk menegakan syariat islam di Indonesia? Kasian yang lain dong, saya lebih suka dengan negara yang bisa memisahkan agama dan negara. ( 8 bulan lalu)

Adapun kutipan dari IndoForum : http://www.indoforum.org/t31502/#ixzz1d754iyic Hak Cipta: www.indoforum.org Nah, kalo syariat dijalanin, maka Indonesia bagian tengah, dan Timur, pasti gak akan bisa menerima hukum Islam (sebab mayoritas masyarakat bagian timur Indonesia beragama nasrani, dan memiliki kepercayaan lainnya)....

Sedangkan mayoritas yang mengerti tentang prinsip syariah itu hanya di Pulau

Sumatera, Jawa, madura,dan sulawesi... (sebab mayoritas umat muslim pada masa itu banyak terfokus disini)... sementara Itu, Soekarno n para petinggi politik di Indonesia sebagian besar pernah diasingkan ke bagian timur Indonesia, dan sebagian besar dari mereka pula mengerti tentang kepercayaan di bagian timur Indonesia, yang mana kalau prinsip syariah dijalankan di Indonesia, pasti mereka tidak akan bergabung..... Atau, walaupun ingin bergabung, nantinya pasti akan menjadi masalah baru bagi negara Indonesia yang masih baru berdiri pada waktu itu. . . . . . . . . . . . . Begitu sejarah singkatnya mengapa syariah Islam tidak menjadi landasan hukum bagi NKRI.... Semua tawaran aksi di atas bukanlah jawaban. Jadi, tetapi kerja keras untuk mewujudkannya akan menentukan masa depan Indonesia.

14 BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan Penetapan syariat Islam di Indonesia menuai kontroversi, mereka yang setuju (pro) berpendapat bahwa syariat islam pantas menjadi acuan hukum, di karenakan bukan hanya melindungi masyarakat muslim saja, melainkan juga masyarakat non muslim. Sementara mereka yang tidak setuju, berpendapat bahwa tidak mungkin hukum islam di terapkan pada negara yang masyarakatnya heterogen. B. Saran Menurut kami penetapan syariat islam di Indonesia tidak mungkin di laksanakan karena melihat kenyataan masyarakat Indonesia yang heterogen dan berbenturan dengan Hak Asasi Manusia , begitu sulit untuk menerapkan pada

zaman seperti sekarang ini, mungkin hanya dengan sikap dan sifat Nabi Muhammad SAW saja, syariat islam bisa di terapkan.

You might also like